Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH BEHAVIORISTIK DAN KOGNITIF

BAB I

PENDAHULUAN

Proses pembelajaran dalam dunia pendidikan sangat tergantung dengan keberadaan

kurikulum, semuanya tercover secara sistemik siklus pendidikan untuk mencapai tujuan yang

diinginkan, mulai dari tujuan umum nasional sampai tujuan yang tertuang dalam visi dan misi

madrasah sebagai lembaga pelaksana pada tingkat operasional hingga guru sebagai pendidik.

Tujuan-tujuan tersebut dapat dikelompokan menjadi 4 bagian, yaitu :[1]

1.        Tujuan Nasional Pendidikan sebagaimana tercantum dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun

2003 pasal 3 yaitu : Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan

membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi

manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,

berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta

bertanggungjawab.

2.         Tujuan Institusional pendidikan merupakan tujuan setiap lembaga pendidikan yang tentu

saja berbeda-beda kapasitasnya, misalnya lembaga pendidikan setingkat SD/MI berbeda

dengan tingkat SMP/MTs dan seterusnya. Tujuan ini berisi kompetensi yang akan dicapai

oleh anak didik bila menyelesaikan jenjang tertentu dan pendidikan tersebut.

3.        Tujuan Kurikuler, ini merupakan penjabaran dari tujuan institusional yang

menggambarkan kompetensi tertentu bila anak didik menyelesaikan program pengajaran

pada bidang studi tertentu, misalnya fikih, Bahasa Indonesia, dan sebagainya.
4.        Tujuan Institusional, atau tujuan pembelajaran yang merupakan pengkhususan dari

tujuan kurikuler. Tujuan Instruksional dibedakan kepada Tujuan Instruksional Umum dan

Tujuan Instruksional Khusus.

Berdasar dari tujuan tujuan tersebut, dalam elementasinya tercover dalam proses

pembelajaran. Dalam proses ini tentunya terkait dengan teori belajar.

Belajar merupakan kegiatan yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Belajar

adalah salah satu kebutuhan hidup manusia yang paling penting dalam upaya

mempertahankan hidup dan mengembangkan diri. Dalam dunia pendidikan belajar

merupakan aktivitas pokok dalam penyelenggaraan proses belajar-mengajar. Melalui belajar

seseorang dapat memahami sesuatu konsep yang baru, dan atau mengalami perubahan

tingkah laku, sikap, dan ketrampilan.

Pada dasarnya terdapat dua pendapat tentang teori belajar yaitu teori belajar aliran

behaviorisme dan teori belajar kognitif. Teori belajar behaviorisme menekankan pada

pengertian belajar merupakan perubahan tingkah laku, sehingga hasil belajar adalah sesuatu

yang dapat diamati dengan indra manusia langsung tertuangkan dalam tingkah laku. Dengan

kata lain, bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk

memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil

pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.Sedangkan aliran

kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal

pikiran manusia.

Dan selanjutnya penulis mencoba memaparkan dua pendekatan tersebut dalam dua bagian,

yaitu : tentang pendekatan behavioristik dalam pembelajaran dan pendekatan kognitif dalam

pembelajaran.
BAB II

PEMBAHASAN

1.      Teori Behaviorisme

Teori belajar behaviorisme menjelaskan belajar itu adalah perubahan perilaku yang

dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Perubahan terjadi melalui rangsangan

(stimulus) yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respon) berdasarkan hukum-hukum

mekanistik. Stimulus tidak lain adalah lingkungan belajar anak, baik yang internal maupun

eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons adalah akibat atau dampak,

berupa reaksi fisik terhadap stimulus. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat dan

kecenderungan perilaku S-R (Stimulus-Respon).

Teori Behaviorisme:

1. Bersifat mekanistis

2. Menekankan peranan lingkungan

3. Menekankan pentingnya latihan

4. Mementingkan mekanisme hasil belajar

Berikut adalah beberapa teori belajar behaviorisme menurut beberapa pakar teori belajar

behavoiristik:[2]

A.    Edward Edward Lee Thorndike (1874-1949): Teori Koneksionisme

Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi

antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R ). Stimulus adalah

suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan

organisme untuk beraksi atau berbuat sedangkan respon diri adalah sembarang tingkah laku

yang dimunculkan karena adanya perangsang. Dari eksperimen kucing lapar yang
dimasukkan dalam sangkar (puzzle box) diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara

stimulus dan respons,  perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat serta

melalui usaha –usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (error)

terlebih dahulu. Bentuk paling dasar dari belajar adalah “trial and error learning atau

selecting and connecting learning”dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu. Oleh

karena itu teori belajar yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut dengan teori

belajar koneksionisme atau teori asosiasi. Percobaan Thorndike yang terkenal dengan

binatang coba kucing yang telah dilaparkan dan diletakkan di dalam sangkar yang tertutup

dan pintunya dapat dibuka secara otomatis apabila kenop yang terletak di dalam sangkar

tersebut tersentuh. Percobaan tersebut menghasilkan teori “trial and error” atau “selecting

and conecting”, yaitu bahwa belajar itu terjadi dengan cara mencoba-coba dan membuat

salah. Dalam melaksanakan coba-coba ini, kucing tersebut cenderung untuk meninggalkan

perbuatan-perbuatan yang tidak mempunyai hasil. Setiap response menimbulkan stimulus

yang baru, selanjutnya stimulus baru ini akan menimbulkan response lagi, demikian

selanjutnya.[3]

