PPs UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR 2023 BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Teori Belajar Behavioristik
Teori belajar behaviorisme ialah teori yang mempelajari perilaku manusia. Teori ini berfokus pada peran dari belajar dalam menjelaskan tingkah laku manusia dan terjadi melalui rangsangan atau stimulus yang menimbulkan hubungan perilaku yang reaktif atau respon. Dalam teori behaviorisme, tingkah laku sepenuhnya ditentukan oleh aturan, bisa diramalkan dan bisa ditentukan. Menurut teori ini, seseorang yang terlibat dalam tingkah laku tertentu karena telah mempelajarinya atau menghubungkan tingkah laku tersebut dengan hadiah. Namun, seseorang dapat pula menghentikan tingkah laku karena belum diberi hadiah. Semua hasil tingkah laku tersebut merupakan tingkah laku yang dapat dipelajari (Fahyuni & Istikomah, 2016). Belajar disebabkan karena adanya interaksi antara stimulus dengan respon. Dalam belajar, hal yang terpenting yaitu adanya input (stimulus) dan output (respon). Misalnya, munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Jadi hakikat dari teori belajar behaviorisme ini adalah teori yang berfokus hubungan stimulus-respon dan adanya perilaku nyata . Menurut (Zulhammi, 2015) teori belajar behaviorisme adalah teori tentang tingkah laku manusia. Fokus utama dari teori belajar behaviorisme ini adalah perilaku yang terlihat dan penyebab luar menstimulasinya. Belajar merupakan perubahan tingkah laku sebagai pengalaman. Belajar menurut teori ini merupakan akibat adanya interaksi antara rangsangan (stimulus) dan reaksi (respon). Seseorang akan dianggap telah belajar jika dapat menunjukkan perubahan perilaku. Sedangkan teori belajar behaviorisme menurut (Putrayasa, 2013) menekankan bahwa dalam belajar yang terpenting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respons. Stimulus adalah sesuatu yang diberikan guru kepada anak, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan anak terhadap stimulus yang diberikan. Untuk itu, segala sesuatu yang diberikan oleh guru (stimulus) dan segala sesuatu yang diterima oleh anak (respon) harus dapat diamati dan diukur. Berdasarkan beberapa uraian di atas, dapat dipahami bahwa teori belajar behaviorisme memiliki konsep dasar bahwa belajar merupakan interaksi antara rangsangan (stimulus) dan tanggapan (respon). Stimulus ialah rangsangan atau dorongan yang digunakan oleh guru untuk membentuk tingkah laku, sedangkan respon ialah tanggapan atau kemampuan (pikiran, perasaan, ataupun tindakan) yang ditunjukkan oleh anak setelah adanya stimulus yang diberikan oleh guru. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
B. Tokoh-tokoh Teori Behavioristik
1. Ivan Pavlov Ivan Pavlov popular dengan teorinya kondisioning klasik (classical conditioning). Kondisioning klasik pertama kali dikemukakan oleh Pavlov (1927). Teori ini menjelaskan bahwa untuk pembelajaran yang mana terjadinya respons yang baru dan tidak disengaja ditampilkan sebagai hasil dari adanya dua stimulus pada saat yang bersamaan. Berdasarkan eksperimen Pavlov dikemukakan bahwa perilaku dapat diubah dengan memberikan kondisi tertentu/ mengondisikan situasi. Respon yang tidak terkondisi adalah respon yang otomatis terjadi bahkan tidak disengaja. Respon yang muncul karena adanya kondisi tertentu, maka respon tersebut adalah respon terkondisi. Pengkondisian klasik dapat berupa pengalaman negatif dan pengalaman positif, yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, termasuk selama proses Pendidikan sekolah. Pengkondisian positif disekolah misalnya, guru menciptakan suasana kelas selama pembelajaran hangat dan menyenangkan, ada humor, materinya menarik bagi siswa. Kondisi seperti ini membuat anak senang belajar dengan guru tersebut, dan rajin masuk sekolahketika guru itu mengajar. Dalam hal ini sekolah adalah tempat yang menyenangkan. Pengkondisian negative dapat berupa pengalaman negative yang terjadi di sekolah. Misalnya siswa yang sering aggal mengikuti