Artikel
Disusun oleh:
Ernasari
NIM. 1801608
2020
SISTEM PENDIDIKAN PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG
Abstrak
Kata kunci :
A. Pendahuluan
Jepang merupakan negara terakhir yang pernah menjajah dan menduduki
Indonesia setelah Belanda. Jepang menduduki Indonesia selama kurang lebih 3,5 tahun
lamanya yang dimulai pada tahun 1942 hingga proklamasi pada tanggal 17 Agustus
1945. Jepang melancarkan agresi militernya ke Hindia Belanda untuk menguasai
sumber daya alamnya demi pasokan kebutuhan perang mengingat bahwasannya saat
itu Jepang terdesak oleh pasukan Sekutu pada masa Perang Dunia II. Keresahan Jepang
tersebut disampaikan saat pertemuan penting yang mana sangat menentukan arah
kebijakan agresi militer Jepang di wilayah Hindia Belanda pada tanggal 6 September
1941. Menurut Dahlan (2017, hlm. 65) menyatakan bahwa di hadapan Kaisar Hirohito
petinggi militer Jepang memaparkan kondisi terkini yang sangat tidak menguntungkan
Jepang seperti yang disampaikan oleh Laksamana Nagamo Osami Kepal Staf
Angkatan Laut Jepang, akhirnya dicapai keputusan untuk melaksanakan perang.
Keputusan tersebut berbunyi : “Sehubungan dengan keinginan untuk mempertahankan
diri dan demi kelangsungan hidupnya, Kekaisaran memutuskan untuk menantang suatu
peperangan dengan Amerika Serikat, Inggris, dan Belanda, dan akan berusaha
menyelesaikan persiapan-persiapan militer pada akhir Oktober” (Oktorino, 2016, hlm.
52; 2017, Dahlan, 2018, hlm. 65). Jepang terus melancarkan serangannya ke Hindia
Belanda hingga akhirnya Belanda menyerah kepada Jepang. Pada tanggal 8 Maret
1942, Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer (Gubernur Jenderal Belanda),
Letnan Jenderal Ter Poorten (Panglima tentara Hindia Belanda), serta pejabat tinggi
militer dan seorang penerjemah pergi ke Kalijati. Dari pihak Jepang hadir Letnan
Jenderal Imamura. Dalam pertemuan itu, Belanda menyerah tanpa syarat kepada
Jepang (Pratama, 2018, hlm. 41).
Jepang menduduki Indonesia karena memiliki cita-cita untuk menguasai dunia
dan menandingi rivalnya dalam Perang Dunia II yaitu blok barat atau Sekutu. Cita-
citanya tersebut terhimpun dalam konsepsi Doitou Kyoiken (Persemakmuran Asia
Timur Raya) yang berasal dari semboyan hakko ichiu (menguasai dunia dibawah satu
atap Jepang). Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, Jepang mengawalinya dengan
menyamakan persepsi masyarakat dalam visi dan misinya. Hal ini dimaksudkan untuk
memudahkan Jepang dalam memobilisasi rakyat agar ikut serta dalam berbagai
program yang dicanangkan Jepang untuk mencapai Doitou Kyoiken. Jepang berfikir
untuk membentuk orang Indonesia sepenuhnya ke dalam pola tingkah laku dan cara
berfikir Jepang, sehingga sebagai salah satu elemen pendukung perang, orang
Indonesia bersedia berpartisipasi dalam program-program mereka dalam mewujudkan
misinya (Kurosawa, 1993, hlm. 229; Irianti, 2014, hlm. 71). Oleh karena itu
propaganda-propaganda disebarluaskan kepada pribumi. Propaganda sendiri menurut
Lindley Fraser merupakan kegiatan atau seni untuk mengajak orang lain bertingkah-
laku sesuai dengan apa yang dikehendaki dan tidak bertingkah-laku seperti yang tidak
diinginkan (Sunarjo, 1982, hlm. 27; Irianti, 2014, hlm. 71-72). Sedangkan menurut
Leonard W. Doob (dalam Irianti, 2014, hlm. 72), propaganda didefinisikan sebagai
usaha untuk mempengaruhi karakter dan untuk mengendalikan tingkah laku orang lain
di dalam sebuah masyarakat pada waktu tertentu (Jowett & O’Donell, 2012, hlm. 4;
