A. Behaviourisme
Menurut pendekatan behavioristik, belajar dipahami sebagai proses perubahan
tingkah laku teramati yang relatif berlangsung lama sebagai hasil dari pengalaman
dengan lingkungan. Pendekatan behavioristik berkembang melalui
eksperimeneksperimen, baik pada manusia maupun pada hewan (Kusmintardjo dan
Mantja, 2011). Terdapat empat prinsip filosofis utama dalam pengembangan teori ini
yaitu : Manusia adalah binatang yang sangat berkembang dan manusia belajar dengan
cara yang samaseperti yang telah dilakukan binatang lainnya; pendidikan adalah
proses perubahan perilaku; peran guru adalah menciptakan lingkungan pembelajaran
yang efektif; efisiensi, ekonomi, ketepatan dan obyektivitas merupakan perhatian
utama dalam pendidikan (A.M.Irfan Taufan Asfar dkk, 2019)
Tokoh- tokoh teori behaviorisme
a. Thorndike
Menurut Thorndike (1911), salah seorang pendiri aliran tingkah laku,
belajar adalah proses interaksi antara stimulus (yang mungkin berupa pikiran,
perasaan, atau gerakan) dan respons (yang juga bisa berupa pikiran, perasaan, dan
gerakan). Jelasnya menurut Thorndike, perubahan tingkah laku boleh berwujud
sesuatu yang konkret (dapat diamati), atau yang nonkonkret (tidak bisa diamati).
Meskipun Thorndike tidak menjelaskan bagaimana caranya mengukur
berbagai tingkah laku yang non-konkret (pengukuran adalah satu hal yang
menjadi obsesi semua penganut aliran tingkah laku), tetapi teori Thorndike telah
banyak memberikan inspirasi kepada pakar lain yang datang sesudahnya. Teori
Thorndike disebut sebagai ―aliran koneksionis‖ (connectionism).
Prosedur eksperimennya ialah membuat agar setiap binatang lepas dari
kurungannya sampai ketempat makanan. Dalam hal ini apabila binatang terkurung
maka binatang itu sering melakukan bermacam-macam kelakuan, seperti
menggigit, menggosokkan badannya ke sisi-sisi kotak, dan cepat atau lambat
binatang itu tersandung pada palang sehingga kotak terbuka dan binatang itu akan
lepas ke tempat makanan.
b. Watson
Berbeda dengan Thorndike, menurut Watson pelopor yang datang sesudah
Thorndike, stimulus dan respons tersebut harus berbentuk tingkah laku yang
―bisa diamati‖ (observable). Dengan kata lain, Watson mengabaikan berbagai
perubahan mental yang mungkin terjadi dalam belajar dan menganggapnya
sebagai faktor yang tidak perlu diketahui. Bukan berarti semua perubahan mental
yang terjadi dalam benak siswa tidak penting. Semua itu penting. Akan tetapi,
faktor-faktor tersebut tidak bisa menjelaskan apakah proses belajar sudah terjadi
atau belum.
Hanya dengan asumsi demikianlah, menurut Watson, dapat diramalkan
perubahan apa yang bakal terjadi pada siswa. Hanya dengan demikian pulalah
psikologi dan ilmu belajar dapat disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperti fisika
atau biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empiris.
c. Cark Hull
Cark Hull (1943) mengungkapkan konsep pokok teorinya yang sangat
dipengaruhi oleh teori evolusinya Charles Darwin. Bagi Hull tingkah laku
seseorang berfungsi untuk menjaga kelangsungan hidup. Oleh karena itu, dalam
teori Hull, kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis menempati
posisi sentral. Menurut Hull (1943, 1952), kebutuhan dikonsepkan sebagai
dorongan (drive), seperti lapar, haus, tidur, kehilangan rasa nyeri, dan sebagainya.
Stimulus hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis ini, meskipun
respons mungkin bermacam-macam bentuknya.
Teori ini, terutama setelah Skinner memperkenalkan teorinya, ternyata
tidak banyak dipakai dalam dunia praktis, meskipun sering digunakan dalam
berbagai eksperimen dalam laboratorium.
d. Edwin Guthrie
Edwin Guthrie mengemukakan teori kontiguiti yang memandang bahwa
belajar merupakan kaitan asosiatif antara stimulus tertentu dan respons tertentu.
