Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peradaban Islam pada saat ini sangat lah menarik untuk dikaji dari berbagai segi.
Salah satu hal yang menarik untuk dikaji adalah segala bentuk pemikiran yang berkembang
dalam khazanah perkembangan keilmuan Islam. Bentuk pemikiran yang ada di dunia ini
sangat lah banyak dan perkembangan pemikiran ini terjadi pertama kali di dunia barat, seiring
perkembangan keilmuan barat, perkembangan keilmuan Islam juga mengalami
perkembangan. Pemikiran Islam, walaupun dalam perkembangan pertamanya bersentuhan
dengan keilmuan barat, tetapi bentuk pemikiran Islam tidak lah sama dengan barat. Bahkan
perkembangan keilmuannya bisa dikatakan melebihi pemikiran barat.

Salah satu bagian dari pemikiran Islam adalah fisafat, dalam perkembangannya
filsafat Islam membahas segala macam aspek kehidupan yang berada dialam ini. Sejak
dahulu, sebenarnya manusia telah mengenal bentuk filsafat pemikiran, salah satu nya adalah
pembahasan tentang epistemologi. Epistemologi bisa dikatakan sebagai cara manusia untuk
memperoleh pengetahuan. Islam mempunyai bentuk epistemologi yang sangat menarik untuk
dikaji dan dipelajari yang tentunya berbeda dengan bentuk epistemologi dalam dunia barat.

B. Rumusan Masalah

a. Bagaimana pengertian, alat, sumber dan pandangan Al-Qur’an terhadap epistemologi?


b. Bagaimana pendekatan epistemologi bayani?
c. Bagaimana pendekatan epistemologi burhani?
d. Bagaimana pendekatan epistemologi irfani?

C. Tujuan

a. Pembaca dapat mengetahui pengertian, alat, sumber, dan pandangan Al Quran


terhadap epistemologi.
b. Pembaca dapat mengetahui tentang pendekatan epistemologi bayani.
c. Pembaca dapat mengetahui tentang pendekatan epistemologi burhani.
d. Pembaca dapat mengetahui tentang pendekatan epistemologi irfani.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Epistemologi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata epistemologi memiliki arti
cabang ilmu filsafat tentang dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan. Sedangkan secara
etimologi, epistemologi berasal dari dari kata Yunani yakni episteme dan logos. Episteme
berarti pengetahuan dan logos berarti teori. Sehingga menurut bahasa, epistimologi adalah
teori pengetahuan. Menurut Louis Kattsoff, epistemologi ataupun teori pengetahuan adalah
cabang filsafat yang meniliti asal mula, metode, susunan-susunan, dan sahnya sebuah
pengetahuan.

Sebagai cabang ilmu fisafat, epistemologi bermaksud mengkaji dan mencoba


mnemukan ciri-ciri umum dan hakikidari pengetahuan manusia. Bagaimana pengetahuan itu
pada dasarnya diperoleh dan diuji kebenarannya? Manakah ruang lingkup atau batas-batas
kemampuan manusia untuk mengetahui? Epistemologi juga bermaksud secara kritis
mengkaji pengandaian-pengandaian dan syarat-syarat logis yang mendasari
dimungkinkasnnya pengetahuan serta mencoba memberi pertanggung jawaban rasional
terhadap klaim kebenaran dan objektivitasnya.1

Epistimologi adalah suatu disiplin ilmu yang bersifat evaluatif, normatif, dan kritis.
Evaluatif bersifat menilai, ia menilai apakah suatu keyakinan, sikap, pernyataan pendapat,
teori pengetahuan dapat dibenarkan, dijamin kebenarannya, atau memiliki dasar yang dapat
dipertanggung jawabkan secara nalar. Normatif berarti menentukan norma atau tolok ukur,
dan dalam hal ini tolok ukur kenalaran bagi kebenaran pengetahuan. Sedangkan kritis berarti
banyak mempertanyakan dan menguji kenalaran cara maupun hasil kegiatan manusia
mengetahui. 2

Pada masa sekarang ini masalah epistemologi merupakan suatu masalah yang amat
penting, sedangkan pada masa yang lalu mereka tidak begitu merasakan pentingnya masalah
ini, sebagaimana yang dirasakan oleh mereka yang hidup pada masa sekarang ini. Tetapi
masalah epistemologi adalah suatu masalah yang telah ada sejka dahulu kala, kurang lebih
sejak dua ribu tahun yang lalu. 3

B. Epistemologi Menurut Al-Qur’an

Epistemologi filsafat Islam adalah metode dan cara yang digunakan untuk menangkap
pengetahuan ilmiah tentang nilai-nilai filosofis hukum Islam. 4Al quran secara tegas mengajak
anak keturunan Adam as pada epistemologi. Dalam al quran terdapat berbagai perintah dan
anjuran untuk memperhatikan, melihat dan merenungkan. Dalam al quran terdapat berbagai

1
J. Sudarminta, Epistemologi Dasar, Kanisius,Yogyakarta, 2002, hlm. 18
2
Ibid, hlm. 19
3
Murthadha Muthahhari, Mengenal Epistimologi, Lentera, Jakarta,2001 , hlm. 22
4
Prof. Dr. Khoiruddin Nasution, M.A, Pengantar Studi Islam, ACADEMIA+TAZZAFA, Yogyakarta, 2012, hlm. 46

2
ungkapan semacam ini, “Katakanlah: Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi.”
(QS. Yunus: 101).5

