Makalah
Diajukan sebagai tugas Pada Mata Kuliah
PEMIKIRAN KRITIS DALAM ISLAM
Oleh:
Musmuliadi
NIM: 80100321060
Dosen Pemandu:
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN
MAKASSAR
2021
1
2
BAB I
PENDAHULUAN
2. Rumusan Masalah
Untuk mengkaji sejauhmana kaitan antara trilogi kecerdasan dengan
wahyu, penulis memberikan satu rumusan masalah yaitu: Bagaimana Potensi dan
Kekuatan Kecerdasan pada Manusia (IQ, EQ, dan SQ) dan kaitannya dengan
Wahyu. Rumusan ini akan dipaparkan dalam dua sub rumusan masalah, yaitu:
1. Bagaimana definisi dasar IQ, EQ, dan SQ ?
2. Bagaimana hubungan Trilogi kecerdasan (IQ, EQ, SQ) dengan Wahyu?
4
BAB II
PEMBAHASAN
digulirkan pertama kali oleh Danah Zohar (dari Harvard University) dan Ian
Marshall (dari Oxford University). Menurut keduanya, kecerdasan spiritual inilah
yang merupakan puncak kecerdasan (The ultimate Intelligence). 6
Kecerdasan intelektual (IQ) banyak memfungsikan otak neo-cortex, yaitu
lapisan luar otak manusia. Otak neo-cortex inilah yang banyak digunakan untuk
melakukan perhitungan angka-angka, pengoperasian alat elektronik, belajar
bahasa asing, bahkan untuk menciptakan kapal terbang hingga bom nuklir.
Adapun kecerdasan emosial (EQ) dilakukan dalam lapisan otak lebih dalam dari
neo-cortex, yaitu limbic system (lapisan tengah). Sedangkan Kecerdasan spiritual
(SQ) diawali dengan ditemukannya Got Spot dalam otak manusia, tepatnya yang
berada pada bagian otak. 7
Penelusuran makna wahyu atau al-wahhy (dalam bahasa Arab) dapat
dilakukan melalui dua kategori pemaknaan. Pertama, yaitu al-īhhā' yang
menunjukkan cara pewahyuan. Kedua, yaitu al-muhhā bihi yang menunjukkan
materi/bahan pewahyuan. Untuk kategori pertama, Wahhy pada dasarnya diartikan
dengan: Pemberitahuan secara laten/tersembunyi (i'lām fi khafā'), oleh karena itu
bahasa isyarat (al-isyārah), ilham (al-ilhām), bisikan (al-kalām al-khafy), bahkan
pemberitahuan secara tulisan (al-kitābah), dan pengiriman (al-risālah) juga
disebut wahy. 8 Termasuk dalam kategori ini juga perbedaan term al-wahhiyyu
yang berarti cepat (al-sarī') dan al-wahhayyu, yaitu suara (al-shhaut). 9 Dengan
kata lain wahyu menurut bahasa (lughatan) adalah sesuatu yang disampaikan
secara laten, tanpa diketahui orang lain baik dengan atau tanpa suara. Wahy
6
Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual
ESQ Emotional Spiritual Quotient: The ESQ Way 165 1 Ihsan, 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam
(Jakarta