Anda di halaman 1dari 9

PSIKOLOGI PENDIDIKAN

“PENDEKATAN BEHAVIORISTIK”

oleh:

Kelompok VI

Fatmawati (230008301003)
Syamsinar Pase (230008301010)

PRODI S2 PENDIDIKAN FISIKA


PPs UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2023
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Teori Belajar Behavioristik


Teori belajar behaviorisme ialah teori yang mempelajari perilaku manusia. Teori
ini berfokus pada peran dari belajar dalam menjelaskan tingkah laku manusia dan
terjadi melalui rangsangan atau stimulus yang menimbulkan hubungan perilaku yang
reaktif atau respon. Dalam teori behaviorisme, tingkah laku sepenuhnya ditentukan
oleh aturan, bisa diramalkan dan bisa ditentukan. Menurut teori ini, seseorang yang
terlibat dalam tingkah laku tertentu karena telah mempelajarinya atau
menghubungkan tingkah laku tersebut dengan hadiah. Namun, seseorang dapat pula
menghentikan tingkah laku karena belum diberi hadiah. Semua hasil tingkah laku
tersebut merupakan tingkah laku yang dapat dipelajari (Fahyuni & Istikomah, 2016).
Belajar disebabkan karena adanya interaksi antara stimulus dengan respon.
Dalam belajar, hal yang terpenting yaitu adanya input (stimulus) dan output (respon).
Misalnya, munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan
menghilang bila dikenai hukuman. Jadi hakikat dari teori belajar behaviorisme ini
adalah teori yang berfokus hubungan stimulus-respon dan adanya perilaku nyata .
Menurut (Zulhammi, 2015) teori belajar behaviorisme adalah teori tentang tingkah
laku manusia. Fokus utama dari teori belajar behaviorisme ini adalah perilaku yang
terlihat dan penyebab luar menstimulasinya. Belajar merupakan perubahan tingkah
laku sebagai pengalaman. Belajar menurut teori ini merupakan akibat adanya
interaksi antara rangsangan (stimulus) dan reaksi (respon). Seseorang akan dianggap
telah belajar jika dapat menunjukkan perubahan perilaku. Sedangkan teori belajar
behaviorisme menurut (Putrayasa, 2013) menekankan bahwa dalam belajar yang
terpenting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respons.
Stimulus adalah sesuatu yang diberikan guru kepada anak, sedangkan respon berupa
reaksi atau tanggapan anak terhadap stimulus yang diberikan. Untuk itu, segala
sesuatu yang diberikan oleh guru (stimulus) dan segala sesuatu yang diterima oleh
anak (respon) harus dapat diamati dan diukur.
Berdasarkan beberapa uraian di atas, dapat dipahami bahwa teori belajar
behaviorisme memiliki konsep dasar bahwa belajar merupakan interaksi antara
rangsangan (stimulus) dan tanggapan (respon). Stimulus ialah rangsangan atau
dorongan yang digunakan oleh guru untuk membentuk tingkah laku, sedangkan
respon ialah tanggapan atau kemampuan (pikiran, perasaan, ataupun tindakan) yang
ditunjukkan oleh anak setelah adanya stimulus yang diberikan oleh guru. Teori ini
mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk
melihat terjadi tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.

