Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH KELOMPOK 2

STRATEGI PEMBELAJARAN MATEMATIKA

“TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA”

Dosen Pengampu:

Dr. Arjudin, M.Si.

Disusun Oleh :

Hanifa Zahrani
Muhamad Hendi
Nurzilatul Aini
Riski Ari Saputra

UNIVERSITAS MATARAM
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
MATARAM
2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga makalah Teori Belajar Dan Pembelajaran Matematika diselesaikan
dengan baik. Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah
Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.

Makalah ini kami buat untuk melengkapi tugas mata kuliah Strategi Pembelajaran
Matematika. Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah Teori Belajar dan Pembelajaran Matematika ini. Dan kami
juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah
membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan
sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah
Teori Belajar Dan Pembelajaran Matematika ini sehingga kami mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.

Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan
kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan
kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga makalah Teori Belajar Dan
Pembelajaran Matematika ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya

Mataram,23 Agustus 2022

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………….………………….ii

DAFTAR ISI……………………………………………………….…………………...iii

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………..……………………1

1.1 Latar Belakang………………………………………….……………………..1


1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................2
1.3 Tujuan…………………………………………………………………………2

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………..……………….3

2.1 Teori Behaviorisme……………………………………...............…………...3


2.2 Belajar Kognitivisme……………………………………………………..…11
2.3 Teori Belajar Humanisme………………………………………..................19
2.4 Teori Belajar Konstruktivisme……………………………….........................23

BAB III PENUTUP…………………………………………………….……………. 28

3.1 Kesimpulan…………………………………………………..………………28

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………….29

2
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Belajar pada hakekatnya merupakan proses perubahan di dalam kepribadian yang berupa
kecakapan, sikap, kebiasaan, dan kepandaian. Perubahan ini bersifat menetap dalam tingkah
laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman. Pembelajaran pada
hakekatnya adalah suatu proses interaksi antar anak dengan anak, anak dengan sumber
belajar dan anak dengan pendidik. Kegiatan pembelajaran ini akan menjadi bermakna bagi
anak jika dilakukan dalam lingkungan yang nyaman dan memberikan rasa aman bagi anak.
Proses belajar bersifat individual dan kontekstual, artinya proses belajar terjadi dalam diri
individu sesuai dengan perkembangannya dan lingkungannya. Belajar merupakan proses
perubahan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh
pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu, di mana perubahan tingkahlaku itu
tidak dapat dijelaskan atau dasar kecendrungan respon pembawaan, pemaksaan, atau kondisi
sementara (seperti lelah, mabuk, perangsang dan sebagainya).
Menurut Morgan (Gino, 1988: 5) menyatakan bahwa belajar adalah salah satu yang
relatif tetap dari tingkah laku sebagai akibat dari pengalaman. Dengan demikian dapat
diketahui bahwa belajar adalah usaha sadar yang dilakukan manusia melalui pengalaman dan
latihan untuk memperoleh kemampuan baru dan merupakan perubahantingkah laku yang
relative tetap, sebagai akibat dari latihan. Menurut Hilgard (Suryabrata, 2001:232)
menyatakan belajar merupakan proses perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, yang
kemudian menimbulkan perubahan, yang keadaannya berbeda dari perbuatan yang
ditimbulkan oleh lainnya.
Selanjutnya menurut Gerow (1989:168) mengemukakan bahwa “Learning is
demonstrated by a relatively permanent change in behavior that occurs as the result of
practice or experience”. Belajar adalah ditunjukkan oleh perubahan yang relatif tetap dalam
perilaku yang terjadi karena adanya latihan dan pengalaman-pengalaman. Kemudian menurut
Bower (1987: 150) “Learning is a cognitive process”. Belajar adalah suatu proses kognitif.

3
Dalam pengertian ini, tidak berarti semua perubahan berarti belajar, tetapi dapat dimasukan
dalam pengertian belajar yaitu, perubahan yang mengandung suatu usaha secara sadar, untuk
mencapai tujuan tertentu. Berdasarkan pengertian belajar yang dikemukakan di atas dapat
diidentifikasi beberapa elemen penting yang mencirikan pengertian belajar yaitu :
1. Belajar adalah merupakan suatu perubahan dalam tingkah laku, dimana perubahan
itudapat mengarah kepada tingkah laku yang baik, tetapi juga ada kemungkinan
mengarah kepada tingkah laku yang buruk. Perubahan itu tidak harus segera Nampak
setelah proses belajar tetapi dapat nampak di kesempatan yang akan datang.
2. Belajar merupakan suatu perubahan yang terjadi melalui latihan dan pengalaman.
3. Untuk dapat disebut belajar, maka perubahan itup ada pokoknya adalah didapatkannya
kecakapan baru, yang berlaku dalam waktu yang relatif lama.
4. Tingkahlaku yang mengalami perubahan karena belajar menyangkut berbagai aspek
kepribadian baik fisik maupun phisikis.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana penerapan dari Teori M. Gagne, Thorndike, Pavlov dan teori Albert Baruda
dengan memberikan contohnya?
2. Bagaimana penerapan dari Teori Kognitif Gestalt, Cognitive-Field dari Lewin, Teori
Brunner dan Teori Jean Piage t dengan memberikan contohnya?
3. Bagaimana penerapan dari Teori Belajar Arthur Combs, Teori Abraham Maslow dan
Teori Belajar Carl Rogers dengan memberikan contohnya?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui Teori M. Gagne, Thorndike, Pavlov dan teori Albert Baruda dengan
memberikan contohnya.
2. Mengetahui Teori Kognitif Gestalt, Cognitive-Field dari Lewin, Teori Brunner dan Teori
Jean Piaget dengan memberikan contohnya.
3. Mengetahui Teori Belajar Arthur Combs, Teori Abraham Maslow dan Teori Belajar Carl
Rogers dengan memberikan contohnya.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 TEORI BEHAVIORISME

Behaviorisme adalah teori perkembangan perilaku, yang dapat diukur, diamati dan
dihasilkan oleh respons pelajar terhadap rangsangan. Tanggapan terhadap rangsangan dapat
diperkuat dengan umpan balik positif atau negatif terhadap perilaku kondisi yang diinginkan.
Hukuman kadang-kadang digunakan dalam menghilangkan atau mengurangi tindakan tidak
benar, diikuti dengan menjelaskan tindakan yang diinginkan. Pendidikan behaviorisme
merupakan kunci dalam mengembangkan keterampilan dasar dan dasar-dasar pemahaman
dalam semua bidang subjek dan menejemen kelas. Ada ahli yang menyebutkan bahwa teori
belajar behavioristik adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara
konkret. Teori behaviorisme hanya menganalisa perilaku yang nampak , dapat diukur,
dilukiskan, dan diramalkan. Teori kaum behavoris lebih dikenal dengan nama teori belajar,
karena seluruh perilaku manusia adalah hasil belajar. Belajar artinya perbahan perilaku
organise sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme tidak mempersoalkan apakah manusia
baik atau jelek, rasional atau emosional; behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana
perilakunya dikendalian oleh faktor-faktor lingkungan. Dalam arti teori belajar yang lebih
menekankan pada tingkah laku manusia. Memandang individu sebagai makhluk reaktif yang
memberirespon terhadap lingkungan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk
perilaku mereka. Dari hal ini, timbulah konsep ”manusia mesin” (Homo Mechanicus). Ciri
dari teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis,
menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon,
menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar,mementingkan
peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang
diinginkan. Pada teori belajar ini sering disebut S-R psikologis artinya bahwa tingkah laku
manusia dikendalikan oleh ganjaran atau reward dan penguatan atau reinforcement dari
lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara
reaksi-reaksi behavioural dengan stimulusnya. Guru yang menganut pandangan ini

