Anda di halaman 1dari 18

TEORI BELAJAR BEHAVIORISME

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Belajar dan Pembelajaran
Dosen Pengampuh: Gufron Amirullah, M.Pd

Disusun Oleh :
Ardi Aditia

1301145009

Asep Gunawan

1301145012

JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF.DR.HAMKA
JAKARTA
2014

KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Puji syukur penulis panjatkan ke
hadirat-Nya, yang telah memberikan keluasan waktu dan kesehatan kepada penulis untuk
dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Belajar dan Pembelajaran yang diampuh oleh Bapak
Gufron Amirullah. Jenis tugas yang diberikan adalah membuat makalah. Perincian makalah
yang diberikan adalah menyusun makalah tentang Teori Belajar Behaviorisme
Melalui penugasan ini diharapkan semua pembaca dapat memahami tentang Teori Belajar
Behaviorisme yang pada gilirannya dapat diterapkan dalam kegiatan pembelajaran. Selain itu
manfaat yang dapat dirasakan adalah meningkatnya kompetensi pembelajaran para pembaca
yang sebagian besar merupakan mahasiswa.
Penulis menyadari, bahwa makalah ini belum sempurna. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan makalah ini. Mudahmudahan makalah ini bermanfaat bagi penulis sendiri, maupun siapa saja yang
memerlukannya.

.
Jakarta, 18 Desember 2013

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR......

DAFTAR ISI....

ii

BAB I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang..

1.2 Pembatasan Masalah.

PEMBAHASAN...

2.1 Pengertian Teori Belajar Behaviorisme ....

2.2 Tokoh-tokoh dalam Teori Behaviorisme ..

BAB II.

2.2.1 Ivan Petrovich Pavlov ......

2.2.2 John Watson .........

2.2.3 Edward Lee Thorndike.....

2.2.4 B.F Skinner...

2.3 Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan


pembelajaran ..

11

2.4 Kelebihan dan Kelemahan Teori Belajar Behaviorisme

12

PENUTUP.....

14

3.1 Kesimpulan....

14

3.2 Saran ......

14

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................

15

BAB III.

ii

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Teori belajar merupakan landasan terjadinya suatu proses belajar yang menuntun
terbentuknya kondisi untuk belajar. Teori belajar dapat didefenisikan sebagai integrasi
prinsip-prinsip yang menuntun di dalam merancang kondisi demi tercapainya tujuan
pendidikan. Dengan adanya teori belajar akan memberikan kemudahan bagi guru dalam
menjalankan model-model pembelajaran yang akan dilaksanakan. Banyak telah
ditemukan teori belajar yang pada dasarnya menitik beratkan ketercapaian perubahan
tingkah laku setelah proses pembelajaran.
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar
pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan
pendidik agar dapat terjadi proses perolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan
kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik.
Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat
belajar dengan baik.
Di sisi lain pembelajaran mempunyai pengertian yang mirip dengan pengajaran, tetapi
sebenarnya mempunyai konotasi yang berbeda. Dalam konteks pendidikan, guru
mengajar agar peserta didik dapat belajar dan menguasai isi pelajaran hingga mencapai
sesuatu objektif yang ditentukan (aspek kognitif), juga dapat memengaruhi perubahan
sikap (aspek afektif), serta keterampilan (aspek psikomotor) seorang peserta didik,
namun proses pengajaran ini memberi kesan hanya sebagai pekerjaan satu pihak, yaitu
pekerjaan pengajar saja. Sedangkan pembelajaran menyiratkan adanya interaksi antara
pengajar dengan peserta didik.
Pembelajaran yang berkualitas sangat tergantung dari motivasi pelajar dan kreatifitas
pengajar. Pembelajar yang memiliki motivasi tinggi ditunjang dengan pengajar yang
mampu memfasilitasi motivasi tersebut akan membawa pada keberhasilan pencapaian
target belajar. Target belajar dapat diukur melalui perubahan sikap dan kemampuan
siswa melalui proses belajar. Desain pembelajaran yang baik, ditunjang fasilitas yang
memandai, ditambah dengan kreatifitas guru akan membuat peserta didik lebih mudah
mencapai target belajar.
Anda telah melihat individu mengalami pembelajaran, melihat individu berperilaku
dalam cara tertentu sebagai hasil dari pembelajaran, dan beberapa dari Anda (bahkan
saya rasa mayoritas dari Anda) telah "belajar" dalam suatu tahap dalam hidup Anda.
Dengan perkataan lain, kita dapat menyimpulkan bahwa pembelajaran telah terjadi
ketika seorang individu berperilaku, bereaksi, dan merespon sebagai hasil dari
pengalaman dengan satu cara yang berbeda dari caranya berperilaku sebelumnya.

