Anda di halaman 1dari 14

TEORI PENDIDIKAN BEHAVIORISME

Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Dasar-dasar Teori Pendidikan

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Fauzi M.Ag.

Disusun oleh

Diva Sabina Permatasari (214110407095)

Indah Susi Asih (214110407062)

PROGRAM STUDI TADRIS MATEMATIKA

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

UIN PROF. K. H. SAIFUDDIN ZUHRI PURWOKERTO

2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulilah puji syukur marilah kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga kita dapat menyelesaikan
makalah Dasar-dasar teori pendidikan yang membahas tentang “Teori Pendidikan
Behaviorisme” ini tepat pada waktunya. Shalawat serta salam semoga tetap terlimpah
curahkan kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW. Tidak lupa saya ucapkan
terimakasih kepada bapak Prof. Dr. Fauzi, M. Ag selaku dosen pengampu mata kuliah
Dasar-dasar dan Teori Pendidikan.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu,
kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun
dari berbagai pihak. Kami berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan dunia pendidikan.

Purwokerto, 23 Mei 2022

Penulis

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Teori belajar behavioristik adalah teori belajar yang mengedepankan perubahan
perilaku siswa sebagai hasil proses pembelajaran. Terjadinya perubahan tingkah laku
siswa ini diakibatkan oleh adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain,
teori belajar behavioristik atau teori behaviorisme ini berorientasi pada perilaku yang
lebih baik. Jika siswa tidak menunjukkan perubahan setelah diberikan pelajaran, maka
menurut teori ini siswa tersebut tidak dapat dikatakan telah belajar dengan baik.
Dalam teori belajar behavioristik, semua tingkah laku manusia dapat dilihat dan
ditelusuri dari bentuk refleks. Secara psikologi, teori belajar behavioristik dikenal sebagai
sebuah teori pembelajaran yang didasarkan pada tingkah laku yang diperoleh dari
pengkondisian lingkungan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep teori pendidikan behaviorisme?
2. Apa saja Karakteristik Teori Behaviorisme?
3. Bagaimana pemikiran para tokoh teori pendidikan behaviorisme?
4. Apa kelemahan dan kelebihan dari teori belajar behaviorisme?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui konsep teori pendidikan behaviorisme
2. Untuk mengetahui apa saja karakteristik dari Teori Behaviorisme
3. Untuk mengetahui pemikiran para tokoh teori pendidikan behaviorisme
4. Untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan dari teori belajar behaviorisme.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Teori Pendidikan Behaviorisme

Konsep pembiasaan pada dasarnya adalah proses pembentukkan perilaku atau behavioral.
Pembiasaan ini pada dasarnya sudah ada sejak dahulu kala, bahkan kalimat ‘saya bias karena
terbiasa’ menjadi slogan maklum bagi setiap orang. Misalnya pembiasaan perilaku cium tangan
seorang anak kepada orang tuanya. Kegiatan ini dilakukan berulang kali sehingga menjadi
kebiasaan yang secara otomatis akan dilakukan oleh anak kepada orang tuanya.

Pendidikan behaviorisme merupakan konsep atau teori pendidikan yang didasarkan pada
teori belajar yang muncul dari aliran behaviorisme. Behaviorisme merupakan aliran psikologi
yang memiliki orientasi pada aspek perilaku manusia yang dapat diobservasi dan diukur. 1Titik
tekannya pada pencapaian perilaku atau tindakan yang terbentuk sesuai yang diinginkan. Bagi
penganut behaviorisme, belajar merupakan perubahan perilaku yang tetap yang dihasilkan dari
pengalaman.

B. Karakteristik Teori Behaviorisme

Ada tiga karakteristik penting dalam behaviorisme :

1. Menekankan pada respons yang dikondisikan sebagai unsur perilaku

2. Menekankan pada perilaku yang dipelajari. Menurut kaum behavioris, semua perilaku
manusia kecuali insting merupakan hasil proses belajar

3. Berfokus pada perilaku binatang. Menurut Watson tidak ada perbedaan esensial antara
perilaku manusia dengan binatang (Morgan et.at, 1987 : 25-27).