5
berpandapat bahwa tingkahlaku siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkah
laku adalah hasil belajar. Berikut adalah tokoh-tokoh behaviorisme:

1. Teori Belajar Robert M.Gagne


a. Objek Belajar Matematika Menurut Gagne dalam belajar matematika ada dua objek yaitu
objek lansung belajar matematika dan objek tidak langsung dari belajar matematika.
Objek langsung meliputi:
 Fakta adalah perjanjian-perjanjian dalam matematika seperti simbol-simbol
matematika. Contohnya: “+” symbol untul operasi penjumlahan dll.
 Keterampilan (skills) adalah kemampuan memberikan jawaban yang benar dan cepat.
Misalnya pembagian cara singkat dll.
 Konsep adalah ide abstrak yang memungkinkan kita mengelompokkan objek ke
dalam contoh atau bukan contoh.
 Misalnya: Himpunan, kubus, segi tiga dan jari-jari.
 Prinsip merupakan objek yang paling komplek. Prinsip adalah sederetan konsep
beserta dengan hubungan diantara konsep-konsep tersebut.
 Contohnya: Dua segi tiga sama dan sebangun bila dua sisi yang seletak dan sudut
apitnya kongruen.

b. Taksonomi Gagne Taksonomi Bloom terdiri dari tiga domain yaitu: domain kognitif,
afektif dan psikomotor. Tapi Gagne mengembangkan tujuan belajar yang dikenal dengan
taksonomi Gagne. Gagne mengemukakan bahwa penampilan-penampilan yang dapat
diamati sebagai hasil belajar disebut kemampuan-kemampuan atau disebut kapabilitas.
Kapabilitas merupakan kemampuan yang dimiliki manusia karena ia belajar. Kapabilitas
dapat diibaratkan sebagai tingkah laku akhir dan ditempatkan pada puncak membentuk
piramida. Gagne mengemukakan 5 macam hasil belajar atau kapabilitas tiga bersifat
kognitif, satu bersifat afektif dan satu bersifat psikomotor. Gagne membagi hasil belajar
menjadi lima kategori kapabilitas sebagai berikut:
1) Informasi verbal Kapabilitas informasi verbal yaitu kemampuan untuk
mengkomunikasikan secara lisan pengetahuannya tentang fakta-fakta. Informasi

6
verbal diperoleh secara lisan, membaca buku dan sebagainya. Informasi ini dapat
diklasifikasikan sebagai fakta, prinsip, nama generalisasi.
2) Keterampilan Intelektual Kapabilitas keterampilan intelektual merupakan
kemampuan untuk dapat memperbedakan, menguasai konsep, aturan, dan
memecahkan masalah. Kapibilitas keterampilan intelektual menurut Gagne
dikelompokkan ke dalam 8 tipe belajar yaitu:
a. Belajar Isyarat Belajar isyarat adalah belajar yang tidak diniati atau tanpa sengaja,
timbul sebagai akibat suatu rangsangan (stimulus) sehingga menimbulkan suatu
respon emosional pada individu yang bersangkutan.
b. Belajar Stimulus Respon
Belajar stimulus respon adalah belajar merespon suatu isyarat, tapi berbeda
dengan belajar isyarat pada tipe belajar ini belajar dilakukan dengan diniati atau
disengaja dan dilakukan secara fisik. Belajar stimulus respon menghendaki suatu
stimulus yang datangnya dari luar sehingga menimbulkan terangsangnya otot-otot
kemudian diiringi respon yang dikehendaki sehingga terjadi hubungan langsung
yang terpadu antara stumulus dan respon.
c. Belajar Rangkaian Gerak Belajar rangkaian gerak merupakan perbuatan
jasmaniah terurut dari dua kegiatan atau lebih stimulus respon. Setiap stimulus
respon dalam suatu rangkaian berhubungan erat dengan stimulus respon yang
lainnya yang masih dalam rangkaian yang sama.
d. Belajar Rangkaian Verbal Pada belajar rangkaian gerak merupakan perbuatan
jasmaniah sedangkan pada belajar rangkaian verbal merupakan perbuatan lisan.
Jadi belajar rangkaian verbal adalah perbuatan lisan terurut dari dua kegiatan atau
lebih stimulus respon. Setiap stimulus respon dalam satu rangkaian berkaitan
dengan stimulus respon laiannya yang masih dalam rangkaian yang sama.
e. Belajar Memperbedakan Belajar memperbedakan adalah belajar memperbedakan
hubungan stimulus respon sehingga bisa memahami bermacam-macam objek fisik
dan konsep, dalam merespon lingkungannya, anak membutuhkan
keterampilanketerampilan sederhana sehingga dapat membedakan suatu objek
dengan objek lainnya, dan membedakan satu symbol dengan symbol lainnya.

7
Terdapat dua macam belajar memperbedakan yaitu memperbedakan tunggal dan
memperbedakan jamak.
f. Belajar Pembentukan Konsep Belajar pembentukan konsep adalah belajar
mengenal sifat bersama dari benda-benda konkret, atau peristiwa untuk
mengelompokkan menjadi satu. Misalnya untuk memahami konsep persegi
panjang anak mengamati daun pintu rumah ( berbentuk persegi panjang), papan
tulis, dan laianya. Jadi belajar pembentukan konsep merupakan lawan dari belajar
memperbedakan. Pada belajar memperbedakan menginginkan anak dapat
membedakan objek-objek berdasarkan karakteristiknya yang berlainan,
sedangkan belajar pembentukan konsep menginginkan agar anak dapat
mengklasifikasikan objek-objek ke dalam kelompok-kelompok yang memiliki
karakteristik sama.
g. Belajar Pembentukan Aturan Aturan terbentuk berdasarkan konsep-konsep yang
sudah dipelajari. Aturan merupakan pernyataan verbal, dalam matematika
misalnya adalah, teorema, dalil, sifat-sifat. Contoh aturan dalam segi tiga siku-
siku berlaku kuadrat sisi miring sama dengan jumlah kuadrat sisi-sisi siku-
sikunya. Dalam belajar pembentukan aturan memungkinkan anak untuk dapat
menghubungkan dua konsep atau lebih. h. Belajar Pemecahan Masalah (problem
solving) Belajar pemecahan masalah adalah tipe belajar yang lebih tinggi
derajatnya dan lebih kompleks daripada tipe belajar aturan (rule learning). Pada
tiap tipe belajar memecahkan masalah, aturan yang telah dipelajari terdahulu
untuk membuat formulasi penyelesaian masalah. Contoh belajar memecahkan
masalah, peserta didik dihadapakan kepada persamaan kuadrat
a x 2 +bx+ c=0 , a ≠ 0.Peserta didik diminta menurunkan rumus kuadrat.
3) Strategi Kognitif
Kapabilitas strategi Kognitif adalah kemampuan untuk mengkoordinasikan serta
mengembangkan proses berpikir dengan cara merekam, membuat, analisis dan
sintesis. Kapabititas ini terorganisasikan secara internal sehingga memungkinkan
perhatian, belajar, mengingat, dan berfikir anak terarah. Contoh tingkah laku akibat
kapabilitas strategi kognitif, menyusun langkah-langkah penyelesaian masalah
matematika.

