Anda di halaman 1dari 68

TEORI BELAJAR BEHAVIORISME

Teori Behaviorisme dikembangkan oleh John B. Watson, seorang psikolog Amerika


Serikat, pada awal abad ke-20. John B. Watson dianggap sebagai pendiri teori behaviorisme,
sedangkan B.F. Skinner dikenal sebagai tokoh terkemuka dalam pengembangan teori ini.
Beberapa tokoh lainnya yang turut berkontribusi dalam pengembangan teori behaviorisme
antara lain Ivan Pavlov, Edward L. Thorndike, dan Clark L. Hull.. Watson (1913)
menganggap bahwa perilaku manusia dapat dijelaskan dan diprediksi dengan mengamati
respons yang muncul dari rangsangan tertentu di lingkungan, tanpa memperhatikan keadaan
dalam pikiran atau emosi seseorang. Pandangan ini menjadi dasar dari banyak penelitian
psikologis selanjutnya dan memengaruhi perkembangan psikologi sebagai ilmu pengetahuan.
Teori behaviorisme mengklaim bahwa a relative permanent change due to external
environmental experiences yang memiliki makna bahwa perilaku manusia bukanlah hasil dari
proses mental internal seperti pemikiran atau emosi, melainkan merupakan respons yang
dipelajari melalui hubungan antara rangsangan lingkungan dan tindakan manusia. Makna
"relative" mengacu pada fakta bahwa perubahan perilaku dapat bervariasi tergantung pada
situasi dan lingkungan yang berbeda, dan "permanent" mengacu pada fakta bahwa modifikasi
perilaku yang terjadi melalui pembelajaran dapat berlangsung lama atau bahkan selamanya,
meskipun mungkin dapat dipengaruhi oleh pengalaman lingkungan selanjutnya.
Teori behaviourisme juga memiliki asumsi sebagai berikut:
1. Student are blank vessels waiting to be filled (siswa diibaratkan bejana kosong yang
menunggu untuk diisi). Asumsi ini mengacu pada pandangan bahwa individu lahir tanpa
memiliki pengetahuan apa pun dan belajar melalui pengalaman dan interaksi dengan
lingkungan. Dalam konteks pendidikan, asumsi ini menekankan pada peran guru atau
instruktur sebagai sumber pengetahuan dan siswa sebagai penerima yang pasif.
2. Knowledge is outside/independent of a learner (pengetahuan berada di luar/mandiri dari
pembelajar). Asumsi ini menyatakan bahwa pengetahuan tidak bergantung pada individu
yang belajar, melainkan merupakan fakta dan konsep yang terlepas dari individu tersebut.
Dalam konteks pendidikan, asumsi ini mengimplikasikan bahwa tujuan utama dari proses
pembelajaran adalah memindahkan pengetahuan yang sudah ada dari guru ke siswa, tanpa
memperhatikan pengalaman dan pengetahuan sebelumnya yang dimiliki siswa.
3. Behavior is shaped by consequences (perilaku dipengaruhi oleh konsekuensi). Asumsi ini
mengacu pada pandangan bahwa individu belajar melalui penguatan dan hukuman
sebagai akibat dari perilaku yang mereka lakukan. Dalam konteks pendidikan, asumsi ini
menekankan bahwa perilaku siswa dapat dimodifikasi melalui penggunaan penguatan
positif (hadiah) dan negatif (hukuman).
Dalam teori Behaviorisme, tujuan utama dari pendidikan adalah mengajarkan
keterampilan dan perilaku yang diinginkan melalui penggunaan penguatan dan hukuman,
serta menanamkan pengetahuan yang sudah ada ke dalam pikiran siswa. Oleh karena itu,
pendekatan Behaviorisme sering kali menekankan pada penggunaan metode instruksional
yang terstruktur dan terkontrol dengan jelas, seperti drill dan latihan berulang-ulang, untuk
memastikan bahwa siswa memahami dan mampu menerapkan keterampilan yang diajarkan.
Teori Behaviorisme memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Stimulus/response
Karakteristik ini mengacu pada hubungan antara stimulus dan respons dalam
membentuk perilaku manusia. Perilaku manusia terbentuk melalui pengalaman yang dipicu
oleh stimulus yang diterima dari lingkungan. Stimulus adalah setiap objek atau kejadian
dalam lingkungan yang dapat merangsang atau memicu respon pada organisme. Respon atau
respons adalah reaksi yang diberikan oleh organisme terhadap stimulus. Karakteristik
stimulus/response pada teori Behaviorisme yaitu sebagai berikut:
a. Stimulus dapat memicu respons - Dalam teori Behaviorisme, stimulus yang diterima oleh
organisme akan memicu respons yang sesuai. Respons tersebut dapat berupa gerakan,
suara, atau tindakan lainnya yang dilakukan oleh organisme sebagai tanggapan terhadap
stimulus.
b. Respons dapat diukur - Respons yang dihasilkan oleh organisme dapat diukur dengan
mengamati perilaku atau tindakan yang dilakukan oleh organisme sebagai tanggapan
terhadap stimulus. Dalam konteks pendidikan, pengukuran respons dapat membantu guru
atau instruktur dalam mengevaluasi pemahaman siswa terhadap materi pelajaran yang
diajarkan.
c. Respons dapat dimodifikasi melalui penguatan - Respons atau perilaku manusia dapat
dimodifikasi atau diubah melalui pemberian penguatan atau hukuman setelah respons
atau perilaku tertentu terjadi. Penguatan positif dapat meningkatkan kemungkinan bahwa
perilaku tersebut terulang di masa depan, sedangkan penguatan negatif dapat mengurangi
kemungkinan perilaku tersebut terulang di masa depan.
d. Respons dapat dipelajari - Menurut teori Behaviorisme, respons atau perilaku manusia
dapat dipelajari melalui asosiasi antara stimulus dan respons. Jika stimulus tertentu selalu
diikuti oleh respons tertentu, maka individu akan belajar untuk mengasosiasikan kedua
hal tersebut dan bereaksi sesuai.
Karakteristik stimulus/response pada teori Behaviorisme menekankan pada
pentingnya lingkungan sebagai faktor penentu perilaku manusia dan peran pengalaman dan
pembelajaran dalam membentuk perilaku tersebut. Dalam konteks pendidikan, karakteristik
ini dapat membantu guru atau instruktur dalam merancang strategi pembelajaran yang efektif
untuk memodifikasi atau meningkatkan perilaku siswa.
Konsep stimulus/response pada Classical Conditioning dikembangkan oleh seorang
psikolog Rusia bernama Ivan Pavlov. Pavlov (1927) dalam penelitiannya menggunakan
anjing untuk mengidentifikasi bagaimana suatu perilaku atau respons dapat dipicu oleh
rangsangan tertentu atau stimulus. Pada penelitiannya Pavlov memulai dengan memberikan
makanan pada anjing, dan pada saat yang bersamaan bel yang berbunyi. Anjing kemudian
mulai mengaitkan suara bel dengan makanan, sehingga anjing mulai mengeluarkan air liur
ketika bel berbunyi meskipun makanan tidak diberikan. Respons ini disebut sebagai kondisi
refleks, karena merupakan respons yang terjadi secara otomatis.
Dalam classical conditioning, stimulus yang tidak menyebabkan respons (dalam
contoh Pavlov, bel) dikenal sebagai conditioned stimulus (CS), sementara stimulus yang
memicu respons alami (dalam contoh Pavlov, makanan) dikenal sebagai unconditioned
stimulus (US). Respons alami yang dipicu oleh stimulus (dalam contoh Pavlov, air liur
anjing) dikenal sebagai unconditioned response (UR). Setelah kondisi refleks terbentuk,
Pavlov kemudian menghilangkan makanan sebagai stimulus, dan hanya menggunakan suara
bel sebagai stimulus. Dalam jangka waktu yang cukup lama, anjing terus mengeluarkan air
liur ketika bel berbunyi meskipun tidak ada makanan yang diberikan. Respons ini disebut
sebagai conditioned response (CR), karena telah dikondisikan oleh stimulus yang awalnya
tidak memicu respons. Dalam kondisi ini, bel yang awalnya tidak memiliki hubungan dengan
air liur anjing (tidak menyebabkan respons), akhirnya menjadi stimulus yang dapat memicu
respons yang sama dengan makanan (air liur). Proses ini menunjukkan bahwa stimulus dan
respons dapat saling dipelajari melalui pengalaman dan hubungan yang terbentuk antara
stimulus dan respons.
Classical conditioning Pavlov (1927) mengklaim bahwa stimulus/response terjadi
ketika pengalaman atau asosiasi antara stimulus dan respons dapat membentuk kondisi
refleks baru, dan stimulus yang awalnya tidak memicu respons (CS) dapat menjadi stimulus
yang dapat memicu respons (CR) yang sama dengan stimulus yang semula memicu respons
(US).
Adanya teori classical conditioning Pavlov merangsang atau mengarahkan kepada
lahirnya teori operant conditioning B. F. Skinner. Teori operant conditioning atau
pembelajaran operan dikembangkan oleh seorang psikolog Amerika bernama B.F. Skinner
pada awal tahun 1930-an. Teori ini mengajukan bahwa perilaku dapat dipelajari melalui
konsekuensi yang mengikuti perilaku tersebut. Skinner (1953) mengidentifikasi dua jenis
konsekuensi (rewards), yaitu reinforcement (penguatan) dan punishment (hukuman), yang
dapat mempengaruhi frekuensi suatu perilaku. Menurut teori operant conditioning, perilaku
yang diperkuat atau reinforced (penguatan) cenderung untuk diulang, sedangkan perilaku
yang dihukum atau punished cenderung untuk tidak diulang. Skinner (1953) juga
mengemukakan bahwa ada empat jenis penguatan (reinforcement), yaitu positive
reinforcement, negative reinforcement, positive punishment, dan negative punishment.
a. Positive reinforcement adalah penambahan suatu stimulus menyenangkan setelah perilaku
yang diinginkan dilakukan untuk meningkatkan frekuensi perilaku tersebut. Contohnya,
memberikan hadiah atau pujian setelah siswa berhasil menyelesaikan tugas dengan baik
b. Negative reinforcement adalah penghilangan suatu stimulus yang tidak menyenangkan
setelah perilaku yang diinginkan dilakukan untuk meningkatkan frekuensi perilaku
tersebut. Contohnya, menghilangkan latihan fisik ketika siswa berhasil menyelesaikan
tugas dengan baik.
c. Positive punishment adalah penambahan suatu stimulus yang tidak menyenangkan setelah
perilaku yang tidak diinginkan dilakukan untuk mengurangi frekuensi perilaku tersebut.
Contohnya, memberikan hukuman verbal atau fisik setelah siswa melakukan pelanggaran
di kelas.
d. Negative punishment adalah penghilangan suatu stimulus yang menyenangkan setelah
perilaku yang tidak diinginkan dilakukan untuk mengurangi frekuensi perilaku tersebut.
Contohnya, menghilangkan waktu bermain setelah siswa melakukan pelanggaran di
kelas.
Skinner (1953) juga membedakan antara penguatan positif (positive reinforcement)
dan penguatan negatif (negative reinforcement). Penguatan positif adalah memberikan hadiah
atau pujian sebagai respons atas perilaku tertentu, sedangkan penguatan negatif adalah
menghilangkan rangsangan yang tidak diinginkan sebagai respons atas perilaku tertentu..
Skinner (1953) juga memandang lingkungan sebagai faktor yang sangat penting dalam
pembentukan perilaku, dan bahwa perilaku manusia dapat diubah melalui manipulasi
lingkungan yang sesuai.
Skinner (1953) juga mengidentifikasi prinsip-prinsip pembelajaran, yaitu shaping,
chaining, dan extinction. Shaping adalah proses mengajarkan perilaku yang kompleks melalui
pembelajaran bertahap dengan memberikan reinforcement untuk perilaku yang semakin
mendekati perilaku yang diinginkan. Chaining adalah proses menggabungkan beberapa
perilaku menjadi satu rangkaian perilaku yang kompleks dengan memberikan reinforcement
untuk setiap perilaku yang dilakukan. Extinction adalah proses menghilangkan perilaku
dengan menghilangkan reinforcement untuk perilaku tersebut.

2. Repetition (drill and practice)


Repetition atau yang sering disebut sebagai drill and practice merupakan salah satu
karakteristik utama dari teori Behaviorisme. Karakteristik ini menekankan pentingnya
pengulangan dalam pembelajaran dan pembentukan perilaku. Dalam teori Behaviorisme,
pengulangan atau drill and practice didefinisikan sebagai praktik berulang dalam melakukan
suatu tindakan atau keterampilan untuk memperkuat hubungan antara stimulus dan respons,
sehingga membentuk perilaku yang diinginkan. Dalam praktik drill and practice, siswa
diajarkan untuk memperkuat dan mempertahankan koneksi antara stimulus dan respons
melalui pengulangan.
Metode ini sering digunakan dalam pembelajaran keterampilan motorik seperti
menulis, membaca, atau matematika. Siswa diberikan tugas yang terstruktur dan terorganisir
dengan baik, dan diberikan waktu yang cukup untuk berlatih dan memperkuat koneksi antara
stimulus dan respons. Melalui pengulangan, siswa akan dapat mengembangkan keterampilan
dan memperoleh pengetahuan yang diperlukan. Penerapan metode repetition atau drill and
practice dalam pembelajaran membantu siswa untuk membangun keterampilan secara
bertahap dan memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang materi yang dipelajari. Dalam
lingkungan kelas, guru dapat menggunakan drill and practice untuk memastikan bahwa siswa
telah memahami konsep dan memperoleh keterampilan yang diperlukan. Namun,
penggunaan metode drill and practice dalam pembelajaran juga dapat membosankan dan
tidak menarik minat siswa jika dilakukan secara berlebihan. Oleh karena itu, penting bagi
guru untuk memvariasikan metode pembelajaran dan menciptakan pengalaman belajar yang
menarik dan bervariasi untuk siswa.

3. Extrinsic Motivation
Extrinsic motivation pada dasarnya mengacu pada motivasi yang mendorong
seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau perilaku tertentu untuk mendapatkan hadiah
atau menghindari hukuman. Dalam teori Behaviorisme, imbalan atau hukuman ini berfungsi
sebagai penguatan yang dapat mempengaruhi keinginan atau motivasi seseorang untuk
melakukan suatu tindakan atau perilaku. Extrinsic motivation bertujuan untuk memperoleh
hadiah atau penghargaan tertentu yang ditawarkan sebagai imbalan atas perilaku atau prestasi
tertentu. Hadiah ini bisa berupa uang, pengakuan, penghargaan, atau pujian, yang diharapkan
dapat memotivasi individu untuk melakukan tindakan atau perilaku tertentu. Extrinsic
motivation cenderung berfokus pada hasil atau hasil akhir dari tindakan atau perilaku
seseorang. Dalam konteks pendidikan, ini dapat dilihat pada siswa yang berusaha untuk
mendapatkan nilai yang tinggi atau penghargaan sebagai hasil dari prestasi akademik mereka.
Extrinsic motivation juga terkait dengan penguatan eksternal, yaitu penguatan yang berasal
dari luar individu, seperti penguatan dari guru, orang tua, atau lingkungan sosial. Penguatan
ini dapat mempengaruhi keinginan atau motivasi seseorang untuk melakukan tindakan atau
perilaku tertentu.
Karakteristik extrinsic motivation pada teori Behaviorisme menekankan pada
pentingnya penguatan atau hadiah sebagai motivasi untuk menghasilkan perilaku yang
diinginkan. Meskipun Extrinsic Motivation dapat membantu meningkatkan prestasi dan
motivasi dalam jangka pendek, namun dapat juga menurunkan keinginan atau motivasi
intrinsik yang mendorong individu untuk melakukan tindakan atau perilaku atas kepuasan
internal. Oleh karena itu, pendekatan Behaviorisme menekankan pada pentingnya penguatan
intrinsik, yaitu penguatan yang berasal dari dalam individu, seperti kepuasan pribadi atau rasa
pencapaian atas prestasi yang dicapai.

4. Shaping, chaining, branching, prompting dan fading


Shaping, chaining, branching, prompting, dan fading merupakan beberapa konsep
atau teknik dalam teori Behaviourisme yang digunakan untuk memodifikasi perilaku atau
pembentukan keterampilan pada individu. Berikut adalah penjelasan singkat mengenai makna
dari setiap konsep tersebut:
a. Shaping merupakan teknik untuk membentuk atau memodifikasi perilaku melalui
penguatan bertahap. Teknik ini melibatkan memberikan penguatan pada perilaku yang
semakin mendekati perilaku yang diinginkan. Dalam shaping, penguatan diberikan secara
bertahap pada perilaku yang semakin mendekati target perilaku.
b. Chaining merupakan teknik yang digunakan untuk mengajarkan rangkaian perilaku yang
kompleks melalui pembelajaran bertahap. Dalam chaining, suatu perilaku atau
keterampilan dipecah menjadi beberapa langkah atau tahapan, dan kemudian diajarkan
satu per satu hingga siswa mampu menguasai seluruh rangkaian perilaku secara utuh.
c. Branching adalah teknik yang digunakan untuk mengajarkan konsep atau keterampilan
yang kompleks melalui penjabaran atau penguraian menjadi konsep-konsep yang lebih
kecil atau lebih mudah dimengerti. Dalam branching, konsep-konsep yang lebih
sederhana diajarkan terlebih dahulu, kemudian digabungkan kembali menjadi konsep atau
keterampilan yang lebih kompleks.
d. Prompting adalah teknik yang digunakan untuk membantu individu dalam menyelesaikan
tugas atau menguasai keterampilan baru dengan memberikan petunjuk atau bantuan.
Dalam prompting, petunjuk atau bantuan diberikan secara bertahap dan kemudian
dikurangi seiring dengan peningkatan kemampuan individu.
e. Fading merupakan teknik yang digunakan untuk mengurangi bantuan atau dukungan
yang diberikan kepada individu dalam menguasai keterampilan atau perilaku baru. Dalam
fading, bantuan atau dukungan diberikan secara bertahap dan kemudian dikurangi seiring
dengan peningkatan kemampuan individu.
Karakteristik shaping, chaining, branching, prompting, dan fading pada teori
Behaviourisme menunjukkan bahwa pembelajaran dan pembentukan keterampilan dapat
dilakukan melalui penguatan, pemberian petunjuk atau bantuan, serta penguraian konsep
yang kompleks menjadi konsep-konsep yang lebih sederhana. Teknik-teknik tersebut dapat
membantu individu untuk mengembangkan keterampilan dan memperoleh pengetahuan
dengan lebih baik dan efektif.
Teori behaviourism memiliki keterkaitan dengan Applied Behaviour Analysis
(ABA), Mastery Learning, Programmed Instruction, Instructional Objectives, dan
Contingency Contracts karena semuanya merupakan aplikasi dari teori behaviorisme dalam
konteks pembelajaran dan pengembangan perilaku manusia.
a. Applied Behaviour Analysis (ABA) adalah sebuah metode atau teknik intervensi yang
didasarkan pada teori behaviorism. Tujuannya adalah untuk mengubah perilaku individu
dengan cara menumbuhkan perilaku yang diinginkan dan mengurangi perilaku yang tidak
diinginkan. ABA menggunakan prinsip-prinsip behaviorisme untuk mengidentifikasi dan
memodifikasi perilaku manusia yang tidak diinginkan, serta meningkatkan perilaku yang
diinginkan dengan memberikan penguatan atau hukuman. ABA biasanya digunakan
untuk mengatasi masalah perilaku pada anak-anak atau orang dewasa dengan gangguan
perkembangan atau gangguan perilaku.
b. Mastery Learning suatu konsep atau teknik belajar yang didasarkan pada teori
behaviorism. Tujuan utamanya adalah untuk memastikan bahwa siswa benar-benar
memahami materi sebelum melanjutkan ke materi selanjutnya. Mastery Learning juga
dikatakan sebagai strategi pengajaran yang berfokus pada pencapaian tujuan
pembelajaran dengan menempatkan siswa pada tingkat kemampuan yang tepat dan
memastikan bahwa setiap siswa memahami konsep sebelum melanjutkan ke konsep
berikutnya. Kedua strategi ini berdasarkan pada prinsip-prinsip behaviorisme seperti
penguatan dan pengulangan.
c. Programmed Instruction merupakan teknik pengajaran yang dikembangkan berdasarkan
teori behaviorism. Teknik ini didasarkan pada asumsi bahwa belajar dapat diprogram
dengan cara yang terstruktur dan terukur. Dalam Programmed Instruction, materi
pembelajaran dibagi menjadi unit-unit kecil yang diorganisir secara sistematis, dan siswa
diberikan akses ke materi tersebut dalam urutan yang terstruktur dan terprogram.
Programmed Instruction didesain untuk memberikan pengalaman belajar yang
terstruktur, terarah, dan terkendali bagi siswa. Dalam teknik ini, siswa belajar melalui
serangkaian instruksi yang disajikan dalam bentuk teks, gambar, atau video, dan setiap
instruksi biasanya diikuti oleh pertanyaan atau latihan untuk memastikan bahwa siswa
benar-benar memahami materi yang diajarkan. Programmed Instruction biasanya
dilengkapi dengan umpan balik yang langsung dan jelas, sehingga siswa dapat
memperbaiki kesalahan mereka segera setelah melakukan kesalahan. Umpan balik
tersebut dapat berupa jawaban yang benar, penjelasan tambahan, atau arahan untuk
mengulang materi tertentu
d. Instructional Objectives atau tujuan pembelajaran adalah pernyataan yang jelas dan
spesifik tentang apa yang diharapkan siswa pelajari setelah mengikuti sebuah kegiatan
pembelajaran. Tujuan pembelajaran dalam teori behaviorism memiliki peran yang penting
dalam membantu merancang dan mengembangkan pengalaman pembelajaran yang efektif
dan terstruktur. Instructional Objectives juga dapat dikantakn sebagai pernyataan tentang
apa yang akan dipelajari siswa dan bagaimana pencapaian tujuan pembelajaran akan
diukur. Tujuan pembelajaran ini biasanya berbasis pada hasil yang dapat diamati dan
diukur, seperti tingkat pemahaman atau kemampuan untuk menyelesaikan tugas.
Dalam teori behaviorism, tujuan pembelajaran dirumuskan dengan cara yang spesifik dan
terukur, dengan merumuskan tujuan pembelajaran yang jelas dan spesifik, instruktur
dapat membantu siswa mengidentifikasi apa yang harus dipelajari dan bagaimana cara
mengukur kemajuan mereka. Hal ini membantu siswa untuk mengembangkan fokus dan
motivasi dalam belajar, serta membantu instruktur untuk merancang pengalaman
pembelajaran yang efektif dan terstruktur.
e. Contingency Contracts tau kontrak kontingensi adalah salah satu teknik atau strategi
dalam teori behaviorism yang digunakan untuk meningkatkan perilaku yang diinginkan
dengan memberikan konsekuensi yang terkait dengan perilaku tersebut. Dalam kontrak
kontingensi, suatu perjanjian dibuat antara individu dan orang yang memberikan
pengarahan atau kontrol dalam situasi tertentu. Perjanjian tersebut mengatur bahwa jika
individu melakukan perilaku yang diinginkan, maka akan menerima hadiah atau
penghargaan tertentu. Sebaliknya, jika individu tidak melakukan perilaku yang
diinginkan, maka akan menerima konsekuensi atau hukuman tertentu. Kontrak
kontingensi dapat digunakan dalam berbagai situasi, seperti di sekolah, tempat kerja, atau
dalam keluarga. Misalnya, seorang siswa dapat membuat kontrak kontingensi dengan
guru, bahwa jika ia mengerjakan tugas dengan baik, maka ia akan mendapatkan
penghargaan tertentu, seperti waktu tambahan untuk bermain di luar ruangan atau hadiah
kecil. Sebaliknya, jika siswa tidak menyelesaikan tugas dengan baik, maka ia harus
melakukan pekerjaan tambahan atau tidak dapat bermain di luar ruangan. Maka dapat
disimpulkan bahwa kontrak kontingensi adalah strategi pengajaran yang melibatkan
perjanjian tertulis atau lisan antara guru dan siswa, yang menetapkan konsekuensi yang
akan diberikan jika siswa mencapai tujuan pembelajaran. Kontrak ini didasarkan pada
prinsip-prinsip behaviorisme seperti penguatan positif dan pengurangan hukuman.
Dalam konteks pembelajaran dan pengembangan perilaku manusia, semua aplikasi
teori behaviorisme ini bertujuan untuk memperbaiki perilaku yang tidak diinginkan,
meningkatkan kinerja, dan mencapai tujuan pembelajaran yang ditetapkan. Oleh karena itu,
teori behaviourism merupakan landasan yang penting dalam pembelajaran dan
pengembangan perilaku manusia.

