Anda di halaman 1dari 11

PARADIGMA TEORI BEHAVIORSME CONNECTIONISM SERTA

RELEVANSINYA DENGAN RUANG LINGKUP KEPENDIDIKAN DASAR


Yogi Aldias Zakariyah1 , Jasminawati2
yogialdias.2023@student.uny.ac.id , jasminawati.2023@student.uny.ac.id

Universitas Negeri Yogyakarta

Pendahuluan

Memasuki peradaban di era disrupsi mengantarkan manusia menuju kemudahan


dalam mengakses segala kemajemukan informasi yang tak terbatas, begitupula pada
ranah peradaban pendidikan. Salah satu bentuk responsibilitas isu pendidikan saat ini bisa
dilihat dari cakap tanggap dalam menyelesaikan setiap persoalan perihal pola belajar
peserta didik pada lingkungan satuan pendidikan. Salah satu hal yang tidak bisa
dipungkiri ialah meninjau dari berbagai aspek termasuk tentang perilaku belajar peserta
didik yang terus mengalami perubahan seiring perkembangan psikologis dan jenjang
belajar di sekolah.

Salah satu hal pokok yang tidak bisa di pisahkan dari seorang pembelajar/peserta
didik ialah karakter yang disematkan pada setiap diri siswa. Karakter yang dibangun
selaras dengan perilaku peserta didik pada setiap kesempatan pembelajaran, kepribadian,
serta tindakan mereka dalam mersepon segala hal. Belajar merupakan kewajiban mutlak
setiap manusia yang mempunyai akal, naluri, serta kemauan yang tinggi. Salah satu kiblat
ilmu psikologi belajar ialah teori Behaviorisme yang mengkaji tentang perilaku manusia
dan peserta didik. Pada pembelajaran abad 21 saat ini pembelajaran di desain dengan
berbagai multikultural yang melibatkan banyak aspek dan pihak sehingga menjadikan
para pelaku belajar harus ekstra dalam mengupayakan ketercapaian belajar. Mengkaji
dari paparan artikel Heni Ramhawati, dkk dengan topik kategori kemampuan berpikir
kritis siswa pada jurnal Pendidikan Kebudayaan memberikan ungkapan bahwa sejatinya
peserta didik tingkat dasar mampu mengelola daya berpikir kritis yang mana hal tersebut
menjadi penting untuk di lakukan secara berkelanjutan (sustainable) dalam proses respon
belajar. Keterkaitan teori behavior terhadap hal tersebut tentu sangat erat mengingat
peserta didik di dasarkan atas pengalaman belajar yang ada mulai dari mencoba-coba
hingga terbiasa sehingga menjadi bisa. Nampak perubahan terhadap perilaku belajar yang
sangat baik hingga mampu mencapai indikator pembelajaran yang telah di tetapkan.

Pendidikan sekolah tingkat dasar merupakan jenjang pendidikan pemula bagi


peserta didik dalam menempuh pendidikan sekolah setelah menyelesaikan pada tingkatan
PAUD. Tentu banyak sekali hal-hal baru berkaitan dengan pengalaman serta proses
belajar yang di dapatkan para peserta didik selama menempuh pendidikan. Namun
bagimana dengan keterlibatan proses belajar peserta didik dalam jenjang tersebut? tentu
setiap individu peserta didik memiliki ragam behaviour yang berbeda sehingga
dibutuhkan penguat berupa kajian pembahasan berupa teori behaviorisme connectionsm.
Terkait apa itu teori tersebut serta korelasinya pada tingkat pendidikan dasar.

Rumusan Masalah

• Apa yang di maksud teori Connectionism Teori Behaviorisme dan urgensinya?


• Apa yang korelasi teori Connectionism dengan ruang lingkup belajar
siswa/peserta didik sekolah dasar?
• Bagaimana perkembangan teori Connectionsm serta relevansinya pada ruang
lingkup pendidikan dasar saat ini?

