3. Extrinsic Motivation
4. Shaping, chaining, branching, prompting dan fading
Shaping, chaining, branching, prompting, dan fading merupakan beberapa konsep
atau teknik dalam teori Behaviourisme yang digunakan untuk memodifikasi perilaku atau
pembentukan keterampilan pada individu. Berikut adalah penjelasan singkat mengenai makna
dari setiap konsep tersebut:
a. Shaping merupakan teknik untuk membentuk atau memodifikasi perilaku melalui
penguatan bertahap. Teknik ini melibatkan memberikan penguatan pada perilaku yang
semakin mendekati perilaku yang diinginkan. Dalam shaping, penguatan diberikan secara
bertahap pada perilaku yang semakin mendekati target perilaku.
b. Chaining merupakan teknik yang digunakan untuk mengajarkan rangkaian perilaku yang
kompleks melalui pembelajaran bertahap. Dalam chaining, suatu perilaku atau
keterampilan dipecah menjadi beberapa langkah atau tahapan, dan kemudian diajarkan
satu per satu hingga siswa mampu menguasai seluruh rangkaian perilaku secara utuh.
c. Branching adalah teknik yang digunakan untuk mengajarkan konsep atau keterampilan
yang kompleks melalui penjabaran atau penguraian menjadi konsep-konsep yang lebih
kecil atau lebih mudah dimengerti. Dalam branching, konsep-konsep yang lebih
sederhana diajarkan terlebih dahulu, kemudian digabungkan kembali menjadi konsep atau
keterampilan yang lebih kompleks.
d. Prompting adalah teknik yang digunakan untuk membantu individu dalam menyelesaikan
tugas atau menguasai keterampilan baru dengan memberikan petunjuk atau bantuan.
Dalam prompting, petunjuk atau bantuan diberikan secara bertahap dan kemudian
dikurangi seiring dengan peningkatan kemampuan individu.
e. Fading merupakan teknik yang digunakan untuk mengurangi bantuan atau dukungan
yang diberikan kepada individu dalam menguasai keterampilan atau perilaku baru. Dalam
fading, bantuan atau dukungan diberikan secara bertahap dan kemudian dikurangi seiring
dengan peningkatan kemampuan individu.
Karakteristik shaping, chaining, branching, prompting, dan fading pada teori
Behaviourisme menunjukkan bahwa pembelajaran dan pembentukan keterampilan dapat
dilakukan melalui penguatan, pemberian petunjuk atau bantuan, serta penguraian konsep
yang kompleks menjadi konsep-konsep yang lebih sederhana. Teknik-teknik tersebut dapat
membantu individu untuk mengembangkan keterampilan dan memperoleh pengetahuan
dengan lebih baik dan efektif.
Teori
Lama
Teori belajar behaviorisme mengklaim bahwa perilaku manusia dipelajari melalui
interaksi dengan lingkungan, dan bahwa lingkungan merupakan faktor utama yang
mempengaruhi perilaku manusia. Menurut teori ini, perilaku manusia dapat diubah dan
dikontrol melalui manipulasi lingkungan dan penguatan yang tepat. Aliran behaviorisme
menganggap bahwa semua perilaku dapat dijelaskan melalui respons yang diberikan oleh
individu terhadap lingkungan sekitarnya. Teori ini juga mengasumsikan bahwa segala bentuk
perilaku dapat dipelajari, termasuk tindakan mental seperti berpikir dan merasa.
Teori belajar behaviorisme juga mengklaim bahwa pembelajaran terjadi melalui
penguatan dan hukuman. Penguatan adalah konsekuensi yang meningkatkan kemungkinan
bahwa perilaku tertentu akan muncul lagi di masa depan, sedangkan hukuman adalah
konsekuensi yang menurunkan kemungkinan perilaku tertentu muncul lagi di masa depan.
Selain itu, teori belajar behaviorisme juga mengklaim bahwa pengulangan dapat
meningkatkan kemampuan belajar, dan bahwa perilaku yang kompleks dapat dipelajari
melalui penguraian. Dengan memahami perilaku sebagai respons terhadap rangsangan atau
stimulus dari lingkungan, behaviorisme mengajukan model-model belajar yang dapat
memperbaiki perilaku yang tidak diinginkan dan memperkuat perilaku yang diinginkan.
Beberapa asumsi teori Belajar behaviorisme antara lain:
1. Segala perilaku dipelajari: Teori behaviorisme mengasumsikan bahwa segala perilaku
manusia, termasuk tindakan mental seperti berpikir dan merasa, dipelajari melalui
pengalaman-pengalaman di lingkungan.
2. Perilaku dipengaruhi oleh lingkungan: Lingkungan merupakan faktor utama yang
mempengaruhi perilaku seseorang. Perilaku dipelajari melalui interaksi dengan
lingkungan, termasuk interaksi dengan orang lain, objek, dan kejadian di lingkungan.
3. Pembelajaran terjadi melalui penguatan dan hukuman: Pembelajaran terjadi melalui
penguatan (reinforcement) atau hukuman (punishment), yang mendorong atau
menghambat perilaku tertentu.
4. Pengulangan meningkatkan kemampuan belajar: Pengulangan (repetition) memperkuat
pembelajaran dan meningkatkan kemampuan seseorang dalam mempelajari suatu
perilaku.
5. Perilaku yang kompleks dipelajari melalui penguraian: Perilaku kompleks dapat dipecah
menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan dipelajari satu per satu melalui penguatan dan
hukuman.
6. Perilaku yang dihasilkan adalah hasil dari stimulus-respon: Perilaku yang dihasilkan oleh
seseorang merupakan respons terhadap rangsangan atau stimulus dari lingkungan.
7. Perilaku yang diinginkan dapat dikondisikan: Perilaku yang diinginkan dapat
dikondisikan melalui penguatan, dan perilaku yang tidak diinginkan dapat diubah melalui
hukuman.
Asumsi-asumsi tersebut memandang manusia sebagai makhluk yang responsif
terhadap lingkungannya, dan bahwa perilaku manusia dapat diubah dan dikontrol melalui
manipulasi lingkungan dan penguatan yang tepat.
Berikut adalah beberapa karakteristik teori belajar behaviorisme:
1. Fokus pada perilaku yang teramati: Behaviorisme berfokus pada perilaku yang
teramati dan dapat diukur. Teori ini menganggap bahwa perilaku adalah hasil dari
pengalaman belajar yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungan.
2. Penekanan pada peran lingkungan: Behaviorisme menekankan peran lingkungan
dalam pembentukan perilaku. Teori ini menganggap bahwa perilaku dapat diubah
dengan memanipulasi lingkungan.
3. Pendekatan objektif dan ilmiah: Behaviorisme menggunakan metode ilmiah dalam
mempelajari perilaku manusia. Pendekatan ini mencoba untuk memahami perilaku
secara objektif dan menghindari penafsiran yang berdasarkan pendapat subjektif.
4. Teori pembelajaran: Behaviorisme adalah teori pembelajaran, yang berarti bahwa
perilaku dipelajari melalui pengalaman belajar yang terjadi melalui interaksi dengan
lingkungan.
5. Konsep penguatan dan hukuman: Behaviorisme menggunakan konsep penguatan dan
hukuman untuk membentuk perilaku. Penguatan positif digunakan untuk
meningkatkan perilaku yang diinginkan, sedangkan hukuman digunakan untuk
mengurangi perilaku yang tidak diinginkan.
6. Fokus pada pengulangan: Behaviorisme menganggap bahwa pembelajaran terjadi
melalui pengulangan dan pengekangan, di mana perilaku yang diinginkan diperkuat
melalui pengulangan dan perilaku yang tidak diinginkan dikurangi melalui hukuman.
7. Mengabaikan aspek kognitif: Behaviorisme mengabaikan aspek kognitif dari perilaku,
seperti pemikiran dan persepsi. Teori ini hanya mempertimbangkan perilaku yang
dapat diamati dan diukur, dan mengabaikan proses mental yang mendasari perilaku
tersebut.
Disamping memiliki kelemahan, teori ini juga memiliki beberapa kekuatan, antara
lain:
1. Memiliki konsep yang mudah dipahami: Konsep-konsep dalam teori belajar
behaviorisme mudah dipahami dan dapat diaplikasikan dalam berbagai situasi
pembelajaran, seperti dalam pendidikan dan pelatihan.
2. Mengacu pada perilaku yang teramati: Teori behaviorisme berfokus pada perilaku
yang teramati dan dapat diukur, sehingga memungkinkan pengamatan dan
pengukuran yang objektif.
3. Mampu memprediksi dan mengontrol perilaku: Teori behaviorisme memungkinkan
prediksi dan pengendalian perilaku melalui penguatan dan hukuman.
4. Menekankan pentingnya lingkungan dalam pembentukan perilaku: Teori
behaviorisme menekankan peran lingkungan dalam pembentukan perilaku, sehingga
memberikan dorongan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi
pembelajaran.
5. Mempunyai aplikasi praktis yang luas: Konsep-konsep dalam teori behaviorisme
memiliki aplikasi praktis yang luas dalam berbagai bidang, seperti dalam pendidikan,
psikoterapi, dan pelatihan hewan.
6. Memberikan dasar bagi pengembangan teori dan pendekatan belajar yang lain: Teori
behaviorisme memberikan dasar bagi pengembangan teori dan pendekatan belajar
yang lain, seperti teori kognitif, teori humanistik, dan teori sosial-kognitif.
B.F. Skinner adalah seorang psikolog behavioris yang terkenal dengan teorinya
tentang pembelajaran operan (operant conditioning) dan penerapannya dalam pengembangan
teknologi pengendalian perilaku, seperti kotak Skinner. Skinner (1953) memandang perilaku
sebagai hasil dari hubungan antara rangsangan lingkungan dan respons individu terhadap
rangsangan tersebut. Menurut Skinner (1953), pembelajaran operan terjadi ketika perilaku
seseorang dipengaruhi oleh konsekuensi yang diberikan sebagai respons terhadap perilaku
tersebut. Ada dua jenis konsekuensi yang memengaruhi perilaku: penguatan (reinforcement)
dan hukuman (punishment).
Penguatan adalah konsekuensi yang meningkatkan kemungkinan bahwa perilaku
tertentu akan muncul lagi di masa depan. Contohnya adalah memberikan pujian atau hadiah
setelah perilaku tertentu dilakukan. Hukuman, di sisi lain, adalah konsekuensi yang
menurunkan kemungkinan perilaku tertentu muncul lagi di masa depan. Contohnya adalah
memberikan teguran atau hukuman setelah perilaku tertentu dilakukan.
Skinner (1953) juga membedakan antara penguatan positif (positive reinforcement)
dan penguatan negatif (negative reinforcement). Penguatan positif adalah memberikan hadiah
atau pujian sebagai respons atas perilaku tertentu, sedangkan penguatan negatif adalah
menghilangkan rangsangan yang tidak diinginkan sebagai respons atas perilaku tertentu..
Skinner (1953) juga memandang lingkungan sebagai faktor yang sangat penting dalam
pembentukan perilaku, dan bahwa perilaku manusia dapat diubah melalui manipulasi
lingkungan yang sesuai.
Teori belajar sosial kognitif adalah sebuah teori psikologi yang dikembangkan oleh
Albert Bandura (1986) yang menekankan pada pengaruh lingkungan, pemikiran, dan perilaku
individu dalam mempelajari dan meniru perilaku orang lain. Menurut teori ini, individu
belajar melalui pengalaman langsung, pengamatan orang lain, dan refleksi pada pengalaman-
pengalaman tersebut.
Bandura (1986) berpendapat bahwa terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi
belajar dalam Teori Belajar Sosial Kognitif, yaitu:
Dalam Teori Belajar Sosial Kognitif, individu juga dianggap memiliki kemampuan
untuk mengatur dan mengendalikan perilaku mereka sendiri. Kemampuan ini dikenal sebagai
self-efficacy, yang merupakan keyakinan individu terhadap kemampuan dirinya sendiri
dalam melakukan tugas-tugas tertentu. Teori Belajar Sosial Kognitif banyak digunakan dalam
pendidikan, terutama dalam pengajaran model pembelajaran yang mengajarkan dengan
contoh-contoh dari pengalaman nyata. Selain itu, teori ini juga digunakan dalam psikoterapi
dan konseling untuk membantu individu mengatasi masalah-masalah psikologis dan
mengubah perilaku negatif menjadi positif.