Dari percobaan ini Thorndike menemukan hukum-hukum belajar sebagai berikut:[4]

1.        Hukum Kesiapan (law of readiness), yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh

suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan

kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.

Prinsip pertama teori koneksionisme adalah belajar suatu kegiatan membentuk

asosiasi(connection) antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak. Misalnya,

jika anak merasa senang atau tertarik pada kegiatan jahit-menjahit, maka ia akan cenderung

mengerjakannya. Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa puas dan belajar menjahit akan

menghasilkan prestasi memuaskan. Prinsip pertama teori koneksionisme adalah belajar suatu
kegiatan membentuk asosiasi (connection) antara kesan panca indera dengan kecenderungan

bertindak. Misalnya, jika anak merasa senang atau tertarik pada kegiatan jahit-menjahit, maka

ia akan cenderung mengerjakannya. Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa puas dan belajar

menjahit akan menghasilkan prestasi memuaskan.

Masalah pertama hukum law of readiness adalah jika kecenderungan bertindak dan orang

melakukannya,  maka ia akan merasa puas. Akibatnya, ia tak akan melakukan tindakan lain.

Masalah kedua, jika ada kecenderungan bertindak, tetapi ia tidak melakukannya, maka

timbullah rasa ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melakukan tindakan lain untuk mengurangi

atau meniadakan ketidakpuasannya.

Masalah ketiganya adalah bila tidak ada kecenderungan bertindak padahal ia melakukannya,

maka timbullah ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melakukan tindakan lain untuk

mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.

2.        Hukum Latihan (law of exercise), yaitu semakin sering tingkah laku diulang/ dilatih

(digunakan) , maka asosiasi tersebut akan semakin kuat.

Prinsip law of exercise adalah koneksi antara kondisi (yang merupakan perangsang) dengan

tindakan akan menjadi lebih kuat karena latihan-latihan, tetapi akan melemah bila koneksi

antara keduanya tidak dilanjutkan atau dihentikan. Prinsip menunjukkan bahwa prinsip utama

dalam belajar adalah ulangan. Makin sering diulangi, materi pelajaran akan semakin dikuasai.

3.        Hukum akibat (law of effect), yaitu hubungan stimulus respon cenderung diperkuat bila

akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah  jika akibatnya tidak memuaskan.

Hukum ini menunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya koneksi sebagai hasil perbuatan.

Suatu perbuatan yang disertai akibat menyenangkan cenderung dipertahankan dan lain kali

akan diulangi. Sebaliknya, suatu perbuatan yang diikuti akibat tidak menyenangkan

cenderung dihentikan dan tidak akan diulangi.


Koneksi antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak dapat menguat atau

melemah, tergantung pada “buah” hasil perbuatan yang pernah dilakukan. Misalnya, bila

anak mengerjakan PR, ia mendapatkan muka manis gurunya. Namun,  jika sebaliknya,  ia

akan dihukum. Kecenderungan mengerjakan PR akan membentuk sikapnya.

Selanjutnya Thorndike menambahkan hukum tambahan sebagai berikut:[5]

1.     Hukum Reaksi Bervariasi (multiple response).

Hukum ini mengatakan bahwa pada individu diawali oleh prooses trial dan error yang

menunjukkan adanya bermacam-macam respon sebelum memperoleh respon yang tepat

dalam memecahkan masalah yang dihadapi.

2.      Hukum Sikap ( Set/ Attitude).

Hukum ini menjelaskan bahwa perilaku belajar seseorang tidak hanya ditentukan oleh

hubungan stimulus dengan respon saja, tetapi juga ditentukan keadaan yang ada dalam diri

individu baik kognitif, emosi, sosial, maupun psikomotornya.

3.      Hukum Aktifitas Berat Sebelah ( Prepotency of Element).

Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam proses belajar memberikan respon pada
stimulus tertentu saja sesuai dengan persepsinya terhadap keseluruhan situasi   ( respon
selektif).

