Anda di halaman 1dari 10

TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK

A. Konsep Dasar Teori Belajar Behavioristik Menurut Para Tokoh


Menurut teori behavioristik, belajar adalah suatu perubahan tingkah laku yang
dapat diamati secara langsung, yang terjadi melalui hubungan stimulus-stimulus dan
respon-respon menurut prinsip-prinsip mekanistik. Para penganut teori ini berpendapat
bahwa sudah cukup bagi siswa untuk mengasosiasikan stimulus-stimulus dan respon-
respon yang diberi reinforcement apabila ia memberikan respon yang benar.
Mereka tidak mempersoalkan apa yang terjadi dalam pikiran siswa sebelum dan
sesudah respon dibuat. Behavioris berkeyakinan bahwa setiap anak manusia lahir tanpa
warisan kecerdasan, warisan bakat, warisan perasaan dan warisan yang bersifat abstrak
lainnya dan menganggap manusia bersifat mekanistik, yaitu merespon terhadap
lingkungan dengan kontrol yang terbatas dan mempunyai peran yang sedikit terhadap
dirinya sendiri. Dalam hal ini konsep behavioristik memandang bahwa perilaku individu
merupakan hasil belajar yang dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasikan
kondisi-kondisi belajar dan didukung dengan berbagai penguatan (reinforcement) untuk
mempertahankan perilaku atau hasil belajar yang dikehendaki.
Semuanya itu timbul setelah manusia mengalami kontak dengan alam dan
lingkungan sosial budayanya dalam proses pendidikan. Maka individu akan menjadi
pintar, terampil, dan mempunyai sifat abstrak lainnya tergantung pada apakah dan
bagaimana ia belajar dengan lingkungannya. Dalam hal ini Sumadi Suryabrata (1990)
memberikan ciri-ciri teori behavioristik sebagai berikut:
a. Perkembangan tingkah laku seseorang itu tergantung pada belajar.
b. Mementingkan bagian-bagian atau elemen-elemen, tidak keseluruhan.
c. Mementingkan reaksi dan mekanisme “Bond”, refleks dan kebiasaan-kebiasaan.
Konsep behavioristik memandang bahwa perilaku individu merupakan hasil
belajar yang dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasikan kondisi-kondisi
belajar dan didukung dengan berbagai penguatan (reinforcement) untuk
mempertahankan perilaku atau hasil belajar yang dikehendaki.
Stimulus yang dimaksud tidak lain adalah lingkungan belajar anak, baik internal
maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar. Respon muncul sebagai akibat atau
dampak, berupa reaksi fisik terhadap stimulus. Belajar berarti penguatan ikatan,
asosiasi, sifat dan kecenderungan perilaku S-R (Stimulus – Respon).
Adapun teori belajar behavioristik memiliki ciri-ciri spesifik, yaitu :
1. Mementingkan faktor lingkungan.
2. Perkembangan tingkah laku seseorang itu tergantung pada belajar.
3. Menekankan pada tingkah laku tampak dengan mempergunakan metode obyektif.
4. Menekankan pada faktor bagian (elemen – elemen dan tidak keseluruhan).
5. Sifatnya mekanis dan mementingkan reaksi dan mekanisme “Bond” refleks dan
kebiasaan-kebiasaan.
6. Mementingkan masa lalu atau pertinjauan historis, artinya sebagai tingkah
lakunya terbentuk karena pengalaman dan latihan.
Para ahli yang banyak berkarya dalam teori ini adalah Pavlov, Thorndike, Watson,
Skinner, Hull dan Guthrie. Pavlov, Thorndike, dan Watson merupakan pencetus teori –
teori dasar dari aliran behaviouristik yang menjadi tonggak sejarah aliran behavioristik
dalam teori belajar. Teori – teori ini kemudian dikembangkan atau dimodifikasi oleh
para ahli khususnya Skinner, Hull, dan Guthrie menjadi beragam teori-teori baru yang
kemudian disebut aliran perilaku baru (Neo-Behavioristik). Adapun teori menurut para
ahli sebagai berikut :
1. Teori belajar menurut Pavlop (Classical Conditioning)
Classical Conditioning (pengkodisian atau persyaratan klasik) adalah teori yang
ditemukan Ivan Pavlov melalui percobaannya terhadap anjing, dimana perangsang
asli dan netral dipasang dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang, sehingga