8
4) Sikap Kapabilitas sikap adalah kecenderungan untuk merespon secara tepat terhadap
stimulus atas dasar penilaian terhadap stimulus tersebut. Respon yang diberikan oleh
seseorang terhadap suatu objek mungkin positif mungkin pula negative, tergantung
kepada penilaian terhadap objek yang dimaksud sebagai objek yang penting atau
tidak.
5) Keterampilan Motorik Untuk mengetahui seseorang memiliki kapabilitas
keterampilan otoric kita bisa melihatnya dari kecepatan, ketepatan dan kelancaran
gerakan otot-otot dan anggota badan yang diperlihatkan orang tersebut. Kemampuan
dalam mendemontrasikan alat-alat peraga matematika merupakan salah satu contoh
tingkah laku kapabilitas ini.

c. Teori Gagne dalam Pengajaran Dalam Pengajaran


Menurut Gagne peranan guru lebih banyak membimbing peserta didik, guru dominan
sekali peranannya dalam membimbing peserta didik. Di dalam pengajaran memberikan
serentetan kegiatan dengan urutan sebagai berikut:
 Membangkitkan dan memelihara perhatian
 Merangsang siswa untuk mengingat kembali konsep, aturan dan keterampilan yang
relevan sebagai prasarat.
 Menyajikan situasi atau pelajaran baru.
 Memberikan bimbingan belajar.
 Memberikan feedback atau balikan
 Menilai hasil belajar
 Mengupayakan transger belajar
 Memantapkan apa yang dipelajari dengan memberikan latihan-latihan untuk
menerapkan apa yang telah dipelajari.
2.2 Teori Belajar Humanisme

Menurut Gagne praktik pengajaran adalah kemampuan yang dimaksudkan di sisni


adalah berupa hasil perilaku yang bisa dianalisis. Sasaran belajar yang dikemukakan Gagne
sama dengan tujuan instruksional atau tujuan yang perumusannya menunjukkan tingkah laku.
Sasaran pengajaran menurut Gagne mengacu pada hasil pengajaran yang diharapkan. Dalam

9
pengajaran menurut Gagne, anak dibimbing dengan hati-hati karena ia bisa bekerja dengan
materi program. Siswa harus dapat aktif dalam mengerjakan tugas dan memecahkan masalah
tetapi seluruhnya ditentukan dengan program. Menurut Gagne pemecahan masalah
merupakan tipe belajar yang tingkatnya paling tinggi dan kompleks dibandingkan dengan
tipe belajar dimulai prasyarat yang sederhana yang kemudian meningkat pada kemampuan
kompleks. Gagasan Gagne mengenai rangkaian belajar cocok diterapkan dalam pengajaran
matematika, sebab konsep-konsep matematika tersusun secara hierarkis. Konsep baru
terbentuk karena adanya pemahaman terhadap konsep sebelumnya.

1. Teori Belajar Thorndike


Teori Stimulus Respon dari Thorndike. Teori yang dikemukakan Edward I. Thorndike
(1874-1949) pada dasarnya menggunakan stimulus respon. Teori ini dikenal dengan
nama”Koneksionisma” atau “pengaitan”. Thornidike berpendapat bahwa belajar pada
binatang dan belajar pada manusia pada dasarnya memiliki prinsip yang hampir sama.
Menurut terjadinya belajar adalah pembentukan hubungan antara stimulus dan respon.
Terdapat beberapa dalil atau hukum mengakibatkan mulculnya stimulus respon, yaitu
hukum kesiapan (law of readiness), hukum latihan (law of exercise) dan hukum akibat
(law of effect).
a. Hukum Kesiapan (law of readiness) Hukum Kesiapan menerangkan bagaimana
kesiapan seseorang untuk melakukan sesuatu kegiatan terdapat tiga kemungkinan
yang terjadi:
1) Seseorang memiliki kecendrungan untuk menindak, kemudian orang
tersebut benar melakukan tindakan, maka tindakannya akan menimbulkan
kepuasan, tindakan-tindakan lain yang tidak dilakukan.
2) Seseorang memiliki kecendrungan untuk bertindak, tetapi orang tersebut
tidak melakukan tindakan, sehingga pada orang tersebut timbul rasa puas, dan
kemudian orang tersebut melakukan tindakan-tindakan lain untuk menghilangkan
rasa tidak puasnya.
3) Seseorang tidak memiliki kecendrungan bertindak, orang tersebut
melakukan tindakan, maka pada orang tersebut akan timbul rasa tidak puas
sehingga ia akan melakukan tindakan lain untuk menghilangkan rasa tidak puas
tadi.

10
Dari teori Thorndike mengenai hukum kesiapan dapat kita simpulkan bahwa
seseorang akan berhasil dalam belajar apabila orang tersebut betul-betul telah siap
untuk melakukan kegiatan belajar.

b. Hukum Latihan (law of exercise) Hukum ini menyatakan bahwa prinsip utama
dalam belajar adalah pengulangan. Semakin sering stimulus respon terjadi, maka
atau semakin kuat hubungan yang terjadi. Kalau pengulangan sering dilakukan
maka hubungan antara stimulus dan respon akan bersifat otomatis. Sebaliknya
makin jarang hubungan stimulus dan respon dilakukan makin lemah pula hubungan
yang terjadi. Artinya bila suatu konsep dalam matematika dipelajari secara
berulang maka konsep tersebut akan lebih mudah untuk dikuasai. Pengulangan ini
akan lebih bermakna bila dilakukan dengan frekuensinya secara teratur, dan
dilakuan dengan teknik yang menarik. Menurut Thorndike latihan yang bersifat
pengulangan akan efektif apabila guru member ganjaran. Artinya antara stimulus
dan respon akan semakin kuat apabila disertakan ganjaran.
c. Hukum akibat (law of effect). Hukum akibat mengatakan bahwa suatu tindakan
akan menimbulkan pengaruh untuk tindakan yang serupa. Bila hubungan stimulus
dan respon diikuti dengan peristiwa yang sesuai hubungan yang terjadi menjadi
meningkat kekuatannya, sebaliknya seandainya peristiwa yang tidak sesuai
mengiringi hubungan tadi, kekuatan tersebut menjadi berkurang. Hal ini
menunjukkan bahwa suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang sehingga
menyenangkan hati orang tersebut. Thorndike mengemukakan mengenai konsep
transfer. Istilah yang digunakan oleh Thorndike adalah “transfer of training” yaitu
untuk menyelesaikan masalah digunakan hal-hal yang telah dimiliki anak yang
sudah dipelajari sebelumnya. Teori Thorndike dalam Pengajaran Supaya materi
dapat dipelajari anak secara efektif dan efesien materi pelajaran tersebut sebaiknya
dipecah menjadi beberapa bagian. Dalam pengajaran guru memegang peranan
utama dalam proses belajar anak. Guru melatih anak dan menentukan materi apa
yang akan dipelajari anak. Menurut teori Thorndike agar materi pelajaran tersebut
tersimpan kuat dalam ingatan perlu dilakukan pengulangan. Hukum akibat yang
mengemukan bahwa kepuasan yang terjadi pada anak karena guru member
ganjaran pada anak tersebut sehingga anak cenderung untuk berusaha melakukan

11
kegiatan serupa dapat dimanfaatkan guru dalam pengajaran. Guru lebih hati-hati
dalam mengomentari anak khususnya pada anak yang mempunyai kemampuan
kurang. Guru juga harus tanggap terhadap respon anak yang salah. Guru jangan
membiarkan kekeliruan tanpa memberikan penjelasan yang benar. Metode
pemberian tugas, metode latihan (Drill) akan cocok diberikan dalam pengajaran
sebab metode tersebut anal akan lebih banyak mendapatkan stimulus sehingga
respon yang diberikan anak akan lebih banyak.