Menurut aliran Sosial Kognitif, belajar didefinisikan sebagai suatu proses
pengubahan perilaku yang relatif permanen, yang terjadi melalui pengalaman dan interaksi
individu dengan lingkungan sosial dan fisiknya. Dalam konteks ini, belajar dipandang
sebagai hasil dari interaksi antara faktor lingkungan, faktor pribadi, dan faktor perilaku
individu. Faktor lingkungan mencakup lingkungan fisik dan sosial yang mempengaruhi
belajar, seperti pengaruh keluarga, teman, sekolah, dan masyarakat. Faktor pribadi mencakup
karakteristik individu, seperti kepribadian, minat, dan kepercayaan diri. Faktor perilaku
mencakup interaksi antara individu dan lingkungan, termasuk tindakan yang dilakukan
individu dan respon yang diterimanya.
Dalam aliran Sosial Kognitif, belajar juga dipandang sebagai hasil dari pengamatan
dan peniruan perilaku orang lain. Proses ini disebut sebagai pembelajaran melalui modeling,
dan dapat terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung. Selain itu, faktor kognitif,
seperti perhatian, persepsi, dan memori, juga dipandang sebagai penting dalam belajar,
karena individu perlu mampu memahami, menyimpan, dan mengingat informasi yang
diperoleh dari lingkungan sekitarnya. Dengan demikian, belajar dalam aliran Sosial Kognitif
dipandang sebagai suatu proses yang kompleks, yang melibatkan interaksi antara berbagai
faktor dan aspek yang saling terkait.
Karakteristik utama dari Teori Belajar Sosial Kognitif adalah sebagai berikut:
1. Fokus pada Pengaruh Lingkungan: Teori ini menekankan pada pengaruh lingkungan
dalam belajar. Lingkungan dapat mempengaruhi perilaku dan belajar individu melalui
pengaruh sosial, seperti contoh perilaku dan pengaruh dari keluarga, teman, dan
lingkungan sekitarnya.
2. Peran Aktif Individu: Teori ini juga menekankan pada peran aktif individu dalam belajar,
di mana individu tidak hanya menerima informasi, tetapi juga mengambil bagian aktif
dalam proses pembelajaran.
3. Pentingnya Pengamatan dan Peniruan: Teori ini mengakui pentingnya pengamatan dan
peniruan dalam pembelajaran. Individu dapat belajar melalui pengamatan perilaku orang
lain dan meniru perilaku yang diamati tersebut.
4. Peran Kognisi dalam Belajar: Teori ini mengakui pentingnya faktor kognitif dalam
belajar, seperti perhatian, memori, dan pemrosesan informasi, dalam memahami dan
menggunakan informasi yang diperoleh dari lingkungan.
5. Konsep Self-Efficacy: Teori ini memperkenalkan konsep self-efficacy, yaitu keyakinan
individu terhadap kemampuan dirinya sendiri dalam melakukan tugas-tugas tertentu.
Konsep ini memainkan peran penting dalam motivasi individu dan kemampuan untuk
mencapai tujuan.
6. Relevansi dalam Pendidikan dan Psikoterapi: Teori ini memiliki relevansi penting dalam
pendidikan dan psikoterapi, di mana model pembelajaran dan terapi berdasarkan teori ini
telah dikembangkan dan digunakan secara luas untuk membantu individu belajar dan
mengubah perilaku negatif menjadi positif.
Berikut ini adalah beberapa kekuatan dari Teori Belajar Sosial Kognitif:
1. Fokus pada Interaksi Sosial: Teori ini menekankan pada pengaruh lingkungan sosial
dalam belajar, yang memungkinkan individu untuk belajar melalui pengamatan, interaksi,
dan peniruan orang lain. Hal ini memungkinkan individu untuk belajar melalui berbagai
pengalaman yang diperoleh dari lingkungan sekitarnya.
2. Pengembangan Self-Efficacy: Teori ini memperkenalkan konsep self-efficacy, yang
memungkinkan individu untuk membangun keyakinan pada kemampuan diri sendiri
untuk melakukan tugas-tugas tertentu. Hal ini dapat membantu individu untuk
mengembangkan motivasi dan percaya pada dirinya sendiri dalam mencapai tujuan.
3. Relevansi dalam Pendidikan: Teori ini memiliki relevansi penting dalam pendidikan, di
mana model pembelajaran berdasarkan teori ini telah dikembangkan dan digunakan
secara luas untuk membantu individu belajar dengan lebih efektif. Model-model ini
membantu individu untuk belajar melalui pengalaman, peniruan, dan interaksi sosial.
4. Pengembangan Psikoterapi: Teori ini juga memiliki relevansi penting dalam psikoterapi,
di mana model-model terapi berdasarkan teori ini telah dikembangkan dan digunakan
secara luas untuk membantu individu mengubah perilaku negatif menjadi positif. Model-
model ini memungkinkan individu untuk belajar bagaimana mengatasi masalah melalui
pengamatan, interaksi, dan peniruan orang lain.
5. Integrasi dengan Teori Lain: Teori Belajar Sosial Kognitif dapat diintegrasikan dengan
teori lain dalam psikologi, seperti Teori Kognitif, Teori Belajar Klasik, dan Teori Belajar
Operant. Hal ini memungkinkan pengembangan model-model yang lebih komprehensif
dan efektif dalam menjelaskan perilaku dan belajar manusia.
Selain terdapat kekuatan pada teori belajar sosial kognitif terdapat juga beberapa
kelemahan dari Teori Belajar Sosial Kognitif, diantaranya:
1. Terlalu Mementingkan Faktor Lingkungan: Teori ini cenderung terlalu mementingkan
faktor lingkungan dan sosial dalam belajar, sehingga mengabaikan faktor-faktor
biologis dan genetik yang juga dapat mempengaruhi perilaku dan belajar individu.
2. Mengabaikan Peran Emosi: Teori ini cenderung mengabaikan peran emosi dalam
belajar dan perilaku. Padahal, emosi dapat mempengaruhi motivasi, pengambilan
keputusan, dan persepsi individu terhadap lingkungan sekitarnya.
3. Terlalu Fokus pada Peran Pengamatan dan Peniruan: Teori ini cenderung terlalu fokus
pada peran pengamatan dan peniruan dalam belajar, sehingga mengabaikan faktor-
faktor lain yang juga dapat mempengaruhi belajar dan perilaku, seperti motivasi,
perhatian, dan minat.
4. Terlalu Simplistik: Teori ini cenderung terlalu simplistik dalam menjelaskan
bagaimana individu belajar dan mempengaruhi perilaku. Teori ini terlalu
mempersempit faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku dan belajar menjadi hanya
lingkungan dan pengamatan.
5. Kurangnya Perhatian pada Konteks Sosial dan Budaya: Teori ini cenderung kurang
memperhatikan konteks sosial dan budaya dalam belajar dan perilaku. Karena budaya
dan konteks sosial sangat mempengaruhi perilaku dan belajar individu, hal ini dapat
membatasi validitas teori dalam konteks yang berbeda.
TEORI PEMROSESAN INFORMASI KOGNITIF DARI PIAGET
Jean Piaget adalah seorang psikolog Swiss yang mengembangkan Teori Pemrosesan
Informasi Kognitif. Teori ini menggambarkan bagaimana anak-anak memproses dan
mengorganisir informasi dalam otak mereka.
Menurut Piaget (), proses mental anak-anak berkembang melalui serangkaian tahap,
dari tahap sensorimotor pada bayi hingga tahap operasi formal pada masa remaja. Setiap
tahap ini memiliki ciri khas dan batasan yang mengarahkan cara anak-anak memproses
informasi.
Tahap sensorimotor adalah tahap awal, di mana anak-anak belajar dan
mengembangkan pemahaman tentang dunia melalui indera mereka. Pada tahap ini, anak-anak
tidak memiliki kemampuan untuk memahami konsep abstrak atau mengalami pemikiran
simbolis.
Tahap berikutnya adalah tahap prapemikiran atau praoperasional, yang dimulai
sekitar usia 2 hingga 7 tahun. Pada tahap ini, anak-anak mulai menggunakan pemikiran
simbolis dan berkembang kemampuan bahasa. Namun, anak-anak pada tahap ini masih
terbatas pada pandangan mereka sendiri dan kesulitan memahami perspektif orang lain.
Tahap selanjutnya adalah tahap operasional konkret, yang dimulai sekitar usia 7
hingga 12 tahun. Pada tahap ini, anak-anak mulai mengembangkan kemampuan untuk
memahami konsep abstrak dan mengenal perbedaan antara satu objek dan yang lain. Namun,
kemampuan mereka untuk memahami konsep abstrak masih terbatas pada hal-hal yang dapat
diamati dan dijelaskan secara konkret.
Tahap terakhir adalah tahap operasi formal, yang dimulai sekitar usia 12 hingga 15
tahun. Pada tahap ini, anak-anak mengembangkan kemampuan untuk memahami konsep
abstrak dan berpikir logis serta dapat mempertimbangkan banyak variabel dalam proses
pengambilan keputusan. Teori Piaget tentang Pemrosesan Informasi Kognitif sangat
memengaruhi pendidikan dan perkembangan anak. Teori ini menunjukkan bahwa anak-anak
tidak hanya mengalami perkembangan fisik, tetapi juga perkembangan kognitif yang
kompleks. Melalui pemahaman ini, para pengajar dapat menyusun kurikulum dan metode
pengajaran yang lebih efektif dan efisien dalam membantu anak-anak berkembang dan
belajar.
Berikut adalah beberapa asumsi dasar Teori Pemrosesan Informasi Kognitif dari Piaget:
Teori belajar Pemrosesan Informasi Kognitif menggabungkan beberapa aspek yang berbeda
untuk menjelaskan bagaimana individu belajar dan memproses informasi. Beberapa aspek
yang digabungkan dalam teori ini antara lain:
Berikut ini adalah beberapa karakteristik dari Teori Pemrosesan Informasi Kognitif dari
Piaget:
1. Priming
Priming adalah suatu fenomena dalam psikologi kognitif di mana eksposur terhadap suatu
rangsangan (stimulus) yang sebelumnya dialami dapat mempengaruhi bagaimana
individu merespon rangsangan lain yang diterima nanti. Secara sederhana, priming dapat
diartikan sebagai pengaruh stimulus pertama terhadap stimulus kedua yang dihadapi
kemudian.
Priming dapat terjadi dalam berbagai situasi, seperti saat seseorang mendengar kata
tertentu yang mempengaruhi persepsi terhadap kata-kata atau gambar yang diberikan
kemudian, atau ketika seseorang melihat gambar tertentu yang mempengaruhi keputusan
atau perilaku yang dilakukan di masa depan.
Priming dapat terjadi secara sadar atau tidak sadar, dan dapat berlangsung dalam jangka
waktu yang singkat maupun panjang. Priming dapat berdampak positif atau negatif
tergantung pada jenis rangsangan yang diberikan, konteks, dan faktor-faktor lain yang
terlibat dalam situasi tersebut. Fenomena priming telah menjadi topik penelitian yang
menarik di berbagai bidang, termasuk psikologi, neurosains, dan ilmu sosial.
2. Attention
Menurut teori perkembangan kognitif Piaget, attention atau perhatian adalah
kemampuan kognitif dasar yang penting bagi perkembangan kognitif dan sosial anak.
Piaget memandang attention sebagai kemampuan untuk memilih dan memfokuskan
perhatian pada stimulus atau informasi tertentu, sementara memblokir atau mengabaikan
stimulus atau informasi yang tidak relevan atau tidak penting.
Dalam teori Piaget, attention merupakan salah satu aspek dari fungsi eksekutif
kognitif, yang membantu individu mengatur dan mengontrol proses kognitif dan perilaku
mereka. Kemampuan untuk mengatur perhatian dan memblokir distraksi menjadi semakin
baik seiring perkembangan kognitif anak, dan menjadi lebih efisien dan fleksibel.
Piaget memandang attention sebagai kemampuan yang berkembang seiring
dengan kemampuan anak untuk memahami dan memproses dunia sekitarnya. Sebagai
contoh, ketika anak-anak lebih mampu memahami konsep objek tetap, mereka lebih
mungkin untuk mengalihkan perhatian mereka dari objek yang tidak bergerak dan
menempatkannya pada objek yang lebih menarik atau menarik perhatian mereka. Seiring
dengan perkembangan kognitif dan pengalaman, anak-anak menjadi lebih mampu
mengatur dan memfokuskan perhatian mereka pada hal-hal yang relevan dan penting
dalam lingkungan mereka.
Secara umum, dalam teori Piaget, attention dianggap sebagai bagian penting dari
proses kognitif yang kompleks dan penting bagi perkembangan kognitif anak.
3. Motivasi instinsik
Piaget percaya bahwa motivasi untuk belajar dan bereksplorasi lingkungan sekitar
berkaitan erat dengan keinginan alami individu untuk memahami dunia di sekitar mereka
dan membangun skema mental yang lebih kompleks.
