Anda di halaman 1dari 70

TUGAS TERSTRUKTUR

PRAKSIS PENDIDIKAN MATEMATIKA INOVATIF, PROGRESIF


DAN KONTEMPORER
Diajukan untuk Mememuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Filsafat dan Isu Kontemporer Pendidikan Matematika

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Marsigit, MA.

Penyusun

Depi Ardian Nugraha, S.Pd., M.Pd.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2023
PENDAHULUAN
Praksis merujuk pada tindakan nyata atau pengalaman dalam melakukan suatu
aktivitas atau profesi. Hal ini bisa mencakup apa yang dilakukan oleh seseorang dalam
kehidupan sehari-hari atau praktik yang dilakukan dalam suatu bidang tertentu seperti praktek
medis, hukum, atau keuangan. Praksis biasanya melibatkan penerapan teori atau pengetahuan
dalam situasi dunia nyata, sehingga dapat membantu individu atau organisasi untuk
memperoleh keahlian dan pengalaman yang diperlukan untuk menjadi lebih efektif dalam
melakukan tugas atau pekerjaan mereka. Dalam banyak kasus, praksis juga melibatkan
memperbarui dan mengembangkan keterampilan melalui latihan dan refleksi atas tindakan
yang telah dilakukan.
Perkembangan teori pembelajaran atau learning theory telah mengalami evolusi dari
waktu ke waktu. Teori belajar yang berkembang saat ini di Indoneisa pernah didominasi oleh
teori-teori belajar utama/besar, seperti teori behaviorism dan lain-lain. Seiring perkembangan
waktu maka teori behaviorisme perlahan mulai digantikan oleh cognitive approach
(pendekatan kognitif) yang meliputi 1) social cognitive (kognisi sosial), 2) teori cognitive
information processing (pemrosesan informasi kognitif dari Piaget, 3) meaningful learning
theory (teori pembelajaran bermakna dari Ausubel dengan jargonnya “Assimilation”, 4)
Distribute cognition (Kognisi Terdistribusi). Cognitive Approach atau pendekatan kognisi
meluas, dan berubah menjadi Cognitive Depelopmental (perkembangan kognitif). Dengan
adanya perkembangan kognisi maka mucul teri-teori baru seperti: 1) Teori Sosiokultural
(Vigotsky), teori ini juga yang mempengaruhi atau berkembangnya Activity Theory (teori
aktivitas), 2 Teori kognitif (Piaget), dan 3) Discovery Learning (Pembelajaran Penemuan).
Teori belajar discovery learning (penemuan) dan cognitive Piaget dipengaruhi oleh teori
konstruktivisme. Teori Konstruktivisme yang melibatkan cognitive apprenticeship (magang
kognitif), dimana konsep belajar cognitive apprenticeship (magang kognitif) mendukung
terhadap perkembangan Situated Cognition (situasi kognisi). Teori Sosiokultural (Vigotsky)
juga mempengaruhi perkembangan teori aktivitas. Sedangkan terori belajar yang terbaru
adalah Teori konektivisme (Siemens).
Berikut penjelasan secara singkat mengenai teori teori belajar yang pernah mendominasi
perkembangan terori belajar.
TEORI BELAJAR BEHAVIORISME

Teori Behaviorisme dikembangkan oleh John B. Watson, seorang psikolog Amerika


Serikat, pada awal abad ke-20. John B. Watson dianggap sebagai pendiri teori behaviorisme,
sedangkan B.F. Skinner dikenal sebagai tokoh terkemuka dalam pengembangan teori ini.
Beberapa tokoh lainnya yang turut berkontribusi dalam pengembangan teori behaviorisme
antara lain Ivan Pavlov, Edward L. Thorndike, dan Clark L. Hull. Watson (1913) menganggap
bahwa perilaku manusia dapat dijelaskan dan diprediksi dengan mengamati respons yang
muncul dari rangsangan tertentu di lingkungan, tanpa memperhatikan keadaan dalam pikiran
atau emosi seseorang. Pandangan ini menjadi dasar dari banyak penelitian psikologis
selanjutnya dan memengaruhi perkembangan psikologi sebagai ilmu pengetahuan.
Teori behaviorisme mengklaim bahwa a relative permanent change due to external
environmental experiences yang memiliki makna bahwa perilaku manusia bukanlah hasil dari
proses mental internal seperti pemikiran atau emosi, melainkan merupakan respons yang
dipelajari melalui hubungan antara rangsangan lingkungan dan tindakan manusia. Makna
"relative" mengacu pada fakta bahwa perubahan perilaku dapat bervariasi tergantung pada
situasi dan lingkungan yang berbeda, dan "permanent" mengacu pada fakta bahwa modifikasi
perilaku yang terjadi melalui pembelajaran dapat berlangsung lama atau bahkan selamanya,
meskipun mungkin dapat dipengaruhi oleh pengalaman lingkungan selanjutnya.
Teori behaviourisme juga memiliki asumsi sebagai berikut:
1. Student are blank vessels waiting to be filled (siswa diibaratkan bejana kosong yang
menunggu untuk diisi). Asumsi ini mengacu pada pandangan bahwa individu lahir tanpa
memiliki pengetahuan apa pun dan belajar melalui pengalaman dan interaksi dengan
lingkungan. Dalam konteks pendidikan, asumsi ini menekankan pada peran guru atau
instruktur sebagai sumber pengetahuan dan siswa sebagai penerima yang pasif.
2. Knowledge is outside/independent of a learner (pengetahuan berada di luar/mandiri dari
pembelajar). Asumsi ini menyatakan bahwa pengetahuan tidak bergantung pada individu
yang belajar, melainkan merupakan fakta dan konsep yang terlepas dari individu tersebut.
Dalam konteks pendidikan, asumsi ini mengimplikasikan bahwa tujuan utama dari proses
pembelajaran adalah memindahkan pengetahuan yang sudah ada dari guru ke siswa, tanpa
memperhatikan pengalaman dan pengetahuan sebelumnya yang dimiliki siswa.
3. Behavior is shaped by consequences (perilaku dipengaruhi oleh konsekuensi). Asumsi ini
mengacu pada pandangan bahwa individu belajar melalui penguatan dan hukuman sebagai
akibat dari perilaku yang mereka lakukan. Dalam konteks pendidikan, asumsi ini
menekankan bahwa perilaku siswa dapat dimodifikasi melalui penggunaan penguatan
positif (hadiah) dan negatif (hukuman).
Dalam teori Behaviorisme, tujuan utama dari pendidikan adalah mengajarkan
keterampilan dan perilaku yang diinginkan melalui penggunaan penguatan dan hukuman, serta
menanamkan pengetahuan yang sudah ada ke dalam pikiran siswa. Oleh karena itu, pendekatan
Behaviorisme sering kali menekankan pada penggunaan metode instruksional yang terstruktur
dan terkontrol dengan jelas, seperti drill dan latihan berulang-ulang, untuk memastikan bahwa
siswa memahami dan mampu menerapkan keterampilan yang diajarkan.
Teori Behaviorisme memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Stimulus/response
Karakteristik ini mengacu pada hubungan antara stimulus dan respons dalam
membentuk perilaku manusia. Perilaku manusia terbentuk melalui pengalaman yang dipicu
oleh stimulus yang diterima dari lingkungan. Stimulus adalah setiap objek atau kejadian dalam
lingkungan yang dapat merangsang atau memicu respon pada organisme. Respon atau respons
adalah reaksi yang diberikan oleh organisme terhadap stimulus. Karakteristik
stimulus/response pada teori Behaviorisme yaitu sebagai berikut:
a. Stimulus dapat memicu respons - Dalam teori Behaviorisme, stimulus yang diterima oleh
organisme akan memicu respons yang sesuai. Respons tersebut dapat berupa gerakan,
suara, atau tindakan lainnya yang dilakukan oleh organisme sebagai tanggapan terhadap
stimulus.
b. Respons dapat diukur - Respons yang dihasilkan oleh organisme dapat diukur dengan
mengamati perilaku atau tindakan yang dilakukan oleh organisme sebagai tanggapan
terhadap stimulus. Dalam konteks pendidikan, pengukuran respons dapat membantu guru
atau instruktur dalam mengevaluasi pemahaman siswa terhadap materi pelajaran yang
diajarkan.
c. Respons dapat dimodifikasi melalui penguatan - Respons atau perilaku manusia dapat
dimodifikasi atau diubah melalui pemberian penguatan atau hukuman setelah respons atau
perilaku tertentu terjadi. Penguatan positif dapat meningkatkan kemungkinan bahwa
perilaku tersebut terulang di masa depan, sedangkan penguatan negatif dapat mengurangi
kemungkinan perilaku tersebut terulang di masa depan.
d. Respons dapat dipelajari - Menurut teori Behaviorisme, respons atau perilaku manusia
dapat dipelajari melalui asosiasi antara stimulus dan respons. Jika stimulus tertentu selalu
diikuti oleh respons tertentu, maka individu akan belajar untuk mengasosiasikan kedua hal
tersebut dan bereaksi sesuai.
Karakteristik stimulus/response pada teori Behaviorisme menekankan pada
pentingnya lingkungan sebagai faktor penentu perilaku manusia dan peran pengalaman dan
pembelajaran dalam membentuk perilaku tersebut. Dalam konteks pendidikan, karakteristik ini
dapat membantu guru atau instruktur dalam merancang strategi pembelajaran yang efektif
untuk memodifikasi atau meningkatkan perilaku siswa.
Konsep stimulus/response pada Classical Conditioning dikembangkan oleh seorang
psikolog Rusia bernama Ivan Pavlov. Pavlov (1927) dalam penelitiannya menggunakan anjing
untuk mengidentifikasi bagaimana suatu perilaku atau respons dapat dipicu oleh rangsangan
tertentu atau stimulus. Pada penelitiannya Pavlov memulai dengan memberikan makanan pada
anjing, dan pada saat yang bersamaan bel yang berbunyi. Anjing kemudian mulai mengaitkan
suara bel dengan makanan, sehingga anjing mulai mengeluarkan air liur ketika bel berbunyi
meskipun makanan tidak diberikan. Respons ini disebut sebagai kondisi refleks, karena
merupakan respons yang terjadi secara otomatis.
Dalam classical conditioning, stimulus yang tidak menyebabkan respons (dalam
contoh Pavlov, bel) dikenal sebagai conditioned stimulus (CS), sementara stimulus yang
memicu respons alami (dalam contoh Pavlov, makanan) dikenal sebagai unconditioned
stimulus (US). Respons alami yang dipicu oleh stimulus (dalam contoh Pavlov, air liur anjing)
dikenal sebagai unconditioned response (UR). Setelah kondisi refleks terbentuk, Pavlov
kemudian menghilangkan makanan sebagai stimulus, dan hanya menggunakan suara bel
sebagai stimulus. Dalam jangka waktu yang cukup lama, anjing terus mengeluarkan air liur
ketika bel berbunyi meskipun tidak ada makanan yang diberikan. Respons ini disebut sebagai
conditioned response (CR), karena telah dikondisikan oleh stimulus yang awalnya tidak
memicu respons. Dalam kondisi ini, bel yang awalnya tidak memiliki hubungan dengan air liur
anjing (tidak menyebabkan respons), akhirnya menjadi stimulus yang dapat memicu respons
yang sama dengan makanan (air liur). Proses ini menunjukkan bahwa stimulus dan respons
dapat saling dipelajari melalui pengalaman dan hubungan yang terbentuk antara stimulus dan
respons.
Classical conditioning Pavlov (1927) mengklaim bahwa stimulus/response terjadi
ketika pengalaman atau asosiasi antara stimulus dan respons dapat membentuk kondisi refleks
baru, dan stimulus yang awalnya tidak memicu respons (CS) dapat menjadi stimulus yang
dapat memicu respons (CR) yang sama dengan stimulus yang semula memicu respons (US).
Adanya teori classical conditioning Pavlov merangsang atau mengarahkan kepada
lahirnya teori operant conditioning B. F. Skinner. Teori operant conditioning atau
pembelajaran operan dikembangkan oleh seorang psikolog Amerika bernama B.F. Skinner
pada awal tahun 1930-an. Teori ini mengajukan bahwa perilaku dapat dipelajari melalui
konsekuensi yang mengikuti perilaku tersebut. Skinner (1953) mengidentifikasi dua jenis
konsekuensi (rewards), yaitu reinforcement (penguatan) dan punishment (hukuman), yang
dapat mempengaruhi frekuensi suatu perilaku. Menurut teori operant conditioning, perilaku
yang diperkuat atau reinforced (penguatan) cenderung untuk diulang, sedangkan perilaku yang
dihukum atau punished cenderung untuk tidak diulang. Skinner (1953) juga mengemukakan
bahwa ada empat jenis penguatan (reinforcement), yaitu positive reinforcement, negative
reinforcement, positive punishment, dan negative punishment.
a. Positive reinforcement adalah penambahan suatu stimulus menyenangkan setelah perilaku
yang diinginkan dilakukan untuk meningkatkan frekuensi perilaku tersebut. Contohnya,
memberikan hadiah atau pujian setelah siswa berhasil menyelesaikan tugas dengan baik
b. Negative reinforcement adalah penghilangan suatu stimulus yang tidak menyenangkan
setelah perilaku yang diinginkan dilakukan untuk meningkatkan frekuensi perilaku
tersebut. Contohnya, menghilangkan latihan fisik ketika siswa berhasil menyelesaikan
tugas dengan baik.
c. Positive punishment adalah penambahan suatu stimulus yang tidak menyenangkan setelah
perilaku yang tidak diinginkan dilakukan untuk mengurangi frekuensi perilaku tersebut.
Contohnya, memberikan hukuman verbal atau fisik setelah siswa melakukan pelanggaran
di kelas.
d. Negative punishment adalah penghilangan suatu stimulus yang menyenangkan setelah
perilaku yang tidak diinginkan dilakukan untuk mengurangi frekuensi perilaku tersebut.
Contohnya, menghilangkan waktu bermain setelah siswa melakukan pelanggaran di kelas.
Skinner (1953) juga membedakan antara penguatan positif (positive reinforcement)
dan penguatan negatif (negative reinforcement). Penguatan positif adalah memberikan hadiah
atau pujian sebagai respons atas perilaku tertentu, sedangkan penguatan negatif adalah
menghilangkan rangsangan yang tidak diinginkan sebagai respons atas perilaku tertentu..
Skinner (1953) juga memandang lingkungan sebagai faktor yang sangat penting dalam
pembentukan perilaku, dan bahwa perilaku manusia dapat diubah melalui manipulasi
lingkungan yang sesuai.
Skinner (1953) juga mengidentifikasi prinsip-prinsip pembelajaran, yaitu shaping,
chaining, dan extinction. Shaping adalah proses mengajarkan perilaku yang kompleks melalui
pembelajaran bertahap dengan memberikan reinforcement untuk perilaku yang semakin
mendekati perilaku yang diinginkan. Chaining adalah proses menggabungkan beberapa
perilaku menjadi satu rangkaian perilaku yang kompleks dengan memberikan reinforcement
untuk setiap perilaku yang dilakukan. Extinction adalah proses menghilangkan perilaku dengan
menghilangkan reinforcement untuk perilaku tersebut.

2. Repetition (drill and practice)


Repetition atau yang sering disebut sebagai drill and practice merupakan salah satu
karakteristik utama dari teori Behaviorisme. Karakteristik ini menekankan pentingnya
pengulangan dalam pembelajaran dan pembentukan perilaku. Dalam teori Behaviorisme,
pengulangan atau drill and practice didefinisikan sebagai praktik berulang dalam melakukan
suatu tindakan atau keterampilan untuk memperkuat hubungan antara stimulus dan respons,
sehingga membentuk perilaku yang diinginkan. Dalam praktik drill and practice, siswa
diajarkan untuk memperkuat dan mempertahankan koneksi antara stimulus dan respons
melalui pengulangan.
Metode ini sering digunakan dalam pembelajaran keterampilan motorik seperti
menulis, membaca, atau matematika. Siswa diberikan tugas yang terstruktur dan terorganisir
dengan baik, dan diberikan waktu yang cukup untuk berlatih dan memperkuat koneksi antara
stimulus dan respons. Melalui pengulangan, siswa akan dapat mengembangkan keterampilan
dan memperoleh pengetahuan yang diperlukan. Penerapan metode repetition atau drill and
practice dalam pembelajaran membantu siswa untuk membangun keterampilan secara
bertahap dan memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang materi yang dipelajari. Dalam
lingkungan kelas, guru dapat menggunakan drill and practice untuk memastikan bahwa siswa
telah memahami konsep dan memperoleh keterampilan yang diperlukan. Namun, penggunaan
metode drill and practice dalam pembelajaran juga dapat membosankan dan tidak menarik
minat siswa jika dilakukan secara berlebihan. Oleh karena itu, penting bagi guru untuk
memvariasikan metode pembelajaran dan menciptakan pengalaman belajar yang menarik dan
bervariasi untuk siswa.

3. Extrinsic Motivation
Extrinsic motivation pada dasarnya mengacu pada motivasi yang mendorong
seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau perilaku tertentu untuk mendapatkan hadiah
atau menghindari hukuman. Dalam teori Behaviorisme, imbalan atau hukuman ini berfungsi
sebagai penguatan yang dapat mempengaruhi keinginan atau motivasi seseorang untuk
melakukan suatu tindakan atau perilaku. Extrinsic motivation bertujuan untuk memperoleh
hadiah atau penghargaan tertentu yang ditawarkan sebagai imbalan atas perilaku atau prestasi
tertentu. Hadiah ini bisa berupa uang, pengakuan, penghargaan, atau pujian, yang diharapkan
dapat memotivasi individu untuk melakukan tindakan atau perilaku tertentu. Extrinsic
motivation cenderung berfokus pada hasil atau hasil akhir dari tindakan atau perilaku
seseorang. Dalam konteks pendidikan, ini dapat dilihat pada siswa yang berusaha untuk
mendapatkan nilai yang tinggi atau penghargaan sebagai hasil dari prestasi akademik mereka.
Extrinsic motivation juga terkait dengan penguatan eksternal, yaitu penguatan yang berasal dari
luar individu, seperti penguatan dari guru, orang tua, atau lingkungan sosial. Penguatan ini
dapat mempengaruhi keinginan atau motivasi seseorang untuk melakukan tindakan atau
perilaku tertentu.
Karakteristik extrinsic motivation pada teori Behaviorisme menekankan pada
pentingnya penguatan atau hadiah sebagai motivasi untuk menghasilkan perilaku yang
diinginkan. Meskipun Extrinsic Motivation dapat membantu meningkatkan prestasi dan
motivasi dalam jangka pendek, namun dapat juga menurunkan keinginan atau motivasi
intrinsik yang mendorong individu untuk melakukan tindakan atau perilaku atas kepuasan
internal. Oleh karena itu, pendekatan Behaviorisme menekankan pada pentingnya penguatan
intrinsik, yaitu penguatan yang berasal dari dalam individu, seperti kepuasan pribadi atau rasa
pencapaian atas prestasi yang dicapai.

4. Shaping, chaining, branching, prompting dan fading


Shaping, chaining, branching, prompting, dan fading merupakan beberapa konsep
atau teknik dalam teori Behaviourisme yang digunakan untuk memodifikasi perilaku atau
pembentukan keterampilan pada individu. Berikut adalah penjelasan singkat mengenai makna
dari setiap konsep tersebut:
a. Shaping merupakan teknik untuk membentuk atau memodifikasi perilaku melalui
penguatan bertahap. Teknik ini melibatkan memberikan penguatan pada perilaku yang
semakin mendekati perilaku yang diinginkan. Dalam shaping, penguatan diberikan secara
bertahap pada perilaku yang semakin mendekati target perilaku.
b. Chaining merupakan teknik yang digunakan untuk mengajarkan rangkaian perilaku yang
kompleks melalui pembelajaran bertahap. Dalam chaining, suatu perilaku atau
keterampilan dipecah menjadi beberapa langkah atau tahapan, dan kemudian diajarkan satu
per satu hingga siswa mampu menguasai seluruh rangkaian perilaku secara utuh.
c. Branching adalah teknik yang digunakan untuk mengajarkan konsep atau keterampilan
yang kompleks melalui penjabaran atau penguraian menjadi konsep-konsep yang lebih
kecil atau lebih mudah dimengerti. Dalam branching, konsep-konsep yang lebih sederhana
diajarkan terlebih dahulu, kemudian digabungkan kembali menjadi konsep atau
keterampilan yang lebih kompleks.
d. Prompting adalah teknik yang digunakan untuk membantu individu dalam menyelesaikan
tugas atau menguasai keterampilan baru dengan memberikan petunjuk atau bantuan. Dalam
prompting, petunjuk atau bantuan diberikan secara bertahap dan kemudian dikurangi
seiring dengan peningkatan kemampuan individu.
e. Fading merupakan teknik yang digunakan untuk mengurangi bantuan atau dukungan yang
diberikan kepada individu dalam menguasai keterampilan atau perilaku baru. Dalam
fading, bantuan atau dukungan diberikan secara bertahap dan kemudian dikurangi seiring
dengan peningkatan kemampuan individu.
Karakteristik shaping, chaining, branching, prompting, dan fading pada teori
Behaviourisme menunjukkan bahwa pembelajaran dan pembentukan keterampilan dapat
dilakukan melalui penguatan, pemberian petunjuk atau bantuan, serta penguraian konsep yang
kompleks menjadi konsep-konsep yang lebih sederhana. Teknik-teknik tersebut dapat
membantu individu untuk mengembangkan keterampilan dan memperoleh pengetahuan
dengan lebih baik dan efektif.
Teori behaviourism memiliki keterkaitan dengan Applied Behaviour Analysis (ABA),
Mastery Learning, Programmed Instruction, Instructional Objectives, dan Contingency
Contracts karena semuanya merupakan aplikasi dari teori behaviorisme dalam konteks
pembelajaran dan pengembangan perilaku manusia.
a. Applied Behaviour Analysis (ABA) adalah sebuah metode atau teknik intervensi yang
didasarkan pada teori behaviorism. Tujuannya adalah untuk mengubah perilaku individu
dengan cara menumbuhkan perilaku yang diinginkan dan mengurangi perilaku yang tidak
diinginkan. ABA menggunakan prinsip-prinsip behaviorisme untuk mengidentifikasi dan
memodifikasi perilaku manusia yang tidak diinginkan, serta meningkatkan perilaku yang
diinginkan dengan memberikan penguatan atau hukuman. ABA biasanya digunakan untuk
mengatasi masalah perilaku pada anak-anak atau orang dewasa dengan gangguan
perkembangan atau gangguan perilaku.
b. Mastery Learning suatu konsep atau teknik belajar yang didasarkan pada teori behaviorism.
Tujuan utamanya adalah untuk memastikan bahwa siswa benar-benar memahami materi
sebelum melanjutkan ke materi selanjutnya. Mastery Learning juga dikatakan sebagai
strategi pengajaran yang berfokus pada pencapaian tujuan pembelajaran dengan
menempatkan siswa pada tingkat kemampuan yang tepat dan memastikan bahwa setiap
siswa memahami konsep sebelum melanjutkan ke konsep berikutnya. Kedua strategi ini
berdasarkan pada prinsip-prinsip behaviorisme seperti penguatan dan pengulangan.
c. Programmed Instruction merupakan teknik pengajaran yang dikembangkan berdasarkan
teori behaviorism. Teknik ini didasarkan pada asumsi bahwa belajar dapat diprogram
dengan cara yang terstruktur dan terukur. Dalam Programmed Instruction, materi
pembelajaran dibagi menjadi unit-unit kecil yang diorganisir secara sistematis, dan siswa
diberikan akses ke materi tersebut dalam urutan yang terstruktur dan terprogram.
Programmed Instruction didesain untuk memberikan pengalaman belajar yang terstruktur,
terarah, dan terkendali bagi siswa. Dalam teknik ini, siswa belajar melalui serangkaian
instruksi yang disajikan dalam bentuk teks, gambar, atau video, dan setiap instruksi
biasanya diikuti oleh pertanyaan atau latihan untuk memastikan bahwa siswa benar-benar
memahami materi yang diajarkan. Programmed Instruction biasanya dilengkapi dengan
umpan balik yang langsung dan jelas, sehingga siswa dapat memperbaiki kesalahan mereka
segera setelah melakukan kesalahan. Umpan balik tersebut dapat berupa jawaban yang
benar, penjelasan tambahan, atau arahan untuk mengulang materi tertentu
d. Instructional Objectives atau tujuan pembelajaran adalah pernyataan yang jelas dan
spesifik tentang apa yang diharapkan siswa pelajari setelah mengikuti sebuah kegiatan
pembelajaran. Tujuan pembelajaran dalam teori behaviorism memiliki peran yang penting
dalam membantu merancang dan mengembangkan pengalaman pembelajaran yang efektif
dan terstruktur. Instructional Objectives juga dapat dikantakn sebagai pernyataan tentang
apa yang akan dipelajari siswa dan bagaimana pencapaian tujuan pembelajaran akan
diukur. Tujuan pembelajaran ini biasanya berbasis pada hasil yang dapat diamati dan
diukur, seperti tingkat pemahaman atau kemampuan untuk menyelesaikan tugas.
Dalam teori behaviorism, tujuan pembelajaran dirumuskan dengan cara yang spesifik dan
terukur, dengan merumuskan tujuan pembelajaran yang jelas dan spesifik, instruktur dapat
membantu siswa mengidentifikasi apa yang harus dipelajari dan bagaimana cara mengukur
kemajuan mereka. Hal ini membantu siswa untuk mengembangkan fokus dan motivasi
dalam belajar, serta membantu instruktur untuk merancang pengalaman pembelajaran yang
efektif dan terstruktur.
e. Contingency Contracts tau kontrak kontingensi adalah salah satu teknik atau strategi dalam
teori behaviorism yang digunakan untuk meningkatkan perilaku yang diinginkan dengan
memberikan konsekuensi yang terkait dengan perilaku tersebut. Dalam kontrak
kontingensi, suatu perjanjian dibuat antara individu dan orang yang memberikan
pengarahan atau kontrol dalam situasi tertentu. Perjanjian tersebut mengatur bahwa jika
individu melakukan perilaku yang diinginkan, maka akan menerima hadiah atau
penghargaan tertentu. Sebaliknya, jika individu tidak melakukan perilaku yang diinginkan,
maka akan menerima konsekuensi atau hukuman tertentu. Kontrak kontingensi dapat
digunakan dalam berbagai situasi, seperti di sekolah, tempat kerja, atau dalam keluarga.
Misalnya, seorang siswa dapat membuat kontrak kontingensi dengan guru, bahwa jika ia
mengerjakan tugas dengan baik, maka ia akan mendapatkan penghargaan tertentu, seperti
waktu tambahan untuk bermain di luar ruangan atau hadiah kecil. Sebaliknya, jika siswa
tidak menyelesaikan tugas dengan baik, maka ia harus melakukan pekerjaan tambahan atau
tidak dapat bermain di luar ruangan. Maka dapat disimpulkan bahwa kontrak kontingensi
adalah strategi pengajaran yang melibatkan perjanjian tertulis atau lisan antara guru dan
siswa, yang menetapkan konsekuensi yang akan diberikan jika siswa mencapai tujuan
pembelajaran. Kontrak ini didasarkan pada prinsip-prinsip behaviorisme seperti penguatan
positif dan pengurangan hukuman.
Dalam konteks pembelajaran dan pengembangan perilaku manusia, semua aplikasi
teori behaviorisme ini bertujuan untuk memperbaiki perilaku yang tidak diinginkan,
meningkatkan kinerja, dan mencapai tujuan pembelajaran yang ditetapkan. Oleh karena itu,
teori behaviourism merupakan landasan yang penting dalam pembelajaran dan pengembangan
perilaku manusia.
Meskipun teori belajar behaviorisme memberikan kontribusi penting dalam psikologi
dan ilmu perilaku, ada beberapa kelemahan dalam teori ini, antara lain:
1. Mengabaikan aspek kognitif: Behaviorisme tidak mempertimbangkan peran pemikiran,
motivasi, dan emosi dalam pembentukan perilaku. Teori ini hanya memandang perilaku
sebagai respons terhadap rangsangan lingkungan, tanpa mempertimbangkan proses mental
yang mendasari perilaku tersebut.
2. Mempersempit cakupan perilaku: Behaviorisme hanya memperhatikan perilaku yang
teramati secara langsung, dan mengabaikan perilaku yang tidak terlihat, seperti pemikiran
dan emosi. Hal ini dapat menyebabkan pemahaman yang kurang lengkap tentang manusia
sebagai makhluk sosial.
3. Tidak menjelaskan perbedaan individual: Teori behaviorisme tidak memberikan penjelasan
yang memadai tentang perbedaan individual dalam pembentukan perilaku. Hal ini karena
teori ini hanya memandang manusia sebagai makhluk pasif yang merespons lingkungan,
tanpa mempertimbangkan faktor individual yang memengaruhi perilaku.
4. Kesulitan menjelaskan pembelajaran kompleks: Behaviorisme tidak dapat menjelaskan
pembelajaran yang kompleks, seperti pembelajaran berdasarkan pengalaman dan refleksi.
Teori ini hanya memperhatikan pembelajaran yang terjadi melalui pengulangan dan
pengekangan.
5. Konteks sosial yang diabaikan: Teori behaviorisme mengabaikan konteks sosial dalam
pembentukan perilaku. Teori ini hanya memandang manusia sebagai makhluk yang
merespons lingkungan secara mekanis, tanpa memperhatikan pengaruh budaya, norma, dan
nilai sosial yang memengaruhi perilaku.
Disamping memiliki kelemahan, teori ini juga memiliki beberapa kekuatan, antara
lain:
1. Memiliki konsep yang mudah dipahami: Konsep-konsep dalam teori belajar behaviorisme
mudah dipahami dan dapat diaplikasikan dalam berbagai situasi pembelajaran, seperti
dalam pendidikan dan pelatihan.
2. Mengacu pada perilaku yang teramati: Teori behaviorisme berfokus pada perilaku yang
teramati dan dapat diukur, sehingga memungkinkan pengamatan dan pengukuran yang
objektif.
3. Mampu memprediksi dan mengontrol perilaku: Teori behaviorisme memungkinkan
prediksi dan pengendalian perilaku melalui penguatan dan hukuman.
4. Menekankan pentingnya lingkungan dalam pembentukan perilaku: Teori behaviorisme
menekankan peran lingkungan dalam pembentukan perilaku, sehingga memberikan
dorongan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pembelajaran.
5. Mempunyai aplikasi praktis yang luas: Konsep-konsep dalam teori behaviorisme memiliki
aplikasi praktis yang luas dalam berbagai bidang, seperti dalam pendidikan, psikoterapi,
dan pelatihan hewan.
6. Memberikan dasar bagi pengembangan teori dan pendekatan belajar yang lain: Teori
behaviorisme memberikan dasar bagi pengembangan teori dan pendekatan belajar yang
lain, seperti teori kognitif, teori humanistik, dan teori sosial-kognitif.
TEORI BELAJAR SOSIAL KOGNITIF