memunculkan reaksi yang di inginkan.
Prosedur conditioning Pavlop disebut klasik, karena merupakan penemuan
bersejarah dalam bidang psikologi. Secara kebetulan conditioning refleks ditemukan
Pavlov pada waktu ia sedang mempelajari fungsi perut dan mengukur cairan yang
dikeluarkan dari perut, ketika anjing sebagai binatang percobaan yang sedang makan.
Ia mengamati bahwam air liur keluar tidak hanya pada waktu anjing sedang makan,
tetapi juga ketika melihat makanan. Jadi melihat makanan saja sudah cukup untuk
menimbulkan air liur. Gejala ini disebut “psychic” refleks.
Untuk memahami eksperimen Pavlop, perlu terlebih dahulu difahami beberapa
pengertian pokok yang biasa digunakan dalam teori Pavlop sebagai unsur dalam
eksperimennya, yaitu :
a. US (Unconditioned Stimulus) = perangsang tak bersyarat (perangsang alami) atau
perangsang wajar, yaitu perangsang yang memang secara alami, seara wajar dapat
menimbulkan respon pada organism, misalnya: makanan yang dapat
menimbulkan air liur.
b. CS (Conditioned Stimulus) = perangsang bersyarat (perangsang tidak wajar) atau
perangsang tidak alami yaitu perangsang yang secara alami, tidak menimbulkan
respon, misalnya : bunyi bel, melihat piring, melangkah orang yang biasa
memberi makan.
c. UR (Unconditioned Response) = respon tidak bersyarat (respon alami) atau
respon wajar yaitu, respon yang ditimbulkan oleh perangsang tak bersyarat.
d. CR (conditioned response) = respon bersyarat (respon tak wajar) yaitu, respon
yang ditimbulkan oleh perangsang bersyarat.
2. Teori belajar menurut Thorndike
Menurut Thorndike (1911), salah seorang pendiri aliran tingkah laku, teori
behavioristik dikaitkan dengan belajar adalah proses interaksi antara stimulus (yang
berupa pikiran, perasaan, atau gerakan) dan respons (yang juga berupa pikiran,
perasaan, dan gerakan). Jelasnya menurut Thorndike, perubahan tingkah laku boleh
berwujud sesuatu yang konkret (dapat diamati), atau yang non-konkret (tidak bisa
diamati).
Meskipun Thorndike tidak menjelaskan bagaimana cara mengukur berbagai
tingkah laku yang non-konkret (pengukuran adalah satu hal yang menjadi obsesi
semua penganut aliran tingkah laku), tetapi teori Thorndike telah memberikan
inspirasi kepada pakar lain yang datang sesudahnya. Teori Thorndike disebut sebagai
aliran koneksionisme (connectionism).
Prosedur eksperimennya ialah membuat setiap binatang lepas dari kurungannya
sampai ketempat makanan. Dalam hal ini apabila binatang terkurung maka binatang
itu sering melakukan bermacam-macam kelakuan, seperti menggigit, menggosokkan
badannya ke sisi-sisi kotak, dan cepat atau lambat binatang itu tersandung pada palang
sehingga kotak terbuka dan binatang itu akan lepas ke tempat makanan.
Thorndike kemudian menyimpulkan bahwa bentuk paling dasar dari belajar
adalah trial and error learning atau selecting and connecting learning dan
berlangsung menurut hukum-hukum tertentu. Oleh karena itu, teori belajar yang
dikemukakan oleh thorndike ini disebut dengan teori belajar koneksionisme atau teori
asosiasi. Atas dasar tersebut, thorndike melalukan percobaan dengan kucing,
Thorndike mengemukakan ciri-ciri brlajar dengan metode trial and error, yaitu (1)
ada motif pendorong aktivitas, (2) ada berbagai respon terhadap sistuasi, (3) ada
asimilasi respom-respon yang gagal atau salah, dan (4) ada kemajuan reaksi-reaksi
untuk menapai tujuan itu.
Eksperimen kucing lapar yang yang dilakukan Thorndike telah menghasilkan
hukum-hukum belajar diantaranya:
1. Law of effect
Artinya bahwa jika sebuah respon menghasilkan efek yang memuaskan, maka
hubungan stimulus-respon akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak
memuaskan efek yang dicapai respon, maka semakin lemah pula hubungan yang
terjadi antara stimulus-respon.
2. Law of Readiness
