Anda di halaman 1dari 16

A.

Teori Belajar Behavioristik


Teori behavioristik atau behaviorisme memandang belajar sebagai perubahan tingkah laku
yang terjadi berdasarkan paradigm S-R (stimulus-respon). Sebab menurut teori ini manusia adalah
individu yang pasif yang bisa dikontrol, dan tingkah laku manusia itu bisa dibentuk melalui ganjaran
dan hukuman. Ciri-ciri teori belajar behavioristik adalah sebagai berikut :
a. Mementingkan pengaruh lingkungan
b. Mementingkan bagian-bagian ( elementalistik )
c. Mementingkan peranan reaksi
d. Mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar
e. Mementingkan sebab-sebab di waktu yang lalu
f. Mementingkan pembentukan kebiasaan dan
g. dalam pemecahan problem, ciri khasnya “trial and error”.

Adapun aliran-aliran teori ini adalah :


1. Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936) : Classical Conditioning
Pavlov mengatakan bahwa hasil belajar manusia itu didasarkan kepada pengamatan tingkah
laku manusia yang terlihat melalui stimulus respons dan belajar bersyarat (Conditioning
Learning).
Pavlov mengadakan penelitian terhadap perilaku anjing yaitu mempelajari proses
pencernaan pada anjing, lalu mengamati anjing bila melihat makanan maka akan keluar air
liurnya. Dalam penelitiannya anjing dikurung dalam suatu kandang selanjutnya setiap akan
memberi makan, Pavlov membunyikan bel. Ia memperhatikan bahwa setiap dibunyikan bel pada
jangka waktu tertentu anjing itu mengeluarkan air liurnya. Akhirnya dicoba dibunyikan bel itu
tetapi tanpa diberi makanan. Ternyata anjing itu tetap mengeluarkan air liurnya. Dalam
percobaan itu makanan atau bunyi bel jadi perangsang atau stimulus bagi keluarnya air liur
anjing atau yang menimbulkan selera anjing untuk makan. Makanan disebut stimulus tak
bersyarat, karena terjadinya secara wajar, sedangkan bunyi bel disebut stimulus bersyarat.
Pavlov mengemukakan konsep pembiasaan (conditioning) dalam hubungannya dengan
kegiatan belajar mengajar, misalnya agar siswa mengerjakan soal PR dengan baik, biasakanlah
dengan memeriksanya atau memberi nilai terhadap hasil pekerjaannya.

2. Edward Lee Thorndike (1874-1949) : Hukum Pengaruh


Edward Lee Thorndike mengemukakan bahwa belajar adalah proses interaksi antara
stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar
seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal yang dapat ditangkap melalui alat indra. Sedangkan respon

1
adalah reaksi yang dimunculkan siswa ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan
atau gerakan (tindakan).
Hukum Pengaruh Thorndike mengemukakan bahwa jika suatu tindakan diikuti oleh suatu
perubahan yang memuaskan dalam lingkungan, kemungkinan tindakan itu diulangi dalam situasi
yang mirip akan meningkat. Akan tetapi, bila suatu perilaku diikuti oleh suatu perubahan yang
tidak memuaskan dalam lingkungan, kemungkinan perilaku itu diulangi akan menurun. Jadi
konsekuensi perilaku seseorang pada suatu waktu memegang peranan penting dalam
menentukan perilaku orang itu selanjutnya.1
Teori belajar stimulus respon yang dikemukan Thorndike juga disebut Koneksionisme.
Terdapat beberapa dalil atau hukum yang dikemukakan Thorndike, yang mengakibatkan
munculnya stimulus respon ini, yaitu hukum kesiapan (law of readiness), hukum latihan (law of
exsercise) dan hukum akibat (law of effect).
1) Hukum Kesiapan (law of readiness)
Hukum ini menerangkan bagaimana kesiapan seseorang siswa dalam melakukan suatu
kegiatan. Seorang siswa yang mempunyai kecenderungan untuk bertindak atau melakukan
kegiatan tertentu dan kemudian dia benar melakukan kegiatan tersebut, maka tindakannya
akan melahirkan kepuasan bagi dirinya.
Seorang siswa yang mempunyai kecenderungan untuk bertindak dan kemudian
bertindak, sedangkan tindakannya itu mengakibatkan ketidakpuasan bagi dirinya, akan selalu
menghindarkan dirinya dari tindakan-tindakan yang melahirkan ketidakpuasan tersebut.
Dari ciri-ciri di atas dapat disimpulkan bahwa seorang siswa akan lebih berhasil
belajarnya, jika ia telah siap untuk melakukan kegiatan belajar.
2) Hukum Latihan (law of ecexcise)
Menyatakan bahwa jika hubungan stimulus respon sering terjadi akibatnya hubungan
akan semakin kuat. Sedangkan makin jarang hubungan stimulus respon dipergunakan, maka
makin lemahlah hubungan yang terjadi.
Hukum latihan pada dasarnya mengungkapkan bahwa stimulus dan respon memiliki
hubungan satu sama lain secara kuat, jika proses pengulangan sering terjadi, dan makin
banyak kegiatan ini dilakukan maka hubungan yang terjadi akan bersirfat otomatis. Seorang
siswa dihadapkan pada suatu persoalan yang sering ditemuinya akan segera melakukan
tanggapan secara cepat sesuai dengan pengalamannya pada waktu sebelumnya.

