Anda di halaman 1dari 32

Teori Behaviorisme

TEORI BEHAVIORISME
(Theory of Behaviorism)

A.M.Irfan Taufan Asfar, A.M.Iqbal Akbar Asfar, Mercy F Halamury


Program Doktoral Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Makassar
tauvanlewis00@gmail.com

Abstrak
Behaviorisme menekankan pada perubahan tingkah laku yang didasari oleh prinsip
stimulus dan respon. Dalam penentuan kebijakan pendidikan paham behavioris ini
masih mendominasi terutama pada kebijakan-kebijakan yang bersifat hakekat dan
prinsip, sedangkan kebijakan penetapan program kurikulum, penyiapan tenaga guru
yang kualifikatif, serta sistem penilaian yang baik merupakan sebuah usaha untuk
memberikan stimulus yang terbaik untuk menghasilkan respon yang diharapkan. Untuk
itu kebijakan pendidikan yang bersifat behavioristik perlu melihat kenyataan di
lapangan dan mengadakan pendekatan inovatif untuk diupayakan keterlaksanaannya
dalam proses pembelajaran. Namun, kesiapan dari berbagai unsur sistem pendidikan
menjadi faktor penentunya. Oleh karena itu, kebijakan pendidikan yang relevan dengan
tuntutan perubahan harus didukung oleh semua pelaku pendidikan termasuk komponen
pendidikan yang lain.
Kata kunci: behaviorisme, stimulus dan respon, pendekatan inovatif

Abstract
Behaviorism emphasizes behavior change based on the principle of stimulus
and response. In determining the behaviorist education policy, this still dominates,
especially in policies that are of the nature and principle, while the policy of
determining curriculum programs, preparation of qualified teacher staff, and a good
assessment system is an effort to provide the best stimulus to produce the expected
response . For this reason behavioristic education policies need to look at the reality on
the ground and make innovative approaches to work in the learning process. However,
the readiness of various elements of the education system is a determining factor.
Therefore, education policies that are relevant to the demands of change must be
supported by all education actors including other educational components.
Keywords: behaviorism, stimulus and response, innovative approach

Cite: Asfar, AMIT., Asfar, AMIA., Halamury MF. 2019. Teori Behaviorisme. 1
Teori Behaviorisme

Behaviorisme merupakan salah satu aliran psikologi yang meyakini bahwa untuk
mengkaji perilaku individu harus dilakukan terhadap setiap aktivitas individu yang
dapat diamati, bukan pada peristiwa hipotetis yang terjadi dalam diri individu. Oleh
karena itu, penganut aliran behaviorisme menolak keras adanya aspek-aspek kesadaran
atau mentalitas dalam individu. Pandangan ini sebetulnya sudah berlangsung lama
sejak jaman Yunani Kuno, ketika psikologi masih dianggap bagian dari kajian filsafat.
Namun kelahiran behaviorisme sebagai aliran psikologi formal diawali oleh J.B.
Watson pada tahun 1913 yang menganggap psikologi sebagai bagian dari ilmu
kealaman yang eksperimental dan obyektif, oleh sebab itu psikologi harus
menggunakan metode empiris, seperti: observasi, conditioning, testing, dan verbal
reports.
John A. Laska dalam Knight (1982), pendidikan dikatakan sebagai sebuah
usaha yang terencana oleh pelajar atau oleh orang lain untuk mengontrol (memberi
panduan, mengarahkan, atau mempengaruhi atau mengatur) suatu situasi belajar untuk
mencapai tujuannya. Pendidikan dilihat dari sudut pandang ini tidak terbatas di
sekolah, kurikulum atau metode sekolah yang tradisional. Pendidikan dapat dipandang
sebagai suatu proses belajar seumur hidup yang dilaksanakan secara terarah dan
terencana. Sedangkan proses pembelajaran menurut Corey (1982) dalam Sagala (2003)
adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara sengaja dikelola untuk
memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi khusus atau
menghasilkan respon terhadap situasi tertentu.

A. Teori dan Pengertian Behaviorisme


Menurut pendekatan behavioristik, belajar dipahami sebagai proses perubahan
tingkah laku teramati yang relatif berlangsung lama sebagai hasil dari pengalaman
dengan lingkungan. Pendekatan behavioristik berkembang melalui eksperimen-
eksperimen, baik pada manusia maupun pada hewan (Kusmintardjo dan Mantja, 2011).
Terdapat empat prinsip filosofis utama dalam pengembangan teori ini yaitu : Manusia
adalah binatang yang sangat berkembang dan manusia belajar dengan cara yang sama

2
Teori Behaviorisme

seperti yang telah dilakukan binatang lainnya; pendidikan adalah proses perubahan
perilaku; peran guru adalah menciptakan lingkungan pembelajaran yang efektif;
efisiensi, ekonomi, ketepatan dan obyektivitas merupakan perhatian utama dalam
pendidikan.
Belajar dapat dipahami sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku
individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan
lingkungan yang melibatkan proses tingkah laku yang timbul akibat proses kematangan
fisik, keadaan mabuk, lelah, dan jenuh tidak dapat dipandang sebagai proses belajar
(Syah, 2003). Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon
(Slavin, 2000). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan
perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang
berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang
diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan siswa
terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara
stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan
tidak dapat diukur. Dapat diamati adalah stimulus dan respon. Oleh karena itu, apa
yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh siswa (respon) harus
dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran
merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah
laku tersebut. Dalam proses pembelajaran input ini bisa berupa alat peraga, gambar-
gambar, atau cara-cara tertentu untuk membantu proses belajar (Budiningsih, 2003).
Teori belajar Behavioristik memandang individu sebagai makhluk reaktif yang
memberi respon terhadap lingkungan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk
perilaku mereka.
Belajar merupakan perubahan perilaku dan penge-tahuan yang relatif lama dari
hasil praktek maupun penga-laman. Ada beberapa poin kunci untuk membahas hal
tersebut dikutip dari Kusmintardjo dan Mantja (2011). Pertama, belajar menghasilkan
perubahan. Pengalaman anda tentang bagaimana melakukan sesuatu di sekolah telah

