Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

HAKIKAT TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Belajar dan Pembelajaran

Dosen Pengampu :

Parno, Dr., M.Si,

Oleh :

Husnun Nur Hanifah (210351626811)

Kelompok 3 - Offering C12

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

September 2022
BAB I
URAIAN MATERI

A. Pengertian Teori Behavioristik


Behaviorisme merupakan aliran perilaku dalam psikologi yang berpijak bahwa
segala sesuatu yang dilakukan peserta didik termasuk yang ditanggapi, dipikirkan, atau
dirasakan dianggap sebagai perilaku yang tampak. Behaviorisme beranggapan bahwa
segala sesuatu yang dilakukan peserta didik merupakan sesuatu yang dapat diamati.
Tokoh-tokoh pendukung teori behavioristik memiliki pandangan bahwa manusia ketika
dilahirkan pada dasarnya tidak membawa bakat apa pun. Manusia berkembang
berdasarkan stimulus yang diterimanya dari lingkungan sekitarnya. Dengan kata lain,
lingkungan yang buruk bisa menghasilkan manusia yang berkualitas kurang. Sedangkan
lingkungan yang baik akan menghasilkan manusia yang unggul. Konsep Behaviorisme
memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap masalah belajar, dimana teori behaviorisme
beranggapan bahwa belajar merupakan akibat adanya interaksi stimulus dengan respon.
(Herpratiwi, 2016)
Teori behavioristik memiliki anggapan bahwa belajar merupakan suatu perubahan
tingkah laku peserta didik dalam hal kemampuannya untuk berperilaku dengan cara yang
baru akibat adanya interaksi antara stimulus (rangsangan) dan respon (tanggapan). Dalam
hal ini, seseorang akan dianggap telah belajar sesuatu apabila ia sudah dapat menunjukkan
perubahan tingkah lakunya. Dalam teori ini, terdapat empat filosofis utama, diantaranya
(1) manusia merupakan binatang yang bisa berkembang dan manusia belajar dengan cara
yang sama seperti yang telah dilakukan binatang ; (2) pendidikan merupakan proses
perubahan perilaku; (3) peran guru adalah menciptakan lingkungan pembelajaran yang
efektif; (4) efisiensi, ekonomi, ketepatan dan obyektivitas merupakan perhatian utama
dalam pendidikan.
Menurut teori ini, input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon
merupakan sesuatu yang paling penting karena dapat diamati. Dengan kata lain, segala
sesuatu yang terjadi di antara stimulus dan respon dianggap tidak penting untuk
diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Pada teori ini, guru
memberikan stimulus yang dapat berwujud materi pelajaran, latihan soal, motivasi, pujian,
atau hukuman, maka apa yang dihasilkan oleh peserta didik dianggap suatu respon.
Pemberian stimulus dengan frekuensi yang tinggi maka akan mempererat hubungan antara
stimulus dan respon, sehingga hubungan tersebut akan menyebabkan kondisi peserta didik
yang memiliki kebiasaan yang otomatis untuk belajar.(Herliani dkk., 2021)
Teori belajar behavioristik ini sangat menekankan pada hasil belajar, karena adanya
hasil belajar dianggap sebagai respon konkret yang dapat diamati dan diukur. Pada teori
belajar behavioristik ini, guru memiliki peran sebagai seseorang yang bersikap otoriter dan
sebagai agen propaganda dan juga sebagai pengendali input stimulus perilaku peserta didik.
Adanya anggapan tersebut terjadi karena teori belajar behavioristik menganggap bahwa
peserta didik bersifat pasif dan segala sesuatu yang menjadi responnya tergantung pada
stimulus yang didapatkan dari seorang guru. (Nahar, 2016)

