Anda di halaman 1dari 3

Nama : Chandra Polak

NIM : 19105014

Kelas : 5G

TEORI BELAJAR KONEKSIONISME.


Teori koneksionisme ditemukan oleh Edward Lee Thorndike. Thorndike merupakan salah
satu ahli pendidikan yang menganut aliran teori belajar behavioristik (behaviorisme). Teori
belajar tingkah laku (behaviorism) dari Thorndike yaitu teori belajar stimulus respon.
Menurut Thorndike, pada hakikatnya belajar merupakan proses pembentukan hubungan
antara stimulus dan respon. Oleh karena itu teori belajar dari Thorndike ini disebut teori
belajar stimulus-respon dan populer dengan sebutan TEORI BELAJAR KONEKSIONISME.
Edward Lee Thorndike mengemukakan beberapa hukum belajar yang dikenal dengan sebutan
Law of effect. Belajar akan lebih berhasil bila respon siswa terhadap suatu stimulus segera
diikuti dengan rasa senang atau kepuasan. Rasa senang atau kepuasan ini bisa timbul sebagai
akibat anak mendapatkan pujian atau ganjaran lainnya. Stimulus ini termasuk reinforcement.
Setelah anak berhasil melaksanakan tugasnya dengan tepat dan cepat, pada diri anak muncul
kepuasan diri sebagai akibat sukses yang diraihnya. Anak memperoleh suatu kesuksesan yang
pada gilirannya akan mengantarkan dirinya ke jenjang kesuksesan berikutnya. Tiga (3)
Hukum Terkait Teori Belajar Koneksionisme Terdapat beberapa dalil atau hukum yang
terkait dengan teori koneksionisme yaitu hukum kesiapan (law of readiness), hukum latihan
(law of exercise) dan hukum akibat (law of effect). 1. Hukum Kesiapan (law of readiness)
Hukum ini menjelaskan kesiapan seorang anak dalam melakukan suatu kegiatan. Seorang
anak yang mempunyai kecenderungan untuk bertindak atau melakukan kegiatan tertentu
kemudian melakukan kegiatan tersebut, maka tindakannya akan melahirkan kepuasan bagi
dirinya. Tindakan-tindakan lain yang dia lakukan tidak menimbulkan kepuasan bagi dirinya.
Menurut Thorndike, pada hakikatnya belajar merupakan proses pembentukan hubungan
antara stimulus dan respon. Oleh karena itu teori belajar dari Thorndike ini disebut teori
belajar stimulus-respon dan populer dengan sebutan TEORI BELAJAR KONEKSIONISME.
Edward Lee Thorndike mengemukakan beberapa hukum belajar yang dikenal dengan sebutan
Law of effect. Belajar akan lebih berhasil bila respon siswa terhadap suatu stimulus segera
diikuti dengan rasa senang atau kepuasan. Rasa senang atau kepuasan ini bisa timbul sebagai
akibat anak mendapatkan pujian atau ganjaran lainnya. Stimulus ini termasuk reinforcement.
Setelah anak berhasil melaksanakan tugasnya dengan tepat dan cepat, pada diri anak muncul
kepuasan diri sebagai akibat sukses yang diraihnya. Anak memperoleh suatu kesuksesan yang
pada gilirannya akan mengantarkan dirinya ke jenjang kesuksesan berikutnya. Tiga (3)
Hukum Terkait Teori Belajar Koneksionisme Terdapat beberapa dalil atau hukum yang
terkait dengan teori koneksionisme yaitu hukum kesiapan (law of readiness), hukum latihan
(law of exercise) dan hukum akibat (law of effect
1. Hukum Kesiapan (law of readiness) Hukum ini menjelaskan kesiapan seorang anak dalam
melakukan suatu kegiatan. Seorang anak yang mempunyai kecenderungan untuk bertindak
atau melakukan kegiatan tertentu kemudian melakukan kegiatan tersebut, maka tindakannya
akan melahirkan kepuasan bagi dirinya. Tindakan-tindakan lain yang dia lakukan tidak
menimbulkan kepuasan bagi dirinya
2. Hukum Latihan (law of exercise) Hukum ini menyatakan bahwa jika hubungan stimulus-
respon sering terjadi, akibatnya hubungan akan semakin kuat, sedangkan makin jarang
hubungan stimulus-respon dipergunakan, maka makin lemah hubungan yang terjadi. Hukum
latihan pada dasarnya menggunakan dasar bahwa stimulus dan respon akan memiliki
hubungan satu sama lain secara kuat, jika proses pengulangan sering terjadi, makin banyak
kegiatan ini dilakukan maka hubungan yang terjadi akan bersifat otomatis. Seorang anak
yang dihadapkan pada suatu persoalan yang sering ditemuinya akan segera melakukan
tanggapan secara cepat sesuai dengan pengalamannya pada waktu sebelumnya.
3. Hukum Akibat (law of effect) Hukum ini menjelaskan bahwa apabila asosiasi yang
terbentuk antara stimulus dan respon diikuti oleh suatu kepuasan maka asosiasi akan semakin
meningkat. Hal ini berarti bahwa kepuasan yang terlahir dari adanya ganjaran dari guru akan
memberikan kepuasan bagi anak, dan anak cenderung untuk berusaha melakukan atau
meningkatkan apa yang telah dicapainya itu.

