Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PSIKOLOGI PENDIDIKAN

Tentang

Teori Belajar Behaviorisme

Oleh

Kelompok 4:

Prayeska : 1814040060
Triyola Monika : 1814040061
Mega Fitria W :1814040067

Dosen Pembimbing:

HALLEN A,

JURUSAN TADRIS MATEMATIKA (B)

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN IMAM BONJOL PADANG

1441 H/ 2020 M
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi
limpahan rahmat dan kasih sayang kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini
yang diajukan untuk melengkapi tugas makalah mata kuliah Psikologi Pendidikan dengan
judul teori - teori belajar behaviorisme serta aplikasinya dalam pendidikan

Shalawat dan salam buat nabi junjungan alam yakni nabi Muhammad saw yang telah
membimbing kita menuju zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini.
Dalam kesempatan ini pemakalah ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang
telah membantu penulis menyusun dan menyelesaikan makalah ini, terutama kepada
pembimbing dan teman-teman

Pemakalah menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, kepada pembimbing
dan teman-teman mohon saran-sarannya apabila menemukan kejanggalan dalam makalah ini,
untuk dijadikan pegangan dan upaya peningkatan selanjutnya lebih baik.

Akhirnya,pemakalah berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pihak yang
sempat membaca makalah ini pada umumnya dan bagi penulis sendiri khususnya

Padang, 13 Maret 2020

Pemakalah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
A. LatarBelakang..................................................................................................1

B. RumusanMasalah.............................................................................................1

C. Tujuan..............................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
A. Teori Belajar dan Perubahan Paradigma Belajar...........................................3

B. Teori-Teori Behaviorisme..............................................................................4

1. Teori Connectionisme…………………………………………………..4

2. Teori Classical Conditioning……………………………………….......6

3. Teori Operant Conditioning…………………………………………….8

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan....................................................................................................14

B. Saran...............................................................................................................14

KEPUSTAKAAN

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Teori belajar merupakan landasan terjadinya suatu proses belajar yang menuntun
terbentuknya kondisi untuk belajar. Teori belajar dapat didefenisikan sebagai integrasi
prinsip-prinsip yang menuntun di dalam merancang kondisi demi tercapainya tujuan
pendidikan. Teori belajar akan memberikan kemudahan bagi guru dalam menjalankan
model-model pembelajaran yang akan dilaksanakan. Banyak ditemukan teori belajar yang
menitik beratkan pada perubahan tingkah laku setelah proses pembelajaran.
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber
belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan
pendidik agar dapat terjadi proses perolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan
kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik.
Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat
belajar dengan baik.
Kita dapat menyimpulkan bahwa pembelajaran telah terjadi ketika seorang
individu berperilaku, bereaksi, dan merespon sebagai hasil dari pengalaman dengan satu
cara yang berbeda dari caranya berperilaku sebelumnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Teori belajar Behaviorisme ?
2. Bagaimana konsep belajar Connectionisme ?
3. Bagaiaman Konsep belajar Classical Conditioning ?
4. Bagaimana Konsep belajar Operant Conditioning ?
5. Bagaimana aplikasi konsep belajar menurut teori behaviorisme dalam
pendidikan ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Teori belajar Behaviorisme
2. Untuk mengetahui bagaimana konsep belajar Connectionisme
3. Untuk mengetahui bagaiaman Konsep belajar Classical Conditioning

1
4. Untuk mengetahui bagaimana Konsep belajar Operant Conditioning
5. Untuk mengetahui bagaimana aplikasi konsep belajar menurut teori behaviorisme
dalam pendidikan

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Teori Belajar dan Perubahan Paradigma Belajar


