Anda di halaman 1dari 8

Self-Beliefs

Disusun untuk memenuhi Tugas Mata kuliah Psikologi Belajar Matematika


Dosen Pengampu: Endah Retnowati, Ph.D.

Disusun Oleh :

Lana Sugiarti 16709251062


Arianty Dewi Madani 16709251066
Loviga Denny Pratama 16709251075

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2016
Self-Beliefs
Konsep keyakinan diri pertama kali dikemukakan oleh Bandura yang mengacu
pada persepsi tentang kemampuan seseorang dalam mengorganisasi dan
mengimplementasi tindakan untuk menampilkan kecakapan tertentu. Bandura (Feist dan
Feist, 2010:212) beranggapan bahwa keyakinan atas efikasi seseorang adalah landasan
dari agen manusia. ‟Manusia yang yakin bahwa mereka dapat melakukan sesuatu yang
mempunyai potensi untuk dapat mengubah kejadian di lingkungannya, akan lebih
mungkin untuk bertindak dan lebih mungkin untuk menjadi sukses daripada manusia
yang mempunyai keyakinan yang rendah”. Keyakinan pada siswa merupakan salah satu
aspek penting pada dimensi afektif. Keyakinan diri merupakan salah satu kemampuan
pengaturan diri individu.
Kebanyakan dari kita menyadari bahwa kepercayaan diri adalah penting untuk
keberhasilan dalam setiap disiplin, namun sedikit dari kita berpikir hati-hati tentang apa
itu percaya diri, dari mana datangnya, atau bagaimana hal itu dapat ditingkatkan. Bandura
(Bruning, 2011:107) mengungkapkan model reciprocal determinism yang menunjukkan
bahwa belajar adalah hasil dari interaksi variabel meliputi tiga komponen yaitu personal,
behavioral, dan environmental factors. Faktor Personal meliputi keyakinan dan sikap
yang mempengaruhi belajar, terutama dalam menanggapi rangsangan perilaku dan
lingkungan. faktor behacioral termasuk respon dalam situasi tertentu, misalnya
bagaimana siswa merespon skor tes yang rendah dengan kemarahan atau dengan
peningkatan usaha. Faktor environmental termasuk peran yang dimainkan oleh orang tua,
guru, dan teman sebaya.

Personal

Behavioral Environmental

Bandura Model of Reciprocal Determinism

Ide Reciprocal Determinism menunjukkan bahwa faktor personal, seperti self-


beliefs, mempengaruhi perilaku dan interpretasi isyarat lingkungan. Salah satu cara
bahwa faktor personal terkait dengan perilaku dan isyarat lingkungan adalah melalui
mediasi peristiwa tanggapan. Sedangkan Behavioral dan Environmental memberikan
pengaruh yang khusus pada faktor personal khususnya pada self-efficacy dan outcome
expectancy.

