Anda di halaman 1dari 4

Teori yang dikemukakan Thorndike dikenal dengan teori stimulus-

respon (S-R).
Dalam teori S-R dikatakan bahwa dalam proses belajar, pertama kali organisme (hewan,
orang) belajar dengan cara coba salah (trial end error). Apabila suatu organisme berada
dalam suatu situasi yang mengandung masalah, maka organisme itu akan mengeluarkan
tingkah laku yang serentak dari kumpulan tingkah laku yang ada padanya untuk
memecahkan masalah itu. Berdasarkan pengalaman itulah, maka pada saat menghadapi
masalah yang serupa, organisme sudah tahu tingkah laku mana yang harus dikeluarkannya
untuk memecahkan masalah. Ia mengasosiasikan suatu masalah tertentu dengan suatu laku
tertentu.
Dalam membuktikan teorinya, Thorndike melakukan percobaan terhadap seekor kucing
yang lapar dan kucing itu ditaruh di kandang, yang mana kandang tersebut terdapat celah-
celah yang kecil sehingga seekor kucing itu bisa melihat makanan yang berada di luar
kandang dan kandang itu bisa terbuka dengan sendiri apabila seekor kucing tadi menyentuh
salah satu jeruji yang terdapat dalam kandang tersebut. Mula-mula kucing tersebut
mengitari kandang beberapa kali sampai ia menemukan jeruji yang bisa membuka pintu
kandang, kucing ini melakukan respon atau tindakan dengan cara coba-coba, ia tidak
mengetahui jalan keluar dari kandang tersebut, kucing tadi melakukan respon yang
sebanyak-banyaknya sehingga menemukan tindakan yang cocok dalam situasi baru atau
stimulus yang ada. Thorndike melakukan percobaan ini berkali-kali pada kucing yang sama
dan situasi yang sama pula. Memang pertama kali kucing tersebut dalam menemukan jalan
keluar memerlukan waktu yang lama dan pastinya mengitari kandang dengan jumlah yang
banyak pula, akan tetapi karena sifat dari setiap organisme itu selalu memegang tindakan
yang cocok dalam menghadapi situasi atau stimulus yang ada, maka kucing tadi dalam
menemukan jeruji yang menyebabkan kucing tadi bisa keluar dari kandang, ia pegang
tindakan ini sehingga kucing ini dapat keluar untuk mendapatkan makanan dan tidak perlu
lagi mengitari kandang karena tindakan ini dirasa tidak cocok. Akan tetapi kucing tadi
langsung memegang jeruji yang menyebabkannya bisa keluar untuk makan.

 Ciri-ciri Belajar Menurut Thorndike


Adapun beberapa ciri-ciri belajar menurut Thorndike (Kartika, 2013: 6), antara lain:
a. Ada motif pendorong aktivitas.
b. Ada berbagai respon terhadap sesuatu.
c. Ada eliminasi respon-respon yang gagal atau salah.
d. Ada kemajuan reksi-reaksi mencapai tujuan dari penelitiannya itu.
Hukum Teori Koneksionisme
1. Law of Readness (Hukum Kesiapan)
Ketika seseorang dipersiapkan (sehingga siap) untuk bertindak, maka melakukan
tindakan merupakan imbalan (reward) sementara tidak melakukannya merupakan
hukuman (punishment) (Schunk: 2012). Semakin siap suatu individu terhadap suatu
tindakan, maka perilaku-perilaku yang mendukung akan menghasilkan imbalan
(memuaskan). Kegiatan belajar dapat berlangsung secara efisien bila si pelajar telah
memiliki kesiapan belajar. Ada tiga keadaan yang menunjukkan berlakunya hukum
kesiapan ini, yaitu bahwa:
a. Apabila suatu unit tingkah laku telah siap digunakan, maka penggunaannya akan
membawa kepuasan.
b. Apabila suatu unit tingkah laku telah siap digunakan namun tidak digunakan maka
akan menimbulkan ketidakpuasan (kerugian) dan menimbulkan respon yang lain untuk
mengurangi atau meniadakan ketidakpuasan itu.
c. Apabila suatu unit tingkah laku belum siap tetapi dipaksakan untuk digunakan
maka akibatnya juga kerugian.[7]