B. Tokoh-Tokoh Teori Behavioristik


1. Edward Lee Thorndike
Edward Lee Thorndike berpendapat bahwa belajar didasarkan oleh adanya
persekutuan di antara panca indra dengan impuls untuk bertindak. Prilaku belajar
manusia ditentukan oleh stimulus yang ada di lingkungan sehingga menimbulkan
respon secara refleks. Stimulus yang terjadi setelah sebuah prilaku terjadi akan
mempengaruhi prilaku yang akan dilakukan selanjutnya.
Thorndike melakukan penelitian terhadap seekor kucing yang ditempatkan
dalam kotak puzzle dan dibiarkan untuk mencari jalan keluarnya sendiri. Hasil
penelitiannya tersebut adalah Law of Effect, Law of Exercise, dan Law of Readiness
yang merupakan pemahaman jika suatu stimulus yang diikuti suatu respon (perubahan)
yang memuaskan lingkungan, maka respon tersebut akan cenderung diulang kembali
dan sebaliknya jika sebuah stimulus diikuti dengan respon yang tidak memuaskan
maka respon akan menurun. (Safaruddin, 2016)

2. Ivan Petrovich Pavlov


Ivan Petrovich Pavlov meneliti proses belajar melalui percobaan dengan
menunjukan daging kepada anjing yang sedang kelaparan sebagai unconditioned
stimulus hingga anjing mengeluarkan air liurnya sebagai unconditioned response,
kemudian dibunyikannya bel/lonceng sebagai conditioned stimulus yang kemudian
diteruskan dengan memberi daging kepada anjing. Saat anjing mengeluarkan air liur
ketika loceng dibunyikan tanpa diberikannya daging maka Classical conditioning
terlah terjadi. (Asfar dkk., 2019)
Dari eksperimen tersebut, Pavlov berpendapat bahwa adanya pembiasan
(daging yang menjadi stimulus alami) dapat digantikan oleh stimulus yang telah
dikondisikan. Ketika lonceng dibunyikan, air liur anjing keluar sebagai respon yang
dikondisikan. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa peserta didik dikendalikan
dengan mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk membuat
kebiasaan melakukan respon yang diinginkan, walaupun berasal dari stimulus yang
berasal dari luar dirinya.

3. Burrhus Frederic Skinner


Skinner berpendapat bahwa tingkah laku dapat dipahami melalui analisis
fungsional tingkah laku (functional analysis of behavior) dimana suatu respon akan
timbul mengikuti simulus atau kondisi tertentu. Skinner memiliki fokus utama
mengenai perubahan tingkah laku, bahwa individu dapat memiliki tingkah laku
baru. Skinner meyakini bahwa kepribadian dapat dipahami dengan
mempertimbangkan perkembangan tingkah laku dalam hubungan yang terus menerus
dengan lingkungannya. (Simon dkk., 2021)
Skinner beranggapan bahwa pembentukan tingkah laku secara bertahap dapat
diterapkan melalui manajemen kelas berupa memodifikasi perilaku dengan proses
penguatan, contohnya dengan memberi penghargaan apabila melakuakan sesuatu yang
tepat dan dapat melalui pengkondisian operan yaitu penguatan perilaku operan positif
dan negatif yang dapat muncul atau hilang sesui keinginan. Penguatan positif dapat
dijadikan sebagai stimulus untuk meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku
yang baik sedangkan penguatan negatif dapat mengakibatkan perilaku baik berkurang.