3
Teori Behaviorisme

berubah melalui belajar yang diawali sejak menjadi murid baru. Demikian halnya
perilaku dokter berubah ketika dia mampu menyembuhkan pasien.
Kedua, perubahan dalam pengetahuan atau perilaku terjadi dalam waktu yang
relatif permanen atau cukup lama. Ketika pertama kali anda mendaftarkan diri ke
sekolah, anda menanyakan kepada teman anda tentang bagaimana cara pengisian
borang pendaftaran, maka hal itu bukan belajar karena tidak ada suatu perubahan
permanen dalam cara pendaftaran. Demikian halnya, dokter yang menangani pasien.
gawat darurat karena kecelakaan juga bukan belajar karena tidak ada perubahan yang
permanen dalam penanganan tersebut.
Ketiga, belajar merupakan hasil dari praktek atau melalui pengalaman melihat
orang lain. Pikirkan kembali ketika anda belajar cara mengemudi mobil. Hanya dengan
melalui praktek anda akan menguasainya. Demikian halnya dengan praktek dan
pengalaman, seorang sekretaris belajar bagaimana cara penggunaan software baru,
belajar seorang analis keuangan belajar implikasi hukum pajak yang baru, insinyur
belajar bagaimana cara mendesain kendaraan yang efisien, dan pramugari belajar
bagaimana cara menghidangkan makanan di atas pesawat.
T. Dengan demikian, dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat
antara reaksi-reaksi behavioral dengan stimulusnya. Guru yang menganut pandangan
ini berpendapat bahwa tingkah laku siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan
tingkah laku adalah hasil belajar.

B. Tokoh-tokoh Behaviorisme
Para tokoh aliran behaviorisme antara lain Thorndike, Skinner, Pavlov,
Gagne, dan Bandura. Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik
adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive
reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon
dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka responpun akan semakin kuat.
Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and
Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement; (3) Schedules of

4
Teori Behaviorisme

Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant


Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).

1. Edward Lee Thorndike (1874 – 1949)


Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon.
Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran,
perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera atau suatu
perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan
organisme untuk bereaksi atau berbuat. Sedangkan respon adalah reaksi yang
dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran,
perasaan, atau gerakan/tindakan (akibat adanya rangsangan). Jadi perubahan
tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat
diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran
behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan
bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike
ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000). Menurut Thorndike,
belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-
peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R).
Eksperimen kucing lapar yang dimasukkan dalam sangkar (puzzle box) diketahui
bahwa supaya tercapai hubungan antara stimulus dan respons, perlu adanya
kemampuan untuk memilih respons yang tepat serta melalui usaha-usaha atau
percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu.
Bentuk paling dasar dari belajar adalah “trial and error learning atau selecting
and connecting lerning” dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu. Oleh
karena itu, teori belajar yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut
dengan teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi.
Ada tiga hukum belajar yang utama, yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan
(3) hukum kesiapan (Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana
hal-hal tertentu dapat memperkuat respon. Thorndike mengemukakan bahwa

5
Teori Behaviorisme

terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini mengikuti hukum-hukum


berikut:
1. Hukum kesiapan (law of readiness), yaitu semakin siap suatu organisme
memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku
tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi
cenderung diperkuat.
2. Hukum latihan (law of exercise), yaitu semakin sering suatu tingkah laku
diulang/dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat.
3. Hukum akibat (law of effect), yaitu hubungan stimulus respon cenderung
diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika
akibatnya tidak memuaskan.

2. Ivan Petrovich Pavlov (1849 – 1936)


Classic Conditioning (pengkondisian atau persyaratan klasik) adalah proses yang
ditemukan Pavlov melalui percobaannya terhadap anjing, di mana perangsang asli
dan netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga
memunculkan reaksi yang diinginkan.
Mula-mula ia menunjukkan makanan (unconditioned stimulus) kepada anjing
yang sedang kelaparan dan mengeluarkan air liur (unconditioned response).
Kemudian Pavlov membunyilkan bel yang (conditioned stimulus) yang diteruskan
dengan pemberian makanan (unconditioned stimulus) kepada anjing
(unconditioned response). Selanjutnya, dalam penelitian Pavlov, yang terjadi
adalah ketika bel mulai dibunyikan maka pada saat yang sama anjing
mengeluarkan air liurnya. Anjing merespon bel tersebut dengan air liur meskipun
tanpa adanya makanan. Classical conditioning telah terjadi. Pebelajar (anjing)
mengenali hubungan antara unconditioned stimulus (makanan) dengan conditional
stimulus (bel) (Kusmintardjo dan Mantja, 2011).
Urutan kejadian melalui percobaan terhadap anjing:

6
Teori Behaviorisme

1. US (unconditioned stimulus) = stimulus asli atau netral: Stimulus tidak


dikondisikan yaitu stimulus yang langsung menimbulkan respon, misalnya
daging dapat merangsang anjing untuk mengeluarkan air liur.
2. UR (unconditioned respons): disebut perilaku responden (respondent
behavior) respon tak bersyarat, yaitu respon yang muncul dengan hadirnya
US, yaitu air liur anjing keluar karena anjing melihat daging.
3. CS (conditioning stimulus): stimulus bersyarat, yaitu stimulus yang tidak
dapat langsung menimbulkan respon. Agar dapat menimbulkan respon perlu
dipasangkan dengan US secara terus-menerus agar menimbulkan respon.
Misalnya bunyi bel akan menyebabkan anjing mengeluarkan air liur jika
selalu dipasangkan dengan daging.
4. CR (conditioning respons): respons bersyarat, yaitu rerspon yang muncul
dengan hadirnya CS, Misalnya: air liur anjing keluar karena anjing
mendengar bel.
Dari eksperimen Pavlov setelah pengkondisian atau pembiasan dapat diketahui
bahwa daging yang menjadi stimulus alami (UCS = Unconditional Stimulus =
Stimulus yang tidak dikondisikan) dapat digantikan oleh bunyi lonceng sebagai
stimulus yang dikondisikan (CS = Conditional Stimulus = Stimulus yang
dikondisikan). Ketika lonceng dibunyikan ternyata air liur anjing keluar sebagai
respon yang dikondisikan. Dengan menerapkan strategi Pavlov ternyata individu
dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang
tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara
individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari
luar dirinya.

3. Burrhus Frederic Skinner (1904 – 1990)


Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli
konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara
sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus

7
Teori Behaviorisme

dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian
menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan
oleh tokoh-tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak
sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi
dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan.
Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-
konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin,
2000). Oleh karena itu, dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar
harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta
memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang
mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengmukakan bahwa dengan
menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan
tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang
digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
Prinsip-prinsip utama pandangan Skinner:
 Descriptive behaviorism, pendekatan eksperimental yang sistematis pada
perilaku yang spesifik untuk mendapatkan hubungan S-R. Pendekatannya
induktif. Dalam hal ini pengaruh Watson jelas terlihat.
 Empty organism, menolak adanya proses internal pada individu.
 Menolak menggunakan metode statistikal, mendasarkan pengetahuannya
pada subyek tunggal atau subyek yang sedikit namun dengan manipulasi
eksperimental yang terkontrol dan sistematis.
Konsep-konsep utama:
1. Proses operant conditioning:
 Memilah perilaku menjadi respondent behavior dan operant behavior.
Respondent terjadi pada kondisioning klasik, dimana reinforcement
mendahului UCR/CR. Dalam kondisi sehari-hari yang lebih sering terjadi
adalah operant behavior dimana reinforcement terjadi setelah respons.