1.2. Perumusan Masalah


Karena pembahasan tentang teori behaviorisme sanagt luas, maka pada pembahasan
makalah ini penulis akan menitik beratkan pada poin-poin dibawah ini:
1.
3.

Siapakah tokoh-tokoh yang mendukung teori belajar behaviorisme?


2. Bagaimana aplikaasi teori
belajar behaviorisme dalam pendidikan di
Indonesia?
Apa kelemahan dan kelebihan dari teori belajar behaviorisme?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1

Pengertian Teori Belajar Behaviorisme


Behavior dalam psikologi atau juga disebut behaviorisme adalah teori pembelajaran
yang didasarkan pada tingkah laku yang diperoleh dari pengkondisisan lingkungan.
Pengkondisian terjadi melalui interaksi dengan lingkungan. Teori ini dapat dipelajari
secara sistematis dan dapat diamati dengan tidak mempertimbangkan dari seluruh
keadaan mental.
Behaviorisme atau Aliran Perilaku (juga disebut Perspektif Belajar) adalah filosofi
dalam psikologi yang berdasar pada proposisi bahwa semua yang dilakukan organisme
termasuk tindakan, pikiran, atau perasaan dapat dan harus dianggap sebagai perilaku.
Aliran ini berpendapat bahwa perilaku demikian dapat digambarkan secara ilmiah tanpa
melihat peristiwa fisiologis internal atau pikiran. Behaviorisme beranggapan bahwa
semua teori harus memiliki dasar yang bisa diamati tapi tidak ada perbedaan antara
proses yang dapat diamati secara publik (seperti tindakan) dengan proses yang diamati
secara pribadi (seperti pikiran dan perasaan).
Menurut teori belajar tingkah laku, belajar adalah perubahan dalam tingkah laku
sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang telah dikatakan
sudah mengalami proses belajar jika telah mampu bertingkah laku dengan cara baru
sebagai hasil interaksi antara stimulus yang berupa proses dan materi pembelajaran
dengan respon atau tanggapan yang diberikan oleh pebelajar.
Misalnya; seorang pelajar belum dapat dikatakan berhasil dalam belajar Ilmu
Pengetahuan Sosial jika dia belum bisa/tidak mau melibatkan diri dalam kegiatankegiatan sosial di masyarakat, seperti; ikut berpartisipasi dalam kegiatan pemilu, kerja
bakti, ronda dll
Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena
tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan
respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima
oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan
pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau
tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.

2.2

Tokoh-tokoh dalam Teori Behaviorisme


2.2.1 Ivan Petrovich Pavlov
Classic conditioning (pengkondisian atau persyaratan klasik) adalah proses yang
ditemukan Pavlov melalui percobaannya terhadap anjing, dimana perangsang
asli dan netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang
sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan.
Ia menemukan bahwa ia dapat menggunakan stimulus netral, seperti sebuah
nada atau sinar untuk membentuk perilaku (respons). Eksperimen-eksperimen

yang dilakukan Pavlov dan ahli lain tampaknya sangat terpengaruh pandangan
behaviorisme, dimana gejala-gejala kejiwaan seseorang dilihat dari perilakunya.

Hal ini sesuai dengan pendapat Bakker bahwa yang paling sentral dalam hidup
manusia bukan hanya pikiran, peranan3 maupun bicara, melainkan tingkah
lakunya. Pikiran mengenai tugas atau rencana baru akan mendapatkan arti yang
benar jika ia berbuat sesuatu.Bertitik tolak dari asumsinya bahwa dengan
menggunakan rangsangan-rangsangan tertentu, perilaku manusia dapat berubah
sesuai dengan apa yang di inginkan. Kemudian Pavlov mengadakan eksperimen
dengan menggunakan binatang (anjing) karena ia menganggap binatang
memiliki kesamaan dengan manusia. Namun demikian, dengan segala
kelebihannya, secara hakiki manusia berbeda dengan binatang.