Selanjutnya Edwin Guthrie berpendirian bahwa hubungan antara stimulus dengan
respons merupakan faktor kritis dalam belajar. Oleh karena itu, diperlukan
pemberian stimulus yang sering agar hubungan menjadi lebih langgeng. Selain
itu, suatu proses akan lebih kuat (dan bahkan benjadi kebiasaan) apabila respons
tersebut berhubungan dengan berbagai macam stimulus. Sebagai contoh,
seseorang yang memiliki kebiasaan merokok sulit ditinggalkan. Hal ini dapat
terjadi karena perbuatan merokok tidak hanya berhubungan dengan satu macam
stimulus (misalnya kenikmatan merokok), tetapi juga dengan stimulus lain seperti
minum kopi, berkumpul dengan teman-teman, ingin tampak gagah, dan lain-lain.
e. Skinner
Skinner (1989) yang datang kemudian merupakan penganut paham neo-
behaviorist yang mengalihkan dari laboratorium ke praktik kelas. Skinner
mempunyai pendapat lain lagi, yang ternyata mampu mengalahkan pamor teori-
teori Hull dan Guthrie. Hal ini mungkin karena kemampuan Skinner dalam
―menyederhanakan‖ kerumitan teorinya serta memperjelaskan konsep-konsep
yang ada dalam teorinya tersebut. Menurut Skinner, deskripsi antara stimulus dan
respons untuk menjelaskan parubahan tingkah laku (dalam hubungannya dengan
lingkungan) menurut versi Watson tersebut adalah deskripsi yang tidak lengkap.
Respons yang diberikan oleh siswa tidaklah sesederhana itu, sebab pada dasarnya
setiap stimulus yang diberikan berinteraksi satu dengan lainnya, dan interaksi ini
akhirnya mempengaruhi respons yang dihasilkan. Sedangkan respons yang
diberikan juga menghasilkan berbagai konsekuensi, yang pada gilirannya akan
mempengaruhi tingkah laku siswa (Etty ratnawati).
Pada masa kini, teori belajar yang dikemukakan penganut psikologi tingkah laku ini
dapat digunakan dalam beberapa hal untuk mendukung pengembangan kemampuan
siswa yang berhubungan dengan pencapaian hasil belajar (pengetahuan) matematika
seperti fakta, konsep, prinsip, dan skill atau keterampilan. Keempat objek langsung
matematika tersebut digagas oleh Gagne. Gagne sendiri dinyatakan oleh Orton(1987:38)
sebagai neobehaviourist.
Ahli belajar (learning theorist) Gagne telah membagi objek-objek matematika yang
diperoleh siswa menjadi objek langsung dan objek tak langsung (Bell, 1978). Objek
langsung adalah fakta (fact), konsep (concept), prinsip (principle), dan keterampilan
(skill). Sedangkan contoh objek tak langsungnya adalah berpikir logis, kemampuan
memecahkan masalah, sikap positif terhadap matematika, ketekunan dan ketelitian. Jadi,
objek tak langsung adalah kemampuan yang secara tak langsung akan dipelajari siswa
ketika mereka mempelajari objek langsung matematika.
a. Fakta
Di dalam kehidupan nyata sehari-hari, ada kesepakatan berupa aturan bahwa para
pengendara mobil harus berjalan di sebelah kiri. Hal itu harus dilakukan sehingga tidak
terjadi kecelakaan. Hal yang sama terjadi dalam matematika. Berapakah hasil dari 5 +
2 × 10? Apakah 70 ataukah 25? Untuk mengantisipasi terjadinya kebingungan dalam
menentukan dua jawaban tadi, diperlukan adanya kesepakatan antara para
matematikawan. Jika ada yang menanyakan, mengapa perkalian lebih kuat (didahulukan)
dari penjumlahan? Ya jawabannya adalah kesepakatan para matematikawan agar tidak
terjadi kekacauan. Meskipun ada juga yang menyatakan bahwa perkalian adalah
penjumlahan berulang sehingga perkalian didahulukan dari penjumlahan. Berdasarkan
kesepakatan matematikawan tersebut, maka dengan mudah kita dapat memperoleh hasil
yang benar yaitu 25. Itulah suatu contoh fakta yang disepakati untuk menghindari
kekacauan hasil operasi bilangan.
b. Konsep
‘Belah ketupat’ merupakan contoh dari konsep di dalam matematika. Jika menggunakan
kalimat, ‘belah ketupat adalah segiempat yang panjang atau ukuran keempat sisinya
sama.’ Berdasar pengertian atau definisi tersebut, diharapkan para siswa dapat
menentukan dan menjelaskan bahwa bangun datar di bawah ini merupakan contoh ‘belah
ketupat’.