2. Teori Belajar Pavlov


Pavlov terkenal dengan teori belajar klasik. Ia merupakan ilmuwan yang
berkebangsaan Rusia. Pavlov termasuk penganut aliran tingkah laku (behaviorisin)
yaitu aliran yang berpendapat bahwa hasil belajar manusia itu harus didasarkan kepada
pengamatan tingkah laku manusia yang terlihat melalui stimulus respon dan belajar
bersyarat (conditioned learning). Pavlov mengemukakan tentang konsep pembiasaan
(conditioning). Sesuatu konsep kalau dilakukan secara terus menerus sehingga menjadi
kebiasaan. Konsep pembiasaan yang dilakukan Pavlov dapat diterapkan dalam
pengajaran, siswa dapat belajar dengan baik apabila siswa tersebut dibiasakan untuk
belajar. Namun tokoh aliran tingkah laku yaitu Skiner, ia melihat kelemahan dari
percobaan yang dilakukan Pavlov yaitu menurutnya sasaran penelitian (dalam hal ini
anjing) bertindak pasif, artinya untuk mendapatkan makanan anjing tersebut tidak
melaksanakan apa-apa. Oleh karena itu, teori yang dikemukakan Pavlov disebut teori
belajar bersyarat klasik. Sedangkan teori Skiner didasarkan pada bersyarat “operant”
(aktif berbuat).
3. Teori Belajar Albert Baruda
Albert baruda merupakan tokoh aliran tingkah laku ia terkenal dengan belajar
menirunya. Baruda mengatakan teori yang dilakukan Skiner ada kelemahannya.
Baruda menyangkal pendapat skinner bahwa respon yang diberikan siswa yang disertai
penguatan itu selalu esensial. Menurut Baruda seorang anak belajar dikarenakan orang
lain yang belajar. Artinya seorang belajar ia meniru orang lain. Dalam hal ini siswa
meniru gurunya. Penelitian yang dilakukan Baruda memberikan kesimpulan bahwa

12
apabila seseorang menyaksikan orang lain berbuat ganas, ia memiliki kecendrungan
untuk berbuat yang ganas pula. Jadi menurut Baruda seseorang akan menjadi agresif
sesudah ia melihat orang lain (modelnya) berbuat agresif.

2.3 BELAJAR KOGNITIVISME

Ada beberapa ahli yang belum merasa puas terhadap penemuan para ahli sebelumnya
mengenai belajar sebagai sebuah proses hubungan stimulus-responsereinforcement. Mereka
berpendapat bahwa tingkah laku seseorang tidak hanya dikontrol oleh reward dan
reinforcement. Menurut mereka tingkah laku seseorang senantiasa didasarkan pada kognitif,
yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi. Dalam
situasi belajar, seseorang terlibat langsung dalam situasi itu dan memperoleh insight untuk
pemecahan masalah. Jadi kaum kognitifis berpandangan, bahwa tingkah laku seseorang lebih
bergantung kepada pemahaman terhadap hubungan – hubungan yang ada di dalam suatu
situasi. Mereka memberi tekanan pada organisasi pegamatan atas stimuli di dalam
lingkungan serta pada faktor yang mempengaruhi pengematran tersebut.

1) Teori kognitif Gestalt


Teori kognitif mulai berkembang dengan lahirnya teori belajar gestalt. Peletak dasar
teori gestalt adalah Merx Wertheimer (1880-1943) yang meneliti tentang pengamatan
dan problem solving. Sumbangannya diikuti oleh Kurt Koffka (1886-1941) yang
menguraikan secara terperinci tentang hokum-hukum pengamatan, kemudian
Wolfgang Kohler (1887-1959) yang meneliti tentang insight pada simpase. Kaum
gestaltis berpendapat bahwa pengalaman itu berstuktur yang terbentuk dalam suatu
keseluruhan. Menurut pandangan gestaltis, semua kegiatan belajar menggunakan
pemahaman terhadap hubungan hubungan, terutama hubungan antara bagian dan
keseluruhan. Intinya, menurut mereka, tingkat kejelasan dan keberartian dari apa
yang diamati dalam situasi belajar adalah lebih meningkatkan kemampuan belajar
seseorang dari pada dengan hukuman dan ganjaran.
2) Teori belajar Cognitive-field dari Lewin
Kurt Lewin (1892-1947) mengembangkan suatu teori belajar kognitiv-field dengan
menaruh perhatian kepada kepribadian dan psikologi social. Lewin memandang

13
masing-masing individu berada di dalam suatu medan kekuatan yang bersifat
psikologis. Medan dimana individu bereaksi disebut life space. Life space mencakup
perwujudan lingkungan di mana individu bereaksi, misalnya ; orang – orang yang
dijumpainya, objek material yang ia hadapi serta fungsi kejiwaan yang ia miliki. Jadi
menurut Lewin, belajar berlangsung sebagai akibat dari perubahan dalam struktur
kognitif. Perubahan sruktur kognitif itu adalah hasil dari dua macam kekuatan, satu
dari stuktur medan kognisi itu sendiri, yang lainya dari kebutuhan motivasi internal
individu. Lewin memberikan peranan lebih penting pada motivasi dari reward.
3) Teori Belajar Cognitive Developmental dari Piaget
Dalam teorinya, Piaget memandang bahwa proses berpikir sebagai aktivitas gradual
dari fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak. Piaget adalah ahli psikolog
developmentat karena penelitiannya mengenai tahap tahap perkembangan pribadi
serta perubahan umur yang mempengaruhi kemampuan belajar individu. Menurut
Piaget, pertumbuhan kapasitas mental memberikan kemampuan-kemapuan mental
yang sebelumnya tidak ada. Pertumbuhan intelektuan adalah tidak kuantitatif,
melainkan kualitatif. Pada intinya, perkembangan kognitif bergantung kepada
akomodasi. Kepada siswa harus diberikan suatu area yang belum diketahui agar ia
dapat belajar, karena ia tak daapat belajar dari apa yang telah diketahuinya.
4) Jerome Bruner dengan Discovery Learning nya
Yang menjadikan dasar ide J. Bruner ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan
bahwa anak harus berperan secara aktif di dalam belajar di kelas. Untuk itu bruner
memakai cara dengan apa yang disebutnya discovery learning, yaitu dimana murid
mengorganisasi bahan pelajaran yang dipelajarai dengan suatu bentuk akhir yang
sesuai dengan tingkat kemajuan anak tersebut. Bruner menyebutkan hendaknya guru
harus memberikan kesempatan kepada muridnya untuk menjadi seorang problem
solver, seorang scientist, historian atau ahli matematika. Biarkan murid kita
menemukan arti bagi diri mereka sendiri dan memungkinkan mereka mempelajari
konsep-konsep di dalam bahasa yang mereka mengerti.
Pada dasarnya terdapat dua pendapat tentang teori belajar yaitu teori belajar
aliran behavioristik dan teori belajar kognitif. Teori belajar behavioristik menekankan
pada pengertian belajar merupakan perubahan tingkah laku, sehingga hasil belajar