Aristoteles berpendapat bahwa pada waktu lahir jiwa manusia tidak memiliki apa-apa, ibarat
sebuah meja lilin (tabula rasa) yang siap dilukis oleh pengalaman. Dari Aristoteles, John Locke
(1632 - 1704), tokoh empirisme Inggris, meminjam konsep ini. Menurut kaum empiris, pada

1
Molly Zhou and David Brown, eds., Educational Learning Theories, 2nd ed. (Spring, 2015), 6.

4
waktu lahir manusia tidak mempunyai “warna mental”. Warna ini didapat dari pengalaman.
Pengalaman satu- satunya jalan ke pemilikan pengetahuan. Bukanlah ide yang menghasilkan
pengetahuan, tetapi keduanya adalah produk pengalaman. Secara psikologis, ini berarti seluruh
perilaku manusia, kepribadian dan temperamen ditentukan oleh pengalaman inderawi (sensory
experience). Pikiran dan perasaan, bukan penyebab perilaku tetapi disebabkan perilaku masa lalu.

Salah satu kesulitan emprisme dalam menjelaskan gejala psikologi timbul ketika orang
membicarakan apa yang mendorong manusia berperilaku tertentu. Hedonisme,salah satu paham
filsafat etika, memandang manusia sebagai makhluk yang bergerak untuk memenuhi
kepentingan dirinya, mencari kesenangan, dan menghindari penderitaan.
Dalam utilitarianisme, seluruh perilaku manusia tunduk pada prinsip ganjaran dan hukuman.
Menurut Jeremy Bentham (1879), “Nature has placed mankind under the governance of two
sovereign masters, pain and pleasure.” Bila empirisme digabung dengan utilitarianisme dan
hedonisme, menurut Goldstein (1980:17), maka akan diketemukan apa yang disebut
behaviorisme (dalam Rakhmat, 2001). Kaum behavioris sangat mengagungkan proses belajar
asosiatif atau proses belajar asosiatif stimulus respon sebagai penjelasan terpenting tentang
tingkah laku manusia2

C. Tokoh Teori Pendidikan Behaviorisme

1. Behaviorisme Ivan Petrovich Pavlov: Classical Conditioning

Behaviorisme sebagai cabang baru dalam psikologi didasarkan pada studi Pavlov yang ia
sebut sebagai ‘conditioned reflexes’ atau ‘refleks-refleks yang terkondisi’, yaitu menerapkan
mode saintifik yang ketat dari fisiologi untuk mempelajari fenomena, yang menghadirkan
behaviorisme sebagai bagian dari psikologi yang mampu memenuhi tingkat empirismenya. Pada
saat itu, behaviorisme memperkenalkan gagasan bahwa setiap peristiwa yang tidak dapat diamati
secara langsung bukanlah subjek yang tepat dari penyelidikan psikologis, sehingga menolak
studi tentang pikiran.3

2
Kontrobusi konsepsi psikologi behaviorisme terhadap perkembangan teori dalam ilmu komunikasi, agus
setiawan.wordpress.
3
Sho Araiba, “Current Diversification of Behaviorsm,” Perspectives on behavior Science 43, no. 1 (March
1, 2020): 162, https://doi.org/10.1007/s40614-019-00207-0.

5
Konsep Pavlov disebut sebagai teori pengkondisian klasik (classical conditioning). Teori
ini mengimplikasikan bahwa belajar atau perubahan perilaku terjadi ketika stimulus netral
dipasangkan dengan perilaku pada waktu tertentu untuk mengasosiasikan stimulus dengan
perilaku.