Menurut Wheeler dkk. (dalam Association for Educational Communication and
Technology, 1994), teori adalah suatu prinsip yang menerangkan sejumlah hubungan
antara berbagai fakta dan meramalkan hasil – hasil baru berdasarkan fakta – fakta
tersebut, sedangkan teori belajar dapat dipahami sebagai prinsip umum atau kumpulan
prinsip yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atas sejumlah fakta atau
penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar.
Semua teori belajar memiliki 4 fungsi (Suppes, dalam Bell – Gredler, 1986) yaitu;
1. Menjadi kerangka bagi pelaksanaan penelitian
2. Memberikan pengorganisasian kerangka kerja bagi item informasi tertentu
3. Mengungkapkan kompleksitas peristiwa – peristiwa sederhana secara jelas
4. Mengorganisasi ulang pengalaman sebelumnya.
Perkembangan sebuah teori termasuk teori belajar tidak bisa terlepas dari
paradigma yang melingkupinya. Paradigma adalah prestasi ilmiah berupa praktik ilmiah
aktual yang diterima mencakup hukum, teori, aplikasidan instrumentasi yang menjadi
model yang melahirkan tradisi – tradisi yang koheren dengan penelitian ilmiah (Kuhn,
1970).
Dalam sejarah perkembangan teori belajar, setidaknya telah terjadi tiga pergantian
paradigma. pertama paradigma behavioristik yang menekankan proses belajar sebagai
perubahan relatif permanen pada perilaku yang dapat diamati dam timbul sebagai hasil
pengalaman (Mazur, dalam Eggen dan Kauchak, 1997). Dengan demikian, penekanan
hanya pada perilaku yang dapat dilihat, tanpa memerhatikan perubahan – perubahan atau
proses – proses internal apapun yang terlibat didalamnya. Kedua paradigma kognitif yang
berpendapat bahwa belajar tidak hanya ditujukan oleh perubahan perilaku yang dapat
diamati, akan tetapi belajar adalah perubahan struktur mental seseorang yang memberikan
kapasitas padanya untuk melanjutkan perubahan perilaku. Struktur mental ini meliputi
pengetahuan,keyakinan, keterampilan, harapan dan mekanisme lainnya. Ketiga

3
paradigma konstruktivis yang memandang belajar sebagai proses konstruksi
pengetahuan oleh individu berdasarkan pengalaman.
B. Teori – Teori Belajar Behaviorisme
Behaviorisme merupakan salah satu aliran psikologi yang memandang individu
hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek-aspek mental. Denga kata
lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu
dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian
rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Dalam konsep behavioral,
perilaku manusia merupakan hasil belajar, sehingga dapat diubah dengan memanipulasi
dan mengkreasi kondisi-kondisi belajar. Teori belajar behaviorisme sangat menekankan
perilakau atau tingkah laku yang dapat diamati. Teori-teori dalam rumpun ini sangat
bersifat molekular, karena memandang kehidupan individu terdiri atas unsur-unsur seperti
halnya molekul-molekul.

Teori Behavioristik merupakan teori belajar yang sangat menekankan perilaku


atau tingkah laku yang dapat diamati. Paradigma behavioristik menekankan proses belajar
sebagai perubahan relatif permanen pada perilaku yang dapat diamati dan timbul sebagai
hasil pengalaman. Dengan demikian, perubahan perilaku yang disebabkan oleh sakit,
distres emosional, atau kematangan tidak dapat disebut sebagai belajar.

Ada banyak teori belajar yang termasuk dalam paradigma behavioristik. Diantaranya
yakni;

1. Teori Connectionism
Teori Connectionism ditemukan dan dikembangkan oleh Edward L.
Thorndike (1874 – 1949). Menurut Thorndike, seluruh kegiatan belajar adalah
didasarkan pada jaringan asosiasi atau hubungan (bonds) yang dibentuk antara
stimulus dan respons. Karena itu, teori ini disebut juga S-R bond Theory atau S-R
psychology of learning. Asumsinya bahwa otak siswa dapat menyerap dan
menyimpan jejak – jejak mental aspek individual dari sebuah situasi. Bila aspek –
aspek tersebut dirasakan, mereka mengaktifkan jejak mental yang berhubungan. Jejak
mental tersebut pada gilirannya berkaitan secara kolektif dengan respons – respons
khusus. Bila asosiasi tersebut terbentuk utuh, setiap waktu bila seorang siswa
dihadapkan pada suatu situasi maka ia pasti akan menunjukkan respon tertentu.

