Anda di halaman 1dari 17

TUGAS KEPRIBADIAN II KAMIS, 14 SEPTEMBER 2017

“IVAN PETROVICH PAVLOV”


D

OLEH:

KELOMPOK 5
PUTRI DESIFA (161301108)
PUTRI AMELIA TAMBUNAN (161301109)
REFLITA DEWI DAULAY (161301110)
ANNISYAH MAULIDINNA (161301111)
LASRIA ARGA (161301112)

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
BAB II
ISI

A. BIOGRAFI IVAN PETROVICH PAVLOV (1849 – 1936)


Pavlov lahir pada 14 september 1849 di sebuah kota kecil di
central rusia, ia merupakan putra dari keluarga klerus (babkin,
1949; Asratyan, 1953). Ia merupakan anak tertua dari 11
bersaudara. Sebagai seorang laki laki ia lebih sering mendatangi
sekolah lokal dan seminar gerejawi. Disana ia membaca 2 buah
buku yang membuatnya mengabaikan rencananya untuk memasuki
imamat. Yaitu Charles Darwin’s origin of species (1859) dan Ivan
Mikhailovich sechenov’s reflexes of the brain. Pavlov selalu
mengakui pengaruh darwin dan merasa sangat gembira, mistik, serta menghormatinya.
Bahkan di akhir hidupnya, ketika mengorganisir sebuah stasiun penelitian di koltushi di luar
leningrad, ia mendirikan sebuah perkebunan besar yang dinamakan “soviet down” untuk
menghormati daerah asal Darwin.
Pavlov meninggalkan seminar gerejawi pada tahun 1870 tanpa kualifikasi sebagai imam. Dan
ia mendaftar pada Faculty of natural science di University of st. Petersburg.
Pada tahun 1875 ia menyelesaikan studinya dengan menerima gelar Candidate of Natural
Science. ia bekerja sebagai Director of the Psychological Laboratory di klinik terkenal S.P
Botkin.Ia melanjutkan studinya dan memulai risetnya sendiri dalam topik yang menariknya:
sistem pencernaan dan peredaran darah. Karyanya pun terkenal, dan diangkat sebagai
profesor fisiologi di Akademi Kedokteran Kekaisaran Rusia.
Eksperimen dan Karya yang membuat Pavlov memiliki reputasi di bidang psikologi
sebenarnya bermula dari studi dalam sistem pencernaan.Ia sedang mencari proses pencernaan
pada anjing, khususnya hubungan timbal balik antara air ludah dan kerja perut. Dalam
penelitian tersebut ia melihat bahwa subyek penelitiannya (seekor anjing) akan mengeluarkan
air liur sebagai respons atas munculnya makanan. Ia sadar kedua hal itu berkaitan erat dengan
refleks dalam sistem saraf otonom. Tanpa air liur, perut tidak membawa pesan untuk
memulai pencernaan.
Pada 1903 Pavlov menerbitkan hasil eksperimennya dan menyebutnya "refleks terkondisi,".
Pavlov menyebut proses pembelajaran ini (sebagai contoh, saat sistem saraf anjing
menghubungkan suara metronom dengan makanan) "pengkondisian". Ia juga menemukan
bahwa refleks terkondisi akan tertekan bila rangsangan ternyata terlalu sering "salah". Jika
2
metronom bersuara berulang-ulang dan tidak ada makanan, anjing akan berhenti
mengeluarkan ludah.
Pavlov amat dihormati di negerinya sendiri -- baik dari Kekaisaran Rusia maupun Uni
Soviet -- dan di seluruh dunia. Pada 1904, ia memenangkan Penghargaan Nobel dalam
Fisiologi atau Kedokteran dalam penelitiannya tentang pencernaan. Ia adalah orang yang
terang-terangan dan sering bersilang pendapat dengan pemerintah Soviet dalam hidupnya,
namun karena reputasinya, dan juga karena bangganya penduduk negerinya kepadanya,
membuatnya sering menghadapi masa hukuman. Ia aktif bekerja di laboratorium sampai
kematiannya dalam usia 86 tahu pada tanggal 27 Februari 1936 di Leningrad

B. PANDANGAN BEHAVIORISTIK TERHADAP ILMU KEPRIBADIAN


Pendekatan teori pembelajaran behavioristik terhadap kepribadian memiliki dua
asumsi dasar.Yang pertama adalah prilaku harus dijelaskan dalam kerangka pengaruh kasual
lingkungan terhadap diri orang tersebut. Yang kedua adalah pemahaman terhadap manusia
harus dibangun berdasarkan riset ilmiah yangobjektif dimana variable dikontrol secara
seksama di dalam eksperimen laboratorium.