SELF-EFFICACY
Self-efficacy merupakan salah satu kemampuan pengaturan diri individu. Konsep
self-efficacy pertama kali dikemukakan oleh Albert Bandura. Bandura mendefinisikan
self-efficacy sebagai judgement seseorang atas kemampuannya untuk merencanakan
dan melaksanakan tindakan yang mengarah pada pencapaian tujuan tertentu. Bandura
menggunakan istilah self-efficacy yang mengacu pada keyakinan (beliefs) tentang
kemampuan seseorang untuk mengorganisasikan dan melaksanakan tindakan dalam
pencapaian hasil. Dengan kata lain, self- efficacy adalah keyakinan penilaian diri
berkenaan dengan kompetensi seseorang untuk sukses dalam tugas-tugasnya.
Menurut Bandura, keyakinan self-efficacy merupakan faktor kunci sumber tindakan
manusia (human egency), “apa yang orang pikirkan, percaya, dan rasakan mempengaruhi
bagaimana mereka bertindak”.
Self-Efficacy yang dirasakan berbeda dengan harga diri. Menurut Cervone
(2008:231) harga diri merujuk pada evaluasi menyeluruh manusia mengenai
keberhargaan personal mereka. Sedangkan self-efficacy yang dirasakan, merujuk
pada penilaian seseorang mengenai apa yang dapat mereka raih dalam suatu latar
tertentu. Oleh karena itu self-efficacy yang dirasakan berbeda dari harga diri dalam
dua hal: (1) self-efficacy bukanlah suatu variabel global ; melainkan merupakan hal
yang umumnya dimiliki secara berbeda oleh setiap orang dalam situasi yang juga
berbeda. (2). Self-efficacy yang dirasakan bukanlah suatu konsep abstrak mengenai
keberhargaan personal, tetapi merupakan penilaian tentang apa yang dapat
dilakukan oleh seseorang
Menurut teori kognitif sosial Bandura, keyakinan self-efficacy mempengaruhi
pilihan orang dalam membuat dan menjalankan tindakan yang mereka kejar. Individu
cenderung berkonsentrasi dalam tugas-tugas yang mereka rasakan mampu dan percaya
dapat menyelesaikannya serta menghindari tugas-tugas yang tidak dapat mereka
kerjakan. Keyakinan efficacy juga membantu menentukan sejauh mana usaha yang akan
dikerahkan orang dalam suatu aktivitas, seberapa lama mereka akan gigih ketika
menghadapi rintangan, dan seberapa ulet mereka akan menghadapi situasi yang tidak
cocok. Keyakinan efficacy juga mempengaruhi sejumlah stress dan pengalaman
kecemasan individu seperti ketika mereka menyibukkan diri dalam suatu aktifitas.
Secara eksplisit, Bandura sebagaimana dikutip oleh Pajares, menghubungkan self-
efficacy dengan motivasi dan tindakan, tanpa memperhatikan apakah keyakinan itu
benar secara objektif atau tidak. Dengan demikian, perilaku dapat diprediksi melalui
self- efficacy yang dirasakan (keyakinan seseorang tentang kemampuan nya),
meskipun perilaku itu terkadang dapat berbeda dari kemampuan aktual karena
pentingnya self-efficacy yang dirasakan.
Dalam teori kognitif sosial menganggap bahwa self-efficacy merupakan variabel
kunci yang mempengaruhi self-regulated learning. Dalam mendukung asumsi ini,
persepsi self-efficacy pembelajar ditemukan berhubungan dengan 2 aspek kunci
pengulangan timbal balik pada umpan balik yang diajukan, yaitu penggunaan strategi
belajar dan evaluasi diri. Pembelajar dengan self-efficacy tinggi memiliki kualitas
strategi belajar yang lebih baik dan memiliki monitoring diri yang lebih terhadap hasil
belajar mereka daripada pembelajar yang memiliki self-efficacy rendah. Beberapa
penelitian menemukan bahwa persepsi self-efficacy pembelajar secara positif
berhubungan dengan hasil belajar sebagai ketekunan tugas, pilihan tugas, aktivitas studi
yang efektif, dan prestasi akademik.

Penelitian pada Self Efficacy Siswa, Guru, dan Sekolah


Student Efficacy. Temuan yang paling penting dan konsisten dalam literatur
penelitian adalah bahwa keberhasilan siswa sangat terkait waktu pengerjaan tugas,
ketekunan, penggunaan strategi, mencari bantuan, dan kinerja menyelesaikan tugas. Self-
Efficacy yang tinggi dikaitkan dengan fleksibilitas yang lebih besar, ketahanan terhadap
umpan balik negatif, dan peningkatan kinerja (Brunning, 2011:110).
Misalnya, Collins meneliti siswa dalam menggunakan kemampuan matematika.
Dia membandingkan kinerja matematika di tingkat yang tinggi, sedang, dan rendah yang
menunjukkan Self-Efficacy baik yang tinggi atau rendah. Siswa dengan Self-Efficacy
yang tinggi pada setiap tingkat strategi akan lebih produktif daripada siswa dengan
Efficacy yang lebih rendah dari mereka. Siswa Efficacy yang tinggi juga lebih mungkin
untuk memperbaiki masalah mereka. Temuan ini membuktikan bahwa Self-Efficacy
positif mempengaruhi kinerja siswa (Schunk & Zimmerman, dalam Brunning,
2011:111).
Teacher Efficacy. Guru mengevaluasi penampilan mereka dengan menggunakan
dua penilaian independent Efficacy (Woolfolk & Hoy, dalam Brunning, 2011:111). Salah
satu penilaian teaching Efficacy, yang mengacu pada keyakinan bahwa proses
pendidikan mempengaruhi siswa dengan cara yang penting. Yang kedua adalah personal
teaching Efficacy, yang mengacu pada keyakinan bahwa guru dapat memberlakukan
perubahan signifikan dalam dirinya atau murid-muridnya.
Alderman (dalam Brunning, 2011:111) menyarankan beberapa cara untuk
meningkatkan teacher Efficacy. Salah satunya adalah dukungan sosial, yang meliputi
dukungan dari pemerintah serta hubungan pribadi yang dekat dengan guru lain. Kategori
kedua adalah perencanaan guru, yang meliputi mencari umpan balik dari guru-guru lain
dan menggunakan informasi ini untuk tujuan negara, rencana, dan mengevaluasi secara
sistematis. Salah satu cara yang sangat penting untuk meningkatkan teacher Efficacy
adalah untuk mendorong para guru agar mempertahankan penilaian berkelanjutan dari
kemajuan siswa.
School Efficacy. Komunitas sekolah secara kolektif menilai diri mereka untuk
meningkatkan belajar siswa secara negatif dapat mempengaruhi siswa dan guru. Dalam
konteks ini, guru dengan Self-Efficacy yang rendah akan menurunkan Efficacy siswa
mereka, terutama ketika siswa melihat diri mereka memiliki kemampuan rendah. Faktor-
faktor negatif yang muncul mempengaruhi school Efficacy adalah stabilitas dari siswa
dan status sosial ekonomi mereka. Pengalaman mengajar guru yang kurang juga terkait
dengan keberhasilan sekolah tersebut, meskipun berhubungan positif dengan prestasi
akademik siswa. Tidak mengherankan, prestasi akademik siswa sebelumnya
berhubungan positif dengan keberhasilan sekolah (Brunning, 2011:111)

