Anda di halaman 1dari 18

Nama : Depi Lestari

Nim : 22.23.025629
Mata kuliah : Perencanaan Pengajaran SD
Prodi : PGSD, semester 3 kel 2
Dosen pengampu : Siti Arnisyah, M.Pd

A. Teori Belajar yang Berpijak pada Pandangan Behaviorisme

Teori belajar selalu bertolak dari sudut pandang psikologi belajar. Semakin tumbuh
dan berkembangnya ilmu pengetahuan tentang belajar, semakin bervariasi pula teori belajar
yang melandasinya. Dalam teori psikologi belajarterdapat tiga aliran besar, yaitu psikologi
behaviorisme, psikologi kognitif dan psikologi humanistik. Namun pada praktiknya,
berdasarkan aliran-aliran psikologi tersebut dapat pula berkembang teori belajar yang
inovatif, seperti teori belajar konstruktivisme. Pada bab ini akan dibahas tentang teori belajar
dan pembelajaran yang berpijak pada pandangan behaviorisme.

Behaviorisme merupakan salah satu pendekatan untuk memahami perilaku individu


(apa pun yang dilakukan, verbal dan nonverbal, yang dapat diobservasi secara langsung)
dengan menggunakan metode pelatihan, pembiasaan dan pengalaman. Pandangan ini
menekankan bahwa perilaku harus dijelaskan dengan pengalaman-pengalaman yang
terobservasi, bukan oleh proses mentalJadi, peristiwa belajar berarti untuk melatih refleks-
reflek sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Teor ini tidak
berusaha menjelaskan alasan-alasan yang mengacaukan hubunga antara stimulus dan
respons, hal ini tidak dapat menjawab hal-hal yang menyebabkan terjadinya penyimpangan
antara stimulus yang diberikan dengan responsnya.

Teori behaviorisme dengan model hubungan stimulus-respons, mendudukkan orang


yang belajar sebagai individu yang pasif. Teori behaviorisme sering kali tidak dapat
menjelaskan situasi belajar yang kompleks, padahal banyak variabel atau hal-hal yang
berkaitan dengan belajar yang tidak hanya sekadar hubungan stimulus dan respons. Ciri
teori ini mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecilyang bersifat mekanistis, menekankan
peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau responsmenekankan
pentingnya latihanmementingkan mekanisme hasil belajar, mementingkan peranan
kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah berupa perilaku yang dapat diamati
(observable)Santrock (2008), memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberi
respons terhadap lingkungan, pengalaman dan latihan akan membentuk perilaku mereka.

Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behaviorisme adalah faktor penguatan
(reinforcement) dan hukuman (punishment) (Santrock, 2008)Jika penguatan ditambahkan
(positive reinforcement), respons akan semakin kuatJika penguatan dikurangi/dihilangkan
(negative reinforcement), respons akan semakin bertambah. Jika hukuman diberikan,
respons yang diharapkan akan semakin kuat dan respons yang tidak diharapkan akan
semakin menghilang Tokoh penting dalam teori belajar behaviorisme secara teoretik antara
lain adalah: Pavlov, Skinner, E.L. Thorndike, dan E.R. Guthrie.

1. Ivan Pavlov
Ivan Pavlov terkenal dengan teori kondisioning klasik (classica conditioning), yaitu
sejenis belajar di mana sebuah organisme belajar untuk menghubungkan atau
mengasosiasikan stimulus dengan respons (Slavin 1996)Dalam pengondisian klasik, sebuah
stimulus netral (contoh: bel menjadi diasosiasikan dengan stimulus yang mempunyai makna
(contoh makanan) dan mendatangkan kapasitas untuk mendatangkan respons yan sama
untuk memahami teori kondisioning klasik secara menyeluruh perlu dipahami bahwa ada
dua jenis stimulus dan dua jenis respons. Dua jenis stimulus tersebut adalah stimulus yang
tidak terkondisi (unconditioned stimulus UCS), yaitu stimulus yang secara otomatis
menghasilkan respons tanpa didahului dengan pembelajaran apa pun (contoh: makanan)
dan stimulus terkondisi (conditioned stimulus - CS), yaitu stimulus yang sebelumnya bersifat
netral, akhirnya mendatangkan sebuah respons yang terkondisi setelah diasosiasikan
dengan stimulus tidak terkondisi (contoh: suara bel sebelum makanan datang).
Dua respons tersebut adalah respons yang tidak terkondisi (unconditioned respons -
UCR), yaitu sebuah respons yang tidak dipelajari yang secara otomatis disebabkan oleh
stimulus yang tidak terkondisi (contoh: keluarnya air liur anjing setelah melihat makanan)
dan respons terkondisi (conditioned respons - CR), yaitu sebuah respons yang dipelajari
terhadap stimulus yang terkondisi yang terjadi setelah stimulus tidak terkondisi dipasangkan
dengan stimulus terkondisi (contoh: keluarnya air liur anjing setelah melihat makanan yang
bersamaan dengan suara bel).

Generalisasi, Deskriminasi, dan Pelemahan

Faktor lain yang juga penting dalam teori belajar pengondisian klasik Pavlov adalah
generalisasi, deskriminasi, dan pelemahan (Santrock, 2008).

Generalisasi. Dalam mempelajari respons terhadap stimulus serupa, anjing akan


mengeluarkan air liur begitu mendengar suara-suara yang mirip dengan bel, contoh suara
peluit (karena anjing mengeluarkan air liur ketika bel dipasangkan dengan makanan). Jadi,
generalisasi melibatkan kecenderungan dari stimulus baru yang serupa dengan stimulus
terkondisi asli untuk menghasilkan respons serupa. Contoh, seorang peserta didik merasa
gugup ketika dikritik atas hasil ujian yang jelek pada mata pelajaran Matematika. Ketika
mempersiapkan ujian Fisika, peserta didik tersebut akan merasakan gugup karena kedua
pelajaran tersebut sama-sama berupa hitungan. Jadi, kegugupan peserta didik tersebut
karena hasil generalisasi dari melakukan ujian mata pelajaran satu kepada yang lain yang
mirip.

Deskriminasi. Organisme merespons stimulus tertentu, tetapi tidak terhadap yang lainnya.
Pavlov memberikan makanan kepada anjing hanya setelah bunyi bel, bukan setelah bunyi
yang lain untuk menghasilkan deskriminasi. Contoh, dalam melaksanakan ujian di kelas
yang berbeda, peserta didik tidak merasa sama gelisahnya ketika menghadapi ujian Bahasa
Indonesia dan Sejarah karena keduanya merupakan subjek yang berbeda.

Pelemahan (extincition). Proses melemahnya stimulus yang terkondisi dengan cara


menghilangkan stimulus tak terkondisi. Pavlov membunyikan bel berulang-ulang, tetapi tidak
disertai makanan. Akhirnya, dengan hanya mendengar bunyi bel, anjing tidak mengeluarkan
air liur. Contoh, kritikan guru yang terus-menerus pada hasil ujian yang jelek, membuat
peserta didik tidak termotivasi belajar. Padahal, sebelumnya peserta didik pernah mendapat
nilai ujian yang bagus dan sangat termotivasi belajar.
Dalam bidang pendidikan, teori kondisioning klasik digunakan untuk mengembangkan sikap
yang menguntungkan terhadap peserta didik untuk termotivasi belajar dan membantu guru
untuk melatih kebiasaan positif peserta didik.