1
Prof. Dr. Ratna Wilis Dahar, M.Sc. 2011. Teori-teori Belajar dan Pembelajaran. Erlangga : Jakarta. Hal 19.

2
Kenyataan menunjukkan bahwa pengulangan yang akan memberikan dampak positif
adalah pengulangan yang frekuensinya teratur, bentuk pengulangannya tidak membosankan
dan kegiatannya disajikan dengan cara yang menarik.
Sebagai contoh untuk mengajarkan konsep pemetaan pada siswa, guru menguji apakah
siswa sudah benar-benar menguasai konsep pemetaan. Untuk itu guru menanyakan apakah
semua relasi yang diperlihatkannya itu termasuk pemetaan atau tidak. Jika tidak, siswa
diminta untuk menjelaskan alasan atau sebab-sebab kriteria pemetaan tidak dipenuhi.
Penguatan konsep lewat cara ini dilakukan dengan pengulangan. Namun tidak berarti bahwa
pengulangan dilakukan dengan bentuk pernyataan dan informasi yang sama, melainkan
dalam bentuk informasi yang dimodifikasi, sehingga siswa tidak merasa bosan.
3) Hukum Akibat (law of effect)
Thorndike mengemukakan bahwa suatu tindakan akan menimbulkan pengaruh bagi
tindakan yang serupa. Ini memberikan gambaran bahwa jika suatu tindakan yang dilakukan
seorang siswa menimbulkan hal-hal yang mengakibatkan bagi dirinya, tindakan tersebut
cenderung akan diulanginya. Sebaliknya tiap-tiap tindakan yang mengakibatkan kekecewaan
atau hal-hal yang tidak menyenangkan, cenderung akan dihindarinya. Dilihat dari ciri-cirinya
ini hukum akibat lebih mendekati ganjaran dan hukuman.
Dari hukum akibat ini dapat disimpulkan bahwa kepuasan yang terlahir dari adanya
ganjaran dari guru akan memberikan kepuasan dari siswa, dan cenderung untuk berusaha
melakukan atau meningkatkan apa yang telah dicapainya itu. Guru memberi senyuman wajar
terhadap jawaban siswa, akan semakin menguatkan konsep yang tertanam pada diri siswa.
Katakan “Bagus”, “Hebat”, “Kau sangat teliti ”, dan semacamnya akan merupakan hadiah
bagi siswa yang kelak akan meningkatkan dirinya dalam menguasai pelajaran. Stimulus ini
termasuk reinforcement.
Sebaliknya guru juga harus tanggap terhadap respon siswa yang salah. Jika kekeliruan
siswa dibiarkan tanpa penjelasan yang benar dari guru, ada kemungkinan siswa akan
menganggap benar dan kemudian mengulanginya. Siswa yang menyelesaikan tugas atau
pekerjaan rumah, namun hasil kerjanya itu tidak diperiksa oleh gurunya, ada kemungkinan
beranggapan bahwa jawaban yang dia berikan adalah benar. Anggapan ini akan
mengakibatkan jawaban yang tetap salah di saat siswa mengikuti tes.
Demikian pula siswa yang telah mengikuti ulangan dan mendapat nilai jelek, perlu
diberitahukan kekeliruan yang dilakukannya pada saat siswa diberi tes berulang, namun
hasilnya tetap buruk. Ada kemungkinan konsep yang dipegangnya itu dianggap sebagai

3
jawaban yang benar. Penguatan seperti ini akan sangat merugikan siswa. oleh karena itu perlu
dihilangkan.
Dari hukum akibat ini dapat disimpulkan bahwa jika terdapat asosiasi yang kuat
antara pertanyaan dan jawaban, maka bahan yang disajikan akan tertanam lebih lama dalam
ingatan siswa. selain itu banyaknya pengulangan akan sangat menentukan lamanya konsep
diingat siswa. Makin sering pengulangan dilakukan akan semakin kuat konsep tertanam
dalam ingatan siswa.

