golongan atau aliran, yaitu aliran tingkah laku, kognitif, humanistik dan sibernetik. Aliran tingkah laku menekankan pada hasil dari proses belajar. Aliran kognitif menekankan pada proses belajar. Aliran humanis menekankan pada isi atau apa yang dipelajari. Aliran sibernetik menekankan pada sistem informasi yang dipelajari. belajar adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Meskipun semua penganut aliran ini setuju dengan premis dasar ini, namun mereka berbeda pendapat dalam beberapa hal penting. Berikut ini kita kaji hasil karya dari beberapa penganut aliran ini yang paling penting, yaitu: Thorndike, watson, Hull, Guthrie, dan Skinner. Mementingkan pengaruh lingkungan Mementingkan bagian-bagian Mengutamakan peranan reaksi Hasil belajar terbentuk secara mekanis Mementingkan pembentukan kebiasaan Pemecahan masalah dilakukan dengan cara trial and error belajar pada hewan dan pada manusia pada dasarnya berlangsung menurut prinsip-prinsip yang sama. Dasar terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi antara kesan yang ditangkap pancaindera dengan kecenderungan untuk untuk bertindak atau hubungan antara stimulus dan respon (S-R). teori ini juga dinamakan teori Stimulus-Respon. Bagaimana terjadinya hubungan antara stimulus dan respon ini dapat kita gambarkan sebagai berikut : Ketika seseorang melihat hidangan yang lezat yang ada didepan meja dapat menjadi stimulus yang dapat mengakibatkan munculnya respon untuk mencoba memakannya. belajar adalah proses interaksi antara stimulus (yang mungkin berupa pikiran, perasaan atau gerakan) dan respon (yang juga bisa berbentuk pikiran, perasaan, ataiu gerakan). perubahan tingkah laku itu boleh berwujud sesuatu yang konkret (dapat diamati), atau yang non konkret (tidak dapat diamati). Meskipun Thorndike tidak menjelaskan bagaimana cara mengukur berbagai tingkah laku yang non konkret itu (pengukuran adalah salah satu hal yang menjadi obsesi semua penganut aliran tingkah laku, tetapi teori Thorndike ini telah banyak memberikan inspirasi kepada pakar lain yang datang sesudahnya. Teori Thorndike ini juga sebagai aliran “Koneksionis”. Hukum kesiapan (law of readiness): hubungan antara stimulus dan respon akan mudah terbentuk manakala ada kesiapan dalam diri individu. Keberhasilan belajar seseorang sangat tergantung dari ada atau tidak adanya kesiapan. Hukum Latihan (law of execise): kemungkinan kuat dan lemahnya hubungan stimulus dan respons. Hubungan atau relevansi antara kondisi(yang merupakan perangsang ) dengan tindakn akan menjadi lebih kuat karena latihan (law of use) dan koneksi-koneksi itu akan menjadi lemah karena latihan tidak dilanjutkan atau dihentikan (law of disuse) Hukum ini memperlihatkan bahwa koneksi stimulus dan respon akan semakin kuat manakala terus-menerus dilatih atau diulang; Hukum Akibat (law of effect): kuat atau lemahnya hubungan stimulus dan respons tergantung kepada akibat yang ditimbulkannya. Apabila respons yang diberikan seeorang mendatangkan kesenangan, maka respons tersebut dipertahankan atau diulang, sebaliknya apabila respons yang diberikan mendatangkan atau diikuti oleh akibat yang tidak mengenakan, maka respon tersebut akan dihentikan dan tidak akan diulang lagi. stimulus dan respon tersebut harus berbentuk tingkah laku yang dapat diamati (observable). Dengan kata lain Watson mengabaikan berbagai perubahan mental yang mungkin terjadi dalam belajar dan menganggapnya sebagai faktor yang tak perlu diketahui. Bukan berarti semua perubahan mental yang terjadi dalam benak siswa tidak penting. Semua itu penting. Tapi faktor-faktor tersebut tidak dapat menjelaskan apakah proses belajar sudah terjadi atau belum. Hanya dengan asumsi demikianlah, kata Watson, kita dapat meramalkan perubahan apa yang bakal terjadi pada siswa. Hanya dengan demikianlah psikologi dan ilmu tentang belajar dapat disejajarkan dengan ilmu- ilmu lain seperti fisika atau biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik. Kita lihat di sini, penganut aliran tingkah laku lebih senang memilih untuk tidak memikirkan hal-hal yang tidak dapat diukur, meskipun mereka tetap mengakui bahwa semua hal itu penting. Teori Watson ini juga disebut sebagai aliran Tingkah laku (behaviorism). Seperti halnya Thorndike,Pavlov dan Watson yang menjadi tokoh teori ini juga percaya bahwa belajar pada hewan memiliki prinsip yang sama dengan manusia Belajar atau pembentukan perilaku perlu dibantu dengan kondisi tertentu. Pavlov mencoba melakukan penelitian dengan seokor anjing untuk membentuk tingkah laku tertentu. Percobaannya