B. Tokoh-tokoh Teori Behavioristik


1. Ivan Pavlov
Ivan Pavlov popular dengan teorinya kondisioning klasik (classical
conditioning). Kondisioning klasik pertama kali dikemukakan oleh Pavlov
(1927). Teori ini menjelaskan bahwa untuk pembelajaran yang mana terjadinya
respons yang baru dan tidak disengaja ditampilkan sebagai hasil dari adanya dua
stimulus pada saat yang bersamaan.
Berdasarkan eksperimen Pavlov dikemukakan bahwa perilaku dapat
diubah dengan memberikan kondisi tertentu/ mengondisikan situasi. Respon yang
tidak terkondisi adalah respon yang otomatis terjadi bahkan tidak disengaja.
Respon yang muncul karena adanya kondisi tertentu, maka respon tersebut adalah
respon terkondisi.
Pengkondisian klasik dapat berupa pengalaman negatif dan pengalaman
positif, yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, termasuk selama proses
Pendidikan sekolah. Pengkondisian positif disekolah misalnya, guru menciptakan
suasana kelas selama pembelajaran hangat dan menyenangkan, ada humor,
materinya menarik bagi siswa. Kondisi seperti ini membuat anak senang belajar
dengan guru tersebut, dan rajin masuk sekolahketika guru itu mengajar. Dalam
hal ini sekolah adalah tempat yang menyenangkan.
Pengkondisian negative dapat berupa pengalaman negative yang terjadi
di sekolah. Misalnya siswa yang sering aggal mengikuti ujian, menimbulkan
kekecewaan, kecemasan, dan sangat terpukul mentalnya. Gagal ujian yang sering
dialami anak itu menjadi pengkondisian negative. Akibatnya anak setiap mau
ujian sudah mengalami kecemasan terlebih dahulu.
Ada beberapa fenomena yang terjadi dalam kondisioning klasik (Omrod,
2008) sebagaimana diuraikan sebagai berikut.
a. Generalisasi dalam pengkondisian klasik yaitu datangnya stimulus yang baru
diasosiasikan atau disamakan dengan stimulus yang lama. Misalnya saat
siswa mengalami kegagalan ujian dalam mata Pelajaran fisika, selanjutnya
siswa akan menghadapi ujian mata Pelajaran yang lain juga mengalami
kecemasan terlebih dahulu, meskipun Pelajaran itu tidak sesulit mata
Pelajaran fisika.
b. Deskriminasi dalam pengkondisian klasik itu terjadi Ketika seorang siswa
merespon stimulus dengan penuh konsentrasi dan tidak mau merespon
stimulus lain yang juga dating pada saat bersamaan. Misalnya pada saat
belajar ada beberapa stimulus hadir secara bersamaan, seperti ada bunyi
music, mobil lewat atau anak-anak lain bermain. Dalam kondisi seperti itu
ternyata anak yang sedang belajar tersebut dapat konsentrasi dengan baik,
dan tidak menghiraukan suara-suara lain yang juga terdengar.
c. Ekstinksi (penghilangan) secara bertahap suatu respon yang selama ini telah
diperoleh akan hilang dengan sendirinya bilamana tidak dihadirkan stimulus
yang terkondisi. Hadirnya secara berulang-ulang dari stimulus terkondisi
tanpa disertai kehadiran stimulus tak terkondisi (Omrod,2008). Misalnya saat
belajar fisika guru selalu memarahi anak yang tidak dapat mengerjakan soal
yang diberikan, setelah itu guru berulang kali masuk dengan penuh senyum
dan tak pernah marah-marah lagi meskipun siswa tidak bisa menjawab soal,
maka kesan yang menakutkan itu akan hilang dengan sendirinya.

