Anda di halaman 1dari 17

TEORI BELAJAR PERILAKU (BEHAVIORISME) DAN TEORI BANDURA

DALAM PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP PRAKTIK PEMBELAJARAN

A. Teori Behaviorisme

Dalam kajian ini, ahli yang diajukan untuk mewakili kaum behavioris adalah
Burrhus Frederic Skinner. Para ahli perilaku (behavioris) yakin bahwa sesuatu yang
dapat diuji hanya yang dapat diamati dan diukur. Dengan kata lain, behavioris
menekankan studi ilmiah tentang tanggapan perilaku yang dapat diamati dan
determinan lingkungannya. Menurut aliran ini, pikiran, sadar atau tidak sadar tidak
dapat dipakai untuk menjelaskan perilaku dan perkembangan individu. Bagi Skinner
sendiri, perkembangan merupakan perilaku. Sebagai contoh, Adi adalah sosok yang
rajin belajar, pantang putus asa, dan dapat bergaul dengan baik. Mengapa perilaku
dan sifat Adi seperti ini ? Menurut Aliran Behavioris karena lingkungan yang
berperan menguatkan perilaku tersebut, sebagai hasil interaksinya dengan
lingkungannya seperti teman, anggota keluarganya, serta masyarakat. Oleh karena itu,
behavioris yakin bahwa perkembangan dipelajari dan dapat berubah-ubah sesuai
pengalaman hidup yang didapatkan individu serta adanya penguatan dari lingkungan.

Menurut Soemanto (dalam Wahab, 2016:37) teori belajar behavioristik


menjelaskan belajar itu adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan
dinilai secara konkret. Teori ini memandang individu hanya dari sisi fenomena
jasmaniah, dan mengabaikan aspek-aspek mental. Sehingga dengan kata lain
behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu
dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata hanya untuk berlatih reflex-refleks
sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.

Menurut teori ini yang terpenting adalah masuk atau input yang berupa
stimulus dan keluaran atau output yang berupa respons. Sedangkan apa yang terjadi
antara stimulus dan respons dianggap tidak penting untuk diperhatikan karena tidak

1
bisa diamati. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan
suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Misalnya; siswa belum dapat dikatakan berhasil dalam belajar Ilmu Pengetahuan
Sosial jika dia belum bisa / tidak mau melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan sosial
seperti; kerja bakti, ronda, dan lain sebagainya.

Teori Behavioristik:

1) Mementingkan faktor lingkungan


2) Menekankan pada faktor bagian
3) Menekankan pada tingkah laku yang tampak dengan mempergunakan
metode objektif
4) Sifatnya mekanis
5) Mementingkan masa lalu (Budiningsih, 2005).

Jadi dapat dikatakan bahwa teori behavioristik ini memandang bahwa belajar
merupakan perubahan tingkah laku, yang bisa diamati, diukur dan dinilai secara
konkret, karena adanya interaksi antara stimulus dan respons. Perubahan terjadi
melalui rangsangan (stimulus) yang menimbulkan perilaku yang reaktif (respons)
berdasarkan hukum-hukum mekanistik. Stimulus tidak lain adalah lingkungan belajar
anak itu sendiri, baik yang internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar.
Sedangkan respons adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fisik terhadap
stimulans. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat, dan kecenderungan S-R.

Menurut Budiningsih, 2005:20 (dalam Muhammad Irham, 2014:147) belajar


dalam pandangan behavioristik merupakan sebuah bentuk perubahan yang dialami
siswa dalam bentuk perubahan kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara
yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respons. Menurut Sugiyono dan
Hariyanto 2011:58 (dalam Muhammad Irham, 2014:148) teori belajar behavioristik
memandang belajar yang terjadi pada individu lebih kepada gejala-gejala atau
fenomena jasmaniah yang terlihat dan terukur serta mengabaikan aspek-aspek mental

2
atau psikologis lainnya seperti kecerdasan, bakat, minat, dan perasaan atau emosi
individu selama belajar. Dengan demikian, pokok perhatian teori behavioristik adalah
belajar akan terjadi akibat adanya interaksi stimulus/ input dan respons/ output yang
dapat diamati dan diukur.