Teori social cognitive dikembangkan oleh seorang psikolog bernama Albert Bandura.
Teori ini merupakan pengembangan dari teori pembelajaran sosial yang sebelumnya
dikemukakan oleh psikolog lain seperti B.F. Skinner dan Ivan Pavlov. Teori social cognitive
menekankan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh interaksi antara faktor lingkungan,
kognitif, dan perilaku itu sendiri. Salah satu aspek penting dari teori ini adalah konsep self-
efficacy, yaitu keyakinan individu akan kemampuan dirinya dalam melakukan suatu tindakan
atau mencapai tujuan tertentu. Teori ini banyak diterapkan dalam bidang psikologi pendidikan,
psikologi organisasi, dan psikologi klinis.
Teori social cognitive memiliki tiga premis utama tentang bagaimana orang belajar,
yaitu:
1. People learn by actual doing (orang belajar dengan melakukan langsung). Premis ini
menyatakan bahwa orang belajar dengan melakukan tindakan langsung atau pengalaman
langsung. Dalam konteks ini, orang akan memperoleh pengalaman yang nyata dan berharga
melalui tindakan mereka. Proses belajar akan terjadi ketika orang tersebut merasakan
konsekuensi dari tindakan yang mereka lakukan, baik itu positif maupun negatif. Dengan
demikian, pengalaman langsung ini dapat membentuk keyakinan atau sikap yang lebih kuat
dan lebih tahan lama.
2. People learn by observing others and consequences (orang belajar dengan mengamati
orang lain dan konsekuensinya). Premis kedua dari teori ini adalah bahwa orang belajar
dengan mengamati orang lain. Dalam konteks ini, orang akan belajar melalui pengalaman
orang lain dan konsekuensi dari tindakan mereka. Orang akan meniru atau menghindari
perilaku yang diamati tergantung pada hasil dari perilaku tersebut. Oleh karena itu, orang
akan belajar bagaimana bertindak dan berperilaku dengan mengamati orang lain.
3. Learning by reciprocal interaction of person-environment-behavior (belajar melalui
interaksi timbal balik antara orang, lingkungan, dan perilaku). Premis ketiga dari teori
social cognitive adalah bahwa belajar terjadi melalui interaksi timbal balik antara orang,
lingkungan, dan perilaku. Orang akan menyesuaikan perilaku mereka dengan situasi dan
lingkungan yang berbeda-beda. Lingkungan dapat mempengaruhi perilaku seseorang dan
sebaliknya, perilaku dapat mempengaruhi lingkungan yang ada. Dalam konteks ini, orang
akan belajar melalui interaksi dengan lingkungan dan orang lain.
Konsep learning by reciprocal interaction of person-environment-behavior merupakan
salah satu prinsip utama dalam teori Social Cognitive yang dikembangkan dan
diperkenalkan oleh Albert Bandura. Konsep ini menggambarkan bahwa belajar dan
perilaku seseorang dipengaruhi oleh interaksi timbal balik antara orang, lingkungan, dan
perilaku. Konsep tersebut dikenal dengan sebutan Bandura’s Triad Concept. Bandura’s
Triad Concept menggambarkan tiga faktor utama yang saling berinteraksi dalam
membentuk perilaku seseorang. Tiga faktor tersebut adalah:
a. Personal Factors (Faktor Personal). Personal factors mengacu pada karakteristik
individu seperti sikap, motivasi, keyakinan diri, dan kemampuan kognitif. Faktor ini
mempengaruhi cara individu mempersepsi, memahami, dan merespons lingkungan dan
situasi yang ada.
b. Behavioral Factors (Faktor Perilaku). Behavioral factors mengacu pada tindakan atau
perilaku individu dalam berbagai situasi. Faktor ini mencakup perilaku yang diamati
secara langsung oleh orang lain, serta tindakan yang tidak diamati atau bersifat internal
seperti pemikiran dan emosi.
c. Environmental Factors (Faktor Lingkungan). Environmental factors mengacu pada
situasi atau lingkungan di mana perilaku individu terjadi. Faktor ini mencakup berbagai
faktor eksternal seperti budaya, nilai, norma, dan faktor fisik seperti tempat dan waktu.
Konsep ini juga menekankan bahwa interaksi antara orang, lingkungan, dan perilaku
bersifat timbal balik atau saling mempengaruhi. Artinya, perilaku individu dapat
mempengaruhi lingkungan dan situasi yang dialaminya. Sebaliknya, lingkungan dan situasi
yang dialami oleh seseorang juga dapat mempengaruhi perilaku dan karakteristik individu .
Dalam konteks pendidikan, konsep learning by reciprocal interaction of person-
environment-behavior dapat diterapkan untuk memahami bagaimana lingkungan belajar
dan perilaku siswa saling mempengaruhi. Lingkungan belajar yang kondusif dan positif
dapat mempengaruhi sikap dan motivasi siswa dalam belajar. Sebaliknya, perilaku siswa
dalam belajar juga dapat mempengaruhi lingkungan belajar yang ada, misalnya melalui
interaksi sosial dengan teman sekelas atau guru
Secara keseluruhan, teori social cognitive menyatakan bahwa orang belajar melalui
pengalaman langsung, pengamatan orang lain, dan interaksi timbal balik antara orang,
lingkungan, dan perilaku. Premis-premis ini memberikan pandangan yang holistik dan
komprehensif tentang bagaimana orang belajar dan berperilaku.
Teori sosial kogninif mendefiniskan learning as becoming authentic to real-life
situations. Hal tersebut mengacu pada kemampuan seseorang untuk mengembangkan
keterampilan dan pengetahuan yang dapat diterapkan dalam situasi kehidupan nyata. Dalam
konteks ini, vicarious learning dan enactive learning dapat memberikan makna yang berbeda
dalam membantu seseorang untuk mencapai tujuan ini.
Vicarious learning adalah proses belajar melalui pengamatan atau observasi terhadap
perilaku orang lain dan konsekuensi dari perilaku tersebut. Dalam konteks ini, vicarious
learning dapat membantu seseorang untuk menjadi lebih autentik dalam menghadapi situasi
kehidupan nyata dengan mengamati dan meniru perilaku orang lain yang sukses dalam situasi
yang serupa. Proses ini memungkinkan seseorang untuk memperoleh pengetahuan dan
keterampilan yang relevan dengan situasi yang dihadapi.
Sementara itu, enactive learning adalah proses belajar melalui pengalaman langsung
dan tindakan seseorang dalam situasi nyata. Dalam konteks ini, enactive learning dapat
membantu seseorang untuk menjadi lebih autentik dalam menghadapi situasi kehidupan nyata
dengan memberikan kesempatan untuk berlatih dan menguji keterampilan dan pengetahuan
yang dimilikinya. Dalam hal ini, seseorang dapat memperoleh pengalaman dan pemahaman
yang lebih mendalam tentang situasi yang dihadapinya dan belajar untuk menyesuaikan diri
dengan situasi tersebut.
Dengan demikian, baik vicarious learning maupun enactive learning dapat membantu
seseorang untuk mencapai learning as becoming authentic to real-life situations dengan cara
yang berbeda. Vicarious learning dapat membantu seseorang untuk mengamati dan meniru
perilaku orang lain yang sukses dalam situasi yang serupa, sedangkan enactive learning dapat
membantu seseorang untuk memperoleh pengalaman dan pemahaman yang lebih mendalam
tentang situasi yang dihadapinya dan belajar untuk menyesuaikan diri dengan situasi tersebut.
Kedua metode ini dapat digunakan bersamaan untuk mencapai hasil yang lebih efektif dalam
mencapai tujuan belajar dan mengembangkan keterampilan yang dapat diterapkan dalam
situasi kehidupan nyata.
Selain memiliki premis, teori sosial kognitif dibentuk oleh beberapa karakteristik.
Bandura (1986) memaparkan karakteristik utama dari teori sosial kognitif sebagai berikut:
1. Modelling
Modeling theory adalah karakteristik utama dari teori sosial kognitif yang
dikembangkan oleh Albert Bandura. Karakteristik ini mengacu pada proses belajar melalui
pengamatan dan peniruan orang lain dalam melakukan perilaku tertentu. Dalam konteks
ini, pengamat atau pelajar belajar dengan mengamati tindakan orang lain dan hasil dari
tindakan tersebut, dan kemudian meniru atau mengadopsi perilaku yang diamati. Pada teori
sosial kognitif, modeling memainkan peran penting dalam pengembangan perilaku dan
keterampilan seseorang. Individu mempelajari perilaku baru melalui pengamatan orang
lain yang melakukan perilaku tersebut, dan kemudian menirunya dengan cara yang sama.
Proses modeling ini memungkinkan individu untuk memperoleh keterampilan dan
pengetahuan baru tanpa harus mengalami konsekuensi negatif dari tindakan yang salah.
Selain itu, proses modeling juga dapat membantu individu untuk mengembangkan
motivasi dan keyakinan diri dalam melakukan perilaku tertentu. Ketika individu melihat
orang lain berhasil dalam melakukan tindakan tertentu, mereka cenderung merasa lebih
percaya diri dalam melakukan tindakan yang sama. Proses ini dapat membantu individu
untuk mengatasi rasa takut atau rasa tidak percaya diri dalam mengambil tindakan yang
dianggap sulit atau tidak mungkin. Dalam konteks pendidikan, proses modeling dapat
dimanfaatkan untuk membantu siswa memperoleh keterampilan baru dan meningkatkan
prestasi akademik mereka. Pendidik dapat menggunakan model atau contoh dari siswa
yang telah berhasil dalam belajar atau mencapai tujuan akademik tertentu sebagai
pengajaran dan bimbingan bagi siswa yang masih berusaha mencapai tujuan yang sama.
Dengan melihat dan meniru perilaku dan strategi yang efektif dari model tersebut, siswa
dapat mengembangkan keterampilan dan strategi belajar yang lebih efektif dan efisien.
2. Scaffolding
Scaffolding adalah salah satu karakteristik penting dari teori sosial kognitif yang
dikembangkan oleh Albert Bandura. Karakteristik ini mengacu pada proses pemberian
dukungan atau bantuan oleh seseorang yang lebih berpengalaman atau berpengetahuan
lebih tinggi kepada seseorang yang sedang belajar atau mengembangkan keterampilan
baru. Dalam konteks pendidikan, scaffolding adalah teknik pembelajaran yang digunakan
untuk membantu siswa dalam memperoleh pengetahuan dan keterampilan baru. Pendidik
atau tutor memberikan dukungan dan bantuan yang dibutuhkan oleh siswa untuk mencapai
tujuan pembelajaran yang diinginkan. Proses ini melibatkan tiga tahap utama: modeling,
coaching, dan fading.
Tahap pertama, yaitu modeling, melibatkan pendidik atau tutor yang menunjukkan
atau menirukan perilaku atau tindakan yang diinginkan oleh siswa. Pendidik memberikan
contoh atau model yang baik dari perilaku atau tindakan yang diharapkan. Tahap kedua,
yaitu coaching, melibatkan pendidik atau tutor yang memberikan bimbingan dan dukungan
yang tepat dan terarah kepada siswa. Pendidik mengajarkan dan membimbing siswa dalam
memahami dan mengembangkan keterampilan yang diperlukan. Tahap ketiga, yaitu fading,
melibatkan pendidik atau tutor yang meredakan bantuan dan dukungan kepada siswa
seiring berjalannya waktu. Pendidik memberikan ruang dan kesempatan kepada siswa
untuk mandiri dan menerapkan keterampilan yang telah dipelajari dengan dukungan
minimal.
Proses scaffolding bertujuan untuk memungkinkan siswa untuk memperoleh
keterampilan baru dengan cara yang lebih efektif dan efisien. Dengan memberikan
dukungan yang tepat dan terarah, siswa dapat belajar dan berkembang dengan lebih cepat
dan mudah. Selain itu, proses scaffolding juga membantu siswa untuk mengembangkan
rasa percaya diri dan motivasi yang tinggi, karena mereka merasa didukung dan dibimbing
dengan cara yang positif dan mendukung.
3. Clear goal
Clear goal atau tujuan yang jelas adalah salah satu karakteristik lain dari teori sosial
kognitif yang dikembangkan oleh Albert Bandura. Karakteristik ini mengacu pada
pentingnya menetapkan tujuan yang spesifik dan jelas dalam pembelajaran atau
pengembangan keterampilan baru. Dalam konteks pendidikan atau pelatihan, clear goal
dapat membantu siswa atau peserta pelatihan untuk memahami dengan jelas apa yang
mereka perlu capai atau pelajari. Tujuan yang jelas dan spesifik dapat membantu siswa
untuk memfokuskan perhatian dan usaha mereka pada tujuan yang diinginkan. Hal ini juga
dapat membantu mereka untuk mengevaluasi kemajuan mereka dan memperbaiki strategi
belajar atau pembelajaran yang mereka gunakan. Tujuan yang jelas dan spesifik juga dapat
membantu mengurangi rasa cemas atau kekhawatiran yang mungkin dirasakan oleh siswa
atau peserta pelatihan. Dengan mengetahui apa yang diharapkan dari mereka, siswa atau
peserta pelatihan dapat merasa lebih percaya diri dalam melaksanakan tugas atau
keterampilan baru yang mereka pelajari. Selain itu, clear goal juga dapat membantu
memotivasi siswa atau peserta pelatihan. Tujuan yang jelas dan spesifik dapat memberikan
rasa pencapaian atau kepuasan ketika mereka berhasil mencapainya. Hal ini dapat
membantu mereka untuk tetap termotivasi dalam mempelajari atau mengembangkan
keterampilan baru.
4. Stresses feedback
Stresses feedback atau penekanan pada umpan balik merupakan salah satu
karakteristik lain yang penting dari teori sosial kognitif yang dikembangkan oleh Albert
Bandura. Karaktersitik ini mengacu pada pentingnya memberikan umpan balik yang tepat
dan konstruktif dalam proses pembelajaran atau pengembangan keterampilan. Dalam
konteks pembelajaran atau pelatihan, umpan balik yang tepat dapat membantu siswa atau
peserta pelatihan untuk memahami dengan jelas kemajuan mereka dalam mencapai tujuan
pembelajaran. Umpan balik yang tepat dapat memberikan informasi tentang kekuatan dan
kelemahan siswa atau peserta pelatihan, serta membantu mereka untuk memperbaiki atau
meningkatkan strategi pembelajaran atau pengembangan keterampilan mereka.
Stresses feedback juga dapat membantu meningkatkan motivasi siswa atau peserta
pelatihan. Umpan balik yang positif dapat memberikan rasa pencapaian atau kepuasan,
sementara umpan balik yang konstruktif dapat memberikan dorongan untuk terus
meningkatkan atau memperbaiki diri. Hal ini dapat membantu siswa untuk mencapai hasil
yang lebih baik dan merasa lebih percaya diri dalam menghadapi tantangan yang lebih
besar di masa depan. Kesimpulannya, stresses feedback merupakan karakteristik penting
dalam teori sosial kognitif karena memberikan umpan balik yang tepat dan konstruktif
dapat membantu meningkatkan efektivitas pembelajaran atau pengembangan keterampilan.
Hal ini dapat membantu siswa atau peserta pelatihan untuk mencapai hasil yang lebih baik
dan merasa lebih percaya diri dalam menghadapi tantangan yang lebih besar di masa depan.
5. Attention atau perhatian
Karakteristik ini mengacu pada pentingnya perhatian yang diberikan oleh individu
terhadap model yang menjadi contoh atau sumber belajar. Dalam teori sosial kognitif,
attention atau perhatian adalah langkah pertama dalam memperoleh pengetahuan dan
keterampilan baru melalui pengamatan. Jika individu tidak memberikan perhatian yang
cukup terhadap model yang menjadi contoh atau sumber belajar, maka pengamatan dan
pembelajaran tidak akan berhasil. Perhatian yang diberikan oleh individu terhadap model
atau sumber belajar dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut antara
lain kejelasan model, kepentingan atau relevansi informasi yang dipelajari, serta motivasi
individu untuk belajar. Kejelasan model mengacu pada kualitas atau kejelasan informasi
yang disajikan oleh model. Informasi yang disajikan oleh model harus jelas, mudah
dipahami, dan sesuai dengan tujuan belajar individu.
Kepentingan atau relevansi informasi yang dipelajari berkaitan dengan sejauh mana
informasi tersebut berguna atau relevan bagi individu dalam konteks kehidupannya. Jika
individu merasa informasi yang dipelajari tidak berguna atau relevan, maka mereka
cenderung kehilangan minat dan tidak memberikan perhatian yang cukup. Motivasi
individu untuk belajar juga memainkan peran penting dalam perhatian. Jika individu
memiliki motivasi yang kuat untuk belajar atau mencapai tujuan tertentu, maka mereka
cenderung memberikan perhatian yang lebih besar terhadap model atau sumber belajar .
6. Intrinsic motivation atau motivasi intrinsik
Karakteristik ini mengacu pada motivasi yang berasal dari dalam diri individu, bukan
dari faktor eksternal seperti hadiah atau hukuman. Menurut teori sosial kognitif, individu
cenderung mempertahankan atau meningkatkan perilaku yang dianggap berhasil atau
memberikan hasil positif. Intrinsic motivation muncul ketika individu merasa senang dan
puas dengan hasil kerjanya dan merasa bahwa mereka telah mengembangkan kompetensi
atau keterampilan baru.
Intrinsic motivation dapat ditingkatkan melalui pengalaman pribadi yang positif dan
dukungan sosial yang positif dari lingkungan sekitar. Individu yang merasa didukung dan
diberi feedback positif dari lingkungan sekitar cenderung lebih termotivasi secara intrinsik
dan merasa lebih percaya diri dalam mengambil tindakan dan mengembangkan
keterampilan baru. Namun, terdapat beberapa faktor yang dapat mengurangi motivasi
intrinsik, seperti kelelahan atau kejenuhan, kurangnya tantangan atau kesulitan dalam tugas
yang diberikan, serta penilaian yang berfokus pada hasil atau reward eksternal. Dalam
konteks pendidikan, pengajaran yang mengutamakan motivasi intrinsik dapat membantu
siswa untuk merasa lebih termotivasi, berpartisipasi aktif dalam pembelajaran, dan
mencapai hasil yang lebih baik. Oleh karena itu, guru dan pendidik dapat mencoba
membangun lingkungan yang mendukung dan memfasilitasi pengalaman positif dan
feedback yang memperkuat motivasi intrinsik siswa.
7. Connection of prior knowledge to new information
Karakteristik ini mengacu pada kemampuan individu untuk menghubungkan
pengetahuan dan pengalaman yang sudah dimiliki dengan informasi baru yang diterima,
sehingga memungkinkan mereka untuk memahami dan mengingat informasi tersebut
secara lebih efektif. Teori sosial kognitif menyatakan bahwa individu memiliki jaringan
pengetahuan atau skema yang tersimpan dalam memori jangka panjang. Ketika individu
menerima informasi baru, mereka akan mencoba menghubungkannya dengan skema atau
pengetahuan yang sudah ada dalam memori mereka. Hal ini dapat membantu individu
memahami dan mengingat informasi baru secara lebih efektif, karena mereka dapat
menggunakan pengetahuan yang sudah ada sebagai landasan untuk memahami konsep
yang baru.
Selain itu, penghubungan antara pengetahuan yang sudah ada dengan informasi baru
juga dapat membantu individu untuk mengembangkan pemahaman yang lebih dalam
tentang konsep yang dipelajari, serta memperluas dan memperdalam pengetahuan yang
sudah ada. Oleh karena itu, pengajar atau pendidik dapat membantu siswa untuk membuat
hubungan antara pengetahuan yang sudah dimiliki dengan informasi baru yang diterima,
sehingga dapat membantu mereka memahami materi pelajaran secara lebih baik. Dalam
konteks pembelajaran, pengajar dapat menggunakan strategi pengajaran yang membangun
pada pengetahuan dan pengalaman siswa, serta membantu siswa untuk menghubungkan
informasi baru dengan pengetahuan dan pengalaman yang sudah ada dalam memori
mereka. Hal ini dapat meningkatkan pemahaman dan retensi informasi, serta membantu
siswa untuk mengembangkan pemahaman yang lebih dalam tentang konsep yang
dipelajari. Kesimpulannya, connection of prior knowledge to new information adalah
karakteristik penting dalam teori sosial kognitif karena kemampuan individu untuk
menghubungkan pengetahuan dan pengalaman yang sudah dimiliki dengan informasi baru
yang diterima dapat membantu mereka memahami dan mengingat informasi tersebut secara
lebih efektif, serta mengembangkan pemahaman yang lebih dalam tentang konsep yang
dipelajari.
8. Retention reproducing activity
Retention reproducing activity adalah salah satu karakteristik teori sosial kognitif
yang merujuk pada kemampuan individu untuk mempertahankan informasi yang sudah
dipelajari dan mereproduksinya kembali pada waktu yang akan datang. Teori sosial
kognitif, berpendapat retention atau retensi merupakan kemampuan individu untuk
menyimpan informasi yang sudah dipelajari dalam memori jangka panjang. Informasi yang
disimpan dalam memori jangka panjang dapat diakses kembali dan digunakan pada waktu
yang akan datang.
Reproducing activity merujuk pada kemampuan individu untuk mereproduksi atau
menghasilkan kembali suatu tindakan atau perilaku yang telah dipelajari. Kemampuan
reproduksi ini dipengaruhi oleh pengalaman belajar sebelumnya dan lingkungan di
sekitarnya. Dalam konteks pembelajaran, retention reproducing activity sangat penting
untuk memastikan bahwa siswa dapat mempertahankan dan mengaplikasikan informasi
yang telah dipelajari dalam situasi kehidupan nyata. Oleh karena itu, pengajar atau pendidik
harus merancang pengalaman pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk
mengembangkan kemampuan retensi dan reproduksi yang baik.
Beberapa strategi yang dapat digunakan oleh pengajar untuk meningkatkan retention
reproducing activity siswa antara lain:
1. Menggunakan teknik pengulangan dan pengulangan terstruktur untuk membantu siswa
mempertahankan informasi yang telah dipelajari.
2. Memberikan umpan balik (feedback) yang efektif dan terkait dengan tujuan
pembelajaran untuk membantu siswa memperbaiki dan mengembangkan kemampuan
reproduksi mereka.
3. Menggunakan pendekatan pembelajaran yang menekankan pada aplikasi praktis dari
konsep yang dipelajari, sehingga siswa dapat mengembangkan kemampuan reproduksi
mereka dalam situasi kehidupan nyata.
4. Membantu siswa untuk mengembangkan strategi pemecahan masalah dan memecahkan
masalah yang kompleks yang memerlukan penggunaan informasi yang telah dipelajari
dan kemampuan reproduksi yang baik.
Teori sosial kognitif establishes association via repetition and continuity yang
bermakna teori sosial kognitif menekankan pentingnya pembentukan asosiasi atau koneksi
antara stimulus dan respons dalam proses belajar. Asosiasi ini dibentuk melalui pengulangan
dan kontinuitas. Pengulangan adalah proses mengulang-ulang suatu informasi atau stimulus
untuk membentuk hubungan antara stimulus dan respons yang diinginkan. Dalam
pembelajaran, pengulangan memungkinkan otak untuk mengenali pola dan koneksi antara
stimulus dan respons yang terjadi secara terus-menerus. Kontinuitas, di sisi lain, merujuk pada
pengalaman yang terjadi secara berkelanjutan. Dalam pembelajaran, kontinuitas dapat berupa
pengalaman yang terjadi secara terus-menerus atau berulang-ulang dalam waktu yang lama.
Hal ini membantu individu untuk membangun hubungan yang lebih kuat antara stimulus dan
respons, dan memperkuat pembentukan asosiasi.
Teori sosial kognitif juga needed full participation of groups/individuals, hal ini
menunjukkan bahwa sosial kognitif membutuhkan partisipasi penuh dari kelompok atau
individu dalam proses pembelajaran. Hal ini berarti bahwa individu atau kelompok harus aktif
terlibat dalam pembelajaran dan memainkan peran aktif dalam membentuk pola perilaku yang
diinginkan. Pada konteks teori sosial kognitif, pembelajaran lebih efektif ketika individu atau
kelompok terlibat secara aktif dalam pembentukan pola perilaku yang diinginkan. Ini berarti
mereka harus terlibat dalam aktivitas pembelajaran, dan tidak hanya menjadi pasif penerima
informasi. Partisipasi aktif ini mencakup kegiatan seperti mengamati, mempraktekkan, dan
memberikan umpan balik terhadap perilaku yang diinginkan.
Dengan melibatkan individu atau kelompok secara aktif dalam pembelajaran dan
pembentukan pola perilaku yang diinginkan, teori sosial kognitif dapat membantu memperkuat
pembentukan asosiasi antara stimulus dan respons yang diinginkan. Hal ini dapat membantu
individu atau kelompok untuk memperkuat pola perilaku yang diinginkan dan memperkuat
pengalaman pembelajaran mereka. Oleh karena itu, partisipasi penuh dari individu atau
kelompok dianggap sebagai faktor kunci dalam teori sosial kognitif. Partisipasi aktif ini dapat
membantu individu atau kelompok untuk memperkuat pembentukan asosiasi antara stimulus
dan respons yang diinginkan, dan pada gilirannya membentuk pola perilaku yang diinginkan.
Teori Belajar Sosial Kognitif, memiliki beberapa kekuatan atau keunggulan,
diantaranya:
1. Fokus pada Interaksi Sosial: Teori ini menekankan pada pengaruh lingkungan sosial dalam
belajar, yang memungkinkan individu untuk belajar melalui pengamatan, interaksi, dan
peniruan orang lain. Hal ini memungkinkan individu untuk belajar melalui berbagai
pengalaman yang diperoleh dari lingkungan sekitarnya.
2. Pengembangan Self-Efficacy: Teori ini memperkenalkan konsep self-efficacy, yang
memungkinkan individu untuk membangun keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk
melakukan tugas-tugas tertentu. Hal ini dapat membantu individu untuk mengembangkan
motivasi dan percaya pada dirinya sendiri dalam mencapai tujuan.
3. Relevansi dalam Pendidikan: Teori ini memiliki relevansi penting dalam pendidikan, di
mana model pembelajaran berdasarkan teori ini telah dikembangkan dan digunakan secara
luas untuk membantu individu belajar dengan lebih efektif. Model-model ini membantu
individu untuk belajar melalui pengalaman, peniruan, dan interaksi sosial.
4. Pengembangan Psikoterapi: Teori ini juga memiliki relevansi penting dalam psikoterapi, di
mana model-model terapi berdasarkan teori ini telah dikembangkan dan digunakan secara
luas untuk membantu individu mengubah perilaku negatif menjadi positif. Model-model
ini memungkinkan individu untuk belajar bagaimana mengatasi masalah melalui
pengamatan, interaksi, dan peniruan orang lain.
5. Integrasi dengan Teori Lain: Teori Belajar Sosial Kognitif dapat diintegrasikan dengan
teori lain dalam psikologi, seperti Teori Kognitif, Teori Belajar Klasik, dan Teori Belajar
Operant. Hal ini memungkinkan pengembangan model-model yang lebih komprehensif
dan efektif dalam menjelaskan perilaku dan belajar manusia.