2. Edward Lee Thorndike


Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus
(segala hal yang dapat merangsang terjadinya belajar seperti pikiran, perasaan,
dan gerakan) dengan respon (reaksi yang dimunculkan anak ketika belajar seperti
pikiran, perasaan dan juga gerakan/tindakan). Jadi, perubahan tingkah laku dari
adanya kegiatan belajar dapat berwujud sesuatu yang dapat diamati ataupun
sesuatu yang tidak dapat diamati (Amalia & Fadholi, 2018). Teori Thorndike juga
dikenal dengan teori koneksionisme karena menurutnya belajar adalah proses
pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respon. Thorndike
mengemukakan tiga prinsip atau hukum belajar, antara lain:
a. Law of readines, yaitu belajar akan berhasil jika anak memiliki kesiapan
untuk melakukan suatu kegiatan karena jika anak memiliki kesiapan untuk
merespon maka akan menghasilkan respon yang memuaskan,
b. Law of exercise, yaitu belajar akan berhasil apabila banyak latihan dan selalu
mengulang-ngulangi apa yang telah didapat,
c. Law of effect, yaitu belajar akan menjadi bersemangat apabila anak
mengetahui dan mendapatkan hasil yang baik (Abdurakhman & Rusli, 2017).
Menurut Thorndike, pembelajaran merupakan formasi koneksi antara
stimulus-respon yang dikenal dengan nama koneksionisme. Dalam teori ini
terdapat 3 hukum yaitu hukum efek, hukum latihan, dan hukum kesiapan. Pada
hukum efek, ketika sebuah koneksi stimulus-respon diberi imbalan positif maka
koneksi diperkuat sedangkan ketika diberi imbalan negatif maka koneksi
diperlemah. Pada hukum latihan, ketika stimulus dipraktekkan lebih kuat maka
respon akan semakin kuat sedangkan jika stimulus jarang dipraktekkan maka
respon akan semakin lemah. Adapun pada hukum kesiapan, struktur sistem saraf
dan unit koneksi tertentu lebih mempengaruhi perilaku (Hardianto, 2012).
Thorndike mengemukakan bahwa belajar ialah proses interaksi stimulus (berupa
pikiran, perasaan, dan gerakan) dengan respon (yang juga berupa pikiran,
perasaan, dan gerakan). Wujud dari tingkah laku ini dapat diamati maupun tidak
dapat diamati. Teori ini merupakan hubungan antara stimulus dan respon yang
diistilahkan dengan S-R bond. Belajar ialah pembentukan S-R sebanyak-
banyaknya melalui latihan dan pengulangan dengan prinsip trial and error/coba
dan salah (Siregar, 2010)
3. B.F. Skinner
Skinner adalah tokoh behavioris yang mengemukakan bahwa perilaku
individu dikontrol melalui proses operant conditioning dimana seseorang dapat
mengontrol tingkah laku organisme melalui pemberian reinforcement
(penguatan) yang bijaksana dalam lingkungan yang besar (Irwan, 2015). Menurut
skinner, hubungan antara stimulus-respon yang terjadi melalui interaksi dalam
lingkungan akan menimbulkan perubahan tingkah laku pada anak. Pada dasarnya,
stimulus atau rangsangan yang diberikan kepada anak akan mempengaruhi
bentuk respon yang akan diberikan. Begitu pula dengan respon yang nantinya
akan dimunculkan akan mempunyai konsekuensi-konsekuensi. Dari konsekuensi
inilah yang pada gilirannya akan mempengaruhi atau menjadi pertimbangan
munculnya sebuah perilaku. Olehnya, untuk memahami tingkah laku anak secara
benar, terlebih dahulu perlu memahami hubungan antara stimulus satu dengan