Al Quran tidak mengakui pelarangan penggalian epistemologi, tetapi bahkan


mendukung epistemologi. Dalil apakah yang membuktikan bahwa Al quran mendukung
kemungkinan epistemologi? Hal ini cukup jelas, ketika Al quran mengajak manusia pada
penggalian epistemologi, al quran sama sekali tidak mengajak pada sesuatu yang tidak
mungkin (mustahil). Apa yang hendak dikatakan oleh al quran tatkala mencerikatan kisah
Adam as dan keluasan epitemologinya? Al quran mengatakan, “Wahai manusia! Kalian
memiliki kemampuan untuk megngali epistemologi yang tidak terbatas,Dan Dia
mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya.”6

Perhatikanlah apa yang ada di berbagai langit dan di berbagai belahan bumi (tidak
pada bumi saja), perhatikanlah apa yang ada di seluruh alam ini! Ketahuilah apa yang ada di
seluruh penjuru alam ini! Dengan demikian al quran mengajak manusia pada epistemologi.
Baginya tidak ada lagi pembicaraan mengenai kemungkinan memperoleh epistemologi ,
yakni (menurut pandangannya) kemungkinan untuk memperoleh epistemologi adalah pasti.7

C. Alat- Alat Epistemologi


Berikut ini adalah beberapa alat-alat epistemologi :
a. Indera

Apa sajakah alat epistemologi itu? Diantara alat yang dimiliki manusia untuk
memperoleh epistemologi adalah “indera”. Manusia memiliki berbagai macam indera; indera
penglihatan, indera pendengaran, indera peraba. Seandainya manusia kehilangan semua
indera itu, maka ia akan kehilangan semua bentuk epistemologi. Ada sebuah ungkapan yang
amat populer sejak dahulu kala, dan kemungkinan itu adalah ungkapan yang datangnya dari
Aristoteles, “barang siapa yang kehilangan satu indra, maka ia telah kehilangan satu Ilmu,”.
Setiap manusia yang kehilangan salah satu inderanya, maka ia juga akan kehilangan salah
satu bentuk epistemologi. Jika seseorang dilahirkan dalam keadaan buta, maka ia tidak
mungkin dapat membayangkan warna-warna, berbagagai bentuk dan jarak. Anda tidak akan
mampu memberikan penjelasan kepadanya mengenai suatu warna, sekalipun dengan
menggunakan berbagai macam kalimat dan ungkapan guna mendefinisikan warna itu agar dia
mengenalinya.

Tetapi dalam memperoleh epistemologi tidak cukup hanya dengan indera saja. Yakni,
memamng benar indera diperlukan untuk epistemologi, tetapi masih belum memenuhi syarat
bagi epistemologi.8

5
Ibid, hlm. 42
6
Ibid, hlm. 41
7
Murthadha Muthahhari, Mengenal Epistimologi, Lentera, Jakarta,2001, hlm. 46
8
Ibid, hlm. 51

3
b. Rasio

Dalam memperoleh pengetahuan, manusia terkadang memerlukan suatu bentuk


pemilahan dan penguraian serta adakalanya memerlukan berbagai macam bentuk pemilahan,
penyusunan, pengelompokan dan melepas.

Oleh karena itu, memang benar indera merupakan salah satu alat, tetapi kekuatan
yang lain yang disebut rasio, akal, pikiran, daya pikir, dan berbagai sebutan lainnya,
merupakan satu kekuatan yang lain. Dalam usaha memahami dan mengetahui sesuatu,
keduanya itu mesti ada, dan kita selalu perlu pada keduanya itu.9

c. Hati

Salah satu alat-alat dari epistemologi adalah hati. Maksud dari melalui hati ialah
dengan penyucian jiwa, penyucian hati.10

D. Sumber – Sumber Epistemologi

Dalammengkaji dan memahami sebuah pemikiran dalam berfilsafat kiranya perlu


seseorang mengetahui beberapa sumber epistemologi. Berikut ini 3 sumber epistemologi :

a. Alam
Salah satu sumber epistemologi adalah alam semesta ini. Yang dimaksud dengan
alam, adalah alam materi, alam ruang dan waktu, alam gerakan, alam yang sekarang kita
tengah hidup didalamnya, dan kita memiliki hubungan dengan alam ini dengan menggunakan
berbagai alat indera kita. sedikit sekali fakultas yang menolak alam sebagai sumber
epistemologi, tetapi baik pada masa dahulu dan juga pada masa sekarang ini ada beberapa
ilmuan yang tidak mengakui alam sebagai suatu sumber epistemologi. Plato tidak mengakui
alam sebagai suatu sumber epistemologi, karena hubungan manusia dengan alam adalah
dengan perantaraan alat indera, dan sifatnya partikular (juz’i), karena ia meyakini bahwa
partikular bukanlah suatu hakikat. Pada dasarnya ia hanya meyakini rasio sebagai sumber
epistemologi, dan dengan menggunakan suatu metode argumentasi, dimana Plato
menamakan metode dan cara tersebut dengan “dialektika”.