1. Determinisme lingkungan dan implikasi bagi konsep kepribadian


Behavioris memandang studi kepribadian hanya sebagai bagian dari bidang
pendidikan yang lebih luas. Memang, bagi behavioris, studi tentang hukum umum
pembelajaran, jika berhasil, akan menghapus secara penuh kebutuhan bidang studi yang
terpisah disebut dengan “teori kepribadian”.
Alasan para behavioris dibalik pandangan ini adalah sebagai berikut.Kita, manusia,
merupakan objek fisik dalam dunia fisik.Karena itu, kita merupakan subjek hukum fisika
yang dapat dipahami melalui analisis ilmiah. Bahkan sejak awal fisika modern 100 tahun
yang lalu, para behavioris berpendapat bahwa cara untuk menjelasan prilaku objek fisik
mana pun adalah mengidentifikasi kekuatan dalam lingkungan yang menyebabkan prilaku.
Bagi behavioris, prilaku individu harus dijelaskan dengan cara yang sama persis. Oleh
karena itu bagi behavioris tidak ada kebutuhan untuk menjelaskan prilaku individu dalam
kerangka perasaan, sikap, atau sifat kepribadian. Orang tidak bertindak karena mereka
memutuskan untuk berindak dengan cara tertentu, tetapi karena kekuatan lingkungan yang
menyebabkan mereka melakukan hal tersebut.
Behavioris menyadari bahwa individu memiliki perasaan dan pikiran. Akan tetapi
mereka memandang perasaan dan pikiran sebagai “prilaku” yang juga disebabkan oleh
3
lingkungan.Oleh karena itu, fitur paling radikal dari sudut pandang behavioris adalah aliran
tersebut tidak menjelaskan tindakan individu dalam kerangka pemikiran dan perasaan
mereka.Sebaliknya, aliran-aliran tersebut menjelaskan tindakan, pemikiran, dan perasaan
seseorang dalam kerangka kekuatan lingkungan yang membentuk individu tersebut. Bagi
behavioris, hal ini adalah satu-satunya cara untuk membangun studi prilaku yang kredibel
secara ilmiah. Behavioris juga mendorong kita untuk mengidentifikasi faktor lingkungan
yang merupakan penyebab sebenarnya dari perasaan, perasaan dan tindakan seseorang.
Bagi behavioris kerangka untuk membicarakan kepribadian-terlepas dari istilah yang
berasal dari psikoanalisis,teori sifat, atau teori lain yang tidak merujuk kepada entitas
psikologis riil yang ada dalam pikiran seseorang dan menyebabkan perilaku mereka. Bagi
mereka, istilah kepribadian hanyalah label yang deskriptif.Kepribadian adalah pola
deskriptif pengalaman psikologis yang pada kenyataannya diakibatkan oleh lingkungan.Jika
lingkungan yang menyebabkan seseorang merasa marah terhadap orang tua berjenis kelamin
sama dan ketertarikan kepada orang tua berjenis kelamin berbeda,para psikoanalis
menamakan hal ini dengan “Oedipal complex” . Jika lingkungan menyebabkan seseorang
melakukan perilaku yang energik,ramah, dan mudah diterima masyarakat,teoritikus
psikoanalis akan menjuluki orang tersebut sebagai “extravert”. Dalam kasus ini dan banyak
kasus lain,istilah kepribadian tidak mengidentifikasi penyebab perilaku seseorang. Para
behavioris memandang istilah tersebut hanya sebagai label/julukan bagi pola tindakan yang
disebabkan oleh lingkungan.
Oleh karena itu, bagi para behavioris,pemahaman terhadap hubungan pembelajaran
bisa saja menggantikan semua teori kepribadian yang ada. Apabila kepribadian dapat
dijelaskan melalui hukum pembelajaran , dan jika “kepribadian” hanyalah sebuah label yang
mendeskripsikan tipe perilaku yang telah dipelajari untuk kemudian dipelajari,maka tidak
dibutuhkan teori kepribadian ilmiah yang berbeda dari teori pembelajaran yang ada. Para
behavioris cukup jelas tentang hal ini. Mereka menunggu saat ketika teori kepribadian akan
“dianggap sebagai keingintahuan sejarah”.
Penekanan behavioral terhadap penentu/determinan lingkungan eksternal (external
environmental determinants) memiliki sejumlah implikasi penting.Salah satunya adalah
sorotannya kepada potensisituational specificity(spesifikasi stuasional) perilaku.Karena
factor lingkungan merupakan penyebab perilaku,gaya perilaku individu diperkirakan amat
berbeda dari satu lingkungan ke lingkungan yang lain. Variabel sifat berhubungan dengan
gaya perilaku yang konsisten; berbagai variable ini merupakan cara untuk menjelaskan
mengapa seseorang bertindak dalam cara yang konsisten dalam berbagai situasi yang
4
berbeda. Sebaliknya, individu akan memiliki tingkah laku yang berbeda ketika individu itu
beradaptasi dengan situasi yang mempresentasikan imbalan dan hukuman bagi tipe perilaku
yang berbeda bagi tipe perilaku yang berbeda.
Pandangan behavioris terhadap proses pembelajaran juga memiliki implikasi penting
bagi pemahaman dan penanganan psikopatologi. Psikopatologi tidak dipahami sebagai
masalah internal/batin atau merupakan penyakit dalam pikiran seseorang, tetapi para
behavioris mengasumsikan perilaku maladaptive, atau “abnormal” tersebut disebabkan oleh
lingkungan maladaptive di tempat atau di mana orang tersebut berada.Asumsi ini
mengisyaratkan bahwa tugas terapi bukan menganalisis konflik yang mendasari atau
mengorganisasi kembali kepribadian seseorang. Akan tetapi , tujuannya adalah memberikan
lingkungan baru, yaitu: pengalaman pembelajaran baru bagi klien. Lingkungan baru tersebut
harus menyebabkan klien mempelajari pola perilaku baru yang lebih adaptif.