Irianti, 2014, hlm. 72). Suatu kampanye propaganda yang intensif dimulai untuk
meyakinkan rakyat Indonesia bahwa mereka dan bangsa Jepang adalah saudara
seperjuangan dalam perang yang luhur untuk membentuk suatu tatanan baru di Asia
(Ricklefs, 2016, hlm. 301). Diantara propaganda yang dilakukan oleh Jepang terhadap
penduduk Indonesia adalah dengan mengenalkan Gerakan Tiga A, semboyan dan
semangat Jepang yang dikenal sebagai “Nippon Pemimpin Asia, Nippon Pelindung
Asia, dan Nippon Cahaya Asia”. Cita-cita Doitou Kyoiken (Persemakmuran Asia
Timur Raya) yang dicanangkan Jepang berdampak pada kebijakan sistem pendidikan
yang diterapkan di Indonesia kala itu. Tentunya, tujuan utamanya adalah untuk
membina pribumi agar tenaga kerjanya dapat dieksploitasi secara cuma-cuma oleh
Jepang agar memenangkan perang. Untuk lebih jelasnya akan dibahas dalam artikel ini
mengenai sistem pendidikan di Indonesia pada masa pendudukan Jepang.
B. Karakteristik Pendidikan Masa Pendudukan Jepang
Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan
pemerintah melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan, yang
berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat untuk mempersiapkan
peserta didik agar dapat memajukan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara
tepat di masa yang akan datang (Mudyahardjo, 2011, hlm. 11; Rasyidin, 2017, hlm.
28). Berbicara mengenai sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang di
Indonesia erat kaitannya dengan landasan historis pendidikan. Landasan, sistem, dan
pelaksanaannya disesuaikan dengan zeitgeist atau jiwa zamannya. Seperti yang
dijelaskan dalam bagian pendahuluan, ideologi yang mendasari pendudukan Jepang
adalah Hakko Ichiu, maka landasan idiil pendidikan yang diterapkan di Indonesia pada
masa itu pun demikian. Untuk mewujudkannya, hal ini berimbas pada sistem
pendidikan di Indonesia pada saat pendudukan Jepang. Dalam kurun waktu yang
sebentar yaitu 3,5 tahun masa pendudukan, Jepang tidak berbuat banyak dalam
merenovasi sistem pendidikan di Indonesia dan hanya terfokus pada tujuan utamanya
yaitu dalam aspek militer yang mana untuk memperkuat pasukannya agar dapat
memenangkan Perang Dunia II. Hal ini ditunjukkan dalam bentuk pendidikan yang
diterapkan; pelajar melakukan latihan-latihan fisik dan militer, melakukan kerja bakti
(Kinrohosyi) membersihkan asrama militer, jalan-jalan raya, menanam pohon jarak,
mengumpulkan bahan-bahan makanan untuk keperluan militer dan lain sebagainya
(Dahlan, 2018, hlm. 114).
Sebelumnya, karakteristik sistem pendidikan di Indonesia disesuaikan dengan
kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Pada masa pendudukan Jepang, terdapat ciri
khas karakteristik yang berbeda dan tentunya berlandaskan pada hakko ichiu dan
pelaksanaannya disesuaikan dengan kebudayaan Jepang. Penerapan hakko ichiu
tampak pada sistem pengajaran yang berupa pelatihan terhadap guru-guru sebagai
penyebar ideologi tersebut di sekolah-sekolah. Menurut Rahata (2019, hlm. 95)
menyatakan bahwa sistem pengajaran yang ditujukan untuk keperluan Perang Asia
Timur Raya adalah mengadakan pelatihan guru-guru di Jakarta untuk
mengindoktrinasi mereka dalam Hakko Ichiu (Delapan Benang di Bawah Satu Atap)
artinya pembentukan suatu lingkungan yang didominasi oleh Jepang yang meliputi
bagian-bagian besar dunia. Para peserta pelatihan diambil dari tiap-tiap daerah. Seusai
pelatihan, mereka harus kembali ke daerah masing-masing dan mengadakan pelatihan
untuk meneruskan hasil-hasil yang diperolehnya selama pelatihan di Jakarta.