4.      Hukum Respon by Analogy.

Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam melakukan respon pada situasi yang belum

pernah dialami karena individu sesungguhnya dapat menghubungkan situasi yang belum

pernah dialami dengan situasi lama yang pernah dialami sehingga terjadi transfer atau

perpindahan unsur-unsur yang telah dikenal ke situasi baru. Makin banyak unsur yang sama

maka transfer akan makin mudah.


5.      Hukum perpindahan Asosiasi ( Associative Shifting)

Hukum ini mengatakan bahwa proses peralihan dari situasi yang dikenal ke situasi yang

belum dikenal dilakukan secara bertahap dengan cara menambahkan sedikit demi sedikit

unsur baru dan membuang sedikit demi sedikit unsur lama.

Selain menambahkan hukum-hukum baru, dalam perjalanan penyamapaian teorinya

Thorndike mengemukakan revisi Hukum Belajar antara lain :[6]

1.      Hukum latihan ditinggalkan karena ditemukan pengulangan saja tidak cukup untuk

memperkuat hubungan stimulus respon, sebaliknya tanpa pengulanganpun hubungan

stimulus respon belum tentu diperlemah.

2.         Hukum akibat direvisi. Dikatakan oleh Thorndike bahwa yang berakibat positif untuk

perubahan tingkah laku adalah hadiah, sedangkan hukuman tidak berakibat apa-apa.

3.        Syarat utama terjadinya hubungan stimulus respon bukan kedekatan, tetapi adanya

saling sesuai antara stimulus dan respon.

4.        Akibat suatu perbuatan dapat menular baik pada bidang lain maupun pada individu lain.

B.     Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936).

Classic conditioning  ( pengkondisian atau persyaratan klasik) adalah proses yang

ditemukan Pavlov melalui percobaannya terhadap anjing, dimana perangsang asli dan netral

dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi

yang diinginkan. Prinsip utamanya adalah unit kerja, yang oleh Parlov adanya respon dalam

pertanyaan bersifat reflektif.[7]

Bertitik tolak dari asumsinya bahwa dengan menggunakan rangsangan-rangsangan

tertentu, perilaku manusia dapat berubah sesuai dengan apa yang didinkan. Kemudian Pavlov

mengadakan eksperimen dengan menggunakan binatang (anjing) karena ia menganggap

binatang memiliki kesamaan dengan manusia. Namun demikian, dengan segala kelebihannya,
secara hakiki manusia berbeda dengan binatang, hanya pada aspek kelakuannya yang

difokuskan.[8]

Ia mengadakan percobaan dengan cara mengadakan operasi leher pada seekor anjing.

Sehingga kelihatan kelenjar air liurnya dari luar. Apabila diperlihatkan sesuatu makanan,

maka akan keluarlah air liur anjing tersebut. Sebelum makanan diperlihatkan, maka yang

diperlihatkan adalah sinar merah terlebih dahulu, baru makanan. Dengan sendirinya air

liurpun akan keluar pula. Apabila perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, maka

pada suatu ketika dengan hanya memperlihatkan sinar merah saja tanpa makanan maka air

liurpun akan keluar pula. Makanan adalah rangsangan wajar, sedang merah adalah

rangsangan buatan. Ternyata kalau perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang,

rangsangan buatan ini akan menimbulkan syarat (kondisi) untuk timbulnya air liur pada

anjing tersebut. Peristiwa ini disebut: Reflek Bersyarat atau Conditioned Respons.[9]

Pavlov berpendapat, bahwa kelenjar-kelenjar yang lain pun dapat dilatih. Bectrev

murid Pavlov menggunakan prinsip-prinsip tersebut dilakukan pada manusia, yang ternyata

diketemukan banyak reflek bersyarat yang timbul tidak disadari manusia. Dari eksperimen

Pavlov setelah pengkondisian atau pembiasaan dapat diketahui bahwa daging yang menjadi

stimulus alami dapat digantikan oleh bunyi lonceng sebagai stimulus yang dikondisikan.

Ketika lonceng dibunyikan ternyata air liur anjing keluar sebagai respon yang dikondisikan.

[10]

Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa dengan menerapkan strategi Pavlov

ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus

yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu

tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.

C.    Burrhus Frederic Skinner (1904-1990).


Skinner  dengan pendekatan model instruksi langsung dan meyakini bahwa perilaku

dikontrol melalui proses operant conditioning. Di mana seorang dapat mengontrol tingkah

laku organisme melalui pemberian reinforcement yang bijaksana dalam lingkungan relatif

besar. Dalam beberapa hal, pelaksanaannya jauh lebih fleksibel daripada conditioning klasik.

[11] Gaya mengajar guru dilakukan dengan beberapa pengantar dari guru secara searah dan

dikontrol guru melalui pengulangan dan latihan.