2. Eksperimen Yang Ketat, Variable Yang Dapat Di Amati, Dan Studi Simple System
Strategi riset para behavioris berasal dari penekanan mereka terhadap pengaruh
lingkungan. Jika perilaku di tentukan oleh lingkungan, maka cara melakukan riset adalah
memanipulasi variabel lingkungan dan menentukan pengaruhnya terhadap perilaku. Para
behavioris mencoba mendasarkan semua studi karakteristik alamiah manusia berdasarkan
eksperimen yang terkontrol secara cermat.Keuntungan metode ini adalah kedua variabel
lingkungan dan perilaku, dapat di amati. Para peneliti dapat melihat variabel tersebut, karena
dapat mengukur pengaruh factor lingkungan terhadap perilaku secara akurat dan sistematis.
Keunggulan ini yang biasanya tidak di temukan pada teori lain. Seseorang tidak dapat
mengamati secara langsung id, Oedipal conflict, kecenderungan extraverted, motif terhadap
aktualisasi diri, dan seterusnya. Para behavioris berpendapat bahwa teori-teori itu tidak
menyadarkan diri mereka kepada tes ilmiah yang meyakinkan karena objek penelitian
mereka mengandung variabel yang tidak dapat di amati oleh seseorang.
Perilaku sehari-hari manusia mungkin ditentukan oleh banyak variabel, dan berbagai
variabel ini berhubungan satu dengan yang lain dengan amat kompleks, sehingga sulit untuk
berhubungan yang berpotensi mempengaruhi antara salah satu factor lingkungan dengan
perilaku.Kesulitan inilah yang mengarahkan para behavioris untuk mengadopsi strategi riset
berikut ini. Daripada meneliti tindakan sosial yang kompleks, para behavioris biasanya
mempelajari respons sederhana.Daripada mempelajari manusia yang kompleks, para
behavioris mempelajari organisme yang lebih sederhana seperti tikus dan burung

5
dara.Dengan demikian, data ini yang menjadi fondasi prinsip behavioral, hampir seluruhnya
terdiri dari riset laboratorium terhadap binatang percobaan.
Strategi inilah yang diadopsi oleh para behavioris.Pada dasarnya, behavioris tertarik
pada perilaku social manusia yang kompleks.Akan tetapi, sebagai upaya melakukan
percobaan ilmiah yang fisibel sacara logistik, mereka mempelajari organisme dan respon
yang relatif sederhana, yang dapat diamati dengan mudah di laboratorium.Dalam banyak hal,
strategi ini terbukti berhasil. Riset pada proses belajar menghasilkan temuan paling kuat dan
reliable dalam sejarah psikologi eksperimental.

C. PAVLOV DAN PENGKONDISIAN KLASIK

1.Teori Pengkondisian Klasik Pavlov


Pavlov adalah orang yang mendedikasikan dirinya di dalam penelitian penelitiannya,
antara 1897 hingga 1936 setidaknya 146 asosiasi dan pelajar bekerja pada laboratoriumnya.
Beberapa penelitiannya menerima Nobel Prize dan Salah satu yang terkenal di ranah
psikologi adlaah teori pengkondisian klasik atau “classical conditioning”. Ini sebenarnya
bermula dari studi dalam sistem pencernaan.Ia sedang mencari proses pencernaan pada
anjing, khususnya hubungan timbal balik antara air ludah dan kerja perut. Dalam penelitian
tersebut ia melihat bahwa subyek penelitiannya (seekor anjing) akan mengeluarkan air liur
sebagai respons atas munculnya makanan. Ia sadar kedua hal itu berkaitan erat dengan refleks
dalam sistem saraf otonom. Tanpa air liur, perut tidak membawa pesan untuk memulai
pencernaan. Pavlov ingin melihat bahwa rangsangan luar dapat mempengaruhi proses ini,
maka ia membunyikan metronome (bell) dan di saat yang sama ia mengadakan percobaan
makanan anjing.
Setelah beberapa saat, anjing itu akan mulai mengeluarkan air liur saat metronome
(bell) itu bersuara, malahan jika tidak ada makanan. Ia kemudian mengeksplorasi fenomena
ini dan kemudian mengembangkan satu studi perilaku (behavioral study) yang dikondisikan,
yang dikenal dengan teori Classical Conditioning. Menurut teori ini, ketika makanan disebut
sebagai the unconditioned stimulus(UCS) yang tidak dikondisikan atau tidak dipelajari
dipasangkan atau diikutsertakan dengan bunyibel(bunyi bel disebut sebagai the conditioned
stimulus (CS) - stimulus yang dikondisikan atau dipelajari), maka bunyi bel akan
menghasilkan respons yang sama, yaitu keluarnya air liur dari si anjing percobaan.
Pada 1903 Pavlov menerbitkan hasil eksperimennya dan menyebutnya "refleks terkondisi,"
berbeda dari refleks halus, seperti. Pavlov menyebut proses pembelajaran ini (sebagai contoh,
6
saat sistem saraf anjing menghubungkan suara metronom dengan makanan) "pengkondisian".
Ia juga menemukan bahwa refleks terkondisi akan tertekan bila rangsangan ternyata terlalu
sering "melesat". Jika metronom bersuara berulang-ulang dan tidak ada makanan, anjing akan
berhenti mengeluarkan ludah. Hasil karyanya ini bahkan menghantarkannya menjadi
pemenang hadiah Nobel. Selain itu teori ini merupakan dasar bagi perkembangan aliran
psikologi behaviourisme, sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi penelitian mengenai proses
belajar dan pengembangan teori-teori tentang belajar.