Dari kajian yang Pavlov lakukan, Pavlov menghendaki adanya stimulus tak terkondisi
yang dilakukan berulang kali sehingga menghasilkan respon tak terkondisi yang berulang pula,
pada akhirnya akan terasosiasikan. Stimulus dan respon yang tidak terkondisi pada akhirnya
akan terkondisikan, inilah yang disebut sebagai pengkondisian klasik.4 Respons tersebut
dianggap sebagai refleks ‘psikis’ yang juga dikaitkan dengan naluri. Jadi, terdapat beberapa
komponen dalam studi Pavlov, yakni:

a. Stimulus tak terkondisikan atau Unconditional Stimulus (US) agar dapat memunculkan
respon natural dari organism
b. Respon tak terkondisikan atau Unconditional Response (UR) sebagai respon natural yang
hadir sebab adanya stimulur tak terkondisikan.
c. Stimulus terkondisikan atau Conditioned Stimulus (CS), merupakan stimulus netral yang
diberikan kepada organism yang awalnya tidak berimplikasi pada respons natural. CS
diberikan secara stimulant dengan US secara berulang kali sehingga CS memicu
timbulnya respon yang terkondisikan
d. Respon yang terkondisikan Conditioned Response (CR) merupakan hasil akhir dari
pengkondisian, yakni timbulnya respons atas stimulus baru pada organism sebagaimana
dijelaskan pada poin c sebelumnya.

Selain disebut dengan pengkondisian klasik atau classical conditioning, eksperimen


Pavlov juga disebut sebagai pengkondisian responden atau respondent conditioning. 5

Eksperimen Pavlov menghasilkan beberapa hukum belajar, yakni:

a. Law of Respondent Conditioning, merupakan hukum pembiasaan yang dikehendaki.

4
Hamid Reza Kargozari and Akrom Faravani, “Behaviorism,” in Issues in Applying SLA Theories towarde
Reflective and Effective Teaching, vol. 7, Critical New Literacies : The Praxis of English Language Teaching and
Learning (Brill, 2018), 3, https://doi.org/10.1163/9789004380882_001.
5
Kay Are and Govind Krishnamoorthy, Trauma Informed Behaviour Support: A Practical Guide to
Developing Resilient Learners (Towoomba: University of Southern Queensland, 2020), 97,
http://usq.pressbooks.pub/traumainformedpractice/.

6
b. Law of Repondents Extinction, yaitu hukum pemusnahan yang dikehendaki.

Dari teori Pavlov, bahwa dalam proses pendidikan memerlukan adanya stimulus
pengkondisian, yang memerlukan repitisi latihan yang terus-menerus, sehingga mendidik adalah
melatih secara terus-menerus hingga peserta didik mampu memperoleh perilaku yang
dikehendaki. Perilaku yang dikehendaki adalah perilaku dari titik sebelum dididik sampai titik
setelah dididik.

2. Behaviorisme John Broadus Watson: Classical Stimulus and Response

Watson dinobatkan sebagai bapak dari behaviorisme modern.6 Ia telah mengukuhkan


behaviorisme sebagai persepektif baru yang merupakan hasil dari pengorganisasian temuan riset
pengkondisian yang dilakukannya, hingga telah membuat perluasan metode pengkondisian
klasik ke respons emosional pada manusia.

Pada tahun 1913 ia telah mempublikasikan sebuah artikel berjudul “Psychology as The
Behaviorist Views it” yang kemudian disebut manifesto awal dari behaviorisme sebagai
psikologi. Ia mendefinisikan ulang psikologi, yakni dari psikologi sebagai studi tentang ilmu
yang berkaitan dengan kesadaran dan pikiran menjadi ilmu perilaku.7 Dalam hal ini Watson
menekankan aspek kesinambungan, yakni jika ide tentang manusia bisa diaplikasikan pada
hewan, maka prinsip yang dikembangkan dengan mempelajari hewan dapat diaplikasikan pada
manusia.

Temuan Watson dalam konstruksi behaviorisme ini berkaitan erat dengan teori emosi dan
reaksi. Watson telah mencoba mengidentifikasikan tiga reaksi emosional bayi yang bersifat
naluriah, yakni ketakutan yang merupakan bentuk respon dari stimulus yang secara spontan
membuat bayi merasa takut (nafas tersengal-sengal, menggenggam tangan secara acak,
mengedipkan kelopak mata, mengerutkan bibir, lalu menangis), ada pula reaksi kemarahan yang
merupakan bentuk respons dari sesuatu yang mengganggu gerakan bayi. Reaksi yang timbul dari
kemarahan dapat diamati darinya, mulai dari menangis, berteriak, gerakan tangan, dan kaki yang
ditarik keatas dan ke bawah, ditahannya nafas sampai membuat wajahnya memerah, dan respon
yang terakhir adalah cinta yang merupakan bentuk ekspresi rasa nyaman yang ditunjukkan oleh
bayi sebagai respons atas sentuhan lembut, juga yang terkoneksi dengan sensori seksual. Reaksi
cinta bisa berupa senyuman, tawa, dan terhentinya tangisan.8

