Anda di halaman 1dari 6

Teori Belajar Dalam Pendidikan

1. Teori Belajar Behaviorisme


Teori Behavioristik adalah teori yang mempelajari perilaku manusia.
Perspektif behavioral berfokus pada peran dari belajar dalam menjelaskan tingkah
laku manusia dan terjadi melalui rangsangan berdasarkan (stimulus) yang
menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respons) hukum-hukum mekanistik.
Teori behavioristik memandang, belajar adalah sebagai perubahan tingkah
laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata
lain belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal
kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi
antara stimulus dan respon.
Teori behaviorisme menekankan belajar merupakan interaksi antara stimulus dan
respon yang mengakibatkan perubahan tingkah laku. Stimulus bentuknya bermacam-macam
sedangkan respon adalah reaksi objektif dari individu terhadap situasi sebagai perangsang.
Yaumi mengatakan, belajar menurut kaum behavioris menekankan pada perubahan
perilaku yang dapat diamati dari hasil timbal balik antara guru sebagai pemberi stimulus dan
murid sebagai perespon tindakan stimulus yang diberikan.
Tokoh-tokoh yang terkenal dalam teori ini meliputi: E.L.Thorndike, I.P.Pavlov,
B.F.Skinner, J.B.Watson, dll:
a. Teori Belajar Thorndike
Menurut Thorndike, salah seorang pendiri aliran tingkah laku, teori behavioristik
dikaitkan dengan belajar adalah proses interaksi antara stimulus yang berupa pikiran,
perasaan, atau gerakan dan respons. Jelasnya menurut Thorndike, perubahan tingkah
laku boleh berwujud sesuatu yang konkret dapat diamati atau yang non-konkret tidak
bisa diamati. Meskipun Thorndike tidak menjelaskan bagaimana cara mengukur
berbagai tingkah laku yang non-konkret pengukuran adalah satu hal yang menjadi
obsesi semua penganut aliran tingkah laku, tetapi teori Thorndike telah memberikan
inspirasi kepada pakar lain yang datang sesudahnya.
Menurut teori conecsionisme (koneksionisme), belajar pada hewan dan manusia
prinsipnya memiliki kesamaan. Pada dasarnya terjadinya belajar adalah pembentukan
asosiasi (bond, conection) antara kesan pancaindera (sense impression) dengan
kecenderungan untuk bertindak (impuls to action). Proses belajar itu disifatkan sebagai
learning by selecting and connecting atau lazimnya disebut trial and error learning, dan
berlangsung menurut hukum-hukum tertentu.
Teori Thorndike disebut sebagai aliran koneksionisme (connectionism). Prosedur
eksperimennya ialah membuat setiap binatang lepas dari kurungannya sampai
ketempat makanan. Dalam hal ini apabila binatang terkurung maka binatang itu sering
melakukan bermacam-macam kelakuan, seperti menggigit, menggosokkan badannya ke
sisi-sisi kotak, dan cepat atau lambat binatang itu tersandung pada palang sehingga
kotak terbuka dan binatang itu lepas ke tempat makanan.
Thorndike mengemukakan bahwa terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini
mengikuti hukum-hukum berikut:
1. Hukum kesiapan (law of readiness), yaitu semakin siap suatu organisme
memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku
tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung
diperkuat.
2. Hukum latihan (law of exercise), yaitu semakin sering suatu tingkah laku
diulang/dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat.
3. Hukum akibat (law of effect), yaitu hubungan stimulus dan respon cenderung
diperkuat apabila jika berakibat menyenangkan dan cenderung diperlemah jika
akibatnya tidak memuaskan.

Kesimulannya:

Berdasarkan hal diatas dijelaskan bahwa teori belajar behavioristic ini khususnya
menurut Thordike adalah perubahan tingkah laku melalui stiumulus dan respon.
Artinya, perubahan tingkah laku dibentuk sesuai dengan keinginan lingkungan
karena individu merespon sesuai dengan stimulus yang diberikan. Selain itu, respon
yang diberikan akan baik, jika seseorang tersebut sudah siap dalam menerima
stimulus, sehingga menimbulkan kepuasan bagi diri individu itu sendiri. Untuk
mendapatkan hasil belajar yang baik berupa perubahan tingkah laku, maka
seyogyanya pemberian stimulus sering dilakukan berulang kali, agar respon yang
diberikan juga semakin baik.

