OLEH:
KELOMPOK 5
PUTRI DESIFA (161301108)
PUTRI AMELIA TAMBUNAN (161301109)
REFLITA DEWI DAULAY (161301110)
ANNISYAH MAULIDINNA (161301111)
LASRIA ARGA (161301112)
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
BAB II
ISI
2. Eksperimen Yang Ketat, Variable Yang Dapat Di Amati, Dan Studi Simple System
Strategi riset para behavioris berasal dari penekanan mereka terhadap pengaruh
lingkungan. Jika perilaku di tentukan oleh lingkungan, maka cara melakukan riset adalah
memanipulasi variabel lingkungan dan menentukan pengaruhnya terhadap perilaku. Para
behavioris mencoba mendasarkan semua studi karakteristik alamiah manusia berdasarkan
eksperimen yang terkontrol secara cermat.Keuntungan metode ini adalah kedua variabel
lingkungan dan perilaku, dapat di amati. Para peneliti dapat melihat variabel tersebut, karena
dapat mengukur pengaruh factor lingkungan terhadap perilaku secara akurat dan sistematis.
Keunggulan ini yang biasanya tidak di temukan pada teori lain. Seseorang tidak dapat
mengamati secara langsung id, Oedipal conflict, kecenderungan extraverted, motif terhadap
aktualisasi diri, dan seterusnya. Para behavioris berpendapat bahwa teori-teori itu tidak
menyadarkan diri mereka kepada tes ilmiah yang meyakinkan karena objek penelitian
mereka mengandung variabel yang tidak dapat di amati oleh seseorang.
Perilaku sehari-hari manusia mungkin ditentukan oleh banyak variabel, dan berbagai
variabel ini berhubungan satu dengan yang lain dengan amat kompleks, sehingga sulit untuk
berhubungan yang berpotensi mempengaruhi antara salah satu factor lingkungan dengan
perilaku.Kesulitan inilah yang mengarahkan para behavioris untuk mengadopsi strategi riset
berikut ini. Daripada meneliti tindakan sosial yang kompleks, para behavioris biasanya
mempelajari respons sederhana.Daripada mempelajari manusia yang kompleks, para
behavioris mempelajari organisme yang lebih sederhana seperti tikus dan burung
5
dara.Dengan demikian, data ini yang menjadi fondasi prinsip behavioral, hampir seluruhnya
terdiri dari riset laboratorium terhadap binatang percobaan.
Strategi inilah yang diadopsi oleh para behavioris.Pada dasarnya, behavioris tertarik
pada perilaku social manusia yang kompleks.Akan tetapi, sebagai upaya melakukan
percobaan ilmiah yang fisibel sacara logistik, mereka mempelajari organisme dan respon
yang relatif sederhana, yang dapat diamati dengan mudah di laboratorium.Dalam banyak hal,
strategi ini terbukti berhasil. Riset pada proses belajar menghasilkan temuan paling kuat dan
reliable dalam sejarah psikologi eksperimental.
7
diasosiasikan dengan stimulus yang serupa). Dalam hal ini, respons air liur terhadap bel akan
berlaku umum bagi suara lain.
Jika percobaan berulang mengindikasikan hanya beberapa stimulus yang diikuti oleh
Unconditioned Stimulus, itu berarti binatang menyadari perbedaan diantara stimulus, sebuah
proses yang disebut Discrimination (sudah dapat membedakan stimulus). Proses generalisasi
menimbulkan konsistensi respons terhadap berbagai stimulus yang mirip, sedangkan proses
diskriminasi meningkatkan spesifitas respons. Jika awalnya stimulus netral dihadirkan
berulang kali tanpa atau jarang diikuti oleh Unconditioned Stimulus (UCS), maka terjadi
pelemahan pengkondisian, proses yang lebih dikenal dengan sebutan Extinction (perilaku
yang sengaja dilemahkan). Ketika asosiasi stimulus netral dengan Unconditional Stimulus
(UCS) menimbulkan Conditioned Respone (CR), kehadiran berulang Conditioned Stimulus
(CS) tanpa Unconditional Stimulus(UCS) menimbulkan extinction.