6
Jamie Cyphers, “Educatioal Theory Comparison&Analysis: Behaviorism and Information Processing
Theory,” 2013, 3
7
John B.Watson, “Psychology as the Behaviorist Views It,” Psychological Review 20, no. 2 (1913): 177,
http://doi.org/10.1037/h0074428.
8
Watson and Morgan, “Emotional Reactions and Psychological Experimentation,” 166-67.

7
Berkaitan dengan pendidikan, maka alur stimulus dan respon menjadi bagian penting
dalam rangka proses mendidik, untuk mengembangkan kemampuan peserta didik, melalui
pemberian stimulus maka respon-respon dari mereka dapat terjalin secara baik dan pada akhirnya
terjadi otomatisasi perilaku. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang
belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperti Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi
pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur dalam kerangka
psikologis.

3. Behaviorisme Edward Lee Thorndike: Koneksionisme (Connectionism)

Edward Lee Thorndike merupakan ilmuan asal Amerika, dan terkenal dengan studi
awalnya tentang binatang dan hukum efek. Pada tahun 1898, ia memperkenalkan teori studinya
yang menekankan pada peran pengalaman dalam menguatkan dan melemahkan hubungan antara
stimulus-respon, yang dinamai dengan koneksionisme. Tujuan studi tersebut adalah untuk
mempelajari pikiran hewan agar dapat dipelajari perkembangan kehidupan mentalnya melalui
filum (klasifikasi rumpun), sehingga dapat digunakan untuk melacak secara khusus asal-usul
kemampuan manusia. Dasar belajar kemudian diungkapnya sebagai asosiasi, yakni sebuah
stimulus akan memumculkan sebuah respon tertentu.9

Pada dasarnya, teori awal yang dikemukakan oleh Thorndike berpusat pada proses
pendidikan atau pembelajaran yang secara proses ada pada trial and error atau mencoba dan
gagal, yakni proses menyeleksi dan mengoneksi. Proses tersebut terjadi secara bertahap, yakni
terciptanya respon yang menjadi perilaku.

Eksperimen tersebut membawa Thorndike untuk mengemukakan teori hukum efek atau
hukum pengaruh (The Law of Effect) dan juga hukum latihan (The Law of Exercise). Teori ini
merupakan idenya tentang pendidikan. Menurutnya, perilaku manusia ataupun organisme
lainnya merupakan hal yang dapat dimodifikasi melalui pengalaman hidup.10

Hukum latihan (The Law of Exercise) tersusun atas dua hal, yakni hukum penggunaaan
(The Law of Use), yaitu ketika sebuah koneksi yang bisa dimodifikasi dibuat di antara sebuah

9
Isti’adah, Teori-teori Belajar dalam Pendidikan, 57
10
Edward L.Thorndike, “A Proof of the Law of effect,” Science 77, no. 1989 (1933); 173,
https://www.jstor.org/stable/1658056.

8
situasi dan respon, koneksi tersebut menguatkan, hal lain menjadi setara ataupun meningkat, dan
ada pula hukum tanpa penggunaan (The Law of Disuse), adalah ketika sebuah koneksi yang
dapat dimodifikasi dibuat di antara sebuah situasi dan respon dalam waktu yang panjang,
kekuatan koneksi tersebut melemah.11 Jadi, yang pertama mengindikasikan bahwa stimulus
menguatkan koneksi, dan yang kedua respon dibuat bukan untuk stimulus, sehingga koneksinya
melemah atau terlupakan.12

Kemudian hukum efek atau pengaruh (The Law of Effect), yakni ketika sebuah koneksi
yang dapat dimodifikasi di antara sebuah situasi dan respon dibuat dengan disertai oleh sebuah
hal yang menyenangkan (penghargaan) dan hal yang tidak menyenangkan (hukuman), maka
akan menghasilkan pengaruh yang berbeda.