2. Prinsip Classical Conditioning


Karakteristik esensial dari Classical Conditioning adalah bahwa stimulus yang
sebelumnya netral mampu menimbulkan respons karena asosiasinya dengan stimulus yang
secara otomatis menghasilkan respons yang sama. Dengan kata lain, anjing mengeluarkan
saliva saat pertama kali ditampilkan bubuk makanan. Makanan dapat dianggap sebagai
Unconditional Stimulus (UCS) dan air liur sebagai Unconditional Response(UCR). Hal ini
dikarenakan, dihasilkannya air liur merupakan respons otomatis dan refleks terhadap
makanan. Stimulus netral seperti bel, tidak akan menghasilkan air liur pada anjing. Akan
tetapi, jika dalam sejumlah percobaan bel berbunyi tepat sebelum kehadiran makanan, maka
untuk berikutnya apabila bel berbunyi dengan sendirinya tanpa dihadirkannya makanan
mungkin berpotensi menghasilkan air liur. Dalam kasus ini , pengkondisian terjadi sejak
kehadiran bel yang kemudian diikuti oleh keluarnya air liur. Pada titik ini, bel tersebut dapat
dianggap sebagai Conditioned Stimulus (CS) dan liur sebagai Conditioned Responses (CR).
Dengan cara yang sama, dimungkinkan untuk mengkondisikan respons penarikan
(withdrawal) terhadap stimulus netral sebelumnya. Dalam riset awal terhadap penarikan
(withdrawal) yang terkondisikan, seekor anjing dikalungi dan kabel dipasangkan pada
cakarnya. Pengaliran listrik (US) kepada cakarnya menyebabkan penarikan cakar (UR), yang
sebelumnya merupakan respons refleks pada binatang. Jika sebuah bel dihadirkan berulang
kali sebelum getaran, pada akhirnya bel itu sendiri saja (CS) yang dapat menimbulkan
respons withdrawal (CR).
Eksperimental yang didesain oleh Pavlov untuk mempelajari Classical Conditioning
memungkinkannya untuk menyelidiki sejumlah fenomena penting. Pavlov menemukan
bahwa respons yang terkondisikan oleh stimulus yang sebelumnya netral juga diasosiasikan
dengan stimulus yang hampir sama, sebuah proses yang disebut dengan generalization
(respon yang sudah diasosiasikan dengan stimulus yang awalnya netral juga bisa

7
diasosiasikan dengan stimulus yang serupa). Dalam hal ini, respons air liur terhadap bel akan
berlaku umum bagi suara lain.
Jika percobaan berulang mengindikasikan hanya beberapa stimulus yang diikuti oleh
Unconditioned Stimulus, itu berarti binatang menyadari perbedaan diantara stimulus, sebuah
proses yang disebut Discrimination (sudah dapat membedakan stimulus). Proses generalisasi
menimbulkan konsistensi respons terhadap berbagai stimulus yang mirip, sedangkan proses
diskriminasi meningkatkan spesifitas respons. Jika awalnya stimulus netral dihadirkan
berulang kali tanpa atau jarang diikuti oleh Unconditioned Stimulus (UCS), maka terjadi
pelemahan pengkondisian, proses yang lebih dikenal dengan sebutan Extinction (perilaku
yang sengaja dilemahkan). Ketika asosiasi stimulus netral dengan Unconditional Stimulus
(UCS) menimbulkan Conditioned Respone (CR), kehadiran berulang Conditioned Stimulus
(CS) tanpa Unconditional Stimulus(UCS) menimbulkan extinction.

D. PSIKOPATOLOGI DAN PERUBAHAN


Pavlov bukan hanya melakukan riset dasar pada generalisasi, diskriminasi, dan
extinction. Pavlov juga melakukan riset berbagai fenomena lain yang amat menarik, seperti
konflik dan perkembangan saraf. Contoh klasik dari risetnya adalah apa yang dinamakan
sebagai neuroses experimental pada binatang. Dalam riset ini, seekor anjing dikondisikan
untuk mengeluarkan air liur terhadap gambar yang berada dalam lingkaran. Perbedaan antara
lingkaran dan gambar yang sama, yakni gambar oval yang kemudian dikondisikan; riset ini
dilakukan dengan tidak menguatkan respon terhadap gambar oval, sedangkan gambar
lingkaran dikuatkan secara terus-menerus. Kemudian, secara gradual, oval tersebut diubah
bentuknya. Bentuknya dibuat semakin mendekati lingkaran. Awalnya, anjing tetap bisa
membedakan antara lingkaran dan oval, namun kemudian gambar tersebut semakin serupa
dan anjing sudah tidak dapat lagi membedakan keduanya dan perilakunya menjadi tidak
terorganisir.

1. Reaksi Emosional Yang Dikondisikan


Penelitian Pavlov terhadap proses pengkondisian dengan jelas mendefenisikan stimuli
dan respons serta memberikan metode objektif untuk mempelajari fenomena pembelajaran.
Karena itu, penelitian tersebut memainkan peran penting dalam pemikiran behavioris
kemudian seperti Watson. Misalnya, setelah mempublikasikan Psychology form Standpoint
of a Behaviorist (1919), Watson melaporkan pengkodisian klasik dalam psikologi. Dalam
riset ini, para peneliti, Watson dan Ryner (1920), melatih seorang anak untuk takut kepada
8
binatang dan objek yan sebelumnya tidak dia takuti. Mereka menemukan memukulkan palu
pada batangan baja yang menghasilkan keterkejutan dan rasa takut pada diri bayi. Mereka
kemudian menemukan bahwa jika potongan tersebut dipukul tepat di belakang kepala Albert
sesaat sebelum ia mencapai seekor tikus, maka dia mulai takut terhadap tikus tersebut,
padahal dia tidak menunjukkan respons ini sebelumnya. Setelah melakukan hal ini beberapa
kali, para peneliti menemukan bahwa ketika hanya tikus yang ditunjukkan kepada Albert
(tanpa suara), maka dia mulai menangis. Dia telah mengembangkan apa yang disebut sebagai
conditioned emotional reaction (reaksi emosional tekondisikan.
Pada titik ini, sekarang Albert takut terhadap tikus karena asosiasi emosionalnya
dengan suara yang menakutkan. Lebih jauh lagi, ada bukti bahwa Albert mulai takut kepada
objek lain yang mirip tikus, seperti objek berwarna putih dan berbulu lembut. Terlepas dari
bukti bahwa reaksi emosi Albert tidak sekuat atau seumum yang diperkirakan (Harris, 1979),
Watson dan Rayner menyimpulkan bahwa banyak rasa takut merupakan reaksi emosional
terkondisikan.