Bahkan Descartes yang merupakan salah seorang dari dua filosof ( Descartes dan
Francis Bacon) yang menempatkan ilmu pengetahuan pada jalur yang baru, meskipun ia
seorang filosof yang cenderung pada alam, meskipun ia selalu menyampaikan ajakan untuk
meneliti dan mengkaji alam, ia tidak mengakui alam sebagai sumber epistemologi dan tidak
mengakui indera sebagai alat epistemologi. Descartes mengatakan, “Alam mesti dikaji dan
dipelajari dengan menggunakan indera, tetapi hal ini tidak akan mengantarkan kita pada suatu
hakikat. Pengetahuan ilmiah hanya bermafaat bagi aktivitas kita, dan kita tidak memiliki
suatu keyakinan bahwa apakah sesuatu yang kita ketahui itu, realitasnya adalah persis

9
Ibid, hlm. 56
10
Ibid, hlm. 67

4
sebagaimana yang kita ketahui. Alam memiliki nilai praktis (‘amali) dan bukan nilai teoritis
(nazhari) serta ilmiah (‘ilmi).”11

Tetapi diantara para ilmuwan dunia, sedikit sekali yang memiliki pandangan semacam
itu. Sebagian besar dari mereka adalah meyakini bahwa alam ini adalah sumber
epistemologi.12

Sekarang hipotesa yang ada adalah bahwa alam ini merupakan salah satu sumber
epistemologi. Alhasil, jika epistemologi itu diartikan secara lebih umum, yakni epistemologi
ialah sesuatu yang dapat memberikan kepada kita suatu kekuatan dan tenaga praktis, ataupun
sesuatu yang dapat menunjukkan suatu hakikat, tentu tidak ada lagi keraguan padanya
(epistemologi itu).13

b. Rasio dan Hati


Sumber yang lain yang masih perlu dibahas adalah masalah kekuatan rasio dan
pikiran manusia. Setelah kita mengetahui bahwa alam ini merupakan “sumber luar” bagi
epistemologi, lalu apakah manusia juga memiliki “sumber dalam” bagi epistemologi ataukah
tidak memiliki? Hal ini tentunya berkaitan erat dengan masalah rasio, berbagai perkara yang
rasional, berbagai perkara yang sifatnya fitrah. Ada beberapa fakultas yang menyatakan
bahwa kita memiliki (“sumber dalam” itu), sementara sebagian yang lain menafikan
keberadaannya. Ada sebagian fakultas yang meyakini keterlepasan rasio dari indera, dan
sebagian lain tidak mayakini keterlepasan rasio dari indera.

Selanjutnya sumber selanjutnya adalah hati (jiwa). Semestinya kita tidak


menyebutnya dengan “alat”, tetapi kita harus menyebutnya dengan “sumber”. Tidak ada satu
pun dari fakultas materialisme yang mengakui keberadaan sumber ini. Karena jika meyakini
hati sebagai satu sumber, sedangkan manusia pada awal dilahirkan tidak memiliki suatu
pengetahuan apapun, dan di dalam hatinya tidak terdapat sesuatu apapun, dan juga meyakini
bahwa hati dapat menerima berbagai ilham (dan wahyu merupakan peringkat ilham yang
paling sempurna), maka sama halnya dengan mengakui adanya suatu alam yang ada di balik
alam materi ini, karena materi tidak dapat memberikan berbagai ilham semacam itu kepada
manusia. Unsur ilham adalah unsur metafisika.14

Sebelum beranjak lebih lanjut, terdapat dua alat epistemologi yaitu yang pertama
adalah Indera, yang merupakan alat untuk alam materi. Dengan alat ini manusia memperoleh
epistemologi dari alam materi. Kedua argumen Logika, argumen yang rasional yang dalam
ilmu logika disebut dengan qiyas (silogisme) atau burhan (demonstrasi), yang ini adalah
suatu bentuk praktik yang dilakukan oleh rasio manusia. Alat ini (rasio) dapat diberlakukan,
jika diyakini sebagai suatu sumber epistemologi. Jika membatasi sumber epistemologi pada
alam materi saja, dan membatasi alat epistemologi hanya indera saja, menolak rasio sebagai
sumber epistemologi, dan juga menolak nilai alat silogisme dan demonstrasi. Selama tidak

11
Murthadha Muthahhari, Mengenal Epistimologi, Lentera, Jakarta,2001 , hlm. 82.
12
Ibid, hlm. 83.
13
Ibid, hlm. 85.
14
Ibid, hlm. 86-87

5
mengakui rasio sebagai sumber epistemologi, maka tidak dapat bersandar pada alat silogisme
dan demonstrasi. Yakni tidak dapat mengakuinya sebagai suatu alat epistemologi.

Alat ketiga adalah hati atau jiwa manusia, dan sebagaimana yang telah dipaparkan,
kita harus meyakini bahwa alat untuk sumber epistemologi yang ketiga ini (hati atau jiwa),
adalah penyucian hati atau jiwa (tazkiyah an-nafs). Hati manusia ibarat satu sumber dan
manusia dapat mengambil manfaat sumber itu dengan menggunakan alat “penyucian
hati”(tazkiyah an-nafs).15

Ilmuwan yang ada pada saat ini sebagian adalah para ilmuwan yang memiliki pola
pikir materialis, menolak sumber dan alat ini. Sedangkan para ilmuan yang mamiliki pola
pikir ilahi (meyakini keberadaan Tuhan), mereka amat percaya dan yakin terhadap sumber
dan alat ini. Misalnya Bergson, atau yang biasa disebut William James. Ia adalah seorang
filosof terkenal berkebangsaan Amerika, dan banyak lagi para ilmuwan lainnya yang percaya
dan yakin terhadap sumber dan alat ini.16

c. Sejarah
Sejarah adalah sumber lain epistemologi yang sekarang ini dianggap sebagai suatu
sumber yang sangat penting. Al-Qur’an juga sangat mementingkan sumber ini. Karena
menurut Al-Qur’an, selain alam, rasio dan hati, masih ada satu sumber lain yaitu, sejarah.