Dapat disimpulkan bahwa hukum latihan dan hukum efek berkaitan satu sama lain.
Membentuk hukum kebiasaan. Hal penting dari teori Thorndike dalam proses pendidikan adalah
menyertakan hal yang membuat peserta didik senang, karena akan membuat respon yang secara
langsung muncul dalam wujud perilaku. Oleh karena itu, hal yang menyenangkan akan
menguatkan ikatan atau koneksi antara stimulus dan respon. Adapula hukum kesiapan yang
nantinya akan membuat hukum kebiasaan tersebut terwujud, yaitu ketika seseorang atau
organisme telah siap untuk bertindak, maka melakukannya adalah sebuah kepuasan dan tidak
melakukannya adalah sebuah hal yang tidak menyenangkan.

Jadi, Thorndike menemukan hukum-hukum sebagai berikut:

1. Hukum Kesiapan (Law of Readiness): Jika suatu organisme didukung oleh kesiapan
yang kuat untuk memperoleh stimulus maka pelaksanaan tingkah laku akan menimbulkan
kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.

2. Hukum Latihan: Semakin sering suatu tingkah laku dilatih atau digunakan maka
asosiasi tersebut semakin kuat.

3. Hukum Efek atau Pengaruh: Hubungan stimulus dan respon cenderung diperkuat bila
akibat menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibanya tidak memuaskan.

11
Edward L.Thorndike, The Psychology of Learning, vol. II (New York: Teachers College, Columbia
University, 1913), 3-4
12
Schunk, Learning Theories: An Educational Perspectiv, 74.

9
4. Behaviorisme Burrhus Frederic Skinner: Pengkondisian Operan (Operant
Conditioning/Radical Behaviorism)

Frederic Skinner memandang behavior atau perilaku sebagai suatu hal yang layak untuk
dipelajari dengan sendirinya, bukan sebagai gejala yang digunakan sebagai jendela pada proses
fisiologis.13 Menurutnya, perilaku adalah apa yang suatu organisme lakukan, atau tindakan apa
yang dapat diobservasi oleh organisme lain. Ia juga mengembangkan sebuah pandangan yang
lebih komprehensif mengenai pengkondisian yang dikenal sebagai operant conditioning atau
pengkondisian operan. Disebut sebagai pengkondisian operan karena perilaku yang beroperasi
(secara aktif) pada lingkungan.

Konsep pengkondisian yang dikemukakan Skinner ini berkorelasi dengan lingkungan,


dan tindakan dari organisme muncul melalui hadirnya penguatan bukan dari stimulus. Jadi,
pengkondisian operan adalah proses perilaku operan yang dapat mengakibatkan perilaku yang
sama untuk diulangi lagi atau menghilang ketika diinginkan dengan menghadirkan penguatan
positif maupun negatif.

Konsep Skinner merupakan konsep behaviorisme radikal (Radical Behaviorism) yang


memandang perilaku sebagai hal yang dapat diamati. Secara kerja metodologis, konsep ini
didasarkan pada eksperimen yang dilakukan oleh Thorndike dengan hukum efeknya.14

Skinner melakukan percobaan terhadap organisme tikus putih, berdasarkan eksperimen


yang dilakukan Skinner, dapat disimpulkan bahwa proses berperilaku ditentukan oleh penguatan
(reinfercoment) respon itu sendiri. Penguatan sendiri ada dua yakni penguatan positif, yaitu
sebuah rangsangan yang diberikan untuk menguatkan probabilitas munculnya perilaku yang
diinginkan sehingga respon meningkat, dan adapula penguatan negatif, yakni penguatan yang
dilakukan dengan menghilangkan rangsangan yang tidak menyenangkan bagi organisme.15
Kedua penguatan tersebut sama-sama diberikan untuk meningkatkan kekuatan atau probabilitas
munculnya perilaku yang baik yang dikehendaki dilakukan oleh suatu organisme.