Meskipun demikian, konsep ‘belah ketupat’ dapat juga dimulai dari contoh-contoh
setelah itu dibahas pengertiannya. Pertanyaan yang dapat diajukan sekarang adalah:
“Kapan seorang siswa disebut telah memahami konsep ’belah ketupat’? Kapan ia disebut
belum memahami konsep tersebut? Jika fakta merupakan kesepakatan, maka konsep
adalah suatu ide abstrak yang memungkinkan seseorang untuk mengklasifikasi suatu
objek dan menerangkan apakah objek tersebut merupakan contoh atau bukan contoh.
Seorang siswa disebut telah menguasai konsep belah ketupat jika ia telah dapat
menentukan bangun-bangun datar yang termasuk belah ketupat dan yang bukan belah
ketupat. Untuk sampai ke tingkat tersebut, para siswa harus dapat mengenali atribut atau
sifat-sifat khusus dari belah ketupat.
c. Prinsip
Prinsip (keterkaitan antar konsep) adalah suatu pernyataan yang memuat hubungan
antara dua konsep atau lebih. Contohnya, rumus luas persegipanjang di atas. Pada rumus
tersebut, terdapat beberapa konsep yang digunakan, yaitu konsep luas (L), dan konsep
ukuran sisi-sisinya (p dan l). Seorang siswa dinyatakan telah mampu memahami suatu
prinsip jika ia: (1) ingat rumus atau prinsip yang bersesuaian; (2) memahami beberapa
konsep yang digunakan serta lambang atau notasinya; dan (3) dapat menggunakan rumus
atau prinsip yang bersesuaian pada situasi yang tepat.
d. Keterampilan
Keterampilan (skill) adalah kemampuan untuk menggunakan prosedur atau langkah-
langkah untuk menyelesaikan suatu soal. Istilah yang sering digunakan juga
adalahalgoritma yang berarti langkah-langkah standar untuk menyelesaikan soal.
1 2
Misalnya untuk menentukan hasil dari operasi + 3 maka ada langkah-langkah atau
2
Model pemrosesan informasi ini didasari oleh teori belajar kognitif (Piaget) dan
berorientasi pada kemampuan peserta didik memproses informasi yang dapat
memperbaiki kemampuannya. Pemrosesan Informasi merujuk pada cara
mengumpulkan/menerima stimuli dari lingkungan, mengorganisasi data,
memecahkan masalah, menemukan konsep, dan menggunakan simbol verbal dan
visual. Ilmu kognisi (cognitive science) merupakan kajian mengenai inteligensi
manusia, program computer, dan teori abstrak dengan penekanan pada perilaku
cerdas, seperti perhitungan (Simon&Kaplan dalam Aminah Rehalat, 2016).
Teori pemrosesan informasi /kognitif dipelopori oleh Robert Gagne (1985) dalam
Aminah Rehalat, (2016). Asumsinya adalah pembelajaran merupakan faktor yang
sangat penting dalam perkembangan. Pembelajaran merupakan keluaran pemrosesan
informasi yang berupa kecakapan manusia. Selain itu memori jangka panjang
manusia berisi gambaran-gambaran dari berbagai macam pengenalan pola yang
menghasilkan beberapa teori, yaitu:
a. Teori Template
Teori Template mengusulkan bahwa pola-pola tidak “diuraikan”semua. Template
adalah suatu kesatuan yang holistic atau tidak dapat dianalisis yang kita
bandingkan dengan pola lainnya dengan mengukur seberapa banyak kedua pola
dapat dicocokkan atau saling melengkapi. Kelemahan dari teori template
membuat teori tersebut kurang menjanjikan untuk dijadikan teori umum
pengenalan pola biasanya akan cepat hilang.
b. Teori Ciri
Teori Ciri (Feature Theory) memung- kinkan untuk menggambarkan sebuah pola
dengan membuat bagian-bagiannya. Teori Ciri tepat sekali untuk menggambarkan
perceptual learning (pembelajaran perceptual) dan salah satu diskusi terbaik
mengenai teori cirri terdapat Principle Of Preceptual Learning and Development
dari Gibson (1969).
c. Teori Struktural (structural theory) :
Suatu teori menentukan bagaimana ciri dari sebuah pola bergabung dengan ciri
dari pola tersebut dan menekankan pada hubungan antar ciri menurut Clowes
(1969). Teori Struktural memperluas teori ciri-ciri dengan mengkhususkan
bagaimana ciri-ciri tersebut berhubungan. Sutherland (1968) adalah salah seorang
yang pertama-tama ber-pendapat bahwa jika kita ingin memiliki kemampuan
dalam pengenalan pola yang sangat mengesankan, maka kita membutuhkan jenis
bahasa deskriptif yang lebih kuat yang terkandung dalam teori structural.