b. Teori Belajar Ivan Petrovich Pavlov


Bagi kalangan akademisi nama paplov sangat terkenal dengan karyanya tentang
pengkondisian klasik (classical conditioning) atau substitusi stimulus. Menurutnya,
tingkah laku merupakan rangkaian reflex berkondisi, dengan kata lain reflex-repleks
terjadi setelah adanya proses kondisi.
Classic conditioning (pengkondisian atau persyaratan klasik) ditemukan Pavlov
melalui percobaannya terhadap hewan anjing, di mana perangsang asli dan netral
dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga memunculkan
reaksi yang diinginkan. Pada Air liur anjing yang secara alami banyak hanya keluar
apabila ada makanan, pada akhirnya dengan proses pensyaratan air liur dapat keluar
sekalipun tidak ada makanan. Kesimpulannya, dalam percobaan Pavlov terhadap
ditemukan anjing belajar bahwa cahaya lampu ataupun bunyi bel itu mula-mula sebagai
datangnya makanan (pembentukan conditioned respons / CR), kemudian ia belajar
bahwa cahaya lampu atau bunyi bel sebagai pertanda tidak ada makanan (penghilang
CR).
Dari peristiwa pengkondisian klasik ini, merupakan dasar bentuk belajar yang sangat
sederhana, sehingga banyak ahli kejiwaan menganggap Pavlov sebagai titik permulaan
tepat untuk penyelidikan belajar. Lalu peristiwa kondisioning juga banyak terdapat pada
diri manusia, misalnya anda dapat menjadi terkondisi terhadap gambar makanan dalam
berbagai iklan yang menampilkan makanan malam dengan steak yang lezat, dapat
memicu respon air liur meskipun anda mungkin tidak lapar. Berdasarkan percobaan
yang dilakukan oleh Ivan Pavlov maka terlihat bahwa pentingnya mengkondisi stimulus
agar terjadi respon. Dengan demikian pengontrolan stimulus jauh lebih penting dari
pada pengontrolan respon. Konsep ini megisyaratkan bahwa proses belajar lebih
mengutamakan faktor lingkungan (eksternal) daripada motivasi (internal).

c. Teori Belajar John B. Watson


Menurut Watson, belajar adalah proses interaksi antara stimulus (S) dan respon (R),
namun S-R harus berbentuk tingkah laku yang dapat diamati (observable) dan dapat
diukur.
Tingkah laku adalah tindakan yang dapat dilihat dan diamati dengan cara yang
objektif. Belajar adalah proses membentuk hubungan S-R, dan kekuatan hubungan S-R
tergantung pada frekuensi ulangan adanya SR. oleh sebab itu, diperlukan latihan (drill)
dalam pembelajaran.
Teori belajar yang dikembangan Watson adalah Sarbon (stimulus and response bond
theoriy). Sarbon (stimulus and response bond theoriy) adalah teori yang memandang
bahwa belajar merupakan proses terjadinya refleks-refleks atau respons- respons
bersyarat melalui stimulus. Menurut Watson manusia dilahirkan dengan beberapa
refleks dan reaksi-reaksi emosional seperti takut, cinta, dan marah. Semua tingkah laku
tersebut terbentuk oleh adanya hubungan antara stimulus dan respons baru melalui
conditioning, sehingga belajar dapat dipandang sebagai cara menanamkan sejumlah
ikatan antara perangsang dan reaksi dalam sistem susunan syaraf.
Teori ini secara umum adalah sama dengan teori Thorndike yaitu Connectionisme
dan teori Pavlov Clasical Conditioning, hal ini dikarenakan yang menjadi landasan dari
teori behaviorisme Watson adalah teori Thorndike dan Pavlov. Watson menggunakan
teori Clasical Conditioning Pavlov dalam hal interaksi antara stimulus dan respons yang
dilengkapi dengan komponen penguatan (reinforcement) dari Thorndike.