14
adalah sesuatu yang dapat diamati dengan indra manusia langsung tertuangkan dalam
tingkah laku. Seperti yang dikemukakan oleh Ahmadi dan Supriono (1991: 121)
bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh
suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman
individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”.
Sedangkan teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan
suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Seperti juga diungkapkan oleh
Winkel (1996: 53) bahwa “Belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang
berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-
perubahan dalam pengetahuan pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap. Perubahan
itu bersifat secara relatif dan berbekas”.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya belajar adalah suatu proses
usaha yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai
akibat dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu
perubahan dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan
nilai sikap yang bersifat relatif dan berbekas.
Sesuai dengan karakteristik matematika maka belajar matematika lebih
cenderung termasuk ke dalam aliran belajar kognitif yang proses dan hasilnya tidak
dapat dilihat langsung dalam konteks perubahan tingkah laku.
3 Teori Belajar Piaget
Jean Piaget adalah seorang ilmuwan perilaku dari Swiss, ilmuwan yang sangat terkenal
dalam penelitian mengenai perkembangan berpikir khususnya proses berpikir pada
anak Menurut Piaget setiap anak mengembangkan kemampuan berpikirnya menurut
tahap yang teratur. Pada satu tahap perkembangan tertentu akan muncul skema atau
struktur tertentu yang keberhasilannya pada setiap tahap amat bergantung pada tahap
sebelumnya.
Adapun tahapan-tahapan tersebut adalah:
a. Tahap Sensori Motor(dari lahir sampai kurang lebih umur dua tahun)
Dalam dua tahun pertama kehidupan bayi ini, dia dapat sedikit memahami
lingkungannya dengan jalan melihat, meraba atau memegang, mengecap,
mencium dan menggerakan. Dengan kata lain mereka mengandalkan

15
kemampuan sensorik serta motoriknya. Anak tersebut mengetahui bahwa
perilaku yang tertentu menimbulkan akibat tertentu pula bagi dirinya. Misalnya
dengan menendang-nendang dia tahu bahwa selimutnya akan bergeser darinya.
b. Tahap Pra-operasional ( kurang lebih umur dua tahun hingga tujuh tahun)
Dalam tahap ini sangat menonjol sekali kecenderungan anak-anak itu untuk
selalu mengandalkan dirinya pada persepsinya mengenai realitas. Dengan
adanya perkembangan bahasa dan ingatan anakpun mampu mengingat banyak
hal tentang lingkungannya. Intelek anak dibatasi oleh egosentrisnya yaitu ia
tidak menyadari orang lain mempunyai pandangan yang berbeda dengannya.
c. Tahap Operasi Konkrit (kurang lebih tujuh sampai sebelas tahun) Dalam tahap
ini anak-anak sudah mengembangkan pikiran logis. Dalam upaya mengerti
tentang alam sekelilingnya mereka tidak terlalu menggantungkan diri pada
informasi yang datang dari pancaindra. Anak-anak yang sudah mampu berpikir
secara operasi konkrit sudah menguasai sebuah pelajaran yang penting yaitu
bahwa ciri yang ditangkap oleh pancaindra seperti besar dan bentuk sesuatu,
dapat saja berbeda tanpa harus mempengaruhi misalnya kuantitas. Anak-anak
sering kali dapat mengikuti logika atau penalaran, tetapi jarang mengetahui bila
membuat kesalahan.
d. Tahap Operasi Formal (kurang lebih umur sebelas tahun sampai limabelas
tahun) Selama tahap ini anak sudah mampu berpikir abstrak yaitu berpikir
mengenai gagasan. Anak dengan operasi formal ini sudah dapat memikirkan
beberapa alternatif pemecahan masalah. Mereka dapat mengembangkan
hukum-hukum yang berlaku umum dan pertimbangan ilmiah. Pemikirannya
tidak jauh karena selalu terikat kepada hal-hal yang besifat konkrit, mereka
dapat membuat hipotesis dan membuat kaidah mengenai hal-hal yang bersifat
abstrak.
Implikasi dari hal ini adalah ketika seorang anak sudah dapat mengawetkan
besaran suatu unsur dengan mengenali bahwa besaran dari benda tersebut sama
terlepas dari bentuknya anak secara rasional dapat diduga akan mengawetkan
konsep berat, karena struktur antara konsep besaran dan berat sama. Ternyata

16
bersadar pada studi eksperimental yang dilakukan oleh para peneliti hal ini
tidak sepenuhnya benar.
Hal ini dianggap sebagai sebuah penyimpangan. Penyimpangan yang
dimaksud adalah terjadinya perbedaan cara dalam memperoleh sebuah struktur
yang sama oleh seorang individu. Dari beberapa hasil pengembangan penelitian
dalam teori ini ternyata penyimpangan ini lazim terjadi sebagaimana
diungkapkan oleh Biggs dan Collis (1982).
Fakta ini memicu sebuah pengembangan teori dari teori Piaget yang
dikenal dengan neo-Piagetian theories. Biggs dan Collis adalah peneliti yang
turut melakukan dan analisis teori belajar Piaget. Salah satu isu utama yang
dikaji oleh kedua peneliti ini berkaitan dengan struktur kognitif. Teori mereka
dikenal dengan Structure of Observed Learning Outcomes (SOLO). Biggs dan
Collis (1982: 22) membedakan antara “generalized cognitive structure” atau
struktur kognitif umum anak dengan “actual respon” atau respon langsung
anak ketika diberikan perintah-perintah. Mereka menerima kebeadaan konsep
struktur kognitif umum namun mereka menyakini bahwa hal tersebut tidak
dapat diukur langsung sehingga perlu mengacu pada sebuah “hypothesized
cognitive structure” (HCS) atau struktur kognitif hipotesis.
Menurut mereka HCS ini relative lebih stabil dari waktu ke waktu serta
bebas dari pengaruh pembelajaran disaat anak diukur menggunakan taxonomi
SOLO dalam menyelesaikan suatu tugas tertentu. Penekan pada suatu tugas
tertentu sangat penting seperti yang diasumsikan dalam taksonomi SOLO
bahwa penampilan seseorang sangatlah beragam dalam menyelesaikan satu
tugas dengan tugas lainnya, hal ini berkaitan erat dengan logika yang
mendasarinya, selanjutnya asumsi ini juga meliputi penyimpangan yang dalam
model ini dikatakan: Siswa dapat saja berada pada awal level formal dalam
matematika namun berada pada level awal konkrit dalam sejarah, atau bahkan
dapat terjadi, suatu hari siswa berada pada level formal di matematika namun
dilain hari dia masih berada pada level yang konkrit pada topik yang berbeda.
Hasil observasi seperti ini tidak dapat mengindikasikan terdapatnya
“pertukaran” dalam perkembangan kognitif yang berlangsung, tetapi sedikit