Teori
Lama
Teori belajar behaviorisme mengklaim bahwa perilaku manusia dipelajari melalui
interaksi dengan lingkungan, dan bahwa lingkungan merupakan faktor utama yang
mempengaruhi perilaku manusia. Menurut teori ini, perilaku manusia dapat diubah dan
dikontrol melalui manipulasi lingkungan dan penguatan yang tepat. Aliran behaviorisme
menganggap bahwa semua perilaku dapat dijelaskan melalui respons yang diberikan oleh
individu terhadap lingkungan sekitarnya. Teori ini juga mengasumsikan bahwa segala bentuk
perilaku dapat dipelajari, termasuk tindakan mental seperti berpikir dan merasa.
Teori belajar behaviorisme juga mengklaim bahwa pembelajaran terjadi melalui
penguatan dan hukuman. Penguatan adalah konsekuensi yang meningkatkan kemungkinan
bahwa perilaku tertentu akan muncul lagi di masa depan, sedangkan hukuman adalah
konsekuensi yang menurunkan kemungkinan perilaku tertentu muncul lagi di masa depan.
Selain itu, teori belajar behaviorisme juga mengklaim bahwa pengulangan dapat
meningkatkan kemampuan belajar, dan bahwa perilaku yang kompleks dapat dipelajari
melalui penguraian. Dengan memahami perilaku sebagai respons terhadap rangsangan atau
stimulus dari lingkungan, behaviorisme mengajukan model-model belajar yang dapat
memperbaiki perilaku yang tidak diinginkan dan memperkuat perilaku yang diinginkan.
Beberapa asumsi teori Belajar behaviorisme antara lain:
1. Segala perilaku dipelajari: Teori behaviorisme mengasumsikan bahwa segala perilaku
manusia, termasuk tindakan mental seperti berpikir dan merasa, dipelajari melalui
pengalaman-pengalaman di lingkungan.
2. Perilaku dipengaruhi oleh lingkungan: Lingkungan merupakan faktor utama yang
mempengaruhi perilaku seseorang. Perilaku dipelajari melalui interaksi dengan
lingkungan, termasuk interaksi dengan orang lain, objek, dan kejadian di lingkungan.
3. Pembelajaran terjadi melalui penguatan dan hukuman: Pembelajaran terjadi melalui
penguatan (reinforcement) atau hukuman (punishment), yang mendorong atau
menghambat perilaku tertentu.
4. Pengulangan meningkatkan kemampuan belajar: Pengulangan (repetition) memperkuat
pembelajaran dan meningkatkan kemampuan seseorang dalam mempelajari suatu
perilaku.
5. Perilaku yang kompleks dipelajari melalui penguraian: Perilaku kompleks dapat dipecah
menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan dipelajari satu per satu melalui penguatan dan
hukuman.
6. Perilaku yang dihasilkan adalah hasil dari stimulus-respon: Perilaku yang dihasilkan oleh
seseorang merupakan respons terhadap rangsangan atau stimulus dari lingkungan.
7. Perilaku yang diinginkan dapat dikondisikan: Perilaku yang diinginkan dapat
dikondisikan melalui penguatan, dan perilaku yang tidak diinginkan dapat diubah melalui
hukuman.
Asumsi-asumsi tersebut memandang manusia sebagai makhluk yang responsif
terhadap lingkungannya, dan bahwa perilaku manusia dapat diubah dan dikontrol melalui
manipulasi lingkungan dan penguatan yang tepat.
Meskipun teori belajar behaviorisme memberikan kontribusi penting dalam
psikologi dan ilmu perilaku, ada beberapa kelemahan dalam teori ini, antara lain:
1. Mengabaikan aspek kognitif: Behaviorisme tidak mempertimbangkan peran pemikiran,
motivasi, dan emosi dalam pembentukan perilaku. Teori ini hanya memandang perilaku
sebagai respons terhadap rangsangan lingkungan, tanpa mempertimbangkan proses
mental yang mendasari perilaku tersebut.
2. Mempersempit cakupan perilaku: Behaviorisme hanya memperhatikan perilaku yang
teramati secara langsung, dan mengabaikan perilaku yang tidak terlihat, seperti pemikiran
dan emosi. Hal ini dapat menyebabkan pemahaman yang kurang lengkap tentang manusia
sebagai makhluk sosial.
3. Tidak menjelaskan perbedaan individual: Teori behaviorisme tidak memberikan
penjelasan yang memadai tentang perbedaan individual dalam pembentukan perilaku. Hal
ini karena teori ini hanya memandang manusia sebagai makhluk pasif yang merespons
lingkungan, tanpa mempertimbangkan faktor individual yang memengaruhi perilaku.
4. Kesulitan menjelaskan pembelajaran kompleks: Behaviorisme tidak dapat menjelaskan
pembelajaran yang kompleks, seperti pembelajaran berdasarkan pengalaman dan refleksi.
Teori ini hanya memperhatikan pembelajaran yang terjadi melalui pengulangan dan
pengekangan.
5. Konteks sosial yang diabaikan: Teori behaviorisme mengabaikan konteks sosial dalam
pembentukan perilaku. Teori ini hanya memandang manusia sebagai makhluk yang
merespons lingkungan secara mekanis, tanpa memperhatikan pengaruh budaya, norma,
dan nilai sosial yang memengaruhi perilaku.
Disamping memiliki kelemahan, teori ini juga memiliki beberapa kekuatan, antara
lain:
1. Memiliki konsep yang mudah dipahami: Konsep-konsep dalam teori belajar
behaviorisme mudah dipahami dan dapat diaplikasikan dalam berbagai situasi
pembelajaran, seperti dalam pendidikan dan pelatihan.
2. Mengacu pada perilaku yang teramati: Teori behaviorisme berfokus pada perilaku
yang teramati dan dapat diukur, sehingga memungkinkan pengamatan dan
pengukuran yang objektif.
3. Mampu memprediksi dan mengontrol perilaku: Teori behaviorisme memungkinkan
prediksi dan pengendalian perilaku melalui penguatan dan hukuman.
4. Menekankan pentingnya lingkungan dalam pembentukan perilaku: Teori
behaviorisme menekankan peran lingkungan dalam pembentukan perilaku, sehingga
memberikan dorongan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi
pembelajaran.
5. Mempunyai aplikasi praktis yang luas: Konsep-konsep dalam teori behaviorisme
memiliki aplikasi praktis yang luas dalam berbagai bidang, seperti dalam pendidikan,
psikoterapi, dan pelatihan hewan.
6. Memberikan dasar bagi pengembangan teori dan pendekatan belajar yang lain: Teori
behaviorisme memberikan dasar bagi pengembangan teori dan pendekatan belajar
yang lain, seperti teori kognitif, teori humanistik, dan teori sosial-kognitif.

B.F. Skinner adalah seorang psikolog behavioris yang terkenal dengan teorinya
tentang pembelajaran operan (operant conditioning) dan penerapannya dalam pengembangan
teknologi pengendalian perilaku, seperti kotak Skinner. Skinner (1953) memandang perilaku
sebagai hasil dari hubungan antara rangsangan lingkungan dan respons individu terhadap
rangsangan tersebut. Menurut Skinner (1953), pembelajaran operan terjadi ketika perilaku
seseorang dipengaruhi oleh konsekuensi yang diberikan sebagai respons terhadap perilaku
tersebut. Ada dua jenis konsekuensi yang memengaruhi perilaku: penguatan (reinforcement)
dan hukuman (punishment).
Penguatan adalah konsekuensi yang meningkatkan kemungkinan bahwa perilaku
tertentu akan muncul lagi di masa depan. Contohnya adalah memberikan pujian atau hadiah
setelah perilaku tertentu dilakukan. Hukuman, di sisi lain, adalah konsekuensi yang
menurunkan kemungkinan perilaku tertentu muncul lagi di masa depan. Contohnya adalah
memberikan teguran atau hukuman setelah perilaku tertentu dilakukan.

TEORI BELAJAR SOSIAL KOGNITIF

Teori belajar sosial kognitif adalah sebuah teori psikologi yang dikembangkan oleh
Albert Bandura (1986) yang menekankan pada pengaruh lingkungan, pemikiran, dan perilaku
individu dalam mempelajari dan meniru perilaku orang lain. Menurut teori ini, individu
belajar melalui pengalaman langsung, pengamatan orang lain, dan refleksi pada pengalaman-
pengalaman tersebut.
Bandura (1986) berpendapat bahwa terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi
belajar dalam Teori Belajar Sosial Kognitif, yaitu:
1. Faktor lingkungan: lingkungan tempat individu hidup akan mempengaruhi perilaku
dan belajarnya. Lingkungan yang memungkinkan individu untuk belajar dan
berkembang secara optimal akan meningkatkan kemampuan dan prestasi belajarnya.
2. Faktor pribadi: karakteristik pribadi seperti kepercayaan diri, motivasi, minat, dan
keyakinan akan mempengaruhi kemampuan individu untuk belajar dan meniru
perilaku orang lain.
3. Faktor perilaku: perilaku yang diamati dari orang lain akan mempengaruhi perilaku
individu. Apabila perilaku tersebut dianggap positif, maka individu akan menirunya,
namun jika dianggap negatif, individu akan menghindarinya.

Dalam Teori Belajar Sosial Kognitif, individu juga dianggap memiliki kemampuan
untuk mengatur dan mengendalikan perilaku mereka sendiri. Kemampuan ini dikenal sebagai
self-efficacy, yang merupakan keyakinan individu terhadap kemampuan dirinya sendiri
dalam melakukan tugas-tugas tertentu. Teori Belajar Sosial Kognitif banyak digunakan dalam
pendidikan, terutama dalam pengajaran model pembelajaran yang mengajarkan dengan
contoh-contoh dari pengalaman nyata. Selain itu, teori ini juga digunakan dalam psikoterapi
dan konseling untuk membantu individu mengatasi masalah-masalah psikologis dan
mengubah perilaku negatif menjadi positif.
Menurut aliran Sosial Kognitif, belajar didefinisikan sebagai suatu proses
pengubahan perilaku yang relatif permanen, yang terjadi melalui pengalaman dan interaksi
individu dengan lingkungan sosial dan fisiknya. Dalam konteks ini, belajar dipandang
sebagai hasil dari interaksi antara faktor lingkungan, faktor pribadi, dan faktor perilaku
individu. Faktor lingkungan mencakup lingkungan fisik dan sosial yang mempengaruhi
belajar, seperti pengaruh keluarga, teman, sekolah, dan masyarakat. Faktor pribadi mencakup
karakteristik individu, seperti kepribadian, minat, dan kepercayaan diri. Faktor perilaku
mencakup interaksi antara individu dan lingkungan, termasuk tindakan yang dilakukan
individu dan respon yang diterimanya.
Dalam aliran Sosial Kognitif, belajar juga dipandang sebagai hasil dari pengamatan
dan peniruan perilaku orang lain. Proses ini disebut sebagai pembelajaran melalui modeling,
dan dapat terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung. Selain itu, faktor kognitif,
seperti perhatian, persepsi, dan memori, juga dipandang sebagai penting dalam belajar,
karena individu perlu mampu memahami, menyimpan, dan mengingat informasi yang
diperoleh dari lingkungan sekitarnya. Dengan demikian, belajar dalam aliran Sosial Kognitif
dipandang sebagai suatu proses yang kompleks, yang melibatkan interaksi antara berbagai
faktor dan aspek yang saling terkait.
Karakteristik utama dari Teori Belajar Sosial Kognitif adalah sebagai berikut:
1. Fokus pada Pengaruh Lingkungan: Teori ini menekankan pada pengaruh lingkungan
dalam belajar. Lingkungan dapat mempengaruhi perilaku dan belajar individu melalui
pengaruh sosial, seperti contoh perilaku dan pengaruh dari keluarga, teman, dan
lingkungan sekitarnya.

2. Peran Aktif Individu: Teori ini juga menekankan pada peran aktif individu dalam belajar,
di mana individu tidak hanya menerima informasi, tetapi juga mengambil bagian aktif
dalam proses pembelajaran.
3. Pentingnya Pengamatan dan Peniruan: Teori ini mengakui pentingnya pengamatan dan
peniruan dalam pembelajaran. Individu dapat belajar melalui pengamatan perilaku orang
lain dan meniru perilaku yang diamati tersebut.
4. Peran Kognisi dalam Belajar: Teori ini mengakui pentingnya faktor kognitif dalam
belajar, seperti perhatian, memori, dan pemrosesan informasi, dalam memahami dan
menggunakan informasi yang diperoleh dari lingkungan.
5. Konsep Self-Efficacy: Teori ini memperkenalkan konsep self-efficacy, yaitu keyakinan
individu terhadap kemampuan dirinya sendiri dalam melakukan tugas-tugas tertentu.
Konsep ini memainkan peran penting dalam motivasi individu dan kemampuan untuk
mencapai tujuan.
6. Relevansi dalam Pendidikan dan Psikoterapi: Teori ini memiliki relevansi penting dalam
pendidikan dan psikoterapi, di mana model pembelajaran dan terapi berdasarkan teori ini
telah dikembangkan dan digunakan secara luas untuk membantu individu belajar dan
mengubah perilaku negatif menjadi positif.

Berikut ini adalah beberapa kekuatan dari Teori Belajar Sosial Kognitif:
1. Fokus pada Interaksi Sosial: Teori ini menekankan pada pengaruh lingkungan sosial
dalam belajar, yang memungkinkan individu untuk belajar melalui pengamatan, interaksi,
dan peniruan orang lain. Hal ini memungkinkan individu untuk belajar melalui berbagai
pengalaman yang diperoleh dari lingkungan sekitarnya.
2. Pengembangan Self-Efficacy: Teori ini memperkenalkan konsep self-efficacy, yang
memungkinkan individu untuk membangun keyakinan pada kemampuan diri sendiri
untuk melakukan tugas-tugas tertentu. Hal ini dapat membantu individu untuk
mengembangkan motivasi dan percaya pada dirinya sendiri dalam mencapai tujuan.
3. Relevansi dalam Pendidikan: Teori ini memiliki relevansi penting dalam pendidikan, di
mana model pembelajaran berdasarkan teori ini telah dikembangkan dan digunakan
secara luas untuk membantu individu belajar dengan lebih efektif. Model-model ini
membantu individu untuk belajar melalui pengalaman, peniruan, dan interaksi sosial.
4. Pengembangan Psikoterapi: Teori ini juga memiliki relevansi penting dalam psikoterapi,
di mana model-model terapi berdasarkan teori ini telah dikembangkan dan digunakan
secara luas untuk membantu individu mengubah perilaku negatif menjadi positif. Model-
model ini memungkinkan individu untuk belajar bagaimana mengatasi masalah melalui
pengamatan, interaksi, dan peniruan orang lain.
5. Integrasi dengan Teori Lain: Teori Belajar Sosial Kognitif dapat diintegrasikan dengan
teori lain dalam psikologi, seperti Teori Kognitif, Teori Belajar Klasik, dan Teori Belajar
Operant. Hal ini memungkinkan pengembangan model-model yang lebih komprehensif
dan efektif dalam menjelaskan perilaku dan belajar manusia.

Selain terdapat kekuatan pada teori belajar sosial kognitif terdapat juga beberapa
kelemahan dari Teori Belajar Sosial Kognitif, diantaranya:
1. Terlalu Mementingkan Faktor Lingkungan: Teori ini cenderung terlalu mementingkan
faktor lingkungan dan sosial dalam belajar, sehingga mengabaikan faktor-faktor
biologis dan genetik yang juga dapat mempengaruhi perilaku dan belajar individu.
2. Mengabaikan Peran Emosi: Teori ini cenderung mengabaikan peran emosi dalam
belajar dan perilaku. Padahal, emosi dapat mempengaruhi motivasi, pengambilan
keputusan, dan persepsi individu terhadap lingkungan sekitarnya.
3. Terlalu Fokus pada Peran Pengamatan dan Peniruan: Teori ini cenderung terlalu fokus
pada peran pengamatan dan peniruan dalam belajar, sehingga mengabaikan faktor-
faktor lain yang juga dapat mempengaruhi belajar dan perilaku, seperti motivasi,
perhatian, dan minat.
4. Terlalu Simplistik: Teori ini cenderung terlalu simplistik dalam menjelaskan
bagaimana individu belajar dan mempengaruhi perilaku. Teori ini terlalu
mempersempit faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku dan belajar menjadi hanya
lingkungan dan pengamatan.
5. Kurangnya Perhatian pada Konteks Sosial dan Budaya: Teori ini cenderung kurang
memperhatikan konteks sosial dan budaya dalam belajar dan perilaku. Karena budaya
dan konteks sosial sangat mempengaruhi perilaku dan belajar individu, hal ini dapat
membatasi validitas teori dalam konteks yang berbeda.
TEORI PEMROSESAN INFORMASI KOGNITIF DARI PIAGET
Jean Piaget adalah seorang psikolog Swiss yang mengembangkan Teori Pemrosesan
Informasi Kognitif. Teori ini menggambarkan bagaimana anak-anak memproses dan
mengorganisir informasi dalam otak mereka.
Menurut Piaget (), proses mental anak-anak berkembang melalui serangkaian tahap,
dari tahap sensorimotor pada bayi hingga tahap operasi formal pada masa remaja. Setiap
tahap ini memiliki ciri khas dan batasan yang mengarahkan cara anak-anak memproses
informasi.
Tahap sensorimotor adalah tahap awal, di mana anak-anak belajar dan
mengembangkan pemahaman tentang dunia melalui indera mereka. Pada tahap ini, anak-anak
tidak memiliki kemampuan untuk memahami konsep abstrak atau mengalami pemikiran
simbolis.
Tahap berikutnya adalah tahap prapemikiran atau praoperasional, yang dimulai
sekitar usia 2 hingga 7 tahun. Pada tahap ini, anak-anak mulai menggunakan pemikiran
simbolis dan berkembang kemampuan bahasa. Namun, anak-anak pada tahap ini masih
terbatas pada pandangan mereka sendiri dan kesulitan memahami perspektif orang lain.
Tahap selanjutnya adalah tahap operasional konkret, yang dimulai sekitar usia 7
hingga 12 tahun. Pada tahap ini, anak-anak mulai mengembangkan kemampuan untuk
memahami konsep abstrak dan mengenal perbedaan antara satu objek dan yang lain. Namun,
kemampuan mereka untuk memahami konsep abstrak masih terbatas pada hal-hal yang dapat
diamati dan dijelaskan secara konkret.
Tahap terakhir adalah tahap operasi formal, yang dimulai sekitar usia 12 hingga 15
tahun. Pada tahap ini, anak-anak mengembangkan kemampuan untuk memahami konsep
abstrak dan berpikir logis serta dapat mempertimbangkan banyak variabel dalam proses
pengambilan keputusan. Teori Piaget tentang Pemrosesan Informasi Kognitif sangat
memengaruhi pendidikan dan perkembangan anak. Teori ini menunjukkan bahwa anak-anak
tidak hanya mengalami perkembangan fisik, tetapi juga perkembangan kognitif yang
kompleks. Melalui pemahaman ini, para pengajar dapat menyusun kurikulum dan metode
pengajaran yang lebih efektif dan efisien dalam membantu anak-anak berkembang dan
belajar.

Asumsi Pemrosesan Informasi Kognitif Piaget

Berikut adalah beberapa asumsi dasar Teori Pemrosesan Informasi Kognitif dari Piaget:

1. Manusia memiliki kemampuan bawaan untuk mengorganisir dan memproses informasi.


Piaget menganggap bahwa proses kognitif merupakan proses yang universal dan bawaan
dalam manusia.
2. Proses kognitif melibatkan penggunaan skema mental. Skema mental adalah struktur
kognitif yang membantu manusia mengorganisir dan memproses informasi. Manusia
menggunakan skema mental untuk menginterpretasikan dan memberi arti pada
pengalaman yang diterima.
3. Proses kognitif melibatkan interaksi antara skema mental dan lingkungan. Piaget percaya
bahwa proses kognitif tidak hanya bergantung pada struktur kognitif manusia, tetapi juga
bergantung pada pengalaman dan interaksi manusia dengan lingkungan.
4. Proses kognitif melibatkan proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses di
mana manusia memperluas skema mental yang sudah ada untuk memasukkan informasi
baru. Akomodasi adalah proses di mana manusia mengubah skema mental yang sudah
ada untuk mengakomodasi informasi baru.
5. Proses kognitif melibatkan tahap-tahap perkembangan yang berbeda. Piaget menganggap
bahwa proses kognitif manusia berkembang melalui tahap-tahap yang berbeda, mulai
dari tahap sensorimotor (0-2 tahun), tahap praoperasional (2-7 tahun), tahap operasional
konkret (7-12 tahun), hingga tahap operasional formal (12 tahun ke atas).

Dengan asumsi-asumsi tersebut, Piaget menyajikan pandangan holistik tentang bagaimana


manusia memproses informasi dan memahami dunia sekitarnya. Teori ini telah menjadi dasar
penting bagi banyak penelitian dan teori psikologi kognitif dan pendidikan modern.

Apa yang digabungkan dalam teori belajar Pemrosesan Informasi Kognitif

Teori belajar Pemrosesan Informasi Kognitif menggabungkan beberapa aspek yang berbeda
untuk menjelaskan bagaimana individu belajar dan memproses informasi. Beberapa aspek
yang digabungkan dalam teori ini antara lain:

1. Proses kognitif: Teori Pemrosesan Informasi Kognitif menekankan pada proses


kognitif, yaitu bagaimana individu memperoleh, mengelola, menyimpan, dan
mengambil informasi. Proses ini meliputi perhatian, pengkodean, pengambilan
keputusan, memori, dan pengambilan kesimpulan.
2. Konsep adaptasi: Teori ini juga memperkenalkan konsep adaptasi, yang melibatkan
asimilasi dan akomodasi. Asimilasi terjadi ketika individu memasukkan informasi
baru ke dalam skema yang sudah ada. Akomodasi terjadi ketika individu mengubah
skema mereka untuk mencakup informasi baru yang tidak dapat diasimilasi.
3. Proses pencarian informasi: Teori Pemrosesan Informasi Kognitif juga menekankan
pada pentingnya proses pencarian informasi, yaitu bagaimana individu mencari
informasi yang relevan dan penting. Proses ini meliputi pengamatan, percobaan, dan
eksplorasi.
4. Peran motivasi: Teori ini juga mempertimbangkan peran motivasi dalam belajar dan
memproses informasi. Motivasi dapat mempengaruhi seberapa kuat individu berusaha
mencari informasi, berpartisipasi dalam pembelajaran, dan berusaha memecahkan
masalah.
5. Interaksi sosial: Teori Pemrosesan Informasi Kognitif juga memperhatikan interaksi
sosial dalam proses belajar dan memproses informasi. Individu dapat belajar dari
orang lain melalui pengamatan, imitasi, dan diskusi. Interaksi sosial juga dapat
memotivasi individu untuk belajar lebih keras dan mencari informasi yang lebih
penting.

Secara keseluruhan, Teori Pemrosesan Informasi Kognitif menggabungkan berbagai aspek


untuk menjelaskan bagaimana individu belajar dan memproses informasi. Teori ini
menekankan pada proses kognitif, adaptasi, proses pencarian informasi, motivasi, dan
interaksi sosial dalam belajar dan memproses informasi.
Karakteristik Teori Pemrosesan Informasi Kognitif dari Piaget

Berikut ini adalah beberapa karakteristik dari Teori Pemrosesan Informasi Kognitif dari
Piaget:

1. Tahapan perkembangan kognitif: Piaget memandang bahwa perkembangan kognitif


berlangsung melalui tahap-tahap yang berbeda, dari tahap sensorimotor pada bayi
hingga tahap operasi formal pada masa remaja. Setiap tahap memiliki ciri khas dan
batasan yang mengarahkan cara anak-anak memproses informasi.
2. Konsep adaptasi: Teori Piaget menekankan bahwa anak-anak berusaha untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan mereka melalui dua proses adaptasi yaitu:
asimilasi dan akomodasi. Asimilasi terjadi ketika anak menggabungkan informasi
baru ke dalam pemahaman yang sudah ada tentang dunia. Akomodasi terjadi ketika
anak mengubah pemahaman mereka tentang dunia untuk mencakup informasi baru.
3. Pemikiran operasional: Piaget juga menekankan pentingnya pemikiran operasional
dalam perkembangan kognitif. Pemikiran operasional adalah kemampuan untuk
memahami hubungan antara objek, peristiwa, dan konsep secara logis dan sistematis.
Ini memungkinkan anak untuk memecahkan masalah dan membuat inferensi yang
lebih kompleks.
4. Konsep keseimbangan dan disekuilibrium: Menurut Piaget, anak-anak mengalami
keseimbangan ketika pemahaman mereka tentang dunia sesuai dengan pengalaman
mereka, tetapi mereka juga mengalami disekuilibrium ketika pengalaman mereka
tidak sesuai dengan pemahaman mereka. Disekuilibrium dapat memicu perubahan
pemahaman dan perkembangan kognitif.
5. Peran interaksi sosial: Piaget juga menekankan pentingnya interaksi sosial dalam
perkembangan kognitif. Dia percaya bahwa anak-anak belajar dari orang dewasa dan
teman sebaya mereka, dan interaksi sosial membantu membentuk pemahaman dan
pengetahuan mereka tentang dunia.
6. Pendekatan konstruktivis: Teori Piaget juga dianggap sebagai pendekatan
konstruktivis, yang berarti bahwa anak-anak secara aktif membangun pemahaman
mereka tentang dunia melalui pengalaman dan refleksi. Ini menekankan pentingnya
pembelajaran aktif dan eksplorasi bagi perkembangan kognitif.