ujian, menimbulkan kekecewaan, kecemasan, dan sangat terpukul mentalnya. Gagal ujian yang sering dialami anak itu menjadi pengkondisian negative. Akibatnya anak setiap mau ujian sudah mengalami kecemasan terlebih dahulu. Ada beberapa fenomena yang terjadi dalam kondisioning klasik (Omrod, 2008) sebagaimana diuraikan sebagai berikut. a. Generalisasi dalam pengkondisian klasik yaitu datangnya stimulus yang baru diasosiasikan atau disamakan dengan stimulus yang lama. Misalnya saat siswa mengalami kegagalan ujian dalam mata Pelajaran fisika, selanjutnya siswa akan menghadapi ujian mata Pelajaran yang lain juga mengalami kecemasan terlebih dahulu, meskipun Pelajaran itu tidak sesulit mata Pelajaran fisika. b. Deskriminasi dalam pengkondisian klasik itu terjadi Ketika seorang siswa merespon stimulus dengan penuh konsentrasi dan tidak mau merespon stimulus lain yang juga dating pada saat bersamaan. Misalnya pada saat belajar ada beberapa stimulus hadir secara bersamaan, seperti ada bunyi music, mobil lewat atau anak-anak lain bermain. Dalam kondisi seperti itu ternyata anak yang sedang belajar tersebut dapat konsentrasi dengan baik, dan tidak menghiraukan suara-suara lain yang juga terdengar. c. Ekstinksi (penghilangan) secara bertahap suatu respon yang selama ini telah diperoleh akan hilang dengan sendirinya bilamana tidak dihadirkan stimulus yang terkondisi. Hadirnya secara berulang-ulang dari stimulus terkondisi tanpa disertai kehadiran stimulus tak terkondisi (Omrod,2008). Misalnya saat belajar fisika guru selalu memarahi anak yang tidak dapat mengerjakan soal yang diberikan, setelah itu guru berulang kali masuk dengan penuh senyum dan tak pernah marah-marah lagi meskipun siswa tidak bisa menjawab soal, maka kesan yang menakutkan itu akan hilang dengan sendirinya.
2. Edward Lee Thorndike
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus (segala hal yang dapat merangsang terjadinya belajar seperti pikiran, perasaan, dan gerakan) dengan respon (reaksi yang dimunculkan anak ketika belajar seperti pikiran, perasaan dan juga gerakan/tindakan). Jadi, perubahan tingkah laku dari adanya kegiatan belajar dapat berwujud sesuatu yang dapat diamati ataupun sesuatu yang tidak dapat diamati (Amalia & Fadholi, 2018). Teori Thorndike juga dikenal dengan teori koneksionisme karena menurutnya belajar adalah proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respon. Thorndike mengemukakan tiga prinsip atau hukum belajar, antara lain: a. Law of readines, yaitu belajar akan berhasil jika anak memiliki kesiapan untuk melakukan suatu kegiatan karena jika anak memiliki kesiapan untuk merespon maka akan menghasilkan respon yang memuaskan, b. Law of exercise, yaitu belajar akan berhasil apabila banyak latihan dan selalu mengulang-ngulangi apa yang telah didapat, c. Law of effect, yaitu belajar akan menjadi bersemangat apabila anak mengetahui dan mendapatkan hasil yang baik (Abdurakhman & Rusli, 2017). Menurut Thorndike, pembelajaran merupakan formasi koneksi antara stimulus-respon yang dikenal dengan nama koneksionisme. Dalam teori ini terdapat 3 hukum yaitu hukum efek, hukum latihan, dan hukum kesiapan. Pada hukum efek, ketika sebuah koneksi stimulus-respon diberi imbalan positif maka koneksi diperkuat sedangkan ketika diberi imbalan negatif maka koneksi diperlemah. Pada hukum latihan, ketika stimulus dipraktekkan lebih kuat maka respon akan semakin kuat sedangkan jika stimulus jarang dipraktekkan maka respon akan semakin lemah. Adapun pada hukum kesiapan, struktur sistem saraf dan unit koneksi tertentu lebih mempengaruhi perilaku (Hardianto, 2012). Thorndike mengemukakan bahwa belajar ialah proses interaksi stimulus (berupa pikiran, perasaan, dan gerakan) dengan respon (yang juga berupa pikiran, perasaan, dan gerakan). Wujud dari tingkah laku ini dapat diamati maupun tidak dapat diamati. Teori ini merupakan hubungan antara stimulus dan respon yang diistilahkan dengan S-R bond. Belajar ialah pembentukan S-R sebanyak- banyaknya