Menajemen Kelas menurut Skinner adalah berupa usaha untuk memodifikasi perilaku

antara lain dengan proses penguatan yaitu memberi penghargaan pada perilaku yang

diinginkan dan tidak memberi imbalan apapun pada perilaku yanag tidak tepat. Operant

Conditioning adalah suatu proses perilaku operant ( penguatan positif atau negatif) yang

dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai

dengan keinginan.[12]

Skinner membuat eksperimen sebagai berikut :

Dalam laboratorium Skinner memasukkan tikus yang telah dilaparkan dalam kotak

yang disebut “skinner box”, yang sudah dilengkapi dengan berbagai peralatan yaitu tombol,

alat pemberi makanan, penampung makanan, lampu yangdapat diatur nyalanya, dan lantai

yanga dapat dialir listrik. Karena dorongan lapar tikus beruasah keluar untuk mencari

makanan. Selam tikus bergerak kesana kemari untuk keluar dari box, tidak sengaja ia

menekan tombol, makanan keluar. Secara terjadwal diberikan makanan secara bertahap

sesuai peningkatan perilaku yang ditunjukkan si tikus, proses ini disebut shapping.

Berdasarkan berbagai percobaannya pada tikus dan burung merpati Skinner

mengatakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan.[13] Maksudnya adalah

pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus respon akan semakin kuat bila diberi

penguatan. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua yaitu penguatan positif dan
penguatan negatif. Bentuk bentuk penguatan positif berupa hadiah, perilaku, atau

penghargaan. Bentuk bentuk penguatan negatif antara lain menunda atau tidak memberi

penghargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang.

D. Clark Hull

Kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis adalah penting dan menempati

posisi central dalam seluruh kegiatan manusia . teori-teori demikian tidak banyak digunakan ,

terutama setelah Skinner memperkenalkan teorinya .

E. Watson

Belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon , stimulus dan respon yang

dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur (measurable) , perubahan

mental dalam diri seseorang selama proses belajar tidak diperhitungkan, karena tidak dapat

diamati .

F. Edwin Guthrie

Guthrie percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam

proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah

laku seseorang. Individu yang sedang belajar harus dibimbing melakukan apa yang harus

dipelajari

G. Albert Bandura

Pentingnya proses mengamati dan meniru perilaku, sikap, dan reaksi emosi orang lain .

H.     Aplikasi Teori Behaviorisme terhadap Pembelajaran Siswa


Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menerapkan teori behaviorisme adalah ciri-ciri

kuat yang mendasarinya yaitu:

1. Guru menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap , materi disampaikan
secara utuh oleh guru .
2. Guru tidak banyak memberikan ceramah, tetapi instruksi singkat yang diikuti contoh-
contoh.
3. Bahan pelajaran disusun dari yang sederhana sampai pada yang kompleks .
4. Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati .
5. Kesalahan harus segera diperbaiki .
6. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi
kebiasaan.
7. Evaulasi atau penilaian didasari atas perilaku yang tampak.

Sebagai konsekuensi teori ini, para guru yang menggunakan paradigma behaviorisme

akan menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan pembelajaran

yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak banyak memberi

ceramah, tetapi instruksi singkat yang diikuti contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun

melalui simulasi. Bahan pelajaran disusun secara hierarki dari yang sederhana sampai pada

yang kompleks.

Tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian

suatu ketrampilan tertentu. Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan

diamati. Kesalahan harus segera diperbaiki. Pengulangan dan latihan digunakan supaya

perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan

teori behavioristik ini adalah tebentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang

diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat

penghargaan negatif. Evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku yang tampak.
Kritik terhadap behaviorisme adalah pembelajaran siswa yang berpusat pada guru,

bersifaat mekanistik, dan hanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan diukur. Kritik

ini sangat tidak berdasar karena penggunaan teori behavioristik mempunyai persyaratan

tertentu sesuai dengan ciri yang dimunculkannya. Tidak setiap mata pelajaran bisa memakai

metode ini, sehingga kejelian dan kepekaan guru pada situasi dan kondisi belajar sangat

penting untuk menerapkan kondisi behavioristik.[15]

Metode behaviorisme ini sangat cocok untuk perolehan kemampaun yang

membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti : Kecepatan,

spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya, contohnya: percakapan bahasa

asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang, olahraga dan sebagainya. Teori

ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi

peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan

bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.

Penerapan teori behaviroristik yang salah dalam suatu situasi pembelajaran juga

mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang sangat tidak menyenangkan bagi siswa

yaitu guru sebagai central, bersikap otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih

dan menentukan apa yang harus dipelajari murid. Murid dipandang pasif, perlu motivasi dari

luar, dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru. Murid hanya

mendengarkan denga tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa yang didengar dan

dipandang sebagai cara belajar yang efektif. Penggunaan hukuman yang sangat dihindari oelh

para tokoh behavioristik justru dianggap metode yang paling efektif untuk menertibkan

siswa.