Ketika diantara kita mengatakan bahwa alam adalah sumber epistemologi, maka di
dalamnya juga berisi sejarah. Benar sejarah dapat dikategorikan bagian dari alam, tetapi
sejarah adalah kumpulan masyarakat yang tengah bergerak dan berjalan. 17 Perbedaan antara
filsafat sejarah dengan sosiologi adalah bahwasannya sosiologi menjelaskan hukum-hukum
yang berlaku pada suatu masyarakat, tetapi filsafat sejarah menjelaskan perubahan hukum-
hukum yang berlaku pada suatu masyarakat; disinilah letaknya pengaruh waktu.18

Oleh karena itu bacalah sejarah, pikirkanlah berbagai perubahan yang terjadi pada
berbagai masyarakat, sehingga kita menjadi suatu sumber yang berisikan berbagai informasi
peristiwa yang terjadi sejak awal sampai dunia berakhir. Inilah yang menurut pandangan Al-
Qur’an (dan berbagai riwayat) bahwa sejarah itu sendiri merupakan sumber epistemologi. 19

E. Mempertimbangkan Ulang Pendekatan Epistemologi Bayani, Irfani, dan


BurhaniUntuk Pengembangan Pemikiran Islam Kontemporer
15
Ibid, hlm. 87
16
Ibid, hlm. 88.
17
Ibid, hlm. 103.
18
Ibid, hlm. 104.
19
Ibid, hlm. 106.

6
Filsafat ilmu yang dikembangkan di dunia barat seperti Rasionalisme, Empirisme, dan
Pragmatisme menurut H Amien Abdullah, tidak begitu cocok untuk dijadikan kerangka teori
dan analisis terhadap pasang surut dan perkembangan Islamic Studies. Perdebatan,
pergumulan dan perhatian epistemologi keilmuan di barat lebih terletak pada wilayah natural
science dan sebagian terletak pada wilayah humanities dan social science, sedangkan Islamic
studies dan ulumuddin, khususnya syariah,akidah, tasawuf, ulum Al- Qur’an, ulum al-hadist
lebih terletak pada wilayah klasikal humanities. Untuk itu, diperlukan perangkat kerangka
analisis epistemologis yang khas untuk pemikiran Islam, yakni apayang disebut oleh
Muhammad Abid Al-Jabiri dengan epistemologi bayani, burhani, dan irfani.20

Sebenarnya ketigasystem epistemologi ini adalah masih dalam satu rumpun, tetapi
dalam praktiknya hampir – hampir tidak pernah mau akur. Bahkan tidak jarang saling saling
mengkafir –kafirkan, murtad – memurtadkan dan sekuler – mensekulerkan antar masing –
masing penganut epistemologi ini. Oleh karena itu, pola pikir tekstual bayani lebih dominan
secara politis dan membentuk mainstream pemikiran keIslaman yang hegemonik. Sebagai
akibatnya pola pemikiran model bayani menjadi kaku. Otoritas teks dan otoritas salaf yang
dibakukan dalam kaidah – kaidah metodologi ushul fiqh klasik lebih diunggulkan daripada
sumber otoritas keilmuan yang lain seperti alam,akal dan intuisi. Kelemahan yang paling
paling mencolok dari tradisi nalar epistemologi bayani atau tradisi berfikir tekstual
keagamaan adalah ketika iaharus berhadapan dengan teks-teks keagamaan yang dimiliki oleh
komunitas, kultur, bangsa atau masyarakat yang beragama lain 21. Dalam berhadapan dengan
lain agama, corak argument berpikir keagamaan model tekstual bayani biasanya mengambil
sikap mental yang bersifat dogmatik, defensif, apologis, dan polemis dengan semboyan
kurang lebih semakna dengan “right or wrong is my country”. Hal demikian dapat saja terjadi
karena fungsi dan peran akal pikiran manusia tidak lain dan tidak bukan hanyalah digunakan
untuk mengukuhkan dan membenarkan otoritas teks. Sejak dari dulu pola pikir bayani lebih
mendahulukan dan mengutamakan qiyas dan bukannya mantiq lewat silogisme dan premis –
premis logika. Epistemologi tekstual lughawiyah lebih di utamakan dari pada epistemologi
kontekstual – bathsiyah maupun spiritualitas irfanniyah – batiniyah. Disamping itu nalar
bayani selalu mencurigai akal pikiran karena dianggap akanmenjauhi kebenaran tekstual.
Sampai – sampai pada kesimpulan bahwa wilayah kerja akal pikiran perlu dibatasi
sedemikian rupa dan perannya dialihkan menjadi pengatur dan pengekang hawa nafsu,
bukannya mencari sebab dan akibat lewat analisis keilmuan yang akurat.

Menyatunya “teks” dan “akal” rupanya memunculkan kekakuan-kekakuan dan


ketegangan – ketegangan tertentu, bahkan tidak jarang konfilk dan kekerasan yang bersumber
pada pola pikir ini. Untuk menghindari kekakuan dan rigiditas dalam berpikir keagamaan
yang menggunakan teks sebagai sumber utamanya, epistemologi pemikiran keagamaan
Islam, sesungguhnya telah mempunyai dan menyediakan mekanisme control perimbangan

20
Prof. Dr. M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Pergururan Tinggi, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006,
hlm. 201
21
Studi yang cukup mendalam tentang ini , lebih lanjut lihat farid esack,”mendefinisikan kembali diri sendiri
dan orang lain : iman Islam, dan kufr juga Al – Qur’an dan kaum lain : pluralism dan keadilan dalam bukunya
yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi Al –Qur’an , liberalism, pluralism: membebaskan yang
tertindas,bandung :mizan, 2001.