2. B.F. Skinner

B.FSkinner terkenal dengan teori pengondisian operan (operant conditioning) atau juga
disebut pengondisian instrumental (instrumental conditioning), yaitu suatu bentuk
pembelajaran di mana konsekuensi perilaku menghasilkan berbagai kemungkinan terjadinya
perilaku tersebutPenggunaan konsekuensi yang menyenangkan atau tidak menyenangkan
untuk mengubah perilaku itulah yang disebut dengan pengondisian operan (Slavin, 1996).

Prinsip teori Skinner ini adalah hukum akibat, penguatan atau peng- hargaan, dan
konsekuensi. Prinsip hukum akibat menjelaskan bahwa perilaku yang diikuti oleh hasil positif
akan diperkuat dan perilaku yang diikuti hasil negatif akan diperlemahPenguatan merupakan
suatu konsekuensi yang meningkatkan peluang terjadinya suatu perilaku. Konsekuensi
adalah suatu kondisi yang menyenangkan atau tidak menyenangkan yang terjadi setelah
perilaku dan memengaruhi frekuensi perilaku pada waktu yang akan datangKonsekuensi
yang menyenangkan disebut tindakan penguatan dan konsekuensi yang tidak
menyenangkan disebut hukuman.

a. Penguatan (Reinforcement)

Menurut Skinner untuk memperkuat perilaku atau menegaskan perilaku diperlukan suatu
penguatan (reinforcement). Ada dua jenis penguatan, yaitu penguatan positif dan penguatan
negatif (Santrock2008).

Penguatan positif (positive reinforcement) didasari prinsip bahwa frekuensi dari suatu
respons akan meningkat karena diikuti oleh suatu stimulus yang mengandung penghargaan.
Jadi, perilaku yang diharapkan akan meningkat karena diikuti oleh stimulus
menyenangkanContoh, peserta didik yang selalu rajin belajar sehingga mendapat ranking I
akan diberi hadiah sepeda oleh orang tuanya. Perilaku yang ingin diulang atau ditingkatkan
adalah rajin belajar sehingga menjadi ranking I dan penguatan positif/stimulus
menyenangkan adalah pemberian sepeda

Penguatan negatif (negative reinforcement) didasari prinsip bahwa frekuensi dari suatu
respons akan meningkat karena diikuti dengan suatu stimulus yang tidak menyenangkan
yang ingin dihilangkan. Jadi, perilaku yang diharapkan akan meningkat karena diikuti
stimulus yang tidak menyenangkanContoh, peserta didik sering bertanya dan guru
mengilangkan/tidak mengkritik terhadap pertanyaan yang tidak berkenan di hati guru
sehingga peserta didik akan sering bertanya. Jadi, perilaku yang ingin diulangi atau
ditingkatkan adalah sering bertanya dan stimulus yang tidak menyenangkan yang ingin
dihilangkan adalah kritikan guru sehingga peserta didik tidak malu dan akan sering bertanya
karena guru tidak mengkritik pertanyaan yang tidak berbobot/melenceng.

b. Hukuman
Hukuman (punishment) yaitu suatu konsekuensi yang menurunkan peluang terjadinya suatu
perilaku. Jadi, perilaku yang tidak diharapkan akan menurun atau bahkan hilang karena
diberikan suatu stimulus yang tidak menyenangkan. Contoh, peserta didik yang berperilaku
mencontek akan diberikan sanksi, yaitu jawabannya tidak diperiksa dan nilainya 0 (stimulus
yang tidak menyenangkan/hukuman)Perilaku yang ingin dihilangkan adalah perilaku
mencontek dan jawaban tidak diperiksa serta nilai 0 (stimulus yang tidak menyenangkan
misalnya hukuman).

Perbedaan antara penguatan negatif dan hukuman terletak pada perilaku yang ditimbulkan.
Pada penguatan negatif, menghilangkan stimulus yang tidak menyenangkan (kritik) untuk
meningkatkan perilaku yang diharapkan (sering bertanya). Pada hukuman, pemberian
stimulus yang tidak menyenangkan nilai 0) untuk menghilangkan perilaku yang tidak
diharapkan (perilaku menyontek).

C. Jadwal Pemberian Penguatan

1) Continuous Reinforcement

Penguatan diberikan secara terus-menerus setiap pemunculan respons atau perilaku yang
diharapkan. Contoh, setiap anak mau mengerjakan PR (meskipun banyak yang salah),
orang tua selalu memberi dan menghilangkan kritikan (menghilangkan stimulus tidak
menyenangkan/memberikan pengua negatif). Setiap anak mau membantu memakai sepatu
sendiri ketika akan berangkat sekolah, orang tua selalu memuji (memberikan stimulus
menyenangkan/pengat positif). yang

2) Partial Reinforcement

Penguatan diberikan dengan menggunakan jadwal tertentu (Santrock 2008).

Jadwal Rasio Tetap (Fixed Ratio Schedule - FR), yaitu pemberian penguatan berdasarkan
frekuensi atau jumlah respons/tingkah laku tertent secara tetap. Contoh: Guru TK berkata,
"Jika kalian sudah selesai mengerjakan 10 soal, kalian mendapat hadiah permen." Tanpa
peduli jumlah waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan soal tersebut. Siwa mampu
menyelesaikan 10 soal (jumlah perilaku tetap yang diharapkan) dan mendapat hadiah
permen (merupakan satu penguatan). Dalam pembelajaran, pelaksanaan penguatan ini
dapat ditingkatkan jumlah perilakunya secara bertahap, misalnya meningkat mulai 5 soal
dapat dikerjakan mendapat satu penguatan (FR-5)meningkat menjadi 10 soal mampu
dikerjakan satu penguatan (FR-10)dan seterusnyaAkhirnya, peserta didik diharapkan
mampu mengerjakan banyak soal dengan satu penguatan atau bahkan tanpa adanya
penguatan

Jadwal Interval Tetap (Fixed Interval Schedule - FI), pemberian penguatan berdasarkan
jumlah waktu tertentu secara tetapJika dalam FR jumlah perilakunya yang tetapDalam
FIjumlah waktunya yang tetapContoh ini sangat cocok digunakan seorang ibu untuk melatih
anak kecilnya agar mengurangi kebiasaan makan atau minum susu berlebihanIbu berkata
pada susternya, "Si Badu hanya diberikan susu setiap 1 jam sekali". Jadi, meskipun Si Badu
menangiskarena belum 1 jamsuster tidak boleh memberikan susu Minum susu setiap 1 jam
(perilaku yang diharapkan) dan pemberian susu olen suster (penguatan yang diberikan).
Jumlah waktu bisa ditingkatkan menjadi setiap 2 jam (FI-2), 3 jam (FI-3) sampai akhirnya
menjadi 4 jam sekali (FI-4).