17
pertukaran terjadi pada konstruksi yang lebih proximal , pembelajaran,
penampilan atau motivasi.
Biggs & Collis (1991:60) Dari uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa
teori tersebut lebih menekankan pada analisis terhadap kualitas respon anak.
Untuk melihat respon anak diperlukan butir-butir rangsangan. Dan butir-butir
rangsangan dalam konteks ini tidak difokuskan untuk melihat kebenaran dari
jawaban saja melainkan lebih pada melihat struktur alamiah dari respon siswa
dan perubahannya dari waktu ke waktu. Untuk menjelaskan konsep
“pertukaran” yang terjadi dalam pertumbuhan kognitif yang tidak biasa
diantara anak-anak sekolah, Biggs & Collis (1991: 60) menyediakan suatu level
tersendiri yang diberi nama “post formal mode”. Bagaimanapun juga terdapat
satu perbedaan penting dari teori yang dikemukakan Piaget yaitu ketika mode
atau level baru mulai muncul, ini tidak akan menggantikan level yang lama
begitu saja melainkan dapat berkembang bersamaan.
Oleh karena itu mode-model tersebut tumbuh sejak lahir hingga dewasa.
Level terakhir adalah batas tertinggi dari proses abstraksi yang dapat
ditunjukkan anak, bukan seluruh penampilan yang harus menyesuaikan dengan
level-nya. Secara khusus, ketika semakin banyak mode yang memungkinkan
maka multi-modal fungsioning menjadi normanya.
Berikut adalah 5 mode yang diutarakan oleh Biggs dan Collis:
1. Mode Sensorimotor
Fokus perhatian pada mode ini adalah lingkungan fisik sekitar anak. Anak
membangun kemampuan untuk melakukan koordinasi dan mengatur interaksinya
dengan lingkungan sekitar. Perkembangan yang berkelanjutan pada mode ini
ditunjukkan oleh kegiatan-kegiatan fisik ketika diperolehnya tacit knowledge.
2. Mode Iconic
Pada mode ini symbol-simbol dan gambar digunakan untuk merepresentasikan
elemen-elemen yang diperolehnya pada mode sensorimotor. Tanda-tanda
tersebut digunakan sebagai peran pengganti dari komunikasi oral.
Ciri-ciri dari anak yang berada pada mode ini antara lain sering menggunakan
strategi menebak, senang menggunakan alat peraga dan senang membuat

18
gambaran-gambaran mental. Mode sensorimotor dan iconic adalah mode-mode
alamiah dari seorang manusia yang berkembang secara alamiah juga. Sedangkan
target pertama dari sekolah formal ada pada mode concrete symbolic.
3. Mode Concrete Symbolic
Pada mode ini anak mengalami “pertukaran” dalam proses abstraksi. Mereka
mulai merepresentasikan dunia fisik melalui bahasa oral ke dalam bentuk tulisan,
yaitu sebuah system symbol yang akan mereka gunakan dalam kehidupannya di
dunia. Sebuah system symbol memiliki tingkatan dan logika internal yang dapat
memfasilitasi sebuah hubungan antara sistem simbol dan lingkungan fisik di
sekitarnya. Sistem symbol yang digunakan di sekolah antara lain adalah
matematika dan bahasa. Mode concrete symbolic adalah mode terbesar sebagai
target dari matematika sekolah. Karena dalam matematika anak menggambarkan
dan mengoperasikan objek-objek yang berada di sekitarnya.
4. Mode Formal
Pada mode ini titik berat kemampuan sesorang adalah pada kemampuan
mengkonstruksi teori tanpa bantuan contoh benda konkrit. Kemampuan berpikir
pada tahap ini meliputi membuat formula hipotesis dan membuat penalaran yang
proporsional. Oleh karena itu kemampuan ini dituntut pada mahasiswa-
mahasiswa di Perguruan Tinggi.
5. Mode Post Formal
Keberadaan mode ini lebih menekankan pada pembuatan hipotesis secara
deduktif dari pada penyusunan teori berdasarkan bukti-bukti empiris.
Karakteristik terpenting dari mode ini adalah kemampuan untuk bertanya tentang
prinsip-prinsip mendasar dari sesuatu hal. Taksonomi SOLO ini terdiri dari lima
tahap yang dapat menggambarkan perkembangan kemampuan berpikir kompleks
pada siswa dan dapat diterapkan di berbagai bidang.
Berikut adalah tahapan respon berpikir berdasar taksonomi SOLO:
a. Tahap Pre-Structural
Pada tahap ini siswa hanya memiliki sangat sedikit sekali informasi yang bahkan
tidak saling berhubungan, sehingga tidak membentuk sebuah kesatuan konsep
sama sekali dan tidak mempunyai makna apapun.

19
b. Tahap Uni-Structural
Pada tahap ini terlihat adanya hubungan yang jelas dan sederhana antara satu
konsep dengan konsep lainnya tetapi inti konsep tersebut secara luas belum
dipahami. Beberapa kata kerja yang dapat mengindikasi aktivitas pada tahap ini
adalah; mengindentifikasikan, mengingat dan melakukan prosedur sederhana.
c. Tahap Multi-Structural
Pada tahap ini siswa sudah memahami beberapa komponen namun hal ini masih
bersifat terpisah satu sama lain sehingga belum membentuk pemahaman secara
komprehensif. Beberapa koneksi sederhana sudah terbentuk namun demikian
kemampuan meta-kognisi belum tampak pada tahap ini. Adapun beberapa kata
kerja yang mendeskripsikan kemampuan siswa pada tahap ini antara lain;
membilang atau mencacah, mengurutkan, mengklasifikasikan, menjelaskan,
membuat daftar, menggabungkan dan melakukan algoritma.
d. Tahap Relational.
Pada tahap ini siswa dapat menghubungkan antara fakta dengan teori serta
tindakan dan tujuan. Pada tahap ini siswa dapat menunjukan pemahaman
beberapa komponen dari satu kesatuan konsep, memahami peran bagian-bagian
bagi keseluruhan serta telah dapat mengaplikasikan sebuah konsep pada
keadaankeadaan yang serupa. Adapun kata kerja yang mengidikasikan
kemampuan pada tahap ini antara lain; membandingkan, membedakan,
menjelaskan hubungan sebab akibat, menggabungkan, menganalisis,
mengaplikasikan, menghubungkan.
e. Tahap Extended Abstract
Pada tahap ini siswa melakukan koneksi tidak hanya sebatas pada konsep-konsep
yang sudah diberikan saja melainkan dengan konsep-konsep diluar itu. Dapat
membuat generalisasi serta dapat melakukan sebuah perumpamaan-
perumpamaan pada situasi-situasi spesifik. Kata-kerja yang merefleksikan
kemampuan pada tahap ini antara lain, membuat suatu teori, membuat hipotesis,
membuat generalisasi, melakukan refleksi serta membangun suatu konsep.