5. Kelinci dalam kandang yang diletakkan pada jarak yang dekat ditoleransi.
Kemajuan Peter melalui langkah ini tidak datar atau berkelanjutan, dan untungnya,
Jones memebrikan kepada kita laporan cermat dan eksplisis tentnag rangkaian peristiwa yang
menakjubkan. Petertelah maju melampaui Sembilan langakhdi gambar 10.1 .Ketika dia
dibawa ke rumah sakit karena demam. Jones mendeskripsikan penyebab”kambuh” nya Peter
sebagai berikut:
Hal ini dengan mudah dijelaskan oleh perawat yang membawa Peter dari rumah sakit. Ketika
mereka memasuki taksi di pintu rumah sakit, seekor anjing yang besar berlari agak ceapt dan
melompat ke arah mereka. Peter dan perawat tersebut amat ketautan. Agaknya peristiwa ini cukup
untuk menyebabkan penurunan tajam kembali ke level rasa takut awal. Diancam oleh seekor anjing
besar ketika sakit, dan dalam ruangan asaing dan bersama seorang dewasa yang menunjukkan rasa
takut, merupakan situasi amat menakutkan di mana latihan kita tidak dapat dapat membentengi kita.
10
Oleh karena itu, pada titik ini, Jones mulai dengan metode penanganan baru yang lain,
“direct ondtitioning” (pengkondisian langsung). Disini Peter didudukan di kursi dan
diberikan makanan yang disukainya, dan pada saat yang sama para peneliti secara perlahan
mendakatkan kandang berisi kecil. “Melalui kehadiran stimulus yang menyenangkan
(makanan) kapan pun kelinci tersebut ditunjukkan, perasaan positif yang diasosiasikan
dengan makanan menjadi kontra kondisi kelinci yang sebelumnya ditakuti. Aksn tetapi, pada
sesi berikutnya, pengaruh anak lain yang tidak takut dengan kelinci tampaknya juga cukup
penting. Dan bagaimana dengan rasa takut yang lain? Jones memperhatikan bahwa stelah
pelepasan pengkondisian (unconditioning) perasaan takut Peter terhadap kelinci, dia sama
sekali tidak takut kepada baju, buku, dan wol katun. Terlepas dari kurangnya pengetaahuan
berkaitan dengan asal muasal ketakitan Peter, prosedur perlepasan pengkodisian bekerja
secara sukses dan digeneralisir ke stimuli yang lain.
11
F. DESENSITASI SISTEMATIS
Sejauh ini perkemabngan paling berpengaruh dalam bidang ini adalah metode
systematic desensitization (desentisiasi sistematis). Menariknya, metode terapi ini
dikembangkan oleh psikiatris, bukan psikolog, dan oleh seorang yang pada awalnya berkerja
dalam kerangka psikoanalitik. Akan tetapi, dalam beberapa tahun praktik, Wolpe membaca
dan terkesan oleh tulisan Pavlov. Dia mulai percaya bahwa neurosis merupakan respons yang
sebaliknya.
Desentisais sistematis terdiri dari beberapa fase (Wolpe, 1961). Pertama, penilaian
cermat kebutuhan terapeutik pasien. Setelah menentukan bahwa masalah pasien tersebut
dapat ditanganani oleh desentisasi sistematis, terapis melatih pasien untuk rileks. Prosedur
mendetail digambarakan untuk, pertama-tama, membantu pasien merilekskan satu bagian
tubuh dan kemudian seluruh bagian. Ketika pada saat pertama pasien berhasil, meskipum
terbatas dalam membebaskan diri mereka dari ketegangan otot, setelah enam sesi sebagian
besar dapat merileksakan seluruh tubuh dalam sekejap. Ini adalah prosedur dimana terapis
mencoba mendapatkan daftar stimuli yang menimbulkan kecemasan. Stimuli yang
menimbulkan kecemasan ini dikelompokkan ke dalam tema seperti takkut ketinggian atau
takut penolakan. Dalam setiap kelompok atau tema, stimuli pencetus kecemasan kemudian
diatur dalam urutan dari yang paling mengganggu sampai yang paling tidak mengganggu.