3. Burrhus Frederic Skinner (1904-1990) : Operant Conditioning


Eksperimen Skinner dipusatkan pada penempatan subjek dalam situasi yang terkontrol dan
mengamati perubahan dalam perilaku subjek-subjek itu yang dihasilkan dengan mengubah
secara sistematis konsekuensi perilaku subjek tersebut. Kontribusi Skinner, seperti halnya
dengan Pavlov bukan terdiri hanya atas apa yang telah ditemukannya, melainkan juga atas
metode yang digunakannya.2
Burrhus Frederic Skinner menyatakan bahwa ganjaran atau penguatan mempunyai peranan
yang amat penting dalam proses belajar. Terdapat perbedaan antara ganjaran dan penguatan.
Ganjaran merupakan respon yang sifatnya menggembirakan dan merupakan tingkah laku yang
sifatnya subyektif, sedangkan penguatan merupakan suatu yang mengakibatkan meningkatnya
kemungkinan suatu respon dan lebih mengarah kepada hal-hal yang sifatnya dapat diamati dan
diukur.
Teori Skinner menyatakan penguatan terdiri atas penguatan positif dan penguatan negatif.
Penguatan dapat dianggap sebagai stimulus positif, jika penguatan tersebut seiring dengan
meningkatnya perilaku siswa dalam melakukan pengulangan perilakunya itu. Dalam hal ini
penguatan yang diberikan kepada siswa memperkuat tindakan siswa, sehingga siswa semakin
sering melakukannya. Contoh penguatan positif diantaranya adalah pujian yang diberikan
kepada siswa, sikap guru yang menunjukkan rasa gembira pada saat siswa bisa menjawab
dengan benar.
Penguatan positif akan berbekas pada diri siswa. Mereka yang mendapat pujian setelah
berhasil menyeleaikan tugas atau menjawab pertanyaan dengan benar biasanya akan berusaha
memenuhi tugas berikutnya dengan penuh semangat. Penguatan yang berbentuk hadiah atau
pujian akan memotivasi siswa untuk rajin belajar dan mempertahankan prestasinya. Penguatan
yang seperti ini sebaiknya segera diberikan dan jangan ditunda-tunda.

2
Ibid. hal 19.

4
Penguatan negatif adalah bentuk stimulus yang lahir akibat dari respon siswa yang kurang
atau tidak diharapkan. Penguatan negative diberikan agar respon yang tidak diharapkan atau
tidak menunjang pada pelajaran tidak diulangi siswa. Penguatan negatif itu dapat berupa
teguran, peringatan atau sanksi. Namun untuk mengubah tingkah laku siswa dari negatif menjadi
positif guru perlu mengetahui psikologi yang dapat digunakan untuk memperkirakan
(memprediksi) dalam mengendalikan tingkah laku siswa. Di dalam kelas guru mempunyai tugas
untuk mengarahkan siswa dalam aktivitas belajar, karena pada saat tersebut kontrol berada pada
guru yang berwenang memberikan instruksi ataupun larangan pada siswanya.
Contoh penerapan Teori Belajar Tingkah Laku (behavirisme) dalam pembelajaran
matematika : ‘2 + 2’ dan balasan atau tanggapan (response) dari siswa seperti ‘4’ yang dapat
diamati. Mereka berpendapat bahwa semakin sering hubungan antara rangsangan dan balasan
terjadi, maka akan semakin kuatlah hubungan keduanya (law of exercise). Pendapat ini yang
menyebabkan dilakukannya tubian atau pengulangan (drill), seperti guru memberikan tugas
latihan soal dan pekerjaan rumah, agar siswa berlatih menggunakan suatu prosedur yang telah
diajarkan, Di samping pengulangan itu, mereka berpendapat bahwa kuat tidaknya hubungan
ditentukan oleh kepuasan maupun ketidakpuasan yang menyertainya (law of effect). Tanggapan
yang disertai dengan kepuasaan, seperti mendapat pujian dari guru, akan menyebabkan siswa
ingin mengulanginya.

4. Teori Belajar Albert Baruda


Albert Baruda merupakan tokoh Aliran Tingkah Laku. Ia terkenal dengan belajar
menirunya. Baruda menyangkal pendapat Skinner yang mengatakan bahwa respon yang
diberikan siswa yang disertai penguatan itu selalu esensial. Hal tersebut berdasarkan penelitian
yang telah dilakukannya dan penelitian teman-temannya.
Baruda mengemukakan bahwa siswa belajar itu melalui meniru hal-hal yang dilakukan oleh
orang lain, terutama guru. Jika tulisan guru baik, guru bicara sopan santun dengan menggunakan
bahasa yang baik dan benar, tingkah laku yang terpuji, menerangkan dengan jelas dan sistematik
maka siswa akan menirunya. Demikian pula jika contoh-contoh yang dilihatnya kurang baik ia
pun akan menirunya.

5
B. Teori Belajar Kognitif & Kontruktivisme
Menurut aliran psikologi kognitif bahwa anak belajar itu harus disesuaikan dengan tahap
perkembangan mentalnya. Artinya bila seorang guru akan memberikan pengajaran harus
disesuaikan dengan tahap–tahap perkembangan tersebut. Menurut tokoh – tokoh aliran psikologi
kognitif, seperti : Jean Piaget, Ausubel, Bruner, Brownell, Dienes, dan Van Hiele, pembelajaran
yang tidak memperhatikan perkembangan mental siswa besar kemungkinan akan mengalami
kesulitan dalam menyerap materi yang disajikan, karena tidak sesuai dengan tingkat
kemampuannya.
1. Teori Belajar John Dewey (1856-1952)
Ia mengemukakan bahwa pelaksanaan Kegiatan pembelajaran yang diselenggarakan oleh
guru harus memperhatikan hal-hal berikut ini :
(a) Penyajian konsep harus lebih mengutamakan pengertian
(b) Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar harus memperhatikan kesiapan intelektual siwa, dan
(c) Mengatur suasana kelas agar siswa siap belajar.
Dari ketiga hal di atas, dalam menyajikan pelajaran guru jangan memberikan konsep yang
harus diterima begitu saja, melainkan harus lebih mementingkan pemahaman terhadap proses
terbentuknya konsep tersebut daripada hasil akhir. Untuk hal ini guru bertindak sebagai
pembimbing dan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan proses melalui metode induktif.
Pendekatan dan metode yang digunakan tersebut haruslah disesuaikan pula dengan kesiapan
intelektual siswa. siswa SMP masih ada pada tahap operasi konkret, artinya jika ia akan
memahami konsep abstrak matematika harus dibantu dengan menggunakan benda kongkrit. Oleh
karena itu dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran mulailah dengan menyajikan contoh-contoh
kongkret yang beraneka ragam, kemudian mengarah pada konsep abstrak tersebut. Dengan cara
seperti ini diharapkan proses pembelajaran bisa berjalan secara bermakna.
Kita ketahui bahwa faktor eksternal bisa mempengaruhi pelaksanaan dan hasil belajar siswa.
Oleh karena itu, sebelum, selama, dan sesudah mengajar guru harus pandai-pandai (berusaha)
untuk menciptakan kondisi agar siswa siap untuk belajar dengan perasaan senang, tidak merasa
terpaksa.