Karakteristik Teori Pemrosesan Informasi Kognitif dari Piaget dibentuk oleh:

1. Priming
Priming adalah suatu fenomena dalam psikologi kognitif di mana eksposur terhadap suatu
rangsangan (stimulus) yang sebelumnya dialami dapat mempengaruhi bagaimana
individu merespon rangsangan lain yang diterima nanti. Secara sederhana, priming dapat
diartikan sebagai pengaruh stimulus pertama terhadap stimulus kedua yang dihadapi
kemudian.
Priming dapat terjadi dalam berbagai situasi, seperti saat seseorang mendengar kata
tertentu yang mempengaruhi persepsi terhadap kata-kata atau gambar yang diberikan
kemudian, atau ketika seseorang melihat gambar tertentu yang mempengaruhi keputusan
atau perilaku yang dilakukan di masa depan.
Priming dapat terjadi secara sadar atau tidak sadar, dan dapat berlangsung dalam jangka
waktu yang singkat maupun panjang. Priming dapat berdampak positif atau negatif
tergantung pada jenis rangsangan yang diberikan, konteks, dan faktor-faktor lain yang
terlibat dalam situasi tersebut. Fenomena priming telah menjadi topik penelitian yang
menarik di berbagai bidang, termasuk psikologi, neurosains, dan ilmu sosial.

2. Attention
Menurut teori perkembangan kognitif Piaget, attention atau perhatian adalah
kemampuan kognitif dasar yang penting bagi perkembangan kognitif dan sosial anak.
Piaget memandang attention sebagai kemampuan untuk memilih dan memfokuskan
perhatian pada stimulus atau informasi tertentu, sementara memblokir atau mengabaikan
stimulus atau informasi yang tidak relevan atau tidak penting.
Dalam teori Piaget, attention merupakan salah satu aspek dari fungsi eksekutif
kognitif, yang membantu individu mengatur dan mengontrol proses kognitif dan perilaku
mereka. Kemampuan untuk mengatur perhatian dan memblokir distraksi menjadi semakin
baik seiring perkembangan kognitif anak, dan menjadi lebih efisien dan fleksibel.
Piaget memandang attention sebagai kemampuan yang berkembang seiring
dengan kemampuan anak untuk memahami dan memproses dunia sekitarnya. Sebagai
contoh, ketika anak-anak lebih mampu memahami konsep objek tetap, mereka lebih
mungkin untuk mengalihkan perhatian mereka dari objek yang tidak bergerak dan
menempatkannya pada objek yang lebih menarik atau menarik perhatian mereka. Seiring
dengan perkembangan kognitif dan pengalaman, anak-anak menjadi lebih mampu
mengatur dan memfokuskan perhatian mereka pada hal-hal yang relevan dan penting
dalam lingkungan mereka.
Secara umum, dalam teori Piaget, attention dianggap sebagai bagian penting dari
proses kognitif yang kompleks dan penting bagi perkembangan kognitif anak.

3. Motivasi instinsik
Piaget percaya bahwa motivasi untuk belajar dan bereksplorasi lingkungan sekitar
berkaitan erat dengan keinginan alami individu untuk memahami dunia di sekitar mereka
dan membangun skema mental yang lebih kompleks.
Dalam pandangan Piaget, motivasi intrinsik berkaitan dengan keinginan anak
untuk mengeksplorasi lingkungan mereka dan mengalami dunia di sekitar mereka secara
aktif. Anak-anak secara alami memiliki rasa ingin tahu dan keinginan untuk memahami
hal-hal baru, dan mereka secara aktif mencari informasi dan pengalaman untuk
memperluas pemahaman mereka tentang dunia.
Piaget juga percaya bahwa motivasi intrinsik berkaitan erat dengan
perkembangan moral anak. Anak-anak yang berkembang secara moral
mempertimbangkan nilai-nilai moral dalam keputusan dan tindakan mereka, dan mereka
mendorong diri mereka sendiri untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Ini
dapat memberikan motivasi intrinsik bagi anak untuk melakukan tindakan yang dianggap
benar atau penting secara moral.
Dalam hal ini, Piaget melihat bahwa motivasi intrinsik dapat membantu anak-
anak mengembangkan pemahaman moral yang lebih kompleks dan mengarah pada
perkembangan moral yang lebih maju. Secara keseluruhan, motivasi intrinsik dapat
dilihat sebagai faktor penting dalam perkembangan kognitif dan moral anak menurut
pandangan Piaget.

4. Menghubungkan pengetahuan sebelumnya dengan informasi baru


Piaget mengemukakan bahwa individu tidak hanya menerima informasi baru,
tetapi juga mencoba untuk menghubungkannya dengan pengetahuan yang sudah
dimilikinya. Proses inilah yang disebut oleh Piaget sebagai asimilasi.
Menurut Piaget, individu menggunakan skema mental yang sudah ada dalam
mengasimilasi atau menginterpretasi informasi baru yang diterima. Jika informasi baru
tersebut dapat disesuaikan dengan skema mental yang sudah ada, maka individu dapat
mengasimilasi informasi tersebut ke dalam pengetahuannya yang sudah ada. Namun, jika
informasi baru tersebut tidak dapat disesuaikan dengan skema mental yang sudah ada,
individu harus mengubah skema mentalnya untuk mencakup informasi baru tersebut.
Proses ini disebut akomodasi.
Dalam konteks ini, menghubungkan pengetahuan sebelumnya dengan informasi
baru merupakan bagian dari proses asimilasi dan akomodasi. Ketika individu mencoba
mengasimilasi atau menginterpretasi informasi baru, mereka mencari hubungan atau
keterkaitan antara informasi baru dengan pengetahuan yang sudah ada dalam pikiran
mereka. Dengan menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang sudah ada,
individu dapat mengasimilasi informasi baru tersebut ke dalam pengetahuannya yang
sudah ada. Jika informasi baru tidak dapat dihubungkan dengan pengetahuan yang sudah
ada, individu harus mengubah pengetahuannya untuk mencakup informasi baru tersebut,
atau melakukan proses akomodasi.
Secara keseluruhan, menghubungkan pengetahuan sebelumnya dengan informasi
baru merupakan proses kognitif yang penting dalam teori perkembangan kognitif Piaget.
Proses ini memungkinkan individu untuk mengasimilasi dan menginterpretasi informasi
baru, serta mengubah pengetahuannya untuk mencakup informasi baru tersebut

5. Perception
Persepsi atau perception adalah proses kognitif di mana individu memilih,
menginterpretasikan, dan memberikan arti pada rangsangan atau informasi sensorik yang
diterima dari lingkungan sekitarnya. Persepsi melibatkan berbagai tahap pemrosesan
informasi, termasuk penerimaan informasi sensorik, pengorganisasian informasi, dan
interpretasi informasi. Proses persepsi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti
pengalaman, harapan, motivasi, dan konteks. Proses persepsi dapat menghasilkan hasil
yang berbeda antara individu yang berbeda meskipun mereka diberi rangsangan yang
sama, karena adanya faktor-faktor ini.
Persepsi memainkan peran penting dalam interaksi manusia dengan lingkungan
sekitarnya, baik dalam interaksi sosial maupun aktivitas harian seperti mengemudi,
belanja, atau memasak. Persepsi juga penting dalam pengambilan keputusan dan
membentuk sikap dan perilaku individu. Oleh karena itu, persepsi menjadi topik
penelitian yang penting dalam psikologi, neurosains, dan ilmu-ilmu sosial lainnya.

6. Tiga Tahapan Model Pemerosesn Informasi/ Model Memori Multistorey (Atkinson dan
Shiffrin pada tahun 1968)
Model ini terdiri dari tiga tahapan:
a. Sensory input
Tahap pertama dalam model ini adalah sensory input, di mana informasi diterima
melalui panca indera. Informasi ini disimpan dalam memori sensorik dalam waktu
yang sangat singkat (kurang dari satu detik) sebelum dipindahkan ke memori jangka
pendek.
b. Short-term memory
Setelah informasi dipindahkan dari memori sensorik, tahap berikutnya adalah
short-term memory. Memori jangka pendek memiliki kapasitas terbatas dan hanya
dapat menyimpan informasi selama 20-30 detik. Namun, informasi ini dapat
dipertahankan lebih lama dengan pengulangan atau mengaitkan dengan informasi
yang sudah tersimpan dalam memori jangka panjang.
c. Long-term memory
Tahap terakhir adalah long-term memory. Memori jangka panjang memiliki
kapasitas yang tidak terbatas dan dapat menyimpan informasi selama bertahun-tahun.
Informasi dalam memori jangka panjang dapat diambil kembali ke memori jangka
pendek untuk diproses lebih lanjut dan digunakan dalam pemecahan masalah atau
pengambilan keputusan.

7. Schema
Schema pada teori Pemrosesan Informasi Kognitif dari Piaget adalah kerangka
pemahaman atau struktur kognitif yang digunakan oleh seseorang untuk memahami dan
memproses informasi dalam dunia yang dikelilinginya. Schema dapat berupa pola pikir,
konsep, atau kategori yang terorganisir yang digunakan untuk mengenali, memahami, dan
memproses informasi dalam situasi tertentu.
Contohnya, seorang anak memiliki schema tentang kucing, yang terdiri dari ciri-
ciri seperti bulu halus, ekor panjang, dan kemampuan untuk berburu. Ketika anak itu
melihat seekor kucing, ia akan menggunakan schema-nya tentang kucing untuk
mengenali dan memahami hewan itu.
Menurut Piaget, anak-anak terus-menerus membangun dan mengubah schema
mereka melalui proses adaptasi, yang melibatkan asimilasi dan akomodasi. Ketika anak-
anak menemukan sesuatu yang baru, mereka bisa mencoba memasukkannya ke dalam
schema yang sudah ada (asimilasi), atau membuat schema baru (akomodasi) jika
pengalaman baru tidak cocok dengan schema yang sudah ada.
Dengan cara ini, schema membantu anak-anak memahami dan memproses
informasi secara efektif dalam lingkungan yang terus berubah. Namun, terkadang schema
yang tidak akurat atau tidak memadai dapat membatasi pemahaman anak tentang dunia
dan memperlambat perkembangan kognitif mereka. Schema menurut Piaget
menggabungkan beberapa item diantaranya:
a. Internal Knowlage Stuctures (Struktur pengetahuan yang ada) menjadi pattern
recognition (pengenalan pola)
Internal knowledge structures atau struktur pengetahuan internal adalah istilah yang
digunakan dalam psikologi kognitif untuk menggambarkan cara individu menyimpan,
mengorganisir, dan memproses informasi dalam pikiran mereka. Struktur
pengetahuan internal terdiri dari skema, model mental, konsep, dan representasi
mental lainnya yang digunakan oleh individu untuk memahami dan merespons pada
dunia yang kompleks di sekitar mereka.
Skema adalah struktur pengetahuan yang digunakan untuk memproses informasi yang
masuk, dan dapat dipikirkan sebagai kerangka pemahaman yang membantu individu
memahami dunia. Skema dapat terbentuk melalui pengalaman dan interaksi dengan
lingkungan, dan dapat diubah atau direvisi dengan pengalaman baru atau informasi
tambahan. Model mental adalah representasi visual atau kognitif dari informasi yang
dipegang dalam pikiran seseorang. Model mental dapat membantu individu
memproses informasi yang kompleks dengan cara yang lebih mudah dipahami dan
dikelola.Konsep adalah unit dasar dalam struktur pengetahuan internal, yang
membantu individu memahami objek, kejadian, atau ide. Konsep-konsep ini dapat
diorganisir ke dalam kategori atau skema yang lebih besar, dan dapat membantu
individu membuat inferensi, membuat keputusan, dan berkomunikasi dengan orang
lain.Representasi mental lainnya, seperti gambar mental, simbol, dan bahasa, juga
dapat membantu individu memproses informasi dan membangun struktur
pengetahuan internal mereka. Struktur pengetahuan internal merupakan konsep
penting dalam psikologi kognitif karena membantu menjelaskan cara individu
memproses informasi dan bagaimana mereka memahami dan berinteraksi dengan
dunia di sekitar mereka.

Pattern recognition atau pengenalan pola adalah proses kognitif yang penting dalam
psikologi kognitif dan neurosains. Ini adalah kemampuan untuk mengenali pola atau
hubungan yang terdapat dalam serangkaian stimulus atau data yang kompleks, seperti
bentuk, suara, atau bahasa. Proses pengenalan pola melibatkan proses pemrosesan
informasi yang kompleks, di mana informasi masuk ke dalam sistem sensorik dan
kemudian diproses oleh otak untuk mencari pola atau struktur yang terdapat dalam
informasi tersebut. Dalam pengenalan pola, individu membandingkan input informasi
dengan skema atau representasi mental dari pola yang telah dipelajari sebelumnya.
Misalnya, dalam pengenalan pola visual, individu dapat mengenali objek atau bentuk
berdasarkan pola dan fitur tertentu seperti bentuk, ukuran, warna, dan tekstur. Proses
pengenalan pola ini dapat terjadi secara otomatis dan cepat, terutama jika individu
telah terlatih dalam mengenali pola tertentu. Proses pengenalan pola ini penting dalam
berbagai bidang, termasuk ilmu komputer, pengolahan citra, pengenalan wajah, dan
pembelajaran mesin. Pengenalan pola juga penting dalam kehidupan sehari-hari,
seperti mengenali wajah orang-orang yang kita kenal, membaca dan menulis, dan
mengidentifikasi objek dalam lingkungan sekitar kita.

b. Gambar
c. Koding
d. Review/tinjauan sebelum pengenalan materi baru
e. Pemahaman reflektif dimana mengarah ke diseqilibrium atau konflik yang akan
berdampak pada Restrukturisasi pengetahuan yang ada.
f. Restrtukturisasi pengetahuan yang ada
g. Input Multi Senseorik (Multi-sensory input) yang berdampak pada terbentuknya 3
Tahapan Model Pemerosesan Informasi, yaitu:
a. Sensory Input (Input sensorik) Jika tidak ada Attention (perhatian) maka akan
Forgoten (Lupa), Sensori input di peroleh dari:
b. Short Term Memory (Memori/Ingatan Jangka Pendek) membutuhkan :
1) Repetition (pengulangan)
2) Mnemonic (hapalan)
3) Review (meninjau/meringkas)
c. Long Term Memory (Memori/Ingatan Jangka Pendek) termasuk strategi
pengambilan. Apabila terus dilatih maka akan menjadi Short Term Memory
h. Analisis
i. Tahapan dari metakognisi

Pemerosesan Informasi Kognitif likens (menyamakan) fungsi otak seperti halnya processor
pada komputer yang dapat dipanggil dan di perintah. Hal ini terjadi karena fails to (gagal
untuk) mengakui bahwa orang memproses informasi karena suatu alasan.

Pemerosesan Informasi Kognitif membuat pelajar :


1. is guided to develop personal learning strategies (dibimbing untuk mengembangkan
strategi belajar pribadi)
2. is guided in authentic learning contexs for meaningfulness (dibimbing dalam konteks
pembelajaran otentik untuk kebermaknaan)
Pemerosesan Informasi Kognitif merubah Jaringan / Konstruksi Mental Internal
Pemerosesan Informasi Kognitif dikembangkan karena keterbatasan dari Teori Sosial
Kognitif/Kognitif Sosial
TEORI BELAJAR BERMAKNA AUSUBEL

Teori Belajar Bermakna Ausubel adalah sebuah teori yang dikembangkan oleh David
Ausubel, seorang psikolog dan ahli pendidikan dari Amerika Serikat. Menurut teori ini,
belajar bermakna terjadi ketika individu menyusun dan mengintegrasikan informasi baru ke
dalam struktur pengetahuan yang sudah ada di dalam pikirannya.

Menurut Ausubel, terdapat dua jenis belajar, yaitu belajar mekanis dan belajar bermakna.
Belajar mekanis terjadi ketika seseorang mempelajari sesuatu secara otomatis tanpa
memperhatikan makna atau kaitannya dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya
sebelumnya. Sedangkan belajar bermakna terjadi ketika seseorang memperhatikan dan
menghubungkan makna dari informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya
sebelumnya.

Dalam belajar bermakna, terdapat dua prinsip utama yang harus diperhatikan, yaitu:

1. Prinsip Keterkaitan atau Relevansi (Relevance): Belajar bermakna terjadi ketika


seseorang dapat menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang sudah
dimilikinya sebelumnya. Semakin banyak keterkaitan atau relevansi yang ditemukan,
maka semakin mudah individu dalam memahami dan mengingat informasi tersebut.
2. Prinsip Organisasi (Organization): Belajar bermakna terjadi ketika seseorang dapat
mengorganisasi informasi baru ke dalam struktur pengetahuan yang sudah ada di dalam
pikirannya. Hal ini dapat dilakukan dengan mengaitkan informasi baru dengan konsep-
konsep atau ide-ide yang sudah dipahami sebelumnya.

Dalam teori ini, Ausubel juga menekankan pentingnya peran guru dalam pembelajaran. Guru
harus membantu siswa untuk menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang
sudah dimilikinya sebelumnya, serta membantu siswa mengorganisasi informasi baru tersebut
ke dalam struktur pengetahuan yang sudah ada di dalam pikirannya. Dengan demikian, siswa
akan dapat mengembangkan pemahaman yang lebih baik dan mengingat informasi tersebut
dengan lebih mudah.

Teori Belajar Bermakna Ausubel membedakan antara tiga jenis belajar, yaitu Discovery
Learning , reception learning, dan rote learning.

1. Discovery Learning : Belajar melalui penemuan atau Discovery Learning terjadi


ketika seseorang memperoleh pengetahuan baru dengan cara menemukan atau
mengeksplorasi sendiri konsep atau prinsip-prinsip yang ada. Dalam konteks teori
Ausubel, Discovery Learning hanya efektif jika seseorang memiliki dasar
pengetahuan yang cukup untuk memahami konsep baru yang ditemukan.
2. Reception learning: Belajar melalui penerimaan atau reception learning terjadi ketika
seseorang memperoleh pengetahuan baru melalui penerimaan informasi dari sumber
luar, seperti guru atau buku teks. Dalam konteks teori Ausubel, reception learning
efektif jika informasi baru diberikan dengan cara yang jelas, terstruktur, dan
terorganisasi dengan baik, sehingga mudah dihubungkan dengan pengetahuan yang
sudah dimiliki.
3. Rote learning: Belajar melalui menghafal atau rote learning terjadi ketika seseorang
memperoleh pengetahuan baru dengan cara mengulang-ulang informasi secara
mekanis tanpa memperhatikan makna atau kaitannya dengan pengetahuan
3. yang sudah dimilikinya sebelumnya. Dalam konteks teori Ausubel, rote learning
kurang efektif karena tidak melibatkan pengorganisasian atau pengaitan informasi
baru dengan pengetahuan yang sudah ada di dalam pikiran.

Dalam teori Belajar Bermakna Ausubel, Ausubel menekankan bahwa reception learning
merupakan jenis belajar yang paling efektif, karena dapat membantu siswa untuk mengaitkan
dan mengorganisasi informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya sebelumnya.

Teori Belajar Bermakna Ausubel menggabukan beberapa komponen, diantaranya:

1. Analisis
2. Multi Sensori Input
Input Multi Senseorik (Multi-sensory input) yang berdampak pada terbentuknya 3
Tahapan Model Pemerosesan Informasi, yaitu:
a. Sensory Input (Input sensorik) Jika tidak ada Attention (perhatian) maka akan
Forgoten (Lupa), Sensori input di peroleh dari:
b. Short Term Memory (Memori/Ingatan Jangka Pendek) membutuhkan :
1) Repetition (pengulangan)
2) Mnemonic (hapalan)
3) Review (meninjau/meringkas)
c. Long Term Memory (Memori/Ingatan Jangka Pendek) termasuk strategi
pengambilan. Apabila terus dilatih maka akan menjadi Short Term Memory

3. Subsumption
Subsumption merupakan konsep yang sangat penting dalam Teori Belajar Bermakna
Ausubel. Konsep ini merujuk pada cara individu menyatukan atau mengaitkan informasi
baru dengan pengetahuan yang sudah ada di dalam pikirannya.
Menurut Ausubel, belajar bermakna terjadi ketika seseorang dapat mengaitkan
informasi baru dengan konsep-konsep atau proposisi-proposisi yang sudah ada di dalam
pikirannya. Dalam hal ini, konsep atau proposisi yang sudah ada di dalam pikiran
dianggap sebagai struktur kognitif atau kerangka referensi yang dapat digunakan untuk
memahami informasi baru.
Subsumption terjadi ketika informasi baru dihubungkan atau disatukan dengan
konsep-konsep atau proposisi-proposisi yang sudah ada di dalam pikiran individu. Ketika
informasi baru tersebut dihubungkan dengan konsep-konsep atau proposisi-proposisi
yang sudah ada, maka informasi baru tersebut akan menjadi lebih mudah dipahami dan
diingat. Dalam hal ini, guru berperan penting dalam membantu siswa membuat
keterkaitan antara informasi baru dan pengetahuan yang sudah dimilikinya sebelumnya.
Contoh dari subsumption adalah ketika seseorang belajar konsep "planet" yang baru
untuk pertama kalinya. Jika individu tersebut sudah memahami konsep "benda langit",
maka informasi baru tentang planet dapat dihubungkan dengan konsep "benda langit".
Dengan demikian, individu tersebut akan lebih mudah memahami dan mengingat konsep
"planet" karena sudah memiliki kerangka referensi atau struktur kognitif tentang benda
langit.

4. Rekonsilisasi Integratif
Rekonsiliasi integratif atau integrative reconcilation merupakan konsep yang juga
penting dalam Teori Belajar Bermakna Ausubel. Konsep ini merujuk pada upaya untuk
mengintegrasikan informasi baru ke dalam struktur kognitif yang sudah ada di dalam
pikiran individu.
Menurut Ausubel, informasi baru yang tidak dapat dihubungkan dengan struktur
kognitif yang sudah ada di dalam pikiran individu akan sulit dipahami dan diingat. Oleh
karena itu, integrasi informasi baru ke dalam struktur kognitif yang sudah ada di dalam
pikiran individu sangat penting untuk terjadinya belajar bermakna.
Dalam konteks pembelajaran di kelas, guru harus membantu siswa untuk
mengintegrasikan informasi baru ke dalam pengetahuan yang sudah ada di dalam pikiran
mereka. Hal ini dapat dilakukan dengan cara membangun hubungan yang relevan antara
informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dimiliki siswa, sehingga siswa dapat
lebih mudah memahami dan mengingat informasi baru.
Contoh dari rekonsiliasi integratif adalah ketika siswa belajar tentang hewan yang
baru untuk pertama kalinya. Jika siswa sudah memahami konsep dasar tentang jenis-jenis
hewan yang sudah diajarkan sebelumnya, maka guru dapat membantu siswa untuk
mengintegrasikan informasi baru tentang hewan tersebut dengan pengetahuan yang sudah
dimilikinya. Dengan cara ini, siswa akan dapat lebih mudah memahami dan mengingat
informasi baru tentang hewan tersebut karena sudah terintegrasi dengan pengetahuan
yang sudah ada di dalam pikirannya.

