Anda di halaman 1dari 38

Learning Theory

A. Behaviourisme
Menurut pendekatan behavioristik, belajar dipahami sebagai proses perubahan
tingkah laku teramati yang relatif berlangsung lama sebagai hasil dari pengalaman
dengan lingkungan. Pendekatan behavioristik berkembang melalui
eksperimeneksperimen, baik pada manusia maupun pada hewan (Kusmintardjo dan
Mantja, 2011). Terdapat empat prinsip filosofis utama dalam pengembangan teori ini
yaitu : Manusia adalah binatang yang sangat berkembang dan manusia belajar dengan
cara yang samaseperti yang telah dilakukan binatang lainnya; pendidikan adalah
proses perubahan perilaku; peran guru adalah menciptakan lingkungan pembelajaran
yang efektif; efisiensi, ekonomi, ketepatan dan obyektivitas merupakan perhatian
utama dalam pendidikan (A.M.Irfan Taufan Asfar dkk, 2019)
Tokoh- tokoh teori behaviorisme
a. Thorndike
Menurut Thorndike (1911), salah seorang pendiri aliran tingkah laku,
belajar adalah proses interaksi antara stimulus (yang mungkin berupa pikiran,
perasaan, atau gerakan) dan respons (yang juga bisa berupa pikiran, perasaan, dan
gerakan). Jelasnya menurut Thorndike, perubahan tingkah laku boleh berwujud
sesuatu yang konkret (dapat diamati), atau yang nonkonkret (tidak bisa diamati).
Meskipun Thorndike tidak menjelaskan bagaimana caranya mengukur
berbagai tingkah laku yang non-konkret (pengukuran adalah satu hal yang
menjadi obsesi semua penganut aliran tingkah laku), tetapi teori Thorndike telah
banyak memberikan inspirasi kepada pakar lain yang datang sesudahnya. Teori
Thorndike disebut sebagai ―aliran koneksionis‖ (connectionism).
Prosedur eksperimennya ialah membuat agar setiap binatang lepas dari
kurungannya sampai ketempat makanan. Dalam hal ini apabila binatang terkurung
maka binatang itu sering melakukan bermacam-macam kelakuan, seperti
menggigit, menggosokkan badannya ke sisi-sisi kotak, dan cepat atau lambat
binatang itu tersandung pada palang sehingga kotak terbuka dan binatang itu akan
lepas ke tempat makanan.
b. Watson
Berbeda dengan Thorndike, menurut Watson pelopor yang datang sesudah
Thorndike, stimulus dan respons tersebut harus berbentuk tingkah laku yang
―bisa diamati‖ (observable). Dengan kata lain, Watson mengabaikan berbagai
perubahan mental yang mungkin terjadi dalam belajar dan menganggapnya
sebagai faktor yang tidak perlu diketahui. Bukan berarti semua perubahan mental
yang terjadi dalam benak siswa tidak penting. Semua itu penting. Akan tetapi,
faktor-faktor tersebut tidak bisa menjelaskan apakah proses belajar sudah terjadi
atau belum.
Hanya dengan asumsi demikianlah, menurut Watson, dapat diramalkan
perubahan apa yang bakal terjadi pada siswa. Hanya dengan demikian pulalah
psikologi dan ilmu belajar dapat disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperti fisika
atau biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empiris.
c. Cark Hull
Cark Hull (1943) mengungkapkan konsep pokok teorinya yang sangat
dipengaruhi oleh teori evolusinya Charles Darwin. Bagi Hull tingkah laku
seseorang berfungsi untuk menjaga kelangsungan hidup. Oleh karena itu, dalam
teori Hull, kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis menempati
posisi sentral. Menurut Hull (1943, 1952), kebutuhan dikonsepkan sebagai
dorongan (drive), seperti lapar, haus, tidur, kehilangan rasa nyeri, dan sebagainya.
Stimulus hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis ini, meskipun
respons mungkin bermacam-macam bentuknya.
Teori ini, terutama setelah Skinner memperkenalkan teorinya, ternyata
tidak banyak dipakai dalam dunia praktis, meskipun sering digunakan dalam
berbagai eksperimen dalam laboratorium.
d. Edwin Guthrie
Edwin Guthrie mengemukakan teori kontiguiti yang memandang bahwa
belajar merupakan kaitan asosiatif antara stimulus tertentu dan respons tertentu.
Selanjutnya Edwin Guthrie berpendirian bahwa hubungan antara stimulus dengan
respons merupakan faktor kritis dalam belajar. Oleh karena itu, diperlukan
pemberian stimulus yang sering agar hubungan menjadi lebih langgeng. Selain
itu, suatu proses akan lebih kuat (dan bahkan benjadi kebiasaan) apabila respons
tersebut berhubungan dengan berbagai macam stimulus. Sebagai contoh,
seseorang yang memiliki kebiasaan merokok sulit ditinggalkan. Hal ini dapat
terjadi karena perbuatan merokok tidak hanya berhubungan dengan satu macam
stimulus (misalnya kenikmatan merokok), tetapi juga dengan stimulus lain seperti
minum kopi, berkumpul dengan teman-teman, ingin tampak gagah, dan lain-lain.
e. Skinner
Skinner (1989) yang datang kemudian merupakan penganut paham neo-
behaviorist yang mengalihkan dari laboratorium ke praktik kelas. Skinner
mempunyai pendapat lain lagi, yang ternyata mampu mengalahkan pamor teori-
teori Hull dan Guthrie. Hal ini mungkin karena kemampuan Skinner dalam
―menyederhanakan‖ kerumitan teorinya serta memperjelaskan konsep-konsep
yang ada dalam teorinya tersebut. Menurut Skinner, deskripsi antara stimulus dan
respons untuk menjelaskan parubahan tingkah laku (dalam hubungannya dengan
lingkungan) menurut versi Watson tersebut adalah deskripsi yang tidak lengkap.
Respons yang diberikan oleh siswa tidaklah sesederhana itu, sebab pada dasarnya
setiap stimulus yang diberikan berinteraksi satu dengan lainnya, dan interaksi ini
akhirnya mempengaruhi respons yang dihasilkan. Sedangkan respons yang
diberikan juga menghasilkan berbagai konsekuensi, yang pada gilirannya akan
mempengaruhi tingkah laku siswa (Etty ratnawati).

Prinsip-prinsip Dasar Behaviorisme (Dewi nuur, 2014)


a. Konsekuensi-konsekuensi
Salah prinsip yang terpenting adalah konsekuensi. Semua perilaku pasti menanggung
konsekuensinya tersendiri. Konsekuensi menyenangkan atau penguatan (reinforce)
dimana seseorang dapat meningkatkan frekuensi perilakunya. Sedangkan
konsekuensi yang kurang menyenangkan atau hukuman (punisher) dapat
melemahkan bahkan sampai menghilangkan perilaku tersebut. (Slavin, 2006:138)
b. Kesegaran Konsekuensi (immediacy of consequence)
Salah satu prinsip terpenting dalam teori pembelajaran perilaku ialah konsekuensi
yang dilakukan dalam waktu terdekat lebih berpengaruh pada perilaku dari pada
konsekuensi yang tertunda. Seperti halnya menurut Kulik dan Kulik, 1998 tindakan
penguatan yang lebih kecil tapi dilakukan secara langsung lebih berpengaruh pada
perilaku daripada penguatan besar yang dilakukan kemudian Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kesegaran konsekuensi adalah tindakan langsung dari seorang
guru berupa konsekuensi positif atau negatif untuk meningkatkan penguatan atau
melemahkan perilaku pada siswa tersebut.
c. Pembentukan (shaping)
Istilah pembentukan “shaping” digunakan dalam teori behaviorisme dalam
mengajarkan keterampilan atau perilaku baru pada siswa sampai dapat mencapai
tujuan pembelajaran yang diinginkan (Dahar, 1998:32). Sedangkan menurut Bigge
dan Shermis, 2004; Driscoll, 2000 yang mana istilah “pembentukan” (shaping)
digunakan dalam teori pembelajaran perilaku untuk merujuk pada pengajaran
kemampuan atau perilaku baru dengan memperkuat siswa untuk mencapai tujuan
pembelajaran.
d. Pemunahan (extinction)
Prinsip pemunahan adalah suatu kejadian dimana tindakan penguatan ditarik kembali
sehingga perilaku yang sudah terbentuk semakin melemah dan bisa saja menghilang
(Slavin, 2006:147). Saat terjadi kepunahan tidak selalu berjalan mulus. Ketika
tindakan penguatan ditarik kembali maka akan ada dorongan perilaku yang lebih kuat
untuk sementara waktu. Contohnya saat ada siswa yang berbuat gaduh untuk
memanggil gurunya dia diacuhkan maka dia akan bersuara lebih keras untuk
selanjutnya dan kemudian dia akan diam karena dia selalu diacuhkan oleh gurunya.
Hal inilah yang dinamakan dengan pemunahan klasik. Perilaku mengalami
peningkatan ketikatindakan penguatan ditarik kembali pada awalnya yang kemudian
mulai melemah dan akhirnya menghilang.
e. Pemeliharaan (maintenance)
Prinsip jenis pemeliharaan (maintenance) terjadi pada perilaku yang tidak perlu
dikuatkan karena dikuatkan secata instrinstik yang berarti keterlibatan perilaku
tersebut menyenangkan (Slavin,2006:151). Konsep perlawanan terhadap kepunahan
berperan penting dalam pemahaman tenang pemeliharaan perilaku. Sebagaimana jika
perilaku baru diperkenalkan maka penguatan untuk memperoleh tanggapan yang baik
harus diberikan dan diperkirakan. Namun begitu perilaku tersebut sudah terbentuk
penguatan tanggapan itu tidak diberikan atau kurang diperkirakan.
f. Peran Antesenden
Setelah kita mengetahui prinsip-prinsip diatas ada juga hal yang mempengaruhi yaitu
rangsangan. Isyarat (cue) adalah rangsangan antesenden (actecenent stimuli) yang
mendahului perilaku, karena nantinya akan memberitahu kita tentang perilaku
tertentu untuk dikuatkan atau perilaku akan dihukum (Slavin, 2006:152).
Kelebihan dan Kelemahan Behaviorisme (Dahar dalam Dewi nuur, 2014)
 Behaviorisme sering digunakan dalam ilmu psikologi yang mana prinsip dasarnya
adalah dapat mengubah perilaku atau sifat seseorang dalam proses pembelajaran
 Memiliki ruang lingkup yang terbatas
 Memusatkan pada perilaku seseorang yang tampak sementara dalam matematika
sering kali membahas pembentukan konsep, serta pemecahan masalah
Implikasinya dalam matematika