8
Teori Behaviorisme

 Positive dan negative reinforcers (kehadirannya PR menguatkan perilaku


yang muncul, sedangkan justru ketidakhadiran NR yang akan
menguatkan perilaku).
 Extinction: hilangnya perilaku akibat dari dihilangkannya reinforcers
 Schedules of reinforcement, berbagai variasi dalam penjadwalan
pemberian reinforcement dapat meningkatkan perilaku namun dalam
kadar peningkatan dan intensitas yang berbeda-beda (Lundin, 1991)
 Discrimination : organisma dapat diajarkan untuk berespon hanya pada
suatu stimulus dan tidak pada stimulus lainnya.
 Secondary reinforcement, adalah stimulus yang sudah melalui proses
pemasangan/kondisioning dengan reinforcer asli sehingga akhirnya bisa
mendapatkan efek reinforcement sendiri.
 Aversive conditioning, proses kondisioning dengan melibatkan suasana
tidak menyenangkan. Hal ini dilakukan dengan punishment. Reaksi
organisme adalah escape atau avoidance.

2. Behavior Modification
Adalah penerapan dari teori Skinner, sering juga disebut sebagai behavior
therapy. Merupakan penerapan dari shaping (pembentukan TL bertahap),
penggunaan positive reinforcement secara selektif, dan extinction. Pendekatan
ini banyak diterapkan untuk mengatasi gangguan perilaku.
Kritik terhadap Skinner:
 Pendekatannya yang lebih bersifat deskriptif dan kurang analitis
dianggap kurang valid sebagai sebuah teori
 Validitas dari kesimpulan yang diambilnya yang merupakan
generalisasi berlebihan dari satu konteks perilaku kepada hampir
seluruh perilaku umum
 Pandangan ‘empty organism’ mengundang kritik dari pendukung
aspek biologis dan psikologi kognitif yang percaya pada kondisi
internal mansuia, entah itu berupa proses biologis atau proses mental

9
Teori Behaviorisme

Manajemen kelas menurut Skinner adalah berupa usaha untuk memodifikasi


perilaku (behavior modification) antara lain dengan proses penguatan
(reinforcement) yaitu memberi penghargaan pada perilaku yang diinginkan
dan tidak memberi imbalan apapun pada perilaku yang tidak tepat.
Operant Conditioning atau pengkondisian operan adalah suatu proses
penguatan perilaku operan (penguatan positif atau negatif) yang dapat
mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang
sesuai dengan keinginan.
Perilaku operan adalah perilaku yang dipancarkan secara spontan dan bebas
Skinner membuat eksperiment sebagai berikut: dalam laboratorium. Skinner
memasukkan tikus yang telah dilaparkan dalam kotak yang disebut ”Skinner
box” yang sudah dilengkapi dengan berbagai peralatan, yaitu tombol, alat
pembeli makanan, penampung makanan, lampu yang dapat diatur nyalanya,
dan lantai yang dapat dialiri listrik.
Karena dorongan lapar (hunger drive), tikus berusaha keluar untuk mencari
makanan. Selama tikus bergerak kesana kemari untuk keluar dari box, tidak
sengaja ia menekan tombol, makanan keluar. Secara terjadwal diberikan
makanan secara bertahap sesuai peningkatan perilaku yang ditunjukkan si
tikus, proses ini disebut shaping.
Unsur terpenting adalah penguatan (reinforcement). Maksudnya adalah
pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus respon akan semakin kuat
bila diberi penguatan. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua, yaitu
penguatan positif dan penguatan negatif. Penguatan positif sebagai stimulus,
dapat meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku itu sedangkan
penguatan negatif dapat mengakibatkan perilaku berkurang atau menghilang.
Beberapa prinsip belajar Skinner antara lain (Kusmintardjo dan Mantja,
2011):
a. Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah
dibetulkan, jika benar diberi penguat.

10
Teori Behaviorisme

b. Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar.


c. Materi pelajaran, digunakan sistem modul.
d. Dalam proses pembelajaran, lebih dipentingkan aktivitas sendiri.
e. Dalam proses pembelajaran, tidak digunakan hukuman. Untuk ini
lingkungan perlu diubah, untuk menghindari adanya hukuman.
f. Tingkah laku yang diinginkan pendidik, diberi hadiah, dan sebaiknya
hadiah diberikan dengan digunakannya jadwal variable rasio reinforcer.
g. Dalam pembelajaran, digunakan shaping.
Beberapa kekeliruan dalam penerapan teori, Skinner adalah penggunaan
hukuman sebagai salah satu cara untuk mendiskripsikan siswa menurut
Skinner hukuman yang baik adalah anak merasakan sendiri konsekuensi
dari perbuatannya misalnya anak perlu mengalami sendiri kesalahan dan
merasakan akibat dari kesalahan. Penggunaan hukuman verba maupun
fisik seperti : kata-kata kasar, ejekan, cubitan, jeweran justru berakibat
buruk pada siswa.
Selain itu kesalahan dalam reinforcement positif juga terjadi di dalam
situasi pendidikan seperti penggunaan rangking juara di kelas yang
mengharuskan anak menguasai semua mata pelajaran. Sebaliknya setiap
anak diberi penguatan sesuai dengan kemampun yang diperlihatkan
sehingga dalam satu kelas terdapat banyak penghargaan sesuai dengan
prestasi yang ditunjukkan para siswa; misalnya: penghargaan di bidang
bahasa, matematika, fisika, menyanyi, menari, atau olahraga.
4. Edwin Ray Guthrie (1886 – 1959)
Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti yaitu Contiguity dapat
diartikan sebagai rangkaian peristiwa, hal-hal atau benda-benda yang terus saling
berkait antara satu dengan lainnya. Teori ini dikembangkan oleh Edwin Ray
Guthrie (1886-1956). Guthrie menegaskan bahwa kombinasi stimulus yang
muncul bersamaan dengan satu gerakan tertentu, sehingga belajar adalah
konsekuensi dari asosiasi antara stimulus dan respon tertentu (Hitipew, 2009).

11
Teori Behaviorisme

Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk


menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang
dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat
terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak
hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara
stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta
didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon
bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman
(punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang
diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon
secara tepat. Siswa harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam
mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh
anak.