yaitu anjing dalam keadaan lapar,sebelum diberi makanan dibunyikan lonceng, diperlihatkan makanan, dan air liur anjing keluar.keadaan tersebut terus diulang sehinnga secara spontan anjing tersebut ketika lonceng berbunyi air liurnya keluar dengan ini anjing belajar bahwa kalu lonceng berbunyi pasti ada makanan sehingga mengeluarkan liur Clark Hull sangat terpengaruh oleh teori evolusi yang dikembangkan oleh Chasles Darwin. Bagi Hull, seperti dalam teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga kelangsungan hidup. Karena itu, dalam teori Hull, kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis menempati posisi sentral. Stimulus hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis ini, meskipun respon mungkin bermacam- macam bentuknya. Teori ini, terutama setelah Skinner memperkenalkan teorinya, ternyata tidak banyak digunakan dalam dunia praktis, meskipun sering diterapkan dalam berbagai eksperimen dalam laboratorium. Menurut Edwin Guthrie, stimulus tidak harus berbentuk kebutuhan biologis. Hal penting dalam teori Guthrie adalah, bahwa hubungan antar astimulus dan respon cenderung bersifat sementara. Karena itu, diperlukan pemberian stimulus yang sering agar hubungan itu menjadi lebih langgeng. Selain itu, suatu respon akan lebih kuat (dan bahkan menjadi kebiasaan) bila respon tersebut berhubungan dengan berbagai macam stimulus. Itulah sebabnya mengapa kebiasaan merokok (sekedar contoh), sulit ditinggalkan. Seringkali terjadi, perbuatan meroko tidak hanya berhubungan dengan satu macam stimulus (misalnya kenikmatan merokok), tetapi juga dengan stimulus-stimulus lain seperti minum kopi, berkumpul dengan teman-teman, ingin tampak gagah, dan lain-lain. Maka, setiap kali salah satu (atau lebih) stimulus ini muncul, maka segera pula keinginan merokok itu timbul. Edwin Guthrie juga percaya bahwa, “hukuman” memegang peran penting dalam proses belajar. Menurutnya, suatu hukuman yang diberikan pada saat yang tepat, akan mampu merubah kebiasaan seseorang. faktor hukuman ini tak lagi dominan dalam teori-teori tingkah laku, terutama setelah Skinner makin mempopulerkan ide tentang “penguat” (reinforcement). “menyederhanakan” kerumitan teorinya serta menjelaskan konsep-konsep yang ada dalam teorinya itu. Menurut Skinner, deskripsi hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan perubahan tingkah laku (dalam hubungannya dengan lingkungan) menurut versi Watson tersebut diatas adalah deskripsi yang tidak lengkap. Respon yang diberikan pada siswa tidaklah sesederhana itu, sebab pada dasarnya setiap stimulus yang diberikan berinteraksi dengan lainnya, dan interaksi ii akhirnya mempengaruihi respon yang dihasilkan tersebut. Sedangkan respon yang diberikan juga menghasilkan berbagai konsekuensi yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkahlaku siswa. Karena itu untuk memeahami tingkah laku siswa secara tuntas, kita harus memahami hubungan antara satu stimulus dengan stimulus lainnya, memahami respon itu sendiri dan berbagai konsekuensi yang diakibatkan oleh respon tersebut (Bell- Gredler, 1986). Skinner juga menjelaskan bahwa menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingklah laku hanya akan membuat segala sesuatunya menjadi bertambah rumit, sebab “alat” itu akhirnya juga dijelaskan lagi. Misalnya, bila kita mengatakan bahwa “seorang siswa” berprestasi buruk sebab siswa ini mengalami frustasi akan menuntut kita untuk menjelaskan “apa itu frustasi”. Dan penjelasan tentang frustasi ini besar kemungkinannya akan memerlukan penjelasan lain. Begitu seterusnya. Dari semua pendukung teori tingkah laku, mungkin teori Skinner-lah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar. Beberapa program pembelajaran seperti Teaching Machine, Mathematics atau program lainnya yang memakai konsep stimulu, respon, dan faktor penguat adalah contoh program yang memanfaatkan teori Skinner ini. Skinner membedakan dua macam respons, yakni respondent response (reflexive response) dan operan respons yang ditimbulkan oleh perangsang-perangsang tertentu, seperti perangsang stimulus makanan menimbulkan keluarnya air liur. Respons ini relatif tetap. Artinya, setiap ada stimulus semacam itu akan muncul respons tertentu. Dengan demikian perangsang-perangsang yang demikian ini mendahului respons yang ditimbulkannya. Operant respons atau instrumental respons adalh respon yang ditimbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsang-perangsang tertentu yang bisa disebut renforcer, karena perangsang tersebut memperkuat respons yang telah