Selain terdapat kekuatan pada teori belajar sosial kognitif juga terdapat beberapa
kelemahan dari Teori Belajar Sosial Kognitif, diantaranya:
1. Terlalu Mementingkan Faktor Lingkungan: Teori ini cenderung terlalu mementingkan
faktor lingkungan dan sosial dalam belajar, sehingga mengabaikan faktor-faktor
biologis dan genetik yang juga dapat mempengaruhi perilaku dan belajar individu.
2. Mengabaikan Peran Emosi: Teori ini cenderung mengabaikan peran emosi dalam
belajar dan perilaku. Padahal, emosi dapat mempengaruhi motivasi, pengambilan
keputusan, dan persepsi individu terhadap lingkungan sekitarnya.
3. Terlalu Fokus pada Peran Pengamatan dan Peniruan: Teori ini cenderung terlalu fokus
pada peran pengamatan dan peniruan dalam belajar, sehingga mengabaikan faktor-
faktor lain yang juga dapat mempengaruhi belajar dan perilaku, seperti motivasi,
perhatian, dan minat.
4. Terlalu Simplistik: Teori ini cenderung terlalu simplistik dalam menjelaskan
bagaimana individu belajar dan mempengaruhi perilaku. Teori ini terlalu
mempersempit faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku dan belajar menjadi hanya
lingkungan dan pengamatan.
5. Kurangnya Perhatian pada Konteks Sosial dan Budaya: Teori ini cenderung kurang
memperhatikan konteks sosial dan budaya dalam belajar dan perilaku. Karena budaya
dan konteks sosial sangat mempengaruhi perilaku dan belajar individu, hal ini dapat
membatasi validitas teori dalam konteks yang berbeda.
TEORI PEMROSESAN INFORMASI KOGNITIF DARI PIAGET

Jean Piaget adalah seorang psikolog Swiss yang mengembangkan Teori Pemrosesan
Informasi Kognitif. Teori ini menggambarkan bagaimana anak-anak memproses dan
mengorganisir informasi dalam otak mereka. Menurut Piaget (1972), proses mental anak-anak
berkembang melalui serangkaian tahap, dari tahap sensorimotor pada bayi hingga tahap operasi
formal pada masa remaja. Setiap tahap ini memiliki ciri khas dan batasan yang mengarahkan
cara anak-anak memproses informasi. Tahap sensorimotor adalah tahap awal, di mana anak-
anak belajar dan mengembangkan pemahaman tentang dunia melalui indera mereka. Pada
tahap ini, anak-anak tidak memiliki kemampuan untuk memahami konsep abstrak atau
mengalami pemikiran simbolis.
Tahap berikutnya adalah tahap prapemikiran atau praoperasional, yang dimulai
sekitar usia 2 hingga 7 tahun. Pada tahap ini, anak-anak mulai menggunakan pemikiran
simbolis dan berkembang kemampuan bahasa. Namun, anak-anak pada tahap ini masih terbatas
pada pandangan mereka sendiri dan kesulitan memahami perspektif orang lain. Tahap
selanjutnya adalah tahap operasional konkret, yang dimulai sekitar usia 7 hingga 12 tahun.
Pada tahap ini, anak-anak mulai mengembangkan kemampuan untuk memahami konsep
abstrak dan mengenal perbedaan antara satu objek dan yang lain. Namun, kemampuan mereka
untuk memahami konsep abstrak masih terbatas pada hal-hal yang dapat diamati dan dijelaskan
secara konkret.
Tahap terakhir adalah tahap operasi formal, yang dimulai sekitar usia 12 hingga 15
tahun. Pada tahap ini, anak-anak mengembangkan kemampuan untuk memahami konsep
abstrak dan berpikir logis serta dapat mempertimbangkan banyak variabel dalam proses
pengambilan keputusan. Teori Piaget tentang Pemrosesan Informasi Kognitif sangat
memengaruhi pendidikan dan perkembangan anak. Teori ini menunjukkan bahwa anak-anak
tidak hanya mengalami perkembangan fisik, tetapi juga perkembangan kognitif yang
kompleks. Melalui pemahaman ini, para pengajar dapat menyusun kurikulum dan metode
pengajaran yang lebih efektif dan efisien dalam membantu anak-anak berkembang dan belajar.
Asumsi dasar dari teori pemrosesan informasi kognitif dari Piaget yaitu:
1. Manusia memiliki kemampuan bawaan untuk mengorganisir dan memproses informasi.
Piaget menganggap bahwa proses kognitif merupakan proses yang universal dan bawaan
dalam manusia.
2. Proses kognitif melibatkan penggunaan skema mental. Skema mental adalah struktur
kognitif yang membantu manusia mengorganisir dan memproses informasi. Manusia
menggunakan skema mental untuk menginterpretasikan dan memberi arti pada
pengalaman yang diterima.
3. Proses kognitif melibatkan interaksi antara skema mental dan lingkungan. Piaget percaya
bahwa proses kognitif tidak hanya bergantung pada struktur kognitif manusia, tetapi juga
bergantung pada pengalaman dan interaksi manusia dengan lingkungan.
4. Proses kognitif melibatkan proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses di
mana manusia memperluas skema mental yang sudah ada untuk memasukkan informasi
baru. Akomodasi adalah proses di mana manusia mengubah skema mental yang sudah ada
untuk mengakomodasi informasi baru.
5. Proses kognitif melibatkan tahap-tahap perkembangan yang berbeda. Piaget menganggap
bahwa proses kognitif manusia berkembang melalui tahap-tahap yang berbeda, mulai
dari tahap sensorimotor (0-2 tahun), tahap praoperasional (2-7 tahun), tahap operasional
konkret (7-12 tahun), hingga tahap operasional formal (12 tahun ke atas).
Dengan asumsi-asumsi tersebut, Piaget menyajikan pandangan holistik tentang
bagaimana manusia memproses informasi dan memahami dunia sekitarnya. Teori ini telah
menjadi dasar penting bagi banyak penelitian dan teori psikologi kognitif dan pendidikan
modern.
Teori belajar pemrosesan informasi kognitif menggabungkan beberapa aspek yang
berbeda untuk menjelaskan bagaimana individu belajar dan memproses informasi. Beberapa
aspek yang digabungkan dalam teori ini antara lain:
1. Proses kognitif: Teori Pemrosesan Informasi Kognitif menekankan pada proses kognitif,
yaitu bagaimana individu memperoleh, mengelola, menyimpan, dan mengambil informasi.
Proses ini meliputi perhatian, pengkodean, pengambilan keputusan, memori, dan
pengambilan kesimpulan.
2. Konsep adaptasi: Teori ini juga memperkenalkan konsep adaptasi, yang melibatkan
asimilasi dan akomodasi. Asimilasi terjadi ketika individu memasukkan informasi baru ke
dalam skema yang sudah ada. Akomodasi terjadi ketika individu mengubah skema mereka
untuk mencakup informasi baru yang tidak dapat diasimilasi.
3. Proses pencarian informasi: Teori Pemrosesan Informasi Kognitif juga menekankan pada
pentingnya proses pencarian informasi, yaitu bagaimana individu mencari informasi yang
relevan dan penting. Proses ini meliputi pengamatan, percobaan, dan eksplorasi.
4. Peran motivasi: Teori ini juga mempertimbangkan peran motivasi dalam belajar dan
memproses informasi. Motivasi dapat mempengaruhi seberapa kuat individu berusaha
mencari informasi, berpartisipasi dalam pembelajaran, dan berusaha memecahkan masalah.
5. Interaksi sosial: Teori Pemrosesan Informasi Kognitif juga memperhatikan interaksi sosial
dalam proses belajar dan memproses informasi. Individu dapat belajar dari orang lain
melalui pengamatan, imitasi, dan diskusi. Interaksi sosial juga dapat memotivasi individu
untuk belajar lebih keras dan mencari informasi yang lebih penting.
Secara keseluruhan, Teori Pemrosesan Informasi Kognitif menggabungkan berbagai
aspek untuk menjelaskan bagaimana individu belajar dan memproses informasi. Teori ini
menekankan pada proses kognitif, adaptasi, proses pencarian informasi, motivasi, dan interaksi
sosial dalam belajar dan memproses informasi.
Piaget (1970) menyampaikan beberapa karakteristik dari Teori Pemrosesan Informasi
Kognitif dari Piaget, dimana teori pemrosesan informasi kognitif dari Piaget dibentuk oleh:
1. Priming
Priming adalah suatu fenomena dalam psikologi kognitif di mana eksposur terhadap
suatu rangsangan (stimulus) yang sebelumnya dialami dapat mempengaruhi bagaimana
individu merespon rangsangan lain yang diterima nanti. Secara sederhana, priming dapat
diartikan sebagai pengaruh stimulus pertama terhadap stimulus kedua yang dihadapi
kemudian.
Priming dapat terjadi dalam berbagai situasi, seperti saat seseorang mendengar kata tertentu
yang mempengaruhi persepsi terhadap kata-kata atau gambar yang diberikan kemudian,
atau ketika seseorang melihat gambar tertentu yang mempengaruhi keputusan atau perilaku
yang dilakukan di masa depan.
Priming dapat terjadi secara sadar atau tidak sadar, dan dapat berlangsung dalam jangka
waktu yang singkat maupun panjang. Priming dapat berdampak positif atau negatif
tergantung pada jenis rangsangan yang diberikan, konteks, dan faktor-faktor lain yang
terlibat dalam situasi tersebut. Fenomena priming telah menjadi topik penelitian yang
menarik di berbagai bidang, termasuk psikologi, neurosains, dan ilmu sosial.

2. Attention
Menurut teori perkembangan kognitif Piaget, attention atau perhatian adalah
kemampuan kognitif dasar yang penting bagi perkembangan kognitif dan sosial anak.
Piaget memandang attention sebagai kemampuan untuk memilih dan memfokuskan
perhatian pada stimulus atau informasi tertentu, sementara memblokir atau mengabaikan
stimulus atau informasi yang tidak relevan atau tidak penting.Dalam teori Piaget, attention
merupakan salah satu aspek dari fungsi eksekutif kognitif, yang membantu individu
mengatur dan mengontrol proses kognitif dan perilaku mereka. Kemampuan untuk
mengatur perhatian dan memblokir distraksi menjadi semakin baik seiring perkembangan
kognitif anak, dan menjadi lebih efisien dan fleksibel.
Piaget (1970) memandang attention sebagai kemampuan yang berkembang seiring
dengan kemampuan anak untuk memahami dan memproses dunia sekitarnya. Sebagai
contoh, ketika anak-anak lebih mampu memahami konsep objek tetap, mereka lebih
mungkin untuk mengalihkan perhatian mereka dari objek yang tidak bergerak dan
menempatkannya pada objek yang lebih menarik atau menarik perhatian mereka. Seiring
dengan perkembangan kognitif dan pengalaman, anak-anak menjadi lebih mampu
mengatur dan memfokuskan perhatian mereka pada hal-hal yang relevan dan penting dalam
lingkungan mereka. Secara umum, dalam teori Piaget, attention dianggap sebagai bagian
penting dari proses kognitif yang kompleks dan penting bagi perkembangan kognitif anak.

3. Motivasi instinsik
Piaget percaya bahwa motivasi untuk belajar dan bereksplorasi lingkungan sekitar
berkaitan erat dengan keinginan alami individu untuk memahami dunia di sekitar mereka
dan membangun skema mental yang lebih kompleks. Dalam pandangan Piaget, motivasi
intrinsik berkaitan dengan keinginan anak untuk mengeksplorasi lingkungan mereka dan
mengalami dunia di sekitar mereka secara aktif. Anak-anak secara alami memiliki rasa
ingin tahu dan keinginan untuk memahami hal-hal baru, dan mereka secara aktif mencari
informasi dan pengalaman untuk memperluas pemahaman mereka tentang dunia.
Piaget juga percaya bahwa motivasi intrinsik berkaitan erat dengan perkembangan
moral anak. Anak-anak yang berkembang secara moral mempertimbangkan nilai-nilai
moral dalam keputusan dan tindakan mereka, dan mereka mendorong diri mereka sendiri
untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Ini dapat memberikan motivasi intrinsik
bagi anak untuk melakukan tindakan yang dianggap benar atau penting secara moral.
Dalam hal ini, Piaget melihat bahwa motivasi intrinsik dapat membantu anak-anak
mengembangkan pemahaman moral yang lebih kompleks dan mengarah pada
perkembangan moral yang lebih maju. Secara keseluruhan, motivasi intrinsik dapat dilihat
sebagai faktor penting dalam perkembangan kognitif dan moral anak menurut pandangan
Piaget.

4. Menghubungkan pengetahuan sebelumnya dengan informasi baru


Piaget mengemukakan bahwa individu tidak hanya menerima informasi baru,
tetapi juga mencoba untuk menghubungkannya dengan pengetahuan yang sudah
dimilikinya. Proses inilah yang disebut oleh Piaget sebagai asimilasi.
Menurut Piaget, individu menggunakan skema mental yang sudah ada dalam
mengasimilasi atau menginterpretasi informasi baru yang diterima. Jika informasi baru
tersebut dapat disesuaikan dengan skema mental yang sudah ada, maka individu dapat
mengasimilasi informasi tersebut ke dalam pengetahuannya yang sudah ada. Namun, jika
informasi baru tersebut tidak dapat disesuaikan dengan skema mental yang sudah ada,
individu harus mengubah skema mentalnya untuk mencakup informasi baru tersebut.
Proses ini disebut akomodasi.
Dalam konteks ini, menghubungkan pengetahuan sebelumnya dengan informasi
baru merupakan bagian dari proses asimilasi dan akomodasi. Ketika individu mencoba
mengasimilasi atau menginterpretasi informasi baru, mereka mencari hubungan atau
keterkaitan antara informasi baru dengan pengetahuan yang sudah ada dalam pikiran
mereka. Dengan menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang sudah ada,
individu dapat mengasimilasi informasi baru tersebut ke dalam pengetahuannya yang sudah
ada. Jika informasi baru tidak dapat dihubungkan dengan pengetahuan yang sudah ada,
individu harus mengubah pengetahuannya untuk mencakup informasi baru tersebut, atau
melakukan proses akomodasi.
Secara keseluruhan, menghubungkan pengetahuan sebelumnya dengan informasi
baru merupakan proses kognitif yang penting dalam teori perkembangan kognitif Piaget.
Proses ini memungkinkan individu untuk mengasimilasi dan menginterpretasi informasi
baru, serta mengubah pengetahuannya untuk mencakup informasi baru tersebut
5. Perception
Persepsi atau perception adalah proses kognitif di mana individu memilih,
menginterpretasikan, dan memberikan arti pada rangsangan atau informasi sensorik yang
diterima dari lingkungan sekitarnya. Persepsi melibatkan berbagai tahap pemrosesan
informasi, termasuk penerimaan informasi sensorik, pengorganisasian informasi, dan
interpretasi informasi. Proses persepsi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti
pengalaman, harapan, motivasi, dan konteks. Proses persepsi dapat menghasilkan hasil
yang berbeda antara individu yang berbeda meskipun mereka diberi rangsangan yang sama,
karena adanya faktor-faktor ini.
Persepsi memainkan peran penting dalam interaksi manusia dengan lingkungan
sekitarnya, baik dalam interaksi sosial maupun aktivitas harian seperti mengemudi, belanja,
atau memasak. Persepsi juga penting dalam pengambilan keputusan dan membentuk sikap
dan perilaku individu. Oleh karena itu, persepsi menjadi topik penelitian yang penting
dalam psikologi, neurosains, dan ilmu-ilmu sosial lainnya.

6. Schema
Schema pada teori pemrosesan informasi kognitif dari Piaget adalah kerangka
pemahaman atau struktur kognitif yang digunakan oleh seseorang untuk memahami dan
memproses informasi dalam dunia yang dikelilinginya. Schema dapat berupa pola pikir,
konsep, atau kategori yang terorganisir yang digunakan untuk mengenali, memahami, dan
memproses informasi dalam situasi tertentu.
Contohnya, seorang anak memiliki schema tentang kucing, yang terdiri dari ciri-
ciri seperti bulu halus, ekor panjang, dan kemampuan untuk berburu. Ketika anak itu
melihat seekor kucing, ia akan menggunakan schema-nya tentang kucing untuk mengenali
dan memahami hewan itu.
Menurut Piaget, anak-anak terus-menerus membangun dan mengubah schema
mereka melalui proses adaptasi, yang melibatkan asimilasi dan akomodasi. Ketika anak-
anak menemukan sesuatu yang baru, mereka bisa mencoba memasukkannya ke dalam
schema yang sudah ada (asimilasi), atau membuat schema baru (akomodasi) jika
pengalaman baru tidak cocok dengan schema yang sudah ada.
Dengan cara ini, schema membantu anak-anak memahami dan memproses
informasi secara efektif dalam lingkungan yang terus berubah. Namun, terkadang schema
yang tidak akurat atau tidak memadai dapat membatasi pemahaman anak tentang dunia dan
memperlambat perkembangan kognitif mereka. Schema menurut Piaget menggabungkan
beberapa item diantaranya:
a. Internal Knowlage Stuctures (Struktur pengetahuan yang ada) menjadi pattern
recognition (pengenalan pola)
Internal knowledge structures atau struktur pengetahuan internal adalah istilah
yang digunakan dalam psikologi kognitif untuk menggambarkan cara individu
menyimpan, mengorganisir, dan memproses informasi dalam pikiran mereka. Struktur
pengetahuan internal terdiri dari skema, model mental, konsep, dan representasi mental
lainnya yang digunakan oleh individu untuk memahami dan merespons pada dunia
yang kompleks di sekitar mereka.
Skema adalah struktur pengetahuan yang digunakan untuk memproses
informasi yang masuk, dan dapat dipikirkan sebagai kerangka pemahaman yang
membantu individu memahami dunia. Skema dapat terbentuk melalui pengalaman dan
interaksi dengan lingkungan, dan dapat diubah atau direvisi dengan pengalaman baru
atau informasi tambahan. Model mental adalah representasi visual atau kognitif dari
informasi yang dipegang dalam pikiran seseorang. Model mental dapat membantu
individu memproses informasi yang kompleks dengan cara yang lebih mudah dipahami
dan dikelola.Konsep adalah unit dasar dalam struktur pengetahuan internal, yang
membantu individu memahami objek, kejadian, atau ide. Konsep-konsep ini dapat
diorganisir ke dalam kategori atau skema yang lebih besar, dan dapat membantu
individu membuat inferensi, membuat keputusan, dan berkomunikasi dengan orang
lain.Representasi mental lainnya, seperti gambar mental, simbol, dan bahasa, juga dapat
membantu individu memproses informasi dan membangun struktur pengetahuan
internal mereka. Struktur pengetahuan internal merupakan konsep penting dalam
psikologi kognitif karena membantu menjelaskan cara individu memproses informasi
dan bagaimana mereka memahami dan berinteraksi dengan dunia di sekitar mereka.
Pattern recognition atau pengenalan pola adalah proses kognitif yang penting
dalam psikologi kognitif dan neurosains. Ini adalah kemampuan untuk mengenali pola
atau hubungan yang terdapat dalam serangkaian stimulus atau data yang kompleks,
seperti bentuk, suara, atau bahasa. Proses pengenalan pola melibatkan proses
pemrosesan informasi yang kompleks, di mana informasi masuk ke dalam sistem
sensorik dan kemudian diproses oleh otak untuk mencari pola atau struktur yang
terdapat dalam informasi tersebut. Dalam pengenalan pola, individu membandingkan
input informasi dengan skema atau representasi mental dari pola yang telah dipelajari
sebelumnya.
Misalnya, dalam pengenalan pola visual, individu dapat mengenali objek atau
bentuk berdasarkan pola dan fitur tertentu seperti bentuk, ukuran, warna, dan tekstur.
Proses pengenalan pola ini dapat terjadi secara otomatis dan cepat, terutama jika
individu telah terlatih dalam mengenali pola tertentu. Proses pengenalan pola ini
penting dalam berbagai bidang, termasuk ilmu komputer, pengolahan citra, pengenalan
wajah, dan pembelajaran mesin. Pengenalan pola juga penting dalam kehidupan sehari-
hari, seperti mengenali wajah orang-orang yang kita kenal, membaca dan menulis, dan
mengidentifikasi objek dalam lingkungan sekitar kita.
b. Gambar
c. Koding
d. Review/tinjauan sebelum pengenalan materi baru
e. Pemahaman reflektif dimana mengarah ke diseqilibrium atau konflik yang akan
berdampak pada Restrukturisasi pengetahuan yang ada.
f. Restrtukturisasi pengetahuan yang ada
g. Input multi senseorik (multi-sensory input) yang berdampak pada terbentuknya 3
Tahapan model pemerosesan informasi, yaitu:
1) Sensory Input (Input sensorik) Jika tidak ada Attention (perhatian) maka akan
Forgoten (Lupa), Sensori input di peroleh dari:
2) Short Term Memory (Memori/Ingatan Jangka Pendek) membutuhkan :
a) Repetition (pengulangan)
b) Mnemonic (hapalan)
c) Review (meninjau/meringkas)
3) Long Term Memory (Memori/Ingatan Jangka Pendek) termasuk strategi
pengambilan. Apabila terus dilatih maka akan menjadi Short Term Memory
Atkinson dan Shiffrin (1968) menyatakan tiga tahapan model pemerosesn
informasi/ model memori multistorey, model ini terdiri dari tiga tahapan, yaitu:
1) Sensory input
Tahap pertama dalam model ini adalah sensory input, di mana informasi
diterima melalui panca indera. Informasi ini disimpan dalam memori sensorik
dalam waktu yang sangat singkat (kurang dari satu detik) sebelum dipindahkan ke
memori jangka pendek.
2) Short-term memory
Setelah informasi dipindahkan dari memori sensorik, tahap berikutnya
adalah short-term memory. Memori jangka pendek memiliki kapasitas terbatas dan
hanya dapat menyimpan informasi selama 20-30 detik. Namun, informasi ini dapat
dipertahankan lebih lama dengan pengulangan atau mengaitkan dengan informasi
yang sudah tersimpan dalam memori jangka panjang.
3) Long-term memory
Tahap terakhir adalah long-term memory. Memori jangka panjang memiliki
kapasitas yang tidak terbatas dan dapat menyimpan informasi selama bertahun-
tahun. Informasi dalam memori jangka panjang dapat diambil kembali ke memori
jangka pendek untuk diproses lebih lanjut dan digunakan dalam pemecahan masalah
atau pengambilan keputusan.
h. Analisis
i. Tahapan dari metakognisi
Pemerosesan Informasi Kognitif likens (menyamakan) fungsi otak seperti halnya
processor pada komputer yang dapat dipanggil dan di perintah. Hal ini terjadi karena fails
to (gagal untuk) mengakui bahwa orang memproses informasi karena suatu alasan.