Artinya bahwa kesiapan mengau pada asumsi bahwa kepuasan organisme
berasal dari pendayagunaan satuan pengantar, dimana unit-unit ini menimbulkan
keendrungan yang mendorong organism untuk membuat atau tidak berbuat
sesuatu.
3. Law of Exercise
Artinya bahwa hubungan antara stimulus dengan respon akan semakin
bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apanila jarang atau
tidak dilatih.
3. Teori belajar menurut Skinner
Menurut Skinner, deskripsi antara stimulus dan respons untuk menjelaskan
parubahan tingkah laku (dalam hubungannya dengan lingkungan) menurut versi
Watson tersebut adalah deskripsi yang tidak lengkap. Respons yang diberikan oleh
siswa tidaklah sesederhana itu, sebab pada dasarnya setiap stimulus yang diberikan
berinteraksi satu dengan lainnya, dan interaksi ini akhirnya mempengaruhi respons
yang dihasilkan. Sedangkan respons yang diberikan juga menghasilkan berbagai
konsekuensi, yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkah laku siswa.
Oleh karena itu, untuk memahami tingkah laku siswa secara tuntas, diperlukan
pemahaman terhadap respons itu sendiri, dan berbagai konsekuensi yang
diakibatkan oleh respons tersebut (lihat bel-Gredler, 1986). Skinner juga
memperjelaskan tingkah laku hanya akan membuat segala sesuatunya menjadi
bertambah rumit, sebab alat itu akhirnya juga harus dijelaskan lagi. Misalnya,
apabila dikatakan bahwa seorang siswa berprestasi buruk sebab siswa ini mengalami
frustasi akan menuntut perlu dijelaskan apa itu frustasi. Penjelasan tentang frustasi
ini besar kemungkinan akan memerlukan penjelasan lain. Begitu seterusnya.
4. Teori belajar menurut Watson
Watson berpendapat bahwa belajar merupakan proses terjadinya refleks-refleks
atau respon-respon bersyarat melalui stimulus pengganti. Menurutnya, manusia
dilahirkan dengan beberapa refleks dan reaksi-reaksi emosional berupa takut, cinta
dan marah. Semua tingkah laku lainnya terbentuk oleh hubungan-hubungan
stimulus respon baru melalui “conditioning”. Jadi, menurut Watson belajar
dipandang sebagai cara menanamkan sejumlah ikatan antara perangsang dan reaksi
(asosiasi-asosiasi tunggal) dalam sistem susunan saraf.
Watson merumuskan prinsip dasar sehingga kita dapat mempelajari perilaku
saja, bukan keadaan-keadaan mental atau proses pikiran. Adapun beberapa
pandangan utama Watson yang banyak menjadi rujukan dan bahan kajian sampai
saat ini terutama dalam bidang psikologi dan termasuk juga pendidikan
(belajar/pembelajaran) anatara lain:
1. Psikologi mempelajari stimulus dan respon (S-R Psyhology). Stimulus adalah
semua objek dilingkungan, termasuk juga perubahan jaringan dalam tubuh.
Respon adalah apapun yang dilakukan sebagai jawaban terhadap stimulus, mulai
dari tingkat sederhana hingga tingkat tinggi, juga termasuk pengeluaran.
2. Watson tidak mempercayai unsur herediter (keturunan) sebagai penentu perilaku.
Perilaku manusia adalah hasil belajar sehingga unsur lingkungan sangat penting.
Dengan demikian pandangan Watson bersifat determinestik, perilaku manusia
ditentukan oleh faktor eksternal, bukan berdasarkan free will.
3. Dalam kerangka mind-body, pandangan Watson hanya sederhana saja. Baginya,
mind mungkin saja ada, tetapi bukan sesuatu yang dipelajari ataupun akan
dijelaskan melalui pendekatan ilmiah. Jadi, bukan berarti bahwa Watson menolak
mind secara total. Ia hanya mengetahui body sebagai objek studi ilmiah.
Sumbangan utama Watson adalah ketegasan pendapatnya bahwa perilaku dapat
dikontrol dan ada hukum yang mengaturnya. Jadi psikologi adalah ilmu yag bertujuan
meramalkan perilaku. Peran Watson dalam bidang pendidikan juga cukup penting. Ia
menekaknkan pentingnya pendidikan dalam perkembangan tingkah laku. Ia percaya
bahwa dengan memebrikan kondisioning tertentu dalam proses pendidikan, maka
akan dapat membuat seseorang anak mempunyai sifat-sifat tertentu.