dilakukan organisme. Skinnner berpendapat bahwa untuk membentuk tingkah laku tertentu perlu diurutkan atau dipecah-pecah menjadi bagian-bagian atau komponen tingkah laku yang spesifik. Selanjutnya, agar terbentuk pada tingkah laku yang diharapkan maka perlu diberikan hadiah (reinforce) agar tingkah laku itu terus-menerus diulang, serta memotivasi agar berlanjut kepada komponen tingkah laku selanjutnya sampai akhirnya pada pembentukan tingkah laku puncak yang diharapkan. Teori operant Conditioning dari Skinner ini sangat besar pengaruhnya dalam bidang teknologi pengajaran seperti Pengajaran berprograma,pengajaran dengan komputer, mengajar dengan mesin. Perilaku Operan: Stimulusnya tidak diketahui, Contoh: gerak refleks Pengkondisian tipe S Responden behaviour: ditimbulkan stimulus yang diketahui, tampak spontan Pengkondisian Tipe R Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan. Teori ini dikritik karena sering tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak hal di dunia pendidikan yang tidak dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Kita ambil contoh, suatu saat seorang siswa mau belajar giat setelah diberi stimulus tertentu. Tetapi karena satu dan lain hal, siswa itu tidak mau belajar lagi, padahal kepadanya sudah diberikan stimulus yang sama atau yang lebih baik dari pada itu. Di sinilah persoalannya. Ternyata teori tingkah laku ini dianggap tidak mampu menjelaskan alasan- alasan yang mengacaukan hubungan antara stimulus dan respon tersebut. Tentu saja kita dapat mengganti stimulus dengan stimulus lain sampai kita mendapatkan respon yang kita inginkan. Tetapi kita tahu hal ini belum menjawab pertanyaan sebernarnya. teori tingkah laku dianggap cendserung mengarahkan siswa untuk berpikir linier, konvergen dan tidak kreatif. Dengan prosesnya yang disebut “pembentukan” (shaping), misalnya siswa digiring untuk sampai pda suatu target tertentu padahal banyak hal dala hidup ini yang tidak sesederhana itu. Skinner dan ahli lainnya penyokong teori belajar ini memang tidak menganjurkan adanya hukuman digunakan dalam proses belajar. Tetapi apa yang mereka sebut penguat negatif senderung membatasi keleluasaan siswa untuk berimajinasi dan berpikir. menurut Gutrie, hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Skinner tidak percaya akan asumsi Guthrie ini, karena ada tiga alasan. 1. pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sanagt bersifat sementara. 2. dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisikan (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama. 3. hukuman mendorong si terhukum mencari cara lain (meskipun itui salah dan dinilai buruk) agar ia terbebas dari hukuman. hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal- hal lain yang kadangkala lebih buruk dari pada kesalahan pertama yang diperbuat sebelumnya. Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Ini tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaan tersebut adalah, bila hukuman diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang timbul berbeda dari biasanya ada, sedangkan penguat negatif (sebagai penguat negatif) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya seorang siswa perlu dihukum untuk suatu kesalahan yang dibuatnya (teori Guthrie). Jika siswa masih bandel, maka hukuman harus ditambah. Tetapi, jika sesuatu yang tidak mengenakkan si siswa itu dikurangi (bukan malah ditambah), dan pengurangan ini mendorong siswa itu untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut “penguat negatif” (tori Skinner) Lawan dari penguat negatif dalah penguat positif. Keduanya bertujuan memperkuat respon. Namun bila penguata positif harus ditambah, maka penguat negatif harus dikurangi agar memperkuat respon. Mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar itu sendiri. Bagi penganut aliran ini, belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon. Lebih dari itu, belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Tetapi teori ini sangat berhubungan erat dengan teori Sibernetik. Pada masa-masa awal mulai diperkenalkannya teori ini, para ahli mencoba menjelaskan bagaimana siswa tersebut dapat mengolah stimulus dan bagaimana siswa tersebut dapat sampai pada respon tertentu (pengaruh alirean tingkah laku masih terlihat di sini). Namun lambat laun, perhatian tersebut mulai bergeser. Saat ini, perhatian mereka terpusat pada proses bagaimana suatu ilmu yang baru berasimilasi dengan ilmu sebelumnya telah dikuasai oleh siswa. Ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seorang individu melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Proses ini tidak berjalan terpatah-patah, terpisah-pisah, dan melalui proses mengalir, bersambung-sambung dan menyeluruh. Ibarat seseorang yang memainkan musik, ia tidak memahami not-not balok yang tertampang di partitur sebagai informasi yang saling berlepas berdiri sendiri, tetapi sebagai satu kesatuan yang secara utuh masuk dalam pikiran dan perasaannya. Seperti juga ketika anda membaca tulisan ini, bukan alfabet- alfabet yang terpisah-pisah yang anda serap dan kunyah dalam pikiran. Tetapi adalah kata, kalimat, paragraf – yang kesemuannya itu selolah jadi satu, mengalir, menyerbu secara total bersamaan. Dalam praktek, teori ini antara lain terwujud dalam tahap-tahap perkembangan yang diusulkan oleh Jean Piaget, “belajar- bermakna”-nya Ausubel, dan belajar penemuan bebas (free discovery learning) oleh Jerome Bruner. proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahapan, yakni asimilasi, akomodasi dan equilibrasi (penyeimbangan). 1. Proses Asimilasi, adalah proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak siswa. 2. Proses Akomodasi, adalah penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru. 3. Proses Equilibrasi, adalh penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi. Katakanlah seorang siswa yang sudah mengetahui prinsip pejumlahan. Jika gurunya memperkenalkan prissip perkalian, maka proses pegintegrasian antara prinsip penjumlahan (yang sudah ada dalam benak siswa) dengan prinsip perkalian (sebagai informasi baru), inilah yang disebut proses asimilasi. Jika siswa ini diberi soal dari prinsip perkalian, maka situasi ini disebut akomodasi, yang dalam hal ini berarti pemakaian (aplikasi) prinsip perkalian tersebut dalam situasi yang baru dan spesifik. Agar siswa tersebut dapat terus mengembangkan dan menambah ilmunya, tetapi sekaliguis menjaga stabilitas mental dalam dirinya, diperlukan proses penyeimbangan. Proses inilah yang disebut equilibrasi –proses penyeimbangan antara “dunia luar” dan “dunia dalam”. Tanpa proses ini, perkembangan kognitif seseorang akan tersendat-sendat dan berjalan tidak teratur (disorganized). Dalam hal ini, dua orang yang mempunyai jumlah informasi yang sama di otaknya mungkin mempunyai kemampuan equlibrasi yang berbeda. Seseorang dengan kemampuan equlibrasi yang baik akan mampu “menata” berbagai informasi ini dalam urutan yang baik, jernih, logis. Sedangkan rekannya yang tidak memiliki kemampuan equlibrasi sebaik itu akan cenderung menyimpan semua informasi yang ada secara kurang teratur, karena itu orang ini juga cenderung mempunyai alur berpikir ruwet, tidak logis, berbelit-belit. Menurut Piaget, proses belajar harus disesuaikan dengan tahap perkembagan kognitif yang dilalui siswa Piaget membaginya menjadi empat tahap, yaitu
1. tahap Sensorimotor (ketika anak berumur 1,5
sampai 2 tahun), 2. tahap Praoperasional (2/3 sampai 7/8 tahun) 3. tahap Operasional Konkret (7/8 sampai 12/14 tahun) 4. tahap Operasional Formal (umur 14 atau lebih). Proses belajar yang dialami seorang anak pada tahap sensorimotor tentu berbeda dengan proses belajar yang dialami seorang anak yang telah mencapai umurnya tahap kedua (praoperasional) dan berbeda pula dengan apa yang dialami anak lain yang telah sampai ke tahap yang lebih tinggi (operasional konkret dan operasional formal). Secara umum, semakin tinggi tingkat kognitif seseorang, semakin teratur (dan juga semakin abstrak) cara berpikirnya. guru seyogyanya memahami tahap-tahap perkembangan siswa serta memberikan pelajaran dalam jumlah dan jenis yang sesuai dengan tahap-tahap tersebut. Guru yang mengajar, tatapi tidak menghiraukan tahapan-tahapan iniakan cenderung menyulitkan siswanya. Misal saja, mengajarkan konsep-konsep abstrak tentang Pancasila kepada sekelompok siswa kelas dua SD, tanpa adanya usaha untuk “mengkonkretkan” konsep-konsep tersebut, tidak hanya akan percuma, tetapi justru akan lebih membingungkan anak didik. pada dasarnya setiap individu sejak kecil sudah memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Pengetahuan yang dikontruksi oleh anak sebagai subjek, maka akan menjadi pengetahuan yang bermakna. Sedangkan pengetahuan yang hanya diperoleh melalui proses pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna. Pengetahuan tersebut hanya untuk diingat tapi setelah itu akan dilupakan. Mengkonstruksi menurut Piaget dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi terhadap skema yang ada. Skema terbentuk memalui proses pengalaman , sedangkan asimilasi adalah proses perubahan