II.        Teori Kognitif


Teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang

terjadi dalam akal pikiran manusia. Belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang

berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-

perubahan dalam pengetahuan pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap. Perubahan itu

bersifat secara relatif dan berbekas.

Sesuai dengan karakteristik matematika maka belajar matematika lebih cenderung

termasuk ke dalam aliran belajar kognitif yang proses dan hasilnya tidak dapat dilihat

langsung dalam konteks perubahan tingkah laku. Berikut adalah beberapa teori belajar

kognitif menurut beberapa pakar teori belajar kognitif:

A.  Teori Belajar Piaget.

 Jean Piaget menyebutkan bahwa struktur kognitif sebagai Skemata (Schemas), yaitu

kumpulan dari skema-skema. Seorang individu dapat mengikat, memahami, dan memberikan

respon terhadap stimulus disebabkan karena bekerjanya skemata ini. Skemata ini berkembang

secara kronologis, sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungannya, sehingga individu

yang lebih dewasa memliki struktur kognitif yang lebih lengkap dari pada ketika ia masih

kecil. Perkembangan skemata ini terus-menerus melalui adaptasi dengan lingkungannya.

Skemata tersebut membentuk suatu pola penalaran tertentu dalam pikiran anak. Makin baik

kualitas skema ini, makin makin baik pulalah pola penalaran anak tersebut. Proses terjadinya

adaptasi dari skemata yang telah terbentuk dengan stimulus baru dilakukan dengan dua cara,

yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah pengintegrasian stimulus baru kedalam

skemata yang telah terbentuk secara langsung . Akomodasi adalah proses pengintegrasian

stimulus baru ke dalam skema yang telah terbentuk secara tidak lansung.[16]

Jean Piaget adalah seorang ilmuwan perilaku dari Swiss, ilmuwan yang sangat terkenal

dalam penelitian mengenai perkembangan berpikir khususnya proses berpikir pada anak.
Menurut Piaget setiap anak mengembangkan kemampuan berpikirnya menurut tahap yang

teratur. Pada satu tahap perkembangan tertentu akan muncul skema atau struktur tertentu

yang keberhasilannya pada setiap tahap amat bergantung pada tahap sebelumnya. Adapun

tahapan-tahapan tersebut adalah:[17]

1.     Tahap Sensori Motor (dari lahir sampai kurang lebih umur 2 tahun)

Dalam dua tahun pertama kehidupan bayi ini, dia dapat sedikit memahami

lingkungannya dengan jalan melihat, meraba atau memegang, mengecap, mencium dan

menggerakan. Dengan kata lain mereka mengandalkan kemampuan sensorik serta

motoriknya. Beberapa kemampuan kognitif yang penting muncul pada saat ini. Anak tersebut

mengetahui bahwa perilaku yang tertentu menimbulkan akibat tertentu pula bagi dirinya.

Misalnya dengan menendang-nendang dia tahu bahwa selimutnya akan bergeser darinya.

2.      Tahap Pra-operasional ( kurang lebih umur 2 tahun hingga 7 tahun)

Dalam tahap ini sangat menonjol sekali kecenderungan anak-anak itu untuk selalu

mengandalkan dirinya pada persepsinya mengenai realitas. Dengan adanya perkembangan

bahasa dan ingatan anakpun mampu mengingat banyak hal tentang lingkungannya. Intelek

anak dibatasi oleh egosentrisnya yaitu ia tidak menyadari orang lain mempunyai pandangan

yang berbeda dengannya.

3.      Tahap Operasi Konkrit (kurang lebih 7 sampai 11 tahun)

Dalam tahap ini anak-anak sudah mengembangkan pikiran logis. Dalam upaya

mengerti tentang alam sekelilingnya mereka tidak terlalu menggantungkan diri pada

informasi yang datang dari pancaindra. Anak-anak yang sudah mampu berpikir secara operasi

konkrit sudah menguasai sebuah pelajaran yang penting yaitu bahwa ciri yang ditangkap oleh

pancaindra seperti besar dan bentuk sesuatu, dapat saja berbeda tanpa harus mempengaruhi
misalnya kuantitas. Anak-anak sering kali dapat mengikuti logika atau penalaran, tetapi

jarang mengetahui bila membuat kesalahan.

4.      Tahap Operasi Formal (kurang lebih umur 11 tahun sampai 15 tahun)

Selama tahap ini anak sudah mampu berpikir abstrak yaitu berpikir mengenai

gagasan. Anak dengan operasi formal ini sudah dapat memikirkan beberapa alternatif

pemecahan masalah. Mereka dapat mengembangkan hukum-hukum yang berlaku umum dan

pertimbangan ilmiah. Pemikirannya tidak jauh karena selalu terikat kepada hal-hal yang

besifat konkrit, mereka dapat membuat hipotesis dan membuat kaidah mengenai hal-hal yang

bersifat abstrak.