4
Selain itu teori ini juga disebut dengan trial and error learning. Hal ini karena
hubungan yang terbentuk antara stimulus dan respons tersebut timbul terutama
melalui trial and error, yaitu suatu upaya mencoba berbagai respons untuk mencapai
stimulus meski berkali – kali mengalami kegagalan. Proses ini kemudian oleh
Thorndike juga disebut Connectionisme atau Learning by Selecting and Connecting.
Dalam percobaannya, Thorndike menggunakan berbagai jenis hewan,
diantaranya kucing. Pertama – tama kucing diletakkan didalam sangkar berjeruji
(puzzle box) yang dilengkapi dengan peralatan seperti tuas pengungkit, gerendel pintu,
dan tali yang menghubungkan tuas dan gerendel. Peralatan tersebut dipasang
sedemikian rupa sehingga memungkinkan kucing tersebut untuk dapat membuka
sangkar dan menjangkau makanan yang terletak didepan sangkar, dengan suatu usaha.
Mula- mula kucing mengeong, mencakar, melompat dan berlari – larian, namun
berkali – kali usaha itu gagal. Kucing itu terus berusaha sehingga akhirnya berhasil,
pintu sangkar terbuka dan kucing dapat mencapai makanan.
Thorndike juga membuat rumusan hukum belajar. Tiga hukum belajar mayor
yang dikemukakan oleh Thorndike adalah: (a) law of readines (b) law of exercise dan
(c) law of effect.
a. Law of readines (hukum kesiapan)
Belajar akan terjadi bila ada kesiapan individu. Manakala
organisme, baik manusia maupun hewan, memiliki kesiapan untuk belajar,
maka ia akan mengalami kepuasan, tetapi jika ia tidak siap maka ia akan
mengalami kekecewaan. Thorndike percaya bahwa kesiapan adalah
kondisi belajar yang penting, karena kepuasan atau frustasi bergantung
pada kondisi kesiapan individu. Kalau individu tidak siap, ia akan
mengalami kegagalan dalam belajar, dan kegagalan tersebut akhirnya akan
menyebabkan ia menjadi frustasi. Oleh karena itu, sekolah tidak dapat
memaksa siswa untuk belajar jika mereka tidak siap, baik secara biologis
maupun psikologis.
b. Law of exercise (hukum latihan)
Perilaku sebagai hasil belajar terbentuk karena adanya hubungan
antara stimulus dan respons. Hubungan tersebut diperkuat atau diperlemah
oleh tingkat intensitas dan durasi pengulangan hubungan atau latihan. Jika
tidak terjadi latihan selama beberapa waktu, hubungan akan melemah.
Sebaliknya, hubungan akan bertambah kuat kalau ada latihan.

5
Implikasinya dalam proses pembelajaran, guru perlu memberikan
kesempatan latihan sebanyak mungkin pada siswa, sehingga mencapai
hasil yang diharapkan. Setelah tahun 1930, Thorndike merevisi hukum ini.
Latihan saja tidak cukup, latihan hanya akan membawa hasil bila diikuti
atau disertai hadiah (reward) atau hukuman (punishment).
c. Law of effect (hukum efek)
Jika sebuah respons menghasilkan hukum yang menyenangkan,
hubungan antara stimulus dan respons akan semakin kuat. Sebaliknya,
semakin tidak memuaskan efek yang dihasilkan respons, semakin lemah
pula hubungan stimulus respons tersebut tidak dimunculkan lagi.
Implikasinya dalam proses pembelajaran, guru perlu memberikan hadiah
bagi perilaku positif yang ditunjukkan oleh siswa, sebaliknya terhadap
perilaku negatif perlu diberikan hukuman. Setelah tahun 1930, Thorndike
juga merevisi hukum ini. Menurutnya, dalam keadaan dimana aksi simetris
mungkin dilakukan, hadiah lebih kuat pengaruhnya dari pada hukuman.