Pemerosesan Informasi Kognitif membuat pelajar :


1. is guided to develop personal learning strategies (dibimbing untuk mengembangkan
strategi belajar pribadi)
2. is guided in authentic learning contexs for meaningfulness (dibimbing dalam konteks
pembelajaran otentik untuk kebermaknaan)
Pemerosesan Informasi Kognitif merubah Jaringan / Konstruksi Mental Internal
Pemerosesan Informasi Kognitif dikembangkan karena keterbatasan dari Teori Sosial
Kognitif/Kognitif Sosial
TEORI BELAJAR BERMAKNA AUSUBEL

Teori Belajar Bermakna Ausubel adalah sebuah teori yang dikembangkan oleh David
Ausubel, seorang psikolog dan ahli pendidikan dari Amerika Serikat. Menurut teori ini, belajar
bermakna terjadi ketika individu menyusun dan mengintegrasikan informasi baru ke dalam
struktur pengetahuan yang sudah ada di dalam pikirannya.
Menurut Ausubel (1963), terdapat dua jenis belajar, yaitu belajar mekanis dan belajar
bermakna. Belajar mekanis terjadi ketika seseorang mempelajari sesuatu secara otomatis tanpa
memperhatikan makna atau kaitannya dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya
sebelumnya. Sedangkan belajar bermakna terjadi ketika seseorang memperhatikan dan
menghubungkan makna dari informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya
sebelumnya.
Dalam belajar bermakna, terdapat dua prinsip utama yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Prinsip Keterkaitan atau Relevansi (Relevance): Belajar bermakna terjadi ketika seseorang
dapat menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya
sebelumnya. Semakin banyak keterkaitan atau relevansi yang ditemukan, maka semakin
mudah individu dalam memahami dan mengingat informasi tersebut.
2. Prinsip Organisasi (Organization): Belajar bermakna terjadi ketika seseorang dapat
mengorganisasi informasi baru ke dalam struktur pengetahuan yang sudah ada di dalam
pikirannya. Hal ini dapat dilakukan dengan mengaitkan informasi baru dengan konsep-
konsep atau ide-ide yang sudah dipahami sebelumnya.
Dalam teori ini, Ausubel juga menekankan pentingnya peran guru dalam
pembelajaran. Guru harus membantu siswa untuk menghubungkan informasi baru dengan
pengetahuan yang sudah dimilikinya sebelumnya, serta membantu siswa mengorganisasi
informasi baru tersebut ke dalam struktur pengetahuan yang sudah ada di dalam pikirannya.
Dengan demikian, siswa akan dapat mengembangkan pemahaman yang lebih baik dan
mengingat informasi tersebut dengan lebih mudah.
Teori Belajar Bermakna Ausubel membedakan antara tiga jenis belajar, yaitu
discovery learning , reception learning, dan rote learning.
1. Discovery Learning : Belajar melalui penemuan atau Discovery Learning terjadi ketika
seseorang memperoleh pengetahuan baru dengan cara menemukan atau mengeksplorasi
sendiri konsep atau prinsip-prinsip yang ada. Dalam konteks teori Ausubel, Discovery
Learning hanya efektif jika seseorang memiliki dasar pengetahuan yang cukup untuk
memahami konsep baru yang ditemukan.
2. Reception learning: Belajar melalui penerimaan atau reception learning terjadi ketika
seseorang memperoleh pengetahuan baru melalui penerimaan informasi dari sumber luar,
seperti guru atau buku teks. Dalam konteks teori Ausubel, reception learning efektif jika
informasi baru diberikan dengan cara yang jelas, terstruktur, dan terorganisasi dengan baik,
sehingga mudah dihubungkan dengan pengetahuan yang sudah dimiliki.
3. Rote learning: Belajar melalui menghafal atau rote learning terjadi ketika seseorang
memperoleh pengetahuan baru dengan cara mengulang-ulang informasi secara mekanis
tanpa memperhatikan makna atau kaitannya dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya
sebelumnya. Dalam konteks teori Ausubel, rote learning kurang efektif karena tidak
melibatkan pengorganisasian atau pengaitan informasi baru dengan pengetahuan yang
sudah ada di dalam pikiran.
Dalam teori Belajar Bermakna Ausubel, Ausubel menekankan bahwa reception
learning merupakan jenis belajar yang paling efektif, karena dapat membantu siswa untuk
mengaitkan dan mengorganisasi informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya
sebelumnya.
Teori Belajar Bermakna Ausubel menggabukan beberapa komponen, diantaranya:
1. Analisis
2. Multi Sensori Input
Input Multi Senseorik (multi-sensory input) yang berdampak pada terbentuknya 3 Tahapan
Model Pemerosesan Informasi, yaitu:
a. Sensory Input (Input sensorik) Jika tidak ada Attention (perhatian) maka akan Forgoten
(Lupa), Sensori input di peroleh dari:
b. Short Term Memory (Memori/Ingatan Jangka Pendek) membutuhkan :
1) Repetition (pengulangan)
2) Mnemonic (hapalan)
3) Review (meninjau/meringkas)
c. Long Term Memory (Memori/Ingatan Jangka Pendek) termasuk strategi pengambilan.
Apabila terus dilatih maka akan menjadi Short Term Memory

3. Subsumption
Subsumption merupakan konsep yang sangat penting dalam Teori Belajar Bermakna
Ausubel. Konsep ini merujuk pada cara individu menyatukan atau mengaitkan informasi
baru dengan pengetahuan yang sudah ada di dalam pikirannya.
Menurut Ausubel, belajar bermakna terjadi ketika seseorang dapat mengaitkan
informasi baru dengan konsep-konsep atau proposisi-proposisi yang sudah ada di dalam
pikirannya. Dalam hal ini, konsep atau proposisi yang sudah ada di dalam pikiran dianggap
sebagai struktur kognitif atau kerangka referensi yang dapat digunakan untuk memahami
informasi baru.
Subsumption terjadi ketika informasi baru dihubungkan atau disatukan dengan
konsep-konsep atau proposisi-proposisi yang sudah ada di dalam pikiran individu. Ketika
informasi baru tersebut dihubungkan dengan konsep-konsep atau proposisi-proposisi yang
sudah ada, maka informasi baru tersebut akan menjadi lebih mudah dipahami dan diingat.
Dalam hal ini, guru berperan penting dalam membantu siswa membuat keterkaitan antara
informasi baru dan pengetahuan yang sudah dimilikinya sebelumnya.
Contoh dari subsumption adalah ketika seseorang belajar konsep "planet" yang baru
untuk pertama kalinya. Jika individu tersebut sudah memahami konsep "benda langit",
maka informasi baru tentang planet dapat dihubungkan dengan konsep "benda langit".
Dengan demikian, individu tersebut akan lebih mudah memahami dan mengingat konsep
"planet" karena sudah memiliki kerangka referensi atau struktur kognitif tentang benda
langit.

4. Rekonsilisasi Integratif
Rekonsiliasi integratif atau integrative reconcilation merupakan konsep yang juga
penting dalam Teori Belajar Bermakna Ausubel. Konsep ini merujuk pada upaya untuk
mengintegrasikan informasi baru ke dalam struktur kognitif yang sudah ada di dalam
pikiran individu.
Menurut Ausubel, informasi baru yang tidak dapat dihubungkan dengan struktur
kognitif yang sudah ada di dalam pikiran individu akan sulit dipahami dan diingat. Oleh
karena itu, integrasi informasi baru ke dalam struktur kognitif yang sudah ada di dalam
pikiran individu sangat penting untuk terjadinya belajar bermakna.
Dalam konteks pembelajaran di kelas, guru harus membantu siswa untuk
mengintegrasikan informasi baru ke dalam pengetahuan yang sudah ada di dalam pikiran
mereka. Hal ini dapat dilakukan dengan cara membangun hubungan yang relevan antara
informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dimiliki siswa, sehingga siswa dapat lebih
mudah memahami dan mengingat informasi baru.
Contoh dari rekonsiliasi integratif adalah ketika siswa belajar tentang hewan yang
baru untuk pertama kalinya. Jika siswa sudah memahami konsep dasar tentang jenis-jenis
hewan yang sudah diajarkan sebelumnya, maka guru dapat membantu siswa untuk
mengintegrasikan informasi baru tentang hewan tersebut dengan pengetahuan yang sudah
dimilikinya. Dengan cara ini, siswa akan dapat lebih mudah memahami dan mengingat
informasi baru tentang hewan tersebut karena sudah terintegrasi dengan pengetahuan yang
sudah ada di dalam pikirannya.

5. Tingkat Metakognisi
Teori Belajar Bermakna Ausubel juga mencakup konsep metakognisi atau kesadaran
diri terhadap cara belajar dan pemahaman yang dimiliki. Menurut Ausubel, metakognisi
merupakan suatu kemampuan atau keahlian dalam mengelola dan mengatur cara belajar
dan pemahaman.
Ausubel membagi metakognisi menjadi tiga tingkat, yaitu:
1. Tingkat Pertama: Pengetahuan Tentang Tujuan Belajar (Knowledge of Learning
Objectives) Tingkat pertama metakognisi meliputi pengetahuan tentang tujuan belajar,
yaitu pengetahuan tentang apa yang harus dipelajari dan apa yang ingin dicapai melalui
pembelajaran. Siswa yang memiliki kemampuan metakognitif pada tingkat pertama
mampu memahami tujuan pembelajaran dan merencanakan strategi belajar yang tepat
untuk mencapainya.
2. Tingkat Kedua: Pengetahuan Tentang Cara Belajar (Knowledge of Learning Strategies)
Tingkat kedua metakognisi meliputi pengetahuan tentang cara belajar yang efektif,
yaitu pengetahuan tentang berbagai strategi belajar seperti membaca, mengambil
catatan, dan membuat ringkasan. Siswa yang memiliki kemampuan metakognitif pada
tingkat kedua mampu memilih strategi belajar yang tepat untuk memahami dan
mengingat informasi dengan lebih baik.
3. Tingkat Ketiga: Pengetahuan Tentang Pengawasan Diri (Knowledge of Self-
Monitoring) Tingkat ketiga metakognisi meliputi pengetahuan tentang pengawasan
diri, yaitu kemampuan untuk memantau dan mengevaluasi pemahaman diri sendiri
selama proses belajar. Siswa yang memiliki kemampuan metakognitif pada tingkat
ketiga mampu mengevaluasi pemahaman diri sendiri, menyesuaikan strategi belajar,
dan mengatasi kesulitan yang dihadapi selama proses belajar.
Dengan memiliki kemampuan metakognitif pada ketiga tingkat tersebut, siswa akan
dapat menjadi pembelajar yang lebih efektif dan mandiri. Hal ini karena mereka mampu
memahami tujuan pembelajaran, memilih strategi belajar yang efektif, serta memantau dan
mengevaluasi pemahaman diri sendiri selama proses belajar.
Menurut Teori Belajar Bermakna Ausubel, tingkat metakognisi yang tinggi dapat
mempengaruhi proses restrukturisasi pengetahuan yang telah ada di dalam pikiran individu.
Dengan memiliki kemampuan metakognisi yang baik, individu mampu memahami cara
belajar dan pemahaman yang dimilikinya, sehingga dapat membantu proses restrukturisasi
pengetahuan yang lebih baik.
Proses restrukturisasi pengetahuan merupakan proses di mana individu
mengorganisir, menghubungkan, dan mengintegrasikan informasi baru ke dalam
pengetahuan yang sudah ada di dalam pikiran mereka. Proses ini terjadi ketika individu
memahami dan membangun hubungan antara konsep yang sudah dikuasai dengan konsep
baru yang dipelajari.
Dalam konteks metakognisi, individu yang memiliki kemampuan metakognitif yang
tinggi mampu merencanakan strategi belajar yang tepat untuk mempelajari informasi baru,
serta dapat memantau dan mengevaluasi pemahaman diri sendiri selama proses belajar. Hal
ini dapat membantu proses restrukturisasi pengetahuan yang lebih baik, karena individu
mampu memahami dan mengintegrasikan informasi baru dengan pengetahuan yang sudah
dimilikinya secara efektif.
Sebaliknya, individu yang tidak memiliki kemampuan metakognitif yang baik
cenderung hanya menghafal informasi baru tanpa memahaminya secara mendalam,
sehingga sulit bagi mereka untuk mengintegrasikan informasi baru dengan pengetahuan
yang sudah ada di dalam pikiran mereka.
Oleh karena itu, tingkat metakognisi yang tinggi sangat penting dalam membantu
individu melakukan restrukturisasi pengetahuan yang lebih baik dan efektif. Hal ini akan
membantu individu dalam memahami dan mengingat informasi dengan lebih baik serta
meningkatkan keterampilan pemecahan masalah dan penyelesaian tugas-tugas akademik
yang lebih kompleks.
6. Advances Organizers
Menurut Teori Belajar Bermakna Ausubel, advance organizers adalah informasi yang
diberikan sebelum pembelajaran dimulai untuk membantu siswa memahami dan
mengorganisir pengetahuan baru yang akan dipelajari. Advance organizers membantu
siswa untuk membuat koneksi antara pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya dengan
pengetahuan baru, sehingga proses pembelajaran menjadi lebih bermakna dan berkesan.
Dalam konteks retensi informasi verbal, advance organizers dapat membantu siswa
untuk mempertahankan informasi verbal dalam memori jangka panjang. Hal ini terjadi
karena advance organizers membantu siswa untuk menentukan struktur konseptual dalam
memori mereka, sehingga mempermudah pengingatan informasi yang baru dipelajari.
Advance organizers dapat berupa pengenalan konsep-konsep dasar yang akan
dipelajari, rangkuman materi, atau skema yang menggambarkan hubungan antara konsep-
konsep yang akan dipelajari. Dalam mengaplikasikan advance organizers, guru harus
mempertimbangkan pengetahuan awal siswa tentang topik yang akan dipelajari serta
bagaimana advance organizers dapat membantu siswa untuk membangun koneksi antara
pengetahuan baru dan pengetahuan sebelumnya.
Dengan menggunakan advance organizers dalam pembelajaran, siswa dapat
mempertahankan informasi verbal dalam memori jangka panjang, meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah dan pemahaman materi, serta meningkatkan keterampilan
berpikir kritis dan analitis. Oleh karena itu, penggunaan advance organizers dapat
memfasilitasi retensi informasi verbal dalam pembelajaran menurut teori belajar bermakna
Ausubel.
Menurut Teori Belajar Bermakna Ausubel, Advance Organizer adalah strategi
pembelajaran yang dapat membantu siswa memahami dan mengorganisir pengetahuan
baru yang akan dipelajari dengan memberikan kerangka konseptual atau dasar sebelum
siswa mulai belajar. Advance organizers dapat membantu siswa memahami materi baru
dengan memberikan "anchor point" atau titik acuan yang diperlukan untuk membangun
hubungan antara informasi baru dan pengetahuan sebelumnya.
Dalam hal ini, advance organizers dapat disamakan dengan "ikat pinggang" atau
"pegangan" yang memberikan siswa titik awal untuk menyelesaikan tugas atau masalah
yang diberikan. Dengan menggunakan advance organizers, siswa dapat mengkaitkan
informasi baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya, sehingga membantu
mereka untuk mengorganisir dan menyimpan informasi secara lebih efektif di dalam
memori jangka panjang.
Advance organizers juga berfungsi sebagai penghubung antara informasi baru dan
pengetahuan yang sudah dimiliki oleh siswa. Dengan demikian, siswa dapat memahami
bagaimana informasi baru terkait dengan pengetahuan yang telah dimilikinya sebelumnya,
sehingga memudahkan mereka untuk mengembangkan pemahaman yang lebih dalam dan
lebih abstrak terhadap materi yang dipelajari.
Dalam kesimpulannya, advance organizers menyediakan "anchor point" ke informasi
baru dengan memberikan kerangka konseptual atau dasar yang diperlukan untuk
membangun hubungan antara informasi baru dan pengetahuan sebelumnya. Hal ini
membantu siswa untuk mengorganisir dan menyimpan informasi secara lebih efektif di
dalam memori jangka panjang dan memudahkan mereka untuk mengembangkan
pemahaman yang lebih dalam dan lebih abstrak terhadap materi yang dipelajari.
Menurut teori belajar bermakna Ausubel, advance organizers adalah strategi
pembelajaran yang dapat membantu siswa memahami dan mengorganisir pengetahuan
baru dengan cara memberikan kerangka konseptual atau dasar sebelum siswa mulai belajar.
Advance organizers juga dapat membantu siswa untuk menghasilkan hubungan logis antara
informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya sebelumnya.
Dalam hal ini, advance organizers dapat disamakan dengan alat yang membantu siswa
membangun rangkaian pikiran logis atau mental map yang membantu mereka memahami
materi baru. Dengan menggunakan advance organizers, siswa dapat mengorganisir dan
menyusun informasi secara sistematis dan logis sehingga mereka dapat memahami dan
menyimpan informasi secara lebih efektif di dalam memori jangka panjang.
Advance organizers juga membantu siswa untuk menghasilkan hubungan logis antara
informasi baru dengan pengetahuan sebelumnya. Dengan adanya kerangka konseptual atau
dasar yang diberikan oleh advance organizers, siswa dapat melihat keterkaitan antara
informasi baru dan pengetahuan yang sudah dimilikinya sebelumnya, sehingga mereka
dapat membangun hubungan logis antara konsep-konsep yang berbeda dan memahami
materi secara lebih dalam.
Dalam kesimpulannya, advance organizers menyediakan cara menghasilkan
hubungan logis antara informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya
sebelumnya. Dengan adanya advance organizers, siswa dapat mengorganisir dan menyusun
informasi secara sistematis dan logis sehingga mereka dapat memahami dan menyimpan
informasi secara lebih efektif di dalam memori
Menurut Teori Belajar Bermakna Ausubel, pembelajaran yang efektif terjadi ketika
seseorang dapat mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan yang telah dimilikinya
sebelumnya dalam memori jangka panjang. Hal ini disebut dengan pengkategorian
subsumtif, di mana konsep-konsep baru dipelajari dan diintegrasikan ke dalam struktur
pengetahuan yang telah ada dalam memori jangka panjang.
Dalam pengkategorian subsumtif, konsep-konsep baru yang dipelajari dihubungkan
dengan konsep-konsep yang telah diketahui sebelumnya. Dengan demikian, informasi baru
menjadi lebih bermakna dan relevan bagi individu, sehingga memudahkan untuk diingat
dan dipanggil kembali ketika diperlukan. Selain itu, dengan mengaitkan konsep-konsep
baru dengan konsep-konsep yang telah diketahui sebelumnya, individu dapat
mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam tentang materi yang dipelajari.
Pengkategorian subsumtif juga memungkinkan individu untuk membentuk skema-
skema belajar yang lebih kuat dan terstruktur dalam memori jangka panjang. Dalam jangka
panjang, informasi yang terkait dengan konsep-konsep yang telah diketahui sebelumnya
lebih mudah diingat dan dipanggil kembali daripada informasi yang terpisah dan tidak
terkait.
Dengan demikian, pengkategorian subsumtif berdampak pada memori jangka
panjang, di mana konsep-konsep baru yang dipelajari dapat diintegrasikan ke dalam
struktur pengetahuan yang telah ada dan menjadi lebih bermakna dan relevan. Dalam
jangka panjang, individu dapat mempertahankan pengetahuan yang lebih kuat dan
terstruktur, sehingga lebih mampu mengingat dan memanfaatkannya ketika diperlukan.
Menurut Teori Belajar Bermakna Ausubel, pembelajaran yang bermakna dapat
merubah jaringan konstruksi mental internal atau struktur pengetahuan yang dimiliki
seseorang. Dalam teori ini, pembelajaran dianggap sebagai proses perubahan atau
restrukturisasi pengetahuan dalam memori jangka panjang, yang melibatkan
pengintegrasian informasi baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.
Dalam proses pembelajaran yang bermakna, konsep-konsep baru yang dipelajari
dihubungkan dengan konsep-konsep yang telah diketahui sebelumnya, sehingga
membentuk jaringan konstruksi mental internal yang lebih kompleks dan terintegrasi.
Proses ini melibatkan interaksi antara pengetahuan baru dan pengetahuan yang telah ada,
sehingga pengetahuan yang telah ada dapat diperluas atau diubah sesuai dengan
pengetahuan baru.
Dalam proses pembelajaran yang tidak bermakna, individu cenderung menghafal
informasi tanpa menghubungkannya dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.
Hal ini dapat menghasilkan jaringan konstruksi mental internal yang lemah dan terpisah,
yang sulit untuk diingat dan dipanggil kembali.
Dengan demikian, Teori Belajar Bermakna Ausubel menekankan pentingnya
pembelajaran yang bermakna dalam merubah jaringan konstruksi mental internal. Melalui
pembelajaran yang bermakna, individu dapat mengembangkan pemahaman yang lebih
mendalam tentang materi yang dipelajari, membentuk jaringan konstruksi mental internal
yang lebih kuat dan terintegrasi, dan mempertahankan pengetahuan yang lebih lama dalam
memori jangka panjang.
TEORI KOGNITIF PIAGET