d. Teori Belajar Burrhus Frederic Skinner


Sebagaimana Pavlov dan Watson, Skinner juga memikirkan perilaku sebagai
hubungan antara perangsang dan respon, tetapi berbeda dengan ke dua ahli yang
terdahulu. Skinner membuat rincian lebih jauh yang membedakan adanya dua respons,
yaitu: respondent response (relexive response) dan operant response (instrumental
response).
Respondent response (relexive response) yaitu respons yang ditimbulkan oleh
perangsang-perangsang tertentu. Perangsang-perangsang yang demikian itu disebut
eliciting stimuli, menimbulkan respons-respons yang secara relatif menetap, misalnya
makanan yang menimbulkan keluarnya air liur. Pada umumnya perangsang-perangsang
yang demikian itu mendahului respons yang ditimbulkannya.
Operant response (instrumental response) yaitu respons yang ditimbulkan dan
berkembangnya diikuti oleh perangsang-perangsang tertentu. Perangsang yang
demikian itu disebut reinforcing stimuli atau reinforcer, karena perangsang-perangsang
tersebut memperkuat respons yang telah dilakukan oleh organisme.
Teori operant conditioning merupakan teori yang telah mencapai tahap
penyempurnaan dari sekian teori pada rumpun psikologi Behaviorisme. Teori ini dirintis
oleh Skinner hasil penelitiannya terhadap tikus dan merpati yang ditempatkan dalam
sebuah kotak hasil modifikasi yang disebut kotak Skinner. Hasil eksperimennya
membuahkan prinsip pembelajaran terpenting yaitu perilaku berubah sesuai dengan
konsekuensi langsungnya. Dalam arti konsekuensi menyenangkan bisa memperkuat
menambah frekuensi suatu perilaku, sedangkan konsekuensi yang tidak menyenangkan
memperlemah bahkan akan menghilangkan frekuensi suatu perilaku.
2. Prinsip-prinsip Belajar Behavioristik
Prinsip-prinsip belajar perilaku adalah:
1. Peran konsekuensi-konsekuensi (Role Of Consequences)
Prinsip yang paling penting dari teori-teori belajar perilaku ialah bahwa
perilaku berubah menurut konsekuensi-konsekuensi langsung. Konsekuensi-
konsekuensi yang menyenangkan memperkuat perilaku, sedangkan
konsekuensi-konsekuensi yang tidak menyenangkan melemahkan perilaku.
Konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan pada umumnya disebut
reinforser (reinforcers), sedangkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak
menyenangkan disebut hukuman (punishers).
Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan
dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum, dan keberhasilan belajar
atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi
hadiah.
Reinforser-reinforser dapat dibagi menjadi dua golongan yakni: (1)
reinforser primer dan sekunder; dan (2) reinforser positif dan negatif. Reinforser
primer merupakan reinforser yang memuaskan kebutuhankebutuhan dasar
manusia, misalnya makanan, air, keamanan, kemesraan, dan seks. Reinforser
sekunder merupakan reinforser yang memperoleh nilainya setelah diasosiasikan
dengan reinforser primer atau reinforser sekunder lainnya yang sudah mantap.
Ada tiga kategori dasar reinforser sekunder, yaitu: (1) reinforser sosial,
seperti pujian, senyuman, atau perhatian; (2) reinforser aktivitas, seperti
pemberian mainan, permainan, atau kegiatan-kegiatan yang menyenangkan;
dan (3) reinforser simbolik, seperti uang, angka, bintang atau poin yang dapat
ditukarkan untuk reinforser-reinforser lainnya.
2. Pembentukan (shaping)

3. Pengurangan tingkah laku (extinction)


4. Generalisasi (generalization)
5. Diskriminasi (diccrimination)
6. Viarious learning atau matched dependent behavior.

3. Ciri dari Teori Behavioristik


Ciri dari teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian keil, bersiat
mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau
respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme belajar, mementingkan
peranan kemampuan dan hasil bel ajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang
diinginkan.

4. Implikasi Teori Behavioristik


Dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti:
1. Tuuan pembelaaran
2. Sifat materi pelajaran
3. Karakteristik peserta didik
4. Media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia.

Biismillah, assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, sebelumnya perkenalkan saya Nur Amini


Tawakkal Nim 20700120033, baiklah disini saya ingin bertanya mengenai reinforcment, yang dimana
kita ketahui bahwa reinforcment itu ada yang berupa reward/hadiah/penghargaan yang diberikan
kepada peserta didik yg memiliki respon yang baik, sebaliknya diberikan hukuman/punishment
ketika melakukan sebuah respon yg tidak baik. Jadi pertanyaan saya, ketika seorang siswa diberikan
sebuah punishment karena siswa tersebut melakukan sebuah kesalahan, apakah dapat menjamin
siswa tersbut tidak akan lagi mengulanginya? Karena kebanyakan faktanya, siswa kerap kali akan
melakukan kesalahan berulang kali karena tidak meyukai hal tersebut. Nah, dari hal tersebut
bagaimanakah cara terbaik untuk menghadapi siswa tersebut? Apakah membutuhkan psikiater
khusus? Ataukah terdapat cara lain?. Mungkin hanya itu, sekian dan terima kasih;)

Anda mungkin juga menyukai