Dalam pandangan Piaget, motivasi intrinsik berkaitan dengan keinginan anak
untuk mengeksplorasi lingkungan mereka dan mengalami dunia di sekitar mereka secara
aktif. Anak-anak secara alami memiliki rasa ingin tahu dan keinginan untuk memahami
hal-hal baru, dan mereka secara aktif mencari informasi dan pengalaman untuk
memperluas pemahaman mereka tentang dunia.
Piaget juga percaya bahwa motivasi intrinsik berkaitan erat dengan
perkembangan moral anak. Anak-anak yang berkembang secara moral
mempertimbangkan nilai-nilai moral dalam keputusan dan tindakan mereka, dan mereka
mendorong diri mereka sendiri untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Ini
dapat memberikan motivasi intrinsik bagi anak untuk melakukan tindakan yang dianggap
benar atau penting secara moral.
Dalam hal ini, Piaget melihat bahwa motivasi intrinsik dapat membantu anak-
anak mengembangkan pemahaman moral yang lebih kompleks dan mengarah pada
perkembangan moral yang lebih maju. Secara keseluruhan, motivasi intrinsik dapat
dilihat sebagai faktor penting dalam perkembangan kognitif dan moral anak menurut
pandangan Piaget.
5. Perception
Persepsi atau perception adalah proses kognitif di mana individu memilih,
menginterpretasikan, dan memberikan arti pada rangsangan atau informasi sensorik yang
diterima dari lingkungan sekitarnya. Persepsi melibatkan berbagai tahap pemrosesan
informasi, termasuk penerimaan informasi sensorik, pengorganisasian informasi, dan
interpretasi informasi. Proses persepsi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti
pengalaman, harapan, motivasi, dan konteks. Proses persepsi dapat menghasilkan hasil
yang berbeda antara individu yang berbeda meskipun mereka diberi rangsangan yang
sama, karena adanya faktor-faktor ini.
Persepsi memainkan peran penting dalam interaksi manusia dengan lingkungan
sekitarnya, baik dalam interaksi sosial maupun aktivitas harian seperti mengemudi,
belanja, atau memasak. Persepsi juga penting dalam pengambilan keputusan dan
membentuk sikap dan perilaku individu. Oleh karena itu, persepsi menjadi topik
penelitian yang penting dalam psikologi, neurosains, dan ilmu-ilmu sosial lainnya.
6. Tiga Tahapan Model Pemerosesn Informasi/ Model Memori Multistorey (Atkinson dan
Shiffrin pada tahun 1968)
Model ini terdiri dari tiga tahapan:
a. Sensory input
Tahap pertama dalam model ini adalah sensory input, di mana informasi diterima
melalui panca indera. Informasi ini disimpan dalam memori sensorik dalam waktu
yang sangat singkat (kurang dari satu detik) sebelum dipindahkan ke memori jangka
pendek.
b. Short-term memory
Setelah informasi dipindahkan dari memori sensorik, tahap berikutnya adalah
short-term memory. Memori jangka pendek memiliki kapasitas terbatas dan hanya
dapat menyimpan informasi selama 20-30 detik. Namun, informasi ini dapat
dipertahankan lebih lama dengan pengulangan atau mengaitkan dengan informasi
yang sudah tersimpan dalam memori jangka panjang.
c. Long-term memory
Tahap terakhir adalah long-term memory. Memori jangka panjang memiliki
kapasitas yang tidak terbatas dan dapat menyimpan informasi selama bertahun-tahun.
Informasi dalam memori jangka panjang dapat diambil kembali ke memori jangka
pendek untuk diproses lebih lanjut dan digunakan dalam pemecahan masalah atau
pengambilan keputusan.
7. Schema
Schema pada teori Pemrosesan Informasi Kognitif dari Piaget adalah kerangka
pemahaman atau struktur kognitif yang digunakan oleh seseorang untuk memahami dan
memproses informasi dalam dunia yang dikelilinginya. Schema dapat berupa pola pikir,
konsep, atau kategori yang terorganisir yang digunakan untuk mengenali, memahami, dan
memproses informasi dalam situasi tertentu.
Contohnya, seorang anak memiliki schema tentang kucing, yang terdiri dari ciri-
ciri seperti bulu halus, ekor panjang, dan kemampuan untuk berburu. Ketika anak itu
melihat seekor kucing, ia akan menggunakan schema-nya tentang kucing untuk
mengenali dan memahami hewan itu.
Menurut Piaget, anak-anak terus-menerus membangun dan mengubah schema
mereka melalui proses adaptasi, yang melibatkan asimilasi dan akomodasi. Ketika anak-
anak menemukan sesuatu yang baru, mereka bisa mencoba memasukkannya ke dalam
schema yang sudah ada (asimilasi), atau membuat schema baru (akomodasi) jika
pengalaman baru tidak cocok dengan schema yang sudah ada.
Dengan cara ini, schema membantu anak-anak memahami dan memproses
informasi secara efektif dalam lingkungan yang terus berubah. Namun, terkadang schema
yang tidak akurat atau tidak memadai dapat membatasi pemahaman anak tentang dunia
dan memperlambat perkembangan kognitif mereka. Schema menurut Piaget
menggabungkan beberapa item diantaranya:
a. Internal Knowlage Stuctures (Struktur pengetahuan yang ada) menjadi pattern
recognition (pengenalan pola)
Internal knowledge structures atau struktur pengetahuan internal adalah istilah yang
digunakan dalam psikologi kognitif untuk menggambarkan cara individu menyimpan,
mengorganisir, dan memproses informasi dalam pikiran mereka. Struktur
pengetahuan internal terdiri dari skema, model mental, konsep, dan representasi
mental lainnya yang digunakan oleh individu untuk memahami dan merespons pada
dunia yang kompleks di sekitar mereka.
Skema adalah struktur pengetahuan yang digunakan untuk memproses informasi yang
masuk, dan dapat dipikirkan sebagai kerangka pemahaman yang membantu individu
memahami dunia. Skema dapat terbentuk melalui pengalaman dan interaksi dengan
lingkungan, dan dapat diubah atau direvisi dengan pengalaman baru atau informasi
tambahan. Model mental adalah representasi visual atau kognitif dari informasi yang
dipegang dalam pikiran seseorang. Model mental dapat membantu individu
memproses informasi yang kompleks dengan cara yang lebih mudah dipahami dan
dikelola.Konsep adalah unit dasar dalam struktur pengetahuan internal, yang
membantu individu memahami objek, kejadian, atau ide. Konsep-konsep ini dapat
diorganisir ke dalam kategori atau skema yang lebih besar, dan dapat membantu
individu membuat inferensi, membuat keputusan, dan berkomunikasi dengan orang
lain.Representasi mental lainnya, seperti gambar mental, simbol, dan bahasa, juga
dapat membantu individu memproses informasi dan membangun struktur
pengetahuan internal mereka. Struktur pengetahuan internal merupakan konsep
penting dalam psikologi kognitif karena membantu menjelaskan cara individu
memproses informasi dan bagaimana mereka memahami dan berinteraksi dengan
dunia di sekitar mereka.
Pattern recognition atau pengenalan pola adalah proses kognitif yang penting dalam
psikologi kognitif dan neurosains. Ini adalah kemampuan untuk mengenali pola atau
hubungan yang terdapat dalam serangkaian stimulus atau data yang kompleks, seperti
bentuk, suara, atau bahasa. Proses pengenalan pola melibatkan proses pemrosesan
informasi yang kompleks, di mana informasi masuk ke dalam sistem sensorik dan
kemudian diproses oleh otak untuk mencari pola atau struktur yang terdapat dalam
informasi tersebut. Dalam pengenalan pola, individu membandingkan input informasi
dengan skema atau representasi mental dari pola yang telah dipelajari sebelumnya.
Misalnya, dalam pengenalan pola visual, individu dapat mengenali objek atau bentuk
berdasarkan pola dan fitur tertentu seperti bentuk, ukuran, warna, dan tekstur. Proses
pengenalan pola ini dapat terjadi secara otomatis dan cepat, terutama jika individu
telah terlatih dalam mengenali pola tertentu. Proses pengenalan pola ini penting dalam
berbagai bidang, termasuk ilmu komputer, pengolahan citra, pengenalan wajah, dan
pembelajaran mesin. Pengenalan pola juga penting dalam kehidupan sehari-hari,
seperti mengenali wajah orang-orang yang kita kenal, membaca dan menulis, dan
mengidentifikasi objek dalam lingkungan sekitar kita.
b. Gambar
c. Koding
d. Review/tinjauan sebelum pengenalan materi baru
e. Pemahaman reflektif dimana mengarah ke diseqilibrium atau konflik yang akan
berdampak pada Restrukturisasi pengetahuan yang ada.
f. Restrtukturisasi pengetahuan yang ada
g. Input Multi Senseorik (Multi-sensory input) yang berdampak pada terbentuknya 3
Tahapan Model Pemerosesan Informasi, yaitu:
a. Sensory Input (Input sensorik) Jika tidak ada Attention (perhatian) maka akan
Forgoten (Lupa), Sensori input di peroleh dari:
b. Short Term Memory (Memori/Ingatan Jangka Pendek) membutuhkan :
1) Repetition (pengulangan)
2) Mnemonic (hapalan)
3) Review (meninjau/meringkas)
c. Long Term Memory (Memori/Ingatan Jangka Pendek) termasuk strategi
pengambilan. Apabila terus dilatih maka akan menjadi Short Term Memory
h. Analisis
i. Tahapan dari metakognisi
Pemerosesan Informasi Kognitif likens (menyamakan) fungsi otak seperti halnya processor
pada komputer yang dapat dipanggil dan di perintah. Hal ini terjadi karena fails to (gagal
untuk) mengakui bahwa orang memproses informasi karena suatu alasan.
Teori Belajar Bermakna Ausubel adalah sebuah teori yang dikembangkan oleh David
Ausubel, seorang psikolog dan ahli pendidikan dari Amerika Serikat. Menurut teori ini,
belajar bermakna terjadi ketika individu menyusun dan mengintegrasikan informasi baru ke
dalam struktur pengetahuan yang sudah ada di dalam pikirannya.
Menurut Ausubel, terdapat dua jenis belajar, yaitu belajar mekanis dan belajar bermakna.
Belajar mekanis terjadi ketika seseorang mempelajari sesuatu secara otomatis tanpa
memperhatikan makna atau kaitannya dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya
sebelumnya. Sedangkan belajar bermakna terjadi ketika seseorang memperhatikan dan
menghubungkan makna dari informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya
sebelumnya.
Dalam belajar bermakna, terdapat dua prinsip utama yang harus diperhatikan, yaitu:
Dalam teori ini, Ausubel juga menekankan pentingnya peran guru dalam pembelajaran. Guru
harus membantu siswa untuk menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang
sudah dimilikinya sebelumnya, serta membantu siswa mengorganisasi informasi baru tersebut
ke dalam struktur pengetahuan yang sudah ada di dalam pikirannya. Dengan demikian, siswa
akan dapat mengembangkan pemahaman yang lebih baik dan mengingat informasi tersebut
dengan lebih mudah.
Teori Belajar Bermakna Ausubel membedakan antara tiga jenis belajar, yaitu Discovery
Learning , reception learning, dan rote learning.
Dalam teori Belajar Bermakna Ausubel, Ausubel menekankan bahwa reception learning
merupakan jenis belajar yang paling efektif, karena dapat membantu siswa untuk mengaitkan
dan mengorganisasi informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya sebelumnya.
1. Analisis
2. Multi Sensori Input
Input Multi Senseorik (Multi-sensory input) yang berdampak pada terbentuknya 3
Tahapan Model Pemerosesan Informasi, yaitu:
a. Sensory Input (Input sensorik) Jika tidak ada Attention (perhatian) maka akan
Forgoten (Lupa), Sensori input di peroleh dari:
b. Short Term Memory (Memori/Ingatan Jangka Pendek) membutuhkan :
1) Repetition (pengulangan)
2) Mnemonic (hapalan)
3) Review (meninjau/meringkas)
c. Long Term Memory (Memori/Ingatan Jangka Pendek) termasuk strategi
pengambilan. Apabila terus dilatih maka akan menjadi Short Term Memory
3. Subsumption
Subsumption merupakan konsep yang sangat penting dalam Teori Belajar Bermakna
Ausubel. Konsep ini merujuk pada cara individu menyatukan atau mengaitkan informasi
baru dengan pengetahuan yang sudah ada di dalam pikirannya.
Menurut Ausubel, belajar bermakna terjadi ketika seseorang dapat mengaitkan
informasi baru dengan konsep-konsep atau proposisi-proposisi yang sudah ada di dalam
pikirannya. Dalam hal ini, konsep atau proposisi yang sudah ada di dalam pikiran
dianggap sebagai struktur kognitif atau kerangka referensi yang dapat digunakan untuk
memahami informasi baru.