Pembahasan

Menurut pandangan behavioristik, belajar merupakan suatu perubahan tingkah


laku yang dapat diamati, yang terjadi melalui stimulus respons yang disertai dengan
penguatan menurut prinsip-prinsip mekanik. Perubahan tingkah laku yang dapay diamati
sebagai hasil belajar ini menunjukkan bahwa belajar berkaitan dengan permasalahan
grak fisik. Dengan pola belajar stimulus respon dan penguatan menunjukkan bahwa teori
ini hanya mementingkkan belajarnya. Behavior merupakan suatu pandangan teroritis
yang beranggapan bahwaa pokok persoalan psikologi adalah tingkah laku, tanpa
mengaitkan konsepsi-konsepsi mengenai

Mengkaji perihal Teori umum Behavioristik pasti selalu berkenaan dengan sikap
perilaku manusia. Landasan tersebut juga di dasari atas pandangan umum kebanyakan
manusia (human) dalam menentukan penilaian sudut pandang terhadap seseorang. Pada
ruang lingkup belajar serta pembelajaran landasan teori tersebut nampak cukup jelas dan
rinci dalam mendetailkan hasil penilaian mutlak terhadap seseorang. Konsep pandangan
empiris behavioral memiliki kepekaan fokus terhadap cara keterlibatan dari proses
belajar begitupula menjelaskan sudut pandang tingkah laku peserta didik yang muncul
hadir melalui indra peraba (rangsangan) yakni stimulus yang mengerucutkan hadirnya
hubungan perilaku reaktif (respons) seingga peserta didik peka terhadap hal tersebut.

Pemikiran persepsi fundamental mengenai tingkah laku berdasarkan teori ini


menunjukan bahwa tingkah laku secara menyeluruh ditentukan atas aturan (rule), bisa di
prediksi (diramalkan), dan bisa ditentukan (Rahyubi, 2012). Merujuk berdasarkan teori
behaviour ini, seseorang peserta didik terlibat dalam tingkah laku tertentu disebabkan
pengalaman belajar atau mempelajarinya atas kesempatan pengalaman terhdahulu yang
pernah di alami dengan mengkorelasikan tingkah laku tersebut dengan hadiah (reward).
Stimulans bisa dikategorikan berdasarkan lingkungan belajar anak pada ranah lingkup
eskternal dan internal atas penyebab terjadinya proses belajar. Pada ranah proses respons
merupakan hasil (output) atau dampak yang berbentuk reaksi fisik terhadap stimulans
(Muhibbinsyah, 2013). Menelisik pada perkembangan teori behaviorisme yakni ada
sebuah teori connectionism yang di cetuskan oleh tokoh besar beliau Edward Lee
Thorndike yang dikemukakan bahwa landasan utama dalam proses belajar di dasari
berdasarkan integrasi panca indera dengan rangsangan secara tiba-tiba untuk melakukan
sesuatu tindakan termasuk didalamnya yakni proses belajar. Dengan demikian prinsip
tersebut layak disebut teori koneksionisme/konektifitas yang saling terhubung dalam
panca indera diri peserta didik dengan respon yang di dapatkan sehingga menekankan
pada kesempatan masif dalam proses belajar. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa
perspektif belajar dari teori koneksionisme bisa terjadi melalui cara mencoba-coba
(trying) dan membuat salah yang kemudian menemukan keberhasilan atas hal tersebut.
Stimulus Respons
(S) (R)

Gambar 1

Belajar merupukan suatu proses pembetukan terhadap perubahan -perubahan


perilaku manusia. James O mengemukakan bahwa belajar merupakan suatu proses
perubahan tingkah laku yang dialami oleh manusia melalui latihan atau pengalaman.
Berbeda dengan Slamelo merumuskan pengertian tentang belajar yakni suatu

Teori belajar yang dikelompokkan kedalam teori behavioristik adalah


conecsionisme, classical conditioning, systematic behavior theory, contigous
conditioning, descriptive behavorism atau operenat conditioning: ciri-ciri teori belajar
behavioristik yakni:

a. Mementingkan pengaruh lingkungan (environment).


b. Mementingkan bagian-bagian (elementaristik).
c. Mementingkan peranan reaksi.
d. Mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar.
e. Mementingkan sebab-sebab di waktu yang lalu.
f. Mementingkan pembentukan kebiasaan.
g. Dalam pemecahan masalah, ciri khasnya adalah trial and error.