Pada masa kini, teori belajar yang dikemukakan penganut psikologi tingkah laku ini
dapat digunakan dalam beberapa hal untuk mendukung pengembangan kemampuan
siswa yang berhubungan dengan pencapaian hasil belajar (pengetahuan) matematika
seperti fakta, konsep, prinsip, dan skill atau keterampilan. Keempat objek langsung
matematika tersebut digagas oleh Gagne. Gagne sendiri dinyatakan oleh Orton(1987:38)
sebagai neobehaviourist.
Ahli belajar (learning theorist) Gagne telah membagi objek-objek matematika yang
diperoleh siswa menjadi objek langsung dan objek tak langsung (Bell, 1978). Objek
langsung adalah fakta (fact), konsep (concept), prinsip (principle), dan keterampilan
(skill). Sedangkan contoh objek tak langsungnya adalah berpikir logis, kemampuan
memecahkan masalah, sikap positif terhadap matematika, ketekunan dan ketelitian. Jadi,
objek tak langsung adalah kemampuan yang secara tak langsung akan dipelajari siswa
ketika mereka mempelajari objek langsung matematika.
a. Fakta
Di dalam kehidupan nyata sehari-hari, ada kesepakatan berupa aturan bahwa para
pengendara mobil harus berjalan di sebelah kiri. Hal itu harus dilakukan sehingga tidak
terjadi kecelakaan. Hal yang sama terjadi dalam matematika. Berapakah hasil dari 5 +
2 × 10? Apakah 70 ataukah 25? Untuk mengantisipasi terjadinya kebingungan dalam
menentukan dua jawaban tadi, diperlukan adanya kesepakatan antara para
matematikawan. Jika ada yang menanyakan, mengapa perkalian lebih kuat (didahulukan)
dari penjumlahan? Ya jawabannya adalah kesepakatan para matematikawan agar tidak
terjadi kekacauan. Meskipun ada juga yang menyatakan bahwa perkalian adalah
penjumlahan berulang sehingga perkalian didahulukan dari penjumlahan. Berdasarkan
kesepakatan matematikawan tersebut, maka dengan mudah kita dapat memperoleh hasil
yang benar yaitu 25. Itulah suatu contoh fakta yang disepakati untuk menghindari
kekacauan hasil operasi bilangan.
b. Konsep
‘Belah ketupat’ merupakan contoh dari konsep di dalam matematika. Jika menggunakan
kalimat, ‘belah ketupat adalah segiempat yang panjang atau ukuran keempat sisinya
sama.’ Berdasar pengertian atau definisi tersebut, diharapkan para siswa dapat
menentukan dan menjelaskan bahwa bangun datar di bawah ini merupakan contoh ‘belah
ketupat’.

Meskipun demikian, konsep ‘belah ketupat’ dapat juga dimulai dari contoh-contoh
setelah itu dibahas pengertiannya. Pertanyaan yang dapat diajukan sekarang adalah:
“Kapan seorang siswa disebut telah memahami konsep ’belah ketupat’? Kapan ia disebut
belum memahami konsep tersebut? Jika fakta merupakan kesepakatan, maka konsep
adalah suatu ide abstrak yang memungkinkan seseorang untuk mengklasifikasi suatu
objek dan menerangkan apakah objek tersebut merupakan contoh atau bukan contoh.
Seorang siswa disebut telah menguasai konsep belah ketupat jika ia telah dapat
menentukan bangun-bangun datar yang termasuk belah ketupat dan yang bukan belah
ketupat. Untuk sampai ke tingkat tersebut, para siswa harus dapat mengenali atribut atau
sifat-sifat khusus dari belah ketupat.
c. Prinsip
Prinsip (keterkaitan antar konsep) adalah suatu pernyataan yang memuat hubungan
antara dua konsep atau lebih. Contohnya, rumus luas persegipanjang di atas. Pada rumus
tersebut, terdapat beberapa konsep yang digunakan, yaitu konsep luas (L), dan konsep
ukuran sisi-sisinya (p dan l). Seorang siswa dinyatakan telah mampu memahami suatu
prinsip jika ia: (1) ingat rumus atau prinsip yang bersesuaian; (2) memahami beberapa
konsep yang digunakan serta lambang atau notasinya; dan (3) dapat menggunakan rumus
atau prinsip yang bersesuaian pada situasi yang tepat.
d. Keterampilan
Keterampilan (skill) adalah kemampuan untuk menggunakan prosedur atau langkah-
langkah untuk menyelesaikan suatu soal. Istilah yang sering digunakan juga
adalahalgoritma yang berarti langkah-langkah standar untuk menyelesaikan soal.
1 2
Misalnya untuk menentukan hasil dari operasi + 3 maka ada langkah-langkah atau
2

prosedur yang dilakukan, seperti menyamakan penyebut lalu menambah pembilangnya


3 4 7 1
dan kemudian menyederhanakannya sehingga di peroleh 6 + 6 = 6 = 1 6

B. Sosial Kognitif (Bandura)


Perspektif teori Kognitif Sosial lahir berdasar atas dari kritik terhadap teori yang
dikembangkan oleh ahli behavioristik. Menurut Albert Bandura, walaupun prinsip
belajar cukup untuk menjelaskan dan meramalkan perilaku, namun prinsip tersebut
harus memperhatikan suatu fenomena penting yang diabaikan oleh paradigma
behaviorisme, yaitu bahwa manusia mempunyai kemampuan berpikir dan mengatur
tingkah lakunya sendiri. Bandura merumuskan Teori Belajar Sosial dengan
mengakomodasi kemampuan kognitif manusia dalam berpikir dan belajar melalui
pengamatan sosial. Selanjutnya teori belajar sosial ini lebih dikenal dengan Teori
Kognitif Sosial. Bandura (1986) melabel teorinya sebagai teori kognitif sosial
didasarkan atas beberapa alasan. Tidak hanya menempatkan manusia mempunyai
kemampuan kognitif yang berkontribusi pada proses motivasi manusia, afeksi dan
aksi/tindakan, tetapi juga bagaimana mereka memotivasi dan meregulasi perilaku
mereka dan membuat sistemsistem sosial untuk mengorganisasi dan menstrukturisasi
kehidupan mereka (Sri Muliati Abdullah, 2019).
Menurut Sri Muliati Abdullah (2019) Pokok-pokok pemikiran utama Bandura
berdasarkan urutan tahun publikasi berisi tentang penguatan pembahasan dalam unit
human agency sampai dengan konteks changingsocieties (perubahan sosial
kemasyarakatan), antara lain kajian tentang self efficacy dan selanjutnya terdapat
kajian tentang collective efficacy. Ada 5 pokok-pokok pemikiran Bandura yaitu
sebagai berikut:
1. Reciprocal determinism dan human agency
Evolusi teori kognitif sosial sebagai psikologi human agency tercermin
dalam pendapat Bandura yang memandang manusia merupakan seorang agen
yang dapat merubah atau mempengaruhi kejadian/ peristiwa dengan aksi-aksinya.
Dalam pandangan ini, manusia merupakan kontributor bagi rangkaian hidup
mereka sendiri. Perspektif teori agentik merupakan prinsip integratif dalam
perkembangan diri manusia, adaptasi, dan perubahannya. Keberfungsian manusia
berakar dalam sistem sosial. Dalam transaksi agentik, manusia membuat sistem-
sistem sosial, pada gilirannya mempengaruhi perkembangan dan
keberfungsiannya (Bandura, 2012). Human agency mempunyai makna bahwa
manusia mempunyai kapasitas untuk mengarahkan diri sendiri melalui kontrol
terhadap proses berpikir, motivasi dan tindakan diri sendiri.
Bandura menjelaskan bahwa triadic reciprocal determinism merupakan
model yang terdiri dari tiga faktor yang mempengaruhi perilaku yaitu lingkungan
(E), individu (P), dan perilaku (B) itu sendiri. Pada dasarnya, Bandura percaya
bahwa perilaku individu dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan karakteristik
pribadi. Komponen lingkungan terdiri dari lingkungan fisik di sekitar individu
yang berpotensi memperkuat rangsangan, termasuk juga lingkungan sosial yaitu
orang-orang yang hadir (atau tidak). Lingkungan mempengaruhi intensitas dan
frekuensi perilaku, seperti perilaku itu sendiri dapat memiliki dampak terhadap
lingkungan.
2. Kekuatan dan jangkauan pemodelan simbolis
Sumber yang berpengaruh dalam pertumbuhan pembelajaran sosial adalah
pemodelan simbolis yang bervariasi dan menyebar luas melalui media elektronik.
Keuntungan utama dari pemodelan simbolik adalah mampu mengirimkan
informasi pada populasi yang tak terbatas jumlahnya secara bersamaan dalam
lokasi yang tersebar luas. Kemajuan luar biasa dalam teknologi komunikasi
adalah sifat, jangkauan, dan kecepatannya yang mampu mempengaruhi manusia.
Ide-ide baru, nilai-nilai, dan gaya perilaku yang dimodelkan, sekarang mampu
dengan cepat menyebar ke seluruh dunia. Teknologi informasi berkembang
menjadi semakin berfungsi sebagai sarana untuk membangun jaringan sosial yang
melampaui hambatan ruang dan waktu.
Terdapat sejumlah kesalahpahaman tentang sifat dan ruang lingkup pemodelan
yang terjadi dalam beberapa penelitian dan aplikasi sosial tentang pengaruh
belajar sosial. Salah satu kesalahpahaman tersebut adalah bahwa modelling,
imitasi, hanya dapat menghasilkan proses mimikri. Pendapat ini merupakan
warisan dari konsep awal yang sempit tentang modelling. Penelitian tentang
pemodelan abstrak menunjukkan bahwa pemodelan melibatkan informasi abstrak
yang disampaikan oleh pedoman khusus tentang struktur dan prinsip-prinsip dasar
yang mengatur perilaku, tidak sekedar meniru contoh tersebut (Bandura, 1986).
3. Prinsip dan pengaruh pemodelan
Studi Bandura tentang pemodelan melalui observational learning didasari
oleh kondisi situasi politik Amerika Serikat yang terjadi di akhir tahun 1950- an.
Pada saat itu, jangkauan siaran televisi telah menyebar dengan cepat ke seluruh
masyarakat. Industri penyiaran saat itu banyak menampilkan model dengan
adegan kekerasan karena alasan bahwa kekerasan lebih menjual. Televisi
memberikan tontonan tentang perilaku pembunuh. Muncul kekhawatiran publik
tentang kemungkinan efek kekerasan di televisi pada anak-anak. modelling pada
dasarnya merupakan observational learning. Modelling dapat mengajari
pengamat ketrampilan dan aturan berperilaku tertentu.
4. Efikasi diri : komponen kepribadian agentik
Bandura yakin bahwa pengaruh yang ditimbulkan oleh self sebagai salah
satu determinan tingkah laku, tidak dapat dihilangkan. Dengan kata lain, self
diakui sebagai unsur struktur kepribadian. Sistem self bukan merupakan unsur
psikis yang mengontrol tingkah laku, tetapi mengacu ke struktur kognitif yang
memberi pedoman mekanisme dan seperangkat fungs-fungsi persepsi, evaluasi,
dan pengaturan tingkah laku. Pengaruh self tidak terjadi secara otomatis atau
mengatur tingkah laku secara otonom, tetapi self menjadi bagian dari interaksi
resiprokal. Pembentukan efikasi diri sangat penting bagi konsep human agency.
Bagaimana orang bertingkahlaku dalam situasi tertentu tergantung kepada
hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi antara lingkungan dengan
kondisi kognitif, khususnya faktor kognitif yang berhubungan dengan
keyakinannya bahwa dia mampu atau tidak melakukan tindakan dengan
memuaskan. Bandura (1986) mendefinisikan efikasi diri sebagai penilaian
terhadap kemampuan diri untuk melaksanakan suatu kinerja pada tingkat tertentu.
5. Evolusi teori perilaku manusia agentik
Teori kognitif sosial memandang bahwa manusia didorong oleh kekuatan
internal yang dibentuk secara otomatis dan dikontrol oleh stimulasi eksternal.
Keberfungsian manusia yang tercermin dalam model triadic reciprocal yang
didalamnya terdapat perilaku, faktor kognitif dan faktor personal lainnya, dan
lingkungan yang saling berinteraksi satusama lain. Secara alami, manusia
mempunyai memiliki sejumlah kemampuan dasar, yaitu: kemampuan
menerjemahkan simbol, kemampuan berpikir ke depan, kemampuan belajar dari
pengalaman orang lain, dan kemampuan regulasi diri
C. Cognitive Information Processing (Piaget)
Teori belajar oleh Gagne (1988) disebut dengan “Information Processing
Learning Theory”. Teori ini merupakan gambaran atau model dari kegiatan di dalam
otak manusia di saat memroses suatu informasi. Karenanya teori belajar tadi disebut
juga Information-Processing Model oleh Lefrancois atau Model Pemrosesan
Informasi. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan
informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk
hasil belajar.
Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi
internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam
diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang
terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari
lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran. Asumsinya
adalah pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan.
Perkembangan merupakan hasil komulatif dari pembelajaran. Dalam pembelajaran
terjadi proses penerimaan informasi yang kemudian diolah sehingga menghasilkan
output dalam bentuk hasil belajar.. Pembelajaran merupakan keluaran dari
pemrosesan informasi yang berupa kecakapan manusia (human capitalities) yang
terdiri dari: informasi verbal, keca- kapan intelektual, strategi kognitif, sikap,
kecakapan motorik.
Pemrosesan informasi menunjuk kepada cara mengumpulkan/menerima stimuli
dari lingkungan, mengorganisasi data, memecahkan masalah, menemukan konsep-
konsep, dan pemecahan masalah, serta menggunakan simbol-simbol verbal dan non
verbal. Model ini berkenaan dengan kemampuan memecahkan masalah dan
kemampuan berpikir produktif, sertaberkenaan dengan kemampuan intelektual umum
(general intellectual ability). (Aminah Rehalat, 2016)
Menurut Aminah Rehalat (2016) Model belajar pemrosesan informasi ini sering
pula disebut model kognitif information processing, karena dalam proses belajar ini
tersedia tiga taraf struktural sistem informasi, yaitu:
1. Sensory atau intake register: informasi masuk ke sistem melalui sensory register,
tetapi hanya disimpan untuk periode waktu terbatas. Agar tetap dalam sistem,
informasi masuk ke working memory yang digabungkan dengan informasi di
long-term memory.
2. Working memory: pengerjaan atau operasi informasi berlangsung di working
memory, di sini berlangsung berpikir yang sadar. Kelemahan working memory
sangat terbatas kapasitas isinya dan memperhatikan sejumlah kecil informasi
secara serempak.
3. Long-term memory, yang secara potensial tidak terbatas kapasitas isinya sehingga
mampu menampung seluruh informasi yang sudah dimiliki siswa. Kelemahan-
nya adalah betapa sulit mengakses informasi yang tersimpan di dalamnya.