B.  Taxonomy SOLO

Teori belajar Piaget memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap perkembangan

teori pembelajaran kognitif. Hal ini terbukti dengan banyaknya peneliti yang tertarik

melakukan analisis serta memperluas teori tersebut. Salah satu kritik yang cukup tajam

terhadap teori Piaget adalah berkenaan dengan asumsi bahwa pengertian akan suatu struktur

yang sama akan diperoleh pada usia yang sama dalam berbagai domain intelektual. Implikasi

dari hal ini adalah ketika seorang anak sudah dapat mengawetkan besaran suatu unsur dengan

mengenali bahwa besaran dari benda tersebut sama terlepas dari bentuknya anak secara

rasional dapat diduga akan mengawetkan konsep berat, karena struktur antara konsep besaran

dan berat sama. Ternyata bersadar pada studi eksperimental yang dilakukan oleh para peneliti

hal ini tidak sepenuhnya benar. Hal ini dianggap sebagai sebuah penyimpangan.

Penyimpangan yang dimaksud adalah terjadinya perbedaan cara dalam memperoleh sebuah

struktur yang sama oleh seorang individu. Biggs dan Collis adalah peneliti yang turut

melakukan dan analisis teori belajar Piaget. Salah satu isu utama yang dikaji oleh kedua

peneliti ini berkaitan dengan struktur kognitif. Teori mereka dikenal dengan Structure of

Observed Learning Outcomes (SOLO). Biggs dan Collis (1982: 22) membedakan antara
“generalized cognitive structure” atau struktur kognitif umum anak dengan “actual respon”

atau respon langsung anak ketika diberikan perintah-perintah. Mereka menerima kebeadaan

konsep struktur kognitif umum namun mereka menyakini bahwa hal tersebut tidak dapat

diukur langsung sehingga perlu mengacu pada sebuah “hypothesized cognitive structure”

(HCS) atau struktur kognitif hipotesis. Menurut mereka HCS ini relative lebih stabil dari

waktu ke waktu serta bebas dari pengaruh pembelajaran disaat anak diukur menggunakan

taxonomi SOLO dalam menyelesaikan suatu tugas tertentu. Penekan pada suatu tugas tertentu

sangat penting seperti yang diasumsikan dalam taksonomi SOLO bahwa penampilan

seseorang sangatlah beragam dalam menyelesaikan satu tugas dengan tugas lainnya, hal ini

berkaitan erat dengan logika yang mendasarinya, selanjutnya asumsi ini juga meliputi

penyimpangan yang dalam model ini dikatakan:[18]

Siswa dapat saja berada pada awal level formal dalam matematika namun berada pada

level awal konkrit dalam sejarah, atau bahkan dapat terjadi, suatu hari siswa berada pada

level formal di matematika namun dilain hari dia masih berada pada level yang konkrit pada

topik yyang berbeda. Hasil observasi seperti ini tidak dapat mengindikasikan terdapatnya

“pertukaran” dalam perkembangan kognitif yang berlangsung, tetapi sedikit pertukaran

terjadi pada konstruksi yang lebihproximal, pembelajaran, penampilan atau motivasi. Biggs

& Collis (1991:60)

Dari uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa teori tersebut lebih menekankan pada

analisis terhadap kualitas respon anak. Untuk melihat respon anak diperlukan butir-butir

rangsangan. Dan butir-butir rangsangan dalam konteks ini tidak difokuskan untuk melihat

kebenaran dari jawaban saja melainkan lebih pada melihat struktur alamiah dari respon siswa

dan perubahannya dari waktu ke waktu.

Untuk menjelaskan konsep “pertukaran” yang terjadi dalam pertumbuhan kognitif

yang tidak biasa diantara anak-anak sekolah, Biggs & Collis (1991: 60) menyediakan suatu
level tersendiri yang diberi nama “post formal mode”. Bagaimanapun juga terdapat satu

perbedaan penting dari teori yang dikemukakan Piaget yaitu ketika mode atau level baru

mulai muncul, ini tidak akan menggantikan level yang lama begitu saja melainkan dapat

berkembang bersamaan. Oleh karena itu mode-model tersebut tumbuh sejak lahir hingga

dewasa. Level terakhir adalah batas tertinggi dari proses abstraksi yang dapat ditunjukkan

anak, bukan seluruh penampilan yang harus menyesuaikan dengan level-nya. Secara khusus,

ketika semakin banyak mode yang memungkinkan maka multi-modal fungsioning menjadi

normanya.