2. Teori Belajar Jean Piaget 1896-1980 (teori perkembangan kognitif)


Kunci utama teori Piaget yang harus diketahui guru matematika yaitu bahwasanya
perkembangan kognitif seorang siswa bergantung kepada seberapa jauh si siswa itu dapat
memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungannya, dalam arti bagaimana ia mengaitkan
antara pengetahuan yang telah dimiliki dengan pengalaman barunya. Menurut Piaget, ada tiga

6
aspek pada perkembangan kognitif seseorang, yaitu: struktur kognitif (skema), isi kognitif, dan
fungsi kognitif.
1) Empat Tahap Perkembangan Kognitif
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, Piaget membagi perkembangan kognitif
seseorang dari bayi sampai dewasa atas tahap seperti ditunjukkan tabel berikut.

Umur (Tahun) Tahap


0–2 Sensori Motor
2–7 Pra-operasional
7 – 11 Operasional Konkret
11 + Operasional Formal

Pada tahap sensori motor (0-2 tahun) seorang anak akan belajar untuk menggunakan
dan mengatur kegiatan fisik dan mental menjadi rangkaian perbuatan yang bermakna. Pada
tahap ini, pemahaman anak sangat bergantung pada kegiatan (gerakan) tubuh dan alat-alat
indera mereka. Contohnya ketika seorang anak menirukan suara suatu benda maka hal itu
menandakan bahwa yang ia maksud adalah benda tersebut.
Pada tahap pra-operasional (2-7 tahun), seorang anak masih sangat dipengaruhi oleh
hal-hal khusus yang didapat dari pengalaman menggunakan indera, sehingga ia belum
mampu untuk melihat hubungan-hubungan dan menyimpulkan sesuatu secara konsisten.
Pada tahap ini, anak masih mengalami kesulitan dalam melakukan pembalikan pemikiran
(reversing thought) serta masih mengalami kesulitan bernalar secara induktif maupun
deduktif, karena pemikirannya masih dalam tahap transduktif (transductive), yaitu suatu
proses penarikan kesimpulan dari hal khusus yang satu ke hal khusus yang lain. Jika ia
melihat suatu benda yang asalnya sama tapi dalam bentuk yang berbeda, maka si anak akan
mengatakan bahwa benda tersebut adalah dua hal yang beda pula. Sebagai contoh, jika anak
diberikan tali yang pada awalnya dibentangkan dari dua sisi yang berbeda, kemudian tali itu
digenggam dan diletakkan begitu saja di atas meja, maka mereka akan mengatakan bahwa
itu adalah dua tali yang berbeda.
Pada tahap operasional konkret (7-11 tahun), umumnya anak sedang menempuh
pendidikan di sekolah dasar. Di tahap ini, seorang anak dapat membuat kesimpulan dari
suatu situasi nyata atau dengan menggunakan benda konkret, dan mampu
mempertimbangkan dua aspek dari suatu situasi nyata secara bersama-sama (misalnya,
antara bentuk dan ukuran). Contohnya adalah konsep kekekalan luas dimana luas suatu
daerah akan kekal (tetap) jika daerah tersebut dibagi menjadi beberapa bagian.

7
Pada tahap operasional formal (lebih dari 11 tahun), kegiatan kognitif seseorang
tidak mesti menggunakan benda nyata. Tahap ini merupakan tahapan terakhir dalam
perkembangan kognitif. Dengan kata lain, mereka sudah mampu melakukan abstraksi,
dalam arti mampu menentukan sifat atau atribut khusus sesuatu tanpa menggunakan benda
nyata. Pada permulaan tahap ini, kemampuan bernalar secara abstrak mulai meningkat,
sehingga seseorang mulai mampu untuk berpikir secara deduktif. Contohnya, mereka sudah
mulai mampu untuk menggunakan variabel.
Tahapan perkembangan yang dicantumkan oleh Piaget di atas dapat dijadikan salah
satu rujukan guru dalam merencanakan pembelajaran. Namun kondisi para siswa Indonesia
kemungkinan agak berbeda dengan siswa yang diteliti Piaget. Di samping itu, ada juga
pendapat yang menyatakan bahwa bagi seseorang yang telah berada pada tahap operasional
formal sekalipun, untuk hal-hal yang baru, mereka masih membutuhkan benda nyata
ataupun gambar/diagram. Karenanya, faktor ‘nyata’ atau ‘real’ pada proses pembelajaran ini
akan sangat menentukan keberhasilan ataupun kegagalan pembelajaran di kelas.