Model pemrosesan informasi ini didasari oleh teori belajar kognitif (Piaget) dan
berorientasi pada kemampuan peserta didik memproses informasi yang dapat
memperbaiki kemampuannya. Pemrosesan Informasi merujuk pada cara
mengumpulkan/menerima stimuli dari lingkungan, mengorganisasi data,
memecahkan masalah, menemukan konsep, dan menggunakan simbol verbal dan
visual. Ilmu kognisi (cognitive science) merupakan kajian mengenai inteligensi
manusia, program computer, dan teori abstrak dengan penekanan pada perilaku
cerdas, seperti perhitungan (Simon&Kaplan dalam Aminah Rehalat, 2016).
Teori pemrosesan informasi /kognitif dipelopori oleh Robert Gagne (1985) dalam
Aminah Rehalat, (2016). Asumsinya adalah pembelajaran merupakan faktor yang
sangat penting dalam perkembangan. Pembelajaran merupakan keluaran pemrosesan
informasi yang berupa kecakapan manusia. Selain itu memori jangka panjang
manusia berisi gambaran-gambaran dari berbagai macam pengenalan pola yang
menghasilkan beberapa teori, yaitu:
a. Teori Template
Teori Template mengusulkan bahwa pola-pola tidak “diuraikan”semua. Template
adalah suatu kesatuan yang holistic atau tidak dapat dianalisis yang kita
bandingkan dengan pola lainnya dengan mengukur seberapa banyak kedua pola
dapat dicocokkan atau saling melengkapi. Kelemahan dari teori template
membuat teori tersebut kurang menjanjikan untuk dijadikan teori umum
pengenalan pola biasanya akan cepat hilang.
b. Teori Ciri
Teori Ciri (Feature Theory) memung- kinkan untuk menggambarkan sebuah pola
dengan membuat bagian-bagiannya. Teori Ciri tepat sekali untuk menggambarkan
perceptual learning (pembelajaran perceptual) dan salah satu diskusi terbaik
mengenai teori cirri terdapat Principle Of Preceptual Learning and Development
dari Gibson (1969).
c. Teori Struktural (structural theory) :
Suatu teori menentukan bagaimana ciri dari sebuah pola bergabung dengan ciri
dari pola tersebut dan menekankan pada hubungan antar ciri menurut Clowes
(1969). Teori Struktural memperluas teori ciri-ciri dengan mengkhususkan
bagaimana ciri-ciri tersebut berhubungan. Sutherland (1968) adalah salah seorang
yang pertama-tama ber-pendapat bahwa jika kita ingin memiliki kemampuan
dalam pengenalan pola yang sangat mengesankan, maka kita membutuhkan jenis
bahasa deskriptif yang lebih kuat yang terkandung dalam teori structural.
Eksperimen bagian ini menunjukkan bahwa Sutherland benar.

D. Meaningfull Learning Theory (Ausebel Assimilation)


Pembelajaran dengan menggunakan masalah-masalah kontekstual dan
pembelajaran yang menyenangkan sejalan dengan prinsip bahwa pembelajaran harus
bermakna (meaningful learning), yang antara lain diajukan oleh Ausubel. Menurut
Ausubel, 1963 dalam Gazali&Rumita (2016), ada dua macam proses belajar, yakni
proses belajar bermakna dan proses belajar menghafal. Belajar bermakna merupakan
suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep- konsep relevan yang terdapat
dalam struktur kognitif seseorang. Jadi, proses belajar tidak sekedar menghafal
konsep- konsep atau fakta-fakta belaka (root learning), namun berusaha
menghubungkan konsep-konsep atau fakta-fakta tersebut untuk menghasilkan
pemahaman yang utuh (meaningfull learning), sehingga konsep yang dipelajari
dipahami secara baik dan tidak mudah dilupakan.
Menurut Bell dalam Gazali&Rumita (2016), obyek dalam matematika
diklasifikasikan atas fakta, keterampilan, konsep, dan prinsip. Fakta merupakan suatu
konvensi atau kesepakatan dalam matematika, misalnya simbol-simbol dalam
matematika. Simbol “4” merupakan simbol yang dihubungkan dengan perkataan
“empat”, “x” adalah simbol yang dihubungkan dengan operasi perkalian , “+” adalah
simbol yang dihubungkan dengan operasi penjumlahan, “│“ adalah simbol yang
dihubungkan dengan perkataan “habis dibagi”, dan sebagainya. Jadi, fakta merupakan
cara yang khas dari penyajian ide-ide matematika dalam kata-kata atau lambang
(simbol). Sedangkan keterampilan (skill) matematika merupakan gabungan antara
operasi dan prosedur di mana matematikawan diharapkan dapat menyelesaikan
persoalan dengan cepat dan tepat.
Konsep merupakan suatu ide atau gagasan abstrak yang memungkinkan seseorang
dapat mengklasifikasikan obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa tertentu dan
memungkinkan pula untuk menentukan apakah obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa
tertentu itu merupakan contoh atau bukan contoh dari gagasan tersebut.

Belajar matematika bermakna Ausebel


David Paul Ausubel adalah seorang tokoh ahli psikologi kognitif yang
mengembangkan teori psikologi kognitif. Teori tersebut merupakan salah satu cabang
dari psikologi umum dan mencakup studi ilmiah tentang gejala-gejala kehidupan
mental sejauh berkaitan dengan cara manusia berpikir dalam memperoleh
pengetahuan, mengolah kesan-kesan yang masuk melalui indra, pemecahan masalah,
menggali ingatan pengetahuan dan prosedur kerja yang dibutuhkan dalam kehidupan
sehari- hari. Ausubel dalam teorinya yang berkaitan dengan cara manusia
memperoleh pengetahuan, mengkontraskan belajar bermakna dengan belajar hafalan
(Gazali & Rumita, 2016).
Novak (Dahar, 2011 dalam Gazali&Rumta, 2016) menjelaskan bahwa Ausubel
mengklasifikasikan belajar ke dalam dua dimensi yaitu dimensi pertama tentang cara
penyajian informasi atau materi kepada siswa melalui penerimaan dan penemuan.
Sedangkan dimensi kedua tentang cara siswa mengkaitkan materi yang diberikan
pada struktur kognitif yang telah ada, yaitu berupa fakta, konsep, dan generalisasi
yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa. Dimensi kedua ini merupakan proses
utama dalam belajar di mana materi baru terkait dengan ide-ide yang relevan dalam
struktur kognitif yang ada.
Ausubel (1978: 41) menyatakan: “…,if the learner’s intention is to memorise it
verbatim, i.e., as a series of arbitrarily related word, both the learning process and the
learning outcome must necessarily be rote and meaningless”. Jika seorang siswa
berkeinginan untuk mengingat sesuatu tanpa mengaitkan dengan hal yang lain maka
baik proses maupun hasil pembelajarannya dapat dinyatakan sebagai hafalan dan
tidak akan bermakna sama sekali baginya. Dapat dikataan bahwa, belajar dengan
menghafal mengurangi esensi dari kebermaknaan suatu pembelajaran, sehingga
belajar bermakna lebih memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan
menghafal.
Pembelajaran bermakna berkaitan erat dengan pembelajaran kontekstual, yaitu
pembelajaran yang didukung situasi atau masalah dalam kehidupan nyata. Landasan
filosofis kontekstual itu sendiri adalah konstruktivisme, yaitu filosofi belajar yang
menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal (rote learning), tetapi
merekonstruksikan atau membangun pengetahuan dan keterampilan baru lewat fakta-
fakta yang mereka alami dalam kehidupannya (Gazali&Rumita, 2016).
Contoh belajar bermakna (Fadjar Shadiq & Nur Amini, 2011).