Makanan adalah rangsangan wajar, sedangkan lonceng rangsangan netral,


disebut stimulus netral karena pada awalnya tidak menyebabkan anjing tersebut
mengeluarkan air liur . Ternyata kalau perbuatan yang demikian dilakukan
berulang-ulang, rangsangan buatan ini akan menimbulkan syarat (kondisi) untuk
timbulnya air liur pada anjing tersebut. Dari eksperimen tersebut, setelah
pengkondisian atau pembiasaan, dapat di ketahui bahwa makanan yang menjadi
stimulus alami dapat di gantikan oleh lonceng sebagai stimulus yang
dikondisikan (conditioned stimulus). Ketika lonceng di bunyikan ternyata air
liur anjing keluar sebagai respon-nya. Bunyi lonceng menjadi stimulus dengan
pengkondisian, dan keluarnya air liur anjing disebut respons dengan
pengkondisian.
Apakah situasi ini bisa diterapkan pada manusia? Ternyata dalam kehidupan
sehari-hari ada situasi yang sama pada anjing. Sebagai contoh, suara lagu dari
penjual es creem Walls yang berkeliking dari rumah kerumah. Awalnya mingkin

suara itu asing, tetapi setelah si penjual es creem sering lewat, maka nada
lagutersebut bisa menerbitkan air liur.
Berdasarkan eksperimen yang dilakukan Pavlov diperoleh kesimpulan berkenan
dengan beberapa cara perubahan tingkah laku yang dapat digunakan dalam
proses pembelajaran. Misalnya murid dimarahi karena ujian biologinya buruk.
Saat murid untuk ujian kimia dia juga akan menjadi gugup karena kedua
pelajaran tersebut saling berkaitan.
2.2.2 John Watson

Watson menyatakan bahwa hanya tingkah laku yang teramati saja yang dapat
dipelajari dengan valid dan reliable. Dengan demikian stimulus dan respon
harus berbentuk tingkah laku yang dapat diamati (observable).
Watson berpendapat bahwa introspeksi merupakan pendekatan yang tidak ada
gunanya. Alasannya adalah jika psikologi dianggap sebagai suatu ilmu, maka
datanya harus dapat diamati dan diukur. Watson mempertahankan pendapatnya
bahwa hanya dengan mempelajari apa yang dilakukan manusia (perilaku
mereka) memungkinkan psikologi menjadi ilmu yang objektif. Watson menolak
pikiran sebagai subjek dalam psikologi dan mempertahankan pelaku sebagai
subjek psikologi. Khususnya perilaku yang observabel atau yang berpotensi
untuk dapat diamati dengan berbagai cara baik pada aktivitas manusia dan
hewan. 3 prinsip dalam aliran behaviorisme:
1. Menekankan respon terkondisi sebagai elemen atau pembangun pelaku.
Kondisi adalah lingkungan external yang hadir dikehidupan. Perilaku muncul
sebagai respon dari kondisi yang mengelilingi manusia dan hewan.
2. Perilaku adalah dipelajari sebagai konsekuensi dari pengaruh lingkungan
maka sesungguhnya perilaku terbentuk karena dipelajari. Lingkungan terdiri
dari pengalaman baik masa lalu dan yang baru saja, materi fisik dan sosial.
Lingkungan yang akan memberikan contoh dan individu akan belajar dari
semua itu.
3. Memusatkan pada perilaku hewan. Manusia dan hewan sama, jadi
mempelajari perilaku hewan dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku
manusia.
Pada dasarnya Watson melanjutkan penelitian Pavlov. Dalam percobaannya,
Watson ingin menerapkan classical conditioning pada reaksi emosional. Hal ini
didasari atas keyakinannya bahwa personalitas seseorang berkembang melalui
pengkondisian berbagai refleks.
Dalam suatu percobaan yang kontroversial di tahun 1921, Watson dan asisten
risetnya Rosalie Rayner melakukan eksperimen terhadap seorang balita bernama
Albert. Pada awal eksperimen, balita tersebut tidak takut terhadap tikus. Ketika
balita memegang tikus, Watson mengeluarkan suara dengan tiba-tiba dan keras.
Balita menjadi takut dengan suara yang tiba-tiba dan keras sekaligus takut

terhadap tikus. Akhirnya, tanpa ada suara keras sekalipun, balita menjadi takut
terhadap tikus.
Meskipun eksperimen Watson dan rekannya secara etika dipertanyakan,
hasilnya menunjukkan untuk pertamakalinya bahwa manusia dapat belajar
takut terhadap stimuli yang sesungguhnya tidak menakutkan. Namun ketika
stimuli tersebut berasosiasi dengan pengalaman yang tidak menyenangkan,
ternyata menjadi menakutkan. Eksperimen tersebut juga menunjukkan bahwa
classical conditioning mengakibatkan beberapa kasus fobia (rasa takut), yaitu
ketakutan yang yang tidak rasional dan berlebihan terhadap objek-objek tertentu
atau situasi-situasi tertentu.
5