Jadwal Rasio Variabel (Variable Ratio Schedule - VR), pemberian penguatan berdasarkan
perilaku, tetapi jumlah perilakunya tidak tetap. Jadi, penguatan tetap diberikan untuk perilaku
yang diharapkan, tetapi jumlah perilakunya tidak tetap. Contoh paling tepat adalah
permainan anak-anak dengan cara memasukkan koin ke mesin untuk mendapatkan hadiah.
Anak tersebut tidak tahu pada perilaku memasukkan koin yang ke berapa kali, baru
memperoleh hadiah. Contoh dalam pembelajaran adalah guru akan memberi nilai tambahan
setiap peserta didik (dari 40 peserta didik di kelas) yang menjawab benarPeserta didik akan
mencoba untuk menjawab dengan benarPeserta didik berusaha menjawab benar berkali-
kali - karena jawaban belum tentu benar (perilaku menjawab benar berkali kali - VR) dan
tambahan nilai (penguat VR).

Jadwal Interval Variabel (Variable Interval Schedule - VI)pemberian penguatan pada suatu
perilaku, tetapi jumlah waktunya tidak tetap yaitu tidak dapat ditentukan kapan waktunyaJika
dalam VR, jumlah perilakunya tetapDalam VI, jumlah waktunya tidak tetapContoh, guru
secara acak melakukan pemeriksaan secara keliling di kelas terhadap pekerjaan peserta
didik yang menjawab benar dan guru memberi pujian setiap menemukan jawaban benar
peserta didik. Peserta didik tidak tahu kapan guru menghampiri dan melihat pekerjaannya
serta memujinya jika jawabannya benarKarena peserta didik tidak tahu kapan gurunya
menghampiri, peserta didik tersebut selalu berusaha mengerjakan dengan benar setiap
saat. Peserta didik mengerjakan benar setiap saat (perilaku - VI) dan guru yang sempat
menghampiri dan memberi pujian pada waktu yang tidak tetap (penguatan - VI).

3) Keefektifan Hukuman

Hukuman hendaknya diberikan secara berdekatan dengan pemunculan perilaku yang tidak
diharapkan sehingga individu tersebut tahu untuk perilaku yang mana mereka dihukum dan
tidak lupa karena waktunya berdekatan. Contoh, guru segera memberikan hukuman atau
sanksi secara langsung ketika menemukan peserta didiknya tidak mengerjakan pekerjaan
rumah (PR)Guru tidak perlu menunda pemberian hukuman dengan menunggu ada peserta
didik lain yang melakukan hal yang sama. Hukuman akan lebih efektif jika diberikan secara
langsung, meskipun untuk perilaku tertentu belum tentu cocok. Misalnya, seorang gadis
pulang larut malam, mungkin orang tuanya akan menegur besuk paginya karena jika
langsung ditegur akan terjadi keributan di tengah malam dan mengganggu tetangga.

Hukuman hendaknya diberikan untuk perilaku yang sesuai. Terkadang hukuman diberikan
terlalu berat, terlalu ringan, bahkan bentuk hukuman yang tidak ada kaitan dengan perilaku
yang ingin dihilangkan. Contoh: peserta didik yang tidak mengerjakan PR harus keliling
lapangan 10 X (hukuman tidak sesuai), mungkin hukuman yang cocok, peserta didik
diberikan PR yang lebih banyak daripada temannya, dan lain-lain.

3. Thorndike

Teori belajar Thorndike dikenal dengan istilah koneksionisme (connec-tionism)Teori ini


memandang bahwa yang menjadi dasar terjadinya belajar adalah adanya asosiasi atau
menghubungkan antara kesan indera (stimulus) dengan dorongan yang muncul untuk
bertindak (respons), yang disebut dengan connecting (Suryabrata, 2004). Dalam teori ini
juga dikenal istilah selecting, yaitu memilih stimulus yang beraneka ragam di lingkungan
melalui proses mencoba-coba dan gagal (trial & error). Setiap organisme jika dihadapkan
dengan situasi baru akan melakukan tindakan yang sifatnya
coba-coba. Jika dalam mencoba itu secara kebetulan ada tindakan yang dianggap
memenuhi tuntutan situasi, tindakan yang kebetulan cocok itu akan "dipegang"Karena
latihan yang terus-menerus, waktu yang digunakan untuk coba-coba itu semakin lama
semakin efisien. Dalam teori ini, proses tersebut terjadi secara mekanistik, tanpa penalaran,
tidak melihat situasi keseluruhan, dan terjadinya secara bertahap.

Percobaan Thorndike adalah sebagai berikut. Seekor kucing yang lapar dimasukkan ke
dalam kandang tertutup yang ada pintunya, tetapi pintu tersebut diberi pedal, apabila pedal
diinjak, pintu terbuka. Di luar kandang diletakkan sepiring makanan (daging). Apa reaksi
kucing? Mula-mula kucing bergerak ke sana ke mari mencoba-coba hendak ke luar melalui
berbagai jeruji kandang itu. Lama kelamaan pada suatu ketika secara kebetulan terinjak
pedal pintu oleh salah satu kakinya. Pintu kandang terbuka dan kucing pun keluarlah
menuju makanan.

Percobaan diulangi lagi, tingkah laku kucing itu meskipun sama seperti pada percobaan
pertama, hanya waktu yang dibutuhkan untuk bergerak ke sana ke mari lebih singkat.
Setelah diadakan percobaan berkali kali, akhirnya kucing itu tidak perlu lagi ke sana ke mari,
tetapi langsung menginjak pedal pintu dan terus ke luar menuju makanan. Dalam teori
koneksionisme, dikenal dengan hukum-hukum Thorndike, yaitu hukum akibat (low of effect),
hukum kesiapan (law of readiness), dan hukum latihan (law of exercise) (Suryabrata, 2004).
Ketiga hukum tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:

a. Hukum Akibat (Low of Effect)

Suatu tindakan atau tingkah laku yang mengakibatkan suatu keadaan yang menyenangkan
(cocok dengan tuntutan situasi) akan diulangi, diingat, dan dipelajari dengan sebaik-baiknya.
Suatu tindakan atau tingkah laku yang mengakibatkan suatu keadaan yang tidak
menyenangkan (tidak cocok dengan tuntutan situasi) akan dihilangkan atau dilupakan.
Tingkah laku ini terjadi secara otomatis. Contoh: Jika dapat membuat lampion dengan rapi,
peserta didik merasa sangat puas karena mendapat pujian. Tindakan membuat lampion
dengan rapi mengakibatkan suasana hati menyenangkan karena merasa puas dan bahkan
mendapat pujian. Tindakan tersebut akan diulangi, diingat, dan dipelajari dengan sebaik-
baiknya bahkan berusaha menjadi lebih baik lagi.

b. Hukum Kesiapan (Law of Readiness)

Kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu stimulus yang dihadapi sehingga reaksi tersebut
menjadi memuaskan. Pernyataan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

1) Jika individu siap melakukan tindakan, maka melakukan tindakan itu akan menimbulkan
kepuasan. Contoh: Peserta didik yang merasa sangat siap menghadapi ujian dengan belajar
keras, maka mengikuti ujian merupakan suatu tindakan yang menyenangkan karena dapat
mengerjakan dengan benar.
2) Jika individu siap melakukan tindakan, maka tidak melakukan tindakan akan
menimbulkan kekesalan.Contoh: Peserta didik yang merasa sangat siap menghadapi ujian
dengan belajar keras, maka tidak mengikuti ujian karena ujian dibatalkan akan menimbulkan
rasa tidak puas, mungkin jengkel karena usahanya percuma.