Meskipun Thorndike telah berupaya maksimal untuk menyusun teorinya,


namun kelemahan – kelemahan teori ini tetap ada. Diantaranya, teori ini tidak
membahas bagaimana siswa mengatur diri mereka dalam belajar akan tetapi lebih
pada bagaimana guru mengatur belajar siswa. Selain itu, Thorndike percaya bahwa
pembentukan ikatan asosiatif melalui pengulangan dan reward merupakan bagian dari
kelengkapan alami manusia sebagaimana hewan. Meski demikian, saat ini masih
banyak guru yang dalam mengajar masih berstandar pada prinsip – prinsip Thorndike.

2. Teori Classic conditioning


Teori Classic conditioning berkembang berdasarkan eksperimen yang
dilakukan oleh Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936). Classic conditioning
( pengkondisian atau persyaratan klasik) adalah proses yang dikemukakan Pavlov
melalui percobaannya terhadap anjing, dimana perangsang asli dan netral dipasangkan
dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang
diinginkan. Eksperimen-eksperimen yang dilakukan Pavlov dan ahli lain tampaknya
sangat terpengaruh pandangan behaviorisme, dimana gejala-gejala kejiwaan
seseorang dilihat dari perilakunya.

6
Untuk memahami teori kondisioning klasik secara menyeluruh perlu dipahami
ada dua jenis stimulus dan dua jenis respon. Dua jenis stimulus tersebut adalah :
a. Stimulus yang tidak terkondisi (unconditioned stimulus-UCS), yaitu stimulus
yang secara otomatis menghasilkan respon tanpa didahului dengan
pembelajaran apapun (contoh: makanan).
b. Stimulus terkondisi (conditioned stimulus-CS), yaitu stimulus yang
sebelumnya bersifat netral, akhirnya mendatangkan sebuah respon yang
terkondisi setelah diasosiasikan dengan stimulus tidak terkondisi (contoh :
suara bel sebelum makanan datang).
Bertitik tolak dari asumsinya bahwa dengan menggunakan rangsangan-
rangsangan tertentu, perilaku manusia dapat berubah sesuai dengan apa yang
diinginkan. Kemudian Pavlov mengadakan eksperimen dengan menggunakan
binatang (anjing) karena ia menganggap binatang memiliki kesamaan dengan
manusia. Namun demikian, dengan segala kelebihannya, secara hakiki manusia
berbeda dengan binatang.Ia mengadakan percobaan dengan cara mengadakan operasi
pipi pada seekor anjing.
Sehingga kelihatan kelenjar air liurnya dari luar. Apabila diperlihatkan sesuatu
makanan, maka akan keluarlah air liur anjing tersebut. Kini sebelum makanan
diperlihatkan, maka yang diperlihatkan adalah sinar merah terlebih dahulu, baru
makanan. Dengan sendirinya air liurpun akan keluar pula. Apabila perbuatan yang
demikian dilakukan berulang-ulang, maka pada suatu ketika dengan hanya
memperlihatkan sinar merah saja tanpa makanan maka air liurpun akan keluar pula.
Makanan adalah rangsangan wajar, sedang sinar merah adalah rangsangan
buatan. Ternyata kalau perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang,
rangsangan buatan ini akan menimbulkan syarat (kondisi) untuk timbulnya air liur
pada anjing tersebut. Peristiwa ini disebut : Refleks Bersyarat atau Conditioned
Respons.
Pavlov berpendapat, bahwa kelenjar-kelenjar yang lain pun dapat dilatih.
Bectrev murid Pavlov menggunakan prinsip-prinsip tersebut dilakukan pada manusia,
yang ternyata ditemukan banyak refleks bersyarat yang timbul tidak disadari manusia.
Melalui eksperimen tersebut Pavlov menunjukkan bahwa belajar dapat mempengaruhi
perilaku seseorang.
Faktor lain yang juga penting dalam teori belajar pengkondisian klasik Pavlov adalah
generalisasi,deskriminasi,dan pelemahan.