5. John Watson (1878-1958)


Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan
respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati
(observable) dan dapat diukur. Jadi, walaupun dia mengakui adanya perubahan-
perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia
menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena
tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya
tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang
sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat
diamati dan diukur.
Setelah memperoleh gelar master dalam bidang bahasa (Latin dan Yunani),
matematika, dan filsafat di tahun 1900, ia menempuh pendidikan di University of
Chicago. Minat awalnya adalah pada filsafat, sebelum beralih ke psikologi karena

12
Teori Behaviorisme

pengaruh Angell. Dalam karyanya ini Watson menetapkan dasar konsep utama
dari aliran behaviorisme:
1) Psikologi adalah cabang eksperimental dari natural science. Posisinya setara
dengan ilmu kimia dan fisika sehingga introspeksi tidak punya tempat di
dalamnya
2) Sejauh ini psikologi gagal dalam usahanya membuktikan jati diri sebagai
natural science. Salah satu halangannya adalah keputusan untuk menjadikan
bidang kesadaran sebagai obyek psikologi. Oleh karenanya kesadaran/mind
harus dihapus dari ruang lingkup psi.
3) Obyek studi psikologi yang sebenarnya adalah perilaku nyata.

6. Clark L. Hull (1884-1952)


Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk
menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi
Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku
bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh
sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan
biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam
seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam
belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon
yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah
laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis
(Gredler, 1991).
Prinsip-prinsip utama teorinya :
 Reinforcement adalah faktor penting dalam belajar yang harus ada. Namun
fungsi reinforcement bagi Hull lebih sebagai drive reduction daripada
satisfied factor.
 Dalam mempelajari hubungan S-R yang diperlu dikaji adalah peranan dari
intervening variable (atau yang juga dikenal sebagai unsur O (organisme).
Faktor O adalah kondisi internal dan sesuatu yang disimpulkan (inferred),

13
Teori Behaviorisme

efeknya dapat dilihat pada faktor R yang berupa output. Karena pandangan
ini Hull dikritik karena bukan behaviorisme sejati.
 Proses belajar baru terjadi setelah keseimbangan biologis terjadi. Di sini
tampak pengaruh teori Darwin yang mementingkan adaptasi biologis
organisma.
 Hypothetico-deductive theory
Adalah teori belajar yang dikembangkan Hull dengan menggunakan metode
deduktif. Hull percaya bahwa pengembangan ilmu psikologi harus
didasarkan pada teori dan tidak semata-mata berdasarkan fenomena
individual (induktif). Teori ini terdiri dari beberapa postulat yang
menjelaskan pemikirannya tentang aktivitas otak, reinforcement, habit,
reaksi potensial, dan lain sebagainya (Lundin, 1991).
Sumbangan utama Hull adalah pada ketajaman teorinya yang detil, ditunjang
dengan hasil-hasil eksperimen yang cermat dan ekstensif. Akibatnya ide Hull
banyak dirujuk oleh para ahli behavioristik lainnya dan dikembangkan.

7. Albert Bandura (1925)


Bandura lahir di Canada, memperoleh gelar Ph. D dari University of Iowa dan
kemudian mengajar di Stanford University. Sebagai seorang behaviorist, Bandura
menekankan teorinya pada proses belajar tentang respon lingkungan. Oleh
karenanya teorinya disebut teori belajar sosial, atau modeling. Prinsipnya adalah
perilaku merupakan hasil interaksi resiprokal antara pengaruh tingkah laku,
koginitif dan lingkungan. Singkatnya, Bandura menekankan pada proses modeling
sebagai sebuah proses belajar.
Inti utama dalam teori ini adalah bahwa dalam belajar tidak hanya ada
reinforcement dan punishment saja, namun menyangkut perasaan dan pikiran.
Teori belajar sosial menyatakan tentang pentingnya manusia dalam proses belajar,
yang disebutnya dengan sebutan proses kognitif. Faktor-faktor yang berproses
dalam belajar observasi adalah: 1) perhatian, mencakup peristiwa peniruan dan

14
Teori Behaviorisme

karakteristik pengamat; 2) penyimpanan atau proses mengingat, mencakup kode


pengkodean simbolik; 3) reproduksi motorik, mencakup kemampuan fisik,
kemampuan meniru, keakuratan umpan balik; 4) motivasi, mencakup dorongan
dari luar dan penghargaan terhadap diri sendiri (Kusmintardjo dan Mantja, 2011).
Teori utama :
 Observational learning atau modeling adalah faktor penting dalam proses
belajar manusia.
 Dalam proses modeling, konsep reinforcement yang dikenal adlaah
vicarious reinforcement, reinforcement yang terjadi pada orang lain dapat
memperkuat perilaku individu. Self-reinforcement, individu dapat
memperoleh reinforcement dari dalam dirinya sendiri, tanpa selalu harus ada
orang dari luar yang memberinya reinforcement.
 Menekankan pada self-regulatory learning process, seperti self-judgement,
self-control, dan lain sebagainya.
 Memperkenalkan konsep penundaan self-reinforcement demi kepuasan yang
lebih tinggi di masa depan

C. Prinsip-Prinsip Belajar Behaviorisme


Teknik Behaviorisme telah digunakan dalam pendidikan untuk waktu yang lama
untuk mendorong perilaku yang diinginkan dan untuk mencegah perilaku yang tidak
diinginkan.
 Stimulus dan Respons
Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa misalnya alat
peraga, gambar atau charta tertentu dalam rangka membantu belajarnya.
Sedangkan respons adalah reaksi siswa terhadap stimulus yang telah diberikan
oleh guru tersebut, reaksi ini haruslah dapat diamati dan diukur.
 Reinforcement (penguatan)

15
Teori Behaviorisme

Konsekuensi yang menyenangkan akan memperkuat perilaku disebut


penguatan (reinforcement) sedangkan konsekuensi yang tidak menyenangkan
akan memperlemah perilaku disebut dengan hukuman (punishment).
1) Penguatan positif dan negatif
Pemberian stimulus positif yang diikuti respon disebut penguatan positif.
Sedangkan mengganti peristiwa yang dinilai negatif untuk memperkuat
perilaku disebut penguatan negatif
2) Penguatan primer dan sekunder
Penguat primer adalah penguatan yang digunakan untuk memenuhi
kebutuhan fisik. Sedangkan penguatan sekunder adalah penguatan yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan non fisik.
3) Kesegeraan memberi penguatan (immediacy)
Penguatan hendaknya diberikan segera setelah perilaku muncul karena akan
menimbulkan perubahan perilaku yang jauh lebih baik dari pada pemberian
penguatan yang diulur-ulur waktunya.
4) Pembentukan perilaku (Shapping)
Menurut skinner untuk membentuk perilaku seseorang diperlukan langkah-
langkah berikut :
a. Mengurai perilaku yang akan dibentuk menjadi tahapan-tahapan yang
lebih rinci;
b. menentukan penguatan yang akan digunakan;
c. Penguatan terus diberikan apabila muncul perilaku yang semakin dekat
dengan perilaku yang akan dibentuk.
5) Kepunahan (Extinction)
Kepunahan akan terjadi apabila respon yang telah terbentuk tidak
mendapatkan penguatan lagi dalam waktu tertentu.