2. Rasa Takut “Tidak Terkondisikan Terhadap Kelinci”


Bagi banyak psikologi, pengkondisian klasik reaksi emosional memainkan peran
penting dalam perkembangan psikopatologi dan berpontensi memainkan peran penting
dalam perubahan perilaku. Terapi perilaku yang didasarkan kepada mode pengkondisian
kalsik menekankan pelenyapan (extinction) respons problematik, seperti ketakutan yang
dikondisikan, atau pngkondisian respons baru terhadap stimuli yang enimbulkan respons
yang tidak diinginkan seperti kecemasan.
Penggunaan awal pendekatan ini, salah satu yang mengikuti jejak studi Watson dan
Rayner (1920) terhadap pengkondisian respons emosional rasa takut pada diri Albert, adalah
upaya Jones (1924) menghilangkan rasa takut di bawah kondisi laboratorium. Dalam studi
penggunaan sistematis terapi perilaku , yang dianggap sebagai salah satu upaya paling awal–
jika tidakdapat dikatakan yang pertama, Jones mencoba menangani rasa takut berlebihan
pada diri seorang anak laki-laki, Peter yang pada saat itu berusiadua tahun sebelas bulan.
Peter dideskripsikan sebagai anak secara umum sehat dan mudah bergaul, tetapi takut kepada
tikus putih yang kemudian rasa takutnya meluas ke takut pada kelinci, pakaian berbulu, bulu,
dan wol katun. Secara cermat Jones mendokumentasikan karakteristik alamiah respons rasa
takut anak itu dan mencari kondisi yang bisa menghilangkan rasa takut yang paling besar.
Kemudian dia mencoba menentukan apakah dia dapat “melenyapkan kondisi” respons rasa
takut kepadasalah satu stimuli dan apakah peniadaan kondisi tersebut akan berlaku umum
9
kepada stimuli lain. Jones memilih rasa takut Peter kepada kelinci, karena ini tampaknya
lebih besar daripada rasa takutnya kepada tikus. Secara perlaahan Peter bergerak dari rasa
takutyag besar menuju kepada respons yang lebih positif. Langkah-langkah yang menyertai
kemajuan ini dipresentasikan di Gambar 10.1
1. Kelinci dalam kandang yang ditempatkan di mana saja dalam ruangan menyebabkan reaksi ketakutan.

2. Kelinci dalam kandang berjarak 12 kaki ditoleransi.

3. Kelinci dalam kandang berjarak 4 kaki ditoleransi.

4. Kelinci dalam kandang berjarak 3 kaki ditoleransi.

5. Kelinci dalam kandang yang diletakkan pada jarak yang dekat ditoleransi.

6. Kelinci tidak dikurung yang berada dalam kamar ditoleransi.

7. Kelinci disentuh ketika para peneliti memegangnya.


8. Kelinci disentuh ketika berkeliaran bebas dalam ruaangan.

9. Kelinci diludahi, dilempari barang, dan Peter meniru-niru gerakannya.


10. Kelinci diizinkan berada di atas sofa.

11. Berjongkok di samping kelinci

12. Membantu para peneliti membawa kelinci ke kandangnya.

13. Memangku kelinci.

14. Hanya berdua dengan kelinci dalam kamar.

15. Mengizinkan kelinci tersebut bermain pena dengannya.

16. Memanjakan kelinci dengan penuh kasih sayang.

17. Membiarkan kelinci menggit jarinya.

Kemajuan Peter melalui langkah ini tidak datar atau berkelanjutan, dan untungnya,
Jones memebrikan kepada kita laporan cermat dan eksplisis tentnag rangkaian peristiwa yang
menakjubkan. Petertelah maju melampaui Sembilan langakhdi gambar 10.1 .Ketika dia
dibawa ke rumah sakit karena demam. Jones mendeskripsikan penyebab”kambuh” nya Peter
sebagai berikut:

Hal ini dengan mudah dijelaskan oleh perawat yang membawa Peter dari rumah sakit. Ketika
mereka memasuki taksi di pintu rumah sakit, seekor anjing yang besar berlari agak ceapt dan
melompat ke arah mereka. Peter dan perawat tersebut amat ketautan. Agaknya peristiwa ini cukup
untuk menyebabkan penurunan tajam kembali ke level rasa takut awal. Diancam oleh seekor anjing
besar ketika sakit, dan dalam ruangan asaing dan bersama seorang dewasa yang menunjukkan rasa
takut, merupakan situasi amat menakutkan di mana latihan kita tidak dapat dapat membentengi kita.