Eksperimen bagian ini menunjukkan bahwa Sutherland benar.
Menurut Bruner, partisipasi aktif peserta didik dan mengenal dengan baik adanya
perbedaan kemampuan penting dalam proses belajar. Dalam meningkatkan proses
belajar, diperlukan “discovery learning environtment”. Discovery learning
environtment merupakan lingkungan yang dapat membuat peserta didik melakukan
eksplorasi, penemuan-penemuan baru yang belum dikenal atau pengertian yang mirip
dengan yang sudah diketahui (Slameto, 2003).
Menurut Hamid (2007, dalam Buto 2010) discovery learning memiliki prinsip-prinsip
sebagai berikut.
1. Semakin tinggi tingkat perkembangan intelektual seseorang, makin meningkat
pula ketidaktergantungan individu terhadap stimulus yang diberikan.
2. Pertumbuhan seseorang tergantung pada perkembangan kemampuan internal
untuk menyimpan dan memproses informasi. Data yang diterima orang dari luar
perlu diolah secara mental.
3. Perkembangan intelektual meliputi peningkatan kemampuan untuk
mengutarakan pendapat dan gagasan melalui simbol.
4. Untuk mengembangkan kognitif seseorang diperlukan interaksi yang sistematik
antara pengajar dan peserta didik.
5. Perkembangan kognitif meningkatkan kemampuan seseorang untuk memikirkan
beberapa alternatif secara serentak, memberikan perhatian kepada beberapa
stimulus dan situasi serta melakukan kegiatan-kegiatan.
Dalam artikel The Act of Discovery, Bruner menyebutkan ada beberapa keuntungan
jika suatu bahan dari suatu mata pelajaran disampaikan dengan menerapkan
pendekatan-pendekatan yang berorientasi pada discovery learning, yaitu Bruner
(Guyena dan Faills, 2019)
Kelemahan metode discovery learning menurut BSNP (2014) dalam Mulyana (2020)
adalah sebagai berikut:
1) Metode ini menimbulkan asumsi bahwa ada kesiapan pikiran untuk belajar. Bagi
peserta didik yang kurang pandai, akan mengalami kesulitan abstrak atau berfikir
atau mengungkapkan hubungan antara konsep- konsep, yang tertulis atau lisan,
sehingga pada gilirannya akan menimbulkan frustasi,
2) Metode ini tidak efisien untuk mengajar jumlah peserta didik yang banyak, karena
membutuhkan waktu yang lama untuk membantu mereka menemukan teori atau
pemecahan masalah lainnya
3) Harapan-harapan yang terkandung dalam metode ini dapat buyar berhadapan
dengan peserta didik dan guru yang telah terbiasa dengan cara-cara belajar yang
lama
4) Pengajaran discovery lebih cocok untuk mengembangkan pemahaman,
sedangkan mengembangkan aspek konsep, keterampilan dan emosi secara
keseluruhan kurang mendapat perhatian
5) Pada beberapa disiplin ilmu, misalnya IPA kurang fasilitas untuk mengukur
gagasan yang dikemukakan oleh para peserta didik
6) Tidak menyediakan kesempatan-kesempatan untuk berfikir yang akan ditemukan
oleh peserta didik karena telah dipilih terlebih dahulu oleh guru.
H. Constructivm (Papert)
Konstruktivisme merupakan filsafat atau aliran dalam pendidikan yang
perpandangan bahwa siswa mengkreasi pengetahuannya melaui interaksi dengan
lingkungannya termasuk interaksi dengan siswa lain. Konstruktivis berpandangan
bahwa pengalaman dan lingkungan berperan bagi siswa dalam belajar, dan bahwa
bahasa merupakan kunci akusisi pengetahuan.
Konstruktivis mempercayai bahwa praktek pembelajaran harus banyak
percakapan. Melalui percakapan, guru memahami siswa, sehingga dapat
mempersiapkan siswa untuk belajar dan bagaimana mengorganisasi pengalaman,
sehingga siswa dapat mengkonstruk makna, pemahaman dan pengetahuan.
Guru konstruktivis menganut metode pembelajaran yang memposisikan siswa
kontak dengan lingkungan, interaksi antara siswa satu dengan yang lain dengan guru
memberi pertanyaan-pertanyaan, siswa mencari sumber dan merancang penyelesaian
masalah.
Guru konstruktivis membantu siswa dalam mengkreasi konstruks. Guru
konstruktivis mengamati setiap siswa untuk dapat belajar. Berdasarkan hasil
observasi, guru mengkreasi lingkungan sehingga siswa dapat mengkonstruk
pengetahuannya. Guru konstruktivis memberi kesempatan siswa untuk bertanya,
melakukan penyelidikan dan berfikir masak-masak.