7
pemikiran dari alam ( internalcontrol ) lewat epistemologi irfani. Pola pemikiran
Epistemologi irfani lebih bersumber pada intuisi dan bukannya teks. Menurut sejarahnya,
epistemologi ini telah ada baik di persia maupun yunani jauh sebelum datangnya teks – teks
keagamaan baik oleh yahudi, Kristen maupun Islam.22

Status dan keabsahan irfani selalu dipertanyakan baik oleh tradisi berpikir bayani atau
burhani. Epistemologi bayani mempertanyakan keabsahannya karena dianggap terlalu liberal
karena tidak mengikuti pedoman – pedoman yang diberikan teks, sedang epistemologi
burhani mempertanyakan keabsahannya karena tidak mengikuti aturan – aturan dan analisis
yang berdasarkan logika. Apalagi dalam tradisi sejarah pemikiran Islam, apa yang disebut
intuisi, ilham, qalb, dhomir, psikognosis telah terlanjur dikembangkan atau
diinstitusionaliskan menjadi apa yang disebut sebagai tarekat dengan wirid yang
mengiringinya23. Agak sulit mengembalikan citra positif epistemologi irfani dalam pangkuan
gugus epistemologi Islam yang lebih utuh, karena kecelakaan sejarah dalam hal kedekatannya
dengan perkumpulan tarekat. Padahal tarekat itu sendiri tidak lain dan tidak bukan adalah
institutional atau organizational expression dari tradisi tasawuf dalam budaya Islam. Untuk
mengembalikan intuisi (segala hal yang berkaitan dengan hati) pada pengertian
epistemologi,bukan intitusi atau organisasi social keagamaan diperlukan keberanian untuk
melakukan passing over dengan meminjam khazanah tradisi pemikiran di barat. Falsafah
dibarat pun pernah mempertanyakan dominasi dari keangkuhan rasionallitas dalam sejarah
pemikiran mereka. Diperlukan keberanian untuk rekonstruksi dan reformulasi pemikiran
Islam dalam wilayah tasawuf irfani era kontemporer, seiring munculnya tuntutan – tuntutan
untuk lebih melihat dan mencermati kembali dimensi spiritualitas dalam Islam. Jika sumber
pokok ilmu pengetahuuan dalam tradisi bayani adalah teks (wahyu), maka sumber terpokok
ilmu pengetahuan dalam tradisi berpikir irfani adalah experience (pengalaman). Pengalaman
hidup sehari – hari yang otentik sesungguhnya merupakan pelajaran yang tak ternilai
harganya. Ketika manusia menghadapi alam semesta yang begitu mengagumkan dalam lubuk
hatinya yang terdalam telah mengetahui adanya dzat yang maha suci dan maha segalanya.
Untuk mengetahui Dzat yang Maha Pengasih dan Penyayang, orang tidak perlu menunggu
turunnya “teks”. Pengalaman konkrit pahitnya konflik, kekerasan dan disintegrasi social dan
akibat yang ditimbulkannya dapat dirasakan oleh siapapun, tanpa harus dipersyaratkan
mengenal jenis – jenis dan teks – teks keagamaan yang biasa dibacanya.

Pengalaman – pengalaman batin yang amat mendalam, otentik, fitri dan hampir –
hampir tak terbantahkan oleh logika dan tak terungkapkan oleh bahasa inilah yang disebut –
sebut sebagai ( Al-Ilm Al Hudury) (direct experience) oleh tradisi israqy di timur atau
preverbal, prereflective consciousness oleh tradisi ekstensialis di barat 24. Semua pengalaman
otentik tersebut dapat dirasakan secara langsung oleh seluruh umat manusia apa pun warna
kulit, bahasa, budaya dan agama yang dipeluknya tanpa harus mengatakannya terlebih dahulu
lewat pengungkapan “bahasa” maupun “logika”. Validitas kebenaran epistemologi irfani
hanya dapat dirasakan dan dihayati secara langsung (direct experience), intuisi, al – dzauq
22
Ibid., 206
23
Fazlur Rahman,Islam, Chicago: The University of Chicago Press, 1979, hlm. 132 – 133, 135.
24
Robert C. Solomon, From Rationalism to Existentialisme: The Existentialist and their nineteenth – century
background, New YorkHarper & Row publisher, 1972, hlm. 255, 263

8
atau psiko – gnosis. Sekat – sekat formalitas lahiriyah yang diciptakan oleh tradisi
epistemologi bayani dan burhani baik dalam bentuk bahasa, agama, ras, etnik, kulit,
golongan, kultur, trdisi, yang ikut andil merenggangkan dan mengambil jarak hubungan
interpersonal antar umat manusia, ingin diketepikan oleh tradisi berpikir orsinil irfani.
Spiritualitass – esoteric yang bersifat lintas agama, bahasa, ras, kulit,kulturyang ingin
dikedepankan oleh corak nalar epistemologi irfani.