Meningkatkan Self-Efficacy
1. Meningkatkan kesadaran siswa tentang konsep self-Efficacy. Banyak guru dan siswa
meremehkan pentingnya self-Efficacy. Harus lebih menekankan konsekuensi positif
pada self-Efficacy yang tinggi, menggambarkan bagaimana Efficacy dapat
berpengaruh positif, dan menyampaikan pesan bahwa self- Efficacy yang positif di
dalam kelas adalah tujuan setiap guru yang harus adopsi.
2. Gunakan ahli dan pemodelan tingkat menengah. Salah satu cara untuk meningkatkan
efektivitas self-efficacy adalah dengan mengekspos siswa yang terlebih dahulu
memberikan contoh kinerja ahli yang memotivasi dan informatif.
3. Memberikan umpan balik. Perilaku dan umpan balik lingkungan adalah dua dari
pengaruh yang paling penting pada self-Efficacy. Siswa harus dibantu untuk
mengevaluasi kinerja mereka sendiri. Guru juga harus memberikan yang terbaik,
"kinerja" mendalam dan umpan balik "kognitif".
4. Membangun Self-Efficacy daripada mengurangi harapan. Bandura (dalam Brunning,
2011:116) menekankan pentingnya meningkatkan Self-Efficacy dengan memasukkan
pengalaman keberhasilan di dalam kelas daripada dengan mengurangi kesulitan
tugas (lihat juga Stevenson & Stigler, 1992). Penurunan kesulitan tugas sebenarnya
dapat menurunkan Efficacy jika siswa merasa bahwa guru memiliki sedikit
kepercayaan pada siswa.
5. Mendorong pengaturan diri. Aspek yang lebih penting adalah untuk membantu siswa
mengintegrasikan semua keterampilan ini dengan cara yang memungkinkan mereka
untuk menjadi pembelajar yang mandiri setelah mereka meninggalkan sekolah.
Melakukan hal dengan menyajikan tantangan yang luar biasa kepada orang tua, guru,
dan masyarakat. Meskipun tidak ada jalan mudah mengarah ke tujuan ini,
perencanaan yang matang dan refleksi tentang apa artinya menjadi mandiri tidak
diragukan lagi akan menguntungkan siswa dan guru.