2) Proses Perkembangan Kognitif


Proses perkembangan kognitif seseorang menurut Piaget harus melalui suatu proses
yang disebut dengan adaptasi dan organisasi seperti ditunjukkan Piaget melalui diagram di
bawah ini.
Ada schema
yang sesuai,
Siswa dalam
Siswa sehingga
keadaan
Siswa berusaha pengalaman
equilibrium
dihadap- meng- baru itu Adaptasi
Siswa dalam kan organisasi dapat
keadaan dengan pengalaman diasimilasi
equilibrium keadaan baru dengan
atau peng- mengaitkan Tidak ada
alaman pada yang schema yang
baru ada di sesuai, sehingga
schema pengalaman baru
tidak dapat
Diasimilasi Siswa berusaha
mengakomodasi melalui
Anak tidak Siswa tidak perubahan schema yang
dapat Dalam ada atau mengembang-
menerima Keadaan kannya dengan schema
hal baru itu equilibrium baru.
Diagram tersebut menunjukkan bahwa tanpa adanya pengalaman baru, struktur
kognitif para siswa akan berada dalam keadaan equilibrium (tenang dan stabil). Jadi,

8
perkembangan kognitif seseorang ditentukan oleh seberapa besar interaksinya dengan
lingkungan (pengalaman baru) yang harus dikaitkan atau dihubungkan dengan struktur
kognitif (schema) mereka, melalui proses organisasi dan adaptasi. Adaptasi sendiri terdiri
atas dua proses yang dapat terjadi bersama-sama, yaitu: (1) asimilasi, suatu proses dimana
suatu informasi atau pengalaman baru disesuaikan dengan kerangka kognitif yang sudah ada
di benak siswa; dan (2) akomodasi, yaitu suatu proses perubahan atau pengembangan
kerangka kognitif yang sudah ada di benak siswa agar sesuai dengan pengalaman yang baru
dialami.
a. SKEMA
Skema adalah suatu struktur mental atau kognitif yang dengannya seseorang secara
intelektual beradaptasi dan mengkoordinasi lingkungan sekitarnya. Skema itu akan
beradaptasi dan berubah selama perkembangan mental anak. Skema bukanlah benda nyata
yang dapat dilihat, melainkan suatu rangkaian proses dalam sistem kesadaran orang, maka
tidak memiliki bentuk fisik dan tidak dapat dilihat. Skema adalah hasil kesimpulan atau
bentukan mental, konstruksi hipotesis, seperti intelek, kreativitas, kemampuan, dan naluri
(Wadsworth, 1989).
Skema tidak pernah berhenti berubah atau menjadi lebih rinci. Skema seorang anak
berkembang menjadi skema orang dewasa. Gambaran dalam pikiran anak menjadi semakin
berkembang dan lengkap. Misalnya anak yang sedang berjalan dengan ibunya melihat
seekor kuda. Lalu ibunya bertanya, “Apa nama binatang itu nak?” Karena anak tersebut
baru kali itu melihat kuda dan sudah sering melihat sapi, maka ia menjawab “Itu sapi”.
Anak tersebut melihat ada sesuatu yang sama antara kuda dengan konsep sapi yang ia
punyai, yaitu berkaki empat, bermata dua, bertelinga dua, dan berjalan merangkak. Anak
tersebut belum dapat melihat perbedaannya, melainkan melihat kesamaannya antara sapi
dengan kuda. Bila anak mampu melihat perbedaannya, ia akan mengembangkan skemanya
tentang kuda, tidak sebagai sapi lagi.
b. ASIMILASI
Asimilasi adalah proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan
persepsi, konsep, atau pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam
pikirannya. Asimilasi dapat dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan
mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan yang baru dalam skema yang telah ada.
Asimilasi tidak menyebabkan perubahan skema, melainkan memperkembangkan skema.
Misalnya, seseorang yang baru mengenal konsep balon, maka dalam pikiran orang itu
memiliki skema “balon”. Kalau ia mengempeskan balon itu kemudian meniupnya lagi