Teori Kognitif Piaget adalah teori psikologi yang dikembangkan oleh seorang ahli
psikologi bernama Jean Piaget, seorang psikolog dari Swiss. Teori ini menjelaskan bagaimana
anak-anak belajar, memproses informasi, dan memahami dunia di sekitarnya dari perspektif
kognitif Teori ini berkaitan dengan perkembangan kognitif atau pikiran manusia dan
bagaimana manusia belajar, mengolah, menyimpan, dan mengambil informasi dari lingkungan
mereka.
Menurut Piaget (1972), perkembangan kognitif manusia terjadi melalui empat tahap,
yaitu:
1. Tahap Sensorimotor (0-2 tahun): Anak-anak belajar melalui pengalaman sensorik dan
motorik. Mereka mulai memahami dunia melalui pengalaman langsung dengan objek-
objek di sekitar mereka.
2. Tahap Praoperasional (2-7 tahun): Anak-anak mulai menggunakan simbol untuk
merepresentasikan objek dan ide. Mereka juga mulai memahami konsep seperti waktu dan
ruang, namun pemahaman mereka masih terbatas dan cenderung bersifat konkret.
3. Tahap Operasional Konkret (7-12 tahun): Anak-anak mulai memahami hubungan sebab-
akibat dan logika, serta mulai mengembangkan pemahaman abstrak. Mereka juga mampu
mempertahankan konsistensi dalam pemikiran dan mulai menguasai konsep matematika
dasar.
4. Tahap Operasional Formal (12 tahun ke atas): Anak-anak mencapai kemampuan untuk
berpikir secara abstrak dan kritis, dan dapat mempertimbangkan banyak variabel yang
kompleks dalam pemikiran mereka. Mereka juga dapat memahami hipotesis, teori, dan
argumen.
Tiap tahap ditandai dengan kemampuan kognitif yang berkembang dan kompleksitas
pemikiran yang meningkat. Piaget juga mengemukakan bahwa anak-anak membangun
pengetahuan dan pemahaman mereka melalui proses adaptasi, yang meliputi asimilasi dan
akomodasi, serta melalui penciptaan kesetimbangan antara skema atau struktur kognitif mereka
dengan pengalaman dunia luar (equilibrium).
Asimilasi dalam teori kognitif Piaget adalah proses mengasimilasikan atau
memasukkan informasi baru ke dalam kerangka pemahaman yang sudah ada. Dalam konteks
ini, anak menggunakan pemahaman yang sudah dimilikinya untuk menginterpretasi dan
memahami pengalaman baru. Contoh dari asimilasi dalam tahap perkembangan kognitif anak
adalah ketika seorang anak yang belum pernah melihat hewan yang tidak lazim seperti jerapah
pertama kali melihatnya di kebun binatang. Anak mungkin akan mencoba untuk memahami
jerapah dengan menggunakan kerangka pemahaman yang sudah dimilikinya tentang hewan,
seperti ukuran, warna, atau cara bergerak. Anak mungkin juga mencoba untuk
mengasimilasikan jerapah ke dalam kategori yang sudah ada, seperti "kuda yang tinggi".
Meskipun pemahaman anak tentang jerapah dalam contoh ini mungkin tidak akurat,
asimilasi membantu anak membangun pengalaman dan memperkaya kerangka pemahaman
mereka tentang dunia di sekitarnya. Dalam tahap perkembangan kognitif yang lebih lanjut,
anak akan menggunakan proses akomodasi untuk memperbaiki atau memodifikasi pemahaman
mereka tentang jerapah dan hewan-hewan lainnya yang tidak biasa.
Akomodasi dalam teori kognitif Piaget adalah proses mengubah atau memodifikasi
kerangka pemahaman yang sudah ada untuk memasukkan informasi baru yang tidak dapat
dijelaskan dengan menggunakan kerangka tersebut. Dalam konteks ini, anak mengalami
ketidaksesuaian antara pengalaman yang ditemukan dengan kerangka pemahaman yang ada,
sehingga mereka harus memodifikasi atau memperluas kerangka tersebut agar dapat
memahami informasi baru yang ditemukan.
Contoh dari akomodasi dalam tahap perkembangan kognitif anak adalah ketika seorang
anak pertama kali melihat seekor jerapah yang tinggi di kebun binatang. Anak mungkin merasa
bingung karena jerapah tidak sesuai dengan konsep hewan yang sudah dimilikinya. Oleh
karena itu, anak harus melakukan akomodasi pada pemahaman tentang hewan agar dapat
memasukkan jerapah ke dalam kerangka pemahaman tersebut. Mungkin anak akan
memodifikasi pemahaman tentang hewan dengan memperluas kriteria seperti ukuran, bentuk
tubuh, dan perilaku hewan.
Proses akomodasi juga terjadi ketika anak memperbaiki atau mengubah kerangka
pemahaman yang ada karena pengalaman baru yang tidak sesuai dengan pemahaman
sebelumnya. Misalnya, ketika seorang anak belajar tentang jenis binatang yang tidak dapat
terbang, anak tersebut mungkin harus memodifikasi konsep "burung" dengan menghilangkan
kriteria kemampuan terbang dalam pemahaman mereka.
Secara keseluruhan, akomodasi membantu anak memperluas dan memodifikasi
kerangka pemahaman mereka agar dapat memahami dan menafsirkan pengalaman baru secara
lebih akurat.
Equilibration dalam teori kognitif Piaget (1985) adalah proses penyesuaian atau
mencapai keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi dalam mengatasi ketidaksesuaian
antara pengalaman dan pemahaman anak tentang dunia di sekitarnya. Dalam konteks ini, anak
belajar untuk menyeimbangkan dan memadukan informasi baru dengan pengetahuan dan
pengalaman yang sudah dimilikinya, sehingga dapat memperluas dan meningkatkan
pemahaman mereka tentang dunia.
Contoh dari equilibration dalam tahap perkembangan kognitif anak adalah ketika
seorang anak memahami bahwa burung bisa terbang tetapi seekor unta tidak bisa terbang. Anak
mungkin akan mengalami ketidaksesuaian dengan konsep burung yang sudah dimiliki, karena
burung biasanya dikaitkan dengan kemampuan terbang. Namun, anak kemudian memahami
bahwa tidak semua hewan yang memiliki sayap bisa terbang, seperti unta. Anak kemudian
menyeimbangkan pemahaman mereka tentang burung dengan pengetahuan baru yang mereka
peroleh tentang unta, sehingga dapat memperluas pemahaman mereka tentang hewan dan
kemampuan terbang.
Proses equilibration juga terjadi ketika anak memperkuat dan memperdalam
pemahaman mereka tentang dunia melalui serangkaian pengalaman yang bertahap dan semakin
kompleks. Anak belajar untuk menyeimbangkan asimilasi dan akomodasi dalam mengatasi
ketidaksesuaian, sehingga dapat mencapai keseimbangan yang lebih besar antara pemahaman
dan pengalaman mereka.
Secara keseluruhan, equilibration merupakan proses penting dalam perkembangan
kognitif anak karena membantu anak untuk memperluas dan meningkatkan pemahaman
mereka tentang dunia dan mencapai keseimbangan antara pengalaman dan pemahaman
mereka.
Selain itu teori kognitif Piaget, menggunakan atau memanfaatkan 3 tipe pengetahuan
yang dimiliki oleh setiap individu, yaitu:
1. Pengetahuan Fisik: Pengetahuan tentang sifat-sifat fisik dan karakteristik dunia fisik,
seperti ukuran, bentuk, warna, dan sifat fisik lainnya.
2. Pengetahuan Logis-Matematis: Pengetahuan tentang hubungan logis dan matematis
antara objek dan peristiwa, serta kemampuan untuk memanipulasi simbol, angka, dan
konsep abstrak lainnya.
3. Pengetahuan Sosial: Pengetahuan tentang aturan, norma, dan nilai-nilai yang berlaku
dalam kelompok atau masyarakat, serta kemampuan untuk memahami persepsi,
keyakinan, dan perasaan orang lain.
Ketiga tipe pengetahuan ini saling terkait dan membentuk sistem pemahaman yang
lebih kompleks dan terintegrasi tentang dunia di sekitar kita. Setiap individu membangun
pengetahuan ini melalui interaksi dengan lingkungan fisik dan sosialnya, serta melalui refleksi
dan penyempurnaan terus-menerus atas pengalaman yang diperoleh.
Teori Kognitif Piaget percaya bahwa pembelajaran terjadi sebelum perkembangan,
teori kognitif juga memposisikan bahwa pengetahuan itu terdiri daristruktur kognitif yang
secara alami berubah dari penggunaan dan memiiliki fungsi biologis yang muncul dari
Tindakan. Teori Kognitif Piaget juga memiliki keterbatasan diantaranya :
1. tidak bisa mengenali ataua gagaldalam mengenali sifat "tidak sistematis" anak-anak,
dan
2. Tidak memeriksa bahasa di luar struktur kognitif
Teori Kognitif berpusat pada peserta didikmenekankan kesiapan kognitif individu Teori
Kognitif Piaget telah memberikan kontribusi besar dalam pemahaman kita tentang
perkembangan kognitif manusia dan pengaruh lingkungan pada pembentukan pemikiran
manusia.
TEORI SOSIAL BUDAYA (VYGOTSKY)

Teori sosiokultural, juga dikenal sebagai konstruktivisme sosial, dikembangkan oleh


psikolog Rusia Lev Vygotsky. Teori ini menekankan pentingnya interaksi sosial dan konteks
budaya dalam membentuk perkembangan kognitif. Menurut Vygotsky (1978), anak-anak
belajar melalui interaksi dengan orang lain yang lebih berpengetahuan, seperti orang tua, guru,
dan teman sebaya. Interaksi ini melibatkan penggunaan bahasa dan alat budaya lainnya, yang
memediasi pemahaman anak tentang dunia. Vygotsky menyebut proses ini sebagai
"scaffolding", di mana orang yang lebih berpengalaman memberikan dukungan atau bantuan
kepada orang yang kurang berpengalaman untuk membantu mereka belajar.
Aspek kunci lain dari teori sosiokultural adalah zona perkembangan proksimal (ZPD).
Ini mengacu pada perbedaan antara apa yang dapat dilakukan seorang anak sendiri dan apa
yang dapat mereka lakukan dengan bantuan orang lain yang lebih berpengetahuan. Vygotsky
percaya bahwa pembelajaran terjadi ketika seorang anak diberi tugas yang berada di luar
tingkat kemampuannya saat ini, tetapi dapat diselesaikan dengan bantuan.
Zona Perkembangan Proksimal (ZPD) adalah konsep sentral dalam teori sosiokultural
Vygotsky. ZPD mengacu pada jarak antara kemampuan aktual atau yang sudah dimiliki oleh
seorang individu untuk menyelesaikan tugas secara mandiri, dan kemampuan potensial atau
yang dapat dicapai melalui bantuan orang lain.

Kemampuan aktual (actual ability) adalah kemampuan yang dimiliki seseorang dalam
menyelesaikan tugas secara mandiri tanpa bantuan atau dukungan dari orang lain. Kemampuan
aktual mencerminkan tingkat kemampuan atau pengetahuan yang sudah dimiliki dan dapat
diterapkan dalam situasi kehidupan sehari-hari. Kemampuan aktual dapat diperoleh melalui
pengalaman langsung dan belajar secara mandiri.
Sedangkan kemampuan potensial (potential ability) adalah kemampuan atau tingkat
kemampuan yang dapat dicapai seseorang dengan bantuan, bimbingan, atau dukungan dari
orang lain, terutama orang yang lebih berpengalaman. Kemampuan potensial mencerminkan
kemampuan atau pengetahuan yang belum sepenuhnya dimiliki atau dipahami oleh individu
secara mandiri, tetapi dapat diakses melalui bantuan orang lain.
Kemampuan aktual dan kemampuan potensial merupakan dua hal yang berbeda, tetapi
juga terkait erat satu sama lain. Kemampuan aktual seseorang dapat membatasi kemampuan
potensialnya, tetapi pada saat yang sama, kemampuan potensial dapat memperluas kemampuan
aktual seseorang melalui pengalaman belajar dan interaksi sosial dengan orang lain. Dalam
konteks teori sosiokultural Vygotsky, kemampuan potensial sering diidentifikasi melalui Zona
Perkembangan Proksimal (ZPD) yang mengacu pada jarak antara kemampuan aktual dan
kemampuan potensial seseorang dalam menyelesaikan tugas. Dalam ZPD, individu dapat
mencapai kemampuan potensialnya melalui bantuan, dukungan, atau bimbingan dari orang
lain. Konsep ZPD dari Vygotsky berpendapat bahwa individu dapat memperoleh keterampilan
dan pengetahuan baru yang lebih baik melalui interaksi sosial dan bantuan orang dewasa. Oleh
karena itu, individu ditempatkan pada posisi di mana ia dapat mencapai keterampilan baru
dengan bantuan dan dukungan yang tepat, tetapi tidak mampu mencapainya sendiri
Orang yang lebih berpengalaman atau orang dewasa, seperti guru atau orang tua, dapat
membantu individu untuk memperluas ZPD mereka melalui bantuan dalam menyelesaikan
tugas. Dengan memberikan dukungan yang tepat, orang dewasa dapat membantu individu
memperoleh keterampilan dan pengetahuan baru dan memperluas ZPD mereka. Dalam
praktiknya, ZPD sering digunakan dalam konteks pendidikan di mana seorang guru atau
pengajar dapat membantu siswa dalam memperluas ZPD mereka dengan memberikan bantuan
dan dukungan yang tepat, seperti membimbing siswa melalui tugas-tugas yang sesuai dengan
ZPD mereka. Dalam hal ini, ZPD berperan penting dalam membantu siswa untuk mencapai
potensi optimal mereka dan mempersiapkan mereka untuk sukses di masa depan ZPD juga
dianggap sebagai zona di mana seorang individu dapat memperoleh keterampilan dan
pengetahuan baru dengan cara yang paling efektif. Dengan bantuan orang dewasa, individu
dapat membentuk pemahaman yang lebih baik tentang dunia di sekitarnya dan belajar
mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan untuk sukses di masa depan.
Teori Sosiokultural, Vygotsky (1978) menggabungkan empat strategi pembelajaran:
memprediksi, mempertanyakan, mengklarifikasi, dan meringkas. Konsep ini mengacu pada
strategi pembelajaran yang dapat membantu siswa dalam membangun pemahaman mereka
tentang materi pelajaran.
• Memprediksi: Siswa diminta untuk membuat prediksi tentang apa yang akan terjadi
selanjutnya dalam pembelajaran. Strategi ini membantu siswa untuk berpikir kritis dan
memperoleh pemahaman lebih dalam tentang materi pelajaran.
• Mempertanyakan: Siswa diajarkan untuk mengajukan pertanyaan tentang materi pelajaran
dan mencari jawaban yang tepat. Strategi ini membantu siswa untuk mengidentifikasi
aspek materi pelajaran yang kurang dipahami dan mengembangkan pemahaman yang
lebih baik tentang materi tersebut.
• Mengklarifikasi: Siswa diminta untuk memperjelas pemahaman mereka tentang materi
pelajaran melalui diskusi dan penjelasan. Strategi ini membantu siswa untuk
mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang materi pelajaran dengan
mengidentifikasi aspek yang sulit dipahami dan mencari cara untuk mengatasi kesulitan
tersebut.
• Meringkas: Siswa diajarkan untuk membuat ringkasan tentang materi pelajaran dengan
menggunakan kata-kata mereka sendiri. Strategi ini membantu siswa untuk
mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang materi pelajaran dengan
mengorganisir informasi dan mengidentifikasi aspek yang paling penting.
Dengan menggabungkan strategi pembelajaran ini, teori sosiokultural Vygotsky
memberikan pendekatan yang holistik dan efektif dalam membantu siswa membangun
pemahaman mereka tentang materi pelajaran. Hal ini dapat membantu siswa untuk
memperoleh pemahaman yang lebih mendalam dan mempersiapkan mereka untuk sukses di
masa depan. Teori Sosiokultural (Vygotsky) percaya bahwa pembelajaran harus terjadi
sebelum perkembangan dapat terjadi
DISCOVERY LEARNING (BRUNER)

Discovery learning atau pembelajaran penemuan adalah teori pembelajaran yang


dikembangkan oleh psikolog pendidikan Jerome Bruner. Bruner (1961) mengemukakan bahwa
siswa akan lebih mudah memahami dan mengingat konsep-konsep baru jika mereka diberi
kesempatan untuk menemukan sendiri, daripada hanya menerima penjelasan dari guru.
Discovery learning berbasis inkuiri adalah suatu bentuk pembelajaran yang memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menemukan fakta dan konsep sendiri melalui proses eksplorasi
dan penemuan, dengan bimbingan dan bantuan dari guru. Dalam pendekatan ini, guru berperan
sebagai fasilitator dan membimbing siswa dalam mengembangkan kemampuan mereka dalam
menemukan fakta dan konsep sendiri.
Pada discovery learning berbasis inkuiri, siswa didorong untuk memulai dari
pengamatan dan pertanyaan mereka sendiri, dan melakukan eksperimen dan investigasi untuk
mencari jawaban atas pertanyaan mereka. Siswa dibimbing untuk mengumpulkan data dan
membuat hipotesis berdasarkan observasi mereka, kemudian melakukan eksperimen dan
menguji hipotesis mereka untuk menguji kebenaran dari hipotesis tersebut. Selama proses ini,
guru memberikan bimbingan, dukungan, dan umpan balik untuk membantu siswa dalam
memperoleh pemahaman yang benar. Menurut Bruner, pembelajaran penemuan memiliki tiga
prinsip dasar:
1. Materi pelajaran harus disajikan dalam konteks yang bermakna dan dapat dipahami oleh
siswa. Ini memastikan bahwa siswa memahami konsep dan bagaimana konsep itu dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
2. Siswa harus diberi kesempatan untuk menemukan sendiri konsep-konsep tersebut melalui
interaksi aktif dengan lingkungan dan bahan pelajaran. Siswa harus diberi kebebasan untuk
mengembangkan hipotesis dan mencari solusi sendiri.
3. Guru berperan sebagai fasilitator dan memberikan bimbingan dan dukungan kepada siswa
selama proses pembelajaran. Guru harus memastikan bahwa siswa mengembangkan
pemahaman yang benar dan membantu mereka untuk mengoreksi kesalahan dan
mengarahkan mereka ke arah yang benar.

Dalam pembelajaran penemuan, siswa diharapkan dapat mengembangkan keterampilan


berpikir kritis, kreativitas, dan kemampuan untuk menyelesaikan masalah. Selain itu, siswa
juga akan lebih termotivasi dan merasa lebih bersemangat dalam belajar karena mereka
memiliki peran yang aktif dalam proses pembelajaran. Discovery learning Bruner
mengintegrasikan tiga mode representasi yang dapat membantu siswa memahami dan
mengingat konsep-konsep baru dengan lebih baik. Ketiga mode representasi tersebut adalah:
1. Mode Representasi Enaktif: Mode representasi enaktif melibatkan penggunaan
pengalaman langsung dan tindakan fisik untuk mengembangkan pemahaman. Dalam mode
ini, siswa akan menggunakan tubuh mereka untuk mempelajari konsep dan memperoleh
pengalaman langsung dengan melihat, menyentuh, mencicipi, dan merasakan konsep-
konsep tersebut. Misalnya, siswa dapat menggunakan model fisik untuk mempelajari
anatomi manusia, atau melakukan eksperimen untuk mempelajari reaksi kimia.
2. Mode Representasi Ikonik: Mode representasi ikonik melibatkan penggunaan gambar dan
ilustrasi untuk membantu siswa memvisualisasikan konsep dan memperoleh pemahaman
yang lebih mendalam. Dalam mode ini, siswa akan menggunakan gambar, diagram, grafik,
dan ilustrasi lainnya untuk memahami konsep dan mengembangkan ide-ide baru. Misalnya,
siswa dapat menggunakan gambar-gambar anatomi manusia untuk mempelajari sistem
organ atau menggunakan grafik untuk mempelajari data statistik.
3. Mode Representasi Simbolik: Mode representasi simbolik melibatkan penggunaan simbol,
kata, dan simbol matematika untuk membantu siswa memahami konsep dan
mengembangkan pemahaman yang lebih abstrak. Dalam mode ini, siswa akan
menggunakan simbol matematika, simbol fisika, dan simbol lainnya untuk memahami
konsep dan mengembangkan pemikiran logis. Misalnya, siswa dapat menggunakan notasi
matematika untuk mempelajari konsep aljabar atau menggunakan simbol fisika untuk
mempelajari konsep mekanika.

Dengan mengajarkan ketiga mode representasi ini, discovery learning Bruner


membantu siswa mengembangkan keterampilan berpikir yang lebih baik, serta membantu
mereka dalam mempelajari konsep-konsep baru dengan lebih mudah dan efektif. Melalui
discovery learning berbasis inkuiri, siswa tidak hanya mengembangkan pemahaman yang lebih
mendalam tentang konsep-konsep dan fakta-fakta yang dipelajari, tetapi juga mengembangkan
keterampilan-keterampilan berpikir kritis, kreativitas, dan problem-solving. Dalam jangka
panjang, kemampuan ini dapat membantu siswa dalam menghadapi tantangan dunia yang
kompleks dan terus berubah.
Discovery learning berpendapat bahwa dasar-dasar mata pelajaran apa pun dapat
diajarkan kepada segala usia, tergantung pada penyampaian bahan yang sesuai dengan usia dan
tingkat kecerdasan siswa. Dalam pendekatan ini, guru perlu menyusun materi pelajaran dengan
cermat dan memilih metode pembelajaran yang tepat agar sesuai dengan kemampuan dan
kebutuhan siswa. Misalnya, materi yang rumit dapat disajikan dalam bentuk sederhana atau
dipecah menjadi beberapa bagian, sehingga lebih mudah dipahami oleh siswa. Selain itu, guru
juga perlu memperhatikan keterampilan dan pengalaman siswa dalam memahami konsep
tertentu, serta mengadaptasi pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan
karakteristik individu siswa
Discovery learning menekankan pada pemodelan karena pemodelan dapat membantu
siswa memahami dan menemukan konsep baru dengan lebih mudah dan efektif. Dalam
pemodelan, guru memperlihatkan contoh konkret atau representasi visual dari konsep yang
akan dipelajari oleh siswa. Dengan memperlihatkan contoh konkret atau representasi visual,
siswa dapat lebih mudah memahami konsep tersebut dan memvisualisasikan bagaimana
konsep itu bekerja dalam situasi yang berbeda. Pemahaman yang didapatkan dari pemodelan
dapat membantu siswa dalam membangun kerangka pemikiran dan konsep yang diperlukan
untuk menemukan dan memahami konsep yang lebih kompleks di kemudian hari. Selain itu,
pemodelan juga dapat membantu siswa untuk menghubungkan konsep-konsep yang berbeda
dalam situasi yang berbeda dan untuk mengembangkan pemikiran yang lebih kreatif dan
inovatif. Dalam pemodelan, guru juga dapat memberikan kesempatan bagi siswa untuk
berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran dengan bertanya, mengeksplorasi, dan
berdiskusi tentang konsep-konsep yang dipelajari. Dengan menekankan pada pemodelan,
discovery learning memberikan kesempatan bagi siswa untuk belajar dengan cara yang lebih
menyenangkan dan interaktif, dan membantu mereka dalam mengembangkan keterampilan-
keterampilan berpikir kritis, kreativitas, dan problem-solving. Hal ini akan membantu siswa
dalam mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan dunia yang kompleks dan terus
berubah di masa depan.
Disamping beberapa kekuatan pembelajaran pentmuan, pembelajaran penemuan juga
memiliki kelemahan, terutama dalam hal waktu. Pembelajaran penemuan dapat memakan
waktu yang lama, karena siswa harus mengembangkan hipotesis dan mencari solusi sendiri.
Selain itu, tidak semua siswa memiliki kemampuan untuk belajar melalui penemuan sendiri,
terutama jika mereka membutuhkan arahan yang jelas dan terstruktur. Oleh karena itu, penting
bagi guru untuk memilih strategi pembelajaran yang tepat untuk setiap siswa dan situasi
pembelajaran yang berbeda.
CONSTRUCTIVISM

Teori Constructivism/Konstruktivisme adalah teori pembelajaran yang menekankan


bahwa pembelajaran terjadi melalui konstruksi aktif oleh individu yang belajar, bukan melalui
penerimaan pasif dari informasi yang diberikan oleh seseorang. Menurut teori ini, individu
membangun pemahaman mereka sendiri melalui interpretasi dan pengalaman subjektif mereka
terhadap dunia. Teori konstruktivisme berpendapat bahwa:
1. pembelajar secara aktif membangun pengetahuan;
2. pembelajar membutuhkan waktu untuk refleksi;
3. pembelajar harus mengambil inisiatif.
Berdsasarkan pendapat tersebut, maka teori konstruktivisme memandang bahwa
individu sebagai agen aktif dalam proses belajar dan menempatkan pentingnya pemikiran kritis
dan refleksi dalam proses pembelajaran. Teori ini juga menekankan pentingnya pembelajaran
melalui pengalaman langsung dan percobaan, serta bahwa pembelajaran terjadi dalam konteks
sosial.
Teori belajar konstruktivisme menempatkan pembelajar sebagai subjek aktif dalam
proses pembelajaran. Dalam pandangan ini, pembelajar memainkan peran yang sangat penting
dalam membangun pengetahuan dan pemahaman mereka sendiri. Menurut teori
konstruktivisme, pembelajaran terjadi ketika individu secara aktif terlibat dalam konstruksi
pengetahuan dan memperoleh pemahaman baru melalui interaksi dengan dunia sekitarnya.
Oleh karena itu, peran pembelajar dalam proses pembelajaran sangatlah penting, karena
mereka harus secara aktif terlibat dalam proses ini dengan melakukan refleksi dan konstruksi
pengetahuan baru dari pengalaman mereka sendiri. Pembelajar juga dianggap memiliki
pengaruh pada proses pembelajaran, karena setiap individu memiliki pengalaman,
kemampuan, dan pemahaman yang unik yang mempengaruhi cara mereka membangun
pengetahuan dan memahami dunia di sekitar mereka
Teori konstruktivisme telah diterapkan dalam berbagai konteks pembelajaran, seperti
pembelajaran berbasis proyek, pembelajaran berbasis kasus, dan pembelajaran kolaboratif.
Teori ini juga telah menjadi dasar untuk pengembangan teknologi pembelajaran, seperti
pembelajaran berbasis komputer dan lingkungan pembelajaran online. Beberapa tokoh yang
mendukung teori Constructivism antara lain Jean Piaget, Lev Vygotsky, Jerome Bruner, John
Dewey, dan Ernst von Glasersfeld.
1. Jean Piaget - Seorang psikolog asal Swiss yang dikenal sebagai bapak konstruktivisme. Ia
menekankan pentingnya pembelajaran melalui pengalaman langsung dan percobaan, serta
bahwa pembelajaran terjadi melalui konstruksi aktif oleh individu yang belajar.
2. Lev Vygotsky - Seorang psikolog asal Rusia yang mengembangkan teori Zone of Proximal
Development (ZPD), yang menyatakan bahwa siswa membutuhkan bantuan dan dukungan
untuk mencapai potensi belajar mereka yang penuh. Vigotsky juga menekankan pentingnya
interaksi sosial dalam proses belajar.
3. Jerome Bruner - Seorang psikolog dan pendidik asal Amerika Serikat yang
mengembangkan teori belajar dengan cara discovery, yaitu cara belajar di mana siswa
menemukan dan membangun pemahaman mereka sendiri melalui interaksi dengan
lingkungan belajar.
4. John Dewey - Seorang filsuf dan pendidik asal Amerika Serikat yang menekankan
pentingnya belajar melalui pengalaman dan refleksi. John Dewey juga menekankan bahwa
pembelajaran harus relevan dan berguna bagi siswa.
5. Ernst von Glasersfeld - Seorang filsuf dan pendidik asal Austria yang mengembangkan
konsep konstruksi realitas, yaitu gagasan bahwa individu membangun pengetahuan mereka
sendiri melalui interpretasi dan pengalaman subjektif mereka terhadap dunia.