Selain itu, menurut teori belajar behavioristik meskipun terjadi perubahan mental
pada individu setelah belajar, faktor-faktor tersebut tidak diperhatikan dan tidak
dianggap sebagai hasil belajar karena dinggap tidak dapat diamati dan tidak dapat
diukur. Oleh sebab itu pengukuran merupakan hal yang sangat penting untuk melihat
terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku. Penerapan teori behavioristik dalam
pendidikan lebih banyak menggunakan mekanisme penguatan (reinforcement).
Tokoh-tokoh teori behavioristik di antaranya Edwin Guthric, Clark Hull, Gagne,
Edward Lee Thorndike dengan teori belajar conectionism, Ivan Pavlov dengan teori
belajar classical conditioning, B.F. Skinner dengan teori belajar operant
conditioning, dan Albert Bandura dengan teori belajar sosial atau social learning.
Namun demikian, tidak semuanya akan dijabarkan karena hanya beberapa teori
belajar saja yang akan dibahas karena dianggap cukup mewakili teori belajar dari
tokoh-tokoh behavioristik.

a. Edwin Lynn Thorndike (1874-1949)


Thorndike lahir pada 1874. Ia adalah seorang pendidik dan psikolog
berkebangsaan Amerika. Lulus S1 dari Universitas Wesleyat (1895), S2 di
Harvard University (1896), dan S3/Doktor di Columbia (1898). Pandangan-
pandangan Thorndike banyak digunakan dalam dunia pendidikan dan memberi
sumbangan dalam perkembangan dunia pendidikan. Kondisi-kondisi tersebutlah
yang kemudian sangat banyak memberikan kontribusi dan membawa dirinya
dinobatkan sebagai salah seorang pelopor dalam perkembangan psikologi
pendidikan.

3
1) Eksperimen dan Teori Belajar Koneksionisme (Connectionism)
Menurut Thorndike dalam Sugihartono dkk. 2007:91 (dalam Muhammad
Irham, 2014:149) belajar pada dasarnya merupakan peristiwa terbentuknya
asosiasi-asosiasi akibat adanya Stimulus (S) dan Respons (R). Stimulus
merupakan bentuk perubahan lingkungan sebagai tanda bagi organisme untuk
bertindak, sedangkan respons merupakan tingkah laku yang dimunculkan
organisme setelah menerima stimulus. Thorndike melakukan eksperimen dengan
seekor kucing dan sebuah sangkar. Kucing dimasukkan ke dalam sangkar (puzzle
box).
Thorndike merupakan psikolog berkebangsaan Amerika pertama yang
menggunakan kucing dalam eksperimen melalui prosedur yang sistematis,
sekaligus sebagai teori paling awal yang muncul dari rumpun teori belajar
behavioristik.
Menurut Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni 2007:64-65 (dalam Muhammad
Irham, 2014:149) adapun proses pelaksanaan eksperimen Thorndike sebagai
berikut .
a) Kucing yang lapar dimasukkan ke dalam kotak kerangkeng yang
dilengkapi alat pembuka bila disentuh.
b) Daging ditaruh di luar kotak. Kucing kemudian bergerak ke sana kemari
mencari jalan keluar. Kucing terus berusaha dari segala arah, namun gagal
dan dilakukan terus-menerus.
c) Pada suatu ketika kucing tanpa sengaja menekan sebuah tombol sehingga
pintu kotak kerangkeng terbuka dan kucing dapat memakan daging yang
ada di depannya.
d) Percobaan dilakukan berulang-ulang, dan semakin lama kucing memiliki
kemajuan tingkah laku sehingga ketika dimasukkan ke dalam kotak dapat

4
langsung menyentuh tombol pembuka sehingga pintu langsung terbuka
hanya pada sekali usaha.