melalui latihan dan pengulangan dengan prinsip trial and error/coba dan salah (Siregar, 2010) 3. B.F. Skinner Skinner adalah tokoh behavioris yang mengemukakan bahwa perilaku individu dikontrol melalui proses operant conditioning dimana seseorang dapat mengontrol tingkah laku organisme melalui pemberian reinforcement (penguatan) yang bijaksana dalam lingkungan yang besar (Irwan, 2015). Menurut skinner, hubungan antara stimulus-respon yang terjadi melalui interaksi dalam lingkungan akan menimbulkan perubahan tingkah laku pada anak. Pada dasarnya, stimulus atau rangsangan yang diberikan kepada anak akan mempengaruhi bentuk respon yang akan diberikan. Begitu pula dengan respon yang nantinya akan dimunculkan akan mempunyai konsekuensi-konsekuensi. Dari konsekuensi inilah yang pada gilirannya akan mempengaruhi atau menjadi pertimbangan munculnya sebuah perilaku. Olehnya, untuk memahami tingkah laku anak secara benar, terlebih dahulu perlu memahami hubungan antara stimulus satu dengan yang lainnya, memahami respon yang kemungkinan muncul, serta memahami konsekuensi yang kemungkinan akan timbul sebagai akibat dari respon tersebut. Menurut skinner, ada 3 konsep yang berhubungan dengan operan conditioning yaitu: a. Penguatan positif (positive reinforcement), adalah penguatan yang menimbulkan kemungkinan bertambahnya tingkah laku. Contohnya: seorang anak mencapai prestasi yang baik diberikan hadiah maka anak tersebut akan mengulangi prestasi itu dengan harapan bisa mendapatkan hadiah lagi, b. Penguatan negatif (negatif reinforcement), adalah penguatan yang menimbulkan perasaan tidak menyenangkan sehingga mengurangi terjadinya tingkah laku. Contohnya: seorang anak akan meninggalkan kebiasaan terlambat mengumpulkan tugas karena tidak tahan dimarahi oleh gurunya, c. Hukuman (punishment), adalah respon yang diberi konsekuensi yang tidak menyenangkan akan membuat anak tertekan. Contohnya: seorang anak yang tidak mengerjakan tugas tidak diperbolehkan bermain bersama temannya sebagai bentuk hukuman (Abdurakhman & Rusli, 2017). Sehingga, hadiah dan penguatan merupakan faktor yang penting dalam belajar. Teori operan conditioning ini merupakan penguatan perilaku yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat diulang kembali atau menghilang sesuai keinginan. Teori ini menjamin respon terhadap rangsangan/stimulus. Bila tidak memunculkan rangsangan maka guru tidak dapat membimbing anak untuk mengarahkan tingkah lakunya. Untuk itu, guru memiliki perlu mengarahkan dan mengontrol anak dalam pembelajaran agar tujuan yang diinginkan dapat tercapai. Lebih lanjut, skinner menyarankan agar hukuman dihindari karena adanya hasil yang bersifat emosional dan tidak menjamin timbulnya tingkah laku positif yang diinginkan. 4. John Broads Watson J.B. Watson adalah seorang tokoh aliran behavioristik yang datang sesudah Thorndike. Menurutnya, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus 15 berbentuk tingkah laku yang dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Dengan kata lain, walaupun ia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun ia menganggap hal-hal tersebut sebagai faktor yang tak perlu diperhitungkan. Ia tetap mengakui bahwa perubahan-perubahan mental dalam benak siswa itu penting, namun semua itu tidak dapat menjelaskan apakah seseorang telah belajar atau belum karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperti fisika atau biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh dapat diamati dan dapat diukur. Asumsinya bahwa, hanya dengan cara demikianlah maka akan dapat diramalkan perubahan-perubahan apa yang bakal terjadi setelah seseorang melakukan tindak belajar. Pemikiran Watson (Collin, dkk: 2012) dapat digambarkan sebagai berikut: Para tokoh aliran behavioristik cenderung untuk tidak memperhatikan hal-hal yang tidak dapat diukur dan tidak dapat diamati, seperti perubahan- perubahan mental yang terjadi ketika belajar, walaupun demikian mereka tetap mengakui hal itu penting.