yang lainnya, memahami respon yang kemungkinan muncul, serta memahami
konsekuensi yang kemungkinan akan timbul sebagai akibat dari respon tersebut.
Menurut skinner, ada 3 konsep yang berhubungan dengan operan conditioning
yaitu:
a. Penguatan positif (positive reinforcement), adalah penguatan yang
menimbulkan kemungkinan bertambahnya tingkah laku. Contohnya: seorang
anak mencapai prestasi yang baik diberikan hadiah maka anak tersebut akan
mengulangi prestasi itu dengan harapan bisa mendapatkan hadiah lagi,
b. Penguatan negatif (negatif reinforcement), adalah penguatan yang
menimbulkan perasaan tidak menyenangkan sehingga mengurangi terjadinya
tingkah laku. Contohnya: seorang anak akan meninggalkan kebiasaan
terlambat mengumpulkan tugas karena tidak tahan dimarahi oleh gurunya,
c. Hukuman (punishment), adalah respon yang diberi konsekuensi yang tidak
menyenangkan akan membuat anak tertekan. Contohnya: seorang anak yang
tidak mengerjakan tugas tidak diperbolehkan bermain bersama temannya
sebagai bentuk hukuman (Abdurakhman & Rusli, 2017). Sehingga, hadiah
dan penguatan merupakan faktor yang penting dalam belajar.
Teori operan conditioning ini merupakan penguatan perilaku yang dapat
mengakibatkan perilaku tersebut dapat diulang kembali atau menghilang sesuai
keinginan. Teori ini menjamin respon terhadap rangsangan/stimulus. Bila tidak
memunculkan rangsangan maka guru tidak dapat membimbing anak untuk
mengarahkan tingkah lakunya. Untuk itu, guru memiliki perlu mengarahkan dan
mengontrol anak dalam pembelajaran agar tujuan yang diinginkan dapat tercapai.
Lebih lanjut, skinner menyarankan agar hukuman dihindari karena adanya hasil
yang bersifat emosional dan tidak menjamin timbulnya tingkah laku positif yang
diinginkan.
4. John Broads Watson
J.B. Watson adalah seorang tokoh aliran behavioristik yang datang
sesudah Thorndike. Menurutnya, belajar adalah proses interaksi antara stimulus
dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus 15 berbentuk
tingkah laku yang dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Dengan kata lain,
walaupun ia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang
selama proses belajar, namun ia menganggap hal-hal tersebut sebagai faktor yang
tak perlu diperhitungkan. Ia tetap mengakui bahwa perubahan-perubahan mental
dalam benak siswa itu penting, namun semua itu tidak dapat menjelaskan apakah
seseorang telah belajar atau belum karena tidak dapat diamati.
Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang
belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperti fisika atau biologi yang sangat
berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh dapat diamati dan
dapat diukur. Asumsinya bahwa, hanya dengan cara demikianlah maka akan
dapat diramalkan perubahan-perubahan apa yang bakal terjadi setelah seseorang
melakukan tindak belajar. Pemikiran Watson (Collin, dkk: 2012) dapat
digambarkan sebagai berikut:
Para tokoh aliran behavioristik cenderung untuk tidak memperhatikan
hal-hal yang tidak dapat diukur dan tidak dapat diamati, seperti perubahan-
perubahan mental yang terjadi ketika belajar, walaupun demikian mereka tetap
mengakui hal itu penting.