Pakar psikologi sekarang dapat memahami bahwa classical conditioning dapat


menjelaskan beberapa respons emosional seperti kebahagiaan, kesukaan,
kemarahan, dan kecemasan yaitu karena orang tersebut mengalami stimuli
khusus. Sebagai contoh, seorang anak yang memiliki pengalaman
menyenangkan dengan roller coaster kemungkinan belajar merasakan
kesenangan justru karena melihat bentuk roller coaster tersebut. Bagi seorang
dewasa yang menemukan sepucuk surat dari teman dekat di dalam kotak surat,
hanya dengan melihat alamat pengirim yang tertera di sampul kemungkinan
menimbulkan perasaan senang dan hangatnya persahabatan.
Pakar psikologi menggunakan prosedur classical conditioning untuk merawat
fobia (rasa takut) dan perilaku yang tidak diinginkan lainnya seperti kecanduan
alkohol dan psikotropika. Untuk merawat fobia terhadap objek-objek tertentu,
pakar psikologi melakukan terapi dengan menghadirkan objek yang ditakuti
oleh penderita secara berangsur-angsur dan berulang-ulang ketika penderita
dalam suasana santai. Melalui fase eliminasi (eliminasi stimulus kondisi),
penderita akan kehilangan rasa takutnya terhadap objek tersebut. Dalam
memberikan perawatan untuk alkohol, penderita meminum minuman beralkohol
dan kemudian menenggak minuman keras tersebut sehingga menyebabkan rasa
sakit di lambung. Akhirnya ia merasakan sakit lambung begitu melihat atau
mencium bau alkohol dan berhenti meminumnya. Keefektivan dari terapi seperti
ini sangat bervariasi bergantung individunya dan problematika yang
dihadapinya.
2.2.3 Edward Lee Thorndike
Dalam bukunya Animal Intelligence (1911) ia menyangkal pendapat bahwa
hewan memecahkan masalah dengan nalurinya. Ia justru berpendapat bahwa
hewan juga memiliki kecerdasan.
Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi
antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R ).
Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti
pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera.
Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar,
yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan.Jadi perubahan

tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat
diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati.
Teori ini disebut dengan teori koneksionisme atau juga disebut S -R Bond
Theory dan S-R Psycology of learning selain itu, teori ini juga terkenal
dengan T rial and Error Learning.

Subjek riset Thorndike termasuk kucing. Untuk melihat bagaimana hewan


belajar perilaku yang baru, Thorndike menggunakan ruangan kecil yang ia sebut
puzzle box (kotak teka-teki). Seekor kucing lapar ditempatkan berbentuk kotak
berjeruji yang dilengkapi dengan peralatan, seperti pengungkit, gerendel, pintu,
dan tali yang menghubungkan pengungkit dengan gerendel tersebut. Peralatan
ini ditata sedemikian rupa sehingga memungkinkan kucing tersebut memperoleh
makanan yang tersedia didepan sangkar tadi dan jika hewan itu melakukan
respons yang benar (seperti menarik tali, mendorong tuas, atau mendaki
tangga), pintu akan terbuka dan hewan tersebut akan diberi hadiah makanan
yang diletakkan tepat di luar kotak.
Ketika pertama kali hewan memasuki kotak teka-teki, memerlukan waktu lama
untuk dapat memberi respons yang dibutuhkan agar pintu terbuka. Mula-mula
kucing tersebut mengeong, mencakar, melompat, dan berlari-larian, namun
gagal membuka pintu untuk memperoleh makanan yang ada didepannya.
Akhirnya, entah bagaimana, secara kebetulan kucing itu berhasil menekan
pengungkit dan terbukalah pintu sangkar tersebut, pada akhirnya hewan
tersebut dapat melakukan respons yang benar dan menerima hadiahnya: lolos
dan makanan
Ketika Thorndike memasukkan hewan yang sama ke kotak teka-teki secara
berulang-ulang, hewan tersebut akan melakukan respons yang benar semakin
cepat. Dalam waktu singkat, hewan-hewan tersebut hanya membutuhkan waktu
beberapa detik untuk lolos dan mendapatkan hadiah.
Thorndike menggunakan kurva waktu belajar tersebut untuk membuktikan
bahwa hewan tersebut bukan menggunakan nalurinya untuk dapat lolos dan
mendapatkan hadiah dari kotak, namun melalui proses trial and error (mencobasalah-mencoba lagi sampai benar).