Subsumption terjadi ketika informasi baru dihubungkan atau disatukan dengan
konsep-konsep atau proposisi-proposisi yang sudah ada di dalam pikiran individu. Ketika
informasi baru tersebut dihubungkan dengan konsep-konsep atau proposisi-proposisi
yang sudah ada, maka informasi baru tersebut akan menjadi lebih mudah dipahami dan
diingat. Dalam hal ini, guru berperan penting dalam membantu siswa membuat
keterkaitan antara informasi baru dan pengetahuan yang sudah dimilikinya sebelumnya.
Contoh dari subsumption adalah ketika seseorang belajar konsep "planet" yang baru
untuk pertama kalinya. Jika individu tersebut sudah memahami konsep "benda langit",
maka informasi baru tentang planet dapat dihubungkan dengan konsep "benda langit".
Dengan demikian, individu tersebut akan lebih mudah memahami dan mengingat konsep
"planet" karena sudah memiliki kerangka referensi atau struktur kognitif tentang benda
langit.
4. Rekonsilisasi Integratif
Rekonsiliasi integratif atau integrative reconcilation merupakan konsep yang juga
penting dalam Teori Belajar Bermakna Ausubel. Konsep ini merujuk pada upaya untuk
mengintegrasikan informasi baru ke dalam struktur kognitif yang sudah ada di dalam
pikiran individu.
Menurut Ausubel, informasi baru yang tidak dapat dihubungkan dengan struktur
kognitif yang sudah ada di dalam pikiran individu akan sulit dipahami dan diingat. Oleh
karena itu, integrasi informasi baru ke dalam struktur kognitif yang sudah ada di dalam
pikiran individu sangat penting untuk terjadinya belajar bermakna.
Dalam konteks pembelajaran di kelas, guru harus membantu siswa untuk
mengintegrasikan informasi baru ke dalam pengetahuan yang sudah ada di dalam pikiran
mereka. Hal ini dapat dilakukan dengan cara membangun hubungan yang relevan antara
informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dimiliki siswa, sehingga siswa dapat
lebih mudah memahami dan mengingat informasi baru.
Contoh dari rekonsiliasi integratif adalah ketika siswa belajar tentang hewan yang
baru untuk pertama kalinya. Jika siswa sudah memahami konsep dasar tentang jenis-jenis
hewan yang sudah diajarkan sebelumnya, maka guru dapat membantu siswa untuk
mengintegrasikan informasi baru tentang hewan tersebut dengan pengetahuan yang sudah
dimilikinya. Dengan cara ini, siswa akan dapat lebih mudah memahami dan mengingat
informasi baru tentang hewan tersebut karena sudah terintegrasi dengan pengetahuan
yang sudah ada di dalam pikirannya.
5. Tingkat Metakognisi
Teori Belajar Bermakna Ausubel juga mencakup konsep metakognisi atau kesadaran
diri terhadap cara belajar dan pemahaman yang dimiliki. Menurut Ausubel, metakognisi
merupakan suatu kemampuan atau keahlian dalam mengelola dan mengatur cara belajar
dan pemahaman.
Ausubel membagi metakognisi menjadi tiga tingkat, yaitu:
1. Tingkat Pertama: Pengetahuan Tentang Tujuan Belajar (Knowledge of Learning
Objectives) Tingkat pertama metakognisi meliputi pengetahuan tentang tujuan belajar,
yaitu pengetahuan tentang apa yang harus dipelajari dan apa yang ingin dicapai
melalui pembelajaran. Siswa yang memiliki kemampuan metakognitif pada tingkat
pertama mampu memahami tujuan pembelajaran dan merencanakan strategi belajar
yang tepat untuk mencapainya.
2. Tingkat Kedua: Pengetahuan Tentang Cara Belajar (Knowledge of Learning
Strategies) Tingkat kedua metakognisi meliputi pengetahuan tentang cara belajar
yang efektif, yaitu pengetahuan tentang berbagai strategi belajar seperti membaca,
mengambil catatan, dan membuat ringkasan. Siswa yang memiliki kemampuan
metakognitif pada tingkat kedua mampu memilih strategi belajar yang tepat untuk
memahami dan mengingat informasi dengan lebih baik.
3. Tingkat Ketiga: Pengetahuan Tentang Pengawasan Diri (Knowledge of Self-
Monitoring) Tingkat ketiga metakognisi meliputi pengetahuan tentang pengawasan
diri, yaitu kemampuan untuk memantau dan mengevaluasi pemahaman diri sendiri
selama proses belajar. Siswa yang memiliki kemampuan metakognitif pada tingkat
ketiga mampu mengevaluasi pemahaman diri sendiri, menyesuaikan strategi belajar,
dan mengatasi kesulitan yang dihadapi selama proses belajar.
Dengan memiliki kemampuan metakognitif pada ketiga tingkat tersebut, siswa akan
dapat menjadi pembelajar yang lebih efektif dan mandiri. Hal ini karena mereka mampu
memahami tujuan pembelajaran, memilih strategi belajar yang efektif, serta memantau
dan mengevaluasi pemahaman diri sendiri selama proses belajar.
Menurut Teori Belajar Bermakna Ausubel, tingkat metakognisi yang tinggi dapat
mempengaruhi proses restrukturisasi pengetahuan yang telah ada di dalam pikiran
individu. Dengan memiliki kemampuan metakognisi yang baik, individu mampu
memahami cara belajar dan pemahaman yang dimilikinya, sehingga dapat membantu
proses restrukturisasi pengetahuan yang lebih baik.
Proses restrukturisasi pengetahuan merupakan proses di mana individu
mengorganisir, menghubungkan, dan mengintegrasikan informasi baru ke dalam
pengetahuan yang sudah ada di dalam pikiran mereka. Proses ini terjadi ketika individu
memahami dan membangun hubungan antara konsep yang sudah dikuasai dengan konsep
baru yang dipelajari.
Dalam konteks metakognisi, individu yang memiliki kemampuan metakognitif yang
tinggi mampu merencanakan strategi belajar yang tepat untuk mempelajari informasi
baru, serta dapat memantau dan mengevaluasi pemahaman diri sendiri selama proses
belajar. Hal ini dapat membantu proses restrukturisasi pengetahuan yang lebih baik,
karena individu mampu memahami dan mengintegrasikan informasi baru dengan
pengetahuan yang sudah dimilikinya secara efektif.
Sebaliknya, individu yang tidak memiliki kemampuan metakognitif yang baik
cenderung hanya menghafal informasi baru tanpa memahaminya secara mendalam,
sehingga sulit bagi mereka untuk mengintegrasikan informasi baru dengan pengetahuan
yang sudah ada di dalam pikiran mereka.
Oleh karena itu, tingkat metakognisi yang tinggi sangat penting dalam membantu
individu melakukan restrukturisasi pengetahuan yang lebih baik dan efektif. Hal ini akan
membantu individu dalam memahami dan mengingat informasi dengan lebih baik serta
meningkatkan keterampilan pemecahan masalah dan penyelesaian tugas-tugas akademik
yang lebih kompleks.
6. Advances Organizers
Menurut Teori Belajar Bermakna Ausubel, advance organizers adalah informasi yang
diberikan sebelum pembelajaran dimulai untuk membantu siswa memahami dan
mengorganisir pengetahuan baru yang akan dipelajari. Advance organizers membantu
siswa untuk membuat koneksi antara pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya dengan
pengetahuan baru, sehingga proses pembelajaran menjadi lebih bermakna dan berkesan.
Dalam konteks retensi informasi verbal, advance organizers dapat membantu siswa
untuk mempertahankan informasi verbal dalam memori jangka panjang. Hal ini terjadi
karena advance organizers membantu siswa untuk menentukan struktur konseptual dalam
memori mereka, sehingga mempermudah pengingatan informasi yang baru dipelajari.
Advance organizers dapat berupa pengenalan konsep-konsep dasar yang akan
dipelajari, rangkuman materi, atau skema yang menggambarkan hubungan antara konsep-
konsep yang akan dipelajari. Dalam mengaplikasikan advance organizers, guru harus
mempertimbangkan pengetahuan awal siswa tentang topik yang akan dipelajari serta
bagaimana advance organizers dapat membantu siswa untuk membangun koneksi antara
pengetahuan baru dan pengetahuan sebelumnya.
Dengan menggunakan advance organizers dalam pembelajaran, siswa dapat
mempertahankan informasi verbal dalam memori jangka panjang, meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah dan pemahaman materi, serta meningkatkan
keterampilan berpikir kritis dan analitis. Oleh karena itu, penggunaan advance organizers
dapat memfasilitasi retensi informasi verbal dalam pembelajaran menurut teori belajar
bermakna Ausubel.
Menurut Teori Belajar Bermakna Ausubel, Advance Organizer adalah strategi
pembelajaran yang dapat membantu siswa memahami dan mengorganisir pengetahuan
baru yang akan dipelajari dengan memberikan kerangka konseptual atau dasar sebelum
siswa mulai belajar. Advance organizers dapat membantu siswa memahami materi baru
dengan memberikan "anchor point" atau titik acuan yang diperlukan untuk membangun
hubungan antara informasi baru dan pengetahuan sebelumnya.
Dalam hal ini, advance organizers dapat disamakan dengan "ikat pinggang" atau
"pegangan" yang memberikan siswa titik awal untuk menyelesaikan tugas atau masalah
yang diberikan. Dengan menggunakan advance organizers, siswa dapat mengkaitkan
informasi baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya, sehingga membantu
mereka untuk mengorganisir dan menyimpan informasi secara lebih efektif di dalam
memori jangka panjang.
Advance organizers juga berfungsi sebagai penghubung antara informasi baru dan
pengetahuan yang sudah dimiliki oleh siswa. Dengan demikian, siswa dapat memahami
bagaimana informasi baru terkait dengan pengetahuan yang telah dimilikinya
sebelumnya, sehingga memudahkan mereka untuk mengembangkan pemahaman yang
lebih dalam dan lebih abstrak terhadap materi yang dipelajari.
Dalam kesimpulannya, advance organizers menyediakan "anchor point" ke
informasi baru dengan memberikan kerangka konseptual atau dasar yang diperlukan
untuk membangun hubungan antara informasi baru dan pengetahuan sebelumnya. Hal ini
membantu siswa untuk mengorganisir dan menyimpan informasi secara lebih efektif di
dalam memori jangka panjang dan memudahkan mereka untuk mengembangkan
pemahaman yang lebih dalam dan lebih abstrak terhadap materi yang dipelajari.
Menurut teori belajar bermakna Ausubel, advance organizers adalah strategi
pembelajaran yang dapat membantu siswa memahami dan mengorganisir pengetahuan
baru dengan cara memberikan kerangka konseptual atau dasar sebelum siswa mulai
belajar. Advance organizers juga dapat membantu siswa untuk menghasilkan hubungan
logis antara informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya sebelumnya.
Dalam hal ini, advance organizers dapat disamakan dengan alat yang membantu
siswa membangun rangkaian pikiran logis atau mental map yang membantu mereka
memahami materi baru. Dengan menggunakan advance organizers, siswa dapat
mengorganisir dan menyusun informasi secara sistematis dan logis sehingga mereka
dapat memahami dan menyimpan informasi secara lebih efektif di dalam memori jangka
panjang.
Advance organizers juga membantu siswa untuk menghasilkan hubungan logis
antara informasi baru dengan pengetahuan sebelumnya. Dengan adanya kerangka
konseptual atau dasar yang diberikan oleh advance organizers, siswa dapat melihat
keterkaitan antara informasi baru dan pengetahuan yang sudah dimilikinya sebelumnya,
sehingga mereka dapat membangun hubungan logis antara konsep-konsep yang berbeda
dan memahami materi secara lebih dalam.
Dalam kesimpulannya, advance organizers menyediakan cara menghasilkan
hubungan logis antara informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya
sebelumnya. Dengan adanya advance organizers, siswa dapat mengorganisir dan
menyusun informasi secara sistematis dan logis sehingga mereka dapat memahami dan
menyimpan informasi secara lebih efektif di dalam memori
Menurut Teori Belajar Bermakna Ausubel, pembelajaran yang efektif terjadi ketika
seseorang dapat mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan yang telah dimilikinya
sebelumnya dalam memori jangka panjang. Hal ini disebut dengan pengkategorian subsumtif, di
mana konsep-konsep baru dipelajari dan diintegrasikan ke dalam struktur pengetahuan yang
telah ada dalam memori jangka panjang.
Dalam pengkategorian subsumtif, konsep-konsep baru yang dipelajari dihubungkan dengan
konsep-konsep yang telah diketahui sebelumnya. Dengan demikian, informasi baru menjadi
lebih bermakna dan relevan bagi individu, sehingga memudahkan untuk diingat dan dipanggil
kembali ketika diperlukan. Selain itu, dengan mengaitkan konsep-konsep baru dengan konsep-
konsep yang telah diketahui sebelumnya, individu dapat mengembangkan pemahaman yang
lebih mendalam tentang materi yang dipelajari.