7
1) Generalisasi.
Dalam mempelajari respon terhadap stimulus serupa, anjing akan
mengeluarkan air liur begitu mendengar suara-suara  yang mirip dengan bel,
contoh suara peluit (karena anjing mengeluarkan air liur ketika bel
dipasangkan dengan makanan). Jadi, generalisasi melibatkan kecenderungan
dari stimulus baru yang serupa dengan stimulus terkondisi asli untuk
menghasilkan respon serupa. Contoh, seorang peserta didik merasa gugup
ketika dikritik atas hasil ujian yang jelek pada mata pelajaran matematika.
Ketika mempersiapkan ujian Fisika, peserta didik tersbut akan merasakan
gugup karena kedua pelajaran sama-sama berupa hitungan. Jadi kegugupan
peserta didik tersebut hasil generalisasi dari melakukan ujian mata pelajaran
satu kepada mata pelajaran lain yang mirip.
2) Deskriminasi.
Organisme merespon stimulus tertentu, tetapi tidak terhadap yang
lainnya. Pavlov memberikan makanan kepada anjing hanya setelah bunyi bel,
bukan setelah bunyi yang lain untuk menghasilkan deskriminasi. Contoh,
dalam mengalami ujian dikelas yang berbeda, pesrta didik tidak merasa sama
gelisahnya ketika menghadapi ujian bahasa Indonesia dan sejarah karena
keduanya merupakan subjek yang berbeda.
3) Pelemahan (extincition).
Proses melemahnya stimulus yang terkondisi dengan cara
menghilangkan stimulus tak terkondisi. Pavlov membunyikan bel berulang-
ulang, tetapi tidak disertai makanan. Akhirnya, dengan hanya mendengar
bunyi bel, anjing tidak mengeluarkan air liur. Contoh, kritikan guru yang terus
menerus pada hasil ujian yang jelek, membuat peserta didik tidak termotivasi
belajar. Padahal, sebelumnya peserta didik pernah mendapat nilai ujian yang
bagus dan sangat termotivasi belajar.
Dalam bidang pendidikan, teori kondisioning klasik digunakan untuk
mengembangkan sikap yang menguntungkan terhadap peserta didik untuk termotivasi
belajar dan membantu guru untuk melatih kebiasaan positif peserta didik.

3. Teori Operant Conditioning


Teori ini dikemukakan oleh BF. Skinner pada tahun 1930-an. Skinner lebih
menekankan pada operant response (instrumental response) yang timbul dan

8
berkembangnya diikuti oleh stimulus tertentu. Dinamakan operant conditioning
karena respons bereaksi terhadap lingkungan sebagai efek yang ditimbulkan oleh
reinforce.
Menurut Skinner, sebagian besar perilaku manusia adalah berupa respons atau
jenis perilaku operant. Kemungkinan modifikasi perilaku tersebut juga boleh
dikatakan tak terbatas. Fokus teori ini adalah bagaimana menimbulkan,
mengembangkan, dan memodifikasi perilaku operant tersebut dengan penguatan
(reinforcement).
Menurut Skinner, perilaku terbentuk oleh konsekuensi yang ditimbulkannya.
Konsekuensi yang menyenangkan (positive reinforcement atau reward) akan
membuat perilaku yang sama akan diulangi lagi, sebaliknya konsekuensi yang tidak
menyenangkan (negative reinforcement atau punishment) akan membuat perilaku
dihindari. Percobaan dilakukan dengan menggunakan hewan percobaan kucing,
anjing, dan anak ayam. Hewan percobaan yang dalam keadaan lapar diletakkan di
dalam kotak (puzzle box) yang dikondisikan sedemikian rupa sehingga setelah
memberikan urutan respons tertentu mengakibatkan munculnya butir-butir makanan.
Bila hewan tersebut mendorong palang pintu, menekan tuas, atau menunjukkan
perilaku lainnya, maka makanan muncul dalam wadah makanan. Munculnya butir-
butir makanan merupakan reinforcer bagi setiap perilaku yang di tunjukkan oleh
hewan percobaan. Reinfocer inilah yang merupakan stimulus yang meningkatkan
kemungkinan timbulnya respons-respons tersebut.