Berdasarkan beberapa pendapat tokoh tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tokoh
tersebut sangat mendukung terhadap karaktersitik dari teori belajar konstruktivisme. Beberapa
aspek kunci dari teori konstruktivisme antara lain:
1. Dialog aktif 2 arah (2 way active dialogue)
Konsep 2 way active dialogue dalam teori konstruktivisme mengacu pada dialog
yang terjadi antara guru dan siswa yang dirancang untuk mempromosikan konstruksi
bersama pengetahuan dan pemahaman. Dalam pandangan konstruktivisme, dialog adalah
alat penting untuk membantu siswa membangun pengetahuan mereka sendiri. Konsep 2
way active dialogue, guru bertindak sebagai fasilitator yang membantu siswa memperoleh
pengalaman yang relevan dan memfasilitasi proses refleksi dan konstruksi pengetahuan.
Guru juga membantu siswa mengidentifikasi dan memperjelas pemahaman mereka dan
memfasilitasi pemahaman kolaboratif yang lebih mendalam. Siswa juga berperan aktif
dalam dialog ini, dengan memberikan masukan dan bertanya pertanyaan yang relevan
untuk membantu mereka membangun pemahaman yang lebih baik. Dalam pandangan
Constructivism, siswa harus secara aktif terlibat dalam konstruksi pengetahuan dan
pemahaman mereka sendiri, dan 2 way active dialogue dapat membantu memfasilitasi
proses ini.
Tujuan dari 2way active dialogue adalah untuk menciptakan lingkungan
pembelajaran yang saling mendukung dan mempromosikan pembelajaran yang efektif.
Dengan membantu siswa membangun pengetahuan mereka melalui dialog, guru dapat
memfasilitasi pembelajaran yang lebih efektif dan membantu siswa mencapai pemahaman
yang lebih dalam dan bermakna.
2. Orang belajar melalui partisipasi aktif dan pemecahan masalah
Dalam pandangan konstruktivisme, pembelajar memainkan peran yang sangat
penting dalam membangun pengetahuan dan pemahaman mereka sendiri. Oleh karena itu,
pembelajaran melalui partisipasi aktif dan pemecahan masalah dianggap sebagai cara yang
efektif untuk membantu siswa membangun pengetahuan dan pemahaman mereka.
Melalui partisipasi aktif dalam pembelajaran, siswa diberi kesempatan untuk
secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran dan membangun pemahaman baru melalui
pengalaman mereka sendiri. Dalam proses ini, siswa juga diberi kesempatan untuk
mengidentifikasi dan memecahkan masalah yang kompleks, yang dapat membantu
memperkuat pemahaman mereka tentang konsep yang terkait.
Dalam teori konstruktivisme, guru berperan sebagai fasilitator dan membantu
siswa membangun pengetahuan mereka melalui pengalaman dan pemecahan masalah
yang relevan. Menurut teori konstruktivisme, guru bukan hanya sebagai sumber
pengetahuan, tetapi juga sebagai fasilitator pembelajaran yang membantu siswa
membangun pengetahuan mereka melalui partisipasi aktif dan pemecahan masalah.
3. Belajar terjadi dalam konteks sosial
Pembelajaran tidak hanya terjadi melalui interaksi dengan dunia fisik, tetapi juga
melalui interaksi dengan orang lain dalam lingkungan sosial. Dalam konteks sosial ini,
individu dapat berbagi pengalaman dan ide-ide mereka, serta membangun pemahaman
bersama melalui diskusi dan kolaborasi.
Oleh karena itu, guru dan teman sebaya dianggap sebagai sumber pengetahuan
dan sumber pembelajaran yang penting dalam teori Constructivism. Siswa dapat
memperoleh pemahaman baru melalui interaksi sosial dan kolaborasi dengan orang lain
dalam lingkungan sosial, yang membantu mereka membangun pengetahuan mereka
sendiri dan memperdalam pemahaman mereka tentang dunia sekitarnya.
Dalam konteks sosial ini, Constructivism juga menekankan pentingnya
pembelajaran melalui pemecahan masalah yang relevan dengan kehidupan sehari-hari.
Siswa diajak untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang menantang dan memecahkan
masalah yang memerlukan kerja sama dan kolaborasi dengan orang lain. Hal ini membantu
siswa membangun pemahaman yang lebih mendalam dan lebih bermakna tentang konsep
yang terkait dan memperkuat pemahaman mereka melalui interaksi sosial dengan orang
lain.
4. Setiap orang membentuk representasi pengetahuannya sendiri
Menurut Constructivism, individu tidak hanya menerima pengetahuan dari
lingkungan atau sumber lain secara pasif, tetapi mereka aktif membangun pemahaman
mereka sendiri melalui pengalaman, refleksi, dan interaksi sosial. Setiap individu memiliki
perspektif dan latar belakang yang berbeda, dan karena itu, mereka akan membangun
representasi pengetahuan mereka sendiri yang unik.
Dalam teori Constructivism, konstruksi pengetahuan individu juga dipengaruhi
oleh pengalaman sebelumnya, kepercayaan, nilai, dan pemahaman mereka yang ada
sebelumnya. Proses konstruksi pengetahuan ini terjadi melalui refleksi, eksplorasi, dan
pengujian ide-ide baru melalui interaksi sosial dan pengalaman langsung dengan
lingkungan.
Oleh karena itu, dalam konteks pembelajaran, Constructivism menekankan
pentingnya siswa membangun representasi pengetahuan mereka sendiri melalui
pengalaman langsung, partisipasi aktif, dan interaksi sosial. Guru berperan sebagai
fasilitator dalam membantu siswa membangun pengetahuan mereka dengan memberikan
kesempatan untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang menantang dan relevan dengan
kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat membantu siswa membangun representasi
pengetahuan mereka sendiri dan memperkuat pemahaman mereka tentang konsep yang
terkait.

Selain itu teori konstruktivisme juga mendukung penggunaan metakognisi (reflexive


cognition), pembelajaran berbasis kasus (case-based learning), kerjasama dan kolaborasi
(cooperative dan collaborative). Teori konstruktivisme juga telah diterapkan dalam berbagai
konteks pembelajaran, seperti:
1. Metakognisi (reflexive cognition)
Pada teori konstruktivisme, metacognition atau refleksi kognitif adalah proses
refleksi yang dilakukan oleh individu terhadap pengalaman belajarnya sendiri, untuk
membangun pengetahuan dan memperkuat pemahaman mereka sendiri tentang konsep dan
situasi tertentu. Metacognition melibatkan pemahaman individu tentang cara mereka
memahami, mengingat, dan memproses informasi. Melalui proses ini, individu dapat
memahami proses belajar mereka sendiri dan mengembangkan strategi yang efektif untuk
memperkuat pemahaman mereka tentang materi yang sedang dipelajari.
Pada konteks pembelajaran, metacognition memainkan peran penting dalam
memungkinkan siswa untuk mengambil kontrol atas pembelajaran mereka sendiri dan
membangun pengetahuan mereka sendiri. Siswa yang memiliki kemampuan metakognitif
yang baik dapat memonitor dan merefleksikan pemahaman mereka, mengidentifikasi
kesulitan yang mereka hadapi, dan mencari cara untuk mengatasi tantangan tersebut.
Melalui metode pembelajaran yang berbasis konstruktivisme seperti PBL dan Case-based
learning, siswa diajak untuk membangun pengetahuan mereka sendiri melalui pengalaman
langsung dan interaksi sosial. Melalui proses ini, siswa dapat terlibat dalam refleksi kognitif
dan memperkuat pemahaman mereka tentang konsep yang terkait.
2. Pembelajaran berbasis kasus (case-based learning)
Case-based learning atau pembelajaran berbasis kasus adalah metode pembelajaran
yang juga sesuai dengan teori konstruktivisme. Pada pendekatan case-based learning, siswa
diberi sebuah kasus yang berisi sebuah situasi yang kompleks dan menantang untuk
dipecahkan. Kasus tersebut bisa berupa kasus nyata atau fiksi yang mewakili sebuah
masalah atau tantangan di dunia nyata. Pada kasus ini, siswa diminta untuk berpikir kritis,
menganalisis, dan menemukan solusi untuk masalah yang dihadapi dalam kasus tersebut.
Siswa harus mengumpulkan informasi, mempertimbangkan berbagai opsi, dan membangun
pemahaman mereka sendiri tentang masalah tersebut. Case-based learning memungkinkan
siswa untuk membangun pengetahuan mereka sendiri melalui pengalaman langsung dan
partisipasi aktif dalam pembelajaran. Dalam hal ini, siswa diminta untuk mengambil
tanggung jawab atas pembelajaran mereka sendiri dan terlibat dalam proses membangun
pemahaman mereka sendiri.
Selain itu, case-based learning juga memungkinkan siswa untuk belajar melalui
pengalaman sosial, karena mereka diharapkan bekerja sama dengan rekan mereka dalam
diskusi dan analisis kasus. Hal ini dapat membantu siswa memperoleh perspektif yang
berbeda dan memperkuat pemahaman mereka melalui interaksi sosial dengan orang lain.
3. Kerjasama dan Kolaborasi (cooperative dan collaborative)
Kerja sama dan kolaborasi sangat penting dalam pembelajaran berbasis
konstruktivisme karena membantu siswa membangun pengetahuan mereka sendiri melalui
pengalaman sosial dan interaksi dengan rekan mereka. Dalam kerja sama, siswa dapat
belajar dari pengalaman satu sama lain dan memperkuat pemahaman mereka tentang materi
yang sedang dipelajari. Dalam kolaborasi, siswa dapat menggabungkan pemikiran mereka
sendiri dan memperkaya pemahaman mereka tentang konsep yang terkait dengan
pembelajaran.
Pada pembelajaran yang berbasis konstruktivisme seperti PBL dan case-based
learning, kerja sama dan kolaborasi menjadi aspek yang sangat penting. Dalam PBL, siswa
bekerja dalam kelompok untuk menyelesaikan proyek yang diberikan. Dalam hal ini, siswa
saling berbagi informasi, pengalaman, dan sumber daya untuk mencapai tujuan bersama.
Pada case-based learning, siswa diajak untuk memecahkan kasus dengan bekerja sama
dalam kelompok untuk menganalisis kasus dan mencari solusi. Dalam hal ini, siswa dapat
berdiskusi dan bekerja sama untuk mengidentifikasi informasi yang relevan dan
mengembangkan solusi yang efektif. Kerja sama dan kolaborasi membantu siswa untuk
memperkuat pemahaman mereka tentang materi yang sedang dipelajari melalui interaksi
sosial dan pengalaman langsung.
4. Pembelajaran Berbasis Proyek (Project based Learning)
Project Based Learning (PjBL) merupakan salah satu pendekatan pembelajaran
yang sesuai dengan teori konstruktivisme. Pendekatan ini menekankan pada pembelajaran
melalui pengalaman langsung dan konstruksi pengetahuan melalui proyek atau tugas yang
kontekstual dan relevan. Melalui PjBL, peserta didik diajak untuk berpikir kritis,
berkolaborasi, dan mengembangkan keterampilan sosial serta pemecahan masalah secara
aktif. Pada teori konstruktivisme, individu dianggap sebagai pembangun aktif pengetahuan
mereka sendiri melalui interpretasi dan pengalaman subjektif mereka terhadap dunia.
Pendekatan PjBL, memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk belajar
melalui pengalaman langsung dalam konteks yang relevan dan bermakna. Proyek atau tugas
yang diberikan dirancang agar mencerminkan tantangan dunia nyata yang kompleks dan
membutuhkan pemecahan masalah. Melalui proses ini, peserta didik belajar untuk
menghubungkan pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki dan
mengaplikasikannya dalam konteks nyata.
Selain itu, PjBL juga menekankan pada pembelajaran melalui kolaborasi dan
interaksi sosial antarpeserta didik. Melalui kerja sama dalam proyek atau tugas, peserta didik
dapat saling membangun pengetahuan, berdiskusi, dan menyelesaikan masalah secara
bersama-sama. Hal ini sesuai dengan teori konstruktivisme yang menempatkan
pembelajaran dalam konteks sosial dan kultural.
Kelebihan dari PjBL adalah peserta didik juga diajak untuk berpikir kritis dan
reflektif terhadap proses pembelajaran mereka. Melalui proses ini, peserta didik dapat
mengevaluasi pemahaman mereka dan mengidentifikasi kekuatan serta kelemahan dalam
pemecahan masalah. Hal ini juga sesuai dengan prinsip-prinsip teori konstruktivisme yang
menekankan pada pemikiran kritis dan refleksi dalam pembelajaran.
5. Cognitive Appreticeship
Cognitive apprenticeship adalah sebuah model pengajaran dan pembelajaran yang
berfokus pada pengembangan keahlian melalui pembelajaran yang mirip dengan magang
atau magang dalam suatu profesi. Pendekatan ini didasarkan pada model magang
tradisional, di mana seorang ahli terampil bekerja sama dengan seorang pemula untuk
mengajarkan keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk suatu perdagangan atau
profesi tertentu. Dalam cognitive apprenticeship, fokusnya adalah pada pengembangan
keahlian dalam keterampilan kognitif, seperti pemecahan masalah, berpikir kritis, dan
pengambilan keputusan. Pendekatan ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan di mana
peserta didik dapat mengembangkan keterampilan mereka melalui observasi, praktik, dan
umpan balik, dengan bimbingan dan dukungan dari seorang ahli.
Kemampuan cognitive apprenticeship adalah kemampuan untuk mengembangkan
keterampilan kognitif yang kompleks melalui pendekatan pembelajaran cognitive
apprenticeship. Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk memecahkan masalah,
berpikir kritis, mengambil keputusan, dan keterampilan kognitif lainnya yang dibutuhkan
dalam profesi atau bidang tertentu. Pendekatan cognitive apprenticeship bertujuan untuk
menciptakan lingkungan pembelajaran di mana peserta didik dapat mengembangkan
keterampilan mereka melalui observasi, praktik, dan umpan balik, dengan bimbingan dan
dukungan dari seorang ahli. Dalam pendekatan ini, peserta didik belajar dengan cara
mengamati dan terlibat dalam tugas kognitif yang diarahkan oleh ahli, yang memberikan
bimbingan, umpan balik, dan dukungan ketika dibutuhkan.
Pendekatan cognitive apprenticeship, menerapkab beberapa strategi penting yang
digunakan untuk membantu peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran mereka.
Beberapa strategi ini diantaranya coaching, modeling, fading, dan ZPD (Zone of Proximal
Development).
1. Coaching: Coaching merupakan salah satu strategi kunci dalam pendekatan cognitive
apprenticeship. Ini melibatkan memberikan umpan balik, bimbingan, dan dukungan
kepada peserta didik ketika mereka terlibat dalam tugas kognitif. Ahli atau mentor
memberikan bimbingan dan umpan balik tentang kemajuan peserta didik, dan
membantu mereka mengembangkan keterampilan mereka dan mencapai tujuan
pembelajaran.
2. Modeling: Modeling melibatkan ahli atau mentor menunjukkan keterampilan atau
proses kognitif yang diinginkan kepada peserta didik. Ahli menunjukkan contoh dan
penjelasan tentang pendekatan mereka dalam berpikir dan memecahkan masalah,
sehingga peserta didik dapat mengikuti dan memahami cara kerja ahli tersebut.
3. Fading: Fading adalah proses di mana ahli atau mentor secara bertahap menarik
dukungan mereka ketika peserta didik menjadi lebih terampil dan percaya diri. Ini dapat
meliputi mengurangi jumlah bimbingan dan umpan balik yang diberikan oleh ahli,
sehingga peserta didik menjadi lebih mandiri dan dapat menyelesaikan tugas dengan
lebih sedikit bantuan.
4. ZPD (Zone of Proximal Development): ZPD mengacu pada rentang keterampilan yang
dapat dikembangkan oleh peserta didik dengan bantuan ahli atau mentor. ZPD
melibatkan memberikan tugas yang sesuai dengan kemampuan peserta didik, namun
juga menantang mereka untuk berkembang lebih jauh. Dalam ZPD, peserta didik
menerima bimbingan dan dukungan dari ahli atau mentor untuk mengembangkan
keterampilan mereka, sehingga mereka dapat mencapai tujuan pembelajaran mereka
secara lebih efektif.
Dengan menggunakan strategi coaching, modeling, fading, dan ZPD, pendekatan
cognitive apprenticeship membantu peserta didik mengembangkan keterampilan kognitif
yang kompleks dengan cara yang efektif dan efisien. cognitive apprenticeship juga
memposisikan bahwa pengetahuan diperoleh melalui praktik langsung dan tindakan yang
bermakna, maka hal ini sesuai dengan pendapat David Ausubel tentang belajar bermakna.
Selain itu pendekatan cognitive apprenticeship juga mendukung lahirnya teori belajar
Situated Cognition.
SITUATED COGNITION
Teori situated cognition (situasi kognitif)/Kontekstual dikembangkan oleh Jean Lave
seorang antropolog dan pendidik yang meneliti tentang bagaimana pengetahuan diproduksi dan
digunakan dalam konteks sosial dan budaya tertentu. Menurut Lave (1988) situated cognition
menekankan bahwa pembelajaran bukan hanya tentang menerima informasi tetapi juga
melibatkan proses sosial dan budaya. Oleh karena itu, konteks sosial dan budaya di mana
individu belajar sangat penting untuk memahami bagaimana pengetahuan diperoleh dan
digunakan. Teori ini berpandangan bahwa pengetahuan dan pemahaman dipengaruhi oleh
situasi dan konteks di mana mereka diperoleh. Situasi atau konteks yang terlibat dalam
pembelajaran harus memiliki relevansi dengan penggunaan pengetahuan di dunia nyata.
Dengan demikian, pendekatan pembelajaran yang berbasis situasi atau kontekstual lebih efektif
dalam memfasilitasi pemahaman dan penerapan pengetahuan.
Lave (1988) juga berpendapat bahwa pengetahuan dan pemahaman hanya dapat
dipahami dalam konteks praktik atau situasi yang terlibat dalam penggunaannya. Artinya,
individu belajar dan mengembangkan pengetahuan mereka melalui partisipasi aktif (learning
as participation) dalam situasi nyata (learning in context). Teori ini juga berpendapat bahwa
pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari situasi di mana ia digunakan, dan bahwa belajar harus
dilakukan dalam situasi yang memiliki relevansi dengan penggunaan pengetahuan tersebut di
dunia nyata.Teori situated cognition juga berpendapat bahwa pengetahuan diperoleh melalui
praktik hidup dan tindakan yang bermakna.
Teori situated cognition menekankan pada pentingnya pengalaman langsung dalam
pembelajaran dan menyatakan bahwa pengetahuan tidak dapat dipindahkan secara langsung
dari satu situasi ke situasi lain. Oleh karena itu, teori ini menyarankan pendekatan pembelajaran
yang lebih kontekstual dan berbasis situasi, seperti belajar melalui simulasi atau proyek yang
memiliki relevansi langsung dengan kehidupan nyata. Teori ini memiliki dampak besar pada
pendidikan dan pelatihan, karena menunjukkan pentingnya konteks dan pengalaman dalam
belajar. Teori situated cognition juga telah diterapkan dalam berbagai bidang, termasuk
psikologi kognitif, linguistik, dan antropologi.
Lave (1988) juga mengatakan bahwa situated cognition dapat dieksplorasi melalui
learning as participation atau pembelajaran terjadi melalui partisipasi aktif bagi individu
(individuals), komunitas (communities) atau organisasi (organization). Hubungan antara
learning as participation untuk individu, komunitas, dan organisasi dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Individuals: learning as participation menekankan bahwa individu belajar melalui
partisipasi aktif mereka dalam aktivitas dan komunitas praktik. Dengan berpartisipasi
secara aktif, individu dapat membangun pemahaman yang lebih baik tentang praktik dan
nilai-nilai yang terkait dengan aktivitas tersebut, serta mengembangkan keterampilan dan
pengetahuan yang diperlukan untuk berpartisipasi lebih aktif di masa depan. Dalam konteks
ini, individu dianggap sebagai pelaku utama dalam proses pembelajaran, dan partisipasi
mereka dalam aktivitas dan komunitas praktik sangat penting untuk membangun
pemahaman yang lebih baik dan mengembangkan keterampilan yang diperlukan.
2. Communities: learning as participation juga menekankan pentingnya komunitas praktik
dalam proses pembelajaran. Komunitas praktik menyediakan lingkungan yang aman dan
mendukung untuk individu belajar dan mengembangkan keterampilan dan pengetahuan
mereka. Dalam komunitas praktik, individu dapat berbagi pengalaman, pengetahuan, dan
keterampilan dengan sesama anggota komunitas, dan membangun pemahaman bersama
tentang praktik dan nilai-nilai yang terkait dengan aktivitas tersebut. Melalui partisipasi
aktif dalam komunitas praktik, individu juga dapat membangun hubungan sosial yang kuat
dan memperluas jaringan kontak mereka.
3. Organizations: learning as participation juga memiliki implikasi penting untuk organisasi.
Organisasi dapat memanfaatkan konsep ini dengan membangun lingkungan kerja yang
mendukung partisipasi aktif karyawan dalam aktivitas dan komunitas praktik yang terkait
dengan pekerjaan mereka. Dengan memberikan kesempatan kepada karyawan untuk
belajar melalui partisipasi aktif dalam aktivitas dan komunitas praktik, organisasi dapat
meningkatkan keterampilan dan pengetahuan karyawan, meningkatkan motivasi dan
keterlibatan mereka, dan meningkatkan produktivitas dan kualitas pekerjaan. Dalam hal
ini, organisasi dapat memanfaatkan learning as participation untuk meningkatkan kinerja
dan inovasi mereka.

Teori situated cognition menurut Jean Lave memanfaatkan konsep communities of


practice dalam memahami dan menerapkan pembelajaran yang berbasis situasi atau
kontekstual. Communities of practice mengacu pada kelompok orang yang saling berinteraksi
dan berbagi pengetahuan, keahlian, dan pengalaman dalam konteks tertentu. Lave juga
mengatakan bahwa communities of practice merupakan lingkungan yang ideal untuk
memfasilitasi pembelajaran yang berbasis situasi/kontekstual. Dalam komunitas praktik,
anggota dapat berpartisipasi secara aktif dalam situasi nyata dan belajar melalui pengalaman
langsung dan refleksi kolaboratif. Melalui partisipasi dalam komunitas praktik, anggota dapat
memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan dan tujuan
mereka. Selain itu, komunitas praktik juga dapat memfasilitasi transfer pengetahuan dan
keterampilan antara anggota yang berbeda.
Dalam konteks pendidikan, pemanfaatan communities of practice dapat meningkatkan
efektivitas pembelajaran dan memberikan pengalaman yang lebih nyata bagi siswa. Selain itu
dengan adanya komunitas praktik yang tepat dapat membuat siswa belajar melalui pengalaman
langsung dan refleksi kolaboratif, serta mendapatkan kesempatan untuk menerapkan
pengetahuan dan keterampilan yang mereka pelajari dalam konteks praktis dan membangun
keterampilan dan pengetahuan yang relevan dengan dunia nyata.
Proses untuk membangun communities of practice menurut teori situated cognition
Jean Lave meliputi beberapa tahapan, antara lain:
1. Identifikasi komunitas praktik yang relevan: Langkah pertama adalah mengidentifikasi
komunitas praktik yang relevan dengan topik atau konteks pembelajaran yang ingin
dipelajari. Komunitas praktik dapat ditemukan di berbagai tempat, seperti di tempat kerja,
organisasi, kelompok masyarakat, atau online.
2. Partisipasi periferal yang sah: Langkah selanjutnya adalah menjadi bagian dari komunitas
praktik melalui partisipasi periferal yang sah. Dalam peran periferal, individu dapat
mengamati dan mempelajari praktik-praktik yang diterapkan oleh anggota lain dalam
komunitas, serta membangun keterampilan dan pengetahuan yang relevan dengan konteks
praktik.
3. Bertindak sebagai anggota penuh: Setelah menjadi bagian dari komunitas praktik melalui
partisipasi periferal yang sah, individu dapat secara bertahap menjadi anggota penuh
dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh melalui pengalaman praktik. Hal ini
dapat terjadi ketika individu secara aktif berpartisipasi dalam praktik-praktik yang ada
dalam komunitas praktik.
4. Membangun jaringan dan hubungan sosial: Selama proses membangun komunitas praktik,
individu juga dapat membangun jaringan dan hubungan sosial dengan anggota lain dalam
komunitas. Hubungan ini dapat membantu dalam transfer pengetahuan dan keterampilan
antara anggota, serta memfasilitasi refleksi kolaboratif dan pembelajaran yang lebih dalam.