Perhatikan tiga bilangan berikut.


1) 89.107.145
2) 54.918.071
3) 17.081.945
Manakah bilangan yang paling mudah dan paling sulit diingat siswa?
Apakah untuk dapat mengingat bilangan-bilangan diatas perlu dikaitkan dengan hal
tertentu yang sudah dimengerti siswa?
Bagaimana merancang pembelajaran matematika yang bermakna?
Bagaimana merancang pembelajaran matematika yang bermaka?
Misalkan saja Anda diminta untuk membantu siswa Anda untuk mengingat bilangan
kedua, yaitu 54.918.071. Anda dapat saja meminta setiap siswa untuk
mengulangulang menyebutkan bilangan di atas sehingga mereka hafal, maka proses
pembelajarannya disebut dengan belajar membeo atau belajar hafalan seperti sudah
dibahas pada bagian sebelumnya. Sebagai akibatnya, bilangan tersebut akan cepat
hilang jika tidak diulang-ulang lagi. Bagaimana proses menghafal bilangan kedua,
yaitu 54.918.071 agar menjadi bermakna? Yang perlu diperhatikan adalah adanya
hubungan antara bilangan kedua dengan bilangan ketiga. Bilangan kedua bisa didapat
dari bilangan ketiga namun dengan menuliskannya dengan urutan terbalik. Jadi, agar
proses mengingat bilangan kedua dapat bermakna, maka proses mengingat bilangan
kedua (yang baru) harus dikaitkan dengan pengetahuan yang sudah dimiliki, yaitu
tentang 17-08-1945 akan tetapi dengan membalik urutan penulisannya menjadi 5491-
80-71. Untuk bilangan pertama, yaitu 89.107.145. Bilangan ini hanya akan bermakna
jika bilangan itu dapat dikaitkan dengan pengetahuan yang sudah ada di dalam pikiran
kita. Contohnya jika bilangan itu berkait dengan nomor telepon atau nomor lain yang
dapat kita kaitkan.

E. Cognitive Theory (Piaget)


Kognitivisme terkait kognisi (knowing) yaitu kegiatan untuk mengetahui sesuatu
yang mencakup perolehan, pengorganisasian dan pemakaian pengetahuan. Artinya,
kognisi fokus pada memori, atensi, persepsi, bahasa, rasio, pemecahan masalah dan
kreatifitas (Elliott,et.al dalam Idrus Alhaddad, 2012) serta peran struktur mental atau
pengorganisasiannya dalam proses mengetahui sesuatu (Lefrancois, dalam Idrus
Alhaddad, 2012).
Tekanan utama pendekatan psikologi kognitif terletak pada bagaimana informasi
diproses dan disimpan; ini tentu berbeda dengan pendekatan psikologi behavioristik
yang fokus pada tingkah laku dalam kontek lingkungan dan kosekuensinya. Dengan
demikian, psikologi kognitif, menurut Phye&Andre, adalah studi tentang struktur
kognisi dan komponennya dalam memproses informasi (Elliott,et.al., dalam Idrus
Alhaddad, 2012). Konsep kognitif pembelajaran, menurut Shuell, telah berpengaruh
besar pada pembelajaran berupa pemberian kesadaran yang tinggi pada pendidik
betapa pentingnya pengaruh pengetahuan awal (entry behavior) siswa dan strategi
penguatan memori mereka terhadap pembelajaran mereka saat ini (Elliott et.al., dalam
Idrus Alhaddad, 2012).
Jean Piaget lahir pada tanggal 9 Agustus 1896 di Neuchatel, Swiss. Piaget
mengembangkan teori perkembangan kognitif yang cukup dominan selama beberapa
dekade. Dalam teorinya Piaget membahas pandangannya tentang bagaimana anak
belajar. Ini merupakan suatu pandangan konstruktivisme.
Pada Pandangan konstruktivisme, pengetahuan tumbuh dan berkembang melalui
pengalaman. Pemahaman berkembang semakin dalam dan semakin kuat apabila
selalu diuji dengan pengalaman baru. Manusia memiliki struktur pengetahuan dalam
otaknya, seperti kotak-kotak yang masing-masing berisi informasi bermakna yang
berbeda-beda. Pengalaman yang sama bagi beberapa orang akan dimaknai berbeda-
beda oleh masing-masing individu dan disimpan dalam kotak yang berbeda. Setiap
pengalaman baru dihubungkan dengan kotak-kotak (struktur pengetahuan) dalam
otak manusia. Struktur pengetahuan dikembangkan dalam otak manusia melalui dua
cara, yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi, maksudnya struktur pengetahuan baru
dibuat atau dibangun atas dasar struktur pengetahuan yang sudah ada. Akomodasi,
maksudnya struktur pengetahuan yang sudah ada dimodifikasi untuk menampung dan
menyesuaikan dengan hadirnya pengalaman baru (Idrus Alhaddad, 2012).
Menurut Piaget (Ruseffendi dalam Idrus Alhaddad, 2012) ada tiga dalil pokok
dalam perkembangan mental manusia, yaitu:
1. Perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi
dengan urutan yang sama.
2. Tahap-tahap itu didefinisikan sebagai kluster dari operasi-operasi mental yang
menunjukkan adanya tingkah laku intelektual.
3. Gerak melalui tahap-tahap itu dilengkapkan oleh adanya keseimbangan
(ekuilibration) proses pengembangan yang menguraikan tentang in interaksi
antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).
Disamping itu ada empat konsep dasar Piaget yang dapat diaplikasikan pada
pendidikan matematika, yang berimplikasi pada organisasi lingkungan pendidikan,
isi kurikulum dan urut-urutannya, metode mengajar, dan evaluasi. Keempat konsep
dasar tersebut adalah: (1) Skemata, (2) asimilasi, (3) akomodasi, dan (4) ekuilibrium
(Senduk dalam Idrus Alhaddad, 2012).
Proses belajar harus disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif yang
dilalui oleh siswa yang terbagi kedalam empat tahap, yaitu (Winfred F. Hill, Erawati,
dkk, dalam Nurhadi, 2020):
1. Tahap sensorimotor (anak usia lahir-2 tahun)
2. Tahap preoperational (anak usia 2-8 tahun)
3. Tahap operational konkret (anak usia 7/8-12/14 tahun)
4. Tahap operational formal (anak usia 14 tahun lebih)
Pada tahap sensori motor (0-2 tahun) seorang anak akan belajar untuk
menggunakan dan mengatur kegiatan fisik dan mental menjadi rangkaian perbuatan
yang bermakna. Pada tahap ini, pemahaman anak sangat bergantung pada kegiatan
(gerakan) tubuh dan alat-alat indera mereka. Contohnya ketika seorang anak
menirukan suara suatu benda maka hal itu menandakan bahwa yang ia maksud adalah
benda tersebut.
Pada tahap pra-operasional (2-7 tahun), seorang anak masih sangat dipengaruhi
oleh hal-hal khusus yang didapat dari pengalaman menggunakan indera, sehingga ia
belum mampu untuk melihat hubungan-hubungan dan menyimpulkan sesuatu secara
konsisten. Pada tahap ini, anak masih mengalami kesulitan dalam melakukan
pembalikan pemikiran (reversing thought) serta masih mengalami kesulitan bernalar
secara induktif maupun deduktif, karena pemikirannya masih dalam tahap transduktif
(transductive), yaitu suatu proses penarikan kesimpulan dari hal khusus yang satu ke
hal khusus yang lain. Jika ia melihat suatu benda yang asalnya sama tapi dalam bentuk
yang berbeda, maka si anak akan mengatakan bahwa benda tersebut adalah dua hal
yang beda pula. Sebagai contoh, jika anak diberikan tali yang pada awalnya
dibentangkan dari dua sisi yang berbeda, kemudian tali itu digenggam dan diletakkan
begitu saja di atas meja, maka mereka akan mengatakan bahwa itu adalah dua tali
yang berbeda.
Pada tahap operasional konkret (7-11 tahun), umumnya anak sedang menempuh
pendidikan di sekolah dasar. Di tahap ini, seorang anak dapat membuat kesimpulan
dari suatu situasi nyata atau dengan menggunakan benda konkret, dan mampu
mempertimbangkan dua aspek dari suatu situasi nyata secara bersama-sama
(misalnya, antara bentuk dan ukuran). Contohnya adalah konsep kekekalan luas
dimana luas suatu daerah akan kekal (tetap) jika daerah tersebut dibagi menjadi
beberapa bagian.
Pada tahap operasional formal (lebih dari 11 tahun), kegiatan kognitif
seseorang tidak mesti menggunakan benda nyata. Tahap ini merupakan tahapan
terakhir dalam perkembangan kognitif. Dengan kata lain, mereka sudah mampu
melakukan abstraksi, dalam arti mampu menentukan sifat atau atribut khusus sesuatu
tanpa menggunakan benda nyata. Pada permulaan tahap ini, kemampuan bernalar
secara abstrak mulai meningkat, sehingga seseorang mulai mampu untuk berpikir
secara deduktif. Contohnya, mereka sudah mulai mampu untuk menggunakan
variabel.
F. Sociocultural Theory (Vygotsky)
Menurut Vygotsky, setiap individu berkembang dalam konteks sosial. Semua
perkembangan intelektual yang mencakup makna, ingatan, pikiran, persepsi, dan
kesadaran bergerak dari wilayah interpersonal ke wilayah intrapersonal. Mekanisme
yang mendasari kerja mental tingkat tinggi itu merupakan salinan dari interaksi sosial
(Confrey, Taylor dalam Rudi Santoso, 2010). Dalam pandangan Vygotsky, semua
kerja kognitif tingkat tinggi pada manusia mempunyai asal-usul dalam interaksi sosial
setiap individu dalam konteks budaya tertentu (Brunning dalam Rudi Santoso, 2010).
Atau dengan meminjam istilah Wilson dkk. dalam Rudi Santoso (2010), kognisi
merupakan internalisasi dari interaksi sosial. Teori kognisi sosial dari Vygotsky ini
mendorong perlunya landasan sosial yang baru untuk memahami proses pendidikan.
Setiap anak akan melewati dua tingkat (level) dalam proses belajar, yaitu pertama
pada level sosial, yaitu anak melakukan kolaborasi dengan orang lain dan kedua pada
level individual, yaitu anak melakukan proses internalisasi (Jones & Thornton, dalam
Rudi Santoso, 2010). Menurut Solso dalam Rudi Santoso (2010), internalisasi
merupakan proses transformasi tindakan eksternal (perilaku) menjadi kerja psikologis
internal (proses). Jones & Thornton dalam Rudi Santoso (2010) menggambarkan
kondisi ini seperti gambar di bawah ini.
Daerah Perkembangan Terdekat (Zone of Proximal Development)
Vygotsky mengemukakan konsep tentang Zone of Proximal Development (ZPD),
yang dapat diartikan sebagai Daerah Perkembangan Terdekat (DPT). Menurut
Vygotsky, perkembangan kemampuan seseorang dapat dibedakan ke dalam dua
tingkat, yaitu tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial.
Tingkat perkembangan aktual tampak dari kemampuan seseorang untuk
menyelesaikan tugas-tugas atau memecahkan berbagai masalah secara mandiri.
Sedangkan tingkat perkembangan potensial tampak dari kemampuan seseorang untuk
menyelesaikan tugas-tugas dan memecahkan masalah ketika di bawah bimbingan
orang dewasa atau ketika berkolaborasi dengan teman sebaya yang lebih kompeten.
Vygotsky yakin bahwa pembelajaran terjadi apabila siswa bekerja atau belajar
menangani tugas-tugas atau masalah kompleks yang masih berada pada jangkauan
kognitif siswa atau tugas-tugas tersebut berada pada Daerah Perkembangan Terdekat
(Zone of Proximal Development (ZPD)).
Vygotsky (Taylor, 1993: 5)
mendefinisikan Zone of Proximal
Development (ZPD) sebagai berikut. Zone
of proximal development is the distance
between the actual developmental level as
determined through independent problem
solving and the level of potential development
as determined through problem solving under adult guidance or in collaboration with
more capable peers. ZPD (DPT) adalah jarak antara taraf perkembangan aktual,
seperti yang nampak dalam pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat
perkembangan potensial, seperti yang ditunjukkan dalam pemecahan masalah di
bawah bimbingan orang dewasa atau dengan bekerja sama dengan teman sebaya yang
lebih mampu (Rudi Santoso, 2010).
Menurut Tharp & Gallimore dalam Rudi Santoso (2010), tingkat perkembangan
ZPD (DPT) terdiri atas empat tahap, yaitu:
Tahap Pertama: More Dependence to Others Stage
Tahapan dimana kinerja anak mendapat banyak bantuan dari pihak lain, seperti
teman-teman sebayanya, orang tua, guru, masyarakat, ahli, dan lain-lain. Dari sinilah
muncul model pembelajaran kooperatif atau kolaboratif dalam mengembangkan
kognisi anak secara konstruktif.
Tahap Kedua: Less Dependence External Assistence Stage
Tahap dimana kinerja anak tidak lagi terlalu banyak mengharapkan bantuan dari pihak
lain, tetapi lebih kepada self assistance, lebih banyak anak membantu dirinya sendiri.
Tahap Ketiga: Internalization and Automatization Stage
Tahap dimana kinerja anak sudah lebih terinternalisasi secara otomatis. Kasadaran
akan pentingnya pengembangan diri dapat muncul dengan sendirinya tanpa paksaan
dan arahan yang lebih besar dari pihak lain. Walaupun demikian, anak pada tahap ini
belum mencapai kematangan yang sesungguhnya dan masih mencari identitas diri
dalam upaya mencapai kapasitas diri yang matang.
Tahap Keempat: De-automatization Stage
Tahap dimana kinerja anak mampu mengeluarkan perasaan dari kalbu, jiwa, dan
emosinya yang dilakukan secara berulang-ulang, bolak-balik, recursion. Pada tahap
ini, keluarlah apa yang disebut dengan de automatisation sebagai puncak dari kinerja
sesungguhnya.