B. Penerapan Teori Belajar Behavioristik dalam Pembelajaran


Adapun penerapan teori belajar Behavioristik dalam pembelajaran berdasarkan
teorinya adalah sebagai berikut;
1. Menentukan tujuan dan indikator pembelajaran.
2. Menganalisis lingkungan belajar dan mengidentifikasi pengetahuan awal peserta
didik.
3. Menentukan materi pembelajaran.
4. Menguraikan materi pembelajaran menjadi bagian-bagian, meliputi topik, pokok
bahasan, sub-pokok bahasan dan seterusnya.
5. Menyajikan pembelajaran.
6. Memberi stimulus kepada peseta didik.
7. Mengamati dan mengkaji respons yang diberikan peserta didik.
8. Memberikan penguatan baik yang positif maupun negatif.
9. Memberi stimulasi ulang.
10. Mengamati dan mengkaji respons dari peserta didik.
11. Memberi penguatan.
12. Mengevaluasi hasil belajar peserta didik

C. Peranan konsekuensi
Sesuai dengan teori ini, guru dapat menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang
sudah siap sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara
utuh oleh guru. Guru tidak banyak memberikan ceramah, tetapi intruksi singkat yang
diikuti contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi. Bahan pelajaran
disusun secara hirarki dari yang sederhana sampai pada yang kompleks. Tujuan
pembelajaran dibagi dalam bagian-bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu
ketrampilan tertentu. Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan
diamati. Kesalahan harus segera diperbaiki. Pengulangan dan latihan digunakan supaya
perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan.
Kelebihan:
Dalam teknik pembelajaran yang merujuk ke teori behavioristik terdapat beberapa
kelebihan di antaranya :
1) Membiasakan guru untuk bersikap jeli dan peka pada situasi dan kondisi belajar.
2) Metode behavioristik ini sangat cocok untuk memperoleh kemampuan yang
menbutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti:
kecepatan, spontanitas, kelenturan, refleksi, daya tahan, dan sebagainya.
3) Guru tidak banyak memberikan ceramah sehingga murid dibiasakan belajar
mandiri. Jika menemukan kesulitan baru ditanyakan kepada guru yang
bersangkutan.
4) Teori ini cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan
dominansi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka
meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi
permen atau pujian

Kekurangan :
1. Memandang belajar merupakan asosiasi belaka antara stimulus dan respon.
2. Mengabaikan pengertian belajar sebagai unsure pokok.
3. Proses belajar berlangsung secara teori. Selain teorinya, beberapa kekurangan
perlu dicermati guru dalam menentukan teknik pembelajaran yang mengacu ke
teori ini, antara lain:
a. Sebuah konsekuensi bagi guru, untuk menyusun bahan pelajaran dalam bentuk
yang sudah siap.
b. Tidak setiap mata pelajaran bisa menggunakan metode ini.
c. Penerapan teori behavioristik yang salah dalam suatu situasi pembelajaran juga
mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang sangat tidak
menyenangkan bagi siswa yaitu guru sebagai sentral, bersikap otoriter,
komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih dan menentukan apa yang
harus dipelajari murid.
e. Murid berperan sebagai pendengar dalam proses pembelajaran dan
menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang
efektif.
e. Penggunaan hukuman yang sangat dihindari oleh para tokoh behavioristik justru
dianggap metode yang paling efektif untuk menertibkan siswa.
f. Murid dipandang pasif, perlu motivasi dari luar dan sangat dipengaruhi oleh
penguatan yang diberikan guru.

D. Cara Pemberian Konsekuensi


Hasil pembelajaran dapat diukur dan diamati, kesalahan dapat diperbaiki agar
perilaku yang diharapkan atau diinginkan dapat tercapai.Metode ini sangat cocok untuk
yang membutuhkan praktek. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak
yang masih membutuhkan peran orang tua.
Pada teori ini guru lebih menekankan pada tujuan pembelajaran yang lebih pada
hasil tanpa mengutamakan prosesnya sehingga siswa hanya diberi teori latihan
berulang-ulang tanpa tau prosesnya siswa itu bisa atau tidak.
Dari pengertian dan penjelasan diatas, Teori ini memunculkan beberapa
permasalahan:
1. Teori ini tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat, dan perasaan
individu dalam belajar.
2. Teori ini menyimpulkan bahwa peristiwa belajar semata-mata melatih
refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai
individu.
3. Peserta didik dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas yang ditetapkan
terlebih dahulu secara ketat.
4. Pembiasaan (disiplin) sangat esensial.
5. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam merubah pengetahuan dikategorikan
sebagai ‘kesalahan dan harus dihukum’.
6. Keberhasilan atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang
pantas dipuji dan diberi hadiah.
DAFTAR PUSTAKA
Haryanto, Budi. 2004. Psikologi Pendidikan dan pengenalan Teori-teori Belajar.
Sidoarjo: Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.
Husamah, dkk. 2018. Belajar dan Pembelajaran. Malang: Universitas Muhammadiyah
Malang.
Islamuddin, Haryu. 2014. Psikologi Pendidikan. Jember: STAIN Jember Press.
Rusulli, Izzatur. 2014. REFLEKSI TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK DALAM
PERSPEKTIF ISLAM. STAIN Gajah Putih Takengon Aceh Tengah. Jurnal
Pencerahan. Vol, 8. No. 1, Juli - Desember Hlm 38-54.

Anda mungkin juga menyukai