Beberapa prinsip Skinner antara lain :

a. Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah


dibetulkan,jika benar di beri penguat.
b. Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar.
c. Materi pelajaran, digunakan sistem modul.
d. Dalam proses pembelajaran tidak digunakan hukuman. Untuk itu lingkungan
perlu diubah untuk menghindari adanya hukuman.
e. Dalam proses pembelajaran, lebih dipentingkan aktivitas sendiri.
f. Tingkah laku yang di inginkan pendidik, diberi hadiah, dan sebaliknya hadiah
diberikan dengan digunakannya jadwal variabel Rasio reinforcer.
g. Dalam pembelajaran digunakan shaping.

9
Skinner membagi respons menjadi dua yaitu :

1. Respondent response ( reflexive response), yaitu respons yang ditimbulkan


oleh perangsang-perangsang tertentu. Perangsang-perangsang yang demikian
itu, yang disebut elicting stimuli, menimbulkan respons-respons yang relative
tetap, misalnya makanan yang menimbulkan keluarnya air liur. Pada
umumnya, perangsang-perangsang yang demikian itu mendahului respons
yang ditimbulkannya.
2. Operant response (instrumental response) yaitu respons yang timbul dan
berkembangnya diikuti oleh perangsang-perangsang tertentu. Perangsang
tersebut di sebut reinforcer. Peragsang tersebut memperkuat respons yang
dilakukan ole pelaku.

Prosedur pembentukan perilaku menurut Skinner :

a. Identifikasi kemungkinan reinforcer bagi perilaku yang akan di bentuk.


Pada tahap ini dilakukan identifikasi terhadap berbagai kemungkinan
reinforcer yang tepat sebagai stimulus bagi perilaku yang akan dibentuk. Yang
harus dipertimbangkan dalam proses ini adalah kuat lemahnya reinforcer bagi
subjek dan tingkat usia subjek.
b. Analisis komponen-komponen perilaku.
Pada tahap ini dilakukan perincian komponen-komponen yang terkandung
dalam perilaku yang ingin dibentuk. Komponen-komponen tersebut lalu
disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada terbentukanya perilaku.
Buatlah komponen yang serinci mungkin untuk memastikan bahwa
komponen-komponen tersebut bermuara pada perilaku dimaksud.
c. Identifikasi reinforcer untuk masing-masing.
Pada tahap ini, semua kemungkinan reinforcer yang dianggap potensial bagi
pembentukan setiap komponen perilaku diidentifikasi untuk kemudian
dipersiapkan.
d. Melaksanakan pembentukan perilaku sesuai urutan komponen perilaku sesuai
urutan komponen perilaku yang telah disusun.
Pada tahap ini, semua perencanaan pembentukan perilaku beserta komponen
dan reinforcernya dilaksanakan. Pemberian hadiah atau reward dilakukan

10
pada setiap komponen yang berhasil dilalui sampai tercapai perilaku yang di
inginkan.

Teori behavioristik banyak dikritik karena memiliki beberapa kelemahan dan sulit
diaplikasikan pada proses belajar manusia. Beberapa kritik yang sering dimunculkan
adalah :

1. Teori behavioristik sering kali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang
kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan
dan/atau belajar yang tidak dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan
respons. Teori ini juga mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang
terjadi dalam hubungan stimulus dan respons.
2. Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat
emosi dan berpikir pembelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan
yang sama. Tidak dapat dijelaskan mengapa dua anak yang mempunyai
kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya
terhadap pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat
kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan
respons yang dapat diamati. Mereka tidak memerhatikan adanya pengaruh emosi
dan pikiran yang turut membentuk perilaku seseorang.
3. Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pembelajar untuk berpikir linier,
konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar
merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pembelajar
menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak
bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang memengaruhi
proses belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping.