D. Analisis Tentang Teori Behavioristik

16
Teori Behaviorisme

Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan


tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk
merangsang siswa dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka
behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan
menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu.
Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai
yang komplek (Suparno, 1997).
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan
situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan
dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan
stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-
penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon. Pandangan
behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi siswa,
walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak
dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman
penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda,
juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan
behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka
tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan
unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linier,
konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar
merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa siswa menuju atau
mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik untuk tidak bebas
berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang berpengaruh yang
mempengaruhi proses belajar. Jadi teori belajar tidak sesederhana yang dilukiskan teori
behavioristik.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak
menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang

17
Teori Behaviorisme

mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi


siswa untuk berpikir dan berimajinasi.
Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar.
Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:
a. Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara.
b. Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari
jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama.
c. Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah
dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat
mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk
daripada kesalahan yang diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat
negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila
hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda
dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus)
harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang
siswa perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika siswa tersebut masih saja
melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu
tidak mengenakkan siswa (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan
malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong siswa untuk memperbaiki
kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari
penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya
bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif
menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat
respons.

E. Aplikasi Teori Behavioristik terhadap Pembelajaran Siswa


Aliran psikologi belajar yang sangat besar memengaruhi arah pengembangan
teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik.
Menurut Budiningsih, (2005) dari semua teori pendukung tingkah laku, teori

18
Teori Behaviorisme

skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar.


Beberapa program pembelajaran menggunakan sistem stimulus dan respon yang
diwujudkan dalam program-program pembelajaran yang disertai oleh perangkat
penguatan (reinforcement). Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang
tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus
responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau
perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata.
Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan
menghilang bila dikenai hukuman.
Istilah-istilah seperti hubungan stimulus respon, individu atau siswa pasif,
perilaku sebagai hasil yang tampak, pembentukan perilaku (shaping) dengan penataan
kondisi secara ketat, reinforcement dan hukuman, ini semua merupakan unsur-unsur
yang sangat penting dalam teori behavioristik. Teori ini hingga sekarang masih merajai
praktek pembelajaran di Indonesia. Hal ini tampak dengan jelas pada penyelenggaraan
pembelajaran dari tingkat yang paling dini, seperti kelompok bermain, Taman Kanak-
Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, bahkan sampai Perguruan Tinggi,
pembentukan perilaku dengan cara drill (pembiasaan) disertai dengan reinforcement
atau hukuman masih sering dilakukan.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari
beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik siswa,
media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan
berpijak pada teori behvioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti,
tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah
perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan
(transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau siswa. Fungsi mind atau pikiran
adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir
yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir
seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Siswa
diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang

19
Teori Behaviorisme

diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus
dipahami oleh murid (Degeng, 2006).
Demikian halnya dalam proses belajar mengajar, siswa dianggap sebagai objek
pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu,
para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan
standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para siswa.
Begitu juga dalam proses evaluasi belajar siswa diukur hanya pada hal-hal yang nyata
dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat unobservable kurang dijangkau dalam
proses evaluasi. Guru yang menggunakan paradigma behaviorisme akan menyusun
bahan pelajaran yang sudah siap sehingga tujuan pembelajaran yang dikuasai siswa
disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak hanya memberi ceramah tetapi juga
contoh-contoh. Bahan pelajaran disusun hierarki dari yang sederhana sampai yang
kompleks. Hasil dari pembelajaran dapat diukur dan diamati, kesalahan dapat
diperbaiki. Hasil yang diharapkan adalah terbentuknya suatu perilaku yang diinginkan.
Metode ini sangat cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan
praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur kecepatan, spontanitas, kelenturan,
daya tahan, contohnya percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan
komputer, berenang, olahraga dan sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk
melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi orang dewasa, suka
mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk
penghargaan langsung.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang
memberikan ruang gerak yang bebas bagi siswa untuk berkreasi, bereksperimentasi
dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut
bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga
terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya siswa kurang mampu untuk
berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka karena teori
behavioristik memandang bahwa sebagai pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur,
maka siswa atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas

20
Teori Behaviorisme

dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat
esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan
penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan
dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau
kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah.
Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar.
Siswa atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga
kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri siswa (Degeng,
2006). Kesimpulan mengenai kekurangan secara umum metode ini adalah
pembelajaran siswa yang berpusat pada guru bersifat mekanistik dan hanya
berorientasi pada hasil. Murid dipandang pasif, murid hanya mendengarkan, menghafal
penjelasan guru sehingga guru sebagai sentral dan bersifat otoriter.

F. Pendekatan Behavioristik dalam Perumusan Kebijakan Pendidikan


Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan
pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut siswa untuk
mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan,
kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang
terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan.
Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih
banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan
mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi
menekankan pada hasil belajar. Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan
secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar
menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila siswa menjawab secara “benar” sesuai
dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas
belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan
pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini
menekankan evaluasi pada kemampuan siswa secara individual.

21
Teori Behaviorisme

Pendidikan akan tercapai apabila pihak pendidik dan terdidik memahami teori
pendidikan, tentu saja teori yang dipakai tidak bisa berdiri sendiri, tetapi satu dengan
yang lain akan saling melengkapi, sehingga dapat menggunakan teori tersebut sesuai
yang dibutuhkan saat itu. Pengaruh berbagai macam teori pendidikan dalam penentuan
kebijakan tentu saja tidak dapat dibantah lagi, termasuk pengaruh teori behaviorisme
dalam penentuan kebijakan pendidikan di Indonesia. Berikut sebagian kebijakan yang
bisa dikaitkan dengan konsep filosofi behaviorisme, yang diantaranya adalah :
1. Pendidikan adalah suatu proses untuk pembentukan perilaku. Tertuang
secara jelas dalam Tujuan pendidikan nasional
Menurut para behavioris, manusia diprogram untuk bertindak dalam cara-cara
tertentu oleh lingkungannya. Jika benar akan diberi hadiah oleh alam dan bila
salah akan dihukum oleh alam. Tindakan yang diberi hadiah cenderung diulang,
sedangkan yang dihukum cenderung dihilangkan. Oleh sebab itu, perilaku
dapat dibentuk dengan memanipulasi proses penghargaan dan hukuman
tersebut. Tugas dari pendidikan adalah untuk menciptakan lingkungan
belajar yang mengarah pada perilaku yang diinginkan. Sekolah dipandang
sebagai cara untuk merancang suatu budaya.
Fungsi dan tujuan pendidikan nasional, UU No. 20 tahun 2003 tentang
sisdiknas Menyatakan bahwa “Pendidikan nasional berperan
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadfi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab”.
Standar Sarana Prasarana, Pasal 45. ayat 1 bahwa “Setiap satuan pendidikan
formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi
keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi
fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik”.