Pada dasarnya terjadinya belajar adalah pemmbentukan asosial (bound,


conection) anatara kesan pancaindra dengan kecenderungan untuk bertindak. Proses
belajar itu bersifat sebagai learning by selecting and connecting atau lazimnya itu
bersifaat sebagai trial and error learning, dan berlangsung menurut hukum-hukum
tertentu. Berikut diuraikan mengenai hukum-hukum yang dikemukakan oleh Thorndike:

a. Law of readines
Hukum kesiapan belajar ada tiga kondisi yang menunjukkan berlakuny
huukum kesiapan, yaitu: (1) bilamana seseorang muncul kecenderungan untuk
berbuat atau bertindak, kemudian ia melalukan perbuatan tersebut akan
menimbulkan kepuasan dan mengakibatkan tidak dilakukannya perbuatan-
perbuatan lain, (2) bila mana seseorang muncul kecenderungan untuk berbuat
atau bertindak, kemudian tidak melakukannya akan menimbulkan ketidak
pusasn, dan mengakibatkan dilakukannya tindakan untuk mengurangi atau
meniadakan ketidak puasan itu, dan (3) bila mana seseorang muncul
kecenderungan berbuat atau bertindak, kemudian melakukannya akan
menimbulkkan ketidakpuasan dan berkibat dilakukannya tindakan lain untuk
menurangi atau meniadakan ketidakpuasan tadi.
b. Law of exercise
Hukum belajar ini menunjukan pada menjadi lebih kuatnya koneksi antara
kondisi (yang merupakan peransangan) dan tindakan karena latihan (law of use)
dan menjadi lemahnya koneksi-koneksi karena latihan tidak dilanjutkan atau
dihentikan (law of disuse). Prinsip ini menunjukkan bhwa prinsi utama belajar
adalah pengulangan (re-learning). Arinya semakin sering seseuatu pelajaran
diullangi, maka makin dikuasai pelajaran tersebut. Di dalam praktiknya tentu
terdapat variasi, bukan sembarangan ulangan akan membawa perbaikan prestasi.
Tetapi pengaturan waktu, distribusi frekuensi pengulangan yang dilakukan akan
turut menentukan bagaimana hasil belajar.
c. Law of effect
Hukum ini menunjukkan pada semakin kuat atau semakin lemahnya
koneksi sebagai akibat dari ahli perbuatan yang dilakukan. Apabila
disederhanakann, hukum ini akan akan dapat dirumuskan seperi ini: “suatu
perbuatan yang disertai atau diikuti oleh akibat yang enak
(merumuskan/menyenangkan) cenderung untuk diperthankan dan lain kali
diulangi, sedangkan suatu perbuatan yang disertai atau diikuti oleh akibat yang
tidak enak (tidak menyenangkan) cenderung untuk dihentikan daan lain kali
tidak diulangi”. Dengan kata lain, hukum ini menunjukkan bagaimana pengaruh
hasil perbuatan yang serupa. Misalnya, kita sering memberi dan mmenerima
seseuatu dari orrang lainn menggunakan tangan kanan. Kebiasan ini disebut
kecakapan, kecakapan adalah hasil dari belajar bertahun-tahun. Pada saait masih
kecil, kalau kita ulurkan tangan kanan kita mendapatkan yang kita inginkan
(menyenangkan atau bisa mendapatkan semacam hadiah), namun sebaliknya
kalau kita ulurkan tangan kiri untuk memberi atau menerima sesuatu, maka kita
tidak akan mendapatkan apa yang kita inginkan bahkan kita akan mendapatkan
teguran (tidak menyenangkan atau bisa disebut semacam hukuman), semakin
makin jika kita ingin mendapatkan sesuatu kecenderungan mengulurkan tangan
kanan, semakin besar dan kecenderungan ingin mendapatkan yang tidak
mengenyenangkan menggunakan tangan kiri.
Implikasi praktisnya bahwa hukuman ini adalah menganai pengaruh
hadiah atau hukuman bagi seseorang. Hadiah menyebabkan seseorang terus
melakukan perbuatan tertentu dan lain kali mengulanginya, sedangkan hukuman
menyebabkan seseorang berhenti melakukan perbuatan tertentu dan tidak akan
mengulanginya lagi. Dalam dunia pendidikan ini bukan hal yang asing lagi
bahwa peranan hadiah dan hukuman sebagai alat pendidikan atau faktor
motivasi. Teori bisa digunakan untuk memberikan nilai atau hasil aktifitas dan
peranan siswa/siswa dalam mengerjakan tugas dari guru.
d. Transfer of training
Konsep ini menjukkan kepada sesuatu hal yang bisa memecahkan
masalah untuk bisa menghadapinya. Adanya konsep tranfer of training ini
merupakan hal sangat penting dalam pendidikan, karena bilamana sekiranya
tranfer of training itu tidak ada, maka sekolah tidak berfungsi bagi masyarakat.
Fungsi sekolah justru mempersiapkan calon-calon warga masyarakat yang
memiliki inteltual dalam pemecahan masalah. Karna apa yang didapatkan di
sekolah harus dapat digunakan kembali untuk berbagai keperluan sekolah. Maka
dari itu bagaimana mengusahakan agar tranfer of training itu dapat terjadi
secara optimal. Denagn hal ini hubungannya dengan teori atau konsep mnegnai
tranfer of training diperlukan.
Tranfer of training lebih dikenal dengan theory of idential elements yang
menyatakan bahwa tranfer of training akan terjadi bila antara hal yang lama
(yang telah dipelajari) dengan hal yang baru (hal yang akan dipelajari atau
dipecahkan) terdapat unsur-unsur yang identik.