Pengkategorian subsumtif juga memungkinkan individu untuk membentuk skema-
skema belajar yang lebih kuat dan terstruktur dalam memori jangka panjang. Dalam
jangka panjang, informasi yang terkait dengan konsep-konsep yang telah diketahui
sebelumnya lebih mudah diingat dan dipanggil kembali daripada informasi yang terpisah
dan tidak terkait.
Dengan demikian, pengkategorian subsumtif berdampak pada memori jangka
panjang, di mana konsep-konsep baru yang dipelajari dapat diintegrasikan ke dalam
struktur pengetahuan yang telah ada dan menjadi lebih bermakna dan relevan. Dalam
jangka panjang, individu dapat mempertahankan pengetahuan yang lebih kuat dan
terstruktur, sehingga lebih mampu mengingat dan memanfaatkannya ketika diperlukan.
Menurut Teori Belajar Bermakna Ausubel, pembelajaran yang bermakna dapat
merubah jaringan konstruksi mental internal atau struktur pengetahuan yang dimiliki
seseorang. Dalam teori ini, pembelajaran dianggap sebagai proses perubahan atau
restrukturisasi pengetahuan dalam memori jangka panjang, yang melibatkan
pengintegrasian informasi baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.
Dalam proses pembelajaran yang bermakna, konsep-konsep baru yang dipelajari
dihubungkan dengan konsep-konsep yang telah diketahui sebelumnya, sehingga
membentuk jaringan konstruksi mental internal yang lebih kompleks dan terintegrasi.
Proses ini melibatkan interaksi antara pengetahuan baru dan pengetahuan yang telah ada,
sehingga pengetahuan yang telah ada dapat diperluas atau diubah sesuai dengan
pengetahuan baru.
Dalam proses pembelajaran yang tidak bermakna, individu cenderung menghafal
informasi tanpa menghubungkannya dengan pengetahuan yang telah dimiliki
sebelumnya. Hal ini dapat menghasilkan jaringan konstruksi mental internal yang lemah
dan terpisah, yang sulit untuk diingat dan dipanggil kembali.
Dengan demikian, Teori Belajar Bermakna Ausubel menekankan pentingnya
pembelajaran yang bermakna dalam merubah jaringan konstruksi mental internal. Melalui
pembelajaran yang bermakna, individu dapat mengembangkan pemahaman yang lebih
mendalam tentang materi yang dipelajari, membentuk jaringan konstruksi mental internal
yang lebih kuat dan terintegrasi, dan mempertahankan pengetahuan yang lebih lama
dalam memori jangka panjang.
Teori Belajar Bermakna Ausubel menggabungkan beberapa teori dan konsep dari bidang
psikologi dan pendidikan, antara lain:
Dalam teori Belajar Bermakna Ausubel, konsep-konsep dari teori-teori di atas digabungkan
untuk menjelaskan bagaimana belajar bermakna terjadi. Dalam teori ini, Ausubel
menekankan pentingnya keterkaitan atau relevansi antara informasi baru dan pengetahuan
yang sudah ada di dalam pikiran individu, serta pentingnya pengorganisasian informasi baru
ke dalam struktur pengetahuan yang sudah ada. Dalam hal ini, guru berperan penting dalam
membantu siswa membuat keterkaitan dan mengorganisasik
Teori Kognitif Piaget adalah teori psikologi yang dikembangkan oleh seorang ahli psikologi
bernama Jean Piaget, seorang psikolog dari Swiss. Teori ini menjelaskan bagaimana anak-
anak belajar, memproses informasi, dan memahami dunia di sekitarnya dari perspektif
kognitif Teori ini berkaitan dengan perkembangan kognitif atau pikiran manusia dan
bagaimana manusia belajar, mengolah, menyimpan, dan mengambil informasi dari
lingkungan mereka.
Menurut Piaget, perkembangan kognitif manusia terjadi melalui empat tahap, yaitu:
1. Tahap Sensorimotor (0-2 tahun): Anak-anak belajar melalui pengalaman sensorik dan
motorik. Mereka mulai memahami dunia melalui pengalaman langsung dengan objek-
objek di sekitar mereka.
2. Tahap Praoperasional (2-7 tahun): Anak-anak mulai menggunakan simbol untuk
merepresentasikan objek dan ide. Mereka juga mulai memahami konsep seperti waktu
dan ruang, namun pemahaman mereka masih terbatas dan cenderung bersifat konkret.
3. Tahap Operasional Konkret (7-12 tahun): Anak-anak mulai memahami hubungan sebab-
akibat dan logika, serta mulai mengembangkan pemahaman abstrak. Mereka juga mampu
mempertahankan konsistensi dalam pemikiran dan mulai menguasai konsep matematika
dasar.
4. Tahap Operasional Formal (12 tahun ke atas): Anak-anak mencapai kemampuan untuk
berpikir secara abstrak dan kritis, dan dapat mempertimbangkan banyak variabel yang
kompleks dalam pemikiran mereka. Mereka juga dapat memahami hipotesis, teori, dan
argumen.
Tiap tahap ditandai dengan kemampuan kognitif yang berkembang dan kompleksitas
pemikiran yang meningkat.
Asimilasi dalam teori kognitif Piaget adalah proses mengasimilasikan atau memasukkan
informasi baru ke dalam kerangka pemahaman yang sudah ada. Dalam konteks ini, anak
menggunakan pemahaman yang sudah dimilikinya untuk menginterpretasi dan memahami
pengalaman baru. Contoh dari asimilasi dalam tahap perkembangan kognitif anak adalah
ketika seorang anak yang belum pernah melihat hewan yang tidak lazim seperti jerapah
pertama kali melihatnya di kebun binatang. Anak mungkin akan mencoba untuk memahami
jerapah dengan menggunakan kerangka pemahaman yang sudah dimilikinya tentang hewan,
seperti ukuran, warna, atau cara bergerak. Anak mungkin juga mencoba untuk
mengasimilasikan jerapah ke dalam kategori yang sudah ada, seperti "kuda yang tinggi".
Meskipun pemahaman anak tentang jerapah dalam contoh ini mungkin tidak akurat, asimilasi
membantu anak membangun pengalaman dan memperkaya kerangka pemahaman mereka
tentang dunia di sekitarnya. Dalam tahap perkembangan kognitif yang lebih lanjut, anak akan
menggunakan proses akomodasi untuk memperbaiki atau memodifikasi pemahaman mereka
tentang jerapah dan hewan-hewan lainnya yang tidak biasa.
Akomodasi dalam teori kognitif Piaget adalah proses mengubah atau memodifikasi kerangka
pemahaman yang sudah ada untuk memasukkan informasi baru yang tidak dapat dijelaskan
dengan menggunakan kerangka tersebut. Dalam konteks ini, anak mengalami ketidaksesuaian
antara pengalaman yang ditemukan dengan kerangka pemahaman yang ada, sehingga mereka
harus memodifikasi atau memperluas kerangka tersebut agar dapat memahami informasi baru
yang ditemukan.
Contoh dari akomodasi dalam tahap perkembangan kognitif anak adalah ketika seorang anak
pertama kali melihat seekor jerapah yang tinggi di kebun binatang. Anak mungkin merasa
bingung karena jerapah tidak sesuai dengan konsep hewan yang sudah dimilikinya. Oleh
karena itu, anak harus melakukan akomodasi pada pemahaman tentang hewan agar dapat
memasukkan jerapah ke dalam kerangka pemahaman tersebut. Mungkin anak akan
memodifikasi pemahaman tentang hewan dengan memperluas kriteria seperti ukuran, bentuk
tubuh, dan perilaku hewan.
Proses akomodasi juga terjadi ketika anak memperbaiki atau mengubah kerangka
pemahaman yang ada karena pengalaman baru yang tidak sesuai dengan pemahaman
sebelumnya. Misalnya, ketika seorang anak belajar tentang jenis binatang yang tidak dapat
terbang, anak tersebut mungkin harus memodifikasi konsep "burung" dengan menghilangkan
kriteria kemampuan terbang dalam pemahaman mereka.
Equilibration dalam teori kognitif Piaget adalah proses penyesuaian atau mencapai
keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi dalam mengatasi ketidaksesuaian antara
pengalaman dan pemahaman anak tentang dunia di sekitarnya. Dalam konteks ini, anak
belajar untuk menyeimbangkan dan memadukan informasi baru dengan pengetahuan dan
pengalaman yang sudah dimilikinya, sehingga dapat memperluas dan meningkatkan
pemahaman mereka tentang dunia.
Contoh dari equilibration dalam tahap perkembangan kognitif anak adalah ketika seorang
anak memahami bahwa burung bisa terbang tetapi seekor unta tidak bisa terbang. Anak
mungkin akan mengalami ketidaksesuaian dengan konsep burung yang sudah dimiliki,
karena burung biasanya dikaitkan dengan kemampuan terbang. Namun, anak kemudian
memahami bahwa tidak semua hewan yang memiliki sayap bisa terbang, seperti unta. Anak
kemudian menyeimbangkan pemahaman mereka tentang burung dengan pengetahuan baru
yang mereka peroleh tentang unta, sehingga dapat memperluas pemahaman mereka tentang
hewan dan kemampuan terbang.
Proses equilibration juga terjadi ketika anak memperkuat dan memperdalam pemahaman
mereka tentang dunia melalui serangkaian pengalaman yang bertahap dan semakin kompleks.
Anak belajar untuk menyeimbangkan asimilasi dan akomodasi dalam mengatasi
ketidaksesuaian, sehingga dapat mencapai keseimbangan yang lebih besar antara pemahaman
dan pengalaman mereka.
Secara keseluruhan, equilibration merupakan proses penting dalam perkembangan kognitif
anak karena membantu anak untuk memperluas dan meningkatkan pemahaman mereka
tentang dunia dan mencapai keseimbangan antara pengalaman dan pemahaman mereka.
Selain itu teori kognitif Piaget, menggunakan atau memanfaatkan 3 tipe pengetahuan yang
dimiliki oleh setiap individu, yaitu:
1. Pengetahuan Fisik: Pengetahuan tentang sifat-sifat fisik dan karakteristik dunia fisik,
seperti ukuran, bentuk, warna, dan sifat fisik lainnya.
2. Pengetahuan Logis-Matematis: Pengetahuan tentang hubungan logis dan matematis
antara objek dan peristiwa, serta kemampuan untuk memanipulasi simbol, angka, dan
konsep abstrak lainnya.
3. Pengetahuan Sosial: Pengetahuan tentang aturan, norma, dan nilai-nilai yang berlaku
dalam kelompok atau masyarakat, serta kemampuan untuk memahami persepsi,
keyakinan, dan perasaan orang lain.
Ketiga tipe pengetahuan ini saling terkait dan membentuk sistem pemahaman yang lebih
kompleks dan terintegrasi tentang dunia di sekitar kita. Setiap individu membangun
pengetahuan ini melalui interaksi dengan lingkungan fisik dan sosialnya, serta melalui
refleksi dan penyempurnaan terus-menerus atas pengalaman yang diperoleh.
Teori Kognitif Piaget percaya bahwa pembelajaran terjadi sebelum perkembangan, teori
kognitif juga memposisikan bahwa pengetahuan itu terdiri daristruktur kognitif yang secara
alami berubah dari penggunaan dan memiiliki fungsi biologis yang muncul dari Tindakan.
1. tidak bisa mengenali ataua gagaldalam mengenali sifat "tidak sistematis" anak-anak,
dan
2. Tidak memeriksa bahasa di luar struktur kognitif
Teori Kognitif Piaget telah memberikan kontribusi besar dalam pemahaman kita tentang
perkembangan kognitif manusia dan pengaruh lingkungan pada pembentukan pemikiran
manusia.
TEORI SOSIAL BUDAYA (VYGOTSKY)
Teori sosiokultural, juga dikenal sebagai konstruktivisme sosial, dikembangkan oleh psikolog
Rusia Lev Vygotsky. Teori ini menekankan pentingnya interaksi sosial dan konteks budaya
dalam membentuk perkembangan kognitif. Menurut Vygotsky, anak-anak belajar melalui
interaksi dengan orang lain yang lebih berpengetahuan, seperti orang tua, guru, dan teman
sebaya.
Interaksi ini melibatkan penggunaan bahasa dan alat budaya lainnya, yang memediasi
pemahaman anak tentang dunia. Vygotsky menyebut proses ini sebagai "scaffolding", di
mana orang yang lebih berpengalaman memberikan dukungan atau bantuan kepada orang
yang kurang berpengalaman untuk membantu mereka belajar.