Belajar paling baik terjadi ketika siswa dapat menghubungkan apa yang dia
pelajari di kelas dengan lingkungan dan mengkreasi makna dari pengalaman yang
berbeda. Berfikir kreatif (creative thinking) terjadi saat siswa harus mengakomodasi
pemikiran orang lain dan menerima cara berfikir lain (Mathilda Susanti, 2015).
Titik awal dari konektivisme adalah individu. Pengetahuan pribadi terdiri dari
jaringan, yang dimasukkan ke dalam organisasi dan lembaga, yang pada gilirannya
memberi umpan balik ke jaringan, dan kemudian terus memberikan pembelajaran
kepada individu. Siklus pengembangan pengetahuan ini (pribadi ke jaringan ke
organisasi) memungkinkan peserta didik untuk tetap mengikuti bidang mereka
melalui koneksi yang telah mereka bentuk (Siemens, 2005).
Abdullah, Sri Muliati, Fakultas Psikologi, and Universitas Mercu. 2019. “Social
Cognitive Theory :”
Alhaddad, Idrus. 2012. “Penerapan Teori Perkembangan Mental Piaget Pada Konsep
Kekekalan Panjang.” Infinity Journal 1(1):31.
Asfar, A. M. irfan Taufan Asfar &. andi muhammad iqbal. 2019. “TEORI
BEHAVIORISME ( Theory of Behaviorism ).” Researchgate.
Behaviorisme, A. Teori, and B. Konsep Behaviorisme. 2014. “Penerapan Teori Belajar
Behavior Dalam Pembelajaran Matematika Keuangan.” 19:1–15.
Brown, John Selly, Allan Collins, and Paul Duguid. 1988. “Situated Cognition and the
Culture of Learning (Report No. IRL 88-0008).” Institute for Inquim 18(1):32–42.
Gazali, Rahmita Yuliana. 2016. “Pembelajaran Matematika Yang Bermakna.” Math
Didactic 2(3):181–90.
Goyena, Rodrigo, Fallis, A.G.2019. Penggunaan Metode Discovery Learning Untuk
Meningkatkan Hasil Belajar IPS (Skripsi).. Surabaya:UNES
Hashim, N., and M. L. Jones. 2007. “Activity Theory: A Framework for Qualitative
Analysis.” 4th International Qualitative Research Convention (QRC) (May).
Mulyana, Aina.2020. Model Pembelajaran Discovery Learning Berbantuan Smart Sticker
Untuk Meningkatkan Disposisi Matematik Dan Kemampuan Berpikir Kritis
(Skripsi).Semarang: UNNES
Ningsih, Widiastuti.2016. Keterterapan Discovery Learning Dalam Pembelajaran Biologi
Di SMA Negeri 3 Semarang.Semarang: UNNES
Nurhadi. 2020. “Teori Kognitivisme Serta Aplikasinya Dalam Pembelajaran.” EDISI :
Jurnal Edukasi Dan Sains 2(1):77–95.
Oliver, Ron dkk. 2009. “The Theory and Practice of Online Learning: Towards A Theory
Of Online Learning.” Electronic Journal of E-Learning 38(4):93–135.
Psikologis, Perkembangan, and D. A. N. Aplikasi. n.d. “No Title.”
Rehalat, Aminah. 2016. “Model Pembelajaran Pemrosesan Informasi.” Jurnal
Pendidikan Ilmu Sosial 23(2):1.
Rogers, Yvonne. 1997. “A Brief Introduction to Distributed Cognition.” Retrieved July
24(August):1997.
Shadiq, Fadjar, and Nur Amini Mustajab. 2011. “Penerapan Teori Belajar Dalam
Pembelajaran Matematika Di SD.”
Siemens, George, Surf Onderwijsdagen, Digital Age, Educational Design, Stephen
Downes, and Pløn Verhagen. 2005. “Connectivism : A New Learning Theory.”
Journal of Instructional Technology and Distance Learning 2(1):1–5.
Susanti, Mathilda. 2015. “Konstruktivisme Dalam Pembelajaran Matematika Sekolah.”
585–90.
Wahyudi,A.2016. Keefektifan Model Pembelajaran Discovery Learning Menggunakan
Metode Brainstorming Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa Smp Kelas VII
(Skripsi).Semarang: UNNES
Yohanes, Rudi Santoso. 2010. “Teori Vygotsky Dan Implikasinya Terhadap
Pembelajaran Matematika.” Jurnal Widya Warta XXXIV(2):854–1981.