3) Jika individu tidak siap melakukan tindakan, maka melakukan tindakan akan
menimbulkan kekesalan. Contoh: Peserta didik tidak siap (tidak belajar) untuk menghadapi
ulangan yang mendadak, maka tindakan mengikuti ujian akan menimbulkan kekesalan
(merasa tidak menyenangkan - khawatir nilai jelek).

Jadi, dalam melakukan suatu perbuatan (belajar), akan dicapai hasil memuaskan apabila
individu siap menerima dan melakukan sesuatu dengan tidak ada hambatan. yang

c. Hukum Latihan (Law of Exercise)

Prinsip dalam hukum latihan ini adalah tingkat frekuensi untuk mempraktikkan (seringnya
menggunakan hubungan stimulus - respons)sehingga hubungan tersebut semakin kuat.
Praktik tersebut lebih efektif jika disertai reward. Hukum ini mengenai istilah law of use dan
low of disuse

1) Makin sering hubungan antara stimulus & respons dilakukan maka akan makin kuat
koneksinya (Law of use). Contoh: Guru melempar bola dan peserta didik harus
menangkapnya. Bola (stimulus) dan menangkap bola (respons)Jika sering dipraktikkan,
hubungan stimulus - respons semakin kuat, yang akhirnya peserta didik menjadi terampil
menangkap bola.

2) Jika hubungan antara stimulus & respons dihentikan untuk periode tertentu, maka
koneksinya akan melemah (Law of dis-use). Contoh: Keterampilan peserta didik menangkap
bola itu terjadi karena latihanJika latihan menangkap bola dihentikan dalam jangka waktu
yang relatif lama (tidak dilatih), lama kelamaan keterampilan menangkap bola menjadi
berkurang atau bahkan hilang (hubungan S-R melemah).

Tanpa informasi atau umpan balik yang memberi reward' hanya terjadi perubahan kecil
dalam distribusi respons.

4. E.RGuthrie

Menurut Guthrie, tingkah laku manusia itu secara keseluruhan merupakan rangkaian
tingkah laku yang terdiri atas unit-unit (Sabri, 1996)Unit-unit tingkah laku ini merupakan
respons-respons dari stimulus sebelumnya dan kemudian unit respons tersebut menjadi
stimulus yang kemudian akan menimbulkan respons bagi unit tingkah laku yang berikutnya.
Demikian seterusnya sehingga merupakan deretan tingkah laku yang terus- menerus.
Jadi, proses terbentuknya rangkaian tingkah laku tersebut terjadi dengan kondisioning
melalui proses asosiasi antara unit tingkah laku satu dengan unit tingkah laku lainnya
menjadi semakin kuat. Prinsip belajar pembentukan tingkah laku ini disebut "Law of
Association".
Menurut Guthrie, untuk memperbaiki tingkah laku yang tidak baik harus dilihat dari rentetan
unit-unit tingkah lakunya, kemudian diusahakan untuk menghilangkan atau mengganti unit
tingkah laku yang tidak baik dengan tingkah laku yang seharusnya

Contoh: Seorang anak mempunyai kebiasaan buruk, yaitu setiap pulang sekolah, setelah
masuk rumah selalu melemparkan tas dan pakaiannya kemudian berganti pakaian dan terus
makan. Ibunya selalu menegur berkali-kali agar sebelum ganti pakaian dan makananaknya
itu harus menggantungkan baju sekolah dan tasnya pada tempatnyaHanya sekali dua kali
anak itu menurut, tetapi kebiasaan buruknya diulang lagi. Guthrie menyarankan agar
teguran orang tua dalam hal ini ibu jangan hanya menyuruh menggantungkan tas dan
pakaian sekolahnya, sesudah makan, tetapi harus diulangi dari awal rangkaian tindakannya.
Anak harus disuruh memakai pakaian sekolah lagi, menyandang tasnya lalu anak disuruh
masuk rumah lagi terus menggantungkan tas dan pakaian sekolah di tempatnya, kemudian
berganti pakaian dan kemudian makan. Begitu seterusnya cara memperbaiki tingkah laku
harus diulangi sampai kebiasaan baik itu dilaksanakan setiap hari (Sabri, 1996).

Selain dengan cara di atas, Ghutrie menyarankan 3 (tiga) metode untuk mengubah tingkah
laku (Sabri, 1996), yaitu:

a. Metode respons bertentangan (Incompatible Response Method). Cara mengubah


tingkah laku dengan jalan memberikan stimulus yang dapat menimbulkan reaksi
yang berlawanan dengan reaksi yang akan dihilangkan. Contoh, jika anak takut
terhadap boneka, maka letakkan permainan yang disukai anak tersbut di dekat
boneka. Dengan meletakkan permainan di dekat boneka, dan yang sebenarnya
boneka tersebut tidak menakutkan, lambat laun anak tersebut tidak takut lagi kepada
boneka. Peletakan permainan yang paling disukai tersebut dapat dilakukan secara
berulang-ulang.

b. Metode membosankan (Exhaustion Method). Contoh, anak kecil suka mengisap


rokok. Mereka disuruh merokok terus sampai bosan dan setelah bosan, mereka akan
berhenti merokok dengan sendirinya.

C. Metode mengubah lingkungan (Change of Environmental Method)Contoh, anak


bosan belajar, maka lingkungan belajarnya dapat diubah-ubah sehingga ada suasana lain
dan memungkinkan mereka senang belajar.

B. Teori Belajar Kognitivistik

Teori ini lebih menekankan proses belajar daripada hasil belajarBagi penganut aliran
kognitivistik belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respons. Lebih
dari itu belajar adalah melibatkan proses berpikir yang sangat kompleksMenurut teori
kognitivistik, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seseorang melalui proses interaksi yang
berkesinambungan dengan lingkunganProses ini tidak berjalan terpatah- patah, terpisah-
pisah, tapi melalui proses yang mengalir, bersambung- sambung, menyeluruh. Ibarat
seseorang yang memainkan musik, tidak hanya memahami not-not balok pada partitur
sebagai informasi yang saling lepas dan berdiri sendiri, tapi sebagai suatu kesatuan yang
secara utuh masuk ke dalam pikiran dan perasaannya.
Menurut psikologi kognitif, belajar dipandang sebagai suatu usaha untuk mengerti
sesuatu. Usaha itu dilakukan secara aktif oleh siswa. Keaktifan itu dapat berupa mencari
pengalaman, mencari informasi, memecahkan masalah, mencermati lingkungan,
mempraktikkan sesuatu untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Para psikolog kognitif
berkeyakinan bahwa pengetahuan yang dimiliki sebelumnya sangat menentukan
keberhasilan mempelajari informasi/pengetahuan yang baru.