13
A Charles Catania and Victor G. Laties, “Pavlov and Skinner: Two Lives in Science (an Introduction to
B. F. skinner’s ‘Some Responses to the Stimulus “Pavlov”),” Journal of the Experimental Analysis of Behavior 72,
no. 3 (1999): 458, https://doi.org/10.1901/jeab.1999.72-455.
14
S. A. McLeod, “Operant Conditioning (B.F. Skinner)|Simply Psychology, “January 21, 2018,
https://www.simplypsychology.org/operant-conditioning.html.
15
Haslinda, “Classical Conditioning,” Network Media no. 1 (September 3, 2019): 93,
https://doi.org/10.46576/jnm.v2il.453.

10
Selain adanya penguatan Skinner juga mengemukakan konsep hukuman (punishment).
Yang didefinisikan sebagai lawan dari penguatan yang didesain untuk melemahkan atau
mengeliminasi sebuah respon.16 Hukuman itu tidaklah sama dengan penguatan negatif, hukuman
digunakan untuk melemahkan probabilitas munculnya perilaku, sedangkan penguatan adalah
untuk meningkatkannya. Sehingga proses belajar yang berjalan pada proses pendidikan bisa
menggunakan penguatan dan hukuman, dengan tujuan agar perubahan perilaku poitif dapat
terjadi bagi peserta didik.

D. Kelemahan dan Kelebihan dari Teori Belajar Behaviorisme

Ada sejumlah kritik yang disampaikan oleh para ahli kependidikan sehubungan
dengan kelemahan yang melekat dalam teori belajar behaviorisme yaitu sebagai berikut:

1. Pembelajaran peserta didik hanya perpusat pada guru.

Peserta didik hanya mendapatkan pembelajaran berdasarkan apa yang diberikan


guru. Mereka tidak diajarkan untuk berkreasi sesuai dengan perkembangannya. Peserta
didik cenderung pasif dan bosan.

2. Peserta didik hanya mendengarkan dengan tertib penjelasan guru.

Pembelajaran seperti bisa dikatakan pembelajaran model kuno karena


menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif.
Penggunaan hukuman biasanya sebagai salah satu cara untuk mendisiplinkan.

3. Mengajarkan peserta didik untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan
tidak produktif.

Karena menurut teori ini belajar merupakan proses pembentukan yang membawa
peserta didik untuk mencapai target tertentu. Apabila teori ini diterapkan terus menerus
tanpa ada cara belajar lain, maka bisa dipastikan mereka akan tertekan, tidak menyukai
guru dan bahkan malas belajar.

Namun harus diakui bahwa teori belajar behaviorisme ini juga memiliki kelebihan,
antara lain:
16
McLeod, “Operant Conditioning (B.F. Skinner) | Simply Psychology.”

11
1. Sangat cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan praktek dan
pembiasaan.

Dengan bimbingan yang diberikan secara terus menerus akan membuat peserta
didik paham sehingga mereka bisa menerapkannya dengan baik.

2. Materi yang diberikan sangat detail

Hal ini adalah proses memasukkan stimulus yang yang dianggap tepat. Dengan
banyaknya pengetahuan yang diberikan, diharapkan peserta didik memahami dan mampu
mengikuti setiap pembelajarannya.

3. Membangun konsentrasi pikiran

Dalam teori ini adanya penguatan dan hukuman dirasa perlu. Penguatan ini akan
membantu mengaktifkan siswa untuk memperkuat munculnya respon. Hukuman yang
diberikan adalah yang sifatnya membangun sehingga peserta didik mampu berkonsentrai
dengan baik.

12
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Menurut teori belajar behaviorisme, belajar didefinisikan sebagai perubahan dalam


tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Dimana perubahan tingkah
laku tersebut tergantung pada konsekuensi. Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan
pembelajaran yaitu karena memandang pengetahuan adalah objektif, pasti, tetap dan tidak
berubah.