Jenjang pendidikan belajar siswa terbagi mulai dari dasar sampai atas. Pada setiap
jenjang pendidikan tentu memiliki karakteristik serta kultur belajar yang berbeda. Hal
yang mendominasi setiap satuan jenjang pendidikan salah satunya ialah proses kegiatan
belajar mengajar (KBM). Pada ranah jenjang pendidikan dasar tentu banyak sekali
capaian pembelajaran yang harus di tuntaskan oleh siswa yang sudah dirancang
sedemikian rupa oleh pada guru. Namun, tentu saja hal tersebut tidak mudah untuk di
capai dalam waktu yang singkat dan membutuhkan banyak effort dalam pelaksanaannya.

Implementasi pembelajaran di satuan pendidikan memiliki gaya selingkung yang


berbeda antar tiap lembaga dan kelas. Dari hal tersebut tentu guru wajib dituntut agar
lebih kreatif, inovatif, serta berkelanjutan dalam mengembangkan pembelajaran. Konsep
teori connectionism muncul pada lingkup pembelajaran tingkat dasar saat ini
sebagaimana pada implementasi kurikulum merdeka yang memberikan banyak
kebebasan serta ruang berinovasi bagi guru dan siswa dalam merealisasikan pendidikan.
Profil pelajar pancasila saat ini merupakan fokus pengembangan karakter (Character
Building) yang menjadi titik tekan dalam pembelajaran yang berkelanjutan. Ini selaras
dengan konsep teori behaviorism connectionsm yakni siswa/peserta didik mengambil
alih pada subjek pembelajaran yang terus menuntut agar bisa berinteraksi dengan orang
lain serta merangsang alat panca indera (sense Impresion) sehingga mampu memberikan
respon umpan balik terhadap tindakan tersebut.

Adapun isu pendidikan kompleks yang terdapat pada buku Learning Theories an
Educational Perspective memiliki keterkaitan dengan proses belajar pada teori
behaviorism connectionsm.