skema Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman- temanya. keterampilan yang tidak dapat siswa lakukan. keterampilan mungkin dapat siswa lakukan. keterampilan bahwa siswa dapat lakukan dengan bantuan. Menurut Ausubel, siswa akan belajar dengan baik, jika apa yang disebut “pengatur kemajuan (belajar)” (Advance Organizer) didefinisikan dan dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada siswa. Pengatur kemajuan belajar adalah konsep atau informasi umum yang mewadahi (mencakup semua isi pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa. Ausubel percaya bahwa “advance organizer” dapat memberikan tiga macam manfaat, yakni: 1. dapat menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi pelajaran yanga akan dipelajari oleh siswa. 2. dapat berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara apa yang dipelajari siswa saat ini dengan apa yang akan dipelajari, sedemikian rupa sehingga 3. mampu membantu siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih mudah. Untuk itu, pegetahuan guru terhadap hal isi mata pelajaran harus sangat baik. Hanya dengan demikian seorang guru akan mampu menemukan informasi yang menurut Ausubel sangat abastrak, umum, dan inklusif, yang mewadahi apa yang akan diajarkan itu. Selain itu, logika berpikir guru juga dituntut sebaik mungkin. Tanpa memiliki logika-logika berpikir yang baik, maka guru akan kesulitan dalam memilah-milah mata pelajaran, merumuskannya dalam rumusan yang singsingkat dan padat, serta mensistematiskan materi demi materi ke dalam struktur urutan yang logis dan mudah dipahami. Bruner mengusulkan teorinya yang disebut free discovery learning. Menurut teori ini,proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan (termasuk konsep, teori, definisi dan sebagainya) melalui contoh-contoh yang menggambarkan (mewakili) aturan yang menjadi sumbernya. Dengan kata lain, siswa dibimbing secara kinduktif untuk memahami suatu klebenaran umum. Untuk memahami konsep “kejujuran”, misalnya, siswa tidak semata-mata menghafal definisi kata kejujuran tersebut, melainkan dengan memepelajari contoh- contoh itulah siswa dibimbing untuk mendefinisikan kata kejujuran. Lawan dari pendekatan ini disebut “belajar eksipositori” (belajar dengan cara menjelaskan). Dalam hal ini, siswa disodori sebuah informasi umum dan diminta untuk menjelaskan informasi tersebut melaluig contoh-contoh khusus dan konkret. Dalam contoh di atas, maka siswa pertama-tama diberi definisi tentang kejujuran dan dari definisi itulah siswa diminta untuk mencari contoh- contoh konkret yang dapat menggambarkan makna kata tersebut. Proses belajar ini jelas berjalan secara deduktif. Teoti Gestalt termasuk pada kelompok aliran kognitif holistik. Teori Gestalt dikembangkan oleh Koffka, Kohler, dan Wertheimer. Teori ini berbeda dengan teori yang telah dijelaskan terdahulu. Menurut Gestalt, belajar adalah proses mengembangkan insight. Insight adalah pemahaman terhadap hubungan antarbagian di dalam suatu situasi permesalahan. Berbeda dengan teori behavioristik yang menganggap belajar atau tingkah laku itu bersifat makanistis., sehingga mengabaikan atau mengingkari peranan insight. Teori Gestalt justru mengganggap bahwa insight adalah inti dari pembentukan tingkah laku. kemampuan insight seseorang tergantung kepada kemampuan dasar orang tersebut. kemampuan dasar tersebut tergantung pula pada usia dan posisi individu dalam kelompok. Insight dipengaruhi oleh pengalaman masa lalunya yang relevan insight tergantung kepada pengaturan dan penyediaan lingkungannya. Pengertian merupakan inti dari insight Apabila insight telah didapat, maka dapat digunakan untuk menghadapi persoalan, msks dapat digunakan untuk menghadapi persoalan dalam situasi lain. Pengalaman tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa. Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning); kebermaknaan unsur- unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya. Perilaku bertujuan (pusposive behavior); bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya. Prinsip ruang hidup (life space); bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik. Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain. Teori medan dikembangkan oleh kurt Lewin. Sama seperti teori gestalt,teori medan menganggap bahwa belajar adalah proses pemecahan masalah. Beberapa hal yang berkaitan dengan proses pemecahan masalah menurut Lewin dalam belajar adalah : 1. Belajar adalah perubahan struktur kognitif setiap orang akan dapat memecahkan masalah jika ia bisa mengubah struktur kognitif. 