Robert M. Gagne

Salah satu teori belajar yang berasal dari psikologi kognitif adalah teori pemrosesan
informasi (Information Processing Theory) yang dikemukakan Gagne. Menurut teori ini,
belajar dipandang sebagai proses pengolahan informasi dalam otak manusia. Sedangkan
pengolahan otak manusia sendiri dapat dijelaskan sebagai berikut.

a. Receptor (alat-alat indera) menerima rangsangan dari lingkungan dan mengubahnya


menjadi rangsangan neural, memberikan simbol-simbol informasi yang diterimanya dan
kemudian diteruskan kepada.

b. Sensory register (penampungan kesan-kesan sensoris) yang terdapat pada syaraf pusat,
fungsinya menampung kesan-kesan sensoris dan mengadakan seleksi, sehingga terbentuk
suatu kebulatan perseptual (persepsi selektif). Informasi-informasi yang masuk, sebagian
diteruskan ke memori jangka pendek, sebagian hilang dari sistem.

C. Short-term memory (memori jangka pendek) menampung hasil pengolahan perseptual


dan menyimpannya. Informasi tertentu disimpan lebih lama dan diolah untuk menentukan
maknanya. Memori jangka pendek dikenal juga dengan memori kerja (working memory),
kapasitasnya sangat terbatas, waktu penyimpanannya juga pendek. Informasi dalam
memori ini dapat ditransformasi dalam bentuk kode- kode dan selanjutnya diteruskan ke
memori jangka panjang.

d. Long-term memory (memori jangka panjang), menampung hasil pengolahan yang ada di
memori jangka pendek. Informasi disimpan dalam jangka panjang dan bertahan lama, siap
untuk dipakai bila diperlukan. Saat transformasi informasi, informasi-informasi baru
terintegrasi dengan informasi-informasi lama Pengeluaran kembali atas informasi-informasi
yang yang sudah tersimpan. tersimpan dalam memori jangka panjang adalah dengan
pemanggilan. Ada dua cara pemanggilan:
(1) informasi mengalir dari memori jangka panjang ke memori jangka pendek dan kemudian
ke response generator;

(2) informasi mengalir langsung dari memori jangka panjang ke response generator selama
pemanggilan (respons otomatis).

e. Response Generator (pencipta respons), menampung tersimpan dalam memori jangka


panjang dan mengubahnya menjadi reaksi jawaban.

Menurut psikologi kognitif, reinforcement sangat penting juga dalam belajar, meskipun
alasan yang dikemukakan berbeda dengan psikologi behavioristik. Menurut psikologi
behavioristik, reinforcement berfungsi sebagai penguat respons atau tingkah laku,
sementara menurut psikologi kognitif berfungsi sebagai balikan (feedback), mengurangi
keragu-raguan hingga mengarah kepada pemahaman.

Jean piaget

Menurut Piaget, proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahapan, yakni asimilasi,
akomodasi, dan equilibrasi (penyeimbangan). Asimilasi adalah proses pengintegrasian
informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada. Akomodasi adalah proses penyesuaian
struktur kognitif ke dalam situasi yang baru. Sedangkan equilibrasi adalah penyesuaian
kesinambungan antara asimilasi dan akomodasi. Sebagai contoh, seorang siswa yang
sudah mengetahui prinsip-prinsip penjumlahan, jika gurunya memperkenalkan prinsip
perkalian, maka terjadilah proses pengintegrasian antara prinsip penjumlahan (yang sudah
ada di benak siswa) dengan prinsip perkalian (sebagai informasi yang baru), inilah yang
dimaksud dengan proses asimilasi. Jika siswa diberi sebuah soal perkalian, maka situasi ini
disebut akomodasi, dalam hal ini berarti penerapan prinsip perkalian dalam situasi yang
baru dan spesifik. Agar siswa dapat terus berkembang dan menambah ilmunya, tapi
sekaligus menjaga stabilitas mental dalam dirinya, proses penyeimbangan. Proses inilah
yang disebut equilibrasi, penyeimbangan antara dunia luar dan dunia dalam. Tanpa proses
ini perkembangan kognitif seseorang akan tersendat- sendat dan berjalan tak teratur.
Seseorang dengan kemampuan equilibrasi yang baik akan mampu menata berbagai
informasi yang diterimanya dalam urutan yang baik, jernih dan logis. Sebaliknya, jika
kemampuan ekuilibrasi seseorang rendah, ia cenderung menyimpan semua informasi yang
ada pada dirinya secara kurang teratur, sehingga ia tampil sebagai orang yang alur
berpikirnya ruwet, tidak logis, berbelit-belit.
Piaget juga mengemukakan bahwa proses belajar harus disesuaikan dengan tahap
perkembangan kognitif yang dilalui siswa. Dalam konteks ini, terdapat empat tahap, yaitu
tahap sensorimotor (anak usia 1,5 - 2 thn), tahap praoperasional (2 - 8 thn), dan tahap
operasional konkret (usia 7/8 tahun sampai 12/14 tahun), dan tahap operasional formal (14
tahun atau lebih). Proses belajar yang dialami seorang anak berbeda pada tahap yang satu
dengan tahap yang lainnya. Secara umum, semakin tinggi tingkat kognitif seseorang maka
semakin teratur dan juga semakin abstrak cara berpikirnya. Karena itu, guru seharusnya
memahami tahap-tahap perkembangan kognitif anak didiknya, serta memberikan isi,
metode, media pembelajaran yang sesuai dengan tahap-tahap tersebut.

Ausubel

Menurut Ausubel, siswa akan belajar dengan baik jika isi pelajaran (instructional content)
sebelumnya didefinisikan dan kemudian dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada
siswa (advance organizers). Dengan demikian, akan mempengaruhi pengaturan kemajuan
belajar siswa. Advance organizers adalah konsep atau informasi umum yang mewadahi
semua isi pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa. Advance organizers dapat
memberikan tiga macam manfaat: (1) menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi
yang akan dipelajari, (2) berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara yang
sedang dipelajari dan yang akan dipelajari, (3) dapat membantu siswa untuk memahami
bahan belajar secara lebih mudah. Untuk itu, pengetahuan guru terhadap isi pembelajaran
harus sangat baik, dengan demikian ia akan mampu menemukan informasi yang sangat
abstrak, umum dan inklusif yang mewadahi apa yang akan diajarkan. Guru juga harus
memiliki logika berpikir yang baik, agar dapat memilah-milah materi pembelajaran,
merumuskannya dalam rumusan yang singkat dan padat serta mengurutkan materi tersebut
dalam struktur yang logis dan mudah dipahami.