20
2.3 TEORI BELAJAR HUMANISME

Pengertian humanistik yang beragam membuat batasan-batasan aplikasinya dalam dunia


pendidikan mengundang berbagai macam arti pula. Sehingga perlu adanya satu pengertian
yang disepakati mengenai kata humanistik dala pendidikan. Dalam artikel “What is
Humanistik Education?”, Krischenbaum menyatakan bahwa sekolah, kelas, atau guru dapat
dikatakan bersifat humanistik dalam beberapa kriteria. Hal ini menunjukkan bahwa ada
beberapa tipe pendekatan humanistik dalam pendidikan. Ide mengenai pendekatan-
pendekatan ini terangkum dalam psikologi humanistik.

Dalam artikel “some educational implications of the Humanistic Psychologist” Abraham


Maslow mencoba untuk mengkritisi teori Freud dan behavioristik. Menurut Abraham, yang
terpenting dalam melihat manusia adalah potensi yang dimilikinya. Humanistik lebih melihat
pada sisi perkembangan kepribadian manusia daripada berfokus pada “ketidaknormalan”
atau “sakit” seperti yang dilihat oleh teori psikoanalisa Freud. Pendekatan ini melihat
kejadian setelah “sakit” tersebut sembuh, yaitu bagaimana manusia membangun dirinya
untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak positif ini yang disebut sebagai
potensi manusia dan para pendidik yang beraliran humanistik biasanya memfokuskan
penganjarannya pada pembangunan kemampuan positif ini.

Kemampuan positif disini erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang
terdapat dalam domain afektif, misalnya ketrampilan membangun dan menjaga relasi yang
hangat dengan orang lain, bagaimana mengajarkan kepercayaan, penerimaan, keasadaran,
memahami perasaan orang lain, kejujuran interpersonal, dan pengetahuan interpersonal
lainnya. Intinya adalah meningkatkan kualitas ketrampilan interpersonal dalam kehidupan
sehari-hari. Selain menitik beratkan pada hubungan interpersonal, para pendidikan yang
beraliran humanistik juga mencoba untuk membuat pembelajaran yang membantu anak didik
untuk meningkatkan kemampuan dalam membuat, berimajinasi, mempunyai pengalaman,
berintuisi, merasakan, dan berfantasi. Pendidik humanistik mencoba untuk melihat dalam
spektrum yang luas mengenai perilaku manusia. “Berapa banyak hal yang bisa dilakukan
manusia? Dan bagaimana aku bisa membantu mereka untuk melakukan hal-hal tersebut
dengan lebih baik?

21
Melihat hal-hal yang diusahakankan oleh para pendidik humanistik, tampak bahwa
pendekatan ini mengedepankan pentingnya emosi dalam dunia pendidikan. Freudian melihat
emosi sebagai hal yang mengganggu perkembangan, sementara humanistik melihat
keuntungan pendidikan emosi. Jadi bisa dikatakan bahwa emosi adalah karakterisitik yang
sangat kuat yang nampak dari para pendidik beraliran humanistik. Karena berpikir dan
merasakan saling beriringan, mengabaikan pendidikan emosi sama dengan
mengabaikansalah satu potensi terbesar manusia.

Kita dapat belajar menggunakan emosi kita dan mendapat keuntungan dari pendekatan
humanistik ini sama seperti yang kita dapatkan dari pendidikan yang menitikberatkan
kognisi.

Tokoh Teori Belajar Humanistik:

a) Arthur Combs (1912-1999)


Bersama dengan Donald Snygg (1904-1967) mereka mencurahkan banyak perhatian
pada dunia pendidikan. Meaning (makna atau arti) adalah konsep dasar yang sering
digunakan. Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa
memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan mereka.
Anak tidak bisa matematika atau sejarah bukan karena bodoh tetapi karena mereka
enggan dan terpaksa dan merasa sebenarnya tidak ada alasan penting mereka harus
mempelajarinya. Perilaku buruk itu sebenarnya tak lain hanyalah dari
ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan
kepuasan baginya.
Untuk itu guru harus memahami perilaku siswa dengan mencoba memahami
dunia persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus
berusaha merubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada. Perilaku internal
membedakan seseorang dari yang lain. Combs berpendapat bahwa banyak guru
membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi
pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal arti tidaklah
menyatu pada materi pelajaran itu. Sehingga yang penting ialah bagaimana membawa
si siswa untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut dan
menghubungkannya dengan kehidupannya.

22
Combs memberikan lukisan persepsi diri dan dunia seseorang seperti dua
lingkaran (besar dan kecil) yang bertitik pusat pada satu. Lingkaran kecil (1) adalah
gambaran dari persepsi diri dan lingkungan besar (2) adalah persepsi dunia. Makin
jauh peristiwa-peristiwa itu dari persepsi diri makin berkurang pengaruhnya terhadap
perilakunya. Jadi, hal-hal yang mempunyai sedikit hubungan dengan diri, makin
mudah hal itu terlupakan.
b) Abraham Maslow Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya
untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarkis. Pada diri masing-masing orang
mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau
berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang
sudah ia miliki dan sebagainya, tetapi di sisi lain seseorang juga memiliki dorongan
untuk lebih maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua
kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia
dapat menerima diri sendiri (self).
Abraham Maslow dikenal sebagai pelopor aliran psikologi humanistik. Maslow
percaya bahwa manusia tergerak untuk memahami dan menerima dirinya sebisa
mungkin. Teorinya yang sangat terkenal sampai dengan hari ini adalah teori tentang
Hierarchy of Needs (Hirarki Kebutuhan).
Menurut Maslow, manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
hidupnya. Kebutuhan kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai dari
yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi
diri). Adapun hirarki kebutuhan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Kebutuhan fisiologis / dasar
2) Kebutuhan akan rasa aman dan tentram
3) Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi
4) Kebutuhan untuk dihargai
5) Kebutuhan untuk aktualisasi diri
c) Carl Rogers Carl Ransom Rogers dilahirkan di Oak Park, Illinois, pada tahun 1902
dan wafat di LaJolla, California, pada tahun 1987. Semasa mudanya, Rogers tidak
memiliki banyak teman sehingga ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk
membaca. Dia membaca buku apa saja yang ditemuinya termasuk kamus dan

23
ensiklopedi, meskipun ia sebenarnya sangat menyukai buku-buku petualangan. Ia
pernah belajar di bidang agrikultural dan sejarah di University of Wisconsin. Pada
tahun 1928 ia memperoleh gelar Master di bidang psikologi dari Columbia University
dan kemudian memperoleh gelar Ph.D di dibidang psikologi klinis pada tahun 1931.
Pada tahun 1931, Rogers bekerja di Child Study Department of the Society for
the prevention of Cruelty to Children (bagian studi tentang anak pada perhimpunan
pencegahan kekerasan tehadap anak) di Rochester, NY. Pada masamasa berikutnya ia
sibuk membantu anak-anak bermasalah/nakal dengan menggunakan metode-metode
psikologi. Pada tahun 1939, ia menerbitkan satu tulisan berjudul “The Clinical
Treatment of the Problem Child”, yang membuatnya mendapatkan tawaran sebagai
profesor pada fakultas psikologi di Ohio State University. Dan pada tahun 1942,
Rogers menjabat sebagai ketua dari American Psychological Society.
Carl Rogers adalah seorang psikolog humanistik yang menekankan perlunya
sikap saling menghargai dan tanpa prasangka (antara klien dan terapist) dalam
membantu individu mengatasi masalah-masalah kehidupannya. Rogers menyakini
bahwa klien sebenarnya memiliki jawaban atas permasalahan yang dihadapinya dan
tugas terapist hanya membimbing klien menemukan jawaban yang benar. Menurut
Rogers, teknik-teknik assessment dan pendapat para terapist bukanlah hal yang
penting dalam melakukan treatment kepada klien.
Menurut Rogers yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya
guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, yaitu:
1) Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa tidak
harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.
2) Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya. Pengorganisasian
bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian
yang bermakna bagi siswa
3) Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru
sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
4) Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses.