2. Pentingnya motivasi. Motivasi adalah faktor yang dapat mendorong individu untuk berprilaku. Motivasi muncul karena adanya daya tarik tertentu. Disamping itu , motivasi itu juga bisa muncul karena pengalaman yang menyenangkan, misalnya pengalaman kesuksesan. Teori Kognitif, terutama teori yang dikembangkan oleh Piaget, sering dikritik karena sukar untuk diprektekkan (terutama ditingkat-tingkat lanjut). Selain itu beberapa konsep tertentu (seperti, intelenjensia, belajar atau pengetahuan) yang mendasari tori ini sukar dipahami, dan pemahaman itu sendari pun masih belum tuntas. Proses belajar harus berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri. Dari keempat teori belajar teori humanistik inilah yang paling abstrak, yang paling mendekati dunia filsafat daripada dunia pendidikan. Meskipun teori ini dangat menekankan pentingnya “isi” dari proses belajar, dalam kenyataannya ateori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan dan proses belajar dalam bentuknua yang paling ideal. Dengan kata lain, teori inii lebih tertarik pada ide belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada nelajar seperti aapa adannya, seperti apa yang biasa kita amati dalam dunia keseharian. Wajar jika teori ini sangat bersifat ekletik. Teori apapun dapat dimanfaatkan alasal tujuan untuk “memanusiakan manusia” (mencapai aktualisasi diri, dan sebagainya itu) dapat tercapai. Dalam praktek, teori ini antara lain terwujud dalam pendekatan yang diusulkan oleh Ausubel yang disebut “belajar bermakan” atau Meaningful Learning. Sebagai catatan, teori Ausbel ini juga dimasukan ke dalam aliran kognitif. Teori ini juga terwujud dalam teori Bloom dan Krathwohl dalam bentuk Taksonomi Bloom yang terkenal itu. Selain itu, empat pakar lain yang juga termasuk ke dalam kubu teori ini dalah Kolb, Honey dan mumford, serta Habermas. Kogniitif, terdiri dari dari enam tingkatan: ◦ Pengetahuan (mengingat, menghafal) ◦ Pemahaman (menginterpretasikan) ◦ Aplikasi (menggunakan konsep untuk memecahkan masalah) ◦ Analisis (menjabarkan suatu konsep) ◦ Sintesis (menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi satu konsep yang utuh) ◦ Evaluasi (membandingkan nilai-nilai, ide, metode dan sebagainya) Psikomotor, yang terdiri dari lima tingkatan: ◦ Peniruan (meniru gerak) ◦ Penggunaan (mengguinakan konsep untuk melakukan suatu gerakan) ◦ Ketepatan ( melakukan gerak dengan benar) ◦ Perangkaian (melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar) ◦ Naturalisasi (melakukan gerak secara wajar) Afektif, yang terdiri dari lima tingkatan: ◦ Pengenalan (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu) ◦ Merepon (aktif berpartisipasi) ◦ Penghargaan (menerima nilai-nilai, setia kepada nilai-nilai yang dipercayai) ◦ Pengorganisasian (menghubung-hubungkan nilai-nilai yang dipercayai) ◦ Pengamalan (menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidup) Taksonomi Bloom, seperti yang telah kita ketahui, berhasil memberikan inspirasi kepda banyak pakar lain untuk mengembangkan teori-teori belajar dan pembelajaran. Pada tingkatan yang lebih praktis, taksonomi ini telah banyak membantu praktisi pendidikan untuk memformulasikan tujuan-tujuan belajar dalam bahasa yang mudah dipahami, operasional, serta dapat diukur. Dari beberpa taksonoi belajar, mungkin taksonomo Bloom inilah yang paling populer (setidaknya di Indonesia) Selain itu, teori Bloom ini juga banyak dijdikan pedoman untuk membuat butir-butir soal ujian, bahkan oelah orang-orang yang sering mengkritik taksonomi tersebut. Sementara itu, seorang ahli lain yang bernama Kolb membagi tahapan belajar menjadi empat, yaitu: 1. Pengalaman Konkret 2. Pengamatan aktif dan reflektif 3. Konseptualisasi 4. Eksperimentasi aktif Pada tahap paling dini dalam proses belajar, seorang siswa hanya sekedar mampu ikut mengalami suatiu kejadian. Dia belum mempunyai kesadaran tentang hakekat kejadian tersebut. Dia pun belum mengerti bagaimana dan mengapa suatu kejadian harus terjai seperti itu. Inilah yang terjadi pada tahap pertama proses belajar. Pada tahap ke dua, siswa tersebut lambat laun mampu mengadakan observasi aktif terhadap kejadian itu, serta mulai berusaha memikirkan dan memahaminya. Inilah yang kurang lebih terjadi pada tahap pengamatan aktif dan reflektif. Pada tahap ketiga, siswa mulai belajar untuk membuat abstraksi atau teori tentang sesuatu hal yang pernah diamatinya. Pada tahap ini, siswa diharapkan sudah mampu untuk membuat aturan-aturan umum (generalisasi) dari berbagai contoh kejadian yang meskipun