Aspek kunci lain dari teori sosiokultural adalah zona perkembangan proksimal (ZPD). Ini
mengacu pada perbedaan antara apa yang dapat dilakukan seorang anak sendiri dan apa yang
dapat mereka lakukan dengan bantuan orang lain yang lebih berpengetahuan. Vygotsky
percaya bahwa pembelajaran terjadi ketika seorang anak diberi tugas yang berada di luar
tingkat kemampuannya saat ini, tetapi dapat diselesaikan dengan bantuan.
Zona Perkembangan Proksimal (ZPD) adalah konsep sentral dalam teori sosiokultural
Vygotsky. ZPD mengacu pada jarak antara kemampuan aktual atau yang sudah dimiliki oleh
seorang individu untuk menyelesaikan tugas secara mandiri, dan kemampuan potensial atau
yang dapat dicapai melalui bantuan orang lain.
Kemampuan aktual (actual ability) adalah kemampuan yang dimiliki seseorang dalam
menyelesaikan tugas secara mandiri tanpa bantuan atau dukungan dari orang lain.
Kemampuan aktual mencerminkan tingkat kemampuan atau pengetahuan yang sudah dimiliki
dan dapat diterapkan dalam situasi kehidupan sehari-hari. Kemampuan aktual dapat diperoleh
melalui pengalaman langsung dan belajar secara mandiri.
Konsep ZPD dari Vygotsky berpendapat bahwa individu dapat memperoleh keterampilan
dan pengetahuan baru yang lebih baik melalui interaksi sosial dan bantuan orang dewasa.
Oleh karena itu, individu ditempatkan pada posisi di mana ia dapat mencapai keterampilan
baru dengan bantuan dan dukungan yang tepat, tetapi tidak mampu mencapainya sendiri
Orang yang lebih berpengalaman atau orang dewasa, seperti guru atau orang tua, dapat
membantu individu untuk memperluas ZPD mereka melalui bantuan dalam menyelesaikan
tugas. Dengan memberikan dukungan yang tepat, orang dewasa dapat membantu individu
memperoleh keterampilan dan pengetahuan baru dan memperluas ZPD mereka.
Dalam praktiknya, ZPD sering digunakan dalam konteks pendidikan di mana seorang guru
atau pengajar dapat membantu siswa dalam memperluas ZPD mereka dengan memberikan
bantuan dan dukungan yang tepat, seperti membimbing siswa melalui tugas-tugas yang sesuai
dengan ZPD mereka. Dalam hal ini, ZPD berperan penting dalam membantu siswa untuk
mencapai potensi optimal mereka dan mempersiapkan mereka untuk sukses di masa depan
ZPD juga dianggap sebagai zona di mana seorang individu dapat memperoleh keterampilan
dan pengetahuan baru dengan cara yang paling efektif. Dengan bantuan orang dewasa,
individu dapat membentuk pemahaman yang lebih baik tentang dunia di sekitarnya dan
belajar mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan untuk sukses di masa depan.
Memprediksi: Siswa diminta untuk membuat prediksi tentang apa yang akan terjadi
selanjutnya dalam pembelajaran. Strategi ini membantu siswa untuk berpikir kritis
dan memperoleh pemahaman lebih dalam tentang materi pelajaran.
Mempertanyakan: Siswa diajarkan untuk mengajukan pertanyaan tentang materi
pelajaran dan mencari jawaban yang tepat. Strategi ini membantu siswa untuk
mengidentifikasi aspek materi pelajaran yang kurang dipahami dan mengembangkan
pemahaman yang lebih baik tentang materi tersebut.
Mengklarifikasi: Siswa diminta untuk memperjelas pemahaman mereka tentang
materi pelajaran melalui diskusi dan penjelasan. Strategi ini membantu siswa untuk
mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang materi pelajaran dengan
mengidentifikasi aspek yang sulit dipahami dan mencari cara untuk mengatasi
kesulitan tersebut.
Meringkas: Siswa diajarkan untuk membuat ringkasan tentang materi pelajaran
dengan menggunakan kata-kata mereka sendiri. Strategi ini membantu siswa untuk
mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang materi pelajaran dengan
mengorganisir informasi dan mengidentifikasi aspek yang paling penting.
Secara keseluruhan, teori sosiokultural menekankan pentingnya interaksi sosial, budaya, dan
bahasa dalam membentuk perkembangan kognitif. Ini memiliki implikasi penting untuk
pendidikan, karena menunjukkan bahwa pembelajaran paling efektif ketika berada dalam
konteks sosial dan budaya, dan ketika didukung melalui perancah dan bimbingan dari orang
lain yang lebih berpengetahuan.
DISCOVERY LEARNING (BRUNER)
Discovery Learning berpendapat bahwa dasar-dasar mata pelajaran apa pun dapat diajarkan
untuk segala usia mengingat bahwa bahan sesuai usia/tingkat
Pada discovery learning berbasis inkuiri, siswa didorong untuk memulai dari
pengamatan dan pertanyaan mereka sendiri, dan melakukan eksperimen dan investigasi untuk
mencari jawaban atas pertanyaan mereka. Siswa dibimbing untuk mengumpulkan data dan
membuat hipotesis berdasarkan observasi mereka, kemudian melakukan eksperimen dan
menguji hipotesis mereka untuk menguji kebenaran dari hipotesis tersebut. Selama proses ini,
guru memberikan bimbingan, dukungan, dan umpan balik untuk membantu siswa dalam
memperoleh pemahaman yang benar. Menurut Bruner, pembelajaran penemuan memiliki tiga
prinsip dasar:
1. Materi pelajaran harus disajikan dalam konteks yang bermakna dan dapat dipahami
oleh siswa. Ini memastikan bahwa siswa memahami konsep dan bagaimana konsep
itu dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
2. Siswa harus diberi kesempatan untuk menemukan sendiri konsep-konsep tersebut
melalui interaksi aktif dengan lingkungan dan bahan pelajaran. Siswa harus diberi
kebebasan untuk mengembangkan hipotesis dan mencari solusi sendiri.
3. Guru berperan sebagai fasilitator dan memberikan bimbingan dan dukungan kepada
siswa selama proses pembelajaran. Guru harus memastikan bahwa siswa
mengembangkan pemahaman yang benar dan membantu mereka untuk mengoreksi
kesalahan dan mengarahkan mereka ke arah yang benar.
Dengan mengajarkan ketiga mode representasi ini, discovery learning Bruner membantu
siswa mengembangkan keterampilan berpikir yang lebih baik, serta membantu mereka dalam
mempelajari konsep-konsep baru dengan lebih mudah dan efektif.
Discovery learning berpendapat bahwa dasar-dasar mata pelajaran apa pun dapat
diajarkan kepada segala usia, tergantung pada penyampaian bahan yang sesuai dengan usia
dan tingkat kecerdasan siswa. Dalam pendekatan ini, guru perlu menyusun materi pelajaran
dengan cermat dan memilih metode pembelajaran yang tepat agar sesuai dengan kemampuan
dan kebutuhan siswa. Misalnya, materi yang rumit dapat disajikan dalam bentuk sederhana
atau dipecah menjadi beberapa bagian, sehingga lebih mudah dipahami oleh siswa. Selain itu,
guru juga perlu memperhatikan keterampilan dan pengalaman siswa dalam memahami
konsep tertentu, serta mengadaptasi pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan
dan karakteristik individu siswa.
Discovery learning menekankan pada pemodelan karena pemodelan dapat membantu siswa
memahami dan menemukan konsep baru dengan lebih mudah dan efektif. Dalam pemodelan,
guru memperlihatkan contoh konkret atau representasi visual dari konsep yang akan
dipelajari oleh siswa. Dengan memperlihatkan contoh konkret atau representasi visual, siswa
dapat lebih mudah memahami konsep tersebut dan memvisualisasikan bagaimana konsep itu
bekerja dalam situasi yang berbeda. Pemahaman yang didapatkan dari pemodelan dapat
membantu siswa dalam membangun kerangka pemikiran dan konsep yang diperlukan untuk
menemukan dan memahami konsep yang lebih kompleks di kemudian hari. Selain itu,
pemodelan juga dapat membantu siswa untuk menghubungkan konsep-konsep yang berbeda
dalam situasi yang berbeda dan untuk mengembangkan pemikiran yang lebih kreatif dan
inovatif. Dalam pemodelan, guru juga dapat memberikan kesempatan bagi siswa untuk
berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran dengan bertanya, mengeksplorasi, dan
berdiskusi tentang konsep-konsep yang dipelajari. Dengan menekankan pada pemodelan,
discovery learning memberikan kesempatan bagi siswa untuk belajar dengan cara yang lebih
menyenangkan dan interaktif, dan membantu mereka dalam mengembangkan keterampilan-
keterampilan berpikir kritis, kreativitas, dan problem-solving. Hal ini akan membantu siswa
dalam mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan dunia yang kompleks dan terus
berubah di masa depan.
Activity theory atau teori aktivitas dikembangkan oleh sekelompok ahli psikologi
Soviet, terutama oleh Lev Vygotsky, Aleksandr Luria, dan Aleksei Leontiev. Menurut
Vygotsky (1978) activity theory adalah sebuah kerangka teoritis yang menjelaskan
bagaimana aktivitas manusia mempengaruhi perkembangan psikologis dan sosial. Menurut
Vygotsky, aktivitas manusia terdiri dari tiga komponen utama: subjek, objek, dan lingkungan.
Subjek adalah individu yang melakukan aktivitas, objek adalah tujuan atau hasil yang ingin
dicapai oleh subjek, dan lingkungan adalah konteks di mana aktivitas tersebut terjadi.
Vygotsky juga mengidentifikasi dua jenis aktivitas manusia: aktivitas yang
dilakukan secara individual dan aktivitas yang dilakukan secara sosial. Aktivitas yang
dilakukan secara individual melibatkan proses pemecahan masalah atau pencapaian tujuan
oleh individu secara mandiri. Sedangkan aktivitas yang dilakukan secara sosial melibatkan
interaksi antara individu dan lingkungannya, yang dapat berupa interaksi dengan orang lain
atau dengan alat dan teknologi. Vygotsky jugan berpendapat bahwa aktivitas manusia selalu
terjadi dalam konteks sosial dan budaya tertentu. Oleh karena itu, Vygotsky menekankan
pentingnya faktor sosial, budaya, dan sejarah dalam mempengaruhi perkembangan manusia.
Vygotsky juga mengemukakan bahwa perkembangan individu tidak terjadi secara linier,
melainkan melalui proses yang kompleks dan saling terkait antara aktivitas, pemikiran, dan
bahasa.
Teori aktivitas Vygotsky sangat berguna untuk analisis dan desain teknologi untuk
HCI/Human-Computer Interaction (interaksi manusia-komputer) karena teori ini menekankan
pentingnya konteks sosial, budaya, dan sejarah dalam aktivitas manusia. Ini dapat membantu
dalam memahami cara pengguna akan berinteraksi dengan teknologi dalam konteks tertentu,
dan bagaimana teknologi dapat dirancang untuk memfasilitasi aktivitas pengguna yang lebih
baik. Dalam HCI, teori aktivitas dapat membantu dalam memahami aktivitas pengguna dalam
konteks tertentu, seperti pekerjaan, pendidikan, atau kehidupan sehari-hari. Teori ini juga
dapat membantu dalam memahami bagaimana teknologi dapat digunakan untuk
memfasilitasi aktivitas pengguna dalam konteks sosial dan budaya tertentu. Contohnya,
desain antarmuka pengguna (UI/User Interface) yang efektif harus mempertimbangkan
bagaimana pengguna akan berinteraksi dengan teknologi dalam konteks aktivitas mereka. UI
yang baik harus mudah digunakan dan intuitif, sehingga pengguna dapat dengan mudah
menyelesaikan tugas atau mencapai tujuan mereka dengan menggunakan teknologi. Selain
itu, teori aktivitas Vygotsky juga menekankan pentingnya mediasi dalam aktivitas manusia,
yang dapat berupa penggunaan alat atau teknologi. Ini dapat membantu dalam memahami
bagaimana teknologi dapat berperan sebagai alat mediasi dalam aktivitas pengguna, dan
bagaimana teknologi dapat digunakan untuk memperluas atau meningkatkan kemampuan
pengguna dalam melakukan aktivitas tertentu.