Untuk itulah prinsip memahami keberadaan orang, kelompok, dan penganut agama
lain dengan caramenumbuh suburkan sikap empati,simpati, social skill serta berpegang teguh
pada prinsip – prinsip universal reciprocity (bila merasa sakit dicubit maka jangan mencubit
orang lain) akan mengantar tradisi epistemologi irfani pada pola pikir yang lebih bersifat
unity in different, tolerant, dan pluralist.25

Dalam pengertian dan makna seperti itulah keberadaan agama – agama dapat
dimaknai dan diintrepretasikan ulang secara lebih mendalam, esoterik, batiniyah, rohaniyyah.
Untuk itu kajian- kajian baru dan serius tentang kerangka berpikir epistemologi irfani perlu
terus menerus digali dan dikaji ulang agar dapat dipahami secara praktis – fungsional. Agama
– agama dunia yang tidak memiliki pola pikir irfaniakansangat kesulitan menghadapi realitas
pluralitas keberagamaan umat manusia baik internal maupun eksternal. Hanya pola pikir
epistemologi irfani inilah yang dapat mendekatkan hubungan social antar umat beragama,
meskipun secara sosiologis mereka tetap saja sah untuk tersekat – sekat dalam entitas dan
identitas social cultural mereka sendiri lewat tradisi formal tekstual keagamaannya.

Belum lengkap rasanya jika epistemologi pemikiran keagamaan Islam tidak


dilengkapi dengan epistemologi burhani. Ibnu Rusyd sebagai tokoh filsuf muslim klasik telah
menyebut – nyebut jenis epistemologi ini. Namun hegemoni epistemologi bayani menjadikan
corak epistemologi burhani dan juga irfani tersingkir dari panggung sejarah pemikiran
keIslaman. Oleh Karena keduanya yakni epistemologi burhani dan juga irfani cukup vital
peranannya dalam pemikiran keIslaman. Maka keduanya perlu direkontruksi ulangdengan
pemaknaan baru, untuk mendampingi epistemologi bayani.

Jika sumber ilmu dari corak epistemologi bayani adalah teks, sedang irfani adalah
direct experience ( pengalamanlangsung), maka epistemologi burhani bersumber pada realitas
baik realitas alam, social, humanitas maupun keagamaan. Ilmu –ilmu yang muncul dari
tradisi burhani disebut sebagai al – ilm al husuli yakni ilmu yang dikonsep dan
disistematiskan lewat premis- premis logika dan bukan lewat otoritas teks atau salaf dan
bukan pula lewat otoritas intuisi.

Premis – premis logika keilmuan tersebut disusun lewat kerja sama antar proses
abstraksi dan pengamatan indrawi yang benar dengan mengguunakan alat – alat yang dapat
membantu dan menambah kekuatan indra seperti alat – alat laboratorium, proses penelitian
lapangan. Peran akal pikiran sangat menentukan disini, karena fungsinya selalu diarahkan
untuk mencari sebab akibat.

25
Ibid, hlm. 209

9
Untuk mencari sebab dan musabab pada peristiwa – peristiwa alam, social,
kemanusiaan, dan keagamaan, akal pikiran tidak memerlukan teks – teks keagamaan. Untuk
memahami realitas kehidupan social- keagamaan dan social keIslaman menjadi lebih
memadai apabila digunakan pendekatan – pendekatan seperti sosiologi, antropologi,
kebudayaa dan sejarah. Fungsi dan peran akal bukannya untuk mengukuhkan kebenaran teks
seperti ada dalam nalar bayani tetapi lebih ditekankan untuk melakukan analisis dan menguji
terus – menerus (heuristik) kesimpulan – kesimpulan sementara dan teori dirumuskan lewat
premis – premis logika keilmuan. Filosofi Islam Ibnu Rusyd sangat menekankan proses kerja
akal pikiran seperti ini sepertiyang dilakukan dan dikonseptualisasikan oleh Aritoteles.
Fungsi akal pikiran bersifat heuristik dengan sendirinya akanmembentuk budaya kerja
penelitian, baik bersifat eksplanatif, eksploratif maupun verifikatif.

Tolok ukur validitas keilmuannya pun sangat berbeda dari nalar bayani dan nalar
irfani. Jika nalar bayani bergantung pada kedekatan dan keserupaan teks atau nash dan
realitas, dan nalar irfani lebih pada kematangan social skill(empati, simpati) maka dalam
nalar burhani yang ditekankan adalah korespondensi, yakni kesesuaian antara rumus – rumus
yang diciptakan oleh akal manusia dengan hukum – hukum alam. Selain korespondensi juga
ditekankan aspek korehensi (keruntutan dan keteraturan berpikir logis) dan upaya yang terus
menerus dilakukan untuk memperbaiki dan menyempurnakan temuan – temuan, rumus –
rumus dan teori – teori yang telah dibangun dan disusun oleh jerih payah akal manusia.

Akhirnya kita perlu sampai pada kesimpulan sementara bahwa kebudayaan ilmu
dibangun atas pondasi tata kerja nalar burhani, sedang kebudayaan fikih dibangun diatas
otoritas teks dan otoritas salaf dengan qiyas sebagai metode kerja yang utama, sedang
kebudayaan filssafat dibangun atas koherensi argument – argument logika.26

Seperti itulah gambaran tentang ketiga wilayah epistemologi ulumuddin atau ilmu
keIslaman, lalu bagaimana hubungan atau relasi yang pas untuk ketiganya. Ini merupakan
persoalan tersendiri. Paralelkah, linear kah, atau sirkularkah. Setelah kita mengenal ketiga
corak epistemologi pemikiran diatas, langkah penting selanjutnya adalah menentukan bentuk
hubungan antara ketigannya. Kembali lagi, filsafat yang bersifat kritis – reflektif – heuristic
diminta sumbang sarannya untuk menentukan hubungan yang tepat diantara ketiganya.
Ketepatan dan kekeliruan penetuan pola hubungan antara ketiganya menentukan output yang
akandicapai.