10
Oleh karena itu, pada titik ini, Jones mulai dengan metode penanganan baru yang lain,
“direct ondtitioning” (pengkondisian langsung). Disini Peter didudukan di kursi dan
diberikan makanan yang disukainya, dan pada saat yang sama para peneliti secara perlahan
mendakatkan kandang berisi kecil. “Melalui kehadiran stimulus yang menyenangkan
(makanan) kapan pun kelinci tersebut ditunjukkan, perasaan positif yang diasosiasikan
dengan makanan menjadi kontra kondisi kelinci yang sebelumnya ditakuti. Aksn tetapi, pada
sesi berikutnya, pengaruh anak lain yang tidak takut dengan kelinci tampaknya juga cukup
penting. Dan bagaimana dengan rasa takut yang lain? Jones memperhatikan bahwa stelah
pelepasan pengkondisian (unconditioning) perasaan takut Peter terhadap kelinci, dia sama
sekali tidak takut kepada baju, buku, dan wol katun. Terlepas dari kurangnya pengetaahuan
berkaitan dengan asal muasal ketakitan Peter, prosedur perlepasan pengkodisian bekerja
secara sukses dan digeneralisir ke stimuli yang lain.

E. APLIKASI TAMBAHAN PENGONDISIAN KLASIK


Prosedur awal penting lainnya adalah yang dikembangkan oleh Mowrer dan Mowrer
(1928) untuk menangani masalah mengompol. Secara umum, mengompol pada anak terjadi
karena sang anak tidak merespon stimuli dari kantung kemih pada waktunya untuk bangun
dan buang air kecil di kamar madni. Untuk menangani kondisi ini, Mowrer dan Mowrer
mengembangkan alat yang didasarkan pada model pengondisian klasik. Alat ini terdiri dari
peralatan listrik di tempat tidur sang anak. Jika si anak mengompol, maka alat tersebut akan
mengaktifkan bel yang membangunkan si anak. Secara gradual stimuli dari kandung kemih
menjadi terasosiasikn dengan respons bangun. Akhirnya, respons tersebut diantisipasi
sehingga tidak lagi terjadi mengompol.
Prosedur pengondisian klasik juga telah digunakan dalam menangani para pecandu
alkohol. Misalnya, stimulus yang tidak disukai seperti sengatan atau obat yang menimbulkan
rasa mual diberikan secarasegera setelah para pecandu meminum minuman keras. Stimulus
yang tidak menyenangkan tersebut bertindak sebagai stiulus yang tidak terkondisikan (UCS),
dan respons penghindaran dikondisikan terhadap alkohol (Nathan, 1985)

11
F. DESENSITASI SISTEMATIS
Sejauh ini perkemabngan paling berpengaruh dalam bidang ini adalah metode
systematic desensitization (desentisiasi sistematis). Menariknya, metode terapi ini
dikembangkan oleh psikiatris, bukan psikolog, dan oleh seorang yang pada awalnya berkerja
dalam kerangka psikoanalitik. Akan tetapi, dalam beberapa tahun praktik, Wolpe membaca
dan terkesan oleh tulisan Pavlov. Dia mulai percaya bahwa neurosis merupakan respons yang
sebaliknya.
Desentisais sistematis terdiri dari beberapa fase (Wolpe, 1961). Pertama, penilaian
cermat kebutuhan terapeutik pasien. Setelah menentukan bahwa masalah pasien tersebut
dapat ditanganani oleh desentisasi sistematis, terapis melatih pasien untuk rileks. Prosedur
mendetail digambarakan untuk, pertama-tama, membantu pasien merilekskan satu bagian
tubuh dan kemudian seluruh bagian. Ketika pada saat pertama pasien berhasil, meskipum
terbatas dalam membebaskan diri mereka dari ketegangan otot, setelah enam sesi sebagian
besar dapat merileksakan seluruh tubuh dalam sekejap. Ini adalah prosedur dimana terapis
mencoba mendapatkan daftar stimuli yang menimbulkan kecemasan. Stimuli yang
menimbulkan kecemasan ini dikelompokkan ke dalam tema seperti takkut ketinggian atau
takut penolakan. Dalam setiap kelompok atau tema, stimuli pencetus kecemasan kemudian
diatur dalam urutan dari yang paling mengganggu sampai yang paling tidak mengganggu.
Pasien memiliki banyak atau beberapa tema dan beberapa item dalam tipe hirearki
kecemasan.
Setelah selesai penyusunan hirearki kecemasan, pasien siap untuk prosedur
desentisasi. Pasien belajar menenangkan diri dengan rileksasi. Dan terapis membangun
hirearki kecemasan. Sekarang terapis mendorong pasien untuk mencapai kondisi relaksasi
mendalam dan kemudian membayangkan stimulus pemicu kecemasan paling kecil dalam
hirearki ketika masih rileks. Periode rilaksasi murni diselingi oleh periode relaksasi dan
kembali membayangkansemua stimulus, dia akan didorong untuk rileks dan kembali
membayangkan semua stimuli dalam hirearki rasa cemas. Relaksasi dalam hubungannya
dengan stimuli yang dibayangkan lalu digeneralisasikan ke relaksasi dalam hubungannya
dengan berbagai stimuli ini dalam kehidupan sehari-hari. “telah ditemukan secara konsisten
bahwa setiap tahap stimulus yang tidak menimbulkan kecemasan ketika dibayangkan dalam
kondisi relaksasi juga tidak akan menimbulkan kecemasan ketika ditemukan dalam
kenyataan” (Wolpre, 1961, hlm. 191).
Sejumlah studi klinis dan laboratorium telah mengindikasikan bahwa desentisasi
sistematis dapat menjadi prosedur penanganan yang berguna. Hasil yang sukse ini
12
mendorong Wolpe dan yang lain mempertanyakan psikoanalitis bahwa, selama konflik dasar
belum tersentuh, pasien rentan untuk mengembangkan sintom baru sebagai ganti yang telah
hilang (substitusi sintom) (Lazarus, 1965). Menurut sudut pandang terapi perlikau, tidak ada
sintom yang disebabkan oleh konflik bawah sadar. Yang ada hanyalah respons pembelajaran
maladaptif, dan ketika respon ini dihilangkan, tidak ada alasan untuk percaya bahwa respons
maladptif lain akan menggantikannya.