Lave & Wengger (1991) juga berpendapat bahwa untuk membangun communities of
practice yang tepat memerlukan tiga konsep yang saling terkait, dimana ketiganya dapat saling
membantu untuk memfasilitasi pembelajaran yang berbasis situasi dan membangun
pengetahuan dan keterampilan yang relevan dengan dunia nyata. Ketiga konsep tersebut adalah
joint enterprise (usaha bersama), shared repertoire (repertoar bersama/berbagi) dan all
participans are changed through mutual engagement (semua peserta diubah melalui
keterlibatan timbal balik). Ketiga konsep ini mengacu pada cara individu dapat bekerja sama
dalam suatu tugas atau aktivitas dalam konteks komunitas praktik, serta menggunakan
pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki secara bersama-sama.
Joint enterprise mengacu pada usaha bersama individu dalam mencapai tujuan atau
melakukan tugas dalam suatu komunitas praktik, dengan menggunakan pengetahuan dan
keterampilan yang dimilikinya secara bersama-sama. Shared repertoire mengacu pada
pengetahuan, keterampilan, dan praktik yang dipertukarkan dan digunakan secara bersama-
sama dalam konteks komunitas praktik. Sedangkan all participants are changed through
mutual engagement mengacu pada perubahan yang terjadi pada semua anggota komunitas
praktik melalui keterlibatan dan kolaborasi mereka dalam suatu tugas atau aktivitas.
Ketika individu terlibat dalam joint enterprise dan menggunakan shared repertoire
dalam konteks komunitas praktik, mereka berpartisipasi dalam proses pembelajaran yang
berbasis situasi. Proses ini memungkinkan individu untuk belajar dan mengembangkan
pengetahuan dan keterampilan yang relevan dengan konteks praktik. Melalui keterlibatan dan
kolaborasi dalam suatu tugas atau aktivitas, semua anggota komunitas praktik saling
mempengaruhi dan memperkaya satu sama lain. Proses ini memungkinkan semua anggota
komunitas praktik untuk berpartisipasi dalam pembelajaran yang berbasis situasi dan
membangun pengetahuan dan keterampilan yang relevan dengan dunia nyata.
Selain ketiga konsep yang telah disebutkan, Teori situated cognition juga
memanfaatkan 2 (dua) konsep yang sangat penting dalam mewujudkan partisipasi individu dari
waktu ke waktu (individual's participation over time), yaitu konsep Legitimate peripheral
participation (LPP) dan learning trajectory. Legitimate peripheral participation (LPP) yang
mengacu pada cara individu baru terlibat dalam komunitas praktik melalui partisipasi perifer
atau peran yang kurang penting pada awalnya. Melalui partisipasi ini, individu baru dapat
mempelajari dan mempraktikkan keterampilan dan pengetahuan dasar, serta membangun
pemahaman tentang norma, nilai, dan praktik yang terkait dengan komunitas praktik.
Sementara itu, learning trajectory merujuk pada jalur perkembangan atau progresi
pembelajaran individu dalam komunitas praktik. Hal ini mencakup peran dan keterlibatan yang
semakin kompleks dan berpengaruh dalam aktivitas dan tugas komunitas praktik, serta
pengembangan keterampilan dan pengetahuan yang semakin kompleks dan beragam. Dalam
teori situated cognition Jean Lave, LPP adalah langkah awal dalam learning trajectory individu
di dalam komunitas praktik. Dengan demikian, individu baru yang mengalami LPP akan
bergerak menuju learning trajectory yang melibatkan keterlibatan yang semakin signifikan
dalam tugas dan aktivitas komunitas praktik, serta pengembangan keterampilan dan
pengetahuan yang semakin kompleks dan beragam.
Konsep "individual's participation over time" atau partisipasi individu dari waktu ke
waktu, dalam teori situated cognition dijelaskan melalui lima istilah yang berkaitan dengan
posisi individu dalam komunitas praktik, yaitu:
1. Peripheral: Posisi perifer merujuk pada partisipasi individu yang terbatas dalam komunitas
praktik. Individu dalam posisi perifer biasanya memiliki akses terbatas ke praktik dan
sumber daya komunitas, dan sering kali hanya berpartisipasi dalam aktivitas tertentu dalam
situasi tertentu.
2. Inbound: Posisi inbound merujuk pada individu yang semakin terlibat dalam komunitas
praktik dan memiliki akses lebih besar ke sumber daya dan aktivitas yang terkait dengan
praktik tersebut. Individu dalam posisi inbound biasanya memiliki keterampilan dan
pengetahuan dasar yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam aktivitas tersebut.
3. Insider: Posisi insider merujuk pada individu yang memiliki partisipasi yang lebih aktif
dalam komunitas praktik dan memiliki akses penuh ke sumber daya dan aktivitas yang
terkait dengan praktik tersebut. Individu dalam posisi insider biasanya memiliki
keterampilan dan pengetahuan yang lebih baik tentang praktik dan dapat berpartisipasi
dalam berbagai aktivitas dalam situasi yang berbeda.
4. Boundary: Posisi boundary merujuk pada individu yang berada di antara posisi insider dan
outbound. Individu dalam posisi boundary dapat berpartisipasi dalam beberapa aktivitas
yang terkait dengan praktik, tetapi juga memiliki akses ke sumber daya di luar komunitas
praktik.
5. Outbound: Posisi outbound merujuk pada individu yang tidak lagi terlibat dalam komunitas
praktik. Individu dalam posisi outbound mungkin telah memperoleh keterampilan dan
pengetahuan yang cukup dari praktik dan telah memutuskan untuk menjalani aktivitas atau
bergabung dengan komunitas praktik lain.
Dengan memahami posisi individu dalam komunitas praktik melalui lima istilah di
atas, kita dapat memahami bahwa partisipasi individu dalam aktivitas dan komunitas praktik
selama periode waktu tertentu dapat ditentukan oleh faktor-faktor tersebut.
ACTIVITY THEORY
Activity theory atau teori aktivitas dikembangkan oleh sekelompok ahli psikologi
Soviet, terutama oleh Lev Vygotsky, Aleksandr Luria, dan Aleksei Leontiev. Menurut
Vygotsky (1978) activity theory adalah sebuah kerangka teoritis yang menjelaskan bagaimana
aktivitas manusia mempengaruhi perkembangan psikologis dan sosial. Menurut Vygotsky,
aktivitas manusia terdiri dari tiga komponen utama: subjek, objek, dan lingkungan. Subjek
adalah individu yang melakukan aktivitas, objek adalah tujuan atau hasil yang ingin dicapai
oleh subjek, dan lingkungan adalah konteks di mana aktivitas tersebut terjadi.
Vygotsky juga mengidentifikasi dua jenis aktivitas manusia: aktivitas yang dilakukan
secara individual dan aktivitas yang dilakukan secara sosial. Aktivitas yang dilakukan secara
individual melibatkan proses pemecahan masalah atau pencapaian tujuan oleh individu secara
mandiri. Sedangkan aktivitas yang dilakukan secara sosial melibatkan interaksi antara individu
dan lingkungannya, yang dapat berupa interaksi dengan orang lain atau dengan alat dan
teknologi. Vygotsky jugan berpendapat bahwa aktivitas manusia selalu terjadi dalam konteks
sosial dan budaya tertentu. Oleh karena itu, Vygotsky menekankan pentingnya faktor sosial,
budaya, dan sejarah dalam mempengaruhi perkembangan manusia. Vygotsky juga
mengemukakan bahwa perkembangan individu tidak terjadi secara linier, melainkan melalui
proses yang kompleks dan saling terkait antara aktivitas, pemikiran, dan bahasa.
Teori aktivitas Vygotsky sangat berguna untuk analisis dan desain teknologi untuk
HCI/Human-Computer Interaction (interaksi manusia-komputer) karena teori ini menekankan
pentingnya konteks sosial, budaya, dan sejarah dalam aktivitas manusia. Ini dapat membantu
dalam memahami cara pengguna akan berinteraksi dengan teknologi dalam konteks tertentu,
dan bagaimana teknologi dapat dirancang untuk memfasilitasi aktivitas pengguna yang lebih
baik. Dalam HCI, teori aktivitas dapat membantu dalam memahami aktivitas pengguna dalam
konteks tertentu, seperti pekerjaan, pendidikan, atau kehidupan sehari-hari. Teori ini juga dapat
membantu dalam memahami bagaimana teknologi dapat digunakan untuk memfasilitasi
aktivitas pengguna dalam konteks sosial dan budaya tertentu. Contohnya, desain antarmuka
pengguna (UI/User Interface) yang efektif harus mempertimbangkan bagaimana pengguna
akan berinteraksi dengan teknologi dalam konteks aktivitas mereka. UI yang baik harus mudah
digunakan dan intuitif, sehingga pengguna dapat dengan mudah menyelesaikan tugas atau
mencapai tujuan mereka dengan menggunakan teknologi. Selain itu, teori aktivitas Vygotsky
juga menekankan pentingnya mediasi dalam aktivitas manusia, yang dapat berupa penggunaan
alat atau teknologi. Ini dapat membantu dalam memahami bagaimana teknologi dapat berperan
sebagai alat mediasi dalam aktivitas pengguna, dan bagaimana teknologi dapat digunakan
untuk memperluas atau meningkatkan kemampuan pengguna dalam melakukan aktivitas
tertentu.
Teori aktivitas Vygotsky menekankan bahwa aktivitas manusia tidak dapat dipisahkan
dari konteks sosial, budaya, dan sejarah di mana aktivitas tersebut terjadi. Dalam teori ini,
aktivitas dianggap sebagai proses yang kompleks dan terdiri dari beberapa komponen terkait,
seperti subjek, objek, dan lingkungan. Oleh karena itu, kegiatan selalu terjadi dalam konteks
tertentu, dan tidak mungkin dipisahkan dari konteks tersebut. Vygotsky (1978) berpendapat
bahwa aktivitas manusia selalu terjadi dalam konteks sosial dan budaya tertentu, dan bahwa
faktor-faktor ini sangat mempengaruhi bagaimana aktivitas tersebut dilakukan dan
diinterpretasikan. Misalnya, aktivitas bekerja di kantor akan berbeda dari aktivitas bermain
game di rumah karena konteksnya yang berbeda, dan lingkungan serta tujuan dari aktivitas
tersebut juga berbeda.
Lebih lanjut, Vygotsky juga menekankan bahwa penggunaan alat atau teknologi
merupakan bentuk mediasi dalam aktivitas manusia. Penggunaan alat atau teknologi dapat
mempengaruhi cara pengguna melakukan aktivitas dan membantu dalam mencapai tujuan yang
ingin dicapai. Namun, penggunaan alat atau teknologi juga harus dipertimbangkan dalam
konteks sosial dan budaya tertentu. Dalam HCI (interaksi manusia-komputer), teori aktivitas
Vygotsky menunjukkan bahwa desain teknologi harus mempertimbangkan konteks sosial,
budaya, dan aktivitas pengguna dalam penggunaan teknologi. Teknologi harus dirancang untuk
memfasilitasi aktivitas pengguna dengan cara yang efektif dan relevan untuk konteks aktivitas
mereka.
Teori aktivitas Vygotsky berfokus pada analisis aktivitas manusia dalam konteks
sosial, budaya, dan sejarah. Teori ini menekankan pentingnya memahami bagaimana aktivitas
manusia dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut, dan bagaimana aktivitas dapat diatur melalui
mediasi dan penggunaan alat atau teknologi.
Namun, teori aktivitas Vygotsky juga memiliki keterbatasan dalam menjelaskan
perilaku yang tidak dapat diprediksi atau perubahan kondisi. Teori ini tidak dapat mengatasi
situasi yang tidak dapat diprediksi, atau perubahan yang mungkin terjadi dalam konteks
aktivitas. Misalnya, jika ada perubahan mendadak dalam konteks aktivitas, seperti situasi
darurat atau kejadian tak terduga, teori aktivitas mungkin tidak dapat menjelaskan bagaimana
aktivitas manusia akan bereaksi dalam situasi tersebut. Selain itu, teori aktivitas juga tidak
dapat menjelaskan perilaku manusia yang terjadi di luar konteks sosial dan budaya yang
dianggap dalam teori tersebut. Contohnya, perilaku manusia dalam lingkungan yang sangat
individual atau dalam lingkungan yang sangat berbeda secara budaya atau sosial mungkin tidak
dapat dijelaskan sepenuhnya dengan menggunakan teori aktivitas Vygotsky.
Menurut teori aktivitas Vygotsky, pembelajaran tidak hanya terjadi secara individual,
tetapi juga dipengaruhi oleh konteks sosial dan budaya di mana pembelajaran terjadi. Misalnya,
lingkungan pembelajaran, seperti tempat belajar, lingkungan sosial di sekitar pembelajaran,
dan cara berkomunikasi antar peserta didik dan pengajar, dapat mempengaruhi pembelajaran.
Oleh karena itu, teori aktivitas Vygotsky menunjukkan bahwa pengajaran dan pembelajaran
tidak hanya sebatas transfer pengetahuan, tetapi juga memperhitungkan faktor-faktor yang ada
di sekitar aktivitas belajar. Faktor-faktor tersebut dapat meliputi cara peserta didik dan pengajar
berinteraksi, kemampuan individu, dan juga peran alat atau teknologi dalam pembelajaran.
Dalam pendidikan, teori aktivitas Vygotsky dapat membantu dalam merancang lingkungan
pembelajaran yang efektif dan relevan untuk peserta didik. Teori ini memperhitungkan konteks
sosial, budaya, dan sejarah di mana pembelajaran terjadi dan merancang pengajaran yang
mempertimbangkan aspek-aspek tersebut. Dengan demikian, teori aktivitas Vygotsky dapat
membantu dalam menciptakan pengalaman pembelajaran yang lebih baik dan memberikan
pemahaman yang lebih baik tentang konteks pembelajaran.
Terdapat beberapa tokoh lain yang turut mempengaruhi pengembangan teori aktivitas
ini, di antaranya : Alexei Leontiev, yang juga merupakan seorang psikolog Soviet, dan Yrjö
Engeström, seorang ahli psikologi Finlandia yang mengembangkan model "learning by
expanding" yang berdasarkan teori aktivitas. Selain itu, banyak ahli lainnya dalam bidang
psikologi, sosiologi, dan desain interaksi manusia-komputer yang menggunakan teori aktivitas
sebagai landasan teoretis untuk penelitian mereka.
Teori aktivitas Vygotsky berpendapat bahwa aktivitas manusia merupakan suatu
proses dinamis dan kompleks yang dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor
internal ini meliputi motivasi, perhatian, kemampuan kognitif, dan emosi, sementara faktor
eksternal meliputi lingkungan fisik, sosial, dan budaya di sekitar individu.

Dalam teori ini, aktivitas manusia dipandang sebagai suatu sistem yang terdiri dari tiga
elemen utama, yaitu subjek, objek, dan alat. Subjek mengacu pada individu yang melakukan
aktivitas, objek merujuk pada tujuan atau hasil yang ingin dicapai, dan alat merujuk pada
bantuan atau teknologi yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut.

Selain itu, teori aktivitas Vygotsky juga mengakui bahwa aktivitas manusia dapat
berubah secara dinamis seiring perubahan kondisi internal dan eksternal. Oleh karena itu,
penting untuk memahami konteks dan faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas manusia
untuk dapat merancang lingkungan atau teknologi yang mendukung aktivitas tersebut.

Dalam konteks interaksi manusia-komputer, teori aktivitas Vygotsky dapat membantu dalam
merancang antarmuka atau sistem yang lebih intuitif dan responsif terhadap kebutuhan dan
tujuan pengguna. Dengan memperhatikan faktor-faktor internal dan eksternal yang
mempengaruhi aktivitas manusia, kita dapat merancang sistem yang lebih efektif dan efisien
dalam mencapai tujuan yang diinginkan.

Poin utama dari dari teori aktivitas Vygotsky (1978) adalah sebagai berikut:
1. Aktivitas manusia dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, budaya, dan sejarah. Vygotsky
menekankan bahwa manusia berada dalam lingkungan yang terus berubah, dan aktivitas
manusia dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut.
2. Mediasi dan penggunaan alat atau teknologi sangat penting dalam mengatur aktivitas
manusia. Vygotsky berpendapat bahwa manusia mengembangkan alat dan teknologi untuk
membantu mereka dalam mengatasi tantangan dan mencapai tujuan.
3. Aktivitas manusia terjadi dalam konteks sosial dan budaya tertentu. Vygotsky menekankan
bahwa aktivitas manusia terjadi dalam lingkungan sosial dan budaya yang memberikan
makna dan nilai bagi aktivitas tersebut.
4. Kegiatan manusia dipandu oleh tujuan dan motivasi. Aktivitas manusia tidak hanya
ditentukan oleh faktor-faktor eksternal, tetapi juga oleh tujuan dan motivasi yang
diinternalisasi oleh individu.
5. Kegiatan manusia melibatkan proses internalisasi dan sosialisasi. Vygotsky berpendapat
bahwa manusia menginternalisasi pengetahuan, nilai, dan norma-norma sosial melalui
proses sosialisasi dan belajar dari lingkungan sosial dan budaya di sekitar mereka.
6. Aktivitas manusia dapat dikembangkan melalui kolaborasi sosial. Vygotsky menekankan
bahwa aktivitas manusia dapat ditingkatkan dan dikembangkan melalui kolaborasi sosial,
interaksi, dan pertukaran pengetahuan dengan orang lain.
7. Aktivitas manusia melibatkan proses pemecahan masalah. Vygotsky berpendapat bahwa
aktivitas manusia melibatkan proses pemecahan masalah dan berbagai strategi yang
digunakan individu untuk mencapai tujuan mereka.
Dalam keseluruhan, teori aktivitas Vygotsky mengakui pentingnya konteks sosial, budaya, dan
sejarah dalam aktivitas manusia, serta pengaruh alat atau teknologi dalam mengatur aktivitas
manusia. Teori ini dapat membantu dalam memahami dan merancang lingkungan dan situasi
yang mendukung untuk aktivitas manusia, termasuk dalam konteks pendidikan dan interaksi
manusia-komputer.
Sedangkan poin utma dari teori aktivitas menurut Leontiev (1981) yaitu sebagai
berikut:
1. Aktivitas adalah unit dasar analisis psikologis dan sosial.
2. Aktivitas melibatkan tiga aspek yang saling terkait: tujuan (goal), obyek (object), dan
tindakan (action).
3. Aktivitas adalah proses yang dinamis dan selalu berubah seiring dengan perubahan kondisi
dan konteks.
4. Aktivitas manusia selalu terjadi dalam konteks sosial dan budaya yang lebih luas.
5. Aktivitas manusia melibatkan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan dalam
rangka mencapai tujuan yang diinginkan.
6. Aktivitas manusia dapat menjadi objek pengamatan dan analisis untuk memahami berbagai
aspek kognitif, emosional, dan sosial dari perilaku manusia.
7. Aktivitas manusia dapat dianalisis melalui pendekatan interdisipliner yang melibatkan
psikologi, sosiologi, dan antropologi.
Leontiev, menganggap bahwa sebagai elemen dasar yang mengatur perilaku manusia
dan hubungan sosialnya aktivitas dipandang sebagai fenomena yang kompleks dan terstruktur
secara hierarkis, dan dapat dianalisis melalui berbagai level analisis yang berbeda, mulai dari
tindakan individu hingga praktik sosial yang lebih luas.

Selain Vigotsky dan Leontiev, Yrjö Engeström (1987) mengungkapkan bahwa poin
utama dari teori aktivitas adalah sebagai berikut:
1. Aktivitas dianggap sebagai unit analisis dasar yang melibatkan interaksi manusia dengan
lingkungan dan mediasi sosial.
2. Aktivitas terdiri dari tiga aspek yang saling terkait, yaitu subyek, objek, dan alat.
3. Aktivitas tidak hanya melibatkan interaksi individu dengan lingkungan tetapi juga
melibatkan interaksi antara individu dan kelompok sosial yang lebih luas.
4. Aktivitas dipandang sebagai proses dinamis dan kompleks yang selalu berubah seiring
dengan perubahan kondisi dan konteks.
5. Teori aktivitas Engeström menekankan pentingnya analisis praktik sosial dalam memahami
aktivitas manusia.
6. Model "learning by expanding" dikembangkan berdasarkan teori aktivitas dan menekankan
pentingnya pembelajaran yang berbasis praktik dalam memperluas pemahaman dan
kompetensi individu.
7. Teori aktivitas Engeström dapat digunakan dalam pengembangan desain interaksi manusia-
komputer yang berfokus pada penggunaan teknologi dalam konteks sosial dan praktik yang
lebih luas.
Menurut Engeström (1987), aktivitas dipandang sebagai fenomena sosial dan budaya
yang kompleks dan melibatkan interaksi antara individu dan lingkungannya. Model "learning
by expanding" yang dikembangkan oleh Engeström menekankan pentingnya pengembangan
kompetensi individu melalui pembelajaran yang berbasis praktik dan berorientasi pada
pemecahan masalah dalam konteks sosial yang lebih luas. Teori aktivitas Engeström juga dapat
digunakan dalam pengembangan desain interaksi manusia-komputer yang berfokus pada
penggunaan teknologi dalam konteks sosial dan budaya yang lebih luas.
CONNECTIVISM

Connectivism Theory adalah teori pembelajaran yang dipromosikan oleh George


Siemens pada tahun 2004. George Siemens merupakan seorang akademisi Kanada yang
terkenal dalam bidang teknologi pendidikan dan pembelajaran. Teori ini menekankan bahwa
pembelajaran bukan hanya sekedar akuisisi pengetahuan, tetapi juga melalui koneksi antar
sumber informasi. Teori konektivisme lahir berdasarkan informasi dan realitas yang berubah
dengan cepat (rapidly altering information and reality). Menurut Siemens (2004),
pembelajaran terjadi melalui koneksi antar orang, ide, dan teknologi dan engetahuan bukanlah
sekedar akumulasi fakta, tetapi juga proses pengenalan pola, menghubungkan informasi, dan
pengembangan wawasan baru.
Connectivism Theory Siemens muncul sebagai respons terhadap perubahan dan
perkembangan teknologi informasi yang terus berkembang dan mempengaruhi cara kita belajar
dan memperoleh pengetahuan di era digital. Dalam era digital ini, akses terhadap informasi dan
pengetahuan telah menjadi lebih mudah dan terbuka dari sebelumnya, yang mempengaruhi
cara kita memperoleh dan memproses informasi serta cara kita berinteraksi dengan orang lain
dan lingkungan kita. Teori ini juga didasarkan pada premis bahwa pembelajaran dan
pengembangan diri harus berpusat pada koneksi yang dibentuk oleh teknologi informasi dan
interaksi antara individu dan lingkungannya. Konsep ini menekankan pentingnya memperoleh
pengetahuan dan keterampilan melalui jaringan sosial dan teknologi, seperti internet dan media
sosial, dan melalui pengalaman dan interaksi dengan lingkungan dan orang-orang di sekitar
kita. Selain itu, Connectivism Theory Siemens juga dipengaruhi oleh pandangan teori
pembelajaran yang lebih baru, seperti teori sistem kompleks dan teori jaringan. Teori-teori ini
mengakui pentingnya lingkungan dan jaringan sosial dalam pembelajaran dan pengembangan
diri, dan menekankan pentingnya adaptabilitas, fleksibilitas, dan kemampuan untuk
menghadapi perubahan yang cepat. Siemens (2004) mengidentifikasi ada empat prinsip utama
dari connectivism theory, yaitu:
1. Pembelajaran dan pengetahuan bergantung pada keberagaman pendapat.
2. Pembelajaran adalah proses menghubungkan node khusus atau sumber informasi.
3. Pembelajaran dapat berada pada perangkat non-manusia.
4. Kemampuan untuk mengetahui lebih banyak lebih kritis daripada apa yang saat ini
diketahui.
Kunci utama dari Connectivism Theory Siemens terlihat dari tujuan utamanya yaitu
“to maintain accurate up-to-date information” dan “connection of information sets that can
reside outside the learning”. Hal ini menunjukkan bahwa menjaga informasi yang akurat dan
terbaru sangatlah penting, dan informasi dianggap sebagai bahan bakar utama yang mendukung
proses pembelajaran. Dalam lingkungan pembelajaran yang terus berkembang, informasi
selalu berubah dan berkembang, sehingga menjaga informasi yang akurat dan terbaru menjadi
sangat penting. Teori Konektivisme Siemens menekankan pentingnya memperbarui dan
memperoleh informasi terbaru yang akurat agar pembelajaran dapat berlangsung dengan
efektif dan efisien. Dalam pandangan teori ini, pembelajar perlu mampu mengevaluasi
informasi yang mereka terima, mengembangkan kemampuan untuk mengelola informasi yang
kompleks, dan memperbarui pengetahuan mereka secara terus-menerus agar tetap relevan
dengan perkembangan terbaru. Siemens juga menekankan pentingnya membangun dan
memelihara jaringan koneksi yang luas dan kompleks, sehingga pembelajar dapat memperoleh
informasi terbaru dari berbagai sumber dan memperbaharui pengetahuan mereka dengan cepat.
Teknologi dan jaringan memungkinkan informasi dapat diakses dengan mudah dan cepat dari
berbagai sumber di seluruh dunia, sehingga menjaga informasi yang akurat dan terbaru menjadi
kunci utama dalam Teori Konektivisme Siemens.
Selain itu, poin utama yang lain dari teori konektivisme adalah “connection of
information sets that can reside outside the learning" yang bermakna bahwa pengetahuan tidak
hanya terletak dalam kepala individu, tetapi juga tersebar di sekitar jaringan informasi yang
terhubung secara global. Hal ini dianggap sebagai poin yang sangat penting dari teori
konstruktivisme Siemens karena kemampuan untuk terhubung dengan informasi yang ada di
luar diri sendiri memungkinkan individu untuk memperoleh pengetahuan yang lebih luas dan
mendalam melalui koneksi dengan sumber daya informasi yang beragam, seperti internet,
buku, jurnal, dan media sosial. Melalui koneksi dengan informasi di luar diri sendiri, individu
dapat membangun jaringan informasi pribadi yang unik dan terus berkembang, yang dapat
membantu mereka memahami dan menavigasi dunia yang kompleks dan terus berubah. Hal ini
juga memungkinkan individu untuk belajar dari orang lain yang mungkin memiliki
pengalaman atau perspektif yang berbeda, yang dapat membantu dalam pengambilan
keputusan dan pemecahan masalah. Oleh karena itu, dalam Teori Konenktivisme Siemens,
kemampuan untuk terhubung dengan informasi dan sumber daya di luar diri sendiri dianggap
sebagai kunci penting untuk belajar dan berkembang dalam era digital yang terus berkembang.
Menurut teori konektivisme Siemens (2004) mendefinisikan pembelajaran adalah
proses sosial dan kolaboratif yang melibatkan penciptaan dan berbagi pengetahuan dalam
lingkungan jaringan. Pembelajar didorong untuk terlibat dalam eksplorasi aktif, terhubung
dengan orang lain, dan menciptakan jaringan pengetahuan mereka sendiri. Peran guru dalam
teori konektivisme adalah memfasilitasi proses pembelajaran dengan membimbing siswa ke
informasi yang relevan dan membantu mereka membuat koneksi antara sumber informasi yang
berbeda. Teori konektivisme dipandang sebagai respons terhadap tantangan zaman digital dan
telah mempengaruhi pembelajaran online dan penggunaan teknologi dalam pendidikan. Teori
ini menekankan pentingnya jaringan dan koneksi dalam proses pembelajaran dan menunjukkan
bahwa pengetahuan terus berkembang dan berubah dalam respons terhadap informasi dan ide-
ide baru.
Teori konektivisme Siemens (2004) mengidentifikasi bahwa ada empat konsep utama
yang saling terkait dan mempengaruhi proses pembelajaran, yaitu kompleksitas, jaringan,
otonomi diri, dan kekacauan.
1. Complexity (kompleksitas): Konsep ini mengacu pada kerumitan sistem yang melibatkan
banyak elemen dan keterkaitan antara elemen-elemen tersebut. Dalam konteks pembelajaran,
kompleksitas dapat dijumpai dalam bentuk informasi yang terus bertambah dan saling terkait,
serta dinamika interaksi antara orang-orang dan teknologi. Connectivism Theory Siemens
mengakui pentingnya memahami kompleksitas ini untuk membantu pembelajar dalam
mengelola informasi yang terus berkembang.
2. Networks (jaringan): Konsep jaringan merujuk pada koneksi antara elemen yang kompleks
tersebut. Dalam Teori Konektivisme Siemens, jaringan tersebut dapat berupa jaringan sosial,
jaringan informasi, dan jaringan konseptual. Konsep jaringan menunjukkan bahwa
pembelajaran melibatkan koneksi antara elemen-elemen tersebut, dan bahwa pembelajar perlu
mampu memahami, menavigasi, dan memanfaatkan jaringan tersebut.
3. Self-organization (pengorganisasian diri): Konsep ini menunjukkan bahwa sistem kompleks
dapat mengatur dirinya sendiri secara alami. Dalam Teori Konektivisme Siemens, konsep
pengorganisasian diri ini dapat dilihat pada kemampuan pembelajar untuk memilih,
mengevaluasi, dan menghubungkan sumber informasi secara mandiri dan sesuai dengan
kebutuhan dan minat mereka sendiri.
4. Chaos (kekacauan): Konsep kekacauan merujuk pada ketidakpastian dan ketidakteraturan
dalam sistem kompleks. Dalam Teori Konektivisme Siemens, konsep kekacauan menunjukkan
bahwa pembelajaran dapat melibatkan situasi yang tidak pasti dan tidak terduga, dan bahwa
pembelajar perlu mampu mengelola dan menyesuaikan diri terhadap keadaan tersebut.