C. Aplikasi Teori Belajar Behavioristik dalam Pembelajaran


Bentuk pembelajaran behavioristik dapat dilihat dari berbagai hal yang dilakukan
selama proses dan pada bentuk pembelajaran. Menurut (Irham, 2015) menyebutkan
bahwa hal-hal penting yang merupakan bentuk atau ciri dari proses pembelajaran
behavioristik dapat dilihat dari beberapa hal, diantaranya adalah
1. Mendudukan siswa sebagai individu yang pasif;
2. Memunculkan perilaku-perilaku yang diharapkan menggunakan metode
pembiasaan-pembiasaan atau drill;
3. Memandang pengetahuan merupakan sesuatu yang stagnan dan tidak pernah
berubah shingga akan disampikan sama pada setiap tahunnya;
4. Memandang mengajar hanya sebagai transfer pengetahuan dan belajar sebagai
proses memperoleh pengetahuan;
5. Kurikulum dikembangkan secara terstruktur dan pengetahuan sudah ada shingga
siswa tinggal mempelajarinya.
Sedangkan menurut (Sugihartono, 2007) Terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam penerapan teori belajar behavioristik dalam proses pembelajaran
sebagai berikut:
1. Mementingkan dan memerhatikan pengaruh lingkungan;
2. Mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui mekanisme
stimulus-respon (S-R);
3. Mementingkan dan memperhatikan kemampuan yang sudah dimiliki dan
terbentuk pada saat-saat sebelumnya;
4. Mementingkan pembentukan kebiasaan perilaku melalui latihan dan
pengulangan;
5. Hasil belajar yang tercapai terwujud dalam bentuk perilaku-perilaku yang
diinginkan.
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah
pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah
aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak
sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus
responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon
atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata.
Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan
menghilang bila dikenai hukuman. Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan
pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi
pelajaran, karakteristik pembelajaran, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia.
Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang
bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah
terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan
mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang
belajar atau peserta didik. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur
pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah,
sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh
karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Menurut Kim (1992) behavioris
berasumsi bahwa tujuan pembelajaran yang penting dapat ditentukan dan diukur
sepenuhnya, dan beberapa behavioris berpendapat bahwa mengajar bertujuan untuk
menciptakan instruksi yang baik. Peserta didik diharapkan akan memiliki
pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang
dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid. Demikian
halnya dalam pembelajaran, pembelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu
membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik
mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar
tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para peserta didiknya.
Begitu juga dalam proses evaluasi belajar peserta didik diukur hanya pada hal-hal
yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang
dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang
memberikan ruang gerak yang bebas bagi pembelajaran untuk berkreasi,
bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem
pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan
respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pembelajar
kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan
teratur, maka peserta didik atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-
aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin
menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan
dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan
pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan
belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi
hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan
belajar. Peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga
kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri peserta didik.
Metode penguatan behavioristik sangat efektif dalam menciptakan perilaku positif
pada lingkungan belajar. Metode seperti itu secara positif mempengaruhi
pembelajaran pada peserta didik.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan
pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut peserta
didik untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam
bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada
ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke
keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga
aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan
penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib
tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan
biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut
jawaban yang benar. Maksudnya bila peserta didik menjawab secara “benar” sesuai
dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa peserta didik telah
menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang
terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan
pembelajaran.
Adapun kelebihan dari Teori Behavioristik yaitu:
1. Membisakan guru untuk bersikap jeli dan peka terhadap situasi dan kondisi
belajar.
2. Guru tidak membiasakan memberikan ceramah sehingga murid dibiasakan
belajar mandiri. Jika murid menemukan kesulitan baru ditanyakan pada guru
yang bersangkutan.
3. Mampu membentuk suatu prilaku yang diinginkan mendapatkan pengakuan
positif dan prilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negative yang
didasari pada prilaku yang tampak.
4. Dengan melalui pengulangan dan pelatihan yang berkesinambungan, dapat
mengoptimalkan bakat dan kecerdasan siswa yang sudah terbentuk sebelumnya.
Jika anak sudha mahir dalam satu bidang tertentu, akan lebih dapat dikuatkan lagi
dengan pembiasaan dan pengulangan yang berkesinambungan tersebut dan lebih
optimal.
5. Bahan pelajaran yang telah disusun hierarkis dari yang sederhana sampai pada
yang kompleks dengan tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian-bagian kecil
yang ditandai dengan pencapaian suatu ketrampilan tertentu mampu
menghasilakan suatu prilaku yang konsisten terhadap bidang tertentu.
6. Dapat mengganti stimulus yang satu dengan stimuls yang lainnya dan seterusnya
sampai respons yang diinginkan muncul.
7. Teori ini cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan praktek dan
pembiasaan yang mengandung unsure-unsur kecepatan, spontanitas, dan daya
tahan.
8. Teori behavioristik juga cocok diterapakan untuk anak yang masih membutuhkan
dominasi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka
meniru, dan suka dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung.
Sedangkan kekurangan dari Teori Behavioristik yaitu:
1. Sebuah konsekwensi untuk menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah
siap.
2. Murid berperan sebagai pendengar dalam proses pembelajaran dan menghafalkan
apa di dengar dan di pandang sebagai cara belajar yang efektif.
3. Penggunaan hukuman yang sangat dihindari oleh para tokoh behavioristik justru
dianggap sebagai metode yang paling efektif untuk menertibkan siswa.
4. Murid dipandang pasif, perlu motifasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh
penguatan yang diberikan oleh guru.
5. Murid hanya mendengarkan dengan tertib penjelsan dari guru dan mendengarkan
apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif sehingga
inisiatf siswa terhadap suatu permasalahan yang muncul secara temporer tidak
bisa diselesaikan oleh siswa.
6. Cenderung mengarahakan siswa untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif,
tidak produktif, dan menundukkan siswa sebagai individu yang pasif.
7. Pembelajaran siswa yang berpusat pada guru (teacher cenceredlearning) bersifat
mekanistik dan hanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan diukur.
8. Penerapan metode yang salah dalam pembelajaran mengakibatkan terjadinya
proses pembelajaran yang tidak menyenangkan bagi siswa, yaitu guru sebagai
center, otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih, dan menentukan
apa yang harus dipelajari murid.

Anda mungkin juga menyukai