tampak berbeda-beda, tetapi mempunyai landasan aturan yang sama. Pada tahap akhir (eksperimentasi aktif), siswa sudah mampu mengaplikasikan suatu aturan umum ke situasi yang baru. Dalam dunia matematika, misalnya, siswa tidak banyak memahami asal-usul sebuah rumus, tetapi ia yang belum pernah ia temukan sebelumnya. Menurut Kolb, siklus belajar semacam itu terjadi secara berkesinambungan dan berlangsung di luar kesadaran si pelajar. Dengan kata lain, meskipun dalam teorinya kita mampu membuat garis tegas antara tahap satu dengan tahap lainnya, namun dalam praktek peralihan dari satu tahap ke tahap lainnya itu seringkali terjadi begitu saja, sulit kita tentukan kapan beralihnya. Berdasarkan teori Kolb, Honey dan Mumford membuat penggolongan siswa. Menurut mereka, ada empat macam atau tipe siswa, yakni aktivis, reflektor, teori dan pragmatis. Siswa tipe aktivis adalah merak yang suka melibatkan diri pada pengalaman-pengalaman baru. Mereka cenderung berpikiranterbuka dan mudah diajak dialog. Namun terhadap siswa yang semacam ini biasanya kurang skeptis terhadap sesuatu. Ini kadangkala identik dengan sikap mudah percaya. Dalam proses belajar, mereka menyukai metode yang mampu mendorong seseorang menemukan hal-hal baru, seperti brainstorming atau problem solving. Tetapi mereka cepat merasa bosan dengan hal-hal yang memerlukan waktu lama dalam implementasi. Siswa tipe reflektor, sebaliknya, cenderung sangat berhati-hati mengambil langkah. Dalam proses pengambilan keputuisan, siswa tipe ini cenderung konservatrif, dalam arti merekalebih suka menimbang-nimbang secara cermat baik-buruk suatu keputusan. Siswa tipe teoris biasnya sangat kritis, senang menganalisis, dan tidak menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya subyektif. Bagi mereka, berpikir secara rasional adalah sesuatu yang sangat penting. Mereka biasanya juga sangat skeptis, dan tidak menyukai hal-hal yang bersifat spekulatif. Siswa tipe pragmatis menaruh perhatian besar pada aspek-aspek praktis dari segala hal. Teori memang penting, kata mereka. Namun bila teori tidak bisa dipraktekkan, untuk apa? Mereka tidak suka bertele- tele membahas aspek teoritis-filosofis dari sesuatu. Bagi mereka, sesuatu dikatakan ada gunanya dan baik hanya jika bisa dipraktekkan. Habermas percaya bahwa belajar sangat dipengaruhi oleh interaksi, baik dengan lingkungan maupun dengan sesama manusia. Dengan asumsi ini, dia membagi tipe belajar menjadi tiga macam, yaitu: 1. belajar teknis(tecnical learning); 2. belajar praktis (practical learning); 3. belajar emansipatoris(emancipatory learning) Dalam “belajar teknis”, siswa belajar bagaimana berinteraksi dengan alam sekelilingnya. Mereka berusaha menguasai dan mengelola alam dengan cara mempelajari keterampilan dan pengetahuan yangyang dibutuhkan untuk itu Dalam “belajar praktis”, siswa juga belajar berinteraksi,tetapi pada tahap ini yang lebih dipentingkan adalah interaksi antara siswa dengan orng-orang disekelilingnya. Pada tahap ini,pemahaman siswa terhadap alam tidak berhenti sebagai suatu pemahaman yang kering dan dan terlepas kaitannya dengan manusia. Tetapi pemahaman terhadap alam justru relevan jika dan hanya jika berkaitan dengan kepentingan manusia Sedangkan dalam belajar emansipatoris, siswa berusaha mencapai pemahaman dan kesadaran yang sebaik mungkin tentang perubahan (transformasi) kultural dari suatu lingkungan. Bagi Habermas, pemahaman clan kesadaran terhadap transformasi kultural dianggap tahap belajar yang paling tinggi, sebab transformasi kultural dianggap sebagai tujuan pendidikan yang paling tinggi. Teori humanistik sering dikritik karena sifatnya yang terlalu deskriptif (meskipun semua teori belajar sebenarnya bersifat deskriptif; lain dengan teori pembelajaran, atau disebut juga teori instruksional, yang lebih bersifat preskriptif). Kelemahan lain adalah sukarnya menerjemahkan teori ini ke langkah-langkah yang lebih praktis dan konkrit. Tapi, karena sifatnya yang deskriptif itulah, maka teori ini seolah memberi arah proses belajar. Semua tujuan pendidikan bersifat ideal, clan teori humanistik inilah yang menjelaskan bagaimana tujuan ideal itu seharusnya. Seperti teori-teori belajar yang lain, teori humanistik akan sangat membantu kita memahami proses belajar serta melakukan proses belajar dalam dimensi yang lebih luas, jika kita mampu menempatkannya pada konteks yang tepat. Kalau pun teori ini sukar diterjemahkan ke dalam langkah-langkah praktis proses belajar, namun ide- ide, konsep-konsep, dan taksonomi-taksonomi yang dibahas dalam teori