Implikasi Teori Vygotsky terhadap Pembelajaran Matematika


Mengingat proses belajar mula-mula berlangsung pada taraf sosial, maka proses
pembelajaran Matematika di kelas hendaknya bersifat interaktif, baik antara siswa
dan guru maupun antar siswa. Interaksi ini mengarah sampai kepada terjadinya
intersubjektivitas, yakni kecocokan di kedua belah pihak yang memungkinkan
keduanya mampu mengerti, memeriksa, bernegosiasi, dan saling memanfaatkan sudut
pandang pihak lain. Di samping kegiatan interaktif, guru Matematika di kelas perlu
juga menyediakan kesempatan secukupnya bagi siswa untuk mengalami internalisasi.
Agar tersedia kesempatan untuk internalisasi pada diri siswa, guru tidak boleh
tergesa-gesa dalam memfasilitasi kegiatan pembelajaran dan perlu memberikan jeda
waktu di sela-sela kesatuankesatuan kegiatan di kelas. Selain itu guru disarankan
untuk:
a. Peka terhadap pengetahuan yang mungkin diberikan siswa dalam situasi belajar.
b. Mengusahakan pemecahan masalah interaktif sebagai panduan bagi belajar siswa.
c. Menyajikan beberapa masalah yang menantang.
d. Mendorong, menggali, dan menerima penyelesaian dan strategi yang berbeda.
e. Mengusahakan agar siswa menerangkan dan memberikan alasan bagi pendapat
mereka (Jones & Thornton dalam Rudi Santoso, 2010).
G. Discovery Learning (Bruner)
Alfieri et al. dalam Wahyudi (2016) mendefinisikan bahwa discovery learning
sebagai teori konstruktivis berbasis inquiry di mana individu menarik pengalaman
masa lalu mereka dan pengetahuan yang ada untuk mengeksplorasi dan memahami
konsep – konsep. Sedangkan menurut Kemdikbud (2013), discovery learning adalah
teori belajar yang didefinisikan sebagai proses pembelajaran yang terjadi bila pelajar
tidak disajikan dengan pelajaran dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan
mengorganisasi sendiri. Menurut Sardiman (Kemdikbud, 2013) menyatakan bahwa
pengaplikasian model discovery learning, guru berperan sebagai pembimbing dengan
memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara aktif, sebagaimana
pendapat guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa
sesuai dengan tujuan. Kondisi seperti ini ingin merubah kegiatan belajar mengajar
yang teacher oriented menjadi student oriented.

Menurut Bruner, partisipasi aktif peserta didik dan mengenal dengan baik adanya
perbedaan kemampuan penting dalam proses belajar. Dalam meningkatkan proses
belajar, diperlukan “discovery learning environtment”. Discovery learning
environtment merupakan lingkungan yang dapat membuat peserta didik melakukan
eksplorasi, penemuan-penemuan baru yang belum dikenal atau pengertian yang mirip
dengan yang sudah diketahui (Slameto, 2003).

Tujuan Pembelajaran Discovery Learning


Menurut Bell (1978, h. 104) dalam Goyena dan Faills (2019), beberapa tujuan spesifik
dari pembelajaran dengan penemuan, yakni sebagai berikut:
1) Dalam penemuan siswa memiliki kesempatan untuk terlibat secara aktif dalam
pembelajaran. Kenyataan menunjukkan bahwa partisipasi banyak siswa dalam
pembelajaran meningkat ketika penemuan digunakan.
2) Melalui pembelajaran dengan penemuan, siswa belajar menemukan pola dalam
situasi konkret maupun abstrak, juga siswa banyak meramalkan (extrapolate)
informasi tambahan yang diberikan.
3) Siswa juga belajar merumuskan strategi tanya jawab yang tidak rancu dan
menggunakan tanya jawab untuk memperoleh informasi yang bermanfaat dalam
menemukan.
4) Pembelajaran dengan penemuan membantu siswa membentuk cara kerja bersama
yang efektif, saling membagi informasi, serta mendengar dan menggunakan ide-
ide orang lain.
5) Terdapat beberapa fakta yang menunjukkan bahwa keterampilan- keterampilan,
konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang dipelajari melalui penemuan lebih
bermakna.
6) Keterampilan yang dipelajari dalam situasi belajar penemuan dalam beberapa
kasus, lebih mudah ditransfer untuk aktivitas baru dan diaplikasikan dalam situasi
belajar yang baru.

Menurut Hamid (2007, dalam Buto 2010) discovery learning memiliki prinsip-prinsip
sebagai berikut.
1. Semakin tinggi tingkat perkembangan intelektual seseorang, makin meningkat
pula ketidaktergantungan individu terhadap stimulus yang diberikan.
2. Pertumbuhan seseorang tergantung pada perkembangan kemampuan internal
untuk menyimpan dan memproses informasi. Data yang diterima orang dari luar
perlu diolah secara mental.
3. Perkembangan intelektual meliputi peningkatan kemampuan untuk
mengutarakan pendapat dan gagasan melalui simbol.
4. Untuk mengembangkan kognitif seseorang diperlukan interaksi yang sistematik
antara pengajar dan peserta didik.
5. Perkembangan kognitif meningkatkan kemampuan seseorang untuk memikirkan
beberapa alternatif secara serentak, memberikan perhatian kepada beberapa
stimulus dan situasi serta melakukan kegiatan-kegiatan.

Tahap Persiapan dalam Aplikasi Model Discovery Learning


Dalam rangka mengaplikasikan metode discovery learning di dalam kelas, seorang
guru bidang studi harus melakukan beberapa persiapan terlebih dahulu. Berikut ini
tahap perencanaan menurut Bruner (Guyena dan Faills, 2019):
a. Menentukan tujuan pembelajaran.
b. Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, minat, gaya
belajar, dan sebagainya).
c. Memilih materi pelajaran. d. Menentukan topik-topik yang harus dipelajari siswa
secara induktif (dari contoh-contoh generalisasi).
d. Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh, ilustrasi, tugas
dan sebagainya untuk dipelajari siswa.
e. Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang
konkret ke abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik sampai ke simbolik.
f. Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa.

Pada saat menerapkan model pembelajaran discovery learning, guru hendaknaya


mampu merumuskan langkah-langkah pembelajaran sesuai dengan tingkat
perkembangan kompetensi dasar yang dimiliki peserta didik. Sesuai dengan masih
dibutuhkannya peran guru dalam proses pembelajaran tersebut, dalam penelitian
dirumuskan sintaks pembelajaran dengan implementasi model pembelajaran
penemuan secara terbimbing menurut BSNP (2014) sebagai berikut Mulyana (2020).

1. Stimulasi/pemberian rangsangan (Stimulation)


Pertama-tama pada tahap ini pelajar dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan
kebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, agar
timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Disamping itu guru dapat memulai
kegiatan PBM dengan mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, dan
aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah.
Stimulasi pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi belajar
yang dapat mengembangkan dan membantu peserta didik dalam mengeksplorasi
bahan.
2. Pernyataan/identifikasi masalah (Problem statement)
Setelah dilakukan stimulasi langkah selanjutnya adalah guru memberi kesempatan
kepada peserta didik untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda
masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan
dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan
masalah).
3. Pengumpulan Data (Data collection)
Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada para
peserta didik untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan
untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis (Syah, 2004: 244). Pada tahap
ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya
hipotesis, dengan demikian anak didik diberi kesempatan untuk mengumpulkan
(collection) berbagai informasi yang relevan, membaca literatur, mengamati
objek, wawancara dengan narasumber, melakukan uji coba sendiri dan
sebagainya.
4. Pengolahan Data (Data Processing)
Menurut Syah (2004: 244) pengolahan data merupakan kegiatan mengolah data
dan informasi yang telah diperoleh para peserta didik baik melalui wawancara,
observasi, dan sebagainya, lalu ditafsirkan. Semua informai hasil bacaan,
wawancara, observasi, dan sebagainya, semuanya diolah, diacak, diklasifikasikan,
ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada
tingkat kepercayaan tertentu
5. Pembuktian (Verification)
Pada tahap ini peserta didik melakukan pemeriksaan secara cermat untuk
membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan temuan
alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing (Syah, 2004: 244).
Verification menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar akan berjalan dengan
baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
menemukan suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui contoh-contoh
yang mereka jumpai dalam kehidupannya.
6. Menarik kesimpulan/generalisasi (Generalization)
Tahap generalisasi/menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah
kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian
atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi (Syah, 2004:
244). Berdasarkan hasil verifikasi maka dirumuskan prinsip- prinsip yang
mendasari generalisasi.