G. REINTERPRETASI KASUS HANS KECIL


Pada bagian ini aplikasi pendekatan teori belajar akan diamati dalam kasus yang
dipresentasikan oleh Wolpe dan Rachman (1960) yang memberikan peluang bagi kita untuk
membenadingkan pendekatan behavioral dengan pendekatan psikoanalisis. Ini bukanlah
kasus dalam pengertian yang sama sebagaimana kasus lain yang pernah dihadirkan. Kasus ini
lebih kepada kritik dan refolmulasi kasus Hans Kecil Freud.
Kasus Hans kecil merupakan studi klasik dalam psikoanalisis. Dalam kasus ini, Freud
menekankan pentingnya infentile sexuality (seksualitas pada masa kanak-kanak) (seksualitas
infantile) dan konflik Oedipal dalam perkembangan fobia atau ketakutan terhadap kuda.
Wolpe dan Rachman amat kritis terhadap pendekatan Freud dalam mendapatkan data dan
terhadap kesimpulannya. Mereka membuat beberapa poin berikut ini: (1) tidak ditemukan
adanya bukti keinginan Hans untuk bermain cinta dengan ibunya. (2) Hans tidak pernah
mengekspresikan ketakutan atau kebencian terhadap ayah. (3) Hans secara konsisten menolak
hubungan apa pun antara si kuda dan ayahnya. (4) fobia dapat ditekan pada anak kecil dengan
proses pengkondisian sederhana dan tidak selalu berkaitan dengan teori konflik atau
kecemasan dan pertahanan. Pertanyaan bahwa neurosis memiliki tujuan amat diragukan. (5)
tidak ada bukti bahwa fobia tersebut menghilang sebagai hasil resolusi Hans dengan konflik
Oedipal-nya, tidak ada bukti bahwa hal tersebut terjadi atau informasi tersebut bernilai
terapeutik.
Wolpe dan Rachman merasa kurang puas dengan interpretasi mereka sendiri terhadap
fobia tersebut karena datanya dikumpulkan dalam kerangka psikoanalitis. Akan tetapi,
mereka masih mencoba menjelaskan. Sebuah fobia dianggap sebagai reaksi kecemasan yang
terkondisikan. Sebagai seorang anak, Hans mendengar dan melihat teman bermainnya
diperingatkan oleh sang ayah untuk menghindari kuda putih karena kuda tersebut
menggigitnya. “jangan sentuh kuda putih itu”. Insiden ini memicu ketakutan Hans terhadap
kuda. Juga, ada seorang teman Hans terluka ketika bermain kuda. Akhirnya, Hans adalah
seorang anak sensitive yang merasa tidak nyaman ketika melihat kuda pada permainan merry

13
go round horses (kuda-kudaan) dipukuli. Berbagai fakta ini kemudian membentuk kondisi
bagi perkembangan fobia itu. Dengan demikian, fobia tersebut terjadi sebagai konsekuensi
rasa takut yang dirasakan hans ketika melihat sang kuda jatuh. Ketika Freud mengindikasikan
kecelakaan ini sebagai penyebab yang memungkinkan diekspresikannya konflik terpendam
dalam kerangka fobia, Wolpe dan Rachman mengisyaratkan bahwa kecelakaan inilah yang
menjadi penyebab.
Wolpe dan Rachman melihat kemiripan di sini dengan pengkondisian Watson
terhadap rasa takut terhadap diri Albert kecil. Hans menjadi takut oleh peristiwa yang
berkaitan dengan kuda dan kemudian menggeneralisasikan rasa takutnya kepadas semua hal
yang mirip atau yang berkaitan dengan kuda. Pemulihan dari fobia tersebut tidak terjadi
melalui proses pemahaman, akan tetapi terjadi melalui proses pemusnahan atau kontra-
pengkondisian. Ketika Hans tumbuh besar, dia mengalami respons emosional lain yang
menghalangi respons rasa takut. Kemungkinan lainnya, perujukan konstan sang ayah kepada
kuda dalam konteks tidak mengancam turut membantu menghilangkan respons rasa takut.
Apa pun detailnya, tampaknya fobia tersebut hilang secara bertahap, sebagaimana yang
diperkirakan oleh jenis interpretasi pembelajaran ini. Bukti yang mendukung Freud tidak
jelas, dan datanya dapat dijelaskan dengan lebih gambling melalui interpretasi teori
pembelajaran.