9
sampai besar dan meletus atau mengisinya dengan air sampai besar, ia tetap memiliki skema
tentang balon. Perbedaannya adalah skemanya tentang balon diperluas dan terici lebih
lengkap, bukan hanya sebagai balon yang menggelembung karena terisi udara, melainkan
balon dengan macam-macam sifatnya. Asimilasi merupakan salah satu proses individu
dalam mengadaptasikan dan mengoirganisasikan diri dengan lingkungan baru sehingga
pengertian orang itu berkembang.
c. AKOMODASI
Seseorang dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman yang baru, tidak dapat
mengasimilasikan pengalaman yang baru itu dengan skema yang telah ia punyai.
Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada.
Dalam keadaan seperti ini orang itu akan mengadakan akomodasi, yaitu (a) membentuk
skema baru yang dapat cocok dengan rangsangan yang baru atau (b) memodifikasi skema
yang ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Misalnya, seorang anak memiliki skema
bahwa semua binatang berkaki dua atau empat. Skema itu didapat dari abstraksinya
terhadap binatang yang pernah dijumpainya. Pada suatu ketika ia berjalan ke sawah dan
menemukan banyak binatang yang kakinya lebih dari empat. Anak tersebut merasakan
bahwa skema lamanya tidak cocok lagi dan terjadi konflik dalam pikirannya. Ia harus
mengadakan perubahan terhadap skema lamanya. Ia mengadakan akomodasi dengan
membentuk skema baru bahwa binatang dapat berkaki dua, empat, dan atau lebih dari
empat.
Skema seseorang dibentuk dengan pengalaman sepanjang waktu. Skema
menunjukkan taraf pengertian dan pengetahuan seseorang sekarang tentang dunia
sekitarnya. Karena skema itu suatu konstruksi, maka bukan tiruan dari kenyataan dunia
yang ada. Menurut Piaget, proses asimilasi dan akomodasi ini terus berjalan dalam diri
seseorang. Dalam contoh pengalaman anak di atas, ia akan terus mengembangkan skemanya
tentang kaki binatang bila dijumpainya pengalaman yang berbeda, misalnya bahwa ada juga
binatang yang tidak berkaki.
d. EQUILIBRATION
Proses asimilasi dan akomodasi perlu untuk perkembangan kognitif seseorang. Dalam
perkembangan intelek seseorang diperlukan keseimbangan antara asimilasi dengan
akomodasi. Proses ini disebut equilibrium, yaitu pengaturan diri secara mekanis untuk
mengatur keseimbangan proses asimilasi dan akomodasi. Disequilibrium adalah keadaan
tidak seimbang antara asimilasi dan akomodasi. Equilibration adalah proses dari
disequilibrium ke equilibrium. Proses tersebut berjalan terus dalam diri individu melalui

10
asimilasi dan akomodasi. Equilibration membuat seseorang dapat menyatukan pengalaman
luar dengan struktur dalamnya (skema). Bila terjadi ketidakseimbangan, maka seseorang
terpacu untuk mencari keseimbangan dengan jalan asimilasi atau akomodasi.

3) Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kognitif


Piaget menjelaskan bahwa perkembangan kognitif seseorang dipengaruhi oleh empat
hal berikut.
1. Kematangan (maturation) otak dan sistem syarafnya. Kematangan otak dan sistem
syaraf sangat penting dimiliki setiap siswa. Siswa yang memiliki ketidak sempurnaan
yang berkait dengan kematangan ini, sedikit banyak akan mengurangi kemampuan dan
perkembangan kognitifnya. Karena itu, penting sekali bagi orang tua untuk
membesarkan putera-puterinya dengan makanan bergizi dan kasih sayang yang cukup,
sehingga putera-puteri tersebut akan memiliki kematangan otak dan sistem syaraf yang
sempurna.
2. Pengalaman (experience) yang terdiri atas:
a. Pengalaman fisik (physical experience), yaitu interaksi manusia dengan
lingkungannya. Contohnya adalah interaksi seorang siswa dengan kumpulan batu
yang ia tata.
b. Pengalaman logika-matematis (logico-mathematical experience), yaitu kegiatan-
kegiatan pikiran yang dilakukan manusia. Contohnya, siswa menata kumpulan batu
sambil belajar membilang. Dapat juga ketika siswa mulai berpikir bahwa suatu
kumpulan lebih banyak dari kumpulan yang lain.
Bayangkan jika ada anak yang tidak diberi kesempatan untuk berinteraksi dengan
lingkungannya. Apa yang akan terjadi dengan perkembangan kognitif si anak tersebut?
Jelaslah bahwa berinteraksi seorang anak dengan lingkungannya akan memperngaruhi
perkembangan kognitif mereka.
3. Transmisi sosial (social transmission), yaitu interaksi dan kerjasama yang dilakukan
oleh manusia dengan orang lain. Mengapa seorang anak Indonesia yang dilahirkan di
lingkungan yang selalu berbahasa Inggris dan selalu berinteraksi dengan bahasa Inggris
akan menyebabkan ia mahir berbahasa Inggris? Jawabannya adalah adanya faktor
transmisi sosial tersebut. Seorang anak yang dilahirkan di suatu keluarga yang lebih
mengutamakan penalaran (reasoning) akan menghasilkan anak-anak yang lebih
mengutamakan kemampuan penalaran ketika memecahkan masalah.

4. Penyeimbangan (equilibration), suatu proses, sebagai akibat ditemuinya pengalaman


(informasi) baru, seperti ditunjukkan pada diagram Piaget di atas.. Seorang anak yang

11
sejatinya berbakat untuk mempelajari matematika, namun karena ia tidak mendapat
tantangan yang cukup, maka perkembangan kognitifnya akan terhambat.