22
Teori Behaviorisme

2. Proses belajar Behavioristik mengutamakan tentang bagaimana


memberikan stimulus yang tepat dan pembentukan kebiasaan melalui
proses latihan dan pengulangan untuk menghasilkan respon yang
diiharapkan.
Proses pencarian stimulus yang tepat ini tertuang secara jelas dalam sebuah
kebijakan yang dinamakan kurikulum. Kurikulum di artikan sebagai program
pendidikan yang disediakan sekolah atau lembaga pendidikan bagi siswa.
Berdasarkan program tersebut siswa melakukan berbagai macam kegiatan
belajar sehingga mendorong perkembangan dan pertumbuhan sesuai tujuan
pendidikan yang diharapkan. Kurikulum penganut behavioris mengutamakan
proses pembentukan kebiasaan melalui proses latihan dan pengulangan.
Kurikulum ini sangat cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih
membutuhkan dominasi peran orang dewasa, suka mengulangi, suka meniru
dan senang dengan bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau
pujian. Kurikulum behavioris juga masih diterapkan dalam ilmu-ilmu yang
membutuhkan unsur kecepatan, reflek, daya tahan dsb contohnya seperti
menari, mengetik, menggunakan komputer dsb.
Kebijakan lain yang juga diwarnai oleh teori ini adalah kebijakan tentang
adanya kurikulum khusus untuk pendidikan anak usia dini, pendidikan siswa
yang bersifat pembiasaan dan kecakapan kecakapan tertentu misalnya
kurikulum SMK tentu saja lebih banyak menekankan pada latihan daripada
proses pencarian ilmu secara mandiri. Hal-hal tersebut antara lain tercakup
dalam kebijakan-kebijakan seperti di bawah ini:

Permin Dik Nas No. 16-17 dan 18 Tahun 2007


Bab III, pasal 13 ayat:
1) Kurikulum untuk SMP/MTs/SMPLB atau bentuk lain yang sederajad,
SMA/MA/SMALB atau bentuk lain yang sederajad, SMK/MAK atau

23
Teori Behaviorisme

bentuk lain yang sederajad dapat memasukkan pendidikan kecakapan


hidup.
2) Pendidikan kecakapan hidup sebagaimana dimaksud ayat 1 mencakup
kecakapan pribadi, sosial, akademik dan kecakapan vokasional.
3) Pendidikan kecakapan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat 1,2, dapat
merupakan bagian dari pendidikan kelompok mata pelajaran agama dan
akhlak mulia, kewarganegaraan, dan kepribadian, ilmu pengetahuan dan
teknologi, pendidikan estetika, pendidikan jasmani, olahraga dan
kesehatan.
4) Pendidikan kecakapan hidup sebagaimana dimaksud ayat 1,2,3 dapat
diperoleh peserta didik dari satuan pendidikan yang bersangkutan atau dari
satuan pendidikan nonformal yang sudah memperoleh akreditasi.

BAB IV. Standar Proses.


Pasal 19 ayat:
1) Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara
interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik
untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi
prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan
perkembangan fisik serta psikologi peserta didik.
2) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, dalam proses
pembelajaran pendidikan memberikan keteladanan.
3) Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran,
pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran dan
pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran
yang efektif dan efisien.
3. Peran guru adalah untuk menciptakan lingkungan yang efektif
Elemen utama pendidikan yang telah hilang di kebanyakan lingkungan adalah
penghargaan yang positif. Pendidikan tradisional yang mempunyai guru yang

24
Teori Behaviorisme

tradisional pula, masih sering menggunakan bentuk terapi kontrol yang negatif
seperti hukuman. Seiring dengan kemajuan dunia pendidikan, guru diharapkan
mampu memberikan sebuah stimulus yang sesuai dengan kondisi anak dan
kondisi lingkungan yang ada saat ini. Seorang guru yang mempunyai
kualifikasi keilmuan dan pedagogis yang cukup tentunya mampu memberikan
stimulus yang tepat agar bisa menimbulkan respon yang positif dari siswa.
Dalam pasal 42 ayat 1 UU No. 20 tahun 2003 tentang sisdiknas dikemukakan
bahwa pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai
dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta
memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Demikian pula yang terdapat pada permendiknas no. 16/2007 tentang standar
kompetensi guru.
Merujuk dari pasal diatas terlihat bahwa proses pendidikan di Indonesia masih
terlihat dijiwai oleh paham behaviorisme yang mengutamakan keefektifan
pemberian stimulus oleh seorang yang berkualifikasi. Dengan kualifikasi guru
yang memadai ini diharapkan mampu menciptakan lingkungan yang kondusif
agar siswa dapat memberikan respon yang sesuai.
4. Sistem evaluasi behavoristik menekankan pada respon pasif, keterampilan
secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test.
Teori behavioristik menekankan evaluasi pada kemampuan siswa secara
individual, biasanya dalam bentuk evaluasi yang menuntut satu jawaban yang
”benar” sesuai dengan keinginan guru atau keinginan ”kunci”. Evaluasi belajar
dipandang sebagai bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan
biasanya dilakukan setelah kegiatan pembelajaran.
Kebijakan berkaitan dengan pandangan ini tentu saja masih sangat dekat dalam
kehidupan pendidikan kita, misalnya dengan adanya test tengah semester, test
akhir semester, bahkan sampai kebijakan Ujian Nasional. Semua instrumen dari
penilaian ini selalu dalam bentuk pilihan yang menunjuk pada satu jawaban
yang paling benar walaupun ada pertanyaan yang menuntut jawaban sikap.

25
Teori Behaviorisme

Lebih-lebih dalam Ujian Nasional yang sampai saat ini masih banyak
dipertanyakan tentang pelaksanaannya juga sangat kental dengan suasana
behaviorisme. Seperti yang tercantum dalam Pasal 66 PP 19 tahun 2005
tentang (1) Penilaian hasil belajar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat
(1) butir c bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara
nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu
pengetahuan teknologi dan dilakukan dalam bentuk ujian nasional. (2) Ujian
nasional dilakukan secara obyektif, berkeadilan, dan akuntabel. (3) Ujian
nasional diadakan sekurang-kurangnya satu kali dan sebanyak-banyaknya dua
kali dalam satu tahun pelajaran.