Hasil eksperimen tersebut menunjukkan bahwa bentuk yang paling mendasar


dari belajar adalah melalui latihan-latihan dan pengulangan dalam bentuk trial and
error learning atau selecting and connecting learning dan coba-coba. Namun
demikian, atas dasar percobaan tersebut dapat disimpulkan bahwa jika sebuah
tindakan diikuti oleh perubahan kondisi dan situasi yang memuaskan, tindakan
tersebut akan cenderung untuk diulangi lagi. Namun sebaliknya, jika tidak
menguntungkan, akan dikurangi atau bahkan tidak dilakukan sama sekali. Oleh
karena itu, teori belajar yang dikemukakan Thorndike sering disebut dengan Teori
Belajar Koneksionisme atau Teori Asosiasi.

Hasil eksperimen tersebut memunculkan beberapa hukum dalam belajar yang


akan dilakukan dan akan terjadi pada siswa. Menurut Sugihartono dkk. 2007:92-93
(dalam Muhammad Irham, 2014:150) terjadinya proses asosiasi dalam belajar
menurut Thorndike akan mengikuti hukum-hukum kesiapan, latihan, akibat, dan
hukum reaksi bervariasi.

2) Hukum kesiapan (Law of Readiness)

Hukum ini menyatakan bahwa semakin siap individu untuk memperoleh dan
melakukan perubahan tingkah laku maka pelaksanaan tingkah laku tersebut
menimbulkan kepuasan pada individu tersebut dan akan cenderung diperkuat.
Menurut Sugiyono dan Hariyanto 2011:61 (dalam Muhammad Irham, 2014:151)
implementasinya belajar pada siswa akan lebih berhasil bila siswa telah memiliki
kesiapan untuk melakukannya. Misalnya, siswa yang siap untuk mengikuti proses
pembelajaran, ia sudah menyiapkan sumber-sumber buku atau bahan lainnya terkait
dengan materi yang akan dibahas, dan dia sudah mempelajarinya terlebih dahulu.

5
Dengan demikian, ketika mengikuti proses pembelajaran ia semakin mudah
memahami dan justru semakin banyak tahu.

3) Hukum latihan (Law of Exercise)

Hukum ini menyatakan bahwa semakin sering sebuah tingkah laku diulang,
dilatih, atau digunakan maka asosiasi yang terbentuk semakin kuat. Menurut
Sugiyono dan Hariyanto, 2011:61 (dalam Muhammad Irham, 2014:151) dampaknya,
belajar pada siswa akan lebih berhasil apabila banyak latihan atau pengulangan-
pengulangan. Misalnya, seorang siswa yang baru saja mempelajari sebuah rumus
fisika maka bab tertentu dalam sebuah LKS akan memberikan soal-soal latihan-
latihan dengan satu rumus dan pengembangannya sehingga siswa menjadi lebih hafal
dan memahami penerapan rumus yang telah dipelajari.

4) Hukum akibat (Law of Effect)

Hukum ini menyatakan bahwa hubungan stimulus respons akan diperkuat


apabila akibatnya menyenangkan dan akan ditinggalkan bila hasilnya tidak
menyenangkan atau tidak memuaskan. Menurut Sugiyono dan Hariyanto 2011:61
(dalam Muhammad Irham, 2014:151) oleh sebab itu, proses belajar bagi siswa akan
menjadikan siswa lebih semangat apabila siswa mengetahui dan mendapatkan
manfaat serta hasil yang baik atas usahanya. Misalnya, siswa yang mendapat hadiah
dan pujian dari guru setelah mengajukan sebuah pertanyaan atau mampu menjawab
dengan baik dalam sesi diskusi maka ia cenderung untuk mengulanginya lagi.
Sebaliknya, bila ia dicemooh, diejek, dan ditertawakan maka ia tidak akan
mengulanginya lagi.

5) Hukum reaksi bervariasi (Multiple Response)

6
Hukum ini menyatakan bahwa untuk memperoleh respons yang tepat dalam
memecahkan masalah, didahului proses trial and error sebagai bentuk macam-
macam respons. Misalnya, siswa yang mengerjakan soal matematika akan
mengetahui jawaban yang benar dan tepat seperti apa, apabila ia pernah mengetahui
bagaimana jawaban yang salahnya.