5. Tingkat Metakognisi
Teori Belajar Bermakna Ausubel juga mencakup konsep metakognisi atau kesadaran
diri terhadap cara belajar dan pemahaman yang dimiliki. Menurut Ausubel, metakognisi
merupakan suatu kemampuan atau keahlian dalam mengelola dan mengatur cara belajar
dan pemahaman.
Ausubel membagi metakognisi menjadi tiga tingkat, yaitu:
1. Tingkat Pertama: Pengetahuan Tentang Tujuan Belajar (Knowledge of Learning
Objectives) Tingkat pertama metakognisi meliputi pengetahuan tentang tujuan belajar,
yaitu pengetahuan tentang apa yang harus dipelajari dan apa yang ingin dicapai
melalui pembelajaran. Siswa yang memiliki kemampuan metakognitif pada tingkat
pertama mampu memahami tujuan pembelajaran dan merencanakan strategi belajar
yang tepat untuk mencapainya.
2. Tingkat Kedua: Pengetahuan Tentang Cara Belajar (Knowledge of Learning
Strategies) Tingkat kedua metakognisi meliputi pengetahuan tentang cara belajar
yang efektif, yaitu pengetahuan tentang berbagai strategi belajar seperti membaca,
mengambil catatan, dan membuat ringkasan. Siswa yang memiliki kemampuan
metakognitif pada tingkat kedua mampu memilih strategi belajar yang tepat untuk
memahami dan mengingat informasi dengan lebih baik.
3. Tingkat Ketiga: Pengetahuan Tentang Pengawasan Diri (Knowledge of Self-
Monitoring) Tingkat ketiga metakognisi meliputi pengetahuan tentang pengawasan
diri, yaitu kemampuan untuk memantau dan mengevaluasi pemahaman diri sendiri
selama proses belajar. Siswa yang memiliki kemampuan metakognitif pada tingkat
ketiga mampu mengevaluasi pemahaman diri sendiri, menyesuaikan strategi belajar,
dan mengatasi kesulitan yang dihadapi selama proses belajar.
Dengan memiliki kemampuan metakognitif pada ketiga tingkat tersebut, siswa akan
dapat menjadi pembelajar yang lebih efektif dan mandiri. Hal ini karena mereka mampu
memahami tujuan pembelajaran, memilih strategi belajar yang efektif, serta memantau
dan mengevaluasi pemahaman diri sendiri selama proses belajar.
Menurut Teori Belajar Bermakna Ausubel, tingkat metakognisi yang tinggi dapat
mempengaruhi proses restrukturisasi pengetahuan yang telah ada di dalam pikiran
individu. Dengan memiliki kemampuan metakognisi yang baik, individu mampu
memahami cara belajar dan pemahaman yang dimilikinya, sehingga dapat membantu
proses restrukturisasi pengetahuan yang lebih baik.
Proses restrukturisasi pengetahuan merupakan proses di mana individu
mengorganisir, menghubungkan, dan mengintegrasikan informasi baru ke dalam
pengetahuan yang sudah ada di dalam pikiran mereka. Proses ini terjadi ketika individu
memahami dan membangun hubungan antara konsep yang sudah dikuasai dengan konsep
baru yang dipelajari.
Dalam konteks metakognisi, individu yang memiliki kemampuan metakognitif yang
tinggi mampu merencanakan strategi belajar yang tepat untuk mempelajari informasi
baru, serta dapat memantau dan mengevaluasi pemahaman diri sendiri selama proses
belajar. Hal ini dapat membantu proses restrukturisasi pengetahuan yang lebih baik,
karena individu mampu memahami dan mengintegrasikan informasi baru dengan
pengetahuan yang sudah dimilikinya secara efektif.
Sebaliknya, individu yang tidak memiliki kemampuan metakognitif yang baik
cenderung hanya menghafal informasi baru tanpa memahaminya secara mendalam,
sehingga sulit bagi mereka untuk mengintegrasikan informasi baru dengan pengetahuan
yang sudah ada di dalam pikiran mereka.
Oleh karena itu, tingkat metakognisi yang tinggi sangat penting dalam membantu
individu melakukan restrukturisasi pengetahuan yang lebih baik dan efektif. Hal ini akan
membantu individu dalam memahami dan mengingat informasi dengan lebih baik serta
meningkatkan keterampilan pemecahan masalah dan penyelesaian tugas-tugas akademik
yang lebih kompleks.

6. Advances Organizers
Menurut Teori Belajar Bermakna Ausubel, advance organizers adalah informasi yang
diberikan sebelum pembelajaran dimulai untuk membantu siswa memahami dan
mengorganisir pengetahuan baru yang akan dipelajari. Advance organizers membantu
siswa untuk membuat koneksi antara pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya dengan
pengetahuan baru, sehingga proses pembelajaran menjadi lebih bermakna dan berkesan.
Dalam konteks retensi informasi verbal, advance organizers dapat membantu siswa
untuk mempertahankan informasi verbal dalam memori jangka panjang. Hal ini terjadi
karena advance organizers membantu siswa untuk menentukan struktur konseptual dalam
memori mereka, sehingga mempermudah pengingatan informasi yang baru dipelajari.
Advance organizers dapat berupa pengenalan konsep-konsep dasar yang akan
dipelajari, rangkuman materi, atau skema yang menggambarkan hubungan antara konsep-
konsep yang akan dipelajari. Dalam mengaplikasikan advance organizers, guru harus
mempertimbangkan pengetahuan awal siswa tentang topik yang akan dipelajari serta
bagaimana advance organizers dapat membantu siswa untuk membangun koneksi antara
pengetahuan baru dan pengetahuan sebelumnya.
Dengan menggunakan advance organizers dalam pembelajaran, siswa dapat
mempertahankan informasi verbal dalam memori jangka panjang, meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah dan pemahaman materi, serta meningkatkan
keterampilan berpikir kritis dan analitis. Oleh karena itu, penggunaan advance organizers
dapat memfasilitasi retensi informasi verbal dalam pembelajaran menurut teori belajar
bermakna Ausubel.
Menurut Teori Belajar Bermakna Ausubel, Advance Organizer adalah strategi
pembelajaran yang dapat membantu siswa memahami dan mengorganisir pengetahuan
baru yang akan dipelajari dengan memberikan kerangka konseptual atau dasar sebelum
siswa mulai belajar. Advance organizers dapat membantu siswa memahami materi baru
dengan memberikan "anchor point" atau titik acuan yang diperlukan untuk membangun
hubungan antara informasi baru dan pengetahuan sebelumnya.
Dalam hal ini, advance organizers dapat disamakan dengan "ikat pinggang" atau
"pegangan" yang memberikan siswa titik awal untuk menyelesaikan tugas atau masalah
yang diberikan. Dengan menggunakan advance organizers, siswa dapat mengkaitkan
informasi baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya, sehingga membantu
mereka untuk mengorganisir dan menyimpan informasi secara lebih efektif di dalam
memori jangka panjang.
Advance organizers juga berfungsi sebagai penghubung antara informasi baru dan
pengetahuan yang sudah dimiliki oleh siswa. Dengan demikian, siswa dapat memahami
bagaimana informasi baru terkait dengan pengetahuan yang telah dimilikinya
sebelumnya, sehingga memudahkan mereka untuk mengembangkan pemahaman yang
lebih dalam dan lebih abstrak terhadap materi yang dipelajari.
Dalam kesimpulannya, advance organizers menyediakan "anchor point" ke
informasi baru dengan memberikan kerangka konseptual atau dasar yang diperlukan
untuk membangun hubungan antara informasi baru dan pengetahuan sebelumnya. Hal ini
membantu siswa untuk mengorganisir dan menyimpan informasi secara lebih efektif di
dalam memori jangka panjang dan memudahkan mereka untuk mengembangkan
pemahaman yang lebih dalam dan lebih abstrak terhadap materi yang dipelajari.
Menurut teori belajar bermakna Ausubel, advance organizers adalah strategi
pembelajaran yang dapat membantu siswa memahami dan mengorganisir pengetahuan
baru dengan cara memberikan kerangka konseptual atau dasar sebelum siswa mulai
belajar. Advance organizers juga dapat membantu siswa untuk menghasilkan hubungan
logis antara informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya sebelumnya.
Dalam hal ini, advance organizers dapat disamakan dengan alat yang membantu
siswa membangun rangkaian pikiran logis atau mental map yang membantu mereka
memahami materi baru. Dengan menggunakan advance organizers, siswa dapat
mengorganisir dan menyusun informasi secara sistematis dan logis sehingga mereka
dapat memahami dan menyimpan informasi secara lebih efektif di dalam memori jangka
panjang.
Advance organizers juga membantu siswa untuk menghasilkan hubungan logis
antara informasi baru dengan pengetahuan sebelumnya. Dengan adanya kerangka
konseptual atau dasar yang diberikan oleh advance organizers, siswa dapat melihat
keterkaitan antara informasi baru dan pengetahuan yang sudah dimilikinya sebelumnya,
sehingga mereka dapat membangun hubungan logis antara konsep-konsep yang berbeda
dan memahami materi secara lebih dalam.
Dalam kesimpulannya, advance organizers menyediakan cara menghasilkan
hubungan logis antara informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya
sebelumnya. Dengan adanya advance organizers, siswa dapat mengorganisir dan
menyusun informasi secara sistematis dan logis sehingga mereka dapat memahami dan
menyimpan informasi secara lebih efektif di dalam memori
Menurut Teori Belajar Bermakna Ausubel, pembelajaran yang efektif terjadi ketika
seseorang dapat mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan yang telah dimilikinya
sebelumnya dalam memori jangka panjang. Hal ini disebut dengan pengkategorian subsumtif, di
mana konsep-konsep baru dipelajari dan diintegrasikan ke dalam struktur pengetahuan yang
telah ada dalam memori jangka panjang.
Dalam pengkategorian subsumtif, konsep-konsep baru yang dipelajari dihubungkan dengan
konsep-konsep yang telah diketahui sebelumnya. Dengan demikian, informasi baru menjadi
lebih bermakna dan relevan bagi individu, sehingga memudahkan untuk diingat dan dipanggil
kembali ketika diperlukan. Selain itu, dengan mengaitkan konsep-konsep baru dengan konsep-
konsep yang telah diketahui sebelumnya, individu dapat mengembangkan pemahaman yang
lebih mendalam tentang materi yang dipelajari.
Pengkategorian subsumtif juga memungkinkan individu untuk membentuk skema-
skema belajar yang lebih kuat dan terstruktur dalam memori jangka panjang. Dalam
jangka panjang, informasi yang terkait dengan konsep-konsep yang telah diketahui
sebelumnya lebih mudah diingat dan dipanggil kembali daripada informasi yang terpisah
dan tidak terkait.
Dengan demikian, pengkategorian subsumtif berdampak pada memori jangka
panjang, di mana konsep-konsep baru yang dipelajari dapat diintegrasikan ke dalam
struktur pengetahuan yang telah ada dan menjadi lebih bermakna dan relevan. Dalam
jangka panjang, individu dapat mempertahankan pengetahuan yang lebih kuat dan
terstruktur, sehingga lebih mampu mengingat dan memanfaatkannya ketika diperlukan.
Menurut Teori Belajar Bermakna Ausubel, pembelajaran yang bermakna dapat
merubah jaringan konstruksi mental internal atau struktur pengetahuan yang dimiliki
seseorang. Dalam teori ini, pembelajaran dianggap sebagai proses perubahan atau
restrukturisasi pengetahuan dalam memori jangka panjang, yang melibatkan
pengintegrasian informasi baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.
Dalam proses pembelajaran yang bermakna, konsep-konsep baru yang dipelajari
dihubungkan dengan konsep-konsep yang telah diketahui sebelumnya, sehingga
membentuk jaringan konstruksi mental internal yang lebih kompleks dan terintegrasi.
Proses ini melibatkan interaksi antara pengetahuan baru dan pengetahuan yang telah ada,
sehingga pengetahuan yang telah ada dapat diperluas atau diubah sesuai dengan
pengetahuan baru.
Dalam proses pembelajaran yang tidak bermakna, individu cenderung menghafal
informasi tanpa menghubungkannya dengan pengetahuan yang telah dimiliki
sebelumnya. Hal ini dapat menghasilkan jaringan konstruksi mental internal yang lemah
dan terpisah, yang sulit untuk diingat dan dipanggil kembali.
Dengan demikian, Teori Belajar Bermakna Ausubel menekankan pentingnya
pembelajaran yang bermakna dalam merubah jaringan konstruksi mental internal. Melalui
pembelajaran yang bermakna, individu dapat mengembangkan pemahaman yang lebih
mendalam tentang materi yang dipelajari, membentuk jaringan konstruksi mental internal
yang lebih kuat dan terintegrasi, dan mempertahankan pengetahuan yang lebih lama
dalam memori jangka panjang.

Teori Belajar Bermakna Ausubel menggabungkan beberapa teori dan konsep dari bidang
psikologi dan pendidikan, antara lain:

1. Teori Strukturalisme Psikologi: Teori ini menyatakan bahwa pikiran manusia


mengandung struktur-struktur yang terorganisasi secara hierarkis.
2. Teori Kognitif: Teori ini menyatakan bahwa belajar melibatkan proses mental yang
kompleks, seperti perhatian, persepsi, memori, dan pemecahan masalah.
3. Teori Konstruktivisme: Teori ini menyatakan bahwa individu membangun
pengetahuan mereka sendiri melalui interaksi dengan lingkungan dan pengalaman
belajar mereka.
4. Teori Keterkaitan Informasi: Teori ini menyatakan bahwa pengetahuan manusia
terdiri dari jaringan konsep dan informasi yang saling terkait.

Dalam teori Belajar Bermakna Ausubel, konsep-konsep dari teori-teori di atas digabungkan
untuk menjelaskan bagaimana belajar bermakna terjadi. Dalam teori ini, Ausubel
menekankan pentingnya keterkaitan atau relevansi antara informasi baru dan pengetahuan
yang sudah ada di dalam pikiran individu, serta pentingnya pengorganisasian informasi baru
ke dalam struktur pengetahuan yang sudah ada. Dalam hal ini, guru berperan penting dalam
membantu siswa membuat keterkaitan dan mengorganisasik

an informasi baru agar lebih mudah dipahami dan diingat.


TEORI KOGNITIF PIAGET

Teori Kognitif adalah secara bertahap dibangun melalui tahapan berurutan

Teori Kognitif Piaget adalah teori psikologi yang dikembangkan oleh seorang ahli psikologi
bernama Jean Piaget, seorang psikolog dari Swiss. Teori ini menjelaskan bagaimana anak-
anak belajar, memproses informasi, dan memahami dunia di sekitarnya dari perspektif
kognitif Teori ini berkaitan dengan perkembangan kognitif atau pikiran manusia dan
bagaimana manusia belajar, mengolah, menyimpan, dan mengambil informasi dari
lingkungan mereka.

Menurut Piaget, perkembangan kognitif manusia terjadi melalui empat tahap, yaitu:

1. Tahap Sensorimotor (0-2 tahun): Anak-anak belajar melalui pengalaman sensorik dan
motorik. Mereka mulai memahami dunia melalui pengalaman langsung dengan objek-
objek di sekitar mereka.
2. Tahap Praoperasional (2-7 tahun): Anak-anak mulai menggunakan simbol untuk
merepresentasikan objek dan ide. Mereka juga mulai memahami konsep seperti waktu
dan ruang, namun pemahaman mereka masih terbatas dan cenderung bersifat konkret.
3. Tahap Operasional Konkret (7-12 tahun): Anak-anak mulai memahami hubungan sebab-
akibat dan logika, serta mulai mengembangkan pemahaman abstrak. Mereka juga mampu
mempertahankan konsistensi dalam pemikiran dan mulai menguasai konsep matematika
dasar.
4. Tahap Operasional Formal (12 tahun ke atas): Anak-anak mencapai kemampuan untuk
berpikir secara abstrak dan kritis, dan dapat mempertimbangkan banyak variabel yang
kompleks dalam pemikiran mereka. Mereka juga dapat memahami hipotesis, teori, dan
argumen.

Tiap tahap ditandai dengan kemampuan kognitif yang berkembang dan kompleksitas
pemikiran yang meningkat.

Piaget juga mengemukakan bahwa anak-anak membangun pengetahuan dan pemahaman


mereka melalui proses adaptasi, yang meliputi asimilasi dan akomodasi, serta melalui
penciptaan kesetimbangan antara skema atau struktur kognitif mereka dengan pengalaman
dunia luar (equilibrium).

Asimilasi dalam teori kognitif Piaget adalah proses mengasimilasikan atau memasukkan
informasi baru ke dalam kerangka pemahaman yang sudah ada. Dalam konteks ini, anak
menggunakan pemahaman yang sudah dimilikinya untuk menginterpretasi dan memahami
pengalaman baru. Contoh dari asimilasi dalam tahap perkembangan kognitif anak adalah
ketika seorang anak yang belum pernah melihat hewan yang tidak lazim seperti jerapah
pertama kali melihatnya di kebun binatang. Anak mungkin akan mencoba untuk memahami
jerapah dengan menggunakan kerangka pemahaman yang sudah dimilikinya tentang hewan,
seperti ukuran, warna, atau cara bergerak. Anak mungkin juga mencoba untuk
mengasimilasikan jerapah ke dalam kategori yang sudah ada, seperti "kuda yang tinggi".

Meskipun pemahaman anak tentang jerapah dalam contoh ini mungkin tidak akurat, asimilasi
membantu anak membangun pengalaman dan memperkaya kerangka pemahaman mereka
tentang dunia di sekitarnya. Dalam tahap perkembangan kognitif yang lebih lanjut, anak akan
menggunakan proses akomodasi untuk memperbaiki atau memodifikasi pemahaman mereka
tentang jerapah dan hewan-hewan lainnya yang tidak biasa.

Akomodasi dalam teori kognitif Piaget adalah proses mengubah atau memodifikasi kerangka
pemahaman yang sudah ada untuk memasukkan informasi baru yang tidak dapat dijelaskan
dengan menggunakan kerangka tersebut. Dalam konteks ini, anak mengalami ketidaksesuaian
antara pengalaman yang ditemukan dengan kerangka pemahaman yang ada, sehingga mereka
harus memodifikasi atau memperluas kerangka tersebut agar dapat memahami informasi baru
yang ditemukan.

Contoh dari akomodasi dalam tahap perkembangan kognitif anak adalah ketika seorang anak
pertama kali melihat seekor jerapah yang tinggi di kebun binatang. Anak mungkin merasa
bingung karena jerapah tidak sesuai dengan konsep hewan yang sudah dimilikinya. Oleh
karena itu, anak harus melakukan akomodasi pada pemahaman tentang hewan agar dapat
memasukkan jerapah ke dalam kerangka pemahaman tersebut. Mungkin anak akan
memodifikasi pemahaman tentang hewan dengan memperluas kriteria seperti ukuran, bentuk
tubuh, dan perilaku hewan.

Proses akomodasi juga terjadi ketika anak memperbaiki atau mengubah kerangka
pemahaman yang ada karena pengalaman baru yang tidak sesuai dengan pemahaman
sebelumnya. Misalnya, ketika seorang anak belajar tentang jenis binatang yang tidak dapat
terbang, anak tersebut mungkin harus memodifikasi konsep "burung" dengan menghilangkan
kriteria kemampuan terbang dalam pemahaman mereka.

Secara keseluruhan, akomodasi membantu anak memperluas dan memodifikasi kerangka


pemahaman mereka agar dapat memahami dan menafsirkan pengalaman baru secara lebih
akurat.

Equilibration dalam teori kognitif Piaget adalah proses penyesuaian atau mencapai
keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi dalam mengatasi ketidaksesuaian antara
pengalaman dan pemahaman anak tentang dunia di sekitarnya. Dalam konteks ini, anak
belajar untuk menyeimbangkan dan memadukan informasi baru dengan pengetahuan dan
pengalaman yang sudah dimilikinya, sehingga dapat memperluas dan meningkatkan
pemahaman mereka tentang dunia.

Contoh dari equilibration dalam tahap perkembangan kognitif anak adalah ketika seorang
anak memahami bahwa burung bisa terbang tetapi seekor unta tidak bisa terbang. Anak
mungkin akan mengalami ketidaksesuaian dengan konsep burung yang sudah dimiliki,
karena burung biasanya dikaitkan dengan kemampuan terbang. Namun, anak kemudian
memahami bahwa tidak semua hewan yang memiliki sayap bisa terbang, seperti unta. Anak
kemudian menyeimbangkan pemahaman mereka tentang burung dengan pengetahuan baru
yang mereka peroleh tentang unta, sehingga dapat memperluas pemahaman mereka tentang
hewan dan kemampuan terbang.

Proses equilibration juga terjadi ketika anak memperkuat dan memperdalam pemahaman
mereka tentang dunia melalui serangkaian pengalaman yang bertahap dan semakin kompleks.
Anak belajar untuk menyeimbangkan asimilasi dan akomodasi dalam mengatasi
ketidaksesuaian, sehingga dapat mencapai keseimbangan yang lebih besar antara pemahaman
dan pengalaman mereka.
Secara keseluruhan, equilibration merupakan proses penting dalam perkembangan kognitif
anak karena membantu anak untuk memperluas dan meningkatkan pemahaman mereka
tentang dunia dan mencapai keseimbangan antara pengalaman dan pemahaman mereka.

Selain itu teori kognitif Piaget, menggunakan atau memanfaatkan 3 tipe pengetahuan yang
dimiliki oleh setiap individu, yaitu:

1. Pengetahuan Fisik: Pengetahuan tentang sifat-sifat fisik dan karakteristik dunia fisik,
seperti ukuran, bentuk, warna, dan sifat fisik lainnya.
2. Pengetahuan Logis-Matematis: Pengetahuan tentang hubungan logis dan matematis
antara objek dan peristiwa, serta kemampuan untuk memanipulasi simbol, angka, dan
konsep abstrak lainnya.
3. Pengetahuan Sosial: Pengetahuan tentang aturan, norma, dan nilai-nilai yang berlaku
dalam kelompok atau masyarakat, serta kemampuan untuk memahami persepsi,
keyakinan, dan perasaan orang lain.

Ketiga tipe pengetahuan ini saling terkait dan membentuk sistem pemahaman yang lebih
kompleks dan terintegrasi tentang dunia di sekitar kita. Setiap individu membangun
pengetahuan ini melalui interaksi dengan lingkungan fisik dan sosialnya, serta melalui
refleksi dan penyempurnaan terus-menerus atas pengalaman yang diperoleh.

Teori Kognitif Piaget percaya bahwa pembelajaran terjadi sebelum perkembangan, teori
kognitif juga memposisikan bahwa pengetahuan itu terdiri daristruktur kognitif yang secara
alami berubah dari penggunaan dan memiiliki fungsi biologis yang muncul dari Tindakan.

Teori Kognitif Piaget juga memiliki keterbatasan diantaranya :

1. tidak bisa mengenali ataua gagaldalam mengenali sifat "tidak sistematis" anak-anak,
dan
2. Tidak memeriksa bahasa di luar struktur kognitif

Teori Kognitif berpusat pada peserta didikmenekankan kesiapan kognitif individu

Teori Kognitif Piaget telah memberikan kontribusi besar dalam pemahaman kita tentang
perkembangan kognitif manusia dan pengaruh lingkungan pada pembentukan pemikiran
manusia.
TEORI SOSIAL BUDAYA (VYGOTSKY)

Teori sosiokultural, juga dikenal sebagai konstruktivisme sosial, dikembangkan oleh psikolog
Rusia Lev Vygotsky. Teori ini menekankan pentingnya interaksi sosial dan konteks budaya
dalam membentuk perkembangan kognitif. Menurut Vygotsky, anak-anak belajar melalui
interaksi dengan orang lain yang lebih berpengetahuan, seperti orang tua, guru, dan teman
sebaya.

Interaksi ini melibatkan penggunaan bahasa dan alat budaya lainnya, yang memediasi
pemahaman anak tentang dunia. Vygotsky menyebut proses ini sebagai "scaffolding", di
mana orang yang lebih berpengalaman memberikan dukungan atau bantuan kepada orang
yang kurang berpengalaman untuk membantu mereka belajar.

Aspek kunci lain dari teori sosiokultural adalah zona perkembangan proksimal (ZPD). Ini
mengacu pada perbedaan antara apa yang dapat dilakukan seorang anak sendiri dan apa yang
dapat mereka lakukan dengan bantuan orang lain yang lebih berpengetahuan. Vygotsky
percaya bahwa pembelajaran terjadi ketika seorang anak diberi tugas yang berada di luar
tingkat kemampuannya saat ini, tetapi dapat diselesaikan dengan bantuan.

Zona Perkembangan Proksimal (ZPD) adalah konsep sentral dalam teori sosiokultural
Vygotsky. ZPD mengacu pada jarak antara kemampuan aktual atau yang sudah dimiliki oleh
seorang individu untuk menyelesaikan tugas secara mandiri, dan kemampuan potensial atau
yang dapat dicapai melalui bantuan orang lain.