Berikut adalah 5 mode yang diutarakan oleh Biggs dan Collis:[19]

1. Mode Sensorimotor

Focus perhatian pada mode ini adalah lingkungan fisik sekitar anak. Anak

membangun kemampuan untuk melakukan koordinasi dan mengatur interaksinya dengan

lingkungan sekitar. Perkembangan yang berkelanjutan pada mode ini ditunjukkan oleh

kegiatan-kegiatan fisik ketika diperolehnya tacit knowledge.

2. Mode Iconic

Pada mode ini symbol-simbol dan gambar digunakan untuk merepresentasikan

elemen-elemen yang diperolehnya pada mode sensorimotor. Tanda-tanda tersebut digunakan

sebagai peran pengganti dari komunikasi oral. Cirri-ciri dari anak yang berada pada mode ini

antara lain sering menggunakan strategi menebak, senang menggunakan alat peraga dan

senang membuat gambaran-gambaran mental. Mode sensorimotor dan iconic adalah mode-

mode alamiah dari seorang manusia yang berkembang secara alamiah juga. Sedangkan target

pertama dari sekolah formal ada pada mode concrete symbolic.

3. Mode Concrete Symbolic


Pada mode ini anak mengalami “pertukaran” dalam proses abstraksi. Mereka mulai

merepresentasikan dunia fisik melalui bahasa oral ke dalam bentuk tulisan, yaitu sebuah

system symbol yang akan mereka gunakan dalam kehidupannya di dunia.

Sebuah system symbol memiliki tingkatan dan logika internal yang dapat

memfasilitasi sebuah hubungan antara sistem simbol dan lingkungan fisik di sekitarnya.

Sistem symbol yang digunakan di sekolah antara lain adalah matematika dan bahasa.

Mode concrete symbolic adalah mode terbesar sebagai target dari matematika sekolah.

Karena dalam matematika anak menggambarkan dan mengoperasikan objek-objek yang

berada di sekitarnya.

4. Mode Formal

Pada mode ini titik berat kemampuan sesorang adalah pada kemampuan

mengkonstruksi teori tanpa bantuan contoh benda konkrit. Kemampuan berpikir pada tahap

ini meliputi membuat formula hipotesis dan membuat penalaran yang proporsional. Oleh

karena itu kemampuan ini dituntut pada mahasiswa-mahasiswa di Perguruan Tinggi.

5. Mode Post Formal

Keberadaan mode ini lebih menekankan pada pembuatan hipotesis secara deduktif

dari pada penyusunan teori berdasarkan bukti-bukti empiris. Karakteristik terpenting dari

mode ini adalah kemampuan untuk bertanya tentang prinsip-prinsip mendasar dari sesuatu

hal.

Taksonomi SOLO ini terdiri dari lima tahap yang dapat menggambarkan

perkembangan kemampuan berpikir kompleks pada siswa dan dapat diterapkan di berbagai

bidang.

Berikut adalah tahapan respon berpikir berdasar taksonomi SOLO;


1. Tahap Pre-Structural.

Pada tahap ini siswa hanya memiliki sangat sedikit sekali informasi yang bahkan tidak

saling berhubungan, sehingga tidak membentuk sebuah kesatuan konsep sama sekali dan

tidak mempunyai makna apapun.

2. Tahap Uni-Structural.

Pada tahap ini terlihat adanya hubungan yang jelas dan sederhana antara satu konsep

dengan konsep lainnya tetapi inti konsep tersebut secara luas belum dipahami. Beberapa kata

kerja yang dapat mengindikasi aktivitas pada tahap ini adalah; mengindentifikasikan,

mengingat dan melakukan prosedur sederhana.

3. Tahap Multi-Structural.

Pada tahap ini siswa sudah memahami beberapa komponen namun hal ini masih

bersifat terpisah satu sama lain sehingga belum membentuk pemahaman secara

komprehensif. Beberapa koneksi sederhana sudah terbentuk namun demikian kemampuan

meta-kognisi belum tampak pada tahap ini. Adapun beberapa kata kerja yang

mendeskripsikan kemampuan siswa pada tahap ini antara lain; membilang atau mencacah,

mengurutkan, mengklasifikasikan, menjelaskan, membuat daftar, menggabungkan dan

melakukan algoritma.

4. Tahap relational.

Pada tahap ini siswa dapat menghubungkan antara fakta dengan teori serta tindakan

dan tujuan. Pada tahap ini siswa dapat menunjukan pemahaman beberapa komponen dari satu

kesatuan konsep, memahami peran bagian-bagian bagi keseluruhan serta telah dapat

mengaplikasikan sebuah konsep pada keadaan-keadaan yang serupa. Adapun kata kerja yang

mengidikasikan kemampuan pada tahap ini antara lain; membandingkan, membedakan,


menjelaskan hubungan sebab akibat, menggabungkan, menganalisis, mengaplikasikan,

menghubungkan.