24
Dari bukunya Freedom To Learn, ia menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip dasar
humanistik yang penting diantaranya ialah :
 Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami.
 Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid
mempunyai relevansi dengan maksud-maksud sendiri.
 Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri
diangap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
 Tugas-tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan dan
diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.
 Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan
berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.
 Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.
 Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut
bertanggungjawab terhadap proses belajar itu.
 Belajar inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan
maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam
dan lestari.
 Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas, lebih mudah dicapai
terutama jika siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengritik dirinya sendiri
dan penilaian dari orang lain merupakan cara kedua yang penting.
 Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah
belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap
pengalaman dan penyatuannya ke dalam diri sendiri mengenai proses perubahan
itu.

2.4 TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME

Menurut teori belajar konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja
dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental
membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya.

25
Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan
berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.

Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan dalam
teori belajar konstruktivisme sebagai berikut.

1. Peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna.

2. Pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna.

3. Mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.

Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip
utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan
tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua,
fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata
yang dimiliki anak.

Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara


aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan
melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4) mengatakan bahwa
seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang
telah diketahui orang lain.

Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang
lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut. Selain penekanan
dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme,
Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran,
yaitu:

 Siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka


miliki
 Pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti
 Strategi siswa lebih bernilai, dan

26
 Siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu
pengetahuan dengan temannya.

Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20)


mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai
berikut:

1. Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa


sendiri.
2. Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga
menjadi lebih kreatif dan imajinatif.
3. Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru.
4. Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa.
5. Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan
6. Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.

Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang


mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa
dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas
apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih
diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan
akomodasi.
Hakikat Pembelajaran Menurut Teori Belajar Konstruktivisme Teori-teori baru dalam
psikologi pendidikan dikelompok dalam teori pembelajaran konstruktivis (constructivist
theories of learning). Teori konstruktivis ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan
sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan
aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Bagi siswa
agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja
memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah
payah dengan ide-ide. Teori ini berkembang dari kerja Piaget, Vygotsky, teori-teori
pemrosesan informasi, dan teori psikologi kognitif yang lain, seperti teori Bruner (Slavin
dalam Nur, 2002: 8).

27
Menurut teori konstruktivis ini, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi
pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa.
Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat memberikan
kemudahan untuk proses ini, dengan memberi kesempatan siswa untuk menemukan atau
menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar
menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberi siswa anak tangga
yang membawa siswa ke pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri yang
harus memanjat anak tangga tersebut Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori
belajar konstruktivisme, pengertahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru
ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur
pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa
tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan
sesuai dengan kehendak guru.
Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan
dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut.
1. Pertama adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna.
2. Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara
bermakna.
3. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.

Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama
dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme.
1. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur
kognitif siswa.
2. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui
pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak
secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu
pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4)
mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu
didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari

28
suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan
mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.
Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori
belajar konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam
kaitannya dengan pembelajaran, yaitu
 Siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang
mereka miliki,
 Pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti,
 Strategi siswa lebih bernilai, dan
 Siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman
dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20)
mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai
berikut:
 emberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan
bahasa sendiri,
 Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya
sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif,
 Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru,
 Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki
siswa,
 Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan
 Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.

29
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu
kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam
mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa
yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan
untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.
3.2 Saran
Tentunya terhadap penulis sudah menyadari jika dalam penyusunan makalah di atas masih
banyak ada kesalahan serta jauh dari kata sempurna. Adapun nantinya penulis akan segera
melakukan perbaikan susunan makalah ini dengan menggunakan pedoman dari beberapa
sumber dan kritik yang bisa membangun dari para pembaca.

30
DAFTAR PUSTAKA

Freddy Widya Ariesta, S. M. (2021, Juli 7). IMPLEMENTASI TEORI BELAJAR BEHAVIORISME DALAM
PANDANGAN EDWARD THORNDIKE. Retrieved Agustus 24, 2022, from pgsd.binus.ac.id:
https://pgsd.binus.ac.id/2021/07/07/implementasi-teori-belajar-behaviorisme-dalam-pandangan-
edward-thorndike/#:~:text=Thorndike%20menyatakan%20pandangan%20bahwa%20tipe,memberikan
%20manifestasinya%20dalam%20bentuk%20perilaku.

Freddy Widya Ariesta, S. M. (2021, Juli 8). IMPLEMENTASI TEORI BELAJAR KOGNITIVISME DALAM
PANDANGAN JEAN PIAGET DAN JEROME BRUNER. Retrieved Agustus 24, 2022, from
/pgsd.binus.ac.id: https://pgsd.binus.ac.id/2021/07/08/implementasi-teori-belajar-
kognitivisme-dalam-pandangan-jean-piaget-dan-jerome-bruner/

LESILOLO, H. J. (2019, Juni 10). PENERAPAN TEORI BELAJAR SOSIAL ALBERT BANDURA DALAM PROSES
BELAJAR MENGAJAR DI SEKOLAH. Retrieved Agustus 24, 2022, from www.researchgate.net:
https://www.researchgate.net/publication/339025465_PENERAPAN_TEORI_BELAJAR_SOSIAL_A
LBERT_BANDURA_DALAM_PROSES_BELAJAR_MENGAJAR_DI_SEKOLAH

Muhammad Turmuzi, S. M. (n.d.). buku_strategi pemebelajaran matematika. Retrieved Agustus 24,


2022, from daring.unram.ac.id:
https://daring.unram.ac.id/pluginfile.php/544611/mod_resource/content/1/buku_strategi
%20pemebelajaran%20matematika%20-%20m.turmuzi.pdf

nftama77. (2016, Oktober 16). Teori belajar kognitif ( gestalt dan teori medan). Retrieved Agustus 24,
2022, from /www.slideshare.net: https://www.slideshare.net/nftama77/teori-belajar-kognitif-
gestalt-dan-teori-medan

pia0283. (2021, Oktober 15). Teori Belajar Robert M. Gagne. Retrieved Agustus 24, 2022, from
www.kompasiana.com:
https://www.kompasiana.com/sitiapia8446/6169372f01019049b8795d62/teori-belajar-robert-
m-gagne

31
sereliciouz. (2022, Maret 1). Teori Belajar Humanistik – Pengertian, Manfaat, Langkah. Retrieved
Agustus 24, 2022, from www.quipper.com: https://www.quipper.com/id/blog/info-guru/teori-
belajar-humanistik/#:~:text=Arthur%20Combs,-Arthur%20Combs%20seorang&text=Combs
%20berpendapat%20bahwa%20belajar%20merupakan,disukai%20oleh%20individu%20yang
%20bersangkutan.

32

Anda mungkin juga menyukai