Teori Ivan Pavlov


Menurut psikologi, pengkondisian klasik atau classical conditioning adalah sebuah teori
belajar yang ditemukan oleh Ivan Pavlov , seorang dokter asal Rusia. Pavlov mengungkapkan
bahwa kita bisa menghasilkan suatu respons dengan mengombinasikan dua stimulus;
stimulus alami dan stimulus buatan.

Teori Conditioning dari Guthrie

Guthrie mengemukakan bahwa tingkah laku manusia itu secara keseluruhan dapat dipandang
sebagai deretan-deretan tingkah laku yang terdiri dari unit-unit. Unit-unit tingkah laku ini
merupakan reaksi atau respons dari perangsang atau stimulus sebelumnya, dan kemudian unit
tersebut menjadi pula stimulus yang kemudian menimbulkan response bagi unit tingkah laku
yang berikutnya. Demikianlah seterusnya sehingga merupakan deretan-deretan unit tingkah
laku yang terus-menerus. Jadi pada proses conditioning ini pada umumnya terjadi proses
asosiasi antara unit-unit tingkah laku satu sama lain yang berurutan. Ulangan-ulangan atau
latihan yang berkali-kali memperkuat asosiasi yang terdapat antara unit tingkah laku yang
satu dengan unit tingkah laku yang berikutnya.
Sebagai penjelasan dari percobaan Pavlov sebagai berikut: Pada mulanya anjing percobaan
keluar air liur ketika disodorkan makanan. Setelah berkali-kali sambil menyodorkan makanan
dilakukan juga menyorotkan sinar merah kepada anjing itu; pada suatu ketika hanya dengan
menyorotkan sinar merah, anjing itu keluar juga air liurnya. Jadi, dalam hal ini terjadi
asosiasi yang makin kuat antara sinar merah (stimulus) dengan keluarnya air liur (respons).
Yang penting pula diperhatikan dalam percobaan itu ialah; dapat diubahnya suatu stimulus
(unit) tertentu dengan stimulus yang lain. Karena itu, menurut Guthrie untuk mengubah
kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik, harus dilihat dalam rentetan deretan unit-unit tingkah
lakunya, kemudian kita usahakan untuk menghilangkan unit yang tidak baik itu atau
menggantinya dengan yang lain yang seharusnya.
Berikut ini sebuah contoh sebagai penjelasan. Seorang ibu datang menanyakan kepada
Guthrie, bahwa anak perempuannya setiap pulang dari sekolah selalu melemparkan tas dan
pakaiannya ke sudut kamarnya, kemudian ganti pakaian dan terus makan tanpa meletakkan
tas dan pakaiannya pada gantungan yang telah tersedia untuk itu. Teguran-teguran ibu untuk
menggantungkan tas dan pakaian pada tempatnya, hanya berlaku satu atau dua, hari saja,
sesudah itu kebiasaan yang buruk berulang lagi. Bagaimana cara memperbaiki kebiasaan
buruk pada anak tersebut?
Guthrie menyarankan (sesuai dengan teori conditioning) perbaikan seperti berikut:
Teguran ibu jangan hanya menyuruh menggantungkan tas dan pakaiannya sesudah anak itu
makan, akan tetapi anak tersebut harus disuruh memakai pakaian itu lagi dan menyandang
tasnya dan kemudian anak itu masuk ke rumah lagi terus menggantungkan tasnya dan
pakaiannya, berganti pakaian, dan selanjutnya makan. Jadi, proses berlangsungnya unit-unit
tingkah

Anda mungkin juga menyukai