Teori aktivitas Vygotsky menekankan bahwa aktivitas manusia tidak dapat
dipisahkan dari konteks sosial, budaya, dan sejarah di mana aktivitas tersebut terjadi. Dalam
teori ini, aktivitas dianggap sebagai proses yang kompleks dan terdiri dari beberapa
komponen terkait, seperti subjek, objek, dan lingkungan. Oleh karena itu, kegiatan selalu
terjadi dalam konteks tertentu, dan tidak mungkin dipisahkan dari konteks tersebut. Vygotsky
(1978) berpendapat bahwa aktivitas manusia selalu terjadi dalam konteks sosial dan budaya
tertentu, dan bahwa faktor-faktor ini sangat mempengaruhi bagaimana aktivitas tersebut
dilakukan dan diinterpretasikan. Misalnya, aktivitas bekerja di kantor akan berbeda dari
aktivitas bermain game di rumah karena konteksnya yang berbeda, dan lingkungan serta
tujuan dari aktivitas tersebut juga berbeda.
Lebih lanjut, Vygotsky juga menekankan bahwa penggunaan alat atau teknologi
merupakan bentuk mediasi dalam aktivitas manusia. Penggunaan alat atau teknologi dapat
mempengaruhi cara pengguna melakukan aktivitas dan membantu dalam mencapai tujuan
yang ingin dicapai. Namun, penggunaan alat atau teknologi juga harus dipertimbangkan
dalam konteks sosial dan budaya tertentu. Dalam HCI (interaksi manusia-komputer), teori
aktivitas Vygotsky menunjukkan bahwa desain teknologi harus mempertimbangkan konteks
sosial, budaya, dan aktivitas pengguna dalam penggunaan teknologi. Teknologi harus
dirancang untuk memfasilitasi aktivitas pengguna dengan cara yang efektif dan relevan untuk
konteks aktivitas mereka.
Teori aktivitas Vygotsky berfokus pada analisis aktivitas manusia dalam konteks
sosial, budaya, dan sejarah. Teori ini menekankan pentingnya memahami bagaimana aktivitas
manusia dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut, dan bagaimana aktivitas dapat diatur melalui
mediasi dan penggunaan alat atau teknologi.
Namun, teori aktivitas Vygotsky juga memiliki keterbatasan dalam menjelaskan
perilaku yang tidak dapat diprediksi atau perubahan kondisi. Teori ini tidak dapat mengatasi
situasi yang tidak dapat diprediksi, atau perubahan yang mungkin terjadi dalam konteks
aktivitas. Misalnya, jika ada perubahan mendadak dalam konteks aktivitas, seperti situasi
darurat atau kejadian tak terduga, teori aktivitas mungkin tidak dapat menjelaskan bagaimana
aktivitas manusia akan bereaksi dalam situasi tersebut. Selain itu, teori aktivitas juga tidak
dapat menjelaskan perilaku manusia yang terjadi di luar konteks sosial dan budaya yang
dianggap dalam teori tersebut. Contohnya, perilaku manusia dalam lingkungan yang sangat
individual atau dalam lingkungan yang sangat berbeda secara budaya atau sosial mungkin
tidak dapat dijelaskan sepenuhnya dengan menggunakan teori aktivitas Vygotsky.
Menurut teori aktivitas Vygotsky, pembelajaran tidak hanya terjadi secara
individual, tetapi juga dipengaruhi oleh konteks sosial dan budaya di mana pembelajaran
terjadi. Misalnya, lingkungan pembelajaran, seperti tempat belajar, lingkungan sosial di
sekitar pembelajaran, dan cara berkomunikasi antar peserta didik dan pengajar, dapat
mempengaruhi pembelajaran. Oleh karena itu, teori aktivitas Vygotsky menunjukkan bahwa
pengajaran dan pembelajaran tidak hanya sebatas transfer pengetahuan, tetapi juga
memperhitungkan faktor-faktor yang ada di sekitar aktivitas belajar. Faktor-faktor tersebut
dapat meliputi cara peserta didik dan pengajar berinteraksi, kemampuan individu, dan juga
peran alat atau teknologi dalam pembelajaran. Dalam pendidikan, teori aktivitas Vygotsky
dapat membantu dalam merancang lingkungan pembelajaran yang efektif dan relevan untuk
peserta didik. Teori ini memperhitungkan konteks sosial, budaya, dan sejarah di mana
pembelajaran terjadi dan merancang pengajaran yang mempertimbangkan aspek-aspek
tersebut. Dengan demikian, teori aktivitas Vygotsky dapat membantu dalam menciptakan
pengalaman pembelajaran yang lebih baik dan memberikan pemahaman yang lebih baik
tentang konteks pembelajaran.
Terdapat beberapa tokoh lain yang turut mempengaruhi pengembangan teori
aktivitas ini, di antaranya : Alexei Leontiev, yang juga merupakan seorang psikolog Soviet,
dan Yrjö Engeström, seorang ahli psikologi Finlandia yang mengembangkan model
"learning by expanding" yang berdasarkan teori aktivitas. Selain itu, banyak ahli lainnya
dalam bidang psikologi, sosiologi, dan desain interaksi manusia-komputer yang
menggunakan teori aktivitas sebagai landasan teoretis untuk penelitian mereka.
Teori aktivitas Vygotsky berpendapat bahwa aktivitas manusia merupakan suatu
proses dinamis dan kompleks yang dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor
internal ini meliputi motivasi, perhatian, kemampuan kognitif, dan emosi, sementara faktor
eksternal meliputi lingkungan fisik, sosial, dan budaya di sekitar individu.
Dalam teori ini, aktivitas manusia dipandang sebagai suatu sistem yang terdiri dari tiga
elemen utama, yaitu subjek, objek, dan alat. Subjek mengacu pada individu yang melakukan
aktivitas, objek merujuk pada tujuan atau hasil yang ingin dicapai, dan alat merujuk pada
bantuan atau teknologi yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut.
Selain itu, teori aktivitas Vygotsky juga mengakui bahwa aktivitas manusia dapat
berubah secara dinamis seiring perubahan kondisi internal dan eksternal. Oleh karena itu,
penting untuk memahami konteks dan faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas manusia
untuk dapat merancang lingkungan atau teknologi yang mendukung aktivitas tersebut.
Dalam konteks interaksi manusia-komputer, teori aktivitas Vygotsky dapat membantu dalam
merancang antarmuka atau sistem yang lebih intuitif dan responsif terhadap kebutuhan dan
tujuan pengguna. Dengan memperhatikan faktor-faktor internal dan eksternal yang
mempengaruhi aktivitas manusia, kita dapat merancang sistem yang lebih efektif dan efisien
dalam mencapai tujuan yang diinginkan.
Poin utama dari dari teori aktivitas Vygotsky (1978) adalah sebagai berikut:
1. Aktivitas manusia dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, budaya, dan sejarah. Vygotsky
menekankan bahwa manusia berada dalam lingkungan yang terus berubah, dan aktivitas
manusia dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut.
2. Mediasi dan penggunaan alat atau teknologi sangat penting dalam mengatur aktivitas
manusia. Vygotsky berpendapat bahwa manusia mengembangkan alat dan teknologi
untuk membantu mereka dalam mengatasi tantangan dan mencapai tujuan.
3. Aktivitas manusia terjadi dalam konteks sosial dan budaya tertentu. Vygotsky
menekankan bahwa aktivitas manusia terjadi dalam lingkungan sosial dan budaya yang
memberikan makna dan nilai bagi aktivitas tersebut.
4. Kegiatan manusia dipandu oleh tujuan dan motivasi. Aktivitas manusia tidak hanya
ditentukan oleh faktor-faktor eksternal, tetapi juga oleh tujuan dan motivasi yang
diinternalisasi oleh individu.
5. Kegiatan manusia melibatkan proses internalisasi dan sosialisasi. Vygotsky berpendapat
bahwa manusia menginternalisasi pengetahuan, nilai, dan norma-norma sosial melalui
proses sosialisasi dan belajar dari lingkungan sosial dan budaya di sekitar mereka.
6. Aktivitas manusia dapat dikembangkan melalui kolaborasi sosial. Vygotsky menekankan
bahwa aktivitas manusia dapat ditingkatkan dan dikembangkan melalui kolaborasi sosial,
interaksi, dan pertukaran pengetahuan dengan orang lain.
7. Aktivitas manusia melibatkan proses pemecahan masalah. Vygotsky berpendapat bahwa
aktivitas manusia melibatkan proses pemecahan masalah dan berbagai strategi yang
digunakan individu untuk mencapai tujuan mereka.
Dalam keseluruhan, teori aktivitas Vygotsky mengakui pentingnya konteks sosial, budaya,
dan sejarah dalam aktivitas manusia, serta pengaruh alat atau teknologi dalam mengatur
aktivitas manusia. Teori ini dapat membantu dalam memahami dan merancang lingkungan
dan situasi yang mendukung untuk aktivitas manusia, termasuk dalam konteks pendidikan
dan interaksi manusia-komputer.
Sedangkan poin utma dari teori aktivitas menurut Leontiev (1981) yaitu sebagai
berikut:
1. Aktivitas adalah unit dasar analisis psikologis dan sosial.
2. Aktivitas melibatkan tiga aspek yang saling terkait: tujuan (goal), obyek (object), dan
tindakan (action).
3. Aktivitas adalah proses yang dinamis dan selalu berubah seiring dengan perubahan
kondisi dan konteks.
4. Aktivitas manusia selalu terjadi dalam konteks sosial dan budaya yang lebih luas.
5. Aktivitas manusia melibatkan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan dalam
rangka mencapai tujuan yang diinginkan.
6. Aktivitas manusia dapat menjadi objek pengamatan dan analisis untuk memahami
berbagai aspek kognitif, emosional, dan sosial dari perilaku manusia.
7. Aktivitas manusia dapat dianalisis melalui pendekatan interdisipliner yang melibatkan
psikologi, sosiologi, dan antropologi.
Leontiev, menganggap bahwa sebagai elemen dasar yang mengatur perilaku
manusia dan hubungan sosialnya aktivitas dipandang sebagai fenomena yang kompleks dan
terstruktur secara hierarkis, dan dapat dianalisis melalui berbagai level analisis yang berbeda,
mulai dari tindakan individu hingga praktik sosial yang lebih luas.
Selain Vigotsky dan Leontiev, Yrjö Engeström (1987) mengungkapkan bahwa poin
utama dari teori aktivitas adalah sebagai berikut:
1. Aktivitas dianggap sebagai unit analisis dasar yang melibatkan interaksi manusia dengan
lingkungan dan mediasi sosial.
2. Aktivitas terdiri dari tiga aspek yang saling terkait, yaitu subyek, objek, dan alat.
3. Aktivitas tidak hanya melibatkan interaksi individu dengan lingkungan tetapi juga
melibatkan interaksi antara individu dan kelompok sosial yang lebih luas.
4. Aktivitas dipandang sebagai proses dinamis dan kompleks yang selalu berubah seiring
dengan perubahan kondisi dan konteks.
5. Teori aktivitas Engeström menekankan pentingnya analisis praktik sosial dalam
memahami aktivitas manusia.
6. Model "learning by expanding" dikembangkan berdasarkan teori aktivitas dan
menekankan pentingnya pembelajaran yang berbasis praktik dalam memperluas
pemahaman dan kompetensi individu.
7. Teori aktivitas Engeström dapat digunakan dalam pengembangan desain interaksi
manusia-komputer yang berfokus pada penggunaan teknologi dalam konteks sosial dan
praktik yang lebih luas.
Menurut Engeström (1987), aktivitas dipandang sebagai fenomena sosial dan budaya
yang kompleks dan melibatkan interaksi antara individu dan lingkungannya. Model "learning
by expanding" yang dikembangkan oleh Engeström menekankan pentingnya pengembangan
kompetensi individu melalui pembelajaran yang berbasis praktik dan berorientasi pada
pemecahan masalah dalam konteks sosial yang lebih luas. Teori aktivitas Engeström juga
dapat digunakan dalam pengembangan desain interaksi manusia-komputer yang berfokus
pada penggunaan teknologi dalam konteks sosial dan budaya yang lebih luas.
CONNECTIVISM
DISTRIBUTED COGNITION
Distributed Cognition Theory adalah teori yang mengusulkan bahwa kognisi atau
proses berpikir tidak terbatas pada otak individu saja, tetapi tersebar atau didistribusikan di
seluruh sistem yang terlibat dalam aktivitas kognitif. Sistem yang terlibat dapat mencakup
individu, objek fisik, dan lingkungan sosial. Dalam hal ini, kognisi tidak dipandang sebagai
proses mental yang terlokalisasi dalam otak, tetapi sebagai produk dari interaksi antara
individu, objek, dan lingkungan sosial yang membentuk sistem kognitif yang lebih besar.