H. PERKEMBANGAN LEBIH JAUH


Sebagian besar penelitian terhadap pengkondisian klasik difokuskan kepada
mekanisme reflex relative sederhana yang dimiliki oleh manusia dan binatang. Akan tetapi,
Pavlov juga mengaku nilai penting kemampuan bebricara dan berpikir dalam apa yang
disebutnya sebagai system sinyal kedua. Konsep system sinyal kedua dihadirkan untuk
memahami organisasi stimuli dan respons yang jauh lebih kompleks. Nilai penting konsep ini
diilustrasikan oleh riset Razran (1939) terhadap pengkondisian semantic. Dalam riset dengan
objek manusia ini, Razran memasangkan presentasi visual dari kata style (gaya), urn
(jambangan), freeze (dingin), dan surf (gelombang) dengan penguatan makanan, yang
menimbulkan respons berliur terhadap kata tersebut. Dia kemudian menguji apakah respong
yang dikondisikan tersebut akan berlaku umum bagi semua kata yang berbunyi mirip (stile,
earn, frieze, dan serf) atau kepada kata yang berbunyi berbedatetapi bermakna sama (fashion,
vase, chill, dan wave). Apa yang akan ditemukan – generalisasi kepada suara atau makna?
Razran menemukan perbedaan signifikan dalam dalam kerangka yang paling akhir,
mengisyaratkan bahwa proses pengkondisian dapat dipengaruhi oleh makna atau semantic.
14
Pavlov sendiri tidak begitu banyak melakukan riset akan system sinyal kedua, akan tetapi hal
tersebut terus menjadi bidang penelitian utama dalam psikologi Rusia, termasuk studi
perubahan berkembangan dalam factor yang mengontrol proses pengkondisian.
Konsep respons emosi terkondisikan dan system sinyal kedua memperluas interpretasi
nilai penting pengkondisian klasik dalam perilaku manusia. Sebagai contoh, telah
diindikasikan bahwa individu mencapai motif atau tujuannya dengan mengasosiasikan efek
positif atau negative dengan stimuli, termasuk symbol.
Untuk beberapa saat terdapat penurunan minat kepada pengkondisian klasik di
kalangan psikolog kepribadian. Walaupun demikian, baru-baru ini terdapat peningkatan
pengakuan akan potensi kontribusi konsep dan prosedur yang diasosiasikan dengan teori
pengkondisian klasik. Salah satu bidang riset itu adalah penggunaan prosedur pengkondisian
klasik untuk mendemonstrasikan bahwa orang dapat membangun rasa takut dan sikap
terhadap orang lain secara bawah sadar. Misalnya, sebuah stumuli, seperti gambar dengan ilia
positif atau negative, dapat dipresentasikan secara subliminal (maksudnya, di bawah sadar)
dalam asosiasi dengan stimulus lain, seperti foto lain. Dengan demikian, seseorang akan tidak
menyukai foto yang secara bawah sadar diasosiasikan dengan emosi negative dan menyukai
foto yang secara bawah sadar diasosiasikan dengan emosi positif. Berkaitan dengan hal ini,
seseorang dapat menghitung seberapa banyak sikap dan pemilihan kata yang terkondisikan
secara klasik dalam basis subliminal atau bawah sadar. Sebagai contoh, perhatikan
kesimpulan psikolog social ternama berikut ini: “sekali sebuah prasangka terbentuk, maka dia
akan sulit dihilangkan secara sadar”. Orang-orang mungkin memiliki keyakinan tetapi masih
bertindak berdasarkan prasangka dalam situasi tertentu – reaksi otomatis impulsive mereka
ketika dihadapkan dengan anggota kelompok minoritas bias jadi negative. Ini tidak berarti
bahwa orang-orang tersebut berbohong tentang sikap tidak berprasangka. Hanya saja
prasangka negative ini secara tidak sengaja menetap melalui reaksi ketidaksukaan
terkondisikan yang dipelajari pada masa kanak-kanak.
Pada saat ini terdapat bukti bahwa ketika respons terkondisikan mungkin mudah
tergeneralisir pada berbagai konteks, pelenyapan respons ini bias jadi tergantung konteks.
Dengan demikian, kita bias belajar responsterhadap rasa takut atau menjijikkan dalam satu
konteks dan menggeneralisasikannya kepada banyak konteks lain. Walaupun demikian,
menghilangkan respons dalam satu konteks tidak berarti menghilangkan respons tersebut
dalam konteks yang lain. Hal ini mengisyaratkan bahwa pelenyapan respons problematis
yang terkondisikan secara luas dan kuat, yang sering kali merupakan tujuan dalam
psikoterapi, bias jadi merupakan upaya yang sulit.
15
Upaya lain yang berkaitan dengan pengkondisian klasik adalah penelitian terhadap
pengkondisian respons yang berhubungan dengan kesehatan. Misalnya, pasien yang
melakukan kemoterapi berulang untuk penyakit kanker sering kali menderita respons mual
dan muntah yang terkondisikan secara klasik, yaitu: rasa mual dan muntah yang diasosiasikan
dengan kemoterapi menjadi terkondisikan kepada stimuli yang diasosiasikan dengan
kemoterapi. Muncul rasa mual dan muntah yang antisipatif, sama seperti anjing Pavlov yang
merasakan respons berliur antisipatoris terhadap bel yang diikuti oleh stimulus makanan.
Contoh lain riset dalam bidang ini mencakup eksplorasi pengkondisian klasik system imun.
Pertanyaannya adalah apakah resons tidak terkondisikan dari system perlawanan terhadap
penyakit dapat dikondisikan ke stimuli yang lain. Ada beberapa bukti bahwa memang
demikian kenyatannya, yang menimbulkan potensi pada penggunaan prosedur pengkondisian
klasik untuk meningkatkan fungsi system imun tubuh. Ringkasnya, prosedur pengkondisian
klasik telah digunakan untuk meneliti aspek penting perilaku social dan kesehatan.

16
DAFTAR PUSTAKA
Lawrence A, P. (2005). Personality Theory and ResearcH. America: John Wiley and Sons.

17

Anda mungkin juga menyukai