5. Tahap  Extended Abstract

Pada tahap ini siswa melakukan koneksi tidak hanya sebatas pada konsep-konsep

yang sudah diberikan saja melainkan dengan konsep-konsep diluar itu. Dapat membuat

generalisasi serta dapat melakukan sebuah perumpamaan-perumpamaan pada situasi-situasi

spesifik. Kata-kerja yang merefleksikan kemampuan pada tahap ini antara lain, membuat

suatu teori, membuat hipotesis, membuat generalisasi, melakukan refleksi serta membangun

suatu konsep.

C. Teori Belajar Kognitif Bruner

Teori Bruner di kenal free discovery learning, yang menyatakan bahwa proses belajar

akan berjalan dengan baik jika pendidik memberikan kesempatan kepada peserta didiknya

untuk menemukan suatu konsep, teori , aturan atau penambahan melalui contoh – contoh

yang ia jumpai dalam kehidupannya.

3 tahapan cara melihat lingkungan:

1. Tahapan Enaktif : dalam memahami dunia disekitarnya anak mengunakan

pengetahuan motorik.

2. Tahapan Ikonik: dalam memahami dunia disekitarnya anak belajar melalui bentuk

perumpaan & perbandingan.

3. Tahapan Simbolik: kemampuan dalam berbahasa, logika, matematika sangat

mempengaruhi ide-ide abstrak.

D.Teori Belajar Kognitif Ausubel


Dalam teori ini, teori belajar dimaknai sebagai belajar bermakna. Pembelajaran

bermakna yaitu suatu proses mengkaitkan informasi baru pada konsep – konsep relevan yang

terdapat dalam struktur kognitif seseorang.

F.   Aplikasi Teori Kognitif terhadap Pembelajaran Siswa

Dalam  teori kognitif ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran

adalah :[20]

a.   Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru

mengajar  dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.

b.   Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik.

Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.

c.  Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak   asing.

d.  Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.

e.  Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi

dengan teman-temanya.

Teori belajar kognitif akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap

perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk

melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman

sebaya dan dibantu oleh pertanyaan dari guru.  Guru  hendaknya banyak memberikan

rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif,

mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.


G. Implementasi dalam dunia Pendidikan

Implementasi terhadap pendidikan yaitu bahwa keaktifan dalam belajar itu sangat

penting. Peserta didik yang belajar secara aktif dan bisa optimal proses asimilasi dan

akomodasi antara pengetahuan dan pengalaman akan terjadi dengan baik.

H. Kelebihan dan Kekurangan Teori Pembelajaran Kognitif


Kelebihan:
• Dapat meningkatkan kemampuan peserta didik untuk memecahkan suatu masalah.
• Dapat meningkatkan motivasi.
• Membantu peserta didik untuk memahami bahan belajar dengan lebih mudah.
Kekurangan:
• Keberhasilan pembelajaran didasarkan pada kemampuan peserta didik.
• Pendidik dituntut mengikuti keaktifan peserta didiknya.
• Fasilitas harus mendukung.
BAB III
KESIMPULAN

A.      Teori belajar behaviorisme menjelaskan belajar itu adalah perubahan perilaku yang dapat

diamati, diukur dan dinilai secara konkret.

B.     Sebagai konsekuensi teori ini, para guru yang menggunakan paradigma behaviorisme akan

menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan pembelajaran yang

harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak banyak memberi

ceramah, tetapi instruksi singkat yang diikuti contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun

melalui simulasi. Bahan pelajaran disusun secara hierarki dari yang sederhana sampai pada

yang kompleks.

C.      Teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang terjadi

dalam akal pikiran manusia.

D.      Teori belajar kognitif akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan

kognitif peserta didik.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum, Jakarta ; Ar-ruzz Media, 2011.Sa’dun Akbar &
Hadi Sriwijaya, Pengembangan Kurikulum dan Pemnelajaran, Yogyakarta; Cipta Media,
2010.https://www.academia.edu/5530705/Makalah_TEORI_BELAJAR_SKINNER,hal.http://f
ile.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._MATEMATIKA/196511161990012NURJANAH
/Teori_belajar.pdf.https://www.academia.edu/9007867/TEORI_BELAJAR_MENURUT_BEB
ERAPA_AHLI.https://hasanahworld.wordpress.com/tag/taksonomisolo/http://aristwn.staff.ia
insalatiga.ac.id/wp-content/uploads/sites/3/2014/09/Teori-Belajar-
Kognitif.pdfhttps://www.academia.edu/6910354/Teori_Konstruktivisme_dan_kognitif,
B.R.Hergenhahn, Matthew H. Olson, Theories of Learning,(Teori belajar, Edisi ketujuh
terjemahan oleh Triwibowo), jakarta ; Prenadamedia Group, 2008.

Anda mungkin juga menyukai