Kemampuan aktual (actual ability) adalah kemampuan yang dimiliki seseorang dalam
menyelesaikan tugas secara mandiri tanpa bantuan atau dukungan dari orang lain.
Kemampuan aktual mencerminkan tingkat kemampuan atau pengetahuan yang sudah dimiliki
dan dapat diterapkan dalam situasi kehidupan sehari-hari. Kemampuan aktual dapat diperoleh
melalui pengalaman langsung dan belajar secara mandiri.

Sedangkan kemampuan potensial (potential ability) adalah kemampuan atau tingkat


kemampuan yang dapat dicapai seseorang dengan bantuan, bimbingan, atau dukungan dari
orang lain, terutama orang yang lebih berpengalaman. Kemampuan potensial mencerminkan
kemampuan atau pengetahuan yang belum sepenuhnya dimiliki atau dipahami oleh individu
secara mandiri, tetapi dapat diakses melalui bantuan orang lain.
Kemampuan aktual dan kemampuan potensial merupakan dua hal yang berbeda, tetapi juga
terkait erat satu sama lain. Kemampuan aktual seseorang dapat membatasi kemampuan
potensialnya, tetapi pada saat yang sama, kemampuan potensial dapat memperluas
kemampuan aktual seseorang melalui pengalaman belajar dan interaksi sosial dengan orang
lain.

Dalam konteks teori sosiokultural Vygotsky, kemampuan potensial sering diidentifikasi


melalui Zona Perkembangan Proksimal (ZPD) yang mengacu pada jarak antara kemampuan
aktual dan kemampuan potensial seseorang dalam menyelesaikan tugas. Dalam ZPD,
individu dapat mencapai kemampuan potensialnya melalui bantuan, dukungan, atau
bimbingan dari orang lain.

Konsep ZPD dari Vygotsky berpendapat bahwa individu dapat memperoleh keterampilan
dan pengetahuan baru yang lebih baik melalui interaksi sosial dan bantuan orang dewasa.
Oleh karena itu, individu ditempatkan pada posisi di mana ia dapat mencapai keterampilan
baru dengan bantuan dan dukungan yang tepat, tetapi tidak mampu mencapainya sendiri

Orang yang lebih berpengalaman atau orang dewasa, seperti guru atau orang tua, dapat
membantu individu untuk memperluas ZPD mereka melalui bantuan dalam menyelesaikan
tugas. Dengan memberikan dukungan yang tepat, orang dewasa dapat membantu individu
memperoleh keterampilan dan pengetahuan baru dan memperluas ZPD mereka.

Dalam praktiknya, ZPD sering digunakan dalam konteks pendidikan di mana seorang guru
atau pengajar dapat membantu siswa dalam memperluas ZPD mereka dengan memberikan
bantuan dan dukungan yang tepat, seperti membimbing siswa melalui tugas-tugas yang sesuai
dengan ZPD mereka. Dalam hal ini, ZPD berperan penting dalam membantu siswa untuk
mencapai potensi optimal mereka dan mempersiapkan mereka untuk sukses di masa depan

ZPD juga dianggap sebagai zona di mana seorang individu dapat memperoleh keterampilan
dan pengetahuan baru dengan cara yang paling efektif. Dengan bantuan orang dewasa,
individu dapat membentuk pemahaman yang lebih baik tentang dunia di sekitarnya dan
belajar mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan untuk sukses di masa depan.

Teori Sosiokultural (Vygotsky) menggabungkan empat strategi pembelajaran: memprediksi,


mempertanyakan, mengklarifikasi, dan meringkas. Konsep ini mengacu pada strategi
pembelajaran yang dapat membantu siswa dalam membangun pemahaman mereka tentang
materi pelajaran.

 Memprediksi: Siswa diminta untuk membuat prediksi tentang apa yang akan terjadi
selanjutnya dalam pembelajaran. Strategi ini membantu siswa untuk berpikir kritis
dan memperoleh pemahaman lebih dalam tentang materi pelajaran.
 Mempertanyakan: Siswa diajarkan untuk mengajukan pertanyaan tentang materi
pelajaran dan mencari jawaban yang tepat. Strategi ini membantu siswa untuk
mengidentifikasi aspek materi pelajaran yang kurang dipahami dan mengembangkan
pemahaman yang lebih baik tentang materi tersebut.
 Mengklarifikasi: Siswa diminta untuk memperjelas pemahaman mereka tentang
materi pelajaran melalui diskusi dan penjelasan. Strategi ini membantu siswa untuk
mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang materi pelajaran dengan
mengidentifikasi aspek yang sulit dipahami dan mencari cara untuk mengatasi
kesulitan tersebut.
 Meringkas: Siswa diajarkan untuk membuat ringkasan tentang materi pelajaran
dengan menggunakan kata-kata mereka sendiri. Strategi ini membantu siswa untuk
mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang materi pelajaran dengan
mengorganisir informasi dan mengidentifikasi aspek yang paling penting.

Dengan menggabungkan strategi pembelajaran ini, teori sosiokultural Vygotsky memberikan


pendekatan yang holistik dan efektif dalam membantu siswa membangun pemahaman
mereka tentang materi pelajaran. Hal ini dapat membantu siswa untuk memperoleh
pemahaman yang lebih mendalam dan mempersiapkan mereka untuk sukses di masa depan.

Teori Sosiokultural (Vygotsky) percaya bahwa pembelajaran harus terjadi sebelum


perkembangan dapat terjadi

Secara keseluruhan, teori sosiokultural menekankan pentingnya interaksi sosial, budaya, dan
bahasa dalam membentuk perkembangan kognitif. Ini memiliki implikasi penting untuk
pendidikan, karena menunjukkan bahwa pembelajaran paling efektif ketika berada dalam
konteks sosial dan budaya, dan ketika didukung melalui perancah dan bimbingan dari orang
lain yang lebih berpengetahuan.
DISCOVERY LEARNING (BRUNER)

Discovery Learning berbasis inkuiri guru membimbing/mendorong/membantu siswa untuk


menemukan fakta sendiri

Discovery Learning berpendapat bahwa dasar-dasar mata pelajaran apa pun dapat diajarkan
untuk segala usia mengingat bahwa bahan sesuai usia/tingkat

Discovery Learning menekankan pemodelan

Discovery Learning mengintegrasikan 3 Mode representasi


1. Enactive dimana Orang belajar melalui tindakan motorik
2. Simbolis bahasa matematika musik
3. Ikonik Gambar visual

Pembelajaran Penemuan berpusat pada guru yang menekankan pengaruh lingkungan

Discovery learning atau pembelajaran penemuan adalah teori pembelajaran yang


dikembangkan oleh psikolog pendidikan Jerome Bruner. Bruner mengemukakan bahwa siswa
akan lebih mudah memahami dan mengingat konsep-konsep baru jika mereka diberi
kesempatan untuk menemukan sendiri, daripada hanya menerima penjelasan dari guru.
Discovery learning berbasis inkuiri adalah suatu bentuk pembelajaran yang memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menemukan fakta dan konsep sendiri melalui proses
eksplorasi dan penemuan, dengan bimbingan dan bantuan dari guru. Dalam pendekatan ini,
guru berperan sebagai fasilitator dan membimbing siswa dalam mengembangkan kemampuan
mereka dalam menemukan fakta dan konsep sendiri.

Pada discovery learning berbasis inkuiri, siswa didorong untuk memulai dari
pengamatan dan pertanyaan mereka sendiri, dan melakukan eksperimen dan investigasi untuk
mencari jawaban atas pertanyaan mereka. Siswa dibimbing untuk mengumpulkan data dan
membuat hipotesis berdasarkan observasi mereka, kemudian melakukan eksperimen dan
menguji hipotesis mereka untuk menguji kebenaran dari hipotesis tersebut. Selama proses ini,
guru memberikan bimbingan, dukungan, dan umpan balik untuk membantu siswa dalam
memperoleh pemahaman yang benar. Menurut Bruner, pembelajaran penemuan memiliki tiga
prinsip dasar:

1. Materi pelajaran harus disajikan dalam konteks yang bermakna dan dapat dipahami
oleh siswa. Ini memastikan bahwa siswa memahami konsep dan bagaimana konsep
itu dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
2. Siswa harus diberi kesempatan untuk menemukan sendiri konsep-konsep tersebut
melalui interaksi aktif dengan lingkungan dan bahan pelajaran. Siswa harus diberi
kebebasan untuk mengembangkan hipotesis dan mencari solusi sendiri.
3. Guru berperan sebagai fasilitator dan memberikan bimbingan dan dukungan kepada
siswa selama proses pembelajaran. Guru harus memastikan bahwa siswa
mengembangkan pemahaman yang benar dan membantu mereka untuk mengoreksi
kesalahan dan mengarahkan mereka ke arah yang benar.

Dalam pembelajaran penemuan, siswa diharapkan dapat mengembangkan


keterampilan berpikir kritis, kreativitas, dan kemampuan untuk menyelesaikan masalah.
Selain itu, siswa juga akan lebih termotivasi dan merasa lebih bersemangat dalam belajar
karena mereka memiliki peran yang aktif dalam proses pembelajaran.

Discovery learning Bruner mengintegrasikan tiga mode representasi yang dapat


membantu siswa memahami dan mengingat konsep-konsep baru dengan lebih baik. Ketiga
mode representasi tersebut adalah:

1. Mode Representasi Enaktif: Mode representasi enaktif melibatkan penggunaan


pengalaman langsung dan tindakan fisik untuk mengembangkan pemahaman. Dalam
mode ini, siswa akan menggunakan tubuh mereka untuk mempelajari konsep dan
memperoleh pengalaman langsung dengan melihat, menyentuh, mencicipi, dan
merasakan konsep-konsep tersebut. Misalnya, siswa dapat menggunakan model fisik
untuk mempelajari anatomi manusia, atau melakukan eksperimen untuk mempelajari
reaksi kimia.
2. Mode Representasi Ikonik: Mode representasi ikonik melibatkan penggunaan gambar
dan ilustrasi untuk membantu siswa memvisualisasikan konsep dan memperoleh
pemahaman yang lebih mendalam. Dalam mode ini, siswa akan menggunakan
gambar, diagram, grafik, dan ilustrasi lainnya untuk memahami konsep dan
mengembangkan ide-ide baru. Misalnya, siswa dapat menggunakan gambar-gambar
anatomi manusia untuk mempelajari sistem organ atau menggunakan grafik untuk
mempelajari data statistik.
3. Mode Representasi Simbolik: Mode representasi simbolik melibatkan penggunaan
simbol, kata, dan simbol matematika untuk membantu siswa memahami konsep dan
mengembangkan pemahaman yang lebih abstrak. Dalam mode ini, siswa akan
menggunakan simbol matematika, simbol fisika, dan simbol lainnya untuk memahami
konsep dan mengembangkan pemikiran logis. Misalnya, siswa dapat menggunakan
notasi matematika untuk mempelajari konsep aljabar atau menggunakan simbol fisika
untuk mempelajari konsep mekanika.

Dengan mengajarkan ketiga mode representasi ini, discovery learning Bruner membantu
siswa mengembangkan keterampilan berpikir yang lebih baik, serta membantu mereka dalam
mempelajari konsep-konsep baru dengan lebih mudah dan efektif.

Melalui discovery learning berbasis inkuiri, siswa tidak hanya mengembangkan


pemahaman yang lebih mendalam tentang konsep-konsep dan fakta-fakta yang dipelajari,
tetapi juga mengembangkan keterampilan-keterampilan berpikir kritis, kreativitas, dan
problem-solving. Dalam jangka panjang, kemampuan ini dapat membantu siswa dalam
menghadapi tantangan dunia yang kompleks dan terus berubah.

Discovery learning berpendapat bahwa dasar-dasar mata pelajaran apa pun dapat
diajarkan kepada segala usia, tergantung pada penyampaian bahan yang sesuai dengan usia
dan tingkat kecerdasan siswa. Dalam pendekatan ini, guru perlu menyusun materi pelajaran
dengan cermat dan memilih metode pembelajaran yang tepat agar sesuai dengan kemampuan
dan kebutuhan siswa. Misalnya, materi yang rumit dapat disajikan dalam bentuk sederhana
atau dipecah menjadi beberapa bagian, sehingga lebih mudah dipahami oleh siswa. Selain itu,
guru juga perlu memperhatikan keterampilan dan pengalaman siswa dalam memahami
konsep tertentu, serta mengadaptasi pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan
dan karakteristik individu siswa.
Discovery learning menekankan pada pemodelan karena pemodelan dapat membantu siswa
memahami dan menemukan konsep baru dengan lebih mudah dan efektif. Dalam pemodelan,
guru memperlihatkan contoh konkret atau representasi visual dari konsep yang akan
dipelajari oleh siswa. Dengan memperlihatkan contoh konkret atau representasi visual, siswa
dapat lebih mudah memahami konsep tersebut dan memvisualisasikan bagaimana konsep itu
bekerja dalam situasi yang berbeda. Pemahaman yang didapatkan dari pemodelan dapat
membantu siswa dalam membangun kerangka pemikiran dan konsep yang diperlukan untuk
menemukan dan memahami konsep yang lebih kompleks di kemudian hari. Selain itu,
pemodelan juga dapat membantu siswa untuk menghubungkan konsep-konsep yang berbeda
dalam situasi yang berbeda dan untuk mengembangkan pemikiran yang lebih kreatif dan
inovatif. Dalam pemodelan, guru juga dapat memberikan kesempatan bagi siswa untuk
berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran dengan bertanya, mengeksplorasi, dan
berdiskusi tentang konsep-konsep yang dipelajari. Dengan menekankan pada pemodelan,
discovery learning memberikan kesempatan bagi siswa untuk belajar dengan cara yang lebih
menyenangkan dan interaktif, dan membantu mereka dalam mengembangkan keterampilan-
keterampilan berpikir kritis, kreativitas, dan problem-solving. Hal ini akan membantu siswa
dalam mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan dunia yang kompleks dan terus
berubah di masa depan.

Disamping beberapa kekuatan pembelajaran pentmuan, pembelajaran penemuan


juga memiliki kelemahan, terutama dalam hal waktu. Pembelajaran penemuan dapat
memakan waktu yang lama, karena siswa harus mengembangkan hipotesis dan mencari
solusi sendiri. Selain itu, tidak semua siswa memiliki kemampuan untuk belajar melalui
penemuan sendiri, terutama jika mereka membutuhkan arahan yang jelas dan terstruktur.
Oleh karena itu, penting bagi guru untuk memilih strategi pembelajaran yang tepat untuk
setiap siswa dan situasi pembelajaran yang berbeda.
CONSTRUCTIVISM

Teori Constructivism/Konstruktivisme adalah teori pembelajaran yang menekankan


bahwa pembelajaran terjadi melalui konstruksi aktif oleh individu yang belajar, bukan
melalui penerimaan pasif dari informasi yang diberikan oleh seseorang. Menurut teori ini,
individu membangun pemahaman mereka sendiri melalui interpretasi dan pengalaman
subjektif mereka terhadap dunia. Teori konstruktivisme berpendapat bahwa:
1. pembelajar secara aktif membangun pengetahuan;
2. pembelajar membutuhkan waktu untuk refleksi;
3. pembelajar harus mengambil inisiatif.
Berdsasarkan pendapat tersebut, maka teori konstruktivisme memandang bahwa
individu sebagai agen aktif dalam proses belajar dan menempatkan pentingnya pemikiran
kritis dan refleksi dalam proses pembelajaran. Teori ini juga menekankan pentingnya
pembelajaran melalui pengalaman langsung dan percobaan, serta bahwa pembelajaran terjadi
dalam konteks sosial.
Teori belajar konstruktivisme menempatkan pembelajar sebagai subjek aktif dalam
proses pembelajaran. Dalam pandangan ini, pembelajar memainkan peran yang sangat
penting dalam membangun pengetahuan dan pemahaman mereka sendiri. Menurut teori
konstruktivisme, pembelajaran terjadi ketika individu secara aktif terlibat dalam konstruksi
pengetahuan dan memperoleh pemahaman baru melalui interaksi dengan dunia sekitarnya.
Oleh karena itu, peran pembelajar dalam proses pembelajaran sangatlah penting, karena
mereka harus secara aktif terlibat dalam proses ini dengan melakukan refleksi dan konstruksi
pengetahuan baru dari pengalaman mereka sendiri. Pembelajar juga dianggap memiliki
pengaruh pada proses pembelajaran, karena setiap individu memiliki pengalaman,
kemampuan, dan pemahaman yang unik yang mempengaruhi cara mereka membangun
pengetahuan dan memahami dunia di sekitar mereka
Teori konstruktivisme telah diterapkan dalam berbagai konteks pembelajaran,
seperti pembelajaran berbasis proyek, pembelajaran berbasis kasus, dan pembelajaran
kolaboratif. Teori ini juga telah menjadi dasar untuk pengembangan teknologi pembelajaran,
seperti pembelajaran berbasis komputer dan lingkungan pembelajaran online. Beberapa tokoh
yang mendukung teori Constructivism antara lain Jean Piaget, Lev Vygotsky, Jerome Bruner,
John Dewey, dan Ernst von Glasersfeld.
1. Jean Piaget - Seorang psikolog asal Swiss yang dikenal sebagai bapak konstruktivisme. Ia
menekankan pentingnya pembelajaran melalui pengalaman langsung dan percobaan, serta
bahwa pembelajaran terjadi melalui konstruksi aktif oleh individu yang belajar.
2. Lev Vygotsky - Seorang psikolog asal Rusia yang mengembangkan teori Zone of
Proximal Development (ZPD), yang menyatakan bahwa siswa membutuhkan bantuan dan
dukungan untuk mencapai potensi belajar mereka yang penuh. Vigotsky juga
menekankan pentingnya interaksi sosial dalam proses belajar.
3. Jerome Bruner - Seorang psikolog dan pendidik asal Amerika Serikat yang
mengembangkan teori belajar dengan cara discovery, yaitu cara belajar di mana siswa
menemukan dan membangun pemahaman mereka sendiri melalui interaksi dengan
lingkungan belajar.
4. John Dewey - Seorang filsuf dan pendidik asal Amerika Serikat yang menekankan
pentingnya belajar melalui pengalaman dan refleksi. John Dewey juga menekankan
bahwa pembelajaran harus relevan dan berguna bagi siswa.
5. Ernst von Glasersfeld - Seorang filsuf dan pendidik asal Austria yang mengembangkan
konsep konstruksi realitas, yaitu gagasan bahwa individu membangun pengetahuan
mereka sendiri melalui interpretasi dan pengalaman subjektif mereka terhadap dunia.

Berdasarkan beberapa pendapat tokoh tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa


tokoh tersebut sangat mendukung terhadap karaktersitik dari teori belajar konstruktivisme.
Beberapa aspek kunci dari teori konstruktivisme antara lain:
1. Dialog aktif 2 arah (2 way active dialogue)
Konsep 2 way active dialogue dalam teori konstruktivisme mengacu pada dialog
yang terjadi antara guru dan siswa yang dirancang untuk mempromosikan konstruksi
bersama pengetahuan dan pemahaman. Dalam pandangan konstruktivisme, dialog adalah
alat penting untuk membantu siswa membangun pengetahuan mereka sendiri. Konsep 2
way active dialogue, guru bertindak sebagai fasilitator yang membantu siswa
memperoleh pengalaman yang relevan dan memfasilitasi proses refleksi dan konstruksi
pengetahuan. Guru juga membantu siswa mengidentifikasi dan memperjelas pemahaman
mereka dan memfasilitasi pemahaman kolaboratif yang lebih mendalam. Siswa juga
berperan aktif dalam dialog ini, dengan memberikan masukan dan bertanya pertanyaan
yang relevan untuk membantu mereka membangun pemahaman yang lebih baik. Dalam
pandangan Constructivism, siswa harus secara aktif terlibat dalam konstruksi
pengetahuan dan pemahaman mereka sendiri, dan 2 way active dialogue dapat membantu
memfasilitasi proses ini.
Tujuan dari 2 way active dialogue adalah untuk menciptakan lingkungan
pembelajaran yang saling mendukung dan mempromosikan pembelajaran yang efektif.
Dengan membantu siswa membangun pengetahuan mereka melalui dialog, guru dapat
memfasilitasi pembelajaran yang lebih efektif dan membantu siswa mencapai
pemahaman yang lebih dalam dan bermakna.

2. Orang belajar melalui partisipasi aktif dan pemecahan masalah

Dalam pandangan konstruktivisme, pembelajar memainkan peran yang sangat


penting dalam membangun pengetahuan dan pemahaman mereka sendiri. Oleh karena
itu, pembelajaran melalui partisipasi aktif dan pemecahan masalah dianggap sebagai cara
yang efektif untuk membantu siswa membangun pengetahuan dan pemahaman mereka.
Melalui partisipasi aktif dalam pembelajaran, siswa diberi kesempatan untuk
secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran dan membangun pemahaman baru
melalui pengalaman mereka sendiri. Dalam proses ini, siswa juga diberi kesempatan
untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah yang kompleks, yang dapat membantu
memperkuat pemahaman mereka tentang konsep yang terkait.
Dalam teori konstruktivisme, guru berperan sebagai fasilitator dan membantu
siswa membangun pengetahuan mereka melalui pengalaman dan pemecahan masalah
yang relevan. Menurut teori konstruktivisme, guru bukan hanya sebagai sumber
pengetahuan, tetapi juga sebagai fasilitator pembelajaran yang membantu siswa
membangun pengetahuan mereka melalui partisipasi aktif dan pemecahan masalah.