4. John Broadus Waston


Teori Watson menyatakan bahwa tingkah laku individu adalah akibat kebiasaan
(respon) terhadap stimulus tertentu. Menurut teori ini, belajar merupakan proses
interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon harus berbentuk
tingkah laku yang dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Dengan kata lain,
walaupun Waton mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang
selama proses belajar, namun ia menganggap hal-hal tersebut sebagai faktor yang tak
perlu diperhitungkan. John Broadus Waston tetap mengakui bahwa perubahan-
perubahan mental dalam benak siswa itu penting, namun semua itu tidak dapat
menjelaskan apakah seseorang telah belajar atau belum karena tidak dapat
diamati..(Safaruddin, 2016)
C. Prinsip-Prinsip Teori Belajar Behavioristik
1. Stimulus dan Respons
Stimulus merupakan segala sesuatu diberikan guru kepada siswa untuk membantu
proses belajar siswa. Sedangkan respons merupakan reaksi siswa yang dapat diamati
dan diukur terhadap stimulus yang telah diberikan oleh guru.
2. Penguatan (reinforcement)
Penguatan merupakan segala bentuk respon yang bersifat verbal ataupun nonverbal,
yang memperkuat tingkah laku peserta didik. Sedangkan kebalikan dari penguatan
adalah hukuman yang merupakan bentuk respon yang akan memperlemah tingkah laku
peserta didik.
a) Penguatan positif merupakan pemberian stimulus positif yang diikuti respon.
Sedangkan penguatan negatif merupakan penggantian peristiwa yang dinilai
negatif untuk memperkuat perilaku.
b) Penguat primer adalah penguatan yang secara alamiah memuaskan dimana orang
yang mendapatkan penguatan primer tidak memerlukan pembelajaran untuk
menghasilkan efek memuaskan. Contohnya adalah makanan, rasa dicintai.
Sedangkan penguatan sekunder merupakan penguatan yang menjadi bernilai
penguatan bila diasosiasikan dengan penguatan primer. Contohnya mendapatkan
tepukan punggung/pujian saat mendapat rangking 1 di kelas. Rangking (yang bagus)
dapat berfungsi sebagai penguat bila itu berasosiasi sebagai penambah kasih sayang,
rasa cinta, rasa bangga orang tua terhadapnya.
c) Kesegeraan memberi penguatan (immediacy) merupakan penguatan hendaknya
segera diberikan agar memberikan perubahan perilaku yang jauh lebih baik.
d) Pembentukan perilaku (shapping)
e) Kepunahan (extinction) merupakan respon yang telah terbentuk apabila tidak
mendapatkan penguatan lagi dalam waktu tertentu. (Asfar dkk., 2019)
BAB II
PERMASALAHAN KONTEKSTUAL DAN SOLUSINYA

A. Permasalahan Kontekstual
“Stress pada Santri Aliyah yang Tinggal di Pondok Pesantren Asshidiqiyah Kebon
Jeruk Jakarta Barat”

Sumber : https://www.esaunggul.ac.id/gambaran-stress-dan-coping-stress-pada-santri-
aliyah-yang-tinggal-di-pondok-pesantren-asshiddiqiyah-kebon-jeruk-jakarta-barat/

Menjadi santri di sebuah Pondok Pesantren membuat para santri dihadapkan pada
tugas-tugas untuk mematuhi peraturan-peraturan yang berlaku di Pondok Pesantren
tersebut. Bagi santri yang menganggap hal tersebut sebagai tekanan akan mempengaruhi
kondisi fisik ataupun psikologis santri tersebut hingga mengakibatkan stress. Hukuman
yang berat, peraturan-peraturan yang ketat, pengajar yang galak, terpisah dengan keluarga,
materi pelajaran yang banyak, uang saku sedikit, jadwal kegiatan yang padat dan fasilitas
yang kurang memadai merupakan faktor yang menjadi penyebab siswa merasa stress.
Jika dihubungkan dengan teori behavioristik pada kasus ini, pondok pesantren
merupakan suatu conditioned stimulus dan adanya aturan-aturan, hukuman, tugas-tugas
berat merupakan unconditioned stimulus sehingga apabila siswa memberikan respon
negatif sebagai unconditioned response maka pondok pesantren yang merupakan
conditioned stimulus juga ikut direspon negatif oleh siswa.
Selain itu salah satu hal yang menarik pada pesantren adalah rasa tawadhu’(hormat)
seorang santri kepada kyai. Dari fakta yang telah banyak ditemui, biasanya seorang santri
memiliki rasa hormat yang tinggi kepada seorang kyai. Seorang santri juga memiliki sikap
tawadhu’ kepada kyai dalam proses pembelajaran, ketika kyai menjelaskan suatu hal
kepada para santri, para santri tentu akan langsung merespon stimulus yang diberikan oleh
kyai. Perkataan dari seorang kyai seakan-akan menjadi sesuatu yang selalu benar sesuai
dengan ajaran islam. Akibatnya terkadang tidak ada sanggahan sedikit pun dari santri
terhadap perkataan dari kyai dan hal ini memberikan kesimpulan bahwa proses
pembelajaran tersebut terfokus pada stimulus dan respon diantara pendidik (kyai) dengan
peserta didik (santri). Hal tersebut berakibat terhadap keaktifan dari santri terbatasi oleh
stimulus dan respon tersebut sehingga pembelajaran cenderung pasif karena para santri
selalu mengikuti pendapat dari kyai mereka.