2. Teori David P. Ausubel (belajar bermakna)


Ausubel terkenal dengan teori belajar bermaknanya. Menurut Ausubel (Hudoyo, 1998:62)
bahan pelajaran yang dipelajari haruslah “ bermakana” artinya bahan pelajaran itu harus cocok
dengan kemampuan siswa dan harus relevan dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa. Oleh
karena itu, pelajaran harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah dimiliki siswa, sehingga
konsep-konsep baru tersebut benar-benar terserap olehnya. Dengan demikian faktor intelektual,
emosional siswa tersebut terlibat dalam kegiatan pembelajaran.
Ausubel membedakan antara belajar menemukan dengan belajar menerima. Pada belajar
menemukan, konsep dicari/ditemukan oleh siswa. Sedangkan pada belejar menerima siswa
hanya menerima konsep atau materi dari guru, dengan demikian siswa tinggal
menghapalkannya. Selain itu Ausubel juga membedakan antara brelajar menghafal dengan
belajar bermakna. Pada belajar menghafal, siswa menghafalkan materi yang sudah diperolehnya
tetapi pada belajar bermakna, materi yang telah diperoleh itu dikembangkan dengan keadaan
lain sehingga belajarnya lebih bisa dimengerti.
Ausubel menentang pendapat yang mengatakan bahwa metode penemuan dianggap sebagai
suatu metode mengajar yang baik karena bermakna, dan sebaliknya metode ceramah adalah
metode yang kurang baik karena merupakan belajar menerima. Menurutnya baik metode
penemuan maupun metode ceramah bisa menjadi belajar menerima atau belajar bermakna,
tergantung dari situasinya.
Yang harus diingat bahwa untuk dapat menguasai materi matematika, seorang siswa harus
menguasai beberapa kemampuan dasar lebih dahulu. Setelah itu, siswa harus mampu
mengaitkan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang sudah dipunyainya.
Ausubel menyatakan hal berikut sebagaimana dikutip Orton (1987:34): “If I had to reduce all of
educational psychology to just one principle, I would say this: The most important single factor
influencing learning is what the learner already knows. Ascertain this and teach him
accordingly.” Jelaslah, menurut Ausubel, bahwa pengetahuan yang sudah dimiliki siswa akan
sangat menentukan berhasil tidaknya suatu proses pembelajaran. Di samping itu, seorang guru
dituntut untuk mengecek, mengingatkan kembali ataupun memperbaiki pengetahuan prasyarat
siswanya sebelum ia memulai membahas topik baru, sehingga pengetahuan yang baru tersebut
dapat berkait dengan pengetahuan yang lama yang lebih dikenal sebagai belajar bermakna
tersebut.
3. Teori Belajar Brunner (teori presentasi pembelajaran)

12
Jerome Bruner dalam teorinya menyatakan bahwa belajar matematika berhasil jika proses
pengajaran diarahkan kepada konsep-konsep dan struktur-struktur yang terbuat dalam pokok
bahasan yang diajarkan.
Dengan mengenal konsep dan struktur yang tercakup dalam bahan yang sedang dibicarakan,
anak akan memahami materi yang harus dikuasainya itu. Ini menunjukkan bahwa materi yang
mempunyai suatu pola atau struktur tertentu akan lebih dipahami dan diingat anak.
Brunner, melalui teorinya itu, mengungkapkan bahwa dalam proses belajar anak sebaiknya
diberi kesempatan untuk memanipulasi benda-benda (alat peraga). Melalui alat peraga yang
ditelitinya itu, anak akan melihat langsung bagaimana keteraturan dan pola struktur yang
terdapat dalam benda yang sedang diperhatikannya itu. Keteraturan tersebut kemudian oleh anak
dihubungkan dengan keterangan intuitif yang telah melekat pada dirinya.
Nampaklah, bahwa Bruner sangat menyarankan keaktifan anak dalam proses belajar secara
penuh. Lebih disukai lagi bila proses ini berlangsung di tempat yang khusus, yang dilengkapi
dengan objek-objek untuk dimanipulasi anak, misalnya laboratorium.
a. Tiga Tahap Proses Belajar
Teori Bruner tentang tiga tahap proses belajar berkait dengan tiga tahap yang harus
dilalui siswa agar proses pembelajarannya menjadi optimal, sehingga akan terjadi
internalisasi pada diri siswa, yaitu suatu keadaan dimana pengalaman yang baru dapat
menyatu ke dalam struktur kognitif mereka. Ketiga tahap pada proses belajar tersebut
adalah:
1). Tahap Efektif
Pada tahap ini, para siswa mempelajari matematika dengan menggunakan sesuatu
yang “konkret” atau “nyata”, yang berarti dapat diamati dengan menggunakan panca
indera. Contohnya, ketika akan membahas penjumlahan dan pengurangan di awal
pembelajaran, siswa dapat belajar dengan menggunakan batu, kelereng, buah, lidi, atau
dapat juga memanfaatkan beberapa model atau alat peraga lainnya. Ketika belajar
penjumlahan dua bilangan bulat, para siswa dapat saja memulai proses
pembelajarannya dengan menggunakan beberapa benda nyata sebagai “jembatan”
seperti:
 Garis bilangan dalam bentuk dua bilah papan. Gambar ini menunjukkan bahwa
posisi ‘−3’ pada bilah papan bagian bawah sudah disejajarkan dengan posisi ‘0’
pada bilah papan bagian atas, sehingga didapat beberapa hasil penjumlahan −3
dengan bilangan lainnya. Contohnya:
−3 + 5 = 2 (lihat tanda ruas garis berpanah) atau −3 + (−2) = −5

13
MULAI

Semacam koin dari plastik dengan tanda “+” dan “–“.