6) Aplikasi Teori Belajar Connectionism dalam Pembelajaran

Proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru kadang-kadang perlu


memerhatikan aplikasi dari teori belajar conectionism tersebut. Bentuk aplikasi teori
pembelajaran conectionism menurut Thorndike perlu memerhatikan beberapa hal
ataupun konsep dasarnya. Menurut Sugihartono dkk. 2007:69 (dalam Muhammad
Irham, 2014:152) bentuk aplikasi teori pembelajaran conectionism dari Thorndike
sebagai berikut.

a) Selama proses pembelajaran, siswa yang sudah menyelesaikan tugas


belajar dengan baik segera diberi hadiah dan bila belum baik maka guru
segera membantu siswa untuk diperbaiki.
b) Guru perlu menyadari bahwa dalam proses belajar akan selalu ada
kesalahan sehingga guru tidak harus dan tidak selayaknya marah-marah
karena kesalahan merupakan bagian dari trial and error dalam belajar.
c) Dalam proses penyampaian materi, materi pelajaran yang diberikan harus
disadari oleh siswa dan mengandung manfaat bagi siswa setelah selesai
mempelajarinya atau selesai sekolah.

b. Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936)


Ivan Pavlov lahir pada 14 September 1849 di Rusia, ayahmya adalah seorang
pendeta. Pavlov lulus S1 sebagai Sarjana Kedokteran bidang fisiologis.
Perkembangan selanjutnya, ia aktif melakukan penelitian tentang fisiologis

7
pencernaan setelah menjadi direktur departemen Fisiologi Institute of Eksperimental
Medicine.
1) Eksperimen dan Teori Classical Conditioning
Pavlov melakukan eksperimen dengan menggunakan anjing, daging dan bel. Ia
melakukan kombinasi daging sebagai perangsang asli atau US (uncoditioned
stimulus) dengan bell sebagai perangsang netral (neutral stimulus) yang menjadi
stimulus bersyarat, yaitu kombinasi daging dan bel atau CS (conditioning stimulus),
bersamaa secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan, yaitu
munculnya air liur anjing atau CR (conditioning respons), meskipun hanya
mendengar bunyi bell. Menurut Sri Rumini dkk. 2006:71-72 (dalam Muhammad
Irham, 2014:153) pelaksanaan prosedur eksperimen Pavlov sebagai berikut.

a) Anjing yang telah dioperasi kelenjar ludahnya (untuk keperluan


pengukuran skresi ludah), dibiarkan kelaparan. Kemudian bel dibunyikan
dan 30 detik setelah bel berbunyi makanan (daging) diberikan.
b) Percobaan tersebut diulang berkali-kali dengan jarak waktu 15 menit.
c) Setelah 32 kali percobaan, ternyata bunyi bel saja telah menyebabkan
keluarnya air liur anjing dan bertambah deras bila makanan diberikan.
Menurut Pavlov, daging berfungsi sebagai reinforcement penguat.
d) Berdasarkan eksperimen tersebut, bell merupakan CS, daging merupakan
US, dan air liur karena bunyi bell disebut CR.

Hasil eksperimen Pavlov tersebut memunculkan teori yang disebut dengan


teori Classical Conditioning (pengkondisian klasik). Artinya, stimulus yang
dikondisikan dapat digunakan untuk menggantikan stimulus-stimulus alami untuk
menghasilkan respons-respons yang diinginkan dan dikondisikan. Dengan demikian,
dalam proses belajar dengan tingkah laku sebagai ukuran keberhasilannya dapat
dilakukan melalui pengaturan dan manipulasi lingkungan (Conditioning Process).

8
Menurut Sugiyono dan Hariyanto 2011:62 (dalam Muhammad Irham,
2014:154) oleh sebab itu, belajar pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk
mengondisikan pembentukan suatu perilaku-perilaku tertentu terhadap sebuah kondisi
atau sesuatu. Misalnya, membentuk kebiasaan mandi, makan, belajar pada jam-jam
tertentu dan lain sebagainya yang dapat dilakukan dengan mekanisme pengkondisian.