1. Pendidikan sejak awal/dini


Kegiatan belajar seseorang terus berkembang sesuai mengingat hakikat
belajar yang harus di terapkan pada manusia terjadi sepanjang mengalami proses
transfer informasi (ilmu). Keterkaitan hal tersebut membuat hubungan antara
panca indera peserta didik pada jenjang pendidikan dasar mengalami sebuah
perkembangan sangat cepat terutama pada hal-hal kontekstual. Sehingga proses
demikian menjadi tahapan yang sangat penting untuk terus di kaji serta
dikembangkan sesuai perkembangan pembelajaran yang di terima.
2. Gagasan dan Pengalaman belajar peserta didik yang direncanakan
mempertimbangkan proses kognitif seperti perhatian dan memori secara
kompleks (holistik). Sejatinya pengalaman belajar setiap peserta didik tentu
memiliki perbedaan antara satu siswa dengan yang lainnya mengingat masing-
masing individu memiliki keterlibatan belajar yang berbeda. Daya serap ingatan
dan kecakapan tiap individu tentu mampu mengelola hasil pengalaman belajar
serta menyimpan pada memori mereka sehingga ketika menemukan/menempati
proses belajar yang serupa akan lebih mudah dan bermakna.
3. Proses revitalisasi kesulitan belajar peserta didik
Pada dasarnya setiap kesulitan belajar rentan dialami masing-masing
individu peserta didik sesuai tingkat kesulitan mereka sendiri. Permulaan belajar
peserta didik pasti secara tidak sadar pernah mengalami kesalahan dan mencoba
memperbaikinya. Dari kesalahan tersebut terkadang membuat sedikit mengalami
kendala kesulitan yang dimana harus diulang-ulang serta di perbaiki. Sehingga
proses mengulang-ulang dan refleksi dari individu peserta didik secara perlahan
memperbaiki kesulitan tersebut menjadi sebuah kemudahan.
4. Kompleksitas teori belajar (kognitif)
Keterkaitan kognitif siswa dalam belajar tentu memiliki sikap erat
terhadap proses berpikir peserta didik. Setiap individu di tuntut bepikir
memecahkan sebuah permasalahan ataupun menjawab pertanyaan yang
mengakibatkan otak bekerja memberikan transfer data untuk di proses dan di
visualisasikan melalui tindakan siswa berupa verbal atupun non verbal. Dengan
demikian connectionsm belajar dari sisi kognitif sangat penting untuk di pelajari.

Korelasi teori Behaviorism Connectionism dengan Pendidikan Dasar

Pada dasarnya, teori behavioristik sangat erat dikaitkan dengan pembelajaran


sehingga bisa diimplementasikan melalui cara (step) inquiri (Sukmadinata, 2003). Bisa
di terapkan semisal seorang pendidik/guru memberikan berbagai opsi gambar serta di
perlihatkan kepada audience yakni siswa, selanjutnya para peserta didik secara
kontekstual akan menyusun atau menghubungkan gambar-gambar yang ada secara
terstruktur sistematis sesuai kehendaknya. kemudian hal ini mampu memicu asah otak
peserta didik untuk berpikir secara sistematis menemukan sebuah sesuatu hal berdasarkan
gambar yang mereka telah gunakan. Selain itu aspek Kecapakan 4C pembelajaran abad
21 juga dirasa penting untuk di implementasikan saat ini sebagai wujud kolaborasi apsek
holistik proses belajar peserta didik yang menyangkut Creativity, Critical Thingking,
Collaboration, and Communication. Dari hal tersebut keterkaitan teori Behaviorisme
Connectionism tentu mempunyai hubungan erat terhadap tindak respon peserta didik.
Mereka cenderung memposisikan sikap ketertarikan erat (stimulus) atas pengalaman dari
lingkungan belajar terhadap umpan balik yang diberikan guru sehingga menghasilkan
respon lemah ataupun kuat oleh indvidu peserta didik.