ini telah membantu membuka mata kita untuk lebih memahami hakikat jiwa manusia. Dan ini pada gilirannya akan membantu kita menentukan strategi belajar yang tepat secara lebih sadar dan terarah, dan tidak semata-mata tergantung pada intuisi kita. Teori ini berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu informasi. Menurut teori ini, belajar adalah pengolahan informasi. Sekilas, teori ini mempunyai kesamaan dengan teori kognitif yang mementingkan proses. Proses memang penting dalam teori sibernetik. Namun, yang lebih penting lagi adalah "sistem informasi" yang diproses itu. Informasi inilah yang akan menentukan proses. Asumsi lain dari teori sibernetik ini adalah bahwa tidak ada satu proses belajar pun yang ideal untuk segala situasi, yang cocok untuk semua siswa. Sebuah informasi mungkin akan dipelajari seorang siswa dengan satu macam proses belajar, dan informasi yang sama mungkin , akan dipelajari siswa lain melalui proses belajar yang berbeda. ada dua macam proses berpikir. Pertama disebut proses berpikir algoritmik, yaitu proses berpikir linier, konvergen, lurus menuju ke satu target tertentu. Kedua adalah cara berpikir heuristik, yakni cara berpikir divergen, menuju ke beberapa target sekaligus. Proses belajar akan berjalan dengan baik jika apa yang hendak dipelajari itu atau masalah yang hendak dipecahkan atau dalam istilah yang lebih teknis: sistem informasi yang hendak dipelajari diketahui ciri-cirinya. Satu hal lebih tepat disajikan dalam urutan teratur, linier, sekuensial, satu hal lain lebih tepat bila disajikan dalam bentuk "terbuka" dan memberi keleluasaan kepada siswa untuk berimajinasi dan berpikir. Misalnya, agar siswa mampu memahami sebuah rumus matematika, mungkin akan lebih efektif jika presentasi informasi tentang rumus ini disajikan secara algoritmik. Alasannya adalah, sebuah rumus matematika biasanya mengikuti urutan tahap demi tahap yang sudah teratur dan mengarah ke satu target tertentu. Namun, untuk memahami makna suatu konsep yang luas dan banyak memiliki interpretasi (misalnya konsep "kemerdekaan"), maka akan lebih baik jika proses berpikir siswa dibimbing ke arah yang 'menyebar" (heuristik), dengan harapan pemahaman mereka terhadap konsep itu tidak tunggal, monoton, dogmatis, linier. Pendekatan serialis yang diusulkan oleh Pask dan Scott itu sama dengan pendekatan algoritmik. Namun, cara berpikir "menyeluruh" (Wholist) tidak sama dengan heuristik. Cara berpikir menyeluruh adalah berpikir yang cenderung melompat ke depan, langsung ke "gambaran lengkap" sebuah sistem informasi. Ibarat melihat lukisan, bukan detildetil yang kita amati lebih dahulu, tapi seluruh lukisan itu sekaligus, baru sesudah itu ke bagian-bagian yang lebih kecil. Pendekatan yang berorientasi pada pengelolaan informasi menekankan beberapa hal seperti "ingatan jangka pendek" (short term memory), "ingatan jangka panjang" (long term memory), dan sebagainya, yang berhubungan dengan apa yang terjadi dalam otak kita dalam proses pengolahan informasi. Kita lihat pengaruh aliran neurobiologis sangat terasa di sini. Namun, menurut teori sibernetik ini, agar proses belajar berjalan seoptimal mungkin, bukan hanya cara kerja otak kita yang perlu dipahami, tetapi juga lingkungan yang mempengaruhi mekanisme itu pun perlu diketahui. Teori sibernetik dikritik, sebab tidak membahas proses belajar secara langsung sehingga hal ini menyulitkan penerapannya. Karena alasan ini pula, maka kita mendapat kesulitan untuk menggolongkan, apakah teori sibernetik ini lebih dekat ke teori konformis, atau ke teori liberal. Jika teori humanis lebih dekat ke dunia filsafat, teori sibernetik ini lebih dekat ke psikologi dan informasi. Selain itu, pemahaman kita terhadap mekanisme kerja otak yang masih terbatas mengakibatkan pengetahuan kita tentang bagaimana informasi itu diolah juga menjadi sangat terbatas. Karena alasan ini pula, maka banyak pakar mendapat uham untuk (makin) mengembangkan teori kognitif. Jika teori sibernetik lebih tertarik kepada kerja otak. Teori kognitif lebih tertarik kepada hasil kerja otak itu. Sepetti kata seorang pakar kognitif: "untuk menemukan perhitungan akar 437, misalnya, apakah kita perlu tahu lebih dahulu bagaimana sebuah kalkulator bekerja?" Pendeknya, untuk mengembangkan suatu teori belajar, kita tak harus mengetahui seluk beluk kerja otak kita sampai ke detil-detilnya.
ILMU PERUBAHAN DALAM 4 LANGKAH: Strategi dan teknik operasional untuk memahami bagaimana menghasilkan perubahan signifikan dalam hidup Anda dan mempertahankannya dari waktu ke waktu