2) Aplikasi Teori Classical Conditioning dalam Pembelajaran


Menurut Woolfolk dalam Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni 2007:63-64 (dalam
Muhammad Irham, 2014:154) aplikasi teori belajar Classical Conditioning dari Ivan
Pavlov dalam pelaksanaan proses pembelajaran dapat dilakukan dalam beberapa
bentuk, sebagai berikut.
a) Membuat kegiatan belajar seperti membaca menjadi lebih menyenangkan
bagi siswa dengan cara membuat ruang membaca yang enak, nyaman, dan
menarik.
b) Mendorong dan mengaktifkan siswa yang pemalu, tetapi pandai dengan
cara memintanya membantu siswa lain yang tertinggal materi mengenai
cara memahami materi pelajaran atau trik dan cara mempelajari materi-
materi tertentu.
c) Membuat tahap-tahap rencana jangka pendek untuk mencapai tujuan jangka
panjang, misalnya melalui kegiatan tes atau ulangan harian, mingguan, dan
sebagainya agar siswa menguasai pelajaran dengan baik.
d) Apabila ada siswa yang merasa takut atau minder berbicara di depan kelas,
dapat dibantu melalui aktivitas-aktivitas sederhana mulai dari membaca
laporan di dalam sebuah kelompok sambil duduk kemudian sambil berdiri,
serta kemudian berpindah ke kelompok yang lebih besar sampai berani
membacakan laporan di depan kelas.

c. Burrhus Frederic Skinner (1904-1990)

9
Skinner lahir di Susquehanna tahun 1904 dan berkebangsaan Amerika. Ayahnya
adalah ahli hukum pada masa itu. Ia meraih gelar Master tahun 1930 dan Ph.D tahun
1940 dari Universitas Harvard. Skinner mengajar kuliah psikologi di Universitas
Minnesota tahun 1936-1945. Pada 1945, ia pergi ke Universitas Indiana sebagai
pimpinan Departemen Psikologi dan tahun 1948 kembali ke Harvard.
1) Eksperimen dan Teori Operant Cinditioning
Skinner melakukan percobaannya di dalam laboratorium dengan
menggunakan tikus serta burung merpati yang lapar dan sebuah kotak yang
dilengkapi dengan tombol, alat pemberi makan, penampung makanan, lampu
yang dapat diatur, dan lantai yang dapat dialiri listrik. Tikus yang lapar
dimasukkan ke dalam kotak yang disebut Skinner Box, karena dorongan lapar
(hunger drive), tikus kemudian berusaha untuk keluar. Proses percobaan tersebut
diulangi berkali-kali dan terus diamati dalam waktu tertentu.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa selama proses percobaan, tikus


bergerak tak tentu arah, ke sana-kemari unruk keluar dari kotak dan mencari
makan. Pada suatu ketika, secara tidak sengaja ia menekan sebuah tombol maka
keluar dan terbukalah kotak yang berisi makanan. Namun demikian, ketika ia
menekan tombol yang salah, lantai kotak akan teraliri listrik sehingga ia tersengat
listrik. Kemudian, pada percobaan-percobaan selanjutnya, tombol makanan
secara bertahap menjadi lebih sering ditekan karena adanya peningkatan perilaku
menekan tombol makanan akan mendapatkan makanan, serta mengurangi
menekan tombol lainnya, yaitu tombol listrik. Proses ini kemudian disebut
dengan shaping, yaitu pembentukan kebiasaan-kebiasaan tertentu yang didasari
oleh pengalaman dalam bentuk stimulus dan respons.

Eksperimen Skinner menghasilkan sebuah teori yang disebut Operant


Cinditioning atau pengkondisian operan (penguat positif dan negatif). Menurut
Skinner, perilaku operan dapat meningkatkan sebuah perilaku dan
mengulanginya kembali atau bahkan menghilangkan perilaku sesuai dengan yang

10
diinginkan. Skinner menyatakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah
adanya penguatan (reinforcement), artinya adalah pengetahuan yang terbentuk
sebagai hasil adanya S-R akan semakin kuat bila individu diberi penguatan.
Misalnya, karena seorang siswa belajar dengan giat maka ia mampu menjawab
soal-soal ujian. Oleh sebab itu, guru memberikan penghargaan (sebagai bentuk
penguatan/ reinforcement) kepada siswa tersebut dengan nilai ujian yang tinggi,
pujian, dan hadiah. Menurut Sugiyono dan Hariyanto, 2011: 63-64 (dalam
Muhammad Irham, 2014:156) atas penghargaan-penghargaan tersebut, siswa
akan semakin rajin lagi dalam belajar.