Kelebihan dan Kelemahan Metode Discovery Learning

Dalam artikel The Act of Discovery, Bruner menyebutkan ada beberapa keuntungan
jika suatu bahan dari suatu mata pelajaran disampaikan dengan menerapkan
pendekatan-pendekatan yang berorientasi pada discovery learning, yaitu Bruner
(Guyena dan Faills, 2019)

1) Adanya suatu kenaikan dalam potensi intelektual.


2) Ganjaran intrinsik lebih ditekankan dari pada ekstrinsik.
3) Murid yang mempelajari bagaimana menemukan berarti murid itu menguasai
metode discovery learning.
4) Murid lebih senang mengingat-ingat materi.

Kelemahan metode discovery learning menurut BSNP (2014) dalam Mulyana (2020)
adalah sebagai berikut:
1) Metode ini menimbulkan asumsi bahwa ada kesiapan pikiran untuk belajar. Bagi
peserta didik yang kurang pandai, akan mengalami kesulitan abstrak atau berfikir
atau mengungkapkan hubungan antara konsep- konsep, yang tertulis atau lisan,
sehingga pada gilirannya akan menimbulkan frustasi,
2) Metode ini tidak efisien untuk mengajar jumlah peserta didik yang banyak, karena
membutuhkan waktu yang lama untuk membantu mereka menemukan teori atau
pemecahan masalah lainnya
3) Harapan-harapan yang terkandung dalam metode ini dapat buyar berhadapan
dengan peserta didik dan guru yang telah terbiasa dengan cara-cara belajar yang
lama
4) Pengajaran discovery lebih cocok untuk mengembangkan pemahaman,
sedangkan mengembangkan aspek konsep, keterampilan dan emosi secara
keseluruhan kurang mendapat perhatian
5) Pada beberapa disiplin ilmu, misalnya IPA kurang fasilitas untuk mengukur
gagasan yang dikemukakan oleh para peserta didik
6) Tidak menyediakan kesempatan-kesempatan untuk berfikir yang akan ditemukan
oleh peserta didik karena telah dipilih terlebih dahulu oleh guru.

H. Constructivm (Papert)
Konstruktivisme merupakan filsafat atau aliran dalam pendidikan yang
perpandangan bahwa siswa mengkreasi pengetahuannya melaui interaksi dengan
lingkungannya termasuk interaksi dengan siswa lain. Konstruktivis berpandangan
bahwa pengalaman dan lingkungan berperan bagi siswa dalam belajar, dan bahwa
bahasa merupakan kunci akusisi pengetahuan.
Konstruktivis mempercayai bahwa praktek pembelajaran harus banyak
percakapan. Melalui percakapan, guru memahami siswa, sehingga dapat
mempersiapkan siswa untuk belajar dan bagaimana mengorganisasi pengalaman,
sehingga siswa dapat mengkonstruk makna, pemahaman dan pengetahuan.
Guru konstruktivis menganut metode pembelajaran yang memposisikan siswa
kontak dengan lingkungan, interaksi antara siswa satu dengan yang lain dengan guru
memberi pertanyaan-pertanyaan, siswa mencari sumber dan merancang penyelesaian
masalah.
Guru konstruktivis membantu siswa dalam mengkreasi konstruks. Guru
konstruktivis mengamati setiap siswa untuk dapat belajar. Berdasarkan hasil
observasi, guru mengkreasi lingkungan sehingga siswa dapat mengkonstruk
pengetahuannya. Guru konstruktivis memberi kesempatan siswa untuk bertanya,
melakukan penyelidikan dan berfikir masak-masak.
Belajar paling baik terjadi ketika siswa dapat menghubungkan apa yang dia
pelajari di kelas dengan lingkungan dan mengkreasi makna dari pengalaman yang
berbeda. Berfikir kreatif (creative thinking) terjadi saat siswa harus mengakomodasi
pemikiran orang lain dan menerima cara berfikir lain (Mathilda Susanti, 2015).

Implementasi teori konstruktivisme dalam matematika


Tujuan pembelajaran dari pandangan konstuktivis bukan seberapa banyak
memberikan informasi untuk membentuk pengetahuan dan proses metakognitif untuk
berpendapat, mengorganisasikan, dan akuisisi informasi baru. Kelebihan
pembelajaran konstruktif dibanding pembelajaran yang lain adalah bahwa siswa aktif
dan bereaksi untuk membuat makna dalam proses konstruksi pengetahuan.
Manifestasi pendekatan konstruktivis dalam pembelajaran matematika menurut
Bruning dalam Mathilda (2015) ada beberapa cara antara lain adalah:
 Memilih materi pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat memanipulasi
atau berinteraksi dengan lingkungannya
 Memilih aktivitas yang mendorong siswa melakukan pengamatan,
mengumpulkan data, menguji hipotesis, dan berpartisipasi
 Pembelajaran menggunakan cooperative learning dan diskusi terbimbing
 Integrasi kurikulum misal menggunakan projek tematik yang menggabungkan
matematika, sain, membaca dan menulis.
Hal tersebut senada dengan Suparno dalam Mathilda (2015) yang menyatakan bahwa
pembelajaran berdasarkan konstruktivisme berusaha untuk melihat dan
memperhatikan konsepsi dan persepsi siswa dari kacamata siswa sendiri. Guru dalam
pembelajaran berperan sebagai moderator dan fasilitator. Tugas guru dalam
pembelajaran adalah:
 Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab
dalam membuat rancangan dan proses penyelidikan
 Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang
keingintahuan siswa, membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-
gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka. Menyediakan sarana
yang merangsang siswa berpikir produktif.
 Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran siswa jalan atau
tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa
berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan.
Dalam pembelajaran konstruktivis, tipe konstruktivisme menentukan metode
pembelajaran yang digunakan. Pressley, Harris, & Marks, Pressley & Wharton-
McDonald dalam Mathilda (2015) menggolongkan konstruktivisme dalam tiga tipe
yaitu konstruktivisme exsogenous, konstruktivisme endogenous dan konstruktivisme
dialektik. Ketiga tipe melibatkan konstruksi pengetahuan, tetapi mencerminkan
perbedaan dalam bagaimana konstruksi pengetahuan terjadi.
Dalam konstruksi exogenous, pembentukan pengetahuan pada dasarnya suatu
rekonstruksi struktur, seperti hubungan sebab-akibat, informasi yang ada, dan pola
tingkah laku yang teramati yang sudah ada di realitas eksternal. Dalam pandangan ini,
struktur mental kita mencerminkan pengaturan dunia luar (exogenous) ke dalam diri
kita. Konstruktivisme exogenous menekankan kuatnya pengaruh eksternal realitas
fisik, informasi yang ada, dan model sosial pada pembentukan pengetahuan. Contoh
metode pembelajaran yang cocok untuk construktivisme exsogenous adalah
reciprocal teaching, dimana guru membimbing individu yang baru belajar secara
bertahap, sampai dia dapat mengkonstruk cukup pengetahuan dan mengatur
kemampuannya.
Berbeda dengan konstruktivisme exogenous, pada konstruktivisme endogenous
struktur mental dikreasi dari struktur sebelumnya, tidak langsung dari informasi yang
tersedia di lingkungan. Dalam konstruktivisme endogenous, proses kuncinya adalah
koordinasi kegiatan mental; pengetahuan berada pada level yang lebih abstrak dan
dibangun melalui aktivitas mental dari dalam diri sendiri. Struktur mental dikreasi
dari struktur lain sebelumnya dan diikuti dengan yang lain dalam susunan yang dapat
diramalkan. Stase perkembangan kognitif Piaget merupakan contoh konstruktivisme
endogenous. Contoh metode yang cocok dengan pandangan konstruktivisme
endogenous adalah discovery learning dan literasi.
Kategori yang ketiga berada di antara konstruktivisme exogenous dan
konstruktivisme endogenous. Konstruktivisme dialektikal menempatkan sumber
pengetahuan dalam interaksi antara pebelajar dengan lingkungannya. Kontruktivisme
dialektikal berhubungan dengan filosofi lain yang mempengaruhi psikologi Amerika
yaitu kontektualisme yang berpegangan bahwa pikiran dan pengalaman merupakan
rangkaian yang tak terpisahkan dengan konteks yang terjadi. Contoh metode
pembelajaran yang cocok dengan konstruktivisme dialektikal adalah colaborative
peer teaching di mana siswa bekerja sama, saling membantu satu dengan yang lain
dalam mengkonstruk pengetahuannya (O’Donnel dalam Mathilda, 2015).
Walaupun ketiga tipe konstruktivisme menyatakan pandangan yang berbeda,
Moshman berpendapat bahwa masing-masing dapat digunakan individu-individu
dalam mengkonstruk pengetahuan. Sebagai contoh misal seorang anak yang baru
belajar dia menggunakan konstruktivisme exsogenous ketika mempelajari bidang
yang baru, misal pengantar statistika, karena sedikitnya pengetahuan awal (prior
knowledge) yang dimiliki. Dalam hal ini dia akan tergantung pada buku teks, guru,
dan pakar dalam membangun pengetahuan dan keterampilan dasar. Individu yang
sama mungkin akan berkolaborasi dengan teman-temannya dalam belajar untuk
memperdalam penguasaan materi dan konsep, dan merevisi dan mempertajam
kemampuan penalaran statistikanya. Paling mungkin adalah hanya setelah
memperoleh beberapa tingkat keahlian seseorang menggunakan konstruktivisme
endogenous untuk restrukturisasi pengetahuannya dengan cara baru (Mathilda, 2015).