C. Aplikasi Teori Belajar Behavioristik dalam Pembelajaran
Bentuk pembelajaran behavioristik dapat dilihat dari berbagai hal yang dilakukan selama proses dan pada bentuk pembelajaran. Menurut (Irham, 2015) menyebutkan bahwa hal-hal penting yang merupakan bentuk atau ciri dari proses pembelajaran behavioristik dapat dilihat dari beberapa hal, diantaranya adalah 1. Mendudukan siswa sebagai individu yang pasif; 2. Memunculkan perilaku-perilaku yang diharapkan menggunakan metode pembiasaan-pembiasaan atau drill; 3. Memandang pengetahuan merupakan sesuatu yang stagnan dan tidak pernah berubah shingga akan disampikan sama pada setiap tahunnya; 4. Memandang mengajar hanya sebagai transfer pengetahuan dan belajar sebagai proses memperoleh pengetahuan; 5. Kurikulum dikembangkan secara terstruktur dan pengetahuan sudah ada shingga siswa tinggal mempelajarinya. Sedangkan menurut (Sugihartono, 2007) Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan teori belajar behavioristik dalam proses pembelajaran sebagai berikut: 1. Mementingkan dan memerhatikan pengaruh lingkungan; 2. Mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui mekanisme stimulus-respon (S-R); 3. Mementingkan dan memperhatikan kemampuan yang sudah dimiliki dan terbentuk pada saat-saat sebelumnya; 4. Mementingkan pembentukan kebiasaan perilaku melalui latihan dan pengulangan; 5. Hasil belajar yang tercapai terwujud dalam bentuk perilaku-perilaku yang diinginkan. Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pembelajaran, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau peserta didik. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Menurut Kim (1992) behavioris berasumsi bahwa tujuan pembelajaran yang penting dapat ditentukan dan diukur sepenuhnya, dan beberapa behavioris berpendapat bahwa mengajar bertujuan untuk menciptakan instruksi yang baik. Peserta didik diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid. Demikian halnya dalam pembelajaran, pembelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para peserta didiknya. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar peserta didik diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi. Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pembelajaran untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pembelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka. Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka peserta didik atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan- aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri peserta didik. Metode penguatan behavioristik sangat efektif dalam menciptakan perilaku positif pada lingkungan belajar. Metode seperti itu secara positif mempengaruhi pembelajaran pada peserta didik. Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut peserta didik untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar. Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila peserta didik menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa peserta didik telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Adapun kelebihan dari Teori Behavioristik yaitu: 1. Membisakan guru untuk bersikap jeli dan peka terhadap situasi dan kondisi belajar. 2. Guru tidak membiasakan memberikan ceramah sehingga murid dibiasakan belajar mandiri. Jika murid menemukan kesulitan baru ditanyakan pada guru yang bersangkutan. 3. Mampu membentuk suatu prilaku yang diinginkan mendapatkan pengakuan positif dan prilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negative yang didasari pada prilaku yang tampak. 4. Dengan melalui pengulangan dan pelatihan yang berkesinambungan, dapat mengoptimalkan bakat dan kecerdasan siswa yang sudah terbentuk sebelumnya. Jika anak sudha mahir dalam satu bidang tertentu, akan lebih dapat dikuatkan lagi dengan pembiasaan dan pengulangan yang berkesinambungan tersebut dan lebih optimal. 5. Bahan pelajaran yang telah disusun hierarkis dari yang sederhana sampai pada yang kompleks dengan tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian-bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu ketrampilan tertentu mampu menghasilakan suatu prilaku yang konsisten terhadap bidang tertentu. 6. Dapat mengganti stimulus yang satu dengan stimuls yang lainnya dan seterusnya sampai respons yang diinginkan muncul. 7. Teori ini cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsure-unsur kecepatan, spontanitas, dan daya tahan. 8. Teori behavioristik juga cocok diterapakan untuk anak yang masih membutuhkan dominasi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru, dan suka dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung. Sedangkan kekurangan dari Teori Behavioristik yaitu: 1. Sebuah konsekwensi untuk menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap. 2. Murid berperan sebagai pendengar dalam proses pembelajaran dan menghafalkan apa di dengar dan di pandang sebagai cara belajar yang efektif. 3. Penggunaan hukuman yang sangat dihindari oleh para tokoh behavioristik justru dianggap sebagai metode yang paling efektif untuk menertibkan siswa. 4. Murid dipandang pasif, perlu motifasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan oleh guru. 5. Murid hanya mendengarkan dengan tertib penjelsan dari guru dan mendengarkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif sehingga inisiatf siswa terhadap suatu permasalahan yang muncul secara temporer tidak bisa diselesaikan oleh siswa. 6. Cenderung mengarahakan siswa untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif, tidak produktif, dan menundukkan siswa sebagai individu yang pasif. 7. Pembelajaran siswa yang berpusat pada guru (teacher cenceredlearning) bersifat mekanistik dan hanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan diukur. 8. Penerapan metode yang salah dalam pembelajaran mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang tidak menyenangkan bagi siswa, yaitu guru sebagai center, otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih, dan menentukan apa yang harus dipelajari murid.
ILMU PERUBAHAN DALAM 4 LANGKAH: Strategi dan teknik operasional untuk memahami bagaimana menghasilkan perubahan signifikan dalam hidup Anda dan mempertahankannya dari waktu ke waktu