Pada hakekatnya teori behavioristik ini masih sangat kental terasa dalam setiap
kebijakan pendidikan, terutama di Indonesia. Hampir semua kebijakan pendidikan
yang ada selalu menekankan pada pembentukan perilaku dan pemberian stimulus yang
cocok untuk mencapai perilaku yang diinginkan. Walaupun teori ini sarat dengan
kritikan, namun banyak dalam hal tertentu masih diperlukan, khususnya dalam
mempelajari aspek-aspek yang bersifat tetap dan permanen dengan tujuan belajar yang
telah dirumuskan secara ketat.
Tentu saja paparan diatas tidak bisa mewakili seberapa besar paham behavioris
ini memengaruhi pendidikan yang ada di Indonesia, karena penerapan teori ini kadang
berkaitan dengan teori yang lain dalam mewarnai satu kebijakan sehingga sulit
mendefinisi suatu kebijakan itu lebih cenderung ke arah teori yang mana. Penerapan
Teori pendidikan eklektik merupakan solusi yang dirasa paling sesuai saat ini, dengan
meniadakan kekurangan dari satu teori dan menutupinya menggunakan teori yang lain
diharapkan proses pendidikan yang terjadi akan lebih sempurna.

G. Pengembangan Perilaku Perspektif Teori Belajar Behavioristik

1. Prosedur-prosedur pengembangan tingkah laku baru

26
Teori Behaviorisme

Di samping penggunaan reinforcement untuk memperkuat tingkah laku, ada dua


metode lain yang penting untuk mengembangkan pola tingkah laku baru yakni shaping
dan modelling.
Shaping
Kebanyakan yang diajarkan di sekolah adalah urutan tingkah laku yang
kompleks, bukan hanya “simple response”. Tingkah laku yang kompleks ini dapat
diajarkan melalui proses “shaping” atau “successive approximations” (menguatkan
komponen-komponen respon final dalam usaha mengarahkan subyek kepada respon
final tersebut), beberapa tingkah laku yang mendekati respon tersekolahnal. Bila guru
membimbing siswa menuju pencapaian tujuan dengan memberikan reinforcement pada
langkah-langkah menuju keberhasilan, maka guru itu menggunakan teknik yang
disebut shaping. Reinforcement dan extinction merupakan alat agar terbentuknya
tingkah laku operant baru. Adapun langkah perbaikan tingkah laku belajar murid antara
lain:
• Datang di kelas pada waktunya.
• Berpartisipasi dalam belajar dan merespon guru.
• Menunjukkan hasil-hasil tes dengan baik.
• Mengerjakan pokerjaan rumah.
• Penyempurnaan.
Hasil dari lima komponen untuk memperbaiki tingkah laku menunjukkan bahwa
kehadiran masuk sekolah bertambah setelah beberapa bulan. Yang lebih penting lagi
ialah para siswa menjadi lebih bisa bekerja sama di kelas dan menggunakan waktu
belajar mereka lebih efektif.
Modelling
Modelling adalah suatu bentuk belajar yang dapat diterangkan secara tepat oleh
classical conditioning maupun oleh operant conditioning. Dalam modelling, seorang
individu belajar menyaksikan tingkah laku orang lain sebagai model. Tingkah laku
manusia lebih banyak dipelajari melalui modeling atau imitasi, sehingga kadang-
kadang disebut belajar dengan pengajaran langsung. Pola bahasa, gaya pakaian, dan

27
Teori Behaviorisme

musik dipelajari dengan mengamati tingkah laku orang lain. Modelling dapat terjadi,
baik dengan “direct reinforcement” maupun dengan “vicarious reinforcement”. Misal,
seseorang yang menjadi idola kita menawarkan produk tertentu di layar TV. Kita akan
merasa senang jika bisa memakai produk serupa.
Sangat mungkin kita belajar meniru karena di-reinforced untuk melakukannya.
Hampir sebagian besar anak mempunyai pengalaman belajar pertama termasuk
reinforcement langsung dengan meniru model (orang tuanya). Hal yang biasa jika kita
mendengar bahwa anak kita dengan bangga mengatakan, bahwa dia telah mengerjakan
sebagaimana yang telah dikerjakan orang tuanya.
Modelling juga dapat dipakai untuk mengajarkan keterampilan-keterampilan
akademis dan motorik. Salah satu contoh ketika membaca sebuah wacana di kelas oleh
guru yakni dengan kadang-kadang tertawa terbahak-bahak, tersenyum, mengerutkan
dahi dan sebagainya, untuk membangkitkan minat anak terhadap buku itu.
Modelling bisa diterapkan di sekolah dengan mengambil guru maupun orang
lain atau anak lain yang sebaya sebagai model dari suatu tingkah laku, mungkin
pelajaran akidah akhlak, Qur’an Hadits, Bahasa Arab, Bahasa Inggris, dan lain-lain.
Berkaitan dengan pengajaran keterampilan motorik dan akademis. Misal, siswa diajak
ke suatu tempat di mana terdapat sesuatu yang bisa ditiru oleh anak atau menghadirkan
model tersebut ke dalam kelas/sekolah.
2. Prosedur-prosedur Pengendalian atau Perbaikan Tingkah Laku.
a) Memperkuat Tingkah Laku Bersaing
Dalam usaha merubah tingkah laku yang tak diinginkan diadakan penguatan
tingkah laku yang diinginkan misalnya dengan kegiatan – kegiatan kerjasama,
membaca dan bekerja di satu meja untuk mengatasi kelakuan-kelakuan
menentang, melamun, dan hilir mudik.
Misalnya, sekelompok siswa memperlihatkan tingkah laku yang tidak
diinginkan, yaitu menarik rambut, mengabaikan perintah guru, berkelahi,
berjalan sekeliling kelas. Sesudah menerapkan aturan-aturan kelas kepada
siswa, guru melupakan atau mengabaikan tingkah laku siswa yang mengacau