B. Solusi Penyelesaian Permasalahan Kontekstual yang Sudah Ada


Solusi penyelesaian pada permasalahan kontekstual yang terjadi pada santri ketika
dihadapkan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi stress adalah dengan strategi yang
dilakukan setiap individu untuk mengurangi stress tersebut dengan coping stress. Ada dua
jenis coping stress yang disebutkan yaitu problem focused coping atau proses dalam diri
individu untuk mencoba mengelola jarak yang ada di antara tuntutan-tuntutan dengan
sumber-sumber daya yang mereka gunakan dalam menghadapi situasi yang menekan dan
focused emotion coping atau usaha dari individu dalam mengendalikan respon emosional
terhadap kondisi yang bersifat sangat menekan.
Lain halnya pada penelitian yang dilakaukan Aziz Fadliansyah terhadap timbulnya
stress pada santriwati baru di Pondok Pesantren Darul Aitami, Aceh Barat, solusi yang
diberikan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan mengurangi beban
belajar terhadap santriwati baru karena satriawati baru membutuhkan waktu untuk
menyesuaikan diri terhadap metode belajar dan kenyamanan yang telah diatur oleh pihak
Pondok. (Fadliansyah, 2013)
Solusi lain untuk mengatasi santri yang pasif terdapat di Pesantren Tauhidullah,
Semarang. Santri di Pesantren Tauhidulloh memiliki unit usaha yang memproduksi aneka
kaligrafi yang telah diekspor ke luar negeri, sebagai wadah agar santri bisa menyalurkan
kreatifitas dan produktifitas yang dimilikinya.

C. Solusi Novelty yang Ditawarkan


Dari solusi penyelesaian permasalahan kontekstual yang sudah ada tentu dapat
mengatasi permasalahan yang ada, namun terkadang ada beberapa solusi baru yang
dirasa akan efektif apabila ditawarkan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada
tersebut. Beberapa solusi baru yang ditawarkan untuk menyelesaikan permasalahan
tersebut diantaranya :
1. Mengurangi respons emosi negatif dari suatu kondisi penyebab stress dengan
meluapkan masalah yang dihadapi dengan cara menuliskannya, melakukan meditasi,
atau dengan berdoa berserah diri kepada Tuhan.
2. Mencoba untuk memanajemen waktu dengan baik dalam menyelesaikan tugas-tugas
yang menjadi faktor penyebab stress tersebut.
3. Lebih berpikir positif, misalnya dengan memandang suatu masalah sebagai
kesempatan untuk belajar dan menambah pengalaman baru.
4. Mencari dukungan sosial, dimana setiap individu memiliki teman yang dekat secara
emosional, pengetahuan, dan memberikan dukungan perhatian yang membantu
mengatasi stress.
5. Pihak pesantren melakukan pendekatan konseling behavioristik mengenai reward
(penghargaan) dan punishment (hukuman). Apabila menggunakan hukuman maka
harus dijelaskan secara gamblang agar hasil yang dikehendaki benar-benar jelas,
target-target tertentu (perubahan tingkah laku) dapat tercapai, dan perilaku yang
buruk dapat dihentikan.
6. Untuk mengatasi siswa yang pasif di kelas, pendidik bisa melakukan strategi dengan
menugaskan siswa untuk membuat pertanyaan kemudian pendidik dapat meminta
untuk mengajukan pertanyaan yang telah dibuat ke teman sekelasnya sebagai bagian
dari diskusi kelas.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Behaviorisme merupakan aliran prilaku yang dalam psikologi yang berpijak bahwa
segala sesuatu yang dilakukan peserta didik termasuk yang ditanggapi, dipikirkan, atau
dirasakan dianggap sebagai prilaku yang tampak. Behaviorisme beranggapan bahwa
segala sesuatu yang dilakukan peserta didik merupakan susuatu yang dapat diamati.
Pendapat tokoh mengenaik teori behavioristik diantaranya:
1. Edward Lee Thorndike berpendapat bahwa belajar didasarkan oleh adanya
persekutuan diantara panca indra dengan implus untuk bertindak.
2. Pavlov berpendapat bahwa peseerta didik dikendalikan dengan mengganti
stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk membuat kebiasaan melakukan
respon yang diinginkan, walupun berasal dari stimulus yang berasal dari luar
dirinya.
3. Skinner berpendapat bahwa tingkah laku dapat dipahami melalui analisis
fungsional tingkah laku (functional analysis of behavior) dimana suatu respon
akan timbul mengikuti simulus atau kondisi tertentu.
4. Teori Watson menyatakan bahwa belajar merupakan proses interaksi antara
stimulus dan respon, namun stimulus dan respon harus berbentuk tingkah laku
yang dapat diamati (observabel) dan dapat diukur.
Prinsip-prinsip teori belajar behavioristik berupa stimulus dan respon serta
penguatan yang meliputi penguatan positif-negatif, penguatan primer-sekunder,
kesegeraan memberi penguatan (immediacy), pembentukan perilaku (shapping), dan
kepunahan (Extinction).