Menurut Thorndike, ada beberapa hukum pokok dalam proses belajar manusia,
antara lain:
7

1. Law of Readiness, yaitu kesiapan untuk bertindak itu timbul karena


penyesuaian diri dengan sekitarnya yang akan memberikan kepuasan,
hubungan antara stimulus dan respon akan mudah terbentuk apabila ada
kesiapan pada diri seseorang.
2. Law of Exercise, hubungan antara stimulus dan respon itu akan sangat kuat
bila sering dilakukan pelatihan dan pengulangan, dan akan menjadi lemah
jika latihan tidak diteruskan.
3. Law of Effect, yaitu perbuatan yang diikuti dengan dampak atau pengaruh
yang memuaskan cenderung ingin diulangi lagi dan yang tidak
mendatangkan kepuasan akan dilupakan.
2.2.4 B.F Skinner
Skinner meyakini bahwa perilaku individu dikontrol melalui proses operant
conditioning dimana seseorang dapat mengontrol tingkah laku organisme
melalui pemberian reinforcement yang bijaksana dalam lingkungan yang relatif
besar.
Operant Conditioning adalah suatu proses perilaku operant (penguatan positif
atau negatif) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang
kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan.
Azas operant conditioningB.F Skinner mulai muncul dalam tahun 1930-an, pada
waktu keluarnya teori-teori S-R (Stimulus-Respons) yang kemudian dikenal
dengan model konditioning klasik dari Pavlov yang pada saat itu telah memberi
pengaruh yang kuat dalam pelaksanaan penelitian. Munculnya teori Operant
Conditioning ini sebagai bentuk reaksi ketidak puasan Skinner atas teori S-R,
umpamanya pada pernyataan Stimulus terus menerus memiliki sifat-sifat
kekuatan yang tidak mengendur (Gredler, 1991 : 115). Dengan kata lain suatu
stimulus bervariasi serta akan terjadi pengulangan bila terdapat penguatan
(reinforcement). Pengulangan respons-respons tersebut merupakan tahapantahapan dalam proses mngubah atau pembentukan tingkah laku. Sedangkan
secara menyeluruh, istilah
Operant conditioning diartikan sebagai suatu situasi belajar dimana suatu
respons lebih kuat akibat reinforcement langsung (Wasty, 1998 : 126).
Kemudian margaret E. Bell Gredler dalam kesimpulannya mengartikan operant
conditioning sebagai proses mengubah tingkah laku subjek dengan jaalan
memberikan penguatan (reinforcement) atas respons-respons yang dikehendaki
dengan kehadiran stimulus yang cocok (Gredler, 1991 :125).