28
Teori Behaviorisme

dan memuji tingkah laku siswa yang memberi kesempatan guru untuk
mengajar. Dalam beberapa waktu, social reinforcement untuk tingkah laku
yang tepat mengurangi tingkah laku yang tidak diinginkan.
b) Ekstingsi
Ekstingsi ialah proses di mana suatu operant yang telah terbentuk tidak
mendapat reinforcement lagi. Ekstingsi dilakukan dengan
membuat/meniadakan peristiwa-peristiwa penguat tingkah laku. Ekstingsi
dapat dipakai bersama-sama dengan metode lain seperti “modelling dan social
reinforcement”. Misalnya, Ana salah seorang siswi kelas tiga selalu
mengacungkan tangan ketika guru meminta para siswa untuk menjawab
pertanyaan. Tetapi guru tidak memberikan perhatian pada Ana yang ingin
menjawab pertanyaan gurunya tersebut. Suatu ketika Ana tidak mau lagi
mengacungkan tangan ketika guru meminta para siswa untuk menjawab
pertanyannya meskipun ia bisa menjawabnya.
Guru-guru sering mengalami kesulitan mengadakan ekstingsi karena mereka
harus belajar mengabaikan “misbehaviors” tertentu. Tentu saja ada jenis-jenis
tingkah laku yang tidak dapat diabaikan oleh guru-guru terutama tingkah laku
yang menyinggung perasaan murid-murid.
Ekstingsi berlangsung terutama jika reinforcement adalah perhatian. Apabila
murid memperhatikan ke sana ke mari, maka perubahan interaksi guru murid
akan menghentikan tingkah laku murid tersebut.
c) Satiasi
Satiasi adalah suatu prosedur menyuruh seseorang melakukan perbuatan
berulang-ulang sehingga ia menjadi lelah atau jera. Contoh: seorang ayah yang
memergoki anak kecilnya merokok menyuruh anak merokok sampai habis satu
pak sehingga anak itu bosan. Jika tingkah laku yang diulang berbeda dengan
tingkah laku yang tidak diinginkan maka satiasi tidak tepat. Tepat adalah
menerapkan metode disiplin seperti menulis 100 kali. Guru sebaiknya mencoba

29
Teori Behaviorisme

memperkuat tingkah laku yang tepat untuk menggantikan tingkah laku yang
tidak diinginkan.
d) Perubahan Lingkungan Stimuli
Beberapa tingkah laku dapat dikendalikan oleh perubahan kondisi stimuli yang
mempengaruhi tingkah laku itu. Jika murid terganggu oleh suara gaduh di luar
kelas, ketukan jendela dapat menghentikan gangguan itu. Jika suatu tugas yang
sulit mengecewakan murid, maka guru dapat mengganti dengan tugas yang
kurang begitu sulit. Jika di kelas ada dua orang murid yang termenung saja,
guru dapat menghampiri atau duduk di dekat mereka.
e) Hukuman
Untuk memperbaiki tingkah laku, hukuman hendaknya diterapkan di kelas
dengan bijaksana. Hukuman dapat mengatasi tingkah laku yang tak diinginkan
dalam waktu singkat, untuk itu perlu disertai dengan reinforcement. Hukuman
menunjukkan apa yang tak boleh dilakukan murid, sedangkan reward
menunjukkan apa yang mesti dilakukan oleh murid.
Bukti menunjukkan, bahwa hukuman atas kelakuan murid yang tak pantas lebih
efektif daripada tidak menghukum.
Ada dua bentuk hukuman:
1. Pemberian stimulus derita, misalnya: bentakan, cemoohan, atau ancaman.
2. Pembatalan perlakuan positif, misalnya: mengambil kembali suatu
mainan atau mencegah anak untuk bermain-main bersama teman-
temannya.
Harus kita ingat dalam memberikan hukuman, bahwa hukuman sering tidak
disetujui oleh kelompok teman sebaya. Sia-sialah guru menghukum seorang
anak jika teman–temannya kelihatan tidak setuju terhadap hukuman itu.
Hukuman hendaknya dilaksanakan Iangsung, secara kalem, disertai
reinforcement dan konsisten.

30
Teori Behaviorisme

H. Penutup
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara, begitu definisi pendidikan yang terkandung dalam
ketentuan umum di Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).
Untuk mencapai tujuan berdirinya Negara Indonesia yaitu mencerdaskan
kehidupan bangsa, instrument yang digunakan adalah pendidikan. Pendidikan yang
berkualitas akan melahirkan manusia-manusia cerdas, kemudian akan menjadi agen
perubahan untuk kehidupan berbangsa yang lebih baik. Paolo Freire seorang tokoh
pendidikan menyatakan ada dua pandangan dunia yang mempersepsikan manusia
dalam dunia pendidikan. Pandangan pertama melihat manusia sebagai objek, yang
dapat dibentuk dan disesuaikan. Pandangan lainnya melihat manusia sebagai subyek,
mahluk yang bebas dan mampu melampaui dunianya.
Behaviorisme adalah paham yang menekankan pada perubahan tingkah laku
yang didasari oleh prinsip stimulus dan respon. Dalam penentuan kebijakan pendidikan
di indonesia paham behavioris ini masih mendominasi terutama pada kebijakan-
kebijakan yang bersifat hakekat dan prinsip misalnya adanya tujuan nasional
pendidikan. Sedangkan kebijakan penetapan program kurikulum, penyiapan tenaga
guru yang kualifikatif, serta sistem penilaian yang baik merupakan sebuah usaha untuk
memberikan stimulus yang terbaik untuk menghasilkan respon yang diharapkan.
Untuk itu Kebijakan Pendidikan yang bersifat behavioristik tidak sepenuhnya
tidak baik. Untuk mewujudkannya Pemerintah perlu melihat kenyataan dilapangan,
untuk mengadakan pendekatan inovatif untuk diupayakan keterlaksanaannya dalam
proses pembelajaran. Namun kesiapan dari berbagai unsur sistem pendidikan menjadi
faktor penentunya. Oleh karena itu, kebijakan pendidikan yang relevan dengan tuntutan
perubahan harus didukung oleh semua pelaku pendidikan termasuk komponen
pendidikan yang lain.

31
Teori Behaviorisme

Daftar Pustaka
Budiningsih, C. Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Degeng, I Nyoman Sudana. 2006. Ilmu Pengajaran Taksonomi Variable. Jakarta:
Depdikbud.
Gredler, Bell. 1991. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: CV. Rajawali.
Hitipeuw, Imanuel. 2009. Belajar & Pembelajaran. Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Malang.
Knight, G.R. 1982. Issue and Alternativesen Educational Philosophy. Michigan:
Andrews University Press
Kusmintardjo. Mantja, W. 2011. Landasan-Landasan Pendidikan dan Pembelajaran.
Program Studi Doktor Manajemen Pendidikan, Universitas Negeri Malang.
Lundin, (1991). Theories and Systems of Psychology. 4 rd Ed. Toronto: D.C. Heath
and Company.
Sagala, Syaiful. 2003. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Slavin, R.E. 2000. Educational Psychology: Theory and Practice. Sixth Edition.
Boston: Allyn and Bacon.
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta:
Kanisius.
Syah, Muhibbin. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo.

32

Anda mungkin juga menyukai