3. Belajar terjadi dalam konteks sosial


Pembelajaran tidak hanya terjadi melalui interaksi dengan dunia fisik, tetapi
juga melalui interaksi dengan orang lain dalam lingkungan sosial. Dalam konteks sosial
ini, individu dapat berbagi pengalaman dan ide-ide mereka, serta membangun
pemahaman bersama melalui diskusi dan kolaborasi.
Oleh karena itu, guru dan teman sebaya dianggap sebagai sumber pengetahuan
dan sumber pembelajaran yang penting dalam teori Constructivism. Siswa dapat
memperoleh pemahaman baru melalui interaksi sosial dan kolaborasi dengan orang lain
dalam lingkungan sosial, yang membantu mereka membangun pengetahuan mereka
sendiri dan memperdalam pemahaman mereka tentang dunia sekitarnya.
Dalam konteks sosial ini, Constructivism juga menekankan pentingnya
pembelajaran melalui pemecahan masalah yang relevan dengan kehidupan sehari-hari.
Siswa diajak untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang menantang dan memecahkan
masalah yang memerlukan kerja sama dan kolaborasi dengan orang lain. Hal ini
membantu siswa membangun pemahaman yang lebih mendalam dan lebih bermakna
tentang konsep yang terkait dan memperkuat pemahaman mereka melalui interaksi sosial
dengan orang lain.
4. Setiap orang membentuk representasi pengetahuannya sendiri
Menurut Constructivism, individu tidak hanya menerima pengetahuan dari
lingkungan atau sumber lain secara pasif, tetapi mereka aktif membangun pemahaman
mereka sendiri melalui pengalaman, refleksi, dan interaksi sosial. Setiap individu
memiliki perspektif dan latar belakang yang berbeda, dan karena itu, mereka akan
membangun representasi pengetahuan mereka sendiri yang unik.
Dalam teori Constructivism, konstruksi pengetahuan individu juga dipengaruhi
oleh pengalaman sebelumnya, kepercayaan, nilai, dan pemahaman mereka yang ada
sebelumnya. Proses konstruksi pengetahuan ini terjadi melalui refleksi, eksplorasi, dan
pengujian ide-ide baru melalui interaksi sosial dan pengalaman langsung dengan
lingkungan.
Oleh karena itu, dalam konteks pembelajaran, Constructivism menekankan
pentingnya siswa membangun representasi pengetahuan mereka sendiri melalui
pengalaman langsung, partisipasi aktif, dan interaksi sosial. Guru berperan sebagai
fasilitator dalam membantu siswa membangun pengetahuan mereka dengan memberikan
kesempatan untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang menantang dan relevan dengan
kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat membantu siswa membangun representasi
pengetahuan mereka sendiri dan memperkuat pemahaman mereka tentang konsep yang
terkait.
Selain itu teori konstruktivisme juga mendukung penggunaan metakognisi (reflexive
cognition), pembelajaran berbasis kasus (case-based learning), kerjasama dan kolaborasi
(cooperative dan collaborative). Teori konstruktivisme juga telah diterapkan dalam berbagai
konteks pembelajaran, seperti:
1. Metakognisi (reflexive cognition)
Pada teori konstruktivisme, metacognition atau refleksi kognitif adalah proses
refleksi yang dilakukan oleh individu terhadap pengalaman belajarnya sendiri, untuk
membangun pengetahuan dan memperkuat pemahaman mereka sendiri tentang konsep
dan situasi tertentu. Metacognition melibatkan pemahaman individu tentang cara mereka
memahami, mengingat, dan memproses informasi. Melalui proses ini, individu dapat
memahami proses belajar mereka sendiri dan mengembangkan strategi yang efektif
untuk memperkuat pemahaman mereka tentang materi yang sedang dipelajari.
Pada konteks pembelajaran, metacognition memainkan peran penting dalam
memungkinkan siswa untuk mengambil kontrol atas pembelajaran mereka sendiri dan
membangun pengetahuan mereka sendiri. Siswa yang memiliki kemampuan
metakognitif yang baik dapat memonitor dan merefleksikan pemahaman mereka,
mengidentifikasi kesulitan yang mereka hadapi, dan mencari cara untuk mengatasi
tantangan tersebut. Melalui metode pembelajaran yang berbasis konstruktivisme seperti
PBL dan Case-based learning, siswa diajak untuk membangun pengetahuan mereka
sendiri melalui pengalaman langsung dan interaksi sosial. Melalui proses ini, siswa dapat
terlibat dalam refleksi kognitif dan memperkuat pemahaman mereka tentang konsep
yang terkait.
2. Pembelajaran berbasis kasus (case-based learning)
Case-based learning atau pembelajaran berbasis kasus adalah metode
pembelajaran yang juga sesuai dengan teori konstruktivisme. Pada pendekatan case-
based learning, siswa diberi sebuah kasus yang berisi sebuah situasi yang kompleks dan
menantang untuk dipecahkan. Kasus tersebut bisa berupa kasus nyata atau fiksi yang
mewakili sebuah masalah atau tantangan di dunia nyata. Pada kasus ini, siswa diminta
untuk berpikir kritis, menganalisis, dan menemukan solusi untuk masalah yang dihadapi
dalam kasus tersebut. Siswa harus mengumpulkan informasi, mempertimbangkan
berbagai opsi, dan membangun pemahaman mereka sendiri tentang masalah tersebut.
Case-based learning memungkinkan siswa untuk membangun pengetahuan mereka
sendiri melalui pengalaman langsung dan partisipasi aktif dalam pembelajaran. Dalam
hal ini, siswa diminta untuk mengambil tanggung jawab atas pembelajaran mereka
sendiri dan terlibat dalam proses membangun pemahaman mereka sendiri.
Selain itu, case-based learning juga memungkinkan siswa untuk belajar melalui
pengalaman sosial, karena mereka diharapkan bekerja sama dengan rekan mereka dalam
diskusi dan analisis kasus. Hal ini dapat membantu siswa memperoleh perspektif yang
berbeda dan memperkuat pemahaman mereka melalui interaksi sosial dengan orang lain.
3. Kerjasama dan Kolaborasi (cooperative dan collaborative)
Kerja sama dan kolaborasi sangat penting dalam pembelajaran berbasis
konstruktivisme karena membantu siswa membangun pengetahuan mereka sendiri
melalui pengalaman sosial dan interaksi dengan rekan mereka. Dalam kerja sama, siswa
dapat belajar dari pengalaman satu sama lain dan memperkuat pemahaman mereka
tentang materi yang sedang dipelajari. Dalam kolaborasi, siswa dapat menggabungkan
pemikiran mereka sendiri dan memperkaya pemahaman mereka tentang konsep yang
terkait dengan pembelajaran.
Pada pembelajaran yang berbasis konstruktivisme seperti PBL dan case-based
learning, kerja sama dan kolaborasi menjadi aspek yang sangat penting. Dalam PBL,
siswa bekerja dalam kelompok untuk menyelesaikan proyek yang diberikan. Dalam hal
ini, siswa saling berbagi informasi, pengalaman, dan sumber daya untuk mencapai tujuan
bersama. Pada case-based learning, siswa diajak untuk memecahkan kasus dengan
bekerja sama dalam kelompok untuk menganalisis kasus dan mencari solusi. Dalam hal
ini, siswa dapat berdiskusi dan bekerja sama untuk mengidentifikasi informasi yang
relevan dan mengembangkan solusi yang efektif. Kerja sama dan kolaborasi membantu
siswa untuk memperkuat pemahaman mereka tentang materi yang sedang dipelajari
melalui interaksi sosial dan pengalaman langsung.
4. Pembelajaran Berbasis Proyek (Project based Learning)
Project Based Learning (PjBL) merupakan salah satu pendekatan pembelajaran
yang sesuai dengan teori konstruktivisme. Pendekatan ini menekankan pada
pembelajaran melalui pengalaman langsung dan konstruksi pengetahuan melalui proyek
atau tugas yang kontekstual dan relevan. Melalui PjBL, peserta didik diajak untuk
berpikir kritis, berkolaborasi, dan mengembangkan keterampilan sosial serta pemecahan
masalah secara aktif. Pada teori konstruktivisme, individu dianggap sebagai pembangun
aktif pengetahuan mereka sendiri melalui interpretasi dan pengalaman subjektif mereka
terhadap dunia.
Pendekatan PjBL, memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk belajar
melalui pengalaman langsung dalam konteks yang relevan dan bermakna. Proyek atau
tugas yang diberikan dirancang agar mencerminkan tantangan dunia nyata yang
kompleks dan membutuhkan pemecahan masalah. Melalui proses ini, peserta didik
belajar untuk menghubungkan pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki dan
mengaplikasikannya dalam konteks nyata.
Selain itu, PjBL juga menekankan pada pembelajaran melalui kolaborasi dan
interaksi sosial antarpeserta didik. Melalui kerja sama dalam proyek atau tugas, peserta
didik dapat saling membangun pengetahuan, berdiskusi, dan menyelesaikan masalah
secara bersama-sama. Hal ini sesuai dengan teori konstruktivisme yang menempatkan
pembelajaran dalam konteks sosial dan kultural.
Kelebihan dari PjBL adalah peserta didik juga diajak untuk berpikir kritis dan
reflektif terhadap proses pembelajaran mereka. Melalui proses ini, peserta didik dapat
mengevaluasi pemahaman mereka dan mengidentifikasi kekuatan serta kelemahan dalam
pemecahan masalah. Hal ini juga sesuai dengan prinsip-prinsip teori konstruktivisme
yang menekankan pada pemikiran kritis dan refleksi dalam pembelajaran.
5. Cognitive Appreticeship
Cognitive apprenticeship adalah sebuah model pengajaran dan pembelajaran
yang berfokus pada pengembangan keahlian melalui pembelajaran yang mirip dengan
magang atau magang dalam suatu profesi. Pendekatan ini didasarkan pada model
magang tradisional, di mana seorang ahli terampil bekerja sama dengan seorang pemula
untuk mengajarkan keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk suatu
perdagangan atau profesi tertentu. Dalam cognitive apprenticeship, fokusnya adalah pada
pengembangan keahlian dalam keterampilan kognitif, seperti pemecahan masalah,
berpikir kritis, dan pengambilan keputusan. Pendekatan ini bertujuan untuk menciptakan
lingkungan di mana peserta didik dapat mengembangkan keterampilan mereka melalui
observasi, praktik, dan umpan balik, dengan bimbingan dan dukungan dari seorang ahli.
Kemampuan cognitive apprenticeship adalah kemampuan untuk
mengembangkan keterampilan kognitif yang kompleks melalui pendekatan pembelajaran
cognitive apprenticeship. Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk memecahkan
masalah, berpikir kritis, mengambil keputusan, dan keterampilan kognitif lainnya yang
dibutuhkan dalam profesi atau bidang tertentu. Pendekatan cognitive apprenticeship
bertujuan untuk menciptakan lingkungan pembelajaran di mana peserta didik dapat
mengembangkan keterampilan mereka melalui observasi, praktik, dan umpan balik,
dengan bimbingan dan dukungan dari seorang ahli. Dalam pendekatan ini, peserta didik
belajar dengan cara mengamati dan terlibat dalam tugas kognitif yang diarahkan oleh
ahli, yang memberikan bimbingan, umpan balik, dan dukungan ketika dibutuhkan.
Pendekatan cognitive apprenticeship, menerapkab beberapa strategi penting
yang digunakan untuk membantu peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran
mereka. Beberapa strategi ini diantaranya coaching, modeling, fading, dan ZPD (Zone of
Proximal Development).
1. Coaching: Coaching merupakan salah satu strategi kunci dalam pendekatan cognitive
apprenticeship. Ini melibatkan memberikan umpan balik, bimbingan, dan dukungan
kepada peserta didik ketika mereka terlibat dalam tugas kognitif. Ahli atau mentor
memberikan bimbingan dan umpan balik tentang kemajuan peserta didik, dan
membantu mereka mengembangkan keterampilan mereka dan mencapai tujuan
pembelajaran.
2. Modeling: Modeling melibatkan ahli atau mentor menunjukkan keterampilan atau
proses kognitif yang diinginkan kepada peserta didik. Ahli menunjukkan contoh dan
penjelasan tentang pendekatan mereka dalam berpikir dan memecahkan masalah,
sehingga peserta didik dapat mengikuti dan memahami cara kerja ahli tersebut.
3. Fading: Fading adalah proses di mana ahli atau mentor secara bertahap menarik
dukungan mereka ketika peserta didik menjadi lebih terampil dan percaya diri. Ini
dapat meliputi mengurangi jumlah bimbingan dan umpan balik yang diberikan oleh
ahli, sehingga peserta didik menjadi lebih mandiri dan dapat menyelesaikan tugas
dengan lebih sedikit bantuan.
4. ZPD (Zone of Proximal Development): ZPD mengacu pada rentang keterampilan
yang dapat dikembangkan oleh peserta didik dengan bantuan ahli atau mentor. ZPD
melibatkan memberikan tugas yang sesuai dengan kemampuan peserta didik, namun
juga menantang mereka untuk berkembang lebih jauh. Dalam ZPD, peserta didik
menerima bimbingan dan dukungan dari ahli atau mentor untuk mengembangkan
keterampilan mereka, sehingga mereka dapat mencapai tujuan pembelajaran mereka
secara lebih efektif.

Dengan menggunakan strategi coaching, modeling, fading, dan ZPD,


pendekatan cognitive apprenticeship membantu peserta didik mengembangkan
keterampilan kognitif yang kompleks dengan cara yang efektif dan efisien. cognitive
apprenticeship juga memposisikan bahwa pengetahuan diperoleh melalui praktik
langsung dan tindakan yang bermakna, maka hal ini sesuai dengan pendapat David
Ausubel tentang belajar bermakna. Selain itu pendekatan cognitive apprenticeship juga
mendukung lahirnya teori belajar Situated Cognition.
SITUATED COGNITION
Teori situated cognition (situasi kognitif)/Kontekstual dikembangkan oleh Jean Lave
seorang antropolog dan pendidik yang meneliti tentang bagaimana pengetahuan diproduksi
dan digunakan dalam konteks sosial dan budaya tertentu. Menurut Lave (1988) situated
cognition menekankan bahwa pembelajaran bukan hanya tentang menerima informasi tetapi
juga melibatkan proses sosial dan budaya. Oleh karena itu, konteks sosial dan budaya di
mana individu belajar sangat penting untuk memahami bagaimana pengetahuan diperoleh dan
digunakan. Teori ini berpandangan bahwa pengetahuan dan pemahaman dipengaruhi oleh
situasi dan konteks di mana mereka diperoleh. Situasi atau konteks yang terlibat dalam
pembelajaran harus memiliki relevansi dengan penggunaan pengetahuan di dunia nyata.
Dengan demikian, pendekatan pembelajaran yang berbasis situasi atau kontekstual lebih
efektif dalam memfasilitasi pemahaman dan penerapan pengetahuan.
Lave (1988) juga berpendapat bahwa pengetahuan dan pemahaman hanya dapat
dipahami dalam konteks praktik atau situasi yang terlibat dalam penggunaannya. Artinya,
individu belajar dan mengembangkan pengetahuan mereka melalui partisipasi aktif (learning
as participation) dalam situasi nyata (learning in context). Teori ini juga berpendapat bahwa
pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari situasi di mana ia digunakan, dan bahwa belajar
harus dilakukan dalam situasi yang memiliki relevansi dengan penggunaan pengetahuan
tersebut di dunia nyata.Teori situated cognition juga berpendapat bahwa pengetahuan
diperoleh melalui praktik hidup dan tindakan yang bermakna.
Teori situated cognition menekankan pada pentingnya pengalaman langsung dalam
pembelajaran dan menyatakan bahwa pengetahuan tidak dapat dipindahkan secara langsung
dari satu situasi ke situasi lain. Oleh karena itu, teori ini menyarankan pendekatan
pembelajaran yang lebih kontekstual dan berbasis situasi, seperti belajar melalui simulasi atau
proyek yang memiliki relevansi langsung dengan kehidupan nyata. Teori ini memiliki
dampak besar pada pendidikan dan pelatihan, karena menunjukkan pentingnya konteks dan
pengalaman dalam belajar. Teori situated cognition juga telah diterapkan dalam berbagai
bidang, termasuk psikologi kognitif, linguistik, dan antropologi.
Lave (1988) juga mengatakan bahwa situated cognition dapat dieksplorasi melalui
learning as participation atau pembelajaran terjadi melalui partisipasi aktif bagi individu
(individuals), komunitas (communities) atau organisasi (organization). Hubungan antara
learning as participation untuk individu, komunitas, dan organisasi dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Individuals: learning as participation menekankan bahwa individu belajar melalui
partisipasi aktif mereka dalam aktivitas dan komunitas praktik. Dengan berpartisipasi
secara aktif, individu dapat membangun pemahaman yang lebih baik tentang praktik dan
nilai-nilai yang terkait dengan aktivitas tersebut, serta mengembangkan keterampilan dan
pengetahuan yang diperlukan untuk berpartisipasi lebih aktif di masa depan. Dalam
konteks ini, individu dianggap sebagai pelaku utama dalam proses pembelajaran, dan
partisipasi mereka dalam aktivitas dan komunitas praktik sangat penting untuk
membangun pemahaman yang lebih baik dan mengembangkan keterampilan yang
diperlukan.
2. Communities: learning as participation juga menekankan pentingnya komunitas praktik
dalam proses pembelajaran. Komunitas praktik menyediakan lingkungan yang aman dan
mendukung untuk individu belajar dan mengembangkan keterampilan dan pengetahuan
mereka. Dalam komunitas praktik, individu dapat berbagi pengalaman, pengetahuan, dan
keterampilan dengan sesama anggota komunitas, dan membangun pemahaman bersama
tentang praktik dan nilai-nilai yang terkait dengan aktivitas tersebut. Melalui partisipasi
aktif dalam komunitas praktik, individu juga dapat membangun hubungan sosial yang
kuat dan memperluas jaringan kontak mereka.
3. Organizations: learning as participation juga memiliki implikasi penting untuk
organisasi. Organisasi dapat memanfaatkan konsep ini dengan membangun lingkungan
kerja yang mendukung partisipasi aktif karyawan dalam aktivitas dan komunitas praktik
yang terkait dengan pekerjaan mereka. Dengan memberikan kesempatan kepada
karyawan untuk belajar melalui partisipasi aktif dalam aktivitas dan komunitas praktik,
organisasi dapat meningkatkan keterampilan dan pengetahuan karyawan, meningkatkan
motivasi dan keterlibatan mereka, dan meningkatkan produktivitas dan kualitas
pekerjaan. Dalam hal ini, organisasi dapat memanfaatkan learning as participation untuk
meningkatkan kinerja dan inovasi mereka.

Teori situated cognition menurut Jean Lave memanfaatkan konsep communities of


practice dalam memahami dan menerapkan pembelajaran yang berbasis situasi atau
kontekstual. Communities of practice mengacu pada kelompok orang yang saling berinteraksi
dan berbagi pengetahuan, keahlian, dan pengalaman dalam konteks tertentu. Lave juga
mengatakan bahwa communities of practice merupakan lingkungan yang ideal untuk
memfasilitasi pembelajaran yang berbasis situasi/kontekstual. Dalam komunitas praktik,
anggota dapat berpartisipasi secara aktif dalam situasi nyata dan belajar melalui pengalaman
langsung dan refleksi kolaboratif. Melalui partisipasi dalam komunitas praktik, anggota dapat
memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan dan tujuan
mereka. Selain itu, komunitas praktik juga dapat memfasilitasi transfer pengetahuan dan
keterampilan antara anggota yang berbeda.
Dalam konteks pendidikan, pemanfaatan communities of practice dapat
meningkatkan efektivitas pembelajaran dan memberikan pengalaman yang lebih nyata bagi
siswa. Selain itu dengan adanya komunitas praktik yang tepat dapat membuat siswa belajar
melalui pengalaman langsung dan refleksi kolaboratif, serta mendapatkan kesempatan untuk
menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang mereka pelajari dalam konteks praktis dan
membangun keterampilan dan pengetahuan yang relevan dengan dunia nyata.
Proses untuk membangun communities of practice menurut teori situated cognition
Jean Lave meliputi beberapa tahapan, antara lain:
1. Identifikasi komunitas praktik yang relevan: Langkah pertama adalah mengidentifikasi
komunitas praktik yang relevan dengan topik atau konteks pembelajaran yang ingin
dipelajari. Komunitas praktik dapat ditemukan di berbagai tempat, seperti di tempat kerja,
organisasi, kelompok masyarakat, atau online.
2. Partisipasi periferal yang sah: Langkah selanjutnya adalah menjadi bagian dari komunitas
praktik melalui partisipasi periferal yang sah. Dalam peran periferal, individu dapat
mengamati dan mempelajari praktik-praktik yang diterapkan oleh anggota lain dalam
komunitas, serta membangun keterampilan dan pengetahuan yang relevan dengan konteks
praktik.
3. Bertindak sebagai anggota penuh: Setelah menjadi bagian dari komunitas praktik melalui
partisipasi periferal yang sah, individu dapat secara bertahap menjadi anggota penuh
dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh melalui pengalaman praktik. Hal
ini dapat terjadi ketika individu secara aktif berpartisipasi dalam praktik-praktik yang ada
dalam komunitas praktik.
4. Membangun jaringan dan hubungan sosial: Selama proses membangun komunitas
praktik, individu juga dapat membangun jaringan dan hubungan sosial dengan anggota
lain dalam komunitas. Hubungan ini dapat membantu dalam transfer pengetahuan dan
keterampilan antara anggota, serta memfasilitasi refleksi kolaboratif dan pembelajaran
yang lebih dalam.
Lave & Wengger (1991) juga berpendapat bahwa untuk membangun communities of
practice yang tepat memerlukan tiga konsep yang saling terkait, dimana ketiganya dapat
saling membantu untuk memfasilitasi pembelajaran yang berbasis situasi dan membangun
pengetahuan dan keterampilan yang relevan dengan dunia nyata. Ketiga konsep tersebut
adalah joint enterprise (usaha bersama), shared repertoire (repertoar bersama/berbagi) dan
all participans are changed through mutual engagement (semua peserta diubah melalui
keterlibatan timbal balik). Ketiga konsep ini mengacu pada cara individu dapat bekerja sama
dalam suatu tugas atau aktivitas dalam konteks komunitas praktik, serta menggunakan
pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki secara bersama-sama.
Joint enterprise mengacu pada usaha bersama individu dalam mencapai tujuan atau
melakukan tugas dalam suatu komunitas praktik, dengan menggunakan pengetahuan dan
keterampilan yang dimilikinya secara bersama-sama. Shared repertoire mengacu pada
pengetahuan, keterampilan, dan praktik yang dipertukarkan dan digunakan secara bersama-
sama dalam konteks komunitas praktik. Sedangkan all participants are changed through
mutual engagement mengacu pada perubahan yang terjadi pada semua anggota komunitas
praktik melalui keterlibatan dan kolaborasi mereka dalam suatu tugas atau aktivitas.
Ketika individu terlibat dalam joint enterprise dan menggunakan shared repertoire
dalam konteks komunitas praktik, mereka berpartisipasi dalam proses pembelajaran yang
berbasis situasi. Proses ini memungkinkan individu untuk belajar dan mengembangkan
pengetahuan dan keterampilan yang relevan dengan konteks praktik. Melalui keterlibatan dan
kolaborasi dalam suatu tugas atau aktivitas, semua anggota komunitas praktik saling
mempengaruhi dan memperkaya satu sama lain. Proses ini memungkinkan semua anggota
komunitas praktik untuk berpartisipasi dalam pembelajaran yang berbasis situasi dan
membangun pengetahuan dan keterampilan yang relevan dengan dunia nyata.
Selain ketiga konsep yang telah disebutkan, Teori situated cognition juga
memanfaatkan 2 (dua) konsep yang sangat penting dalam mewujudkan partisipasi individu
dari waktu ke waktu (individual's participation over time), yaitu konsep Legitimate
peripheral participation (LPP) dan learning trajectory. Legitimate peripheral participation
(LPP) yang mengacu pada cara individu baru terlibat dalam komunitas praktik melalui
partisipasi perifer atau peran yang kurang penting pada awalnya. Melalui partisipasi ini,
individu baru dapat mempelajari dan mempraktikkan keterampilan dan pengetahuan dasar,
serta membangun pemahaman tentang norma, nilai, dan praktik yang terkait dengan
komunitas praktik.
Sementara itu, learning trajectory merujuk pada jalur perkembangan atau progresi
pembelajaran individu dalam komunitas praktik. Hal ini mencakup peran dan keterlibatan
yang semakin kompleks dan berpengaruh dalam aktivitas dan tugas komunitas praktik, serta
pengembangan keterampilan dan pengetahuan yang semakin kompleks dan beragam. Dalam
teori situated cognition Jean Lave, LPP adalah langkah awal dalam learning trajectory
individu di dalam komunitas praktik. Dengan demikian, individu baru yang mengalami LPP
akan bergerak menuju learning trajectory yang melibatkan keterlibatan yang semakin
signifikan dalam tugas dan aktivitas komunitas praktik, serta pengembangan keterampilan
dan pengetahuan yang semakin kompleks dan beragam.
Konsep "individual's participation over time" atau partisipasi individu dari waktu ke
waktu, dalam teori situated cognition dijelaskan melalui lima istilah yang berkaitan dengan
posisi individu dalam komunitas praktik, yaitu:
1. Peripheral: Posisi perifer merujuk pada partisipasi individu yang terbatas dalam
komunitas praktik. Individu dalam posisi perifer biasanya memiliki akses terbatas ke
praktik dan sumber daya komunitas, dan sering kali hanya berpartisipasi dalam aktivitas
tertentu dalam situasi tertentu.
2. Inbound: Posisi inbound merujuk pada individu yang semakin terlibat dalam komunitas
praktik dan memiliki akses lebih besar ke sumber daya dan aktivitas yang terkait dengan
praktik tersebut. Individu dalam posisi inbound biasanya memiliki keterampilan dan
pengetahuan dasar yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam aktivitas tersebut.
3. Insider: Posisi insider merujuk pada individu yang memiliki partisipasi yang lebih aktif
dalam komunitas praktik dan memiliki akses penuh ke sumber daya dan aktivitas yang
terkait dengan praktik tersebut. Individu dalam posisi insider biasanya memiliki
keterampilan dan pengetahuan yang lebih baik tentang praktik dan dapat berpartisipasi
dalam berbagai aktivitas dalam situasi yang berbeda.
4. Boundary: Posisi boundary merujuk pada individu yang berada di antara posisi insider
dan outbound. Individu dalam posisi boundary dapat berpartisipasi dalam beberapa
aktivitas yang terkait dengan praktik, tetapi juga memiliki akses ke sumber daya di luar
komunitas praktik.
5. Outbound: Posisi outbound merujuk pada individu yang tidak lagi terlibat dalam
komunitas praktik. Individu dalam posisi outbound mungkin telah memperoleh
keterampilan dan pengetahuan yang cukup dari praktik dan telah memutuskan untuk
menjalani aktivitas atau bergabung dengan komunitas praktik lain.
Dengan memahami posisi individu dalam komunitas praktik melalui lima istilah di
atas, kita dapat memahami bahwa partisipasi individu dalam aktivitas dan komunitas praktik
selama periode waktu tertentu dapat ditentukan oleh faktor-faktor tersebut.
ACTIVITY THEORY