Bruner

Sementara, Bruner mengusulkan teori yang disebutnya free discovery learning. Teori ini
menjelaskan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberi
kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan (termasuk konsep, teori, definisi,
dan sebagainya) melalui contoh-contoh yang menggambarkan (mewakili) aturan yang
menjadi sumbernyaSiswa dibimbing secara induktif untuk mengetahui kebenaran umum.
Misalnya, untuk pertama kali memahami konsep "kedisiplinan", siswa tidak harus menghafal
definisi kata tersebut, tetapi mempelajari contoh-contoh konkret tentang perilaku yang
menunjukkan kedisiplinan dan yang tidak, dari contoh-contoh itulah siswa dibimbing untuk
mendefinisikan kata kedisiplinan. Kebalikan dari pendekatan ini disebut "belajar ekspositori"
(belajar dengan cara menjelaskan)Siswa diberikan suatu informasi umum dan diminta untuk
mencari contoh- contoh khusus dan konkret yang dapat menggambarkan makna dari
informasi tersebut, proses belajar ini berjalan secara deduktif. Keuntungan "belajar
menemukan" adalah sebagai berikut

a. Menimbulkan rasa ingin tahu siswa, dapat memotivasi untuk menemukan jawaban-
jawaban

b. Menimbulkan keterampilan memecahkan masalah secara mandiri dan mengharuskan


siswa untuk menganalisa dan memanipulasi informasi

Teori-teori kognitif ini juga sarat akan kritik, terutama teori kognitif Piaget, karena sulit
dipraktikkan khususnya di tingkat-tingkat lanjutSelain itu beberapa konsep tertentu, seperti
intelegensi, belajar atau pengetahuan yang mendasari teori ini sukar dipahami dan
pemahaman itu sendiri pun masih belum tuntas.

C. Teori Belajar Humanistik

Bagi penganut teori humanistik, proses belajar harus berhulu dan bermuara pada manusia.
Dari teori-teori belajar, seperti behavioristik, kognitif dan konstruktivistik, teori inilah yang
paling abstrak, yang paling mendekati dunia filsafat daripada dunia pendidikan. Pada
kenyataannya, teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan dan proses belajar dalam
bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada gagasan tentang
belajar dalam bentuknya yang paling ideal daripada belajar seperti apa yang biasa diamati
dalam dunia keseharian. Karena itu, teori ini bersifat eklektik, artinya teori apapun dapat
dimanfaatkan asal tujuannya untuk "memanusiakan manusia" (mencapai aktualisasi diri)
dapat tercapai. Sebagai contoh, teori belajar bermakna Ausubel (meaningful learning) dan
Taksonomi Tujuan Belajar Bloom dan Krathwohl diusulkan sebagai pendekatan yang dapat
dipakai oleh aliran humanistik (padahal teori-teori tersebut juga dimasukkan dalam aliran
kognitif). Empat pakar lain yang termasuk ilmuwan kubu humanistik adalah Kolb, Honey,
Mumford, Hubermas dan Carl Rogers.

Bloom dan Krathwohl


Bloom dan Krathwohl menunjukkan apa yang mungkin dikuasai (dipelajari) oleh siswa
tercakup dalam tiga kawasan, yaitu kawasan kognitif, afektif dan psikomotor (telah dibahas
dalam Bab I halaman 8-12)Taksonomi Bloom telah berhasil memberi inspirasi kepada
banyak pakar lain untuk mengembangkan teori-teori belajar dan pembelajaran. Pada
tingkatan yang lebih praktis, taksonomi ini telah banyak membantu praktisi pendidikan untuk
merumuskan tujuan-tujuan belajar dalam bahasa yang mudah diapahami, operasional serta
dapat diukur. Selain itu, teori Bloom juga banyak dijadikan pedoman untuk membuat butir-
butir soal ujian, bahkan oleh orang-orang yang sering mengkritik taksonomi tersebut.

Kolb

Sementara, Kolb membagi tahapan belajar dalam empat tahap, yaitu sebagai berikut.

a. Pengalaman konkret: pada tahap dini, seorang siswa hanya mampu sekedar ikut
mengalami suatu kejadian, ia belum mengerti bagaimana dan mengapa suatu kejadian
harus terjadi seperti itu. Inilah yang terjadi pada tahap awal proses belajar.

b. Pengamatan aktif dan reflektif: siswa lambat laun mampu mengadakan pengamatan aktif
terhadap kejadian itu, serta mulai berusaha memikirkan dan memahaminya.

c. Konseptualisasi: siswa mulai belajar membuat abstraksi atau "teori" tentang hal yang
pernah diamatinya. Pada tahapan ini siswa diharapkan sudah mampu untuk membuat
aturan-aturan umum (generalisasi) dari berbagai contoh kejadian yang meskipun tampak
berbeda-beda tetapi mempunyai landasan aturan yang sama.

d. Eksperimentasi aktif: pada tahap ini siswa sudah mampu mengaplikasikan suatu aturan
umum ke situasi yang baru. Dalam dunia matematika, misalnya siswa tidak hanya
memahami asal-usul sebuah rumus, tetapi ia juga mampu memakai rumus tersebut untuk
memecahkan suatu masalah yang belum pernah ia temui sebelumnya.
Menurut Kolb, siklus belajar semacam itu terjadi secara ber kesinambungan dan
berlangsung di luar kesadaran siswa. Meskipun dalam teorinya dapat dibuat garis tegas
antara tahap satu dengan tahap lainnya, namun seringkali terjadi begitu saja, sulit
ditentukan kapan beralihnya.

Honey dan Mumford

Berdasarkan teori Kolb, Honey dan Mumford menggolongkan siswa atas empat tipe, yaitu
sebagai berikut.
a.Siswa tipe aktivis: mereka yang suka melibatkan diri pada pengalaman- pengalaman baru,
cenderung berpikiran terbuka dan mudah diajak berdialog, namun biasanya kurang skeptis
terhadap sesuatu, atau identik dengan sikap mudah percaya. Mereka menyukai metode
yang mampu mendorong menemukan hal-hal baru, seperti brainstorming dan problem
solving.

b. Siswa tipe reflektor: cenderung sangat berhati-hati mengambil langkahDalam proses


pengambilan keputusan cenderung konservatif, dalam arti suka menimbang-nimbang secara
cermat baik-buruknya suatu keputusan.
c. Siswa tipe teoris: biasanya sangat kritis, senang menganalisis dan tidak menyukai
pendapat atau penilaian yang sifatnya subyektif. Bagi mereka, berpikir rasional adalah
sesuatu yang sangat penting. Mereka juga sangat skeptis dan tidak menyukai hal-hal yang
bersifat spekulatif.

dSiswa tipe pragmatis: menaruh perhatian besar pada aspek-aspek praktis dalam segala
hal, mereka tidak suka bertele-tele membahas aspek teoretis-filosofis dari sesuatuBagi
mereka, sesuatu dikatakan ada gunanya dan baik hanya jika bisa dipraktikkan.