Dari beberapa definisi di atas, dapat diambil suatu pemahaman bahwa


penciptaan suatu kondisi dalam rangka pengubahan tingkah laku subjek, yang
relatif sesuai dengan yang dikehendaki (misalnya, oleh guru atau pemimpin
pendidikan) yaitu dengan mencermati dan mengontrol respons yang muncul,
kemudian setiap respons tersebut diberikan penguatan (reinforcement).
Seperti halnya Throndike, Skinner menganggap reward atau reinforcement
sebagai faktor terpenting dalam proses belajar. Skinner berpendapat bahwa
8
tujuan psikologi adalah meramal dan mengontrol tingkah laku (Wasty, 1998 :
119). Dengan demikian tingkah laku yang diinginkan terjadi, dapat digambarkan
dan dibentuk secara nyata melalui pemberian reinforcement yang
sesuai.Menurut Skinner tingkah laku sepenuhnya ditentukan oleh stimulus, tidak
ada faktor perantara lainnya. Rumus Skinner : B (behaviour) = F (fungsi) dari S
(stimulus) (B = F (S). Tingkah laku atau respons (R) tertentu akan timbul
sebagai reaksi terhadap stimulus tertentu (S). Respons yang dimaksud di sini
adalah respons yang berkondisi yang dikenal dengan respons operant (tingkah
laku operant). Sedangkan stimulusnya adalah stimulus operant(Sudjana, 1991 :
85). Oleh karena itu belajar menurut Skinner diartikan sebagai perubahan
tingkah laku yang dapat diamati dalam kondisi yang terkontrol secara
baik.Terdapat dua macam penguat yang dapat diberikan dalam rangka
memotivasi atau memodifikasi tingkah laku.
Pertama, reinforcement positif yakni sesuatu atau setiap penguat yang
memperkuat hubungan stimulus respons atau sesuatu yang dapat memperbesar
kemungkinan timbulnya suatu respons atau dengan kata lain sesuatu yang dapat
memperkuat tingkah laku. Kedua, Reinforcement negatif (punishment) yakni
sesuatu yang dapat memperlemah timbulnya respons-respons (Rohani, 1995 :
13). Artinya setiap penguat yang dapat memperkuat tingkah laku respons tetapi
bersifat aversif (menimbulkan kebencian dan penghindaran), misalnya : ujian
tiba-tiba. Stimulus negatif dapat menimbulkan respons emosional bahkan dapat
melenyapkan (extinction) tingkah laku atau respons (Gredler : 1991 : 130).
Macam dari sifat reinforcement ini, merupakan pilihan atau opsi bagi para guru
sebagaii pemilik reinforcement (Baker, 1983 : 121), untuk menerapkannya di
lapangan baik dalam konteks kelas maupun terhadap individu dalam kelas.
Disinilah kemampuan profesionalisme dan pengalaman seorang guru sangat
menentukan, karena bukan suatu hal yang mustahil reinforcement negatif justru
melahirkan respons (tingkah laku) positif. Tetapi Skinner lebih menekankan
kepada pemberian reinforcement positif.
Dalam salah satu eksperimennya, Skinner menggunakan seekor tikus yang
ditempatkan dalam sebuah peti yang disebut dengan Skinner Box. Kotak
Skinner ini berisi dua macam komponen pokok, yaitu manipulandum dan alat
pemberi reinforcement yang antara lain berupa wadah makanan. Manipulandum
adalah komponen yang dapat dimanipulasi dan gerakannya berhubungan dengan
reinforcement. Komponen ini terdiri dari tombol, batang jeruji, dan pengungkit.
Dalam eksperimen tadi mula-mula tikus itu mengeksplorasi peti sangkar dengan
cara lari kesana kemari, mencium benda-benda yang ada disekitarnya, mencakar

dinding, dan sebagainya. Tingkah laku tikus yang demikian disebut dengan
emmited behavior (tingkah laku yang terpancar), yakni tingkah laku yang
terpancar dari organism tanpa memedulikan stimulus tertentu. Kemudian salah
satu tingkah laku tikus (seperti cakaran kaki, sentuhan moncong) dapat menekan
pengungkit. Tekanan pengungkit ini mengakibatkan munculnya butir-butir
makanan ke dalam wadahnya.
Butir-butir makanan yang muncul merupakan reinforce bagi tikus yang disebut
dengan tingkah laku operant yang akan terus meningkat apabila diiringi
reinforcement, yaitu penguatan berupa butiran-butiran makanan kedalam wadah
makanan.
Teori belajar operant conditioning ini juga9tunduk pada dua hukum operant yang
berbeda lainnya, yaitu law operant conditioning dan law extinction. Menurut
hukum operant conditioning, jika suatu tingkah diriingi oleh sebuah penguat
(reinforcement), maka tingkah laku tersebut meningkat. Sedangkan menurut
hukum law extinction, jika suatu tingkah laku yang diperkuat dengan stimulus
penguat dalam kondisioning, tidak diiringi stimulus penguat, maka tingkah laku
tersebut akan menurun atau bahkan musnah. Kedua hukum ini pada dasarnya
juga memiliki kesamaan dengan hukum pembiasaan klasik (classical
conditioning).