Activity theory atau teori aktivitas dikembangkan oleh sekelompok ahli psikologi
Soviet, terutama oleh Lev Vygotsky, Aleksandr Luria, dan Aleksei Leontiev. Menurut
Vygotsky (1978) activity theory adalah sebuah kerangka teoritis yang menjelaskan
bagaimana aktivitas manusia mempengaruhi perkembangan psikologis dan sosial. Menurut
Vygotsky, aktivitas manusia terdiri dari tiga komponen utama: subjek, objek, dan lingkungan.
Subjek adalah individu yang melakukan aktivitas, objek adalah tujuan atau hasil yang ingin
dicapai oleh subjek, dan lingkungan adalah konteks di mana aktivitas tersebut terjadi.
Vygotsky juga mengidentifikasi dua jenis aktivitas manusia: aktivitas yang
dilakukan secara individual dan aktivitas yang dilakukan secara sosial. Aktivitas yang
dilakukan secara individual melibatkan proses pemecahan masalah atau pencapaian tujuan
oleh individu secara mandiri. Sedangkan aktivitas yang dilakukan secara sosial melibatkan
interaksi antara individu dan lingkungannya, yang dapat berupa interaksi dengan orang lain
atau dengan alat dan teknologi. Vygotsky jugan berpendapat bahwa aktivitas manusia selalu
terjadi dalam konteks sosial dan budaya tertentu. Oleh karena itu, Vygotsky menekankan
pentingnya faktor sosial, budaya, dan sejarah dalam mempengaruhi perkembangan manusia.
Vygotsky juga mengemukakan bahwa perkembangan individu tidak terjadi secara linier,
melainkan melalui proses yang kompleks dan saling terkait antara aktivitas, pemikiran, dan
bahasa.
Teori aktivitas Vygotsky sangat berguna untuk analisis dan desain teknologi untuk
HCI/Human-Computer Interaction (interaksi manusia-komputer) karena teori ini menekankan
pentingnya konteks sosial, budaya, dan sejarah dalam aktivitas manusia. Ini dapat membantu
dalam memahami cara pengguna akan berinteraksi dengan teknologi dalam konteks tertentu,
dan bagaimana teknologi dapat dirancang untuk memfasilitasi aktivitas pengguna yang lebih
baik. Dalam HCI, teori aktivitas dapat membantu dalam memahami aktivitas pengguna dalam
konteks tertentu, seperti pekerjaan, pendidikan, atau kehidupan sehari-hari. Teori ini juga
dapat membantu dalam memahami bagaimana teknologi dapat digunakan untuk
memfasilitasi aktivitas pengguna dalam konteks sosial dan budaya tertentu. Contohnya,
desain antarmuka pengguna (UI/User Interface) yang efektif harus mempertimbangkan
bagaimana pengguna akan berinteraksi dengan teknologi dalam konteks aktivitas mereka. UI
yang baik harus mudah digunakan dan intuitif, sehingga pengguna dapat dengan mudah
menyelesaikan tugas atau mencapai tujuan mereka dengan menggunakan teknologi. Selain
itu, teori aktivitas Vygotsky juga menekankan pentingnya mediasi dalam aktivitas manusia,
yang dapat berupa penggunaan alat atau teknologi. Ini dapat membantu dalam memahami
bagaimana teknologi dapat berperan sebagai alat mediasi dalam aktivitas pengguna, dan
bagaimana teknologi dapat digunakan untuk memperluas atau meningkatkan kemampuan
pengguna dalam melakukan aktivitas tertentu.
Teori aktivitas Vygotsky menekankan bahwa aktivitas manusia tidak dapat
dipisahkan dari konteks sosial, budaya, dan sejarah di mana aktivitas tersebut terjadi. Dalam
teori ini, aktivitas dianggap sebagai proses yang kompleks dan terdiri dari beberapa
komponen terkait, seperti subjek, objek, dan lingkungan. Oleh karena itu, kegiatan selalu
terjadi dalam konteks tertentu, dan tidak mungkin dipisahkan dari konteks tersebut. Vygotsky
(1978) berpendapat bahwa aktivitas manusia selalu terjadi dalam konteks sosial dan budaya
tertentu, dan bahwa faktor-faktor ini sangat mempengaruhi bagaimana aktivitas tersebut
dilakukan dan diinterpretasikan. Misalnya, aktivitas bekerja di kantor akan berbeda dari
aktivitas bermain game di rumah karena konteksnya yang berbeda, dan lingkungan serta
tujuan dari aktivitas tersebut juga berbeda.
Lebih lanjut, Vygotsky juga menekankan bahwa penggunaan alat atau teknologi
merupakan bentuk mediasi dalam aktivitas manusia. Penggunaan alat atau teknologi dapat
mempengaruhi cara pengguna melakukan aktivitas dan membantu dalam mencapai tujuan
yang ingin dicapai. Namun, penggunaan alat atau teknologi juga harus dipertimbangkan
dalam konteks sosial dan budaya tertentu. Dalam HCI (interaksi manusia-komputer), teori
aktivitas Vygotsky menunjukkan bahwa desain teknologi harus mempertimbangkan konteks
sosial, budaya, dan aktivitas pengguna dalam penggunaan teknologi. Teknologi harus
dirancang untuk memfasilitasi aktivitas pengguna dengan cara yang efektif dan relevan untuk
konteks aktivitas mereka.
Teori aktivitas Vygotsky berfokus pada analisis aktivitas manusia dalam konteks
sosial, budaya, dan sejarah. Teori ini menekankan pentingnya memahami bagaimana aktivitas
manusia dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut, dan bagaimana aktivitas dapat diatur melalui
mediasi dan penggunaan alat atau teknologi.
Namun, teori aktivitas Vygotsky juga memiliki keterbatasan dalam menjelaskan
perilaku yang tidak dapat diprediksi atau perubahan kondisi. Teori ini tidak dapat mengatasi
situasi yang tidak dapat diprediksi, atau perubahan yang mungkin terjadi dalam konteks
aktivitas. Misalnya, jika ada perubahan mendadak dalam konteks aktivitas, seperti situasi
darurat atau kejadian tak terduga, teori aktivitas mungkin tidak dapat menjelaskan bagaimana
aktivitas manusia akan bereaksi dalam situasi tersebut. Selain itu, teori aktivitas juga tidak
dapat menjelaskan perilaku manusia yang terjadi di luar konteks sosial dan budaya yang
dianggap dalam teori tersebut. Contohnya, perilaku manusia dalam lingkungan yang sangat
individual atau dalam lingkungan yang sangat berbeda secara budaya atau sosial mungkin
tidak dapat dijelaskan sepenuhnya dengan menggunakan teori aktivitas Vygotsky.
Menurut teori aktivitas Vygotsky, pembelajaran tidak hanya terjadi secara
individual, tetapi juga dipengaruhi oleh konteks sosial dan budaya di mana pembelajaran
terjadi. Misalnya, lingkungan pembelajaran, seperti tempat belajar, lingkungan sosial di
sekitar pembelajaran, dan cara berkomunikasi antar peserta didik dan pengajar, dapat
mempengaruhi pembelajaran. Oleh karena itu, teori aktivitas Vygotsky menunjukkan bahwa
pengajaran dan pembelajaran tidak hanya sebatas transfer pengetahuan, tetapi juga
memperhitungkan faktor-faktor yang ada di sekitar aktivitas belajar. Faktor-faktor tersebut
dapat meliputi cara peserta didik dan pengajar berinteraksi, kemampuan individu, dan juga
peran alat atau teknologi dalam pembelajaran. Dalam pendidikan, teori aktivitas Vygotsky
dapat membantu dalam merancang lingkungan pembelajaran yang efektif dan relevan untuk
peserta didik. Teori ini memperhitungkan konteks sosial, budaya, dan sejarah di mana
pembelajaran terjadi dan merancang pengajaran yang mempertimbangkan aspek-aspek
tersebut. Dengan demikian, teori aktivitas Vygotsky dapat membantu dalam menciptakan
pengalaman pembelajaran yang lebih baik dan memberikan pemahaman yang lebih baik
tentang konteks pembelajaran.
Terdapat beberapa tokoh lain yang turut mempengaruhi pengembangan teori
aktivitas ini, di antaranya : Alexei Leontiev, yang juga merupakan seorang psikolog Soviet,
dan Yrjö Engeström, seorang ahli psikologi Finlandia yang mengembangkan model
"learning by expanding" yang berdasarkan teori aktivitas. Selain itu, banyak ahli lainnya
dalam bidang psikologi, sosiologi, dan desain interaksi manusia-komputer yang
menggunakan teori aktivitas sebagai landasan teoretis untuk penelitian mereka.
Teori aktivitas Vygotsky berpendapat bahwa aktivitas manusia merupakan suatu
proses dinamis dan kompleks yang dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor
internal ini meliputi motivasi, perhatian, kemampuan kognitif, dan emosi, sementara faktor
eksternal meliputi lingkungan fisik, sosial, dan budaya di sekitar individu.

Dalam teori ini, aktivitas manusia dipandang sebagai suatu sistem yang terdiri dari tiga
elemen utama, yaitu subjek, objek, dan alat. Subjek mengacu pada individu yang melakukan
aktivitas, objek merujuk pada tujuan atau hasil yang ingin dicapai, dan alat merujuk pada
bantuan atau teknologi yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut.

Selain itu, teori aktivitas Vygotsky juga mengakui bahwa aktivitas manusia dapat
berubah secara dinamis seiring perubahan kondisi internal dan eksternal. Oleh karena itu,
penting untuk memahami konteks dan faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas manusia
untuk dapat merancang lingkungan atau teknologi yang mendukung aktivitas tersebut.

Dalam konteks interaksi manusia-komputer, teori aktivitas Vygotsky dapat membantu dalam
merancang antarmuka atau sistem yang lebih intuitif dan responsif terhadap kebutuhan dan
tujuan pengguna. Dengan memperhatikan faktor-faktor internal dan eksternal yang
mempengaruhi aktivitas manusia, kita dapat merancang sistem yang lebih efektif dan efisien
dalam mencapai tujuan yang diinginkan.

Poin utama dari dari teori aktivitas Vygotsky (1978) adalah sebagai berikut:
1. Aktivitas manusia dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, budaya, dan sejarah. Vygotsky
menekankan bahwa manusia berada dalam lingkungan yang terus berubah, dan aktivitas
manusia dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut.
2. Mediasi dan penggunaan alat atau teknologi sangat penting dalam mengatur aktivitas
manusia. Vygotsky berpendapat bahwa manusia mengembangkan alat dan teknologi
untuk membantu mereka dalam mengatasi tantangan dan mencapai tujuan.
3. Aktivitas manusia terjadi dalam konteks sosial dan budaya tertentu. Vygotsky
menekankan bahwa aktivitas manusia terjadi dalam lingkungan sosial dan budaya yang
memberikan makna dan nilai bagi aktivitas tersebut.
4. Kegiatan manusia dipandu oleh tujuan dan motivasi. Aktivitas manusia tidak hanya
ditentukan oleh faktor-faktor eksternal, tetapi juga oleh tujuan dan motivasi yang
diinternalisasi oleh individu.
5. Kegiatan manusia melibatkan proses internalisasi dan sosialisasi. Vygotsky berpendapat
bahwa manusia menginternalisasi pengetahuan, nilai, dan norma-norma sosial melalui
proses sosialisasi dan belajar dari lingkungan sosial dan budaya di sekitar mereka.
6. Aktivitas manusia dapat dikembangkan melalui kolaborasi sosial. Vygotsky menekankan
bahwa aktivitas manusia dapat ditingkatkan dan dikembangkan melalui kolaborasi sosial,
interaksi, dan pertukaran pengetahuan dengan orang lain.
7. Aktivitas manusia melibatkan proses pemecahan masalah. Vygotsky berpendapat bahwa
aktivitas manusia melibatkan proses pemecahan masalah dan berbagai strategi yang
digunakan individu untuk mencapai tujuan mereka.
Dalam keseluruhan, teori aktivitas Vygotsky mengakui pentingnya konteks sosial, budaya,
dan sejarah dalam aktivitas manusia, serta pengaruh alat atau teknologi dalam mengatur
aktivitas manusia. Teori ini dapat membantu dalam memahami dan merancang lingkungan
dan situasi yang mendukung untuk aktivitas manusia, termasuk dalam konteks pendidikan
dan interaksi manusia-komputer.
Sedangkan poin utma dari teori aktivitas menurut Leontiev (1981) yaitu sebagai
berikut:
1. Aktivitas adalah unit dasar analisis psikologis dan sosial.
2. Aktivitas melibatkan tiga aspek yang saling terkait: tujuan (goal), obyek (object), dan
tindakan (action).
3. Aktivitas adalah proses yang dinamis dan selalu berubah seiring dengan perubahan
kondisi dan konteks.
4. Aktivitas manusia selalu terjadi dalam konteks sosial dan budaya yang lebih luas.
5. Aktivitas manusia melibatkan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan dalam
rangka mencapai tujuan yang diinginkan.
6. Aktivitas manusia dapat menjadi objek pengamatan dan analisis untuk memahami
berbagai aspek kognitif, emosional, dan sosial dari perilaku manusia.
7. Aktivitas manusia dapat dianalisis melalui pendekatan interdisipliner yang melibatkan
psikologi, sosiologi, dan antropologi.
Leontiev, menganggap bahwa sebagai elemen dasar yang mengatur perilaku
manusia dan hubungan sosialnya aktivitas dipandang sebagai fenomena yang kompleks dan
terstruktur secara hierarkis, dan dapat dianalisis melalui berbagai level analisis yang berbeda,
mulai dari tindakan individu hingga praktik sosial yang lebih luas.

Selain Vigotsky dan Leontiev, Yrjö Engeström (1987) mengungkapkan bahwa poin
utama dari teori aktivitas adalah sebagai berikut:
1. Aktivitas dianggap sebagai unit analisis dasar yang melibatkan interaksi manusia dengan
lingkungan dan mediasi sosial.
2. Aktivitas terdiri dari tiga aspek yang saling terkait, yaitu subyek, objek, dan alat.
3. Aktivitas tidak hanya melibatkan interaksi individu dengan lingkungan tetapi juga
melibatkan interaksi antara individu dan kelompok sosial yang lebih luas.
4. Aktivitas dipandang sebagai proses dinamis dan kompleks yang selalu berubah seiring
dengan perubahan kondisi dan konteks.
5. Teori aktivitas Engeström menekankan pentingnya analisis praktik sosial dalam
memahami aktivitas manusia.
6. Model "learning by expanding" dikembangkan berdasarkan teori aktivitas dan
menekankan pentingnya pembelajaran yang berbasis praktik dalam memperluas
pemahaman dan kompetensi individu.
7. Teori aktivitas Engeström dapat digunakan dalam pengembangan desain interaksi
manusia-komputer yang berfokus pada penggunaan teknologi dalam konteks sosial dan
praktik yang lebih luas.
Menurut Engeström (1987), aktivitas dipandang sebagai fenomena sosial dan budaya
yang kompleks dan melibatkan interaksi antara individu dan lingkungannya. Model "learning
by expanding" yang dikembangkan oleh Engeström menekankan pentingnya pengembangan
kompetensi individu melalui pembelajaran yang berbasis praktik dan berorientasi pada
pemecahan masalah dalam konteks sosial yang lebih luas. Teori aktivitas Engeström juga
dapat digunakan dalam pengembangan desain interaksi manusia-komputer yang berfokus
pada penggunaan teknologi dalam konteks sosial dan budaya yang lebih luas.
CONNECTIVISM

Connectivism Theory adalah teori pembelajaran yang dipromosikan oleh George


Siemens pada tahun 2004. George Siemens merupakan seorang akademisi Kanada yang
terkenal dalam bidang teknologi pendidikan dan pembelajaran. Teori ini menekankan bahwa
pembelajaran bukan hanya sekedar akuisisi pengetahuan, tetapi juga melalui koneksi antar
sumber informasi. Teori konektivisme lahir berdasarkan informasi dan realitas yang berubah
dengan cepat (rapidly altering information and reality). Menurut Siemens (2004),
pembelajaran terjadi melalui koneksi antar orang, ide, dan teknologi dan engetahuan
bukanlah sekedar akumulasi fakta, tetapi juga proses pengenalan pola, menghubungkan
informasi, dan pengembangan wawasan baru.
Connectivism Theory Siemens muncul sebagai respons terhadap perubahan dan
perkembangan teknologi informasi yang terus berkembang dan mempengaruhi cara kita
belajar dan memperoleh pengetahuan di era digital. Dalam era digital ini, akses terhadap
informasi dan pengetahuan telah menjadi lebih mudah dan terbuka dari sebelumnya, yang
mempengaruhi cara kita memperoleh dan memproses informasi serta cara kita berinteraksi
dengan orang lain dan lingkungan kita. Teori ini juga didasarkan pada premis bahwa
pembelajaran dan pengembangan diri harus berpusat pada koneksi yang dibentuk oleh
teknologi informasi dan interaksi antara individu dan lingkungannya. Konsep ini menekankan
pentingnya memperoleh pengetahuan dan keterampilan melalui jaringan sosial dan teknologi,
seperti internet dan media sosial, dan melalui pengalaman dan interaksi dengan lingkungan
dan orang-orang di sekitar kita. Selain itu, Connectivism Theory Siemens juga dipengaruhi
oleh pandangan teori pembelajaran yang lebih baru, seperti teori sistem kompleks dan teori
jaringan. Teori-teori ini mengakui pentingnya lingkungan dan jaringan sosial dalam
pembelajaran dan pengembangan diri, dan menekankan pentingnya adaptabilitas,
fleksibilitas, dan kemampuan untuk menghadapi perubahan yang cepat. Siemens (2004)
mengidentifikasi ada empat prinsip utama dari connectivism theory, yaitu:
1. Pembelajaran dan pengetahuan bergantung pada keberagaman pendapat.
2. Pembelajaran adalah proses menghubungkan node khusus atau sumber informasi.
3. Pembelajaran dapat berada pada perangkat non-manusia.
4. Kemampuan untuk mengetahui lebih banyak lebih kritis daripada apa yang saat ini
diketahui.
Kunci utama dari Connectivism Theory Siemens terlihat dari tujuan utamanya yaitu
“to maintain accurate up-to-date information” dan “connection of information sets that can
reside outside the learning”. Hal ini menunjukkan bahwa menjaga informasi yang akurat dan
terbaru sangatlah penting, dan informasi dianggap sebagai bahan bakar utama yang
mendukung proses pembelajaran. Dalam lingkungan pembelajaran yang terus berkembang,
informasi selalu berubah dan berkembang, sehingga menjaga informasi yang akurat dan
terbaru menjadi sangat penting. Teori Konektivisme Siemens menekankan pentingnya
memperbarui dan memperoleh informasi terbaru yang akurat agar pembelajaran dapat
berlangsung dengan efektif dan efisien. Dalam pandangan teori ini, pembelajar perlu mampu
mengevaluasi informasi yang mereka terima, mengembangkan kemampuan untuk mengelola
informasi yang kompleks, dan memperbarui pengetahuan mereka secara terus-menerus agar
tetap relevan dengan perkembangan terbaru. Siemens juga menekankan pentingnya
membangun dan memelihara jaringan koneksi yang luas dan kompleks, sehingga pembelajar
dapat memperoleh informasi terbaru dari berbagai sumber dan memperbaharui pengetahuan
mereka dengan cepat. Teknologi dan jaringan memungkinkan informasi dapat diakses dengan
mudah dan cepat dari berbagai sumber di seluruh dunia, sehingga menjaga informasi yang
akurat dan terbaru menjadi kunci utama dalam Teori Konektivisme Siemens.
Selain itu, poin utama yang lain dari teori konektivisme adalah “connection of
information sets that can reside outside the learning" yang bermakna bahwa pengetahuan
tidak hanya terletak dalam kepala individu, tetapi juga tersebar di sekitar jaringan informasi
yang terhubung secara global. Hal ini dianggap sebagai poin yang sangat penting dari teori
konstruktivisme Siemens karena kemampuan untuk terhubung dengan informasi yang ada di
luar diri sendiri memungkinkan individu untuk memperoleh pengetahuan yang lebih luas dan
mendalam melalui koneksi dengan sumber daya informasi yang beragam, seperti internet,
buku, jurnal, dan media sosial. Melalui koneksi dengan informasi di luar diri sendiri, individu
dapat membangun jaringan informasi pribadi yang unik dan terus berkembang, yang dapat
membantu mereka memahami dan menavigasi dunia yang kompleks dan terus berubah. Hal
ini juga memungkinkan individu untuk belajar dari orang lain yang mungkin memiliki
pengalaman atau perspektif yang berbeda, yang dapat membantu dalam pengambilan
keputusan dan pemecahan masalah. Oleh karena itu, dalam Teori Konenktivisme Siemens,
kemampuan untuk terhubung dengan informasi dan sumber daya di luar diri sendiri dianggap
sebagai kunci penting untuk belajar dan berkembang dalam era digital yang terus
berkembang.
Menurut teori konektivisme Siemens (2004) mendefinisikan pembelajaran adalah
proses sosial dan kolaboratif yang melibatkan penciptaan dan berbagi pengetahuan dalam
lingkungan jaringan. Pembelajar didorong untuk terlibat dalam eksplorasi aktif, terhubung
dengan orang lain, dan menciptakan jaringan pengetahuan mereka sendiri. Peran guru dalam
teori konektivisme adalah memfasilitasi proses pembelajaran dengan membimbing siswa ke
informasi yang relevan dan membantu mereka membuat koneksi antara sumber informasi
yang berbeda. Teori konektivisme dipandang sebagai respons terhadap tantangan zaman
digital dan telah mempengaruhi pembelajaran online dan penggunaan teknologi dalam
pendidikan. Teori ini menekankan pentingnya jaringan dan koneksi dalam proses
pembelajaran dan menunjukkan bahwa pengetahuan terus berkembang dan berubah dalam
respons terhadap informasi dan ide-ide baru.
Teori konektivisme Siemens (2004) mengidentifikasi bahwa ada empat konsep
utama yang saling terkait dan mempengaruhi proses pembelajaran, yaitu kompleksitas,
jaringan, otonomi diri, dan kekacauan.
1. Complexity (kompleksitas): Konsep ini mengacu pada kerumitan sistem yang melibatkan
banyak elemen dan keterkaitan antara elemen-elemen tersebut. Dalam konteks pembelajaran,
kompleksitas dapat dijumpai dalam bentuk informasi yang terus bertambah dan saling terkait,
serta dinamika interaksi antara orang-orang dan teknologi. Connectivism Theory Siemens
mengakui pentingnya memahami kompleksitas ini untuk membantu pembelajar dalam
mengelola informasi yang terus berkembang.
2. Networks (jaringan): Konsep jaringan merujuk pada koneksi antara elemen yang kompleks
tersebut. Dalam Teori Konektivisme Siemens, jaringan tersebut dapat berupa jaringan sosial,
jaringan informasi, dan jaringan konseptual. Konsep jaringan menunjukkan bahwa
pembelajaran melibatkan koneksi antara elemen-elemen tersebut, dan bahwa pembelajar
perlu mampu memahami, menavigasi, dan memanfaatkan jaringan tersebut.
3. Self-organization (pengorganisasian diri): Konsep ini menunjukkan bahwa sistem kompleks
dapat mengatur dirinya sendiri secara alami. Dalam Teori Konektivisme Siemens, konsep
pengorganisasian diri ini dapat dilihat pada kemampuan pembelajar untuk memilih,
mengevaluasi, dan menghubungkan sumber informasi secara mandiri dan sesuai dengan
kebutuhan dan minat mereka sendiri.
4. Chaos (kekacauan): Konsep kekacauan merujuk pada ketidakpastian dan ketidakteraturan
dalam sistem kompleks. Dalam Teori Konektivisme Siemens, konsep kekacauan
menunjukkan bahwa pembelajaran dapat melibatkan situasi yang tidak pasti dan tidak
terduga, dan bahwa pembelajar perlu mampu mengelola dan menyesuaikan diri terhadap
keadaan tersebut.