Jika hubungan antara ketiga corak epistemologi diatas dihubungkan dengan parallel,
maka masing – masing corak epistemologi akan berjalan sendiri – sendiri tanpa ada
hubungan dan persentuhan antara satu dan yang lain dalam diri seorang ilmuan, ulama,
aktivis, da’i, atau agamawan. Nilai manfaat teoritis maupun praktis yang diperoleh juga akan
minim sekali. Bentuk hubungan yang parallel mengasumsikan bahwa dalam diri seorang
ilmuan agama Islam dan cendikian agama Islam tedapat 3 jenis epistemologi keilmuan Islam
sekaligus, tetapi masing – masing metode dan epistemologi tersebut berdiri sendiri – sendiri
dan tidak saling berdialog dan berkomunikasi satu sama yang lainnya, tergantung pada situasi
dan kondisi. Jika seseorang berada pada wilayah doktrial teologis, dia gunakan epistemologi
26
Ibid, hlm. 214 - 215

10
bayani sepenuhnya dan tidak berani member amsukan pada dirinya sendiri, apalagi orang
lain, yang diambil dari hasil temuan epistemologi keilmuan yang lainnya. Meskipun begitu
seminim – minimnya hasil yang diperoleh dari bentuk hubungan parallel ini, si pemilik
wawasan ketiga pola epistemologi masih jauh lebih baik dari pada hanya menguasai satu
corak epistemologi saja dan tidak mengenal sama sekali jenis epistemologi yang lain.

Model Pola Hubungan Paralel

Sedangkan pola hubungan yang bersifaat linier pada ujungnya akan menghadapi jalan
buntu keilmuan. Pola hubungan linear dari semua telah berasumsi bahwa salah satu dari
ketiga epistemologi tersebut akan menjadi primadona. Seorang ilmuan agama Islam akan
menampikan masukan yang ia peroleh dari berbagai corak epistemologi yang ia kenal, karena
ia telah menyukai dan mengunggulkan salah satu dari tiga corak epistemologi yang ada. Jenis
epistemologi yang ia pilih dianggap sebagai satu - satunya epistemologi yang ideal dan final.
Jenis pilihan semacam ini pada gilirannya akan mengantar kan seseorang pada kebuntuan.
Kebuntuan itu bisa berbentuk kebuntuan dogmatis – teologis (biasanya terekspresikan pada
truth claim yang berlebihan dan eksklusivitas yang tidak mengenal kompromi serta
mencerminkan pola pikir “ right or wrong is my country” juga dapat pula berbentuk
kebuntuan yang tergantung pada jenis tradisi atau aliran keilmuan yang diagung – agungkan).

Model Pola Hubungan Linear

Nalar bayani disini bisa berubah manjadi Nalar burhani atau nalar irfani
tergantung pada latar belakang pendidikan, keilmuan serta kecenderungan
masing – masing pribadi atau kelompok.

11
Keduanya baik bentuk hubungan yang paralel maupun linear bukan merupakan
pilihan ideal yang dapat memberikan guidance (bimbingan) untuk umat beragama era
kontemporer yang sarat dengan tantangan dan keprihatinan. Dalam memahami tafsir Al –
Qur’an dan teks suci lain, tidak dapat dibangun diatas pola hubungan parallel maupun linear.
Pola hubungan linear tidak dapat membuka horizon, wawasan, dan gagasan – gagasan baru
yang bersifat transformative. Masing – masing epistemologi terhenti dan bertahan pada
posisinya sendiri – sendiri dan sulit untuk berdialog antara satu corak epistemologi dan
epistemologi lainnya. Ibarat rel keretaapi,maka ketigannya akan berada pada jalurnya sendiri
– sendiri dan tidak akan bertemu pada satu titik.

Pola hubungan yang bersifat linear akan melihat epistemilogi yang lain sebagai
epistemologi yang tidak valid. Kemudian ia akan memaksakan salah satu jenis epistemilogi
yang biasa dimiliki atau dikuasainya, dengan menafikkan dan meniadakan masukan yang
diberikan oleh teman sejawat epistemologi lainnya. Oleh karena itu ia mudah terjebak pada
trurh claim, yakni menganggap bahwa corak epistemologi yang dimilikinya sajalah yang
paling benar, sedang selebihnya tidak benar.

Di lingkungan komunitas intern umat Islam yang pluralistic, dan lebih – lebih era
multicultural dan multirelejius secara ekstern, hubungan yang baik diantara ketigannya
adalah hubungan atau relassi yang berbentuk sirkular, dalam arti bahwa massing – masing
corak epistemologi keilmuan agama Islam yang digunakan dalam studi keIslaman dapat
memahami keterbatasan, kekurangan,dan kelemahan yang melekat pada diri masing – masing
dan sekaligus bersedia mengambil manfaat dari temuan – temuan yang ditawarkan oleh
tradisi keilmuan yang lain serta memiliki kemampuan untuk memperbaiki kekurangan yang
melekat pada dirinya sendiri.27

Model Pola hubungan Sirkuler

BAB III

ANALISIS
27
Prof. Dr. M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Pergururan Tinggi, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006,
hlm. 219 - 224

12
Pada prinsipnya Islam telah mempunyai bentuk epistemologi sendiri dalam
mendapatkan ilmu pengetahuan. Tetapi dalam prakteknya dari ketiga bentuk epistemologi
yang dimiliki Islam (Bayani, Burhani, Irfani) lebih cenderung kepada corak bayani yang
tekstual dan irfani yang sufistik / berhubungan dengan hati. Kedua bentuk eppistemologi ini
kurang begitu memperhatikan penggunaan rasio / akal.