2. Law of Exercise (Hukum Latihan)


Law of exercise adalah generalisasi atas law of use dan law of disuse Hilgard & Bower
(1975)
• Law of Use : Jika perilaku sering dilatih atau digunakan maka eksistensi perilaku
tersebut akan semakin kuat.
• Law of Disuse : Jika perilaku tidak sering dilatih atau tidak digunakan maka ia akan
terlupakan atau akan menurun
Contoh, dalam jurusan psikologi terdapat matakuliah yang saling berhubungan seperti
statistika (semester 2), psikometrika (semester 3), dan konstruksi alat ukur (semester
4). Tentu mahasiswa tidak boleh melupakan matakuliah yang sebelumnya karena setiap
matakuliah saling berhubungan, sehingga secara tidak langsung mengharuskan
mahasiswa mengulang atau mempelajari kembali matakuliah sebelumnya agar
mahasiswa tidak lupa dan semakin mengingatnya.
3. Law of Effect (Hukum Akibat)
Kegiatan belajar yang memberikan efek hasil belajar yang menyenangkan (hadiah)
cenderung akan diulangi, sedangkan kegiatan belajar yang memberikan efek hasil
belajar yang tidak menyenangkan (hukuman) akan dihentikan. Dalam pembelajaran
hukum ini biasa diterapkan dengan pemberian reward and punishment.
Contoh, jika mahasiswa mempelajari mata kuliah yang saling berhubungan seperti
statistika, psikometri dan konstruksi alat ukur dengan baik akan mendapatkan hasil
nilai ujian yang memuaskan. Namun, jika sebaliknya, mahasiswa akan mendapatkan
nilai yang tidak memuaskan cenderung akan mengulang mata kuliah.

Hukum – Hukum Minor


1) Multiple Response (Hukum Reaksi Bervariasi)
Individu diawali dengan proses trial and eror yang menunjukan bermacam-macam
respon sebelum memperole respon yang tepat dalam memecahkan masalah yang
dihadapi.

2) Set/Attitude (Hukum Sikap)


Disposisi, prapenyesuaian, atau sets (attitude) merupakan pengakuan akan pentingnya
apa yang dibawa pembelajar dalam situasi belajar. Jadi, hukum ini menjelaskan bahwa
perilaku belajar seseorang tidak hanya ditentukan oleh hubungan stimulus dengan
respon saja, tetapi juga ditentukan keadaan yang ada dalam diri individu baik kognitif,
emosi, sosial, maupun psikomotornya. Dalam hukum ini dijelaskan bahwa belajar
adalah proses terbentuknya antara stimulus dan respons dan dipengaruhi oleh keadaan
dalam diri individu yaitu kognitif, warisan kultural atau genetik atau keadaan temporer
seperti depriviaisi, keletihan dan kondisi emosional.

Misalnya, hewan yang memiiliki banyak pengalaman di kotak teka – teki kemungkinan
akan memecahkan problem dengan lebih cepat ketimbang hewan yang baru saja
dimasukkan ke kotak itu. Lebih jauh, hewan yang kekurangan makan selama periode
waktu yang lebih lama kemungkinan akan merasakan suatu makanan lebih memuaskan
ketimbang hewan yang sudah agak kenyang. Dengan konsep set atau atau sikap inilah
thorndike mengakui bahwa keadaan hewan sampai tingkat tertentu inilah yang akan
menentukan apa – apa yang memuakan atau menjengkelkan.

Contoh lain yaitu ketika seorang anak melakukan proses belajar. Informasi yang dia
terima akan diterima jika kondisi dia baik. Sedangkan informasi tidak akan dia terima
dengan baik apabila dia sedang sakit.

3) Prepotency of Element (Hukum Aktivitas Berat Sebelah)


Prepotency of element ( prapotensi elemen ) adalah apa yang oleh Thorendike
dinamakan “ aktivitas parsial dari suatu situasi “. Ini mengacu pada fakta bahwa hanya
beberapa elemen dari situasi yang akan mengatur perilaku. Dengan gagasan prapotensi
elemen ini Thorndike mengakui kompleksitas lingkungan dan menyimpulkan bahwa
kita merespons secara selektif terhadap aspek – aspek lingkingan. Dengan kata lain
setiap individu melakukan proses belajar akan merespons selektif terhadap aspek-aspek
lingkungan. Cara merespons terhadap stimuli akan bergantung pada apa yang
diperhatikan dan respons apa yang diberikan untuk sesuatu hal yang diperhatikannya.

Contoh: Didalam kelas guru sedang memberikan penjelasan tentang Lingkaran. Siswa
yang memperhatikan tidak akan perduli dengan keadaan diluar kelas dan akan
memberikan respons dari stimulus (penjelasan tentang lingkaran) yang ada.
4) Response by Anology (Hukum Respon melalui Analogi)
Individu dapat melakukan respons pada situasi yang belum pernah dialami karena
individu sesungguhnya dapat menghubungkan situasi yang belum pernah dialami
dengan situasi lama yang pernah dialami sehingga terjadi transfer atau
perpindahan unsur-unsur yang telah dikenal ke situasi baru. Semakin banyak
unsur yang sama, maka transfer akan semakin mudah
5) Associative Shifting (Hukum Perpindahan Asosiasi)
Proses peralihan dari situasi yang dikenal ke situasi yang belum dikenal dilakukan
secara bertahap dengan cara menambahkan sedikit demi sedikit unsur lama.

Anda mungkin juga menyukai