Dengan mengintegrasikan konsep-konsep ini, Teori Konektivisme Siemens


memberikan kerangka kerja yang luas dan fleksibel untuk memahami pembelajaran dalam
era digital yang kompleks dan terus berkembang. Konsep-konsep tersebut mengakui
kompleksitas informasi, pentingnya koneksi antara elemen-elemen, kemampuan diri untuk
mengatur, serta ketidakpastian dan ketidakteraturan yang mungkin terjadi. Hal ini
memberikan dorongan pada pembelajar untuk memperkuat keterampilan mereka dalam
mengelola informasi yang terus berkembang dan memanfaatkan jaringan yang tersedia secara
efektif.
Selain itu Siemens (2004) juga mengatakan bahwa "Connectivism posits that
shifting core elements are not entirely in control of individual". Maksud dari pernyataan
tersebut adalah bahwa dalam era digital saat ini, informasi dan pengetahuan terus
berkembang dan berubah dengan cepat, sehingga individu tidak sepenuhnya dapat
mengontrol apa yang mereka pelajari atau bagaimana mereka belajar. Pembelajaran tidak lagi
terbatas pada informasi yang diberikan oleh guru atau lembaga pendidikan tertentu, tetapi
juga melibatkan sumber daya dan jaringan informasi yang beragam, seperti internet dan
media sosial. Oleh karena itu, individu harus dapat menavigasi dan memahami jaringan
informasi yang kompleks dan terus berubah ini, dan mengembangkan keterampilan untuk
memilah, mengevaluasi, dan menggunakan informasi yang relevan untuk kebutuhan mereka
sendiri. Dalam hal ini, individu tidak sepenuhnya mengontrol elemen-elemen inti
pembelajaran, tetapi harus mengadopsi pendekatan yang lebih adaptif dan fleksibel untuk
belajar di era digital yang terus berubah.
Teori Konektivisme Siemens juga mendukung CSILE (Computer-Supported
Intentional Learning Environment) karena keduanya berbagi pandangan bahwa teknologi
dapat membantu memfasilitasi pembelajaran yang efektif. CSILE adalah suatu lingkungan
pembelajaran yang terintegrasi dengan teknologi yang dirancang untuk meningkatkan
keterampilan berpikir, belajar secara kolaboratif, dan meningkatkan pemahaman konsep
melalui pengalaman sosial.
Teori Konektivisme Siemens mengambil pandangan bahwa teknologi dan jaringan
dapat membantu memperluas koneksi antara individu dan sumber informasi, sehingga dapat
memfasilitasi proses pembelajaran yang lebih efektif dan efisien. Hal ini sejalan dengan
tujuan utama dari CSILE, yaitu untuk memfasilitasi pembelajaran kolaboratif yang
melibatkan penggunaan teknologi untuk berbagi dan memperluas pemahaman konsep.
Pada CSILE, pembelajar dapat berkolaborasi dalam sebuah lingkungan belajar yang
memungkinkan mereka untuk membuat catatan, berbagi pemikiran, dan saling memberikan
umpan balik, sehingga dapat memperluas pemahaman mereka tentang konsep yang sedang
dipelajari. Pendekatan ini sejalan dengan konsep-konsep utama dalam Teori Konektivisme
Siemens, seperti penggunaan teknologi dan jaringan untuk memperluas akses pada informasi,
serta mengembangkan kemampuan untuk mengelola informasi yang kompleks dan terus
berkembang.
Oleh karena itu, Teori Konektivisme Siemens dan CSILE saling mendukung dan
melengkapi satu sama lain dalam upaya untuk memfasilitasi pembelajaran yang efektif dan
efisien melalui penggunaan teknologi dan koneksi jaringan. Menurut teori konetivitas,
jaringan yaitu koneksi antara entitas, node, dan info:sumber (connection between entities,
nodes, info, dan sources). Makna dari konsep tersebut adalah sebagai berikut:
Siemens (2004) berpendapat bahwa, "entities" atau entitas mengacu pada segala hal
yang terlibat dalam proses pembelajaran, termasuk individu, organisasi, dan sumber daya
lainnya seperti buku, website, atau media sosial. "Nodes" mengacu pada unit atau titik di
mana informasi dan sumber daya ditemukan, dan yang terhubung dalam jaringan kompleks
untuk membentuk struktur pengetahuan dan informasi yang lebih besar. Bagaimana
informasi dan pengetahuan dapat dikumpulkan, disimpan, dan diakses melalui jaringan
kompleks dari entitas, atau "nodes," yang terhubung dalam sebuah sistem yang terdiri dari
banyak sumber informasi. Dalam jaringan ini, informasi dapat mengalir ke dan dari berbagai
sumber, dan diakses melalui berbagai node yang terhubung. Oleh karena itu, untuk
memanfaatkan dan memperoleh pengetahuan dan informasi, penting untuk memahami
hubungan antara entitas, node, dan sumber informasi yang terlibat dalam proses
pembelajaran.
Selain itu Teori Konektivisme Siemens (2004) menekankan bahwa pembelajaran
yang efektif melibatkan kemampuan untuk membangun dan memelihara jaringan sosial dan
informasi yang kuat, sehingga individu dapat terus berhubungan dengan berbagai sumber
informasi dan memperoleh pengetahuan baru yang diperlukan untuk menghadapi situasi yang
berubah-ubah dan kompleks di dunia digital. Dalam hal ini, pengembangan kemampuan
untuk mengelola dan menghubungkan entitas, node, info, dan sumber informasi menjadi
sangat penting dalam Teori Konektivisme Siemens.
Berdasarkan pendapat Siemens tentang teori konektivisme maka nilai yang
terkandung di dalam teori konektivisme ini, diantaranya 1) ability to maintain flexibility to
adapt/alter when needed, 2) ability to see patterns, connections, ideas, and concepts. Ability
to maintain flexibility to adapt/ alter when needed,dalam Connectivism Theory Siemens
merujuk pada kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri dengan perubahan dan terus-
menerus belajar agar tetap relevan dan berkompeten di era digital yang terus berkembang.
Dalam konteks pembelajaran, nilai ini mengajarkan pentingnya untuk mempertahankan
fleksibilitas dan keterbukaan terhadap perubahan, sehingga kita dapat menyesuaikan diri
dengan cepat terhadap perkembangan baru dan terus mengembangkan pengetahuan dan
keterampilan. Dalam hal ini, Connectivism Theory Siemens mengajarkan bahwa
pembelajaran seumur hidup dan kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan adalah
kunci keberhasilan di era digital yang terus berubah dan berkembang.
Sedangkan ability to see patterns, connections, ideas, and concepts dalam teori
Konektivisme Siemens merujuk pada kemampuan seseorang untuk melihat pola dan
hubungan antara informasi dan ide-ide yang berbeda, dan mengintegrasikannya menjadi
pemahaman yang utuh. Nilai ini sangat penting dalam era informasi yang cepat dan
kompleks, di mana kita harus mampu memproses informasi yang banyak dan kompleks dari
berbagai sumber. Teori konektivisme Siemens mengajarkan pentingnya mengembangkan
kemampuan untuk mengelola dan memproses informasi secara efektif, dan melihat pola dan
hubungan antara informasi yang berbeda. Teori ini juga mengajarkan pentingnya
mengembangkan kemampuan untuk berpikir kritis, mengambil keputusan yang tepat, dan
mengidentifikasi sumber-sumber informasi yang bermanfaat. Dengan memiliki kemampuan
untuk melihat pola, hubungan, ide, dan konsep, kita dapat memperoleh pemahaman yang
lebih dalam dan menyeluruh tentang topik atau masalah tertentu, serta dapat mengembangkan
solusi kreatif untuk masalah-masalah yang dihadapi. Dalam konteks pembelajaran, nilai ini
mengajarkan pentingnya mengembangkan kemampuan untuk mencari informasi dari
berbagai sumber, memproses informasi yang diperoleh, dan mengintegrasikannya menjadi
pemahaman yang lebih utuh dan lebih dalam.
Teori Konektivisme (Siemens) didukung oleh sejumlah tokoh terkemuka dalam
bidang pendidikan dan teknologi. Beberapa di antaranya adalah:
1. Stephen Downes - Stephen Downes adalah seorang ahli teknologi pendidikan dan salah
satu pendiri gerakan MOOC (Massive Open Online Course). Dia telah bekerja sama
dengan George Siemens dalam pengembangan teori ini dan telah menulis banyak artikel
tentang konsep-konsep kunci dalam Teori Konektivisme Siemens.
2. Alec Couros - Alec Couros adalah seorang profesor di Fakultas Pendidikan Universitas
Regina di Kanada. Dia telah menerapkan Teori Konektivisme Siemens dalam pengajaran
dan penelitiannya, dan telah menulis banyak artikel tentang penggunaannya dalam
konteks pendidikan.
3. Rita Kop - Rita Kop adalah seorang profesor di Fakultas Pendidikan Universitas York di
Kanada. Dia telah meneliti tentang konsep-konsep kunci dalam Teori Konektivisme
Siemens dan telah menulis banyak artikel tentang penerapannya dalam konteks
pendidikan.
4. Dave Cormier - Dave Cormier adalah seorang ahli teknologi pendidikan dan pengembang
konsep rhizomatic learning, yang merupakan bagian dari Teori Konektivisme Siemens.
Dia telah memberikan kuliah dan seminar tentang konsep-konsep ini di seluruh dunia dan
telah menulis banyak artikel tentang penggunaannya dalam konteks pendidikan.

DISTRIBUTED COGNITION

Distributed Cognition Theory adalah teori yang mengusulkan bahwa kognisi atau
proses berpikir tidak terbatas pada otak individu saja, tetapi tersebar atau didistribusikan di
seluruh sistem yang terlibat dalam aktivitas kognitif. Sistem yang terlibat dapat mencakup
individu, objek fisik, dan lingkungan sosial. Dalam hal ini, kognisi tidak dipandang sebagai
proses mental yang terlokalisasi dalam otak, tetapi sebagai produk dari interaksi antara
individu, objek, dan lingkungan sosial yang membentuk sistem kognitif yang lebih besar.
Teori Distributed Cognition dikembangkan oleh sejumlah tokoh, termasuk Edwin
Hutchins, James Hollan, David Kirsh, dan lain-lain. Namun, Edwin Hutchins dianggap
sebagai tokoh utama dalam pengembangan teori ini, terutama melalui bukunya yang berjudul
"Cognition in the Wild". Hutchins (1995) menggambarkan bahwa kognisi tidak terbatas
hanya pada otak individu, tetapi juga didistribusikan di antara individu, objek fisik, dan
lingkungan sosial. Hutchins mengajukan konsep "sistem kognitif yang terdistribusi" untuk
menjelaskan bagaimana kognisi didistribusikan dalam lingkungan sosial dan fisik. Menurut
Hutchins (1995), sistem kognitif yang terdistribusi terdiri dari beberapa elemen yang saling
terkait, seperti manusia, objek fisik, dan lingkungan sosial. Dalam sistem ini, individu
menghasilkan kognisi dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia di sekitarnya.
Contohnya, seorang pilot pesawat terbang menghasilkan kognisi dengan memanfaatkan
informasi dari instrumen pesawat, rekan kerja, dan sumber daya lain yang tersedia di
lingkungan kerjanya.
Hutchins (1995) juga menekankan pentingnya koordinasi antara elemen-elemen
yang berbeda dalam sistem kognitif yang terdistribusi. Ia mengatakan bahwa koordinasi ini
terjadi melalui aktivitas-aktivitas sosial seperti percakapan, gestur, dan tindakan. Melalui
aktivitas ini, individu dapat berinteraksi dengan objek fisik dan lingkungan sosial,
memperoleh informasi, dan menghasilkan kognisi.
Teori ini menekankan bahwa pengambilan keputusan, pemecahan masalah, dan
kognisi lainnya terjadi dalam konteks yang lebih luas dari sistem sosial dan lingkungan fisik
yang membentuk konteks. Oleh karena itu, untuk memahami kognisi secara menyeluruh, kita
harus mempertimbangkan interaksi antara individu, objek, dan lingkungan sosial yang terlibat
dalam aktivitas kognitif. Konsep ini telah diterapkan dalam banyak bidang, termasuk
teknologi informasi, desain produk, psikologi, dan pendidikan, untuk meningkatkan
efektivitas dan efisiensi interaksi manusia dengan sistem yang ada.
Prinsip utama dari distributed cognition theory yaitu :
1. Coordinates internal and external structure atau koordinasi struktur internal dan eksternal:
Prinsip ini menekankan bahwa kognisi tidak hanya terjadi di dalam otak individu,
tetapi juga didistribusikan dalam objek fisik dan lingkungan sosial yang ada di sekitarnya.
Dalam sistem kognitif yang terdistribusi ini, individu memperoleh informasi dari objek
fisik dan lingkungan sosial, mengolah informasi tersebut dalam otak mereka, dan
bertindak sesuai dengan informasi yang telah diproses.
2. Proccesses may be distributed overtime atau proses dapat didistribusikan dari waktu ke
waktu:
Prinsip ini menyatakan bahwa proses kognitif yang terdistribusi tidak terjadi dalam
satu waktu atau satu tempat saja, tetapi dapat didistribusikan dari waktu ke waktu.
Misalnya, individu dapat memproses informasi pada satu waktu, dan kemudian
mengambil tindakan yang sesuai pada waktu yang berbeda.
3. Learning/cognition may be distributed across individuals/artifacts atau
pembelajaran/kognisi dapat didistribusikan di antara individu/artefak:
Prinsip ini menekankan bahwa pembelajaran dan kognisi tidak hanya terjadi pada satu
individu saja, tetapi dapat didistribusikan di antara beberapa individu atau bahkan objek
fisik. Dalam situasi seperti ini, individu dapat memanfaatkan sumber daya yang tersedia di
lingkungan sosial dan objek fisik untuk memperoleh pengetahuan dan informasi yang
lebih lengkap dan akurat.
4. Goals are system oriented and may be abstract atau tujuan sistem-oriented dan dapat
menjadi abstrak:
Prinsip ini mengatakan bahwa tujuan-tujuan dalam sistem kognitif yang terdistribusi
tidak hanya terkait dengan individu saja, tetapi juga terkait dengan tujuan sistem secara
keseluruhan. Tujuan-tujuan ini juga dapat menjadi abstrak dan tidak terbatas pada situasi
yang spesifik. Misalnya, tujuan sistem dalam situasi tertentu mungkin hanya untuk
menghasilkan solusi yang tepat, tanpa harus memperhatikan situasi yang spesifik tersebut.
Dalam keseluruhan, prinsip-prinsip dari Distributed Cognition Theory menekankan
bahwa kognisi dan pembelajaran adalah hasil interaksi antara individu, objek fisik, dan
lingkungan sosial, dan dapat didistribusikan secara dinamis dalam sistem kognitif yang lebih
besar.
Selain itu distributed cognition theory juga memiliki beberapa prinsip dasar
berdasarkan cara sistem kognitif bekerja dan berinteraksi. prinsip tersebut adalah:
1. Kognisi terdistribusi: Prinsip ini menyatakan bahwa kognisi terjadi tidak hanya di dalam
otak individu, tetapi juga melibatkan objek fisik dan lingkungan sosial. Artinya, kognisi
merupakan produk dari interaksi antara individu, objek, dan lingkungan sosial yang
membentuk sistem kognitif yang lebih besar.
2. Struktur sistem kognitif: Prinsip ini menyatakan bahwa sistem kognitif terdiri dari bagian-
bagian yang terorganisir secara hierarkis dan saling berhubungan. Bagian-bagian tersebut
meliputi individu, objek, dan lingkungan sosial yang terlibat dalam aktivitas kognitif.
3. Rekonfigurasi sistem kognitif: Prinsip ini menyatakan bahwa sistem kognitif dapat
direkonfigurasi atau diubah melalui interaksi antara individu, objek, dan lingkungan
sosial yang terlibat dalam aktivitas kognitif. Rekonfigurasi sistem kognitif ini dapat
terjadi melalui pembelajaran dan adaptasi.
4. Aktivitas kognitif didasarkan pada konteks: Prinsip ini menyatakan bahwa aktivitas
kognitif selalu terjadi dalam konteks yang lebih luas dari sistem sosial dan lingkungan
fisik yang membentuk konteks. Konteks ini memengaruhi cara individu berpikir dan
berinteraksi dengan objek dan lingkungan sosial.
Distributed Cognition Theory menekankan pentingnya kerja sama tim dalam
pemecahan masalah (emphasizes team collaboration to solve problem). Dalam teori ini,
pemecahan masalah dianggap sebagai aktivitas yang dilakukan oleh seluruh sistem kognitif
yang terdiri dari individu, objek, dan lingkungan sosial. Selain itu, tim dianggap sebagai unit
kognitif yang terdiri dari beberapa individu yang bekerja sama untuk mencapai tujuan
bersama. Dalam konteks pemecahan masalah, tim yang efektif adalah yang dapat bekerja
secara sinergis, menggunakan keahlian individu dan sumber daya yang tersedia untuk
mencapai tujuan secara efisien dan efektif.
Penekanan pada kerja sama tim dalam pemecahan masalah didasarkan pada
keyakinan bahwa individu tidak selalu mampu menyelesaikan masalah secara efektif dalam
isolasi. Sebaliknya, bekerja dengan tim dapat memperluas kapasitas kognitif dan
memungkinkan individu untuk saling belajar dan saling melengkapi. Kerja sama tim juga
dianggap sebagai cara untuk memperluas sumber daya yang tersedia untuk memecahkan
masalah. Tim dapat menggabungkan keahlian, pengetahuan, dan pengalaman individu untuk
mencapai tujuan yang lebih besar daripada yang dapat dicapai oleh individu secara terpisah.
Dalam praktiknya, konsep emphasizes team collaboration to solve problem dalam distributed
cognition theory dapat diterapkan dalam berbagai bidang, seperti dalam bisnis, teknologi,
pendidikan, dan ilmu pengetahuan. Hal ini dapat membantu meningkatkan kinerja dan hasil,
serta mempromosikan budaya kerja yang kolaboratif dan inklusif.
Assesses artifacts and patterns juga merupakan konsep penting dalam distributed
cognition theory yang menekankan pentingnya mempertimbangkan peran objek fisik atau
artefak dalam aktivitas kognitif manusia. Artifacts atau artefak dapat mencakup segala
macam objek fisik yang digunakan oleh individu dalam aktivitas kognitif mereka, seperti
buku, komputer, alat tulis, dan sebagainya. Teori ini menganggap artefak sebagai bagian dari
sistem kognitif yang membentuk interaksi antara individu, objek, dan lingkungan sosial.
Pentingnya memperhatikan artefak dalam aktivitas kognitif manusia terletak pada
kemampuannya untuk menyediakan dukungan atau bantuan dalam pemecahan masalah dan
pengambilan keputusan. Artefak dapat membantu memperluas kapasitas kognitif individu,
membantu mengingat informasi, dan meningkatkan kemampuan individu untuk
berkomunikasi dengan lingkungan sosial.
Selain artefak, konsep "patterns" juga penting dalam teori ini. Patterns merujuk
pada aturan atau prinsip yang mengatur interaksi antara individu, objek, dan lingkungan
sosial dalam aktivitas kognitif. Contohnya, cara individu berinteraksi dengan buku saat
membaca, atau bagaimana mereka berkomunikasi dengan orang lain saat bekerja dalam
sebuah tim. Mempertimbangkan artefak dan pola dalam aktivitas kognitif manusia penting
untuk merancang teknologi dan sistem yang lebih efektif dan efisien, serta untuk memahami
bagaimana individu berinteraksi dengan objek dan lingkungan sosial dalam aktivitas kognitif
mereka. Hal ini dapat membantu meningkatkan kinerja dan hasil dalam berbagai bidang,
termasuk pendidikan, bisnis, dan teknologi.
BEHAVIORISM

Skinner, B. F. (1953). Science and Human Behavior. Simon and Schuster.

Watson, J. B. (1913). Psychology as the behaviorist views it. Psychological Review, 20(2),
158-177.

Pavlov, I. P. (1927). Conditioned reflexes: An investigation of the physiological activity of


the cerebral cortex. Oxford University Press.

Thorndike, E. L. (1913). Educational psychology: The psychology of learning. Teachers


College, Columbia University.

Bandura, A. (1977). Social learning theory. Prentice Hall.

Gagne, R. M. (1965). The conditions of learning. Holt, Rinehart and Winston.

Hull, C. L. (1943). Principles of behavior. Appleton-Century-Crofts.

Estes, W. K. (1948). A statistical theory of learning. Psychological Review, 55(4), 279-309.

Rescorla, R. A., & Wagner, A. R. (1972). A theory of Pavlovian conditioning: Variations in


the effectiveness of reinforcement and nonreinforcement. Classical conditioning II:
Current research and theory, 2, 64-99.

Lefrancois, G. R. (2018). Theories of human learning: What the old man said (6th ed.).
Wadsworth.

KONSTRUKTIVISME

Piaget, J. (1973). To understand is to invent: The future of education. New York: Grossman
Publishers.

Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society: The development of higher psychological processes.


Cambridge, MA: Harvard University Press.

Bruner, J. S. (1961). The act of discovery. Harvard Educational Review, 31(1), 21-32.

Dewey, J. (1938). Experience and education. New York: Collier Books.

von Glasersfeld, E. (1989). Cognition, construction of knowledge, and teaching. Synthese,


80(1), 121-140.

Jonassen, D. H. (1999). Designing constructivist learning environments. In C. M. Reigeluth


(Ed.), Instructional-design theories and models: A new paradigm of instructional theory
(Vol. 2, pp. 215-239). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.
Duffy, T. M., & Jonassen, D. H. (Eds.). (1992). Constructivism and the technology of
instruction: A conversation. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.

Wilson, B. G. (Ed.). (1996). Constructivist learning environments: Case studies in


instructional design. Englewood Cliffs, NJ: Educational Technology Publications.

SITUATED COGNITIF

Lave, J. (1988). Cognition in Practice: Mind, Mathematics, and Culture in Everyday Life.
Cambridge University Press.

Lave, J., & Wenger, E. (1991). Situated Learning: Legitimate Peripheral Participation.
Cambridge University Press.

Lave, J. (1996). Teaching, as Learning, in Practice. Mind, Culture, and Activity, 3(3), 149-
164.

Lave, J. (1993). The Practice of Learning. In S. Chaiklin & J. Lave (Eds.), Understanding
Practice: Perspectives on Activity and Context (pp. 3-32). Cambridge University Press.

Lave, J. (1990). The Culture of Acquisition and the Practice of Understanding. In J. W.


Stigler, R. A. Shweder, & G. Herdt (Eds.), Cultural Psychology: Essays on
Comparative Human Development (pp. 151-170). Cambridge University Press.
ACTIVITY THEORY

Engeström, Y. (1987). Learning by expanding: An activity-theoretical approach to


developmental research. Orienta-Konsultit.

Kaptelinin, V., & Nardi, B. (2006). Acting with technology: Activity theory and interaction
design. MIT Press.

Leontiev, A. N. (1981). The problem of activity in psychology. Soviet Psychology, 19(2), 6-


18.

Nardi, B. A. (1996). Studying context: A comparison of activity theory, situated action


models, and distributed cognition. In Context and consciousness: Activity theory and
human-computer interaction (pp. 69-102). MIT Press.

Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society: The development of higher psychological processes.


Harvard University Press.

Yoon, S. A., Anderson, E., Koehler-Yom, J., Klopfer, E., & Sheldon, J. (2013). Using
activity theory to study the systemic tensions characterizing a technology-rich
introductory astronomy course. Mind, Culture, and Activity, 20(1), 38-56.

CONNECTIVISM

Siemens, G. (2004). Connectivism: A Learning Theory for the Digital Age. International
Journal of Instructional Technology and Distance Learning, 2(1), 3-10.

Siemens, G., & Downes, S. (2008). Connectivism and Connective Knowledge: Essays on
meaning and learning networks. National Research Council Canada.

Kop, R., & Hill, A. (2008). Connectivism: Learning theory of the future or vestige of the
past? The International Review of Research in Open and Distributed Learning, 9(3).

Bell, F. (2010). Connectivism: Its place in theory-informed research and innovation in


technology-enabled learning. The International Review of Research in Open and
Distributed Learning, 12(3).

Dron, J., & Anderson, T. (2014). Teaching Crowds: Learning and Social Media. Athabasca
University Press.
DISTRIBUTED COGNITION

Hutchins, E. (1995). Cognition in the wild. MIT Press.

Hollan, J., Hutchins, E., & Kirsh, D. (2000). Distributed cognition: Toward a new foundation
for human-computer interaction research. ACM Transactions on Computer-Human
Interaction (TOCHI), 7(2), 174-196.

Zhang, J., & Norman, D. A. (1994). Representations in distributed cognitive tasks. Cognitive
Science, 18(1), 87-122.

Hutchins, E. (1991). The social organization of distributed cognition. Proceedings of the 1991
ACM Conference on Computer-supported Cooperative Work, 1-10.

Salomon, G. (1993). Distributed cognitions: Psychological and educational considerations.


Cambridge University Press.

Vaesen, K. (2012). Distributed cognition and the task of science. Studies in History and
Philosophy of Science Part A, 43(1), 185-190.

Clark, A. (2008). Supersizing the mind: Embodiment, action, and cognitive extension.
Oxford University Press.

Resnick, L. B., Levine, J. M., & Teasley, S. D. (Eds.). (1991). Perspectives on socially shared
cognition. American Psychological Association.

Norman, D. A. (1993). Things that make us smart: Defending human attributes in the age of
the machine. Addison-Wesley.

Kirsh, D., & Maglio, P. (1994). On distinguishing epistemic from pragmatic action.
Cognitive Science, 18(4), 513-549.

Anda mungkin juga menyukai