Dalam corak bayani, sebenarnya juga melibatkan peran rasio / akal dalam
pemikirannya, tetapi relative sedikit tergantung pada teks yang digunakan. Penggunaan yang
terlalu dominan pada epistemologi ini akan menyebabkan stagnasi dalam kehidupan
beragama karena tidak mampu merespon perkembangan zaman.

Dalam menyikapi kemunduran iptek yang dialami umat Islam saat ini, maka
seyogyanya umat Islam tidak mengenyampingkan peran akal atau rasio (Burhani) dalam
pemikirannya yang dipadukan dengan kebersihan hati ( Irfani). Perpaduan antara pikiran
yang brillian dan hati yang jernih akan membuat perkembangan iptek akan tetap terarah.
Kegersangan dalam kehidupan manusia saat ini karena perkembangan iptek yang muncul
tidak dibarengi dengan hati yang ditata dan cenderung menampikkan peran hati. Iptek terlalu
dituhankan sedangkan potensi jiwa terlalu mereka abaikan, sehingga mereka akan tetap
merasakan kegersangan dalam hidup.

13
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata epistemologi memiliki arti
cabang ilmu filsafat tentang dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan. Sedangkan secara
etimologi, epistemologi berasal dari dari kata Yunani yakni episteme dan logos. Episteme
berarti pengetahuan dan logos berarti teori. Sehingga menurut bahasa, epistimologi adalah
teori pengetahuan. Pada masa sekarang ini masalah epistemologi merupakan suatu masalah
yang amat penting, sedangkan pada masa yang lalu mereka tidak begitu merasakan
pentingnya masalah ini, sebagaimana yang dirasakan oleh mereka yang hidup pada masa
sekarang ini. Tetapi masalah epistemologi adalah suatu masalah yang telah ada sejka dahulu
kala, kurang lebih sejak dua ribu tahun yang lalu.

Al quran secara tegas mengajak anak keturunan Adam as pada epistemologi. Dalam
al quran terdapat berbagai perintah dan anjuran untuk memperhatikan, melihat dan
merenungkan. Dalam al quran terdapat berbagai ungkapan semacam ini, “Katakanlah:
Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi.” (QS. Yunus: 101).Alat yang digunakan
dalam epistemology adalah indera, Rasio dan Hati.

Teori pengetahuan tidak dapat menghindarkan pembahasan tentang sumber-sumber


pengetahuan tempat bahan-bahannya diperoleh. Sumber-sumber itu menurut filosof, tidak
lain adalah indra, akal dan hati. Ada juga yang berpendapat bahwa sumber-sumber
epistemologi itu antara lain adalah Alam, Rasio dan Hati, dan juga Sejarah

Epistimologi dalam Islam dibagi menjadi 3 bagian yaitu bayani, burhani dan irfani.
Masing – massing bentuk epistemology mempunyai cara yang sendiri dalam praktiknya.
Epistemologi bayani menggunakan pendekatan tekstual dengan menggunakan sedikit rasio
akal, ssehingga corak epistemology ini cenderung kaku dan tidak bisa mengikuti
perkembangan zaman. Bentuk epistemology lainnya adalah burhani, corak pemikiran yang
ditimbulkan oleh epistemologi ini adalah dengan menngunakan rasio akal sepenuhnya dalam
proses pengambilan pengetahuan. Yang terakhir adalah corak epistimologi irfani, dalam
corak ini yang digunakan adalah hati yang bersumber dari pengalaman sehari – hari
khususnya pengalaman batin. Pola hubungan yang bisa dihasilakan diantara ketiga bentuk
epistemologi antara lain, pola hubungan paralel, linear dan sirkuler. Dari ketiga bentuk
hubungan itu yang paling cocok untuk diaplikasikan dalam kehidupan saat ini adalah pola
sirkuler, karena dengan pola sirkuler ini, ketiga bentuk epistemologi bisa saling melengkapi
dari kekurangannya.

14
B. Saran

Sebagai seorang mahasiswa yang peka akan perkembangan peradaban yang semakin
modern dan serba canggih, dalam berfikir tidaklah hanya melihatnya dengan satu sisi akan
tetapi melihat dari segi atau sisi yang lain dimana terdapat pandangan yang berbeda dalam
berfikir. Untuk itu kita sebagai mahasiswa harus memahami filsafat, salah satunya dengan
epistemologi. Dengan memahami epistemologi secara komprehensif kita akan lebih melihat
segala sesuatunya lebih luas dan menyeluruh. Selain itu, kita juga tidak hanya belajar dari apa
yang kita pelajari secara tekstual melainkan kita juga harus melihat realita sejarah yang ada
dengan itu kita bisa merefleksikan apa yang ada dimasa lampau dengan masa sekarang ini.

15
DAFTAR PUSTKA

Sudarminta, J.2002. Epistemologi Dasar. Yogyakarta: Kanisius.

Muthahhari, Murthadha.2001. Mengenal Epistemologi. Jakarta: Lentera.

Nasution, Khoriruddin.2012. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Academia + Tazzafa.

Abdullah, M. Amin.2006. Islamic Studies di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Penerbit Pustaka


Pelajar.

Rahman Fazlur.1979. Islam. Chicago: The University of Chicago Press.

16

Anda mungkin juga menyukai