Dengan cara ini, diharapkan siswa akan lebih mudah mempelajari materi yang
diberikan. Dengan demikian cara pembelajaran matematika adalah memulai dengan
sesuatu yang benar-benar konkret dalam arti dapat diamati dengan menggunakan panca
indera.

2). Tahap Ikonik


Para siswa sudah dapat mempelajari suatu pengetahuan dalam bentuk gambar atau
diagram sebagai perwujudan dari kegiatan yang menggunakan benda konkret atau
nyata. Sebagai contoh, dalam proses pembelajaran penjumlahan dua bilangan bulat
dimulai dengan menggunakan benda nyata berupa garis bilangan sebagai “jembatan”,
maka tahap ikonik untuk 5 + (–3) = 2 dapat berupa gambar atau diagram berikut.

– – – – – 0 +1 +2 +3 +4 +5

−3

14
3). Tahap Simbolik
Menurut Bruner, tahap simbolik adalah tahap dimana pengetahuan tersebut
diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol abstrak. Dengan kata lain, siswa harus
mengalami proses abstraksi dan idealisasi. Proses abstraksi terjadi pada saat seseorang
menyadari adanya kesamaan di atara perbedaan-perbedaan yang ada (Cooney dan
Henderson, 1975).
Perbedaan yang terjadi saat menentukan hasil dari 2 + 3 ataupun 3 + 4 baik pada tahap
enaktif maupun ikonik merupakan proses abstraksi yang terjadi dikarenakan siswa
menyadari adanya kesamaan gerakan yang dilakukannya, yaitu ia akan bergerak dua kali ke
kanan. Dengan bantuan guru, siswa diharapkan dapat menyimpulkan bahwa penjumlahan
dua bilangan positif akan menghasilkan bilangan positif pula. Tidaklah mungkin hasil
penjumlahan dua bilangan positif akan berupa bilangan negatif.

b. Empat Teorema Belajar dan Mengajar


Menurut Bruner, pembelajaran sebaiknya dimulai dengan menggunakan benda nyata
lebih dahulu. Karenanya, seorang guru ketika mengajar matematika hendaknya
menggunakan model atau benda nyata untuk topik-topik tertentu yang dapat membantu
pemahaman siswanya. Bruner mengembangkan empat teori yang terkait dengan asas
peragaan, yakni:
1. Teorema konstruksi menyatakan bahwa siswa lebih mudah memahami ide-ide abstrak
dengan menggunakan peragaan kongkret (enactive) dilanjutkan ke tahap semi kongkret
(iconic) dan diakhiri dengan tahap abstrak (symbolic). Dengan menggunakan tiga tahap
tersebut, siswa dapat mengkonstruksi suatu representasi dari konsep atau prinsip yang
sedang dipelajari.
2. Teorema notasi menyatakan bahwa simbol-simbol abstrak harus dikenalkan secara
bertahap, sesuai dengan tingkat perkembangan kognitifnya. Sebagai contoh:
Notasi 3×2 dapat dikaitkan dengan 3×2 tablet.
Soal seperti ... + 4 = 7 dapat diartikan sebagai menentukan bilangan yang kalau
ditambah 4 akan menghasilkan 7. Notasi yang baru adalah 7 − 4 = ... .
3. Teorema kekontrasan atau variasi menyatakan bahwa konsep matematika
dikembangkan melalui beberapa contoh dan bukan contoh seperti ditunjukkan gambar
di bawah ini tentang contoh dan bukan contoh pada konsep trapesium.

15
Contoh Konsep Trapesium Noncontoh Konsep Trapesium

4. Teorema konektivitas menyatakan bahwa konsep tertentu harus dikaitkan dengan


konsep-konsep lain yang relevan. Sebagai contoh, perkalian dikaitkan dengan luas
persegi panjang dan penguadratan dikaitkan dengan luas persegi. Penarikan akar
pangkat dua dikaitkan dengan menentukan panjang sisi suatu persegi jika luasnya
diketahui.

4. Teori Belajar William Brownell


Teori belajar William Brownell didasarkan pada keyakinan bahwa anak-anak pasti
memahami apa yang sedang mereka pelajari jika belajar secara permanen atau secara terus-
menerus untuk waktu yang lama. Salah satu cara bagi anak-anak untuk mengembangkan
pemahaman tentang matematika adalah dengan menggunakan benda-benda tertentu ketika
mereka mempelajari konsep matematika. Sebagai contoh, pada saat anak-anak baru pertama
kali diperkenalkan dengan konsep membilang, mereka akan lebih mudah memahami konsep itu
jika mereka menggunakan benda kongkret yang mereka kenal, seperti mangga, kelereng, bola,
atau sedotan. Dengan kata lain, teori belajar William Brownell ini mendukung penggunaan
benda-benda kongkret untuk dimanipulasikan sehingga anak-anak dapat memahami makna dari
konsep dan keterampilan baru yang mereka pelajari. Teori belajar William Brownell ini dikenal
dengan nama Meaning Theory.

16

Anda mungkin juga menyukai