Dengan mengintegrasikan konsep-konsep ini, Teori Konektivisme Siemens


memberikan kerangka kerja yang luas dan fleksibel untuk memahami pembelajaran dalam era
digital yang kompleks dan terus berkembang. Konsep-konsep tersebut mengakui kompleksitas
informasi, pentingnya koneksi antara elemen-elemen, kemampuan diri untuk mengatur, serta
ketidakpastian dan ketidakteraturan yang mungkin terjadi. Hal ini memberikan dorongan pada
pembelajar untuk memperkuat keterampilan mereka dalam mengelola informasi yang terus
berkembang dan memanfaatkan jaringan yang tersedia secara efektif.
Selain itu Siemens (2004) juga mengatakan bahwa "Connectivism posits that shifting
core elements are not entirely in control of individual". Maksud dari pernyataan tersebut adalah
bahwa dalam era digital saat ini, informasi dan pengetahuan terus berkembang dan berubah
dengan cepat, sehingga individu tidak sepenuhnya dapat mengontrol apa yang mereka pelajari
atau bagaimana mereka belajar. Pembelajaran tidak lagi terbatas pada informasi yang diberikan
oleh guru atau lembaga pendidikan tertentu, tetapi juga melibatkan sumber daya dan jaringan
informasi yang beragam, seperti internet dan media sosial. Oleh karena itu, individu harus
dapat menavigasi dan memahami jaringan informasi yang kompleks dan terus berubah ini, dan
mengembangkan keterampilan untuk memilah, mengevaluasi, dan menggunakan informasi
yang relevan untuk kebutuhan mereka sendiri. Dalam hal ini, individu tidak sepenuhnya
mengontrol elemen-elemen inti pembelajaran, tetapi harus mengadopsi pendekatan yang lebih
adaptif dan fleksibel untuk belajar di era digital yang terus berubah.
Teori Konektivisme Siemens juga mendukung CSILE (Computer-Supported
Intentional Learning Environment) karena keduanya berbagi pandangan bahwa teknologi
dapat membantu memfasilitasi pembelajaran yang efektif. CSILE adalah suatu lingkungan
pembelajaran yang terintegrasi dengan teknologi yang dirancang untuk meningkatkan
keterampilan berpikir, belajar secara kolaboratif, dan meningkatkan pemahaman konsep
melalui pengalaman sosial.
Teori Konektivisme Siemens mengambil pandangan bahwa teknologi dan jaringan
dapat membantu memperluas koneksi antara individu dan sumber informasi, sehingga dapat
memfasilitasi proses pembelajaran yang lebih efektif dan efisien. Hal ini sejalan dengan tujuan
utama dari CSILE, yaitu untuk memfasilitasi pembelajaran kolaboratif yang melibatkan
penggunaan teknologi untuk berbagi dan memperluas pemahaman konsep.
Pada CSILE, pembelajar dapat berkolaborasi dalam sebuah lingkungan belajar yang
memungkinkan mereka untuk membuat catatan, berbagi pemikiran, dan saling memberikan
umpan balik, sehingga dapat memperluas pemahaman mereka tentang konsep yang sedang
dipelajari. Pendekatan ini sejalan dengan konsep-konsep utama dalam Teori Konektivisme
Siemens, seperti penggunaan teknologi dan jaringan untuk memperluas akses pada informasi,
serta mengembangkan kemampuan untuk mengelola informasi yang kompleks dan terus
berkembang.
Oleh karena itu, Teori Konektivisme Siemens dan CSILE saling mendukung dan
melengkapi satu sama lain dalam upaya untuk memfasilitasi pembelajaran yang efektif dan
efisien melalui penggunaan teknologi dan koneksi jaringan. Menurut teori konetivitas, jaringan
yaitu koneksi antara entitas, node, dan info:sumber (connection between entities, nodes, info,
dan sources). Makna dari konsep tersebut adalah sebagai berikut:
Siemens (2004) berpendapat bahwa, "entities" atau entitas mengacu pada segala hal
yang terlibat dalam proses pembelajaran, termasuk individu, organisasi, dan sumber daya
lainnya seperti buku, website, atau media sosial. "Nodes" mengacu pada unit atau titik di mana
informasi dan sumber daya ditemukan, dan yang terhubung dalam jaringan kompleks untuk
membentuk struktur pengetahuan dan informasi yang lebih besar. Bagaimana informasi dan
pengetahuan dapat dikumpulkan, disimpan, dan diakses melalui jaringan kompleks dari entitas,
atau "nodes," yang terhubung dalam sebuah sistem yang terdiri dari banyak sumber informasi.
Dalam jaringan ini, informasi dapat mengalir ke dan dari berbagai sumber, dan diakses melalui
berbagai node yang terhubung. Oleh karena itu, untuk memanfaatkan dan memperoleh
pengetahuan dan informasi, penting untuk memahami hubungan antara entitas, node, dan
sumber informasi yang terlibat dalam proses pembelajaran.
Selain itu Teori Konektivisme Siemens (2004) menekankan bahwa pembelajaran yang
efektif melibatkan kemampuan untuk membangun dan memelihara jaringan sosial dan
informasi yang kuat, sehingga individu dapat terus berhubungan dengan berbagai sumber
informasi dan memperoleh pengetahuan baru yang diperlukan untuk menghadapi situasi yang
berubah-ubah dan kompleks di dunia digital. Dalam hal ini, pengembangan kemampuan untuk
mengelola dan menghubungkan entitas, node, info, dan sumber informasi menjadi sangat
penting dalam Teori Konektivisme Siemens.
Berdasarkan pendapat Siemens tentang teori konektivisme maka nilai yang
terkandung di dalam teori konektivisme ini, diantaranya 1) ability to maintain flexibility to
adapt/alter when needed, 2) ability to see patterns, connections, ideas, and concepts. Ability to
maintain flexibility to adapt/ alter when needed,dalam Connectivism Theory Siemens merujuk
pada kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri dengan perubahan dan terus-menerus
belajar agar tetap relevan dan berkompeten di era digital yang terus berkembang. Dalam
konteks pembelajaran, nilai ini mengajarkan pentingnya untuk mempertahankan fleksibilitas
dan keterbukaan terhadap perubahan, sehingga kita dapat menyesuaikan diri dengan cepat
terhadap perkembangan baru dan terus mengembangkan pengetahuan dan keterampilan.
Dalam hal ini, Connectivism Theory Siemens mengajarkan bahwa pembelajaran seumur hidup
dan kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan adalah kunci keberhasilan di era digital
yang terus berubah dan berkembang.
Sedangkan ability to see patterns, connections, ideas, and concepts dalam teori
Konektivisme Siemens merujuk pada kemampuan seseorang untuk melihat pola dan hubungan
antara informasi dan ide-ide yang berbeda, dan mengintegrasikannya menjadi pemahaman
yang utuh. Nilai ini sangat penting dalam era informasi yang cepat dan kompleks, di mana kita
harus mampu memproses informasi yang banyak dan kompleks dari berbagai sumber. Teori
konektivisme Siemens mengajarkan pentingnya mengembangkan kemampuan untuk
mengelola dan memproses informasi secara efektif, dan melihat pola dan hubungan antara
informasi yang berbeda. Teori ini juga mengajarkan pentingnya mengembangkan kemampuan
untuk berpikir kritis, mengambil keputusan yang tepat, dan mengidentifikasi sumber-sumber
informasi yang bermanfaat. Dengan memiliki kemampuan untuk melihat pola, hubungan, ide,
dan konsep, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih dalam dan menyeluruh tentang
topik atau masalah tertentu, serta dapat mengembangkan solusi kreatif untuk masalah-masalah
yang dihadapi. Dalam konteks pembelajaran, nilai ini mengajarkan pentingnya
mengembangkan kemampuan untuk mencari informasi dari berbagai sumber, memproses
informasi yang diperoleh, dan mengintegrasikannya menjadi pemahaman yang lebih utuh dan
lebih dalam.
Teori Konektivisme (Siemens) didukung oleh sejumlah tokoh terkemuka dalam
bidang pendidikan dan teknologi. Beberapa di antaranya adalah:
1. Stephen Downes - Stephen Downes adalah seorang ahli teknologi pendidikan dan salah
satu pendiri gerakan MOOC (Massive Open Online Course). Dia telah bekerja sama dengan
George Siemens dalam pengembangan teori ini dan telah menulis banyak artikel tentang
konsep-konsep kunci dalam Teori Konektivisme Siemens.
2. Alec Couros - Alec Couros adalah seorang profesor di Fakultas Pendidikan Universitas
Regina di Kanada. Dia telah menerapkan Teori Konektivisme Siemens dalam pengajaran
dan penelitiannya, dan telah menulis banyak artikel tentang penggunaannya dalam konteks
pendidikan.
3. Rita Kop - Rita Kop adalah seorang profesor di Fakultas Pendidikan Universitas York di
Kanada. Dia telah meneliti tentang konsep-konsep kunci dalam Teori Konektivisme
Siemens dan telah menulis banyak artikel tentang penerapannya dalam konteks pendidikan.
4. Dave Cormier - Dave Cormier adalah seorang ahli teknologi pendidikan dan pengembang
konsep rhizomatic learning, yang merupakan bagian dari Teori Konektivisme Siemens. Dia
telah memberikan kuliah dan seminar tentang konsep-konsep ini di seluruh dunia dan telah
menulis banyak artikel tentang penggunaannya dalam konteks pendidikan.
DISTRIBUTED COGNITION

Distributed Cognition Theory adalah teori yang mengusulkan bahwa kognisi atau
proses berpikir tidak terbatas pada otak individu saja, tetapi tersebar atau didistribusikan di
seluruh sistem yang terlibat dalam aktivitas kognitif. Sistem yang terlibat dapat mencakup
individu, objek fisik, dan lingkungan sosial. Dalam hal ini, kognisi tidak dipandang sebagai
proses mental yang terlokalisasi dalam otak, tetapi sebagai produk dari interaksi antara
individu, objek, dan lingkungan sosial yang membentuk sistem kognitif yang lebih besar.
Teori Distributed Cognition dikembangkan oleh sejumlah tokoh, termasuk Edwin
Hutchins, James Hollan, David Kirsh, dan lain-lain. Namun, Edwin Hutchins dianggap sebagai
tokoh utama dalam pengembangan teori ini, terutama melalui bukunya yang berjudul
"Cognition in the Wild". Hutchins (1995) menggambarkan bahwa kognisi tidak terbatas hanya
pada otak individu, tetapi juga didistribusikan di antara individu, objek fisik, dan lingkungan
sosial. Hutchins mengajukan konsep "sistem kognitif yang terdistribusi" untuk menjelaskan
bagaimana kognisi didistribusikan dalam lingkungan sosial dan fisik. Menurut Hutchins
(1995), sistem kognitif yang terdistribusi terdiri dari beberapa elemen yang saling terkait,
seperti manusia, objek fisik, dan lingkungan sosial. Dalam sistem ini, individu menghasilkan
kognisi dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia di sekitarnya. Contohnya, seorang
pilot pesawat terbang menghasilkan kognisi dengan memanfaatkan informasi dari instrumen
pesawat, rekan kerja, dan sumber daya lain yang tersedia di lingkungan kerjanya.
Hutchins (1995) juga menekankan pentingnya koordinasi antara elemen-elemen yang
berbeda dalam sistem kognitif yang terdistribusi. Ia mengatakan bahwa koordinasi ini terjadi
melalui aktivitas-aktivitas sosial seperti percakapan, gestur, dan tindakan. Melalui aktivitas ini,
individu dapat berinteraksi dengan objek fisik dan lingkungan sosial, memperoleh informasi,
dan menghasilkan kognisi.
Teori ini menekankan bahwa pengambilan keputusan, pemecahan masalah, dan
kognisi lainnya terjadi dalam konteks yang lebih luas dari sistem sosial dan lingkungan fisik
yang membentuk konteks. Oleh karena itu, untuk memahami kognisi secara menyeluruh, kita
harus mempertimbangkan interaksi antara individu, objek, dan lingkungan sosial yang terlibat
dalam aktivitas kognitif. Konsep ini telah diterapkan dalam banyak bidang, termasuk teknologi
informasi, desain produk, psikologi, dan pendidikan, untuk meningkatkan efektivitas dan
efisiensi interaksi manusia dengan sistem yang ada.
Prinsip utama dari distributed cognition theory yaitu :
1. Coordinates internal and external structure atau koordinasi struktur internal dan eksternal:
Prinsip ini menekankan bahwa kognisi tidak hanya terjadi di dalam otak individu, tetapi
juga didistribusikan dalam objek fisik dan lingkungan sosial yang ada di sekitarnya. Dalam
sistem kognitif yang terdistribusi ini, individu memperoleh informasi dari objek fisik dan
lingkungan sosial, mengolah informasi tersebut dalam otak mereka, dan bertindak sesuai
dengan informasi yang telah diproses.
2. Proccesses may be distributed overtime atau proses dapat didistribusikan dari waktu ke
waktu:
Prinsip ini menyatakan bahwa proses kognitif yang terdistribusi tidak terjadi dalam satu
waktu atau satu tempat saja, tetapi dapat didistribusikan dari waktu ke waktu. Misalnya,
individu dapat memproses informasi pada satu waktu, dan kemudian mengambil tindakan
yang sesuai pada waktu yang berbeda.
3. Learning/cognition may be distributed across individuals/artifacts atau
pembelajaran/kognisi dapat didistribusikan di antara individu/artefak:
Prinsip ini menekankan bahwa pembelajaran dan kognisi tidak hanya terjadi pada satu
individu saja, tetapi dapat didistribusikan di antara beberapa individu atau bahkan objek
fisik. Dalam situasi seperti ini, individu dapat memanfaatkan sumber daya yang tersedia di
lingkungan sosial dan objek fisik untuk memperoleh pengetahuan dan informasi yang lebih
lengkap dan akurat.
4. Goals are system oriented and may be abstract atau tujuan sistem-oriented dan dapat
menjadi abstrak:
Prinsip ini mengatakan bahwa tujuan-tujuan dalam sistem kognitif yang terdistribusi
tidak hanya terkait dengan individu saja, tetapi juga terkait dengan tujuan sistem secara
keseluruhan. Tujuan-tujuan ini juga dapat menjadi abstrak dan tidak terbatas pada situasi
yang spesifik. Misalnya, tujuan sistem dalam situasi tertentu mungkin hanya untuk
menghasilkan solusi yang tepat, tanpa harus memperhatikan situasi yang spesifik tersebut.
Dalam keseluruhan, prinsip-prinsip dari Distributed Cognition Theory menekankan
bahwa kognisi dan pembelajaran adalah hasil interaksi antara individu, objek fisik, dan
lingkungan sosial, dan dapat didistribusikan secara dinamis dalam sistem kognitif yang lebih
besar.
Selain itu distributed cognition theory juga memiliki beberapa prinsip dasar
berdasarkan cara sistem kognitif bekerja dan berinteraksi. prinsip tersebut adalah:
1. Kognisi terdistribusi: Prinsip ini menyatakan bahwa kognisi terjadi tidak hanya di dalam
otak individu, tetapi juga melibatkan objek fisik dan lingkungan sosial. Artinya, kognisi
merupakan produk dari interaksi antara individu, objek, dan lingkungan sosial yang
membentuk sistem kognitif yang lebih besar.
2. Struktur sistem kognitif: Prinsip ini menyatakan bahwa sistem kognitif terdiri dari bagian-
bagian yang terorganisir secara hierarkis dan saling berhubungan. Bagian-bagian tersebut
meliputi individu, objek, dan lingkungan sosial yang terlibat dalam aktivitas kognitif.
3. Rekonfigurasi sistem kognitif: Prinsip ini menyatakan bahwa sistem kognitif dapat
direkonfigurasi atau diubah melalui interaksi antara individu, objek, dan lingkungan sosial
yang terlibat dalam aktivitas kognitif. Rekonfigurasi sistem kognitif ini dapat terjadi
melalui pembelajaran dan adaptasi.
4. Aktivitas kognitif didasarkan pada konteks: Prinsip ini menyatakan bahwa aktivitas
kognitif selalu terjadi dalam konteks yang lebih luas dari sistem sosial dan lingkungan fisik
yang membentuk konteks. Konteks ini memengaruhi cara individu berpikir dan
berinteraksi dengan objek dan lingkungan sosial.
Distributed Cognition Theory menekankan pentingnya kerja sama tim dalam
pemecahan masalah (emphasizes team collaboration to solve problem). Dalam teori ini,
pemecahan masalah dianggap sebagai aktivitas yang dilakukan oleh seluruh sistem kognitif
yang terdiri dari individu, objek, dan lingkungan sosial. Selain itu, tim dianggap sebagai unit
kognitif yang terdiri dari beberapa individu yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama.
Dalam konteks pemecahan masalah, tim yang efektif adalah yang dapat bekerja secara sinergis,
menggunakan keahlian individu dan sumber daya yang tersedia untuk mencapai tujuan secara
efisien dan efektif.
Penekanan pada kerja sama tim dalam pemecahan masalah didasarkan pada keyakinan
bahwa individu tidak selalu mampu menyelesaikan masalah secara efektif dalam isolasi.
Sebaliknya, bekerja dengan tim dapat memperluas kapasitas kognitif dan memungkinkan
individu untuk saling belajar dan saling melengkapi. Kerja sama tim juga dianggap sebagai
cara untuk memperluas sumber daya yang tersedia untuk memecahkan masalah. Tim dapat
menggabungkan keahlian, pengetahuan, dan pengalaman individu untuk mencapai tujuan yang
lebih besar daripada yang dapat dicapai oleh individu secara terpisah. Dalam praktiknya,
konsep emphasizes team collaboration to solve problem dalam distributed cognition theory
dapat diterapkan dalam berbagai bidang, seperti dalam bisnis, teknologi, pendidikan, dan ilmu
pengetahuan. Hal ini dapat membantu meningkatkan kinerja dan hasil, serta mempromosikan
budaya kerja yang kolaboratif dan inklusif.
Assesses artifacts and patterns juga merupakan konsep penting dalam distributed
cognition theory yang menekankan pentingnya mempertimbangkan peran objek fisik atau
artefak dalam aktivitas kognitif manusia. Artifacts atau artefak dapat mencakup segala macam
objek fisik yang digunakan oleh individu dalam aktivitas kognitif mereka, seperti buku,
komputer, alat tulis, dan sebagainya. Teori ini menganggap artefak sebagai bagian dari sistem
kognitif yang membentuk interaksi antara individu, objek, dan lingkungan sosial. Pentingnya
memperhatikan artefak dalam aktivitas kognitif manusia terletak pada kemampuannya untuk
menyediakan dukungan atau bantuan dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.
Artefak dapat membantu memperluas kapasitas kognitif individu, membantu mengingat
informasi, dan meningkatkan kemampuan individu untuk berkomunikasi dengan lingkungan
sosial.
Selain artefak, konsep "patterns" juga penting dalam teori ini. Patterns merujuk pada
aturan atau prinsip yang mengatur interaksi antara individu, objek, dan lingkungan sosial dalam
aktivitas kognitif. Contohnya, cara individu berinteraksi dengan buku saat membaca, atau
bagaimana mereka berkomunikasi dengan orang lain saat bekerja dalam sebuah tim.
Mempertimbangkan artefak dan pola dalam aktivitas kognitif manusia penting untuk
merancang teknologi dan sistem yang lebih efektif dan efisien, serta untuk memahami
bagaimana individu berinteraksi dengan objek dan lingkungan sosial dalam aktivitas kognitif
mereka. Hal ini dapat membantu meningkatkan kinerja dan hasil dalam berbagai bidang,
termasuk pendidikan, bisnis, dan teknologi.
DAFTAR PUSTAKA

Atkinson, R. C., & Shiffrin, R. M. (1968). Human memory: A proposed system and its control
processes. In The Psychology of Learning and Motivation: Advances in Research and
Theory (V Ausubel, D. P. (1963). The psychology of meaningful verbal learning. New
York: Grune & Stratton.

Ausubel, D. P. (1968). Educational psychology: A cognitive view. New York: Holt, Rinehart,
and Winston.vol. 2, pp. 89-195). Academic Press

Bandura, A. (1986). Social foundations of thought and action: A social cognitive theory.
Prentice-Hall, Inc.

Bandura, A. (1997). Self-efficacy: The exercise of control. Freeman.

Bruner, J. S. (1961). The act of discovery. Harvard Educational Review, 31(1), 21-32.

Bruner, J. (1966). Toward a theory of instruction. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Dewey, J. (1938). Experience and education. New York: Collier Books.

Duffy, T. M., & Jonassen, D. H. (Eds.). (1992). Constructivism and the technology of
instruction: A conversation. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.

Engeström, Y. (1987). Learning by expanding: An activity-theoretical approach to


developmental research. Orienta-Konsultit.

Hutchins, E. (1995). Cognition in the wild. MIT Press.

Hutchins, E. (1991). The social organization of distributed cognition. Proceedings of the 1991
ACM Conference on Computer-supported Cooperative Work, 1-10.

Jonassen, D. H. (1999). Designing constructivist learning environments. In C. M. Reigeluth


(Ed.), Instructional-design theories and models: A new paradigm of instructional theory
(Vol. 2, pp. 215-239). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates

Kop, R., & Hill, A. (2008). Connectivism: Learning theory of the future or vestige of the past?
The International Review of Research in Open and Distributed Learning, 9(3).

Lave, J. (1988). Cognition in Practice: Mind, Mathematics, and Culture in Everyday Life.
Cambridge University Press.

Lave, J., & Wenger, E. (1991). Situated Learning: Legitimate Peripheral Participation.
Cambridge University Press.

Leontiev, A. N. (1981). The problem of activity in psychology. Soviet Psychology, 19(2), 6-


18.
Pavlov, I. P. (1927). Conditioned reflexes: An investigation of the physiological activity of the
cerebral cortex. Oxford University Press.

Piaget, J. (1952). The Origins of Intelligence in Children. New York: International Universities
Press.

Piaget, J. (1967). Six Psychological Studies. New York: Vintage Books.

Piaget, J. (1970). Structuralism. New York: Basic Books.

Piaget, J. (1972). The Psychology of the Child. New York: Basic Books

Piaget, J. (1973). To understand is to invent: The future of education. New York: Grossman
Publishers.

Piaget, J. (1985). The equilibration of cognitive structures: The central problem of intellectual
development. Chicago: University of Chicago Press.

Rogoff, B. (1990). Apprenticeship in thinking: Cognitive development in social context.


Oxford University Press.

Siemens, G. (2004). Connectivism: A Learning Theory for the Digital Age. International
Journal of Instructional Technology and Distance Learning, 2(1), 3-10.

Siemens, G., & Downes, S. (2008). Connectivism and Connective Knowledge: Essays on
meaning and learning networks. National Research Council Canada.

Salomon, G. (1993). Distributed cognitions: Psychological and educational considerations

Skinner, B. F. (1953). Science and Human Behavior. Simon and Schuster.

Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society: The development of higher psychological processes.


Cambridge, MA: Harvard University Press.

Watson, J. B. (1913). Psychology as the behaviorist views it. Psychological Review, 20(2),
158-177.

Wilson, B. G. (Ed.). (1996). Constructivist learning environments: Case studies in instructional


design. Englewood Cliffs, NJ: Educational Technology Publications.

Anda mungkin juga menyukai