Selain itu juga terdapat upaya pemerintahan Jepang untuk menghapuskan
pengaruh-pengaruh Barat, terkhusus penjajahan Belanda. Upaya ini tampak pada
kebijakan pendudukan Jepang dalam aspek bahasa yang hanya boleh menggunakan
bahasa Indonesia sebagai bahasa utama dan bahasa Jepang sebagai bahasa kedua.
Menurut Assegaf (dalam Rohman dan Tengah, 2018, hlm. 20) mengemukakan bahwa
Melalui trik Nipponisasi bahasa, bahasa-bahasa yang digunakan seperti bahasa Inggris,
Amerika dan Belanda dilarang untuk dijadikan komunikasi baik lisan maupun tulisan.
Bahasa Arab yang semula digunakan juga dilarang penggunaannya. Pelarangan
tersebut juga dilakukan dalam kegiatan pendidikan di sekolah-sekolah. Sementara itu,
menurut Ricklefs (2016, hlm. 301) mengemukakan bahwa untuk memusnahkan
pengaruh Barat, maka pihak Jepang melarang pemakaian bahasa Belanda dan bahasa
Inggris dan memajukan pemakaian bahasa Jepang. Pelarangan terhadap buku-buku
yang berbahasa Belanda dan Inggris membuat pendidikan yang lebih tinggi benar-
benar mustahil selama perang.
Pemerintahan Jepang juga menghapuskan sistem dualisme dalam pendidikan
yang mana sebelumnya diterapkan oleh pemerintah Hindia-Belanda. Pada masa
Belanda pendidikan formal hanya dapat dinikmati oleh kalangan menengah ke atas,
sementara rakyat jelata sama sekali tidak memiliki kesempatan. Dengan dihapusnya
dualisme dalam pendidikan ini maka siapapun boleh mengenyam pendidikan formal
tanpa ada diskriminasi (Dahlan, 2018, hlm. 113). Mulai dari golongan atas
(bangsawan, aristokrat, tokoh terkemuka) sampai golongan bawah (rakyat biasa/jelata)
mendapatkesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan di ruang kelas yang
samatanpa adanya perbedaan golongan ras maupun status sosial (Wahyudi, 2017, hlm.
84). Selain daripada itu, terdapat beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
pelajar-pelajar pribumi setiap paginya sebelum sekolah dimulai yang diantaranya
adalah mengucapkan sumpah setia kepada kaisar Jepang Tenno Heika dan membentuk
Indonesia baru yang disebut Dai Toa atau sumpah setia (Gunawan, 1986, hlm. 24;
Wahyudi, 2017, hlm. 83). Selain itu, pelajar wajib menyanyikan lagu kebangsaan
Jepang, mengibarkan bendera Jepang (Hinomaru) dan melakukan senam (Taisho)
untuk memelihara semangat Jepang (Dahlan, 2018, hlm. 114).
D. Kesimpulan
E. Daftar isi
Dahlan, M. H. (2017) Konfrontasi Republik Indonesia dengan Militer Jepang
Menjelang Masuknya Sekutu 1945-1946. Pantajala, 9(1), 61-76.
Mudyahardjo, R. (2006) Pengantar Pendidikan – Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-
Dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
Pratama, A. (2018) Masa Pendudukan Jepang. Pontianak: Derwati Press.
Rahata, R. (2019) Masa Pendudukan Jepang di Indonesia. Singkawang:
Rasyidin, W. (2017) Landasan Pendidikan. Bandung: UPI Press.
Rifa’I, M (2017) Sejarah Pendidikan Nasional; Dari Masa Klasik Hingga Modern.
Yogyakarta: Ar Ruzz Media.
Ricklefs, M. C. (2016) Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Wahyudi, A. (2017) PERBANDINGAN SISTEM PENDIDIKAN DI INDONESIA
PADA MASA KOLONIAL BELANDA (1900-1942) DENGAN MASA
PENDUDUKAN JEPANG (1942-1945). (Skripsi). Sekolah Sarjana,
Universitas Jember.