Teori Distributed Cognition dikembangkan oleh sejumlah tokoh, termasuk Edwin
Hutchins, James Hollan, David Kirsh, dan lain-lain. Namun, Edwin Hutchins dianggap
sebagai tokoh utama dalam pengembangan teori ini, terutama melalui bukunya yang berjudul
"Cognition in the Wild". Hutchins (1995) menggambarkan bahwa kognisi tidak terbatas
hanya pada otak individu, tetapi juga didistribusikan di antara individu, objek fisik, dan
lingkungan sosial. Hutchins mengajukan konsep "sistem kognitif yang terdistribusi" untuk
menjelaskan bagaimana kognisi didistribusikan dalam lingkungan sosial dan fisik. Menurut
Hutchins (1995), sistem kognitif yang terdistribusi terdiri dari beberapa elemen yang saling
terkait, seperti manusia, objek fisik, dan lingkungan sosial. Dalam sistem ini, individu
menghasilkan kognisi dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia di sekitarnya.
Contohnya, seorang pilot pesawat terbang menghasilkan kognisi dengan memanfaatkan
informasi dari instrumen pesawat, rekan kerja, dan sumber daya lain yang tersedia di
lingkungan kerjanya.
Hutchins (1995) juga menekankan pentingnya koordinasi antara elemen-elemen
yang berbeda dalam sistem kognitif yang terdistribusi. Ia mengatakan bahwa koordinasi ini
terjadi melalui aktivitas-aktivitas sosial seperti percakapan, gestur, dan tindakan. Melalui
aktivitas ini, individu dapat berinteraksi dengan objek fisik dan lingkungan sosial,
memperoleh informasi, dan menghasilkan kognisi.
Teori ini menekankan bahwa pengambilan keputusan, pemecahan masalah, dan
kognisi lainnya terjadi dalam konteks yang lebih luas dari sistem sosial dan lingkungan fisik
yang membentuk konteks. Oleh karena itu, untuk memahami kognisi secara menyeluruh, kita
harus mempertimbangkan interaksi antara individu, objek, dan lingkungan sosial yang terlibat
dalam aktivitas kognitif. Konsep ini telah diterapkan dalam banyak bidang, termasuk
teknologi informasi, desain produk, psikologi, dan pendidikan, untuk meningkatkan
efektivitas dan efisiensi interaksi manusia dengan sistem yang ada.
Prinsip utama dari distributed cognition theory yaitu :
1. Coordinates internal and external structure atau koordinasi struktur internal dan eksternal:
Prinsip ini menekankan bahwa kognisi tidak hanya terjadi di dalam otak individu,
tetapi juga didistribusikan dalam objek fisik dan lingkungan sosial yang ada di sekitarnya.
Dalam sistem kognitif yang terdistribusi ini, individu memperoleh informasi dari objek
fisik dan lingkungan sosial, mengolah informasi tersebut dalam otak mereka, dan
bertindak sesuai dengan informasi yang telah diproses.
2. Proccesses may be distributed overtime atau proses dapat didistribusikan dari waktu ke
waktu:
Prinsip ini menyatakan bahwa proses kognitif yang terdistribusi tidak terjadi dalam
satu waktu atau satu tempat saja, tetapi dapat didistribusikan dari waktu ke waktu.
Misalnya, individu dapat memproses informasi pada satu waktu, dan kemudian
mengambil tindakan yang sesuai pada waktu yang berbeda.
3. Learning/cognition may be distributed across individuals/artifacts atau
pembelajaran/kognisi dapat didistribusikan di antara individu/artefak:
Prinsip ini menekankan bahwa pembelajaran dan kognisi tidak hanya terjadi pada satu
individu saja, tetapi dapat didistribusikan di antara beberapa individu atau bahkan objek
fisik. Dalam situasi seperti ini, individu dapat memanfaatkan sumber daya yang tersedia di
lingkungan sosial dan objek fisik untuk memperoleh pengetahuan dan informasi yang
lebih lengkap dan akurat.
4. Goals are system oriented and may be abstract atau tujuan sistem-oriented dan dapat
menjadi abstrak:
Prinsip ini mengatakan bahwa tujuan-tujuan dalam sistem kognitif yang terdistribusi
tidak hanya terkait dengan individu saja, tetapi juga terkait dengan tujuan sistem secara
keseluruhan. Tujuan-tujuan ini juga dapat menjadi abstrak dan tidak terbatas pada situasi
yang spesifik. Misalnya, tujuan sistem dalam situasi tertentu mungkin hanya untuk
menghasilkan solusi yang tepat, tanpa harus memperhatikan situasi yang spesifik tersebut.
Dalam keseluruhan, prinsip-prinsip dari Distributed Cognition Theory menekankan
bahwa kognisi dan pembelajaran adalah hasil interaksi antara individu, objek fisik, dan
lingkungan sosial, dan dapat didistribusikan secara dinamis dalam sistem kognitif yang lebih
besar.
Selain itu distributed cognition theory juga memiliki beberapa prinsip dasar
berdasarkan cara sistem kognitif bekerja dan berinteraksi. prinsip tersebut adalah:
1. Kognisi terdistribusi: Prinsip ini menyatakan bahwa kognisi terjadi tidak hanya di dalam
otak individu, tetapi juga melibatkan objek fisik dan lingkungan sosial. Artinya, kognisi
merupakan produk dari interaksi antara individu, objek, dan lingkungan sosial yang
membentuk sistem kognitif yang lebih besar.
2. Struktur sistem kognitif: Prinsip ini menyatakan bahwa sistem kognitif terdiri dari bagian-
bagian yang terorganisir secara hierarkis dan saling berhubungan. Bagian-bagian tersebut
meliputi individu, objek, dan lingkungan sosial yang terlibat dalam aktivitas kognitif.
3. Rekonfigurasi sistem kognitif: Prinsip ini menyatakan bahwa sistem kognitif dapat
direkonfigurasi atau diubah melalui interaksi antara individu, objek, dan lingkungan
sosial yang terlibat dalam aktivitas kognitif. Rekonfigurasi sistem kognitif ini dapat
terjadi melalui pembelajaran dan adaptasi.
4. Aktivitas kognitif didasarkan pada konteks: Prinsip ini menyatakan bahwa aktivitas
kognitif selalu terjadi dalam konteks yang lebih luas dari sistem sosial dan lingkungan
fisik yang membentuk konteks. Konteks ini memengaruhi cara individu berpikir dan
berinteraksi dengan objek dan lingkungan sosial.
Distributed Cognition Theory menekankan pentingnya kerja sama tim dalam
pemecahan masalah (emphasizes team collaboration to solve problem). Dalam teori ini,
pemecahan masalah dianggap sebagai aktivitas yang dilakukan oleh seluruh sistem kognitif
yang terdiri dari individu, objek, dan lingkungan sosial. Selain itu, tim dianggap sebagai unit
kognitif yang terdiri dari beberapa individu yang bekerja sama untuk mencapai tujuan
bersama. Dalam konteks pemecahan masalah, tim yang efektif adalah yang dapat bekerja
secara sinergis, menggunakan keahlian individu dan sumber daya yang tersedia untuk
mencapai tujuan secara efisien dan efektif.
Penekanan pada kerja sama tim dalam pemecahan masalah didasarkan pada
keyakinan bahwa individu tidak selalu mampu menyelesaikan masalah secara efektif dalam
isolasi. Sebaliknya, bekerja dengan tim dapat memperluas kapasitas kognitif dan
memungkinkan individu untuk saling belajar dan saling melengkapi. Kerja sama tim juga
dianggap sebagai cara untuk memperluas sumber daya yang tersedia untuk memecahkan
masalah. Tim dapat menggabungkan keahlian, pengetahuan, dan pengalaman individu untuk
mencapai tujuan yang lebih besar daripada yang dapat dicapai oleh individu secara terpisah.
Dalam praktiknya, konsep emphasizes team collaboration to solve problem dalam distributed
cognition theory dapat diterapkan dalam berbagai bidang, seperti dalam bisnis, teknologi,
pendidikan, dan ilmu pengetahuan. Hal ini dapat membantu meningkatkan kinerja dan hasil,
serta mempromosikan budaya kerja yang kolaboratif dan inklusif.
Assesses artifacts and patterns juga merupakan konsep penting dalam distributed
cognition theory yang menekankan pentingnya mempertimbangkan peran objek fisik atau
artefak dalam aktivitas kognitif manusia. Artifacts atau artefak dapat mencakup segala
macam objek fisik yang digunakan oleh individu dalam aktivitas kognitif mereka, seperti
buku, komputer, alat tulis, dan sebagainya. Teori ini menganggap artefak sebagai bagian dari
sistem kognitif yang membentuk interaksi antara individu, objek, dan lingkungan sosial.
Pentingnya memperhatikan artefak dalam aktivitas kognitif manusia terletak pada
kemampuannya untuk menyediakan dukungan atau bantuan dalam pemecahan masalah dan
pengambilan keputusan. Artefak dapat membantu memperluas kapasitas kognitif individu,
membantu mengingat informasi, dan meningkatkan kemampuan individu untuk
berkomunikasi dengan lingkungan sosial.
Selain artefak, konsep "patterns" juga penting dalam teori ini. Patterns merujuk
pada aturan atau prinsip yang mengatur interaksi antara individu, objek, dan lingkungan
sosial dalam aktivitas kognitif. Contohnya, cara individu berinteraksi dengan buku saat
membaca, atau bagaimana mereka berkomunikasi dengan orang lain saat bekerja dalam
sebuah tim. Mempertimbangkan artefak dan pola dalam aktivitas kognitif manusia penting
untuk merancang teknologi dan sistem yang lebih efektif dan efisien, serta untuk memahami
bagaimana individu berinteraksi dengan objek dan lingkungan sosial dalam aktivitas kognitif
mereka. Hal ini dapat membantu meningkatkan kinerja dan hasil dalam berbagai bidang,
termasuk pendidikan, bisnis, dan teknologi.
BEHAVIORISM
Watson, J. B. (1913). Psychology as the behaviorist views it. Psychological Review, 20(2),
158-177.
Lefrancois, G. R. (2018). Theories of human learning: What the old man said (6th ed.).
Wadsworth.
KONSTRUKTIVISME
Piaget, J. (1973). To understand is to invent: The future of education. New York: Grossman
Publishers.
Bruner, J. S. (1961). The act of discovery. Harvard Educational Review, 31(1), 21-32.
SITUATED COGNITIF
Lave, J. (1988). Cognition in Practice: Mind, Mathematics, and Culture in Everyday Life.
Cambridge University Press.
Lave, J., & Wenger, E. (1991). Situated Learning: Legitimate Peripheral Participation.
Cambridge University Press.
Lave, J. (1996). Teaching, as Learning, in Practice. Mind, Culture, and Activity, 3(3), 149-
164.
Lave, J. (1993). The Practice of Learning. In S. Chaiklin & J. Lave (Eds.), Understanding
Practice: Perspectives on Activity and Context (pp. 3-32). Cambridge University Press.
Kaptelinin, V., & Nardi, B. (2006). Acting with technology: Activity theory and interaction
design. MIT Press.
Yoon, S. A., Anderson, E., Koehler-Yom, J., Klopfer, E., & Sheldon, J. (2013). Using
activity theory to study the systemic tensions characterizing a technology-rich
introductory astronomy course. Mind, Culture, and Activity, 20(1), 38-56.
CONNECTIVISM
Siemens, G. (2004). Connectivism: A Learning Theory for the Digital Age. International
Journal of Instructional Technology and Distance Learning, 2(1), 3-10.
Siemens, G., & Downes, S. (2008). Connectivism and Connective Knowledge: Essays on
meaning and learning networks. National Research Council Canada.
Kop, R., & Hill, A. (2008). Connectivism: Learning theory of the future or vestige of the
past? The International Review of Research in Open and Distributed Learning, 9(3).
Dron, J., & Anderson, T. (2014). Teaching Crowds: Learning and Social Media. Athabasca
University Press.
DISTRIBUTED COGNITION
Hollan, J., Hutchins, E., & Kirsh, D. (2000). Distributed cognition: Toward a new foundation
for human-computer interaction research. ACM Transactions on Computer-Human
Interaction (TOCHI), 7(2), 174-196.
Zhang, J., & Norman, D. A. (1994). Representations in distributed cognitive tasks. Cognitive
Science, 18(1), 87-122.
Hutchins, E. (1991). The social organization of distributed cognition. Proceedings of the 1991
ACM Conference on Computer-supported Cooperative Work, 1-10.
Vaesen, K. (2012). Distributed cognition and the task of science. Studies in History and
Philosophy of Science Part A, 43(1), 185-190.
Clark, A. (2008). Supersizing the mind: Embodiment, action, and cognitive extension.
Oxford University Press.
Resnick, L. B., Levine, J. M., & Teasley, S. D. (Eds.). (1991). Perspectives on socially shared
cognition. American Psychological Association.
Norman, D. A. (1993). Things that make us smart: Defending human attributes in the age of
the machine. Addison-Wesley.
Kirsh, D., & Maglio, P. (1994). On distinguishing epistemic from pragmatic action.
Cognitive Science, 18(4), 513-549.