Pada tahap ini terdapat kemiripan antara Classical Conditioning Pavlov


dengan Operant Conditioning Skinner. Namun, dua teori ini juga terdapat
beberapa perbedaan. Menurut Sugiyono dan Hariyanto 2011: 63-64 (dalam
Muhammad Irham, 2014:156) perbedaan-perbedaan tersebut sebagai berikut.

a) Pada classical conditioning yang dikondisikan adalah Stimulusnya (S),


sedangkan pada operant conditioning yang dikondisikan adalah Responsnya
(R).
b) Dalam classical conditioning, stimulus netral menjadi terasosiasikan dengan
respons, yaitu bel yang merupakan stimulus netral terasosiasikan dengan
respons air liur. Sementara dalam operant conditioning, individu siswa akan
menerima sebuah imbalan bagi perilaku tertentu (R) yang dimunculkan
sehingga pada akhirnya hubungan antara operasi (menekan tombol makanan
dan stimulus imbalan, yaitu keluarnya makanan pun kemudian terbentuk,
artinya menekan tombol ini maka keluar makanan).

Konsep dasar lainnya yang disampaikan Skinner selain hubungan S-R tersebut di
antaranya hukum-hukum belajar dan metode pembelajaran berupa pengajaran
terprogram. Menurut Sugiyono dan Hariyanto 2011:64-65 (dalam Muhammad Irham,
2014:157) hukum-hukum dalam belajar yang disampaikan Skinner sebagai berikut.

11
a) Law of Operant Conditioning, yang menyatakan bahwa apabila munculnya
sebuah perilaku (R) diiringi atau diikuti dengan stimulus penguat maka kekuatan
perilaku tersebut akan meningkat.
b) Law of Operant Conditioning Extinction, yang menyatakan bahwa apabila
timbulnya sebuah perilaku operan yang telah diperkuat melalui proses
conditioning sebelumnya tidak diikuti atau diiringi stimulus penguat maka
kekuatan perilaku tersebut akan menurun, berkurang, bahkan menghilang.

Skinner memiliki pandangan yang lebih sederhana, namun komprehensif tentang


proses belajar pada siswa. Namun demikian, meskipun tergolong teoritikus
behavioristik, Skinner memiliki perbedaan pendapat dan pandangan dengan teoritisi
lainnya terutama mengenai mekanisme dan konsep hukuman dalam proses belajar.
Skinner lebih suka menggunakan istilah negative reinforcement (penguatan negatif)
yang jelas tidak bisa disamakan dengan hukuman. Menurut Sugiyono dan Hariyanto,
2011:65 (dalam Muhammad Irham, 2014: 157) perbedaannya adalah apabila
hukuman harus diberikan sebagai sebuah stimulus agar respons yang muncul
berikutnya berbeda dengan respons yang sudah ada, sedangkan penguat negatif
menekankan pada pengurangan stimulus-stimulus tertentu yang dapat memunculkan
respons yang tidak diinginkan.
Misalnya, apabila sesuatu yang kurang disukai siswa (sehingga sesuatu tersebut
memicu ia untuk melakukan kesalahan) dikurangi dan pengurangan ini mendorong
siswa untuk memperbaiki kesalahannya, proses ini disebut dengan penguat negatif.
Lawan dari penguat negatif adalah penguat positif (positive reinforcement). Bedanya
adalah apabila penguat negatif, stimulus harus dikurangi untuk memperkuat respons
yang diharapkan, sedangkan penguat positif maka stimulus harus ditambah agar
respons yang diharapkan semakin kuat. Atas dasar itu, penguatan dalam belajar
terbagi menjadi penguatan positif dapat berupa hadiah fisik, perilaku, atau
penghargaan, sedangkan bentuk penguatan negatif berupa penundaan atau tidak