Implikasi teori behavioristik dalam pendidikan dan pembelajaran diantaranya adalah :

a. Tujuan pembelajaran ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan


belajar sebagai aktivitas “mimetic”, yang menuntut pembelajar untuk
mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah di pelajari dalam bentuk
laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada
keterampilan yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke
bagian keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat,

11
sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks atau buku wajib
dengan penekanan pada keterampilan mengungkapkan kambali isi buku tes atau
buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
b. Peran pendidik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi
pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu
keterampilan tertentu yang harus dicapai oleh para pembelajar. Kemudian, bagian-
bagian tersebut disusun secara hierarki, dari yang sederhana sampai yang
kompleks.
c. Peran pembelajar sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan
penguatan dari pendidik . proses pembelajaran kurang memberikan ruang gerak
yang bebas bagi pembelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi, dan
mengembangkan kemampuannya sendiri. Akibatnya pembelajar kurang mampu
untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka. Pembelajar
dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dahulu secara
ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar. Kegagalan
atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai
kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan
dikategorika sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga,
ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar.pembelajar
adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar
harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pembelajar.
d. Proses pembelajaran memandang bahwa pengetahuan adalah objektif, psti, tetap,
tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah
memindahkan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan
pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pembelajar.
Fungsi pkiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yang sudah ada
melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang
dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan ole karakteristik struktur
pengetahuan tersebut. Pembelajaran diharapkan akan memiliki pemahaman yang
sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh
pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid. Dalam hal ini faktor
penguatan (reinforment) dianggap penting.
e. Proses belajar terjadi akibat adanya interaksi antara stimulus dan respons
(salvin,2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat

12
menunjukkan perubahan perilakunya. Dalam belajar yang penting adalah input
yang berupa stimulus dan output yang berupa respons. Stimulus adalah apa saja
yang diberikan guru pada pembelajar, sedangkan respons berupa reaksi atau
tanggapan pembelajar terhadapstimulus yang diberikan guru tersebut. Proses yang
terjadi antara stimulus dan respons tidak penting untuk di perhatikan karena tidak
dapat diamati dan tidak dapat diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab
pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya
perubahan tingkah laku tersebut.
f. Evaluasi hasil belajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati
sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses
evaluasi. Evaluasi menekankan pada respons pasif, keterampilan secara terpisah,
dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut
jawaban yang benar. Maksudnya bila pembelajar menjawab secara “benar” sesuai
dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pembelajar telah
menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar di pandang sebagai bagian yang
terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai
kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan
pembelajar secara individual.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Teori Behavioristik merupakan teori belajar yang sangat menekankan perilaku


atau tingkah laku yang dapat diamati. Menurut teori Behavioristik, belajar merupakan
perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respons.
Tokoh aliran Behavioristik ini yang sangat terkenal yaitu Thorndike dengan
“Koneksionisme”, menurut teori ini tingkah laku manusia tidak lain dari suatu hubungan
antara perangsang-jawaban atau stimulus-respons. Pavlov dan Watson dengan
“Conditioning”, menurut teori ini belajar merupakan suatu upaya untuk mengkondisikan
pembentukan suatu perilaku atau respons terhadap sesuatu. Skinner dengan “Operant
Conditioning”, yaitu tipe perilaku belajar yang dipengaruhi oleh adanya penguatan-
penguatan.

Dengan demikian, maka tujuan dari teori behavioristik ini sebenarnya adalah
untuk menghilangkan tingkah laku yang salah dan membentuk tingkah laku baru yang
dipengaruhi oleh lingkungan.

B. Saran

Dari makalah ini diharapkan dapat menjadi bekal kita nantinya sebagai calon
pendidik agar tercapai tujuan pembelajaran yang efektif dan efesien. Dengan adanya
makalah tentang teori belajar behaviorisme ini, pemakalah mengharapkan pembaca untuk
dapat menggunakan dan mengaplikasinya dalam kehidupan sehari hari, khusus
pembelajaran matematika. Pemakalah menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini
masih terdapat kekurangan. Oleh sebab itu , pemakalah mengharapkan kritikan dan
masukan yang membangun.

14
DAFTAR PUSTAKA

Sumandi Suryabrata. 2014. Psikologi Pendidikan. PT RajaGrafindo Persada : Jakarta.

Nyanyu Khodijah. 2017. Psikologi Pendidikan. PT RajaGrafindo Persada : Jakarta.

Abu Ahmadi & Widodo Supriyono.1991. Psikologi Belajar. PT RINEKA CIPTA : Jakarta

15

Anda mungkin juga menyukai