SELF-REGULATED LEARNING THEORY


Sejak awal 1990-an, para peneliti telah berusaha untuk memadukan komponen
kunci dari teori belajar Bandura dengan temuan dari area lain pada psikologi kognitif.
Upaya ini telah menyebabkan pengembangan teori belajar Self-Regulated (Perry, Turner,
& Meyer, 2006; Winne & Perry, 2000; Zimmerman, 2000, dalam Brunning 2010:115 ).
Self-Regulated pembelajaran mengacu pada kemampuan untuk mengontrol semua aspek
pembelajaran seseorang, dari perencanaan awal bagaimana seseorang mengevaluasi
kinerja sesudahnya.
Self regulation menurut Bandura adalah suatu kemampuan yang dimiliki manusia
berupa kemampuan berfikir dan dengan kemampuan itu mereka memanipulasi
lingkungan, sehingga terjadi perubahan lingkungan akibat kegiatan tersebut. Seseorang
dapat mengatur sebahagian dari pola tingkah laku dirinya sendiri. Hal tersebut sejalan
dengan pernyataan Brunning (2011) “Self-regulated learning refers to the ability to
control all aspects of one’s learning, from advance planning to how one evaluates
performances afterward”. Kemandirian belajar merupakan kemampuan untuk
mengontrol semua aspek belajar seseorang, dari tahap perencanaan sampai bagaimana
seseorang mengevaluasi hasilnya. Menurut Zimmerman dalam Brunning (2011) terdapat
3 komponen yang mendasari kemandirian belajar yaitu kemampuan metakognitif,
penggunaan strategi , dan motivasi yang akan dijabarkan sebagai berikut.
a) Kesadaran Metakognisi
Metakognisi adalah kemampuan individu dalam merencanakan,
mengorganisasikan atau mengatur, menginstruksikan diri, memonitor dan melakukan
evaluasi dalam aktivitas belajar. metakognisi meliputi tentang bagaimana pengetahuan
dan regulasi tentang kognisi. Berbagai macam pengetahuan ini memungkinkan siswa
untuk memilih strategi terbaik pada setiap kesempatan dan memantau keefektifannya
dengan tingkat akurasi yang tinggi. Bagian yang sangat penting dari metakognisi adalah
apa yang kita sebut sebagai kronologi atau urutan perencanaan, dimana siswa menetapkan
tujuan, merencanakan bagaimana untuk mencapai tujuan tersebut, dan menilai sejauh
mana secara berkala tujuan mana yang telah tercapai. Siswa yang melakukan perencanaan
dengan efektif umumnya melakukan/menyelesaikan sesuatu dengan sangat baik (Pintrich,
200b; Zimmerman, 2000).
b) Kontrol Motivasi
Motivasi merupakan fungsi dari kebutuhan dasar untuk mengontrol dan berkaitan
dengan perasaan kompetensi yang dimiliki setiap individu. Kontrol motivasi mengacu
pada kemampuan untuk menetapkan tujuan, membangkitkan keyakinan positif tentang
keterampilan dan kinerja seseorang, dan menyesuaikan secara emosional terhadap
tuntutan belajar dan pembelajaran. Peserta didik yang terampil dapat memahami peran
usaha dan strategi dalam belajar terhadap hasil belajarnya sedangkan peserta didik yang
tidak terampil cenderung tidak dapat membedakan hasil belajarnya sebagai suatu bentuk
keberuntungan atau hasil dari usaha (kemampuan). Peserta didik yang terampil juga lebih
mahir mengatasi gangguan selama belajar (Pressley, Borkowski, & Schneider, 1987;
Pressley & Harris, 2006)
c) Penggunaan Strategi
Strategi merupakan bagian penting dari self-regulation karena strategi
memberikan cara kepada siswa dalam menyandikan (encoding), merepresentasikan, dan
mengambil informasi. Peserta didik yang terampil, akan memilih strategi secara selektif
dan melihat keefektifannya selama proses pembelajaran (Zimmerman & Martinez-Pons,
1990). Pada gilirannya, strategi memungkinkan peserta didik yang terampil untuk
menggunakan kemampuan/sumber daya mereka yang terbatas seefisien mungkin. Randi
dan Corno (2000) memberikan daftar lengkap dari strategi belajar yaitu perencanaan,
fokus sumber daya seseorang pada tujuan yang penting, ketekunan, pengendalian emosi,
penggunaan secara efektif sumber daya eksternal yang tersedia, dan mencari bantuan saat
diperlukan.      
Berdasarkan hasil uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa regulasi diri (self
regulation) memiliki tiga aspek yang ada di dalamnya yaitu metakognisi, motivasi, dan
perilaku. Siswa yang diasumsikan termasuk kategori ’self-regulated’ adalah siswa yang
aktif dalam proses belajarnya, baik secara metakognitif, motivasi, maupun perilaku.
Mereka menghasilkan gagasan, perasaan, dan tindakan untuk mencapai tujuan belajarnya.
Secara metakognitif mereka bisa memiliki strategi tertentu yang efektif dalam memproses
informasi. Sedangkan motivasi berbicara tentang semangat belajar yang sifatnya internal.
Adapun perilaku ditampilkannya adalah dalam bentuk tindakan nyata dalam belajar.

Referensi
Burning, Roger H. 2011. Cognitive Psychology and Instruction : 5th edition. Boston :
Pearson Education, Inc.
Cervone, Daniel dan Lawrence A. Pervin. 2008. Personality: Theory and Research.
Singapore: John Wiley & Sons, Inc.
Feist, G. dan Feist, J. (2010). Teori Kepribadian Edisi 7 Buku 2. Jakarta : Salemba
Humanika.

Anda mungkin juga menyukai