12
memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan, atau menunjukkan perilaku
yang tidak senang.
2) Aplikasi Teori Belajar Operant Conditioning
Teori belajar dari Skinner apabila dapat diterapkan dengan baik dan benar,
pada dasarnya akan menjadikan proses belajar dan mengajar bagi siswa lebih
berhasil. Menurut Sugihartono dkk. 2007:99 (dalam Muhammad Irham,
2014:158) oleh sebab itu, untuk melaksanakan atau menerapkan teori belajar
operant conditioning dalam proses pembelajaran, perlu memerhatikan prinsip-
prinsip berikut.
a) Dalam proses pembelajaran, laporan atau hasil proses belajar harus segera
diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan dan jika benar diberi
penguat.
b) Dalam proses belajar dan pembelajaran, guru harus mengikuti irama siswa
yang belajar. Dengan kata lain, pendidik tidak dapat memaksakan
kehendaknya pada siswa.
c) Pelaksanaan proses pembelajaran ada baiknya materi-materi pelajaran
disusun dan dilaksanakan menggunakan sistem modul.
d) Dalam pelaksanaan proses pembelajaran tidak menggunakan dan menerapkan
hukuman. Namun demikian, pendidik berusaha mengubah lingkungan agar
tidak memunculkan perilaku siswa yang harus dihukum.
e) Apabila tingkah laku yang diinginkan pendidik muncul, siswa dengan segera
diberi hadiah sebagai bentuk penguatan.
f) Dalam pembelajaran digunakan shaping, yaitu pembentukan pembiasaan-
pembiasaan atas dasar pengalaman belajar dari rangkaian stimulus dan
respons.

B. Teori Albert Bandura

13
Albert Bandura lahir pada 4 Desember 1925 di Mundare Alberta, ia
berkebangsaan Kanada. Latar belakang pendidikannya adalah pada bidang psikologi.
Eksperimen Bandura yang sangat familiar adalah eksperimen Bobo Doll. Hal ini
disebabkan eksperimen Bobo Doll trersebut menggunakan seorang anak kecil
bersama dengan sebuah boneka. Prosesnya adalah anak kecil diletakkan di sebuah
ruang yang terpisah dengan sekat kaca yang tembus pandang (one way screen), di
ruangan sebelahnya, boneka dan seorang dewasa yang telah dikondisikan
ditempatkan sehingga si anak dapat melihat semua aktivitas orang dewasa dengan
bonekanya. Orang dewasa tersebut kemudian melakukan tindakan-tindakan yang
bervariasi dengan bonekanya, memainkannya, memperlakukannya secara kasar
(dipukul, ditendang, dan sebagainya) sesuai dengan scenario yang telah dibuat dalam
jangka waktu tertentu.

Beberapa saat kemudian, setelah diberi waktu jeda giliran si anak ditaruh di
ruangan yang sama persis dengan ruangan yang tadi ditempati orang dewasa dengan
bonekanya. Beberapa saat diamati, pada awalnya anak tersebut tidak memunculkan
perilaku yang aneh dan hanya bermain dengan bonekanya secara wajar. Namun
demikian, setelah beberapa saat bermain dengan bonekanya, mulai tampak dan
muncul perilaku-persilaku kasar serta agresif seperti yang dilakukan orang dewasa
dalam memperlakukan bonekanya. Perilaku-perilaku tersebut sama persis dengan
yang dilakukan orang dewasa terhadap bonekanya. Proses peniruan-peniruan inilah
yang kemudian disebut oleh Bandura sebagai proses modeling.

Hasil eksperimennya memunculkan teori yang dikenal sebagai teori belajar


sosial (social learning). Teori belajar sosial dari Albert Bandura menunjukkan
pentingnya proses mengamati dan meniru perilaku dalam proses belajar, membentuk
sikap siswa, serta memengaruhi reaksi orang lain dalam proses belajar. Artinya,
proses belajar pada individu akan lebih banyak terjadi melalui proses pengamatan
terhadap situasi dan kondisi lingkungannya. Menurut Bandura dalam Sugihartono

14
dkk. 2007:101 (dalam Muhammad Irham 2014:160) oleh sebab itu, teori ini dengan
tegas menjelaskan bahwa kebanyakan perilaku manusia dipelajari sebagai hasil
pengamatan melalui proses modeling, dari pengamatan satu ke bentuk pengamatan
lainnya yang membentuk sebuah perilaku baru yang akan digunakan sebagai
pedoman dan patokan dalam bertindak.