I. Situated Cognition (Lave, Wenger; Brown, Collins, Duguid)


Letak Pengetahuan dan Pembelajaran
Orang pada umumnya mempelajari kata-kata dalam konteks komunikasi biasa.
Proses ini sangat cepat dan berhasil. Miller dan Gildea mencatat bahwa dengan
mendengarkan, berbicara, dan membaca, rata-rata anak berusia 17 tahun telah
mempelajari kosakata dengan kecepatan 5.000 kata per tahun (13 per hari) selama
lebih dari 16 tahun. Sebaliknya, mempelajari kata-kata dari definisi abstrak dan
kalimat yang diambil dari konteks penggunaan normal, carakosakata diajarkan,
lambat dan umumnya tidak berhasil. Waktu di kelas hampirtidak cukup untuk
mengajarkan lebih dari 100 hingga 200 kata per tahun. Selain itu, banyak dari apayang
diajarkan ternyata hampir tidak berguna dalam praktiknya (John Seely dkk, 1989)
Mengingat metodenya, kesalahan seperti itu tampaknya tidak dapat dihindari.
Mengajar dari kamus mengasumsikan bahwa definisi dan contoh kalimat adalah
"potongan" pengetahuan yang berdiri sendiri. Tetapi kata-kata dan kalimat bukanlah
pulau, utuh sendiri. Penggunaan bahasa akanmelibatkan konfrontasi tak henti-
hentinya dengan ambiguitas, polisemi, nuansa, metafora, dan sebagainya jika ini tidak
diselesaikan dengan bantuan ekstralinguistik yang diberikan konteks ucapan
(Nunberg dalam John Seely dkk, 1978).
Pembelajaran dan alat
Untuk mengeksplorasi gagasan bahwa konsep ditempatkan dan dikembangkan
secara progresif melalui aktivitas, kita harus meninggalkan setiap gagasan bahwa
konsep itu abstrak, entitas yang berdiri sendiri. Sebaliknya, mungkin lebih berguna
untuk mempertimbangkan pengetahuan konseptual sebagai hal yang mirip dengan
seperangkat alat. Alat berbagi beberapa fitur penting dengan pengetahuan: Mereka
hanya dapat dipahami sepenuhnya melalui penggunaan, dan menggunakannya
memerlukan perubahan pandangan pengguna tentang dunia dan mengadopsi sistem
kepercayaan budaya tempat mereka digunakan. Pertama, jika pengetahuan dianggap
sebagai alat, kita dapat mengilustrasikan perbedaan Whitehead (1929) antara
perolehan konsep inert belaka dan pengembangan pengetahuan yang berguna dan
kuat. Sangat mungkin untuk mendapatkan alat tetapi tidak dapat menggunakannya.
Demikian pula, adalah umum bagi siswa untuk memperoleh algoritme,
rutinitas, dan definisi dekontekstual yang tidak dapat mereka gunakan dan, oleh
karena itu, menjadi inert. Sayangnya, masalah ini tidak selalu terlihat. Misalnya siswa
sering dapat memanipulasi algoritme, rutinitas, dan definisi yang telah mereka
peroleh dengan kompetensi yang jelas namun tidak mengungkapkan, kepada guru
mereka atau diri mereka sendiri, bahwa mereka tidak akan tahu apa yang harus
dilakukan jika mereka menemukan domain yang setara dengan kuda yang pincang.
Sebaliknya, orang yang menggunakan alat secara aktif daripada hanya
memperolehnya, membangun pemahaman implisit yang semakin kaya tentang dunia
tempat mereka menggunakan alat dan alat itu sendiri. Pemahaman, baik tentang dunia
maupun alat, terus berubah sebagai hasil dari interaksi mereka. Belajar dan bertindak
sangat tidak jelas, belajar menjadi proses seumur hidup yang berkelanjutan yang
dihasilkan dari tindakan dalam berbagai situasi.

Pembelajaran dan enkulturasi

Enkulturasi mungkin, pada awalnya, tampak tidak ada hubungannya dengan


pembelajaran. Tetapi sebenarnya itulah yang dilakukan orang dalam belajar
berbicara, membaca, dan menulis, atau menjadi anak sekolah, pekerja kantoran,
peneliti, dan sebagainya. Sejak usia yang sangat dini dan sepanjang hidup mereka,
orang-orang, secara sadar atau tidak sadar, mengadopsi perilaku dan sistem
kepercayaan dari kelompok sosial baru. Diberi kesempatan untuk mengamati dan
mempraktikkan perilaku in situ anggota suatu budaya, orang mengambil jargon yang
relevan, meniru perilaku, dan secara bertahap mulai bertindak sesuai dengan
normanya. Praktik budaya ini seringkali terbilang dan sangat kompleks. Meskipun
demikian, jika diberi kesempatan untuk mengamati dan mempraktikkannya, orang-
orang menerapkannya dengan sukses besar. Siswa, misalnya, dapat dengan cepat
mendapatkan pengertian implisit tentang diksi yang cocok, apa yang membuat
pertanyaan relevan, perilaku apa yang sah atau tidak sah dalam suatu kegiatan
tertentu. Kemudahan dan keberhasilan orang-orang melakukan ini (berlawanan
dengan kerumitan dalam mendeskripsikan apa yang diperlukan) mempercayai
pentingnya proses yang sangat besar dan mengaburkan fakta bahwa apa yang mereka
ambil adalah produk dari budaya sekitar daripada pengajaran eksplisit.
Terlalu sering praktik sekolah kontemporer menyangkal siswa kesempatan
untuk terlibat dalam budaya domain yang relevan, karena budaya itu tidak ada.
Meskipun siswa diperlihatkan alat-alat dari banyak budaya akademis selama karir
sekolah, budaya yang mereka amati, di mana mereka berpartisipasi, dan yang
dimasuki beberapa orang dengan cukup efektif adalah budaya kehidupan sekolah itu
sendiri. Budaya-budaya ini dapat secara tidak sengaja berlawanan dengan
pembelajaran domain yang berguna. Cara sekolah menggunakan kamus, atau rumus
matematika, atau analisis sejarah sangat berbeda dari cara praktisi menggunakannya
(Schoenfeld, in press). Dengan demikian, siswa dapat lulus ujian (bagian khas dari
budaya sekolah) tetapi masih tidak dapat menggunakan alat konseptual domain dalam
praktik otentik (Brown, Collins & Duguid, 1989).

J. Distributed Cognition (Huccins)

Pendekatan Kognisi Terdistribusi menekankan sifat terdistribusi dari fenomena


kognitif di seluruh individu, artefak, dan representasi internal dan eksternal dalam
istilah bahasa umum 'negara representasi' dan 'media'. Dengan melakukan itu, ia
membubarkan pembagian tradisional antara batas dalam / luar individu dan
perbedaan budaya / kognisi yang secara historis diciptakan oleh antropolog dan
psikolog kognitif. Sebaliknya, ini berfokus pada interaksi antara struktur terdistribusi
dari fenomena yang sedang diperiksa.
Titik utama berangkat dari kerangka ilmu kognitif tradisional adalah bahwa,
pada tingkat analisis 'pengaturan kerja', pendekatan kognisi terdistribusi bertujuan
untuk menunjukkan bagaimana proses cerdas dalam aktivitas manusia melampaui
batas-batas aktor individu. Oleh karena itu, alih-alih berfokus pada aktivitas manusia
dalam hal proses yang bertindak atas representasi di dalam kepala aktor individu,
metode ini berupaya menerapkan konsep kognitif yang sama, tetapi kali ini, ke
interaksi di antara sejumlah aktor manusia dan perangkat teknologi untuk aktivitas
tertentu. . Selain itu, konsep lain yang berasal dari ilmu sosial digunakan untuk
menjelaskan fenomena kognitif yang didistribusikan secara sosial. Ini termasuk
pengertian seperti intersubjektivitas, pembelajaran organisasi dan distribusi tenaga
kerja.
Pada analisis tingkat otak, pendekatan kognisi terdistribusi mencoba
menjelaskan interaksi yang terjadi di otak antara unit pemrosesan di tingkat saraf.
Misalnya, Hutchins mengutip bagaimana Hinton dan Becker membangun model
komputasi yang menunjukkan bagaimana dua modul visual dapat berbagi
representasi dari dunia visual sedemikian rupa sehingga melalui interaksi mereka
dapat memulihkan kedalaman, sesuatu yang tidak dapat dirasakan sendiri. Di
permukaan, tingkat analisis ini tampaknya memiliki sedikit kesamaan dengan
analisis praktik sosial dan budaya, praktik kerja, seperti pengendalian lalu lintas
udara. Namun, Hutchins berpendapat bahwa matematika yang sama yang digunakan
untuk membangun model komputasi yang pertama juga dapat diterapkan pada
mekanisme kognitif-budaya di yang terakhir (misalnya memodelkan interaksi antara
area otak dan praktik sosial antara komunitas tetapi pada tingkat integrasi yang
berbeda).
Oleh karena itu, dalam kerangka kognisi terdistribusi, seseorang dapat
mengadopsi unit analisis yang berbeda, untuk menggambarkan berbagai sistem
kognitif, di mana beberapa memasukkan yang lain (Hutchins, 1995). Seseorang
dapat fokus pada proses individu, pada individu dalam koordinasi dengan
seperangkat alat atau pada sekelompok individu dalam interaksi satu sama lain dan
seperangkat alat. Pada setiap tingkat deskripsi sistem kognitif, sekumpulan sifat
kognitif dapat diidentifikasi; properti ini dapat dijelaskan dengan mengacu pada
proses yang mengubah status di dalam sistem (Rogers, 1997).
K. Activity Theory (Leont’ev)
Teori aktivitas didasarkan pada karya Vygotski dan siswanya Leont'ev dari studi
mereka tentang psikologi budaya-sejarah pada tahun 1920-an (Verenikina, 2001).
"Teori aktivitas adalah kerangka kerja konseptual yang didasarkan pada gagasan
bahwa aktivitas adalah yang utama, yang melakukan pemikiran mendahului, bahwa
tujuan, gambar, model kognitif, niat, dan gagasan abstrak seperti" definisi "dan"
penentu "tumbuh dari orang yang melakukan sesuatu" ( Morf & Weber, dalam
Hasyim &Jones, 2007).
Teori Aktivitas menggunakan seluruh aktivitas kerja sebagai unit analisis, dimana
aktivitas dipecah menjadi komponen analitik subjek, alat dan objek, subjek adalah
orang yang dipelajari, objek adalah aktivitas yang dimaksudkan, dan alat tersebut
adalah alat perantara dimana tindakan dijalankan (Hasan, 1998).
Teori aktivitas melihat integrasi teknologi sebagai alat yang memediasi tindakan
sosial. Alat, atau artefak ini, termasuk instrumen, tanda, bahasa, mesin, dan komputer.
Hubungan antara individu dengan lingkungannya dipertimbangkan melalui
komponen komunitas. Hubungan antara subjek dan komunitas dimediasi oleh aturan
dan hubungan antara objek dan komunitas dimediasi oleh pembagian kerja (Hettinga,
1998).
Leont'ev melihat aktivitas dalam sistem hierarki di mana aktivitas terdiri dari
tindakan atau rantai tindakan, dan di mana tindakan ini terdiri dari operasi. Oleh
karena itu, dalam kasus contoh yang diberikan di atas, kegiatannya adalah latihan
berburu mangsa, salah satu tindakannya adalah menakut-nakuti hewan, dan
mengguncang dahan pohon adalah operasinya. Kegiatan tersebut memiliki motif,
dalam hal ini tim dimotivasi melalui kebutuhan untuk menangkap makanan.
Tindakan tersebut akan memiliki tujuan, dalam hal ini membuat keributan dan
gangguan sebanyak mungkin. Terakhir, operasi akan memiliki kondisi, misalnya
mengubah tekanan pada cabang sesuai dengan kelemahannya, dan
variasikebisingan dan aktivitas sesuai dengan kedekatan hewan.