Pasien memiliki banyak atau beberapa tema dan beberapa item dalam tipe hirearki
kecemasan.
Setelah selesai penyusunan hirearki kecemasan, pasien siap untuk prosedur
desentisasi. Pasien belajar menenangkan diri dengan rileksasi. Dan terapis membangun
hirearki kecemasan. Sekarang terapis mendorong pasien untuk mencapai kondisi relaksasi
mendalam dan kemudian membayangkan stimulus pemicu kecemasan paling kecil dalam
hirearki ketika masih rileks. Periode rilaksasi murni diselingi oleh periode relaksasi dan
kembali membayangkansemua stimulus, dia akan didorong untuk rileks dan kembali
membayangkan semua stimuli dalam hirearki rasa cemas. Relaksasi dalam hubungannya
dengan stimuli yang dibayangkan lalu digeneralisasikan ke relaksasi dalam hubungannya
dengan berbagai stimuli ini dalam kehidupan sehari-hari. “telah ditemukan secara konsisten
bahwa setiap tahap stimulus yang tidak menimbulkan kecemasan ketika dibayangkan dalam
kondisi relaksasi juga tidak akan menimbulkan kecemasan ketika ditemukan dalam
kenyataan” (Wolpre, 1961, hlm. 191).
Sejumlah studi klinis dan laboratorium telah mengindikasikan bahwa desentisasi
sistematis dapat menjadi prosedur penanganan yang berguna. Hasil yang sukse ini
12
mendorong Wolpe dan yang lain mempertanyakan psikoanalitis bahwa, selama konflik dasar
belum tersentuh, pasien rentan untuk mengembangkan sintom baru sebagai ganti yang telah
hilang (substitusi sintom) (Lazarus, 1965). Menurut sudut pandang terapi perlikau, tidak ada
sintom yang disebabkan oleh konflik bawah sadar. Yang ada hanyalah respons pembelajaran
maladaptif, dan ketika respon ini dihilangkan, tidak ada alasan untuk percaya bahwa respons
maladptif lain akan menggantikannya.
13
go round horses (kuda-kudaan) dipukuli. Berbagai fakta ini kemudian membentuk kondisi
bagi perkembangan fobia itu. Dengan demikian, fobia tersebut terjadi sebagai konsekuensi
rasa takut yang dirasakan hans ketika melihat sang kuda jatuh. Ketika Freud mengindikasikan
kecelakaan ini sebagai penyebab yang memungkinkan diekspresikannya konflik terpendam
dalam kerangka fobia, Wolpe dan Rachman mengisyaratkan bahwa kecelakaan inilah yang
menjadi penyebab.
Wolpe dan Rachman melihat kemiripan di sini dengan pengkondisian Watson
terhadap rasa takut terhadap diri Albert kecil. Hans menjadi takut oleh peristiwa yang
berkaitan dengan kuda dan kemudian menggeneralisasikan rasa takutnya kepadas semua hal
yang mirip atau yang berkaitan dengan kuda. Pemulihan dari fobia tersebut tidak terjadi
melalui proses pemahaman, akan tetapi terjadi melalui proses pemusnahan atau kontra-
pengkondisian. Ketika Hans tumbuh besar, dia mengalami respons emosional lain yang
menghalangi respons rasa takut. Kemungkinan lainnya, perujukan konstan sang ayah kepada
kuda dalam konteks tidak mengancam turut membantu menghilangkan respons rasa takut.
Apa pun detailnya, tampaknya fobia tersebut hilang secara bertahap, sebagaimana yang
diperkirakan oleh jenis interpretasi pembelajaran ini. Bukti yang mendukung Freud tidak
jelas, dan datanya dapat dijelaskan dengan lebih gambling melalui interpretasi teori
pembelajaran.
16
DAFTAR PUSTAKA
Lawrence A, P. (2005). Personality Theory and ResearcH. America: John Wiley and Sons.
17