Habermas

Pada perspektif yang lain, seperti dalam pandangan Habermas, belajar sangat dipengaruhi
oleh interaksi, baik dengan lingkungan maupun dengan sesama manusia. Habermas
membagi tiga macam tipe belajar, yaitu sebagai berikut.

a. Technical learning (belajar teknis): siswa belajar berinteraksi dengan alam sekelilingnya,
mereka berusaha menguasai dan mengelola alam dengan mempelajari keterampilan dan
pengetahuan yang dibutuhkan untuk itu.

b. Practical learning (belajar praktis): pada tahap ini, siswa berinteraksi dengan orang-orang
di sekelilingnya. Pemahaman siswa terhadap alam tidak berhenti sebagai suatu
pemahaman yang kering dan terlepas kaitannya dengan manusia, pemahamannya justru
relevan jika berkaitan dengan kepentingan manusia.

c. Emancipatory learning (belajar emansipatoris): siswa berusaha mencapai pemahaman


dan kesadaran yang sebaik mungkin tentang perubahan (transformasi) kultural dari suatu
lingkungan. Pemahaman ini dianggap sebagai tahap belajar yang paling tinggi, karena
dianggap sebagai tujuan pendidikan yang paling tinggi

Carl Rogers

Carl Rogers mengemukakan bahwa siswa yang belajar hendaknya tidak dipaksa, melainkan
dibiarkan belajar bebas, siswa diharapkan dapat mengambil keputusan sendiri dan berani
bertanggungjawab atas keputusan-keputusan yang diambilnya sendiri. Dalam konteks
tersebut, Rogers mengemukakan lima hal penting dalam proses belajar humanistik, yaitu
sebagai berikut

a. Hasrat untuk belajar: hasrat untuk belajar disebabkan adanya hasrat ingin tahu manusia
yang terus menerus terhadap dunia sekelilingnya. Dalam proses mencari jawabnya,
seseorang mengalami aktivitas- aktivitas belajar

b. Belajar bermakna: seseorang yang beraktivitas akan selalu menimbang- nimbang apakah
aktivitas tersebut mempunyai makna bagi dirinya. Jika tidak, tentu tidak akan diilakukannya.

c. Belajar tanpa hukuman: belajar yang terbebas dari ancaman hukuman mengakibatkan
anak bebas melakukan apa saja, mengadakan eksperimentasi hingga menemukan sendiri
sesuatu yang baru.
d. Belajar dengan inisiatif sendiri: menyiratkan tingginya motivasi internal yang dimiliki.
Siswa yang banyak berinisiatif, mampu mengarahkan dirinya sendiri, menentukan pilihannya
sendiri serta berusaha menimbang sendiri hal yang baik bagi dirinya.

e. Belajar dan perubahan: dunia terus berubah, karena itu siswa harus belajar untuk dapat
menghadapi kondisi dan situasi yang terus berubah. Dengan demikian belajar yang hanya
sekedar mengingat fakta atau menghafal sesuatu dipandang tak cukup.

Abraham Maslow

Teori Maslow yang sangat terkenal adalah teori kebutuhan. Kebutuhan pada diri manusia
selalu menuntut pemenuhan, dimulai dari tahapan yang paling dasar secara hierarkis
menuju kepada kebutuhan yang paling tingg tahapan-tahapan kebutuhan tersebut adalah
sebagai berikut.

a. Physiological needs: kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan akan makan dan minum,
pakaian dan tempat tinggal, termasuk juga kebutuhan biologis. Disebut sebagai kebutuhan
paling dasar karena dibutuhkan semua makhluk hidup, termasuk manusia.

b. Safety/security needs: kebutuhan akan rasa aman secara fisik dan psikis Aman secara
fisik, seperti terhindar dari gangguan kriminalitas, terori, binatang buas, orang lain, tempat
yang tidak aman dan sebagainya. Aman secara psikis, misalnya tidak kena marah, tidak
diejek, tidak direndahkan, tidak dimutasikan dengan tidak jelas, diturunkan pangkatnya, dan
sebagainya

c. Social needs: kebutuhan sosial dibutuhkan manusia agar ia dianggap sebagai warga
komunitas sosialnya. Bagi siswa agar dapat belajar dengan baik, ia harus merasa diterima
dengan baik oleh teman-temannya.

d.Esteem needs: kebutuhan ego termasuk keinginan untuk berprestasi dan memiliki
prestiseSeseorang membutuhkan kepercayaan dan tanggung jawab dari orang lain. Dalam
pembelajaran, dengan diberikan tugas-tugas yang menantang, maka siswa akan terpenuhi
kebutuhan egonya.

e. Self-actualization needs: kebutuhan aktualisasi adalah kebutuhan untuk membuktikan dan


menunjukkan dirinya kepada orang lainPada tahap ini seorang mengembangkan
semaksimal mungkin potensi yang dimilikinya. Untuk dapat mengaktualisasikan dirinya,
siswa perlu suasana dan lingkungan yang kondusif.

Terhadap teori humanistik ini, terdapat sejumlah kritik yang diajukanKritik tersebut antara
lain karena sifatnya yang terlalu deskriptif dan sulit diterjemahkan dalam langkah-langkah
yang praktis dan konkret namun, karena sifatnya yang deskriptif, teori ini cenderung
memberi arah proses belajar tujuan pendidikan seharusnya bersifat ideal, dan teori humanis
inilah yang menjelaskan bagaimana tujuan ideal itu seharusnyaTeori humanistik ini akan
sangat membantu kita memahami proses belajar serta melakukan proses belajar itu dalam
dimensi yang lebih luas, jika kita mampu menempatkannya pada konteks yang tepat. Pada
gilirannya, akan membantu kita menentukan strategi belajar yang tepat secara lebih sadar
dan terarah, tidak semata-mata tergantung pada intuisi.

D. Teori Belajar Konstruktivistik

Teori konstruktivistik memahami belajar sebagai proses pembentukan (konstruksi)


pengetahuan oleh si belajar itu sendiri. Pengetahuan ada di dalam diri seseorang yang
sedang mengetahui. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang
guru kepada orang lain (siswa). Beberapa pemikiran teori belajar konstruktivistik dapat
dipahami pada penjelasan di bawah ini.

Glaserfeld, Bettencourt (1989) dan Matthews (1994), mengemukakan bahwa pengetahuan


yang dimiliki seseorang merupakan hasil konstruksi (bentukan) orang itu sendiri. Sementara
Piaget (1971), mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan ciptaan manusia yang
dikonstruksikan dari pengalamannya, proses pembentukan berjalan terus menerus dan
setiap kali terjadi rekonstruksi karena adanya pemahaman yang baru. Sedikit berbeda
dengan para pendahulunya, Lorsbach dan Tobin (1992), mengemukakan bahwa
pengetahuan ada dalam diri seseorang yang mengetahui, pengetahuan tidak dapat
dipindahkan begitu saja dari otak seseorang kepada yang lain. Siswa sendiri yang harus
mengartikan apa yang telah diajarkan dengan konstruksiy yang telah dibangun sebelumnya.