Teori belajar behaviorisme berkembang melalui suatu penelitian yang melibatkan


binatang seperti burung merpati, kucing, tikus, dan anjing sebagai objek penelitian. Hal ini
disebabkan para behaviorisme memandang bahwa perilaku yang terjadi pada binatang
diasumsikan juga akan terjadi pada manusia dalam kondisi pembelajaran yang analog. Para
tokoh behavioris mengartikan belajar itu semata-mata dilakukan dengan melatih reflek-reflek
sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai oleh individu atau manusia.

Saran

Teori belajar behaviorisme ini bukanlah satu-satunya teori yang membahas mengenai
prinsip-prinsip belajar. Hal ini disebabkan selain teori belajar behaviorisme terdapat juga
beberapa teori lain yang membahas mengenai prinsip-prinsip belajar, seperti teori belajar
kognitivisme dan kontruktivisme. Oleh sebab itu para pembaca khususnya para calon pengajar
disarankan untuk tidak hanya mempelajari satu teori belajar behaviorisme ini saja melainkan
juga teori belajar yang lain. Hal ini disebabkan dalam teori belajar behaviorisme terdapat
beberapa kekurangan dan kelebihan. Dengan mempelajari teori belajar yang lain diharapkan
pembaca bisa membandingkan antara kelebihan dan kekurangan dari masing-masing teori belajar
tersebut, sehingga ketika melakukan suatu kegiatan pembelajaran pembaca bisa memilih teori
belajar yang tepat.

Jadi, Dalam melakukan sebuah penilaian belajar, seorang pendidik sebaiknya dan
seharusnya mempertimbangkan keadaan mental peserta didiknya disamping tingkah laku yang
diamati.

13
DAFTAR PUSTAKA

A Charles Catania and Victor G. Laties, “Pavlov and Skinner: Two Lives in Science (an Introduction to B.
F. skinner’s ‘Some Responses to the Stimulus “Pavlov”),” Journal of the Experimental Analysis of Behavior 72, no.
3 (1999): 458, https://doi.org/10.1901/jeab.1999.72-455.

Edward L.Thorndike, “A Proof of the Law of effect,” Science 77, no. 1989 (1933); 173,
https://www.jstor.org/stable/1658056.

Hamid Reza Kargozari and Akrom Faravani, “Behaviorism,” in Issues in Applying SLA Theories towarde
Reflective and Effective Teaching, vol. 7, Critical New Literacies : The Praxis of English Language Teaching and
Learning (Brill, 2018), 3, https://doi.org/10.1163/9789004380882_001.

Haslinda, “Classical Conditioning,” Network Media no. 1 (September 3, 2019): 93,


https://doi.org/10.46576/jnm.v2il.453.

Isti’adah, Teori-teori Belajar dalam Pendidikan, 57

Jamie Cyphers, “Educatioal Theory Comparison&Analysis: Behaviorism and Information Processing


Theory,” 2013, 3

John B.Watson, “Psychology as the Behaviorist Views It,” Psychological Review 20, no. 2 (1913): 177,
http://doi.org/10.1037/h0074428.

Kay Are and Govind Krishnamoorthy, Trauma Informed Behaviour Support: A Practical Guide to
Developing Resilient Learners (Towoomba: University of Southern Queensland, 2020), 97,
http://usq.pressbooks.pub/traumainformedpractice/.

Kontrobusi konsepsi psikologi behaviorisme terhadap perkembangan teori dalam ilmu komunikasi, agus
setiawan.wordpress.

McLeod, “Operant Conditioning (B.F. Skinner) | Simply Psychology.”

Molly Zhou and David Brown, eds., Educational Learning Theories, 2nd ed. (Spring, 2015), 6.

S. A. McLeod, “Operant Conditioning (B.F. Skinner)|Simply Psychology, “January 21, 2018,


https://www.simplypsychology.org/operant-conditioning.html.

Sho Araiba, “Current Diversification of Behaviorsm,” Perspectives on behavior Science 43, no. 1 (March 1,
2020): 162, https://doi.org/10.1007/s40614-019-00207-0.

Watson and Morgan, “Emotional Reactions and Psychological Experimentation,” 166-67.

14

Anda mungkin juga menyukai