Skinner membedakan perilaku atas :


1. Perilaku alami (innate behavior), yang kemudiandisebut juga sebagai clasical
ataupun respondent behavior, yaitu perilaku yangdiharapkan timbul oleh
stimulus yang jelas ataupun spesifik, perilaku yangbersifat refleksif.
2. Perilaku operan (operant behavior), yaitu perilakuyang ditimbulkan oleh
stimulus yang tidak diketahui, namun semata-mataditimbulkan oleh
organisme itu sendiri setelah mendapatkan penguatan.
Skinner yakin jika kebanyakan perilaku manusia dipelajari lewat Operant
Conditioning atau pengkondisian operan, yang kuncinya adalah penguatan
segera terhadap respons. Operant Conditioning adalah suatu proses penguatan
perilaku yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali
atau menghilang sesuai dengan keinginan.

Skinner membuat mesin untuk percobaanya dalam Operant Conditioning yang


dinamakan dengan"Skinner Box" dan tikus yang merupakan subjek yang sering
digunakandalam percobaanya.

Dalam percobaannya tersebut yang dilakukan oleh Skinner dalam


Laboratorium, seekor tikus yang lapar diletakkan dalam Skinner Box, kemudian
binatang tersebut akan akan menekan sebuah tuas yang akan membukakan
dulang makanan, sehingga diperoleh penguatan dalam bentuk makanan. Di
dalam setiap keadaan, seekor binatang akan memperlihatkan bentuk perilaku
tertentu; tikus tadi misalnya, akan memperlihatkan perilaku menyelidik pada
saat pertama kali masuk kedalam Box, yaitu dengan mencakar-cakar dinding
10
dan membauinya sambil melihat-lihat kesekelilingnya.
Secara kebetulan, dalam
perilaku menyelidik tersebut tikus menyentuh tuas makanan dan makanan pun
berjatuhan. Setiap kali tikus melakukanhal ini akan mendapatkan makanan;
penekanan tuas diperkuat dengan penyajian makanan tersebut, sehingga tikus
tersebut akan menghubungkan perilaku tertentu dengan penerimaan imbalan
berupa makanan tadi. Jadi, tikus tersebut akan belajar bahwa setiap kali
menekan tuas dia akan mendapatkan makanan dan tikustersebut akan sering kali
mengulangi perilakunya, sampai ada proses pemadaman atau penghilangan
dengan menghilangkan penguatannya.
Dalam eksperimen Skinner tersebut terdapat istilah Penguatan atau dapat
disebut sebagai reinforcement yaitu, setiap kejadian yang meningkatkan ataupun
mempertahankan kemungkinan adanya respon terhadap kemungkinan respon
yang diinginkan. Biasanya yangberupa penguat adalah sesuatu yang dapat
menguatkan dorongan dasar (basicdriver, seperti makanan yang dapat
memuaskan rasa lapar atau air yang dapat menguatkan rasa haus) namun tidak
harus selalu demikian.
Pada manusia, penguatan sering salah sasaran sehingga pembelajaran menjadi
tidak effisien. Masalah lain dengan pengkondisian manusia adalah penentuan
manakah konsekuansi-konsekuensi yang menguatkan dan manakah yang
melemahkan. Karena bergantung pada sejarah individu, penguatan dan disiplin
terkadang dapat menjadi penguatan sedangkan ciuman dan pujian dapat menjadi
hukuman.
2.3

Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran


Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran yaitu karena
memandang pengetahuan adalah objektif, pasti, tetap dan tidak berubah
pengetahuan disusun dengan rapi sehingga belajar adalah perolehan
pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer
of knowladge) kepada orang yang belajar. Fungsi pikiran adalah untuk
menjiplak struktur pengetahuan yang sudah ada melalui proses berfikir yang
dapat dianalisis dan dipilih, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berfikir
seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut.

Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon.


Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan
perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang
berupa stimulus dan output yang berupa respon.
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah
pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran hingga kini
adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku
yang tampak sebagai hasil belajar.

Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang


yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan
menggunakan metode drill atau pembiasaan semata.
Munculnya perilaku akan semakin
11
kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Secara umum langkah-langkah pembelajaran yang berpijak pada teori behavioristik
yang dikemukakan oleh Sociati dan Prasetya Irawan (2001) dapat digunakan dalam
merancang pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran tersebut antara lain :
1. Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran
2. Menganalisis lingkungan kelas yang ada saat ini termasuk mengidentifikasi
pengetahuan awal siswa
3. Menentukan materi pembelajaran
4. Memecah materi pembelajaran menjadi bagian kecil-kecil, meliputi pokok
bahasan, sub pokok bahasan, topik dsb
5. Menyajikan materi pembelajaran
6. Memberikan stimulus, dapat berupa, pertanyaan baik lisan maupu tertulis, tes atau
kuis, latihan atau tugas-tugas
7. Mengamati dan mengkaji respon yang diberikan siswa
8. Memberikan penguatan atau reinforcement (mungkin penguatan positif ataupun
penguatan negatif), ataupun hukuman
9. Memberikan stimulus baru
10. Memberikan penguatan lanjutan atau hukuman
11. Evaluasi belajar
2.4