Untuk memahami lebih dalam tentang aliran konstruktivistik ini, ada baiknya dikemukakan
tentang ciri-ciri belajar berbasis konstruktivistik. Ciri-ciri tersebut pernah dikemukakan oleh
Driver dan Oldham (1994),

ciri-ciri yang dimaksud adalah seperti berikut ini.


a. Orientasi, yaitu siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan motivasi dalam
mempelajari suatu topik dengan memberi kesempatan melakukan observasi.

b. Elisitasi, yaitu siswa mengungkapkan idenya dengan jalan berdiskusi menulis, membuat
poster dan lain-lain.

c. Restrukturisasi ide, yaitu klarifikasi ide dengan ide orang lain, membangun ide baru,
mengevaluasi ide baru.

d. Penggunaan ide baru dalam berbagai situasi, yaitu ide atau pengetahuan yang telah
terbentuk perlu diaplikasikan pada bermacam-macam situasi.

e. Review, yaitu dalam mengaplikasikan pengetahuan, gagasan yang ada perlu direvisi
dengan menambahkan atau mengubah.

Dalam aliran konstruktivistik pengetahuan dipahami sebagai suatu pembentukan yang terus
menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya
pemahaman-pemahaman baru yang Pengetahuan bukanlah kemampuan fakta dari suatu
kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruksi kognitif seseorang
terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah suatu barang
yang dapat dipindahkan dari pikiran seseorang lain yang telah mempunyai pengetahuan
kepada pikiran orang l belum memiliki pengetahuanLalu bagaimana proses mengkonstruksi
pengetahuan itu terjadi? Manusia dapat mengetahui sesuatu dengan menggunakan
inderanya melalui interaksinya dengan objek dan lingkungan, misalnya melihat, mendengar,
menjamah, membau atau merasakanPengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah
ditentukan, melainkan suatu proses pembentukan

Von Glaserfeld (dalam Paul, 1996), mengemukakan bahwa ada beberapa kemampuan yang
diperlukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan, yaitu: (a) kemampuan mengingat
dan mengungkapkan kembali pengalaman, (b) kemampuan membandingkan dan
mengambil keputusan mengenai persamaan dan perbedaan tentang sesuatu hal, dan (c)
kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu dari pada yang lain
(selective conscience).

Sementara, faktor-faktor yang membatasi proses konstruksi pengetahuan adalah sebagai


berikut.

a. Hasil konstruksi yang telah dimiliki seseorang (constructed knowledge)pengalaman yang


sudah diabstraksikan, yang telah menjadi konsep dan telah dikonstruksikan menjadi
pengetahuan, dalam banyak hal membatasi pengertian seseorang tentang hal-hal yang
berkaitan dengan konsep tersebut.
b.Domain pengalaman seseorang (domain of experience): pengalaman akan fenomena baru
merupakan unsur penting dalam pengembangan pengetahuan, kekurangan dalam hal ini
akan membatasi pengetahuan

cJaringan struktur kognitif seseorang (existing cognitive structure): setiap pengetahuan yang
baru harus cocok dengan ekologi konseptual (konsep, gambaran, gagasan, teori yang
membentuk struktur kognitif yang berhubungan satu sama lain) karena manusia cenderung
untuk menjaga stabilitas ekologi sistem tersebut. Kecenderungan ini dapat menghambat
perkembangan pengetahuan

Adapun proses belajar konstruktivistik bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung
satu arah dari luar ke dalam diri siswa, melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa
kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada
pemutakhiran struktur kognitifnya. Lalu bagaimana peranan siswa?

Menurut pandangan konstruktivistik, belajar merupakan suatu proses pembentukan


pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh siswa. la harus aktif melakukan
kegiatan, aktif berpikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang
dipelajari, tetapi yang paling menentukan terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar
siswa itu sendiri, sementara peranan guru dalam belajar konstruktivistik berperan membantu
agar proses pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak
menstransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk
membentuk pengetahuannya sendiri dan dituntut untuk lebih memahami jalan pikiran atau
cara pandang siswa dalam belajar.

Peranan guru pada pendekatan konstruktivisme ini lebih sebagai mediator dan fasilitator
bagi siswa, yang meliputi kegiatan-kegiatan berikut ini.
a. Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab,
mengajar atau berceramah bukanlah tugas utama seorang guru.

b. Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa


dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasannya. Guru perlu menyemangati
siswa dan menyediakan pengalaman konflik.

c. Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran siswa berjalan atau tidak.
Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa dapat diberlakukan
untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan.

Dalam hal sarana belajar, pendekatan konstruktivistik menekankan bahwa peranan


utama dalam kegiatan belajar adalah aktivitas siswa dalam mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri, melalui bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya
yang disediakan untuk membantu pembentukan tersebut. Lingkungan belajar sangat
mendukung munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas, konstruksi
pengetahuan, serta aktivitas-aktivitas lain yang didasarkan pada pengalaman, sehingga
memunculkan pemikiran terhadap usaha mengevaluasi belajar konstruktivistik.
Pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa realitas ada pada pikiran seseorang,
mengkonstruksi dan menginterpretasikannya berdasarkan pengalaman. Konstruktivistik
mengarahkan perhatiannya pada bagaimana seseorang mengkonstruksi pengetahuan dari
pengalamannya, struktur mental dan keyakinan yang digunakan untuk menginterpretasikan
objek dan peristiwa-peristiwa, di mana interpretasi tersebut terdiri dari pengetahuan dasar
manusia secara individual.

Dalam hal evaluasi akan lebih objektif jika evaluator tidak diberi informasi tentang tujuan
selanjutnya. Sebelum proses belajar dimulai, proses belajar dan evaluasinya akan berat
sebelah. Kriteria pada evaluasi mengakibatkan pengaturan pada pembelajaranTujuan
belajar mengalahkan pembelajaran yang juga akan mengontrol aktivitas belajar siswa. Hasil
belajar konstruktivistik lebih tepat dinilai dengan metode evaluasi goal-free. Evaluasi yang
digunakan untuk menilai hasil belajar konstruktivistik, memerlukan proses pengalaman
kognitif bagi tujuan- tujuan konstruktivistik

Beberapa hal penting tentang evaluasi dalam aliran konstruktivistikadalah:

a. diarahkan pada tugas-tugas autentik;

b. mengkonstruksi pengetahuan yang mengambarkan proses berpikir yang lebih tinggi;

c. mengkonstruksi pengalaman siswa; dan

dmengarahkan evaluasi pada konteks yang luas dengan berbagai perspektif

Pembelajaran konstruktivistik membantu siswa menginternalisasi dan mentransformasi


informasi baru. Transformasi terjadi dengan menghasilkan pengetahuan baru, yang
selanjutnya akan membentuk struktur kognitif baru. Konstruktivistik lebih luas dan sukar
untuk dipahamiPandangan ini tidak melihat pada apa yang dapat diungkapkan kembali atau
apa yang dapat diulang oleh siswa terhadap pembelajaran yang telah diajarkan dengan cara
menjawab soal-soal tes (sebagai perilaku imitasi), melainkan pada apa yang dapat
dihasilkan siswa, didemonstrasikan dan ditunjukkannya.

Anda mungkin juga menyukai