Dengan demikian, proses belajar sosial dapat terjadi melalui aktivitas


peniruan (imitation) dan penyajian-penyajian contoh perilaku (modeling). Menurut
Sugiyono dan Hariyanto 2011: 66-67 (dalam Muhammad Irham, 2014:160) proses
modeling sendiri, ditentukan oleh beberapa komponen tahapan-tahapan tertentu,
sebagai berikut.

1) Adanya atensi (perhatian), artinya apabila ingin mempelajari sesuatu harus


memerhatikannya dengan saksama, penuh konsentrasi, dan kesungguhan.
Oleh sebab itu, akan sangat dipengaruhi oleh kemampuan indra, minat,
persepsi, dan penguatan sebelumnya.
2) Adanya retensi (ingatan), artinya agar modeling berhasil maka harus ada
usaha dan kemampuan mengingat dan mempertahankan ingatan atas apa
yang telah diamati.
3) Adanya kemampuan produksi dan reproduksi, artinya siswa harus mampu
menerjemahkan gambaran hasil pengamatan dalam bentuk-bentuk
perilaku aktual dan yang terpenting adalah kemampuan melakukan
improvisasi dan membayangkan diri sebagai model sekonkret mungkin.
4) Motivasi, yaitu adanya dorongan dan alasan-alasan tertentu yang
mendorong siswa melakukan peniruan. Motivasi mencakup dorongan dari
dalam, dari luar, dan penghargaan terhadap diri sendiri.

Teori belajar sosial dalam perkembangan selanjutnya membantu memahami


munculnya perilaku agresi dan penyimpangan psikologis serta digunakan untuk

15
memodifikasi perilaku. Teori belajar sosial inilah yang mendasari perilaku pemodelan
dan yang selanjutnya digunakan dalam proses pendidikan. Dengan demikian, pada
dasarnya teori belajar sosial menjelaskan perilaku manusia dalam konteks interaksi
timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku, dan pengaruh
lingkungan yang diperoleh melalui kegiatan pengamatan atau observasi. Pada
praktiknya, proses belajar sosial juga perlu memerhatikan beberapa faktor, baik
model atau teladannya maupun individunya sendiri.

Menurut Sugihartono dkk. 2007:102, (dalam Muhammad Irham, 2014:161)


proses belajar sosial yang dilakukan oleh individu akan dapat terjadi apabila
mengikuti dan memenuhi prinsip-prinsip berikut.

1) Individu akan lebih menyukai perilaku yang ditiru apabila perilaku model
sesuai dengan nilai-nilai yang dimilikinya.
2) Individu akan menyukai perilaku yang ditiru jika model atau panutan tersebut
disukai dan dihargai serta perilakunya memiliki nilai yang bermanfaat bagi
individu tersebut.
3) Dari segi pengajaran, pengajar atau guru diharapkan mampu mengadakan
proses pembelajaran kolaboratif. Hal ini disebabkan secara umum proses
pembelajaran terjadi di dalam konteks interaksi sosial dan lingkungan.
4) Tingkat tertinggi belajar pengamatan adalah dengan cara mengorganisasikan
sejak awal dengan cara mengulang perilaku secara simbolik kemudian
melakukannya.
5) Dari segi penilaian, pendidik atau guru diharapakan mampu menyediakan
lingkungan dan insentif yang akan mendukung agar perilaku positif dapat
berlangsung. Hal ini disebabkan perilaku belajar sering kali tidak dapat
terlaksana kecuali pada lingkungan yang benar-benar cocok. Oleh sebab itu,
jika tidak terpenuhi maka hasil penilaian yang diperoleh tidak akan akurat.

16
Daftar Rujukan

Izzaty, E. R. (2008). Perkembangan Peserta Didik. Yogyakarta: UNY Press.

Wahab, R. (2016). Psikologi Belajar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Irham, M. (2014). Psikologi Pendidikan Teori dan Aplikasi dalam Proses


Pembelajaran. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

17

Anda mungkin juga menyukai