Gambar 2. Tingkat hirarki dari suatu aktivitas (Leont'ev, 1981).


Penerapan Teori Aktivitas dalam Pendidikan
Dalam pendidikan, aktivitas kelompok kolaboratif adalah kunci untuk
mendorong interaksi siswa di kelas. Melalui lingkungan belajar kolaboratif, siswa
didorong untuk mengajukan pertanyaan, menjelaskan dan membenarkan pendapat,
mengartikulasikan alasan, dan menguraikan serta merefleksikan pengetahuan yang
diterima. Tantangan besar lainnya dalam pendidikan adalah munculnya
pembelajaran kolaboratif yang didukung komputer sebagai alat pengajaran baru.
Menurut Gifford dan Enyedy (1999), Teori Aktivitas adalah kerangka kerja yang
sesuai yang melibatkan model pembangunan pengetahuan, perspektif dan artefak
untuk memandu desain kegiatan pembelajaran kolaboratif yang didukung
komputer. Teori Aktivitas mampu menjelaskan sifat dari aktivitas kolaboratif, dan
menunjukkan bagaimana orang dapat berpartisipasi secara sosial saat berinteraksi
dengan teknologi. Hal ini memungkinkan desain alat yang lebih optimal untuk
mendukung pembelajaran kolaboratif yang didukung komputer.
L. Connectivism (Siemens)
Connectivism adalah integrasi prinsip-prinsip yang dieksplorasi oleh chaos,
jaringan, dan teori kompleksitas dan self-organisasi. Belajar adalah proses yang
terjadi dalamsamar-samar lingkungandari elemen inti yang bergeser - tidak
sepenuhnya di bawah kendali individu. Pembelajaran (didefinisikan sebagai
pengetahuan yang dapat ditindaklanjuti) dapat berada di luar diri kita sendiri (dalam
organisasi atau database), difokuskan pada menghubungkan kumpulan informasi
khusus, dan koneksi yang memungkinkan kita untuk belajar lebih banyak lebih
penting daripada keadaan pengetahuan kita saat ini.
Konektivisme didorong oleh pemahaman bahwa keputusan didasarkan pada
fondasi yang berubah dengan cepat. Informasi baru terus diperoleh. Kemampuan
untuk membedakan antara informasi penting dan tidak penting sangatlah penting.
Kemampuan untuk mengenali saat informasi baru mengubah lanskap berdasarkan
keputusan yang dibuat kemarin juga penting.
Prinsip-prinsip konektivisme
 Pembelajaran dan pengetahuan bertumpu pada keragaman pendapat.
 Pembelajaran adalah proses menghubungkan node khusus atau sumber informasi
 Pembelajaran mungkin berada di peralatan non-manusia.
 Kapasitas untuk mengetahui lebih banyak lebih penting daripada yang diketahui
saat ini
 Memelihara koneksi diperlukan untuk memfasilitasi belajar terus menerus
 Kemampuan untuk melihat hubungan antara bidang, ide, dan konsep merupakan
keterampilan
 Pengambilan keputusan itu sendiri merupkan proses pembelajaran. Memilih apa
yang akan dipelajari dan makna informasi yang masuk dilihat melalui lensa
realitas yang bergeser.

Titik awal dari konektivisme adalah individu. Pengetahuan pribadi terdiri dari
jaringan, yang dimasukkan ke dalam organisasi dan lembaga, yang pada gilirannya
memberi umpan balik ke jaringan, dan kemudian terus memberikan pembelajaran
kepada individu. Siklus pengembangan pengetahuan ini (pribadi ke jaringan ke
organisasi) memungkinkan peserta didik untuk tetap mengikuti bidang mereka
melalui koneksi yang telah mereka bentuk (Siemens, 2005).

M. Model for Online Learning (Anderson)


Teknologi komunikasi digunakan dalam pendidikan untuk
meningkatkan interaksi antara semua peserta dalam transaksi pendidikan. Namun,
meskipun interaksi telah lama menjadi penentu dan kritis komponen dari proses dan
konteks pendidikan, secara mengejutkan sulit untuk menemukan definisi yang jelas
dan tepat dari konsep ini dalam literatur pendidikan. Definisi Wagner (1994) interaksi
sebagai "peristiwa timbal balik yang memerlukan setidaknya dua objek dan dua
tindakan. Interaksi terjadi ketika objek dan peristiwa ini saling mempengaruhi
satusama lain. Interaksi (atau interaktivitas) melayani berbagai fungsi dalam transaksi
pendidikan. Sims (1999) telah membuat daftar fungsi ini sebagai memungkinkan
untuk kontrol pelajar, memfasilitasi adaptasi program berdasarkan masukan pelajar,
memungkinkan berbagai bentuk partisipasi dan komunikasi, dan bertindak sebagai
bantuan untuk pembelajaran yang bermakna. Selain itu, interaktivitas merupakan
dasar untuk penciptaan belajar yang komunitas didukung oleh Lipman (1991),
Wenger (2001), dan ahli teori pendidikan berpengaruh lainnya yang berfokus pada
peran penting komunitas dalam pembelajaran. Akhirnya, nilai orang lain perspektif,
biasanya diperoleh melalui interaksi, adalahpembelajaran kunci komponendalam
teori pembelajaran konstruktivis (Jonassen, 1991), dan dalam mendorong perhatian
pada peserta didik (Langer, 1989)
Interaksi selalu dihargai dalam pendidikan jarak jauh, bahkan dalam format
studi independennya yang paling tradisional. Holmberg (1989) mengemukakan
keunggulan interaksi individual antara siswa dan tutor ketika didukung oleh
korespondensi pos tertulis atau dengan bimbingan telepon real-time. Holmberg
juga memperkenalkan kami pada gagasan interaksi simulasi yang
mendefinisikan gaya penulisan yang sesuai untuk model studi independen jarak
jauh pendidikan, pemrograman yang ia sebut sebagai "didaktik terpandu interaksi."
Garrison dan Shale (1990) mendefinisikan semua bentuk pendidikan (termasuk yang
disampaikan dari jarak jauh) sebagai dasarnya.
Bates (1991) berpendapat bahwa interaktivitas harus menjadi kriteria utama
untuk memilih media pendidikan penyampaian. Dengan demikian, ada sejarah
panjang studi dan pengakuan akan peran penting interaksi dalam mendukung, dan
bahkan mendefinisikan pendidikan.
Web memberikan interaksi dalam banyak modalitas. Pada Gambar 1, kita
melihat bentuk-bentuk umum media yang digunakan dalam pendidikan jarak
jauh digambarkan berdasarkan kapasitas mereka untuk mendukung kemandirian
(waktu dan tempat) dan kapasitas mereka untuk mendukung interaksi. Dapat dilihat
bahwa, secara umum, semakin tinggi dan kaya bentuk komunikasi, semakin banyak
pula pembatasan terhadap kemerdekaan

Semua bentuk interaksi pendidikan yang dimediasi sekarang didukung, dengan


asumsi seseorang menambahkan penggunaan Web untuk meningkatkan pendidikan
berbasis kelas. Dengan demikian, kapasitas Web untuk mendukung pembelajaran
online secara umum biasanya merupakan domain yang terlalu besar untuk diskusi
yang bermakna sampai seseorang menentukan modalitas interaksi tertentu yang
digunakan.
Daftar Pustaka

Abdullah, Sri Muliati, Fakultas Psikologi, and Universitas Mercu. 2019. “Social
Cognitive Theory :”
Alhaddad, Idrus. 2012. “Penerapan Teori Perkembangan Mental Piaget Pada Konsep
Kekekalan Panjang.” Infinity Journal 1(1):31.
Asfar, A. M. irfan Taufan Asfar &. andi muhammad iqbal. 2019. “TEORI
BEHAVIORISME ( Theory of Behaviorism ).” Researchgate.
Behaviorisme, A. Teori, and B. Konsep Behaviorisme. 2014. “Penerapan Teori Belajar
Behavior Dalam Pembelajaran Matematika Keuangan.” 19:1–15.
Brown, John Selly, Allan Collins, and Paul Duguid. 1988. “Situated Cognition and the
Culture of Learning (Report No. IRL 88-0008).” Institute for Inquim 18(1):32–42.
Gazali, Rahmita Yuliana. 2016. “Pembelajaran Matematika Yang Bermakna.” Math
Didactic 2(3):181–90.
Goyena, Rodrigo, Fallis, A.G.2019. Penggunaan Metode Discovery Learning Untuk
Meningkatkan Hasil Belajar IPS (Skripsi).. Surabaya:UNES
Hashim, N., and M. L. Jones. 2007. “Activity Theory: A Framework for Qualitative
Analysis.” 4th International Qualitative Research Convention (QRC) (May).
Mulyana, Aina.2020. Model Pembelajaran Discovery Learning Berbantuan Smart Sticker
Untuk Meningkatkan Disposisi Matematik Dan Kemampuan Berpikir Kritis
(Skripsi).Semarang: UNNES
Ningsih, Widiastuti.2016. Keterterapan Discovery Learning Dalam Pembelajaran Biologi
Di SMA Negeri 3 Semarang.Semarang: UNNES
Nurhadi. 2020. “Teori Kognitivisme Serta Aplikasinya Dalam Pembelajaran.” EDISI :
Jurnal Edukasi Dan Sains 2(1):77–95.
Oliver, Ron dkk. 2009. “The Theory and Practice of Online Learning: Towards A Theory
Of Online Learning.” Electronic Journal of E-Learning 38(4):93–135.
Psikologis, Perkembangan, and D. A. N. Aplikasi. n.d. “No Title.”
Rehalat, Aminah. 2016. “Model Pembelajaran Pemrosesan Informasi.” Jurnal
Pendidikan Ilmu Sosial 23(2):1.
Rogers, Yvonne. 1997. “A Brief Introduction to Distributed Cognition.” Retrieved July
24(August):1997.
Shadiq, Fadjar, and Nur Amini Mustajab. 2011. “Penerapan Teori Belajar Dalam
Pembelajaran Matematika Di SD.”
Siemens, George, Surf Onderwijsdagen, Digital Age, Educational Design, Stephen
Downes, and Pløn Verhagen. 2005. “Connectivism : A New Learning Theory.”
Journal of Instructional Technology and Distance Learning 2(1):1–5.
Susanti, Mathilda. 2015. “Konstruktivisme Dalam Pembelajaran Matematika Sekolah.”
585–90.
Wahyudi,A.2016. Keefektifan Model Pembelajaran Discovery Learning Menggunakan
Metode Brainstorming Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa Smp Kelas VII
(Skripsi).Semarang: UNNES
Yohanes, Rudi Santoso. 2010. “Teori Vygotsky Dan Implikasinya Terhadap
Pembelajaran Matematika.” Jurnal Widya Warta XXXIV(2):854–1981.

Anda mungkin juga menyukai