Kekurangan dan Kelebihan Teori Behaviorisme


Aliran behaviorisme mendapatkan beberapa tanggapan yang bersifat kurang efisien
dalam pembelajaran karena tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks.
Disamping itu aliran ini juga dianggap efisien dan mempunyai banyak kelebihan dalam
pembelajaran. Berikut penjelasan mengenai kekurangan dan kelebihan pada aliran
behaviorisme dalam pembelajaran.
2.4.1 Kekurangan
1) Pembelajaran peserta didik hanya perpusat pada guru.

Peserta didik hanya mendapatkan pembelajaran berdasarkan apa yang


diberikan guru. Mereka tidak diajarkan untuk berkreasi sesuai dengan
perkembangannya. Peserta didik cenderung pasif dan bosan.
2) Peserta didik hanya mendengarkan dengan tertib penjelasan guru.
Pembelajaran seperti bisa dikatakan pembelajaran model kuno karena
menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang
efektif. Penggunaan hukuman biasanya sebagai salah satu cara untuk
mendisiplinkan.

3) Peserta didik tidak bebas berkreasi


12 dan berimajinasi.
Karena menurut teori ini belajar merupakan proses pembentukan yang
membawa peserta didik untuk mencapai target tertentu. Apabila teori ini
diterapkan terus menerus tanpa ada cara belajar lain, maka bisa dipastikan
mereka akan tertekan, tidak menyukai guru dan bahkan malas belajar.
2.4.2 Kelebihan
1) Sangat cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan praktek
dan pembiasaan.
Dengan bimbingan yang diberikan secara terus menerus akan membuat
peserta didik paham sehingga mereka bisa menerapkannya dengan baik.
2)

Materi yang diberikan sangat detail


Hal ini adalah proses memasukkan stimulus yang yang dianggap tepat.
Dengan banyaknya pengetahuan yang diberikan, diharapkan peserta didik
memahami dan mampu mengikuti setiap pembelajarannya.

3)

Membangun konsentrasi pikiran


Dalam teori ini adanya penguatan dan hukuman dirasa perlu. Penguatan ini
akan membantu mengaktifkan siswa untuk memperkuat munculnya respon.
Hukuman yang diberikan adalah yang sifatnya membangun sehingga
peserta didik mampu berkonsentrai dengan baik.

BAB. III
PENUTUP
13

3.1. KESIMPULAN
Menuurut teori belajar behaviorisme, belajar didefinisikan sebagai perubahan
dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon.
Dimana perubahan tingkah laku tersebut tergantung pada konsekuensi.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran yaitu karena
memandang pengetahuan adalah objektif, pasti, tetap dan tidak berubah.

3.2. SARAN
Dalam melakukan sebuah penilaian belajar, seorang pendidik sebauknya dan
seharusnya mempertimbangkan keadaan mental peserta didiknya disamping
tingkah laku yang diamati.

DAFTAR PUSTAKA
13

Jufri, A. Wahab. Belajar dan Pembelajaran Sains/A. Wahab Jufri.


Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2013.

Rusman. Model-model Pembelajaran Profesionalisme Guru/Rusman.Ed. 2,-5.-Jakarta: Rajawali Pres, 2012.

Sarwono, S. W. Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi.


Jakarta: PT Buana Bintang, 2000.

Sumber internet: http://www.google.co.id/url?


sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&ved=0CC4QFjAC&url=http%3A
%2F%2Fwww.asikbelajar.com%2F2012%2F11%2Faplikasi-teori-behavioristikdalam.html&ei=qxQMVJjLC8X98QXhoC4Bw&usg=AFQjCNGina0ovhOGi8FwKoG3N5TaygHOKg

Sumber gambar:
http://2.bp.blogspot.com/_I_NkvOqPaTg/S7yOQbU7QI/AAAAAAAAAHc/Vov-Ip672_E/s1600/dog-training-18.jpg

14

Anda mungkin juga menyukai