B. Saran
Dari ulasan materi dan permasalahan kontekstual serta solusinya diharapkan
makalah ini dapat menambah wawasan dan juga pengetahuan mengenai teori behavioristik.
Selain itu kita sebagai calon pendidik seharusnya bersiap untuk mendidik para peserta
didik kita dengan baik dan dengan metode serta teori yang tepat sehingga proses belajar
mengajar berjalan dengan baik.
DAFTAR RUJUKAN

Amalia, Rizka dan Ahmad Nur Fadholi. (2015). Teori Behavioristik. Program Studi Pendidikan
Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Asfar, A. M. I. T., Asfar, A. M. I. A., & Halamury, M. F. (2019). Teori Behaviorisme. Makasar:
Program Doktoral Ilmu Pendidikan. Universitas Negeri Makassar.
Aziz Fadliansyah, (2013) FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TIMBULNYA STRES
PADA SANTRIWATI BARU DI PONDOK PESANTREN DARUL AITAMI
KECAMATAN MEUREUBO KABUPATEN ACEH BARAT. Skripsi thesis,
Universitas Teuku Umar Meulaboh.
Herliani, Didimus Tanah Boleng dan Elsye Theodora Maasawet. (2021). Teori Belajar dan
Pembelajaran. Penerbit Lakeisha. Klaten
Herpratiwi. (2016). Teori Belajar dan Pembelajaran. Media Akademi. Yogyakarta
Nahar, Novi Irawan. (2016). Penerapan Teori Belajar Behavioristik dalam Proses
Pembelajaran. Jurnal Nusantara Ilmu Pengetahuan Sosial. Vol. 1 Desember 2016
Safaruddin. (2016). Teori Belajar Behavioristik. Jurnal Kajian Islam dan Pendidikan. Volume
8 No 2
Simon, Irene Maya, Nugraheni Warih Utami, Elia Flurentin dkk., (2021). Perkembangan
Peserta Didik. Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Pembelajaran Universitas
Negeri Malang
LAMPIRAN

A. Hasil Cek Plagiasi

Sumber : https://www.check-plagiarism.com/id/

B. Link Video Presentasi


https://youtu.be/HEtO54QFzqI
C. Link PPT
https://docs.google.com/presentation/d/1cmF22sBiTrr0CWZrZUEFJFAoopYKZzrOCMl
RxAw5OJY/edit?usp=sharing
D. Link Artikel
https://www.esaunggul.ac.id/gambaran-stress-dan-coping-stress-pada-santri-aliyah-
yang-tinggal-di-pondok-pesantren-asshiddiqiyah-kebon-jeruk-jakarta-barat/

Anda mungkin juga menyukai