Creativity,

Critical
Collaboration 4C Thingking

Communication.

Gambar 2

Model pembelajaran abad-21 yang relevan dengan peserta didik jenjang dasar
salah satu bentuk konsep capaian belajar yang mengintegrasikan beberapa aspek
keterlibatan keterampilan peserta didik. Hal tersebut di dasari atas tantangan belajar yang
semakin berkembang seiring kurikulum yang digunakan yakni kurikulum merdeka.
Kefektifitasan model belajar tersebut tentu harus disesuaikan dengan konsep sekaligus
keterlibatan peserta didik di dalamnya sehingga mampu mencapai tujuan pembelajaran
yang baik. Adapun beberapa model pembelajaran abad-21 yang bisa di implementasikan
kepada peserta didik yang selaras dengan kebutuhan capaian belajar yang diharapkan.

Discovery Learning, peserta didik akan di ajarkan cara belajar yang melibatkan
kemampuan dirinya dalam menemukan hal-hal baru. Model pembelajaran ini pula
memiliki keterkaitan dengan teori behavioris yang melibatkan kemampuan peserta didik
yang terlibat aktif dalam proses belajar.

Project based Learning, model pembelajaran PBL tidak terdengar asing lagi pada
kalangan pendidik dan akademisi yang memaparkan model belajar berbais project.
Relevansi model belajar ini dengan teori behaviorism connectionsm tentu memiliki
keterikatan sangat erat yang melibatkan struktur panca indera individu/kelompok peserta
didik untuk membetuk sebuah aktivitas belajar sesuai SOP dan project yang di kerjakan.

Self Directed Learning, pembelajaran berdasarkan hasil pengalaman setiap indvidu


peserta didik membuat mereka senang, memiliki historis yang bergaram serta berbeda
dengan siswa lain. Ini menunjukan bahwa peserta didik tingkat dasar cocok untuk di
ajarkan model belajar demikian.

Contextual Learning, jenjang pendidikan tingkat dasar (SD) identik dengan pembelajaran
menyenangkan yang dimana bersifat konkret sehingga tidak absurd. Materi pembelajaran
yang diajarkan kepada peserta didik juga tidak tergolong berat yang dimana sudah di
selaraskan sesuai level mulai dari C1-C6 sesuai indikator dan kompetensi pembelajaran
yang akan di capai.

Roleplay bermain peran, kegiatan pada model pembelalajaran ini cocok pada kegiatan
belajar tertentu pada tingkat pendidikan dasar. Banyak sekali keterlibatan pancaindera
setiap individu terhadap respon umpan balik yang diberikan. Roleplay ini mmeberikan
kesempatan kepada peserta didik mengembangkan kemampuan kognitif, afektif,
maupun psikomotorik mereka dalam rangka mencapai keberhasilan belajar.

Kooperatif Learning, memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk kolaboratif


bekerjasama guna membantu mencapai tujuan bersama dalam proses pembelajaran. Ini
membuka peluang lebih besar terhadap daya kolaborasi dan komunikasi dari setiap
individu sehingga mampu mengkoneksikan atau menghubungkan antara banyak hal.

Small Grup Discussion, model belajar yang memberikan banyak kesempatan setiap
individu untuk saling berkomunikasi. Ini cocok digunakan pada jenjang tingkat dasar
kelas atas dimana kemampuan kognitif mereka sudah pada level yang sesuai dengan
karakteristik model belajar tersebut.

Dengan demikian teori behaviorisme connectionism di tingkat jenjang pendidikan


dasar terus berkelanjutan dan mengalami perkembangan seiring pergantian kurikulum
serta pembelajaran yang telah di susun. Banyaknya teori behaviorisme serupa telah
meyakini bahwa memang menempatkan pola belajar setiap individu terhadap di jenjang
pendidikan dasar dan perkembangan zaman menjadi peluang serta tantangan besar bagi
civitas pengelola pendidikan dan para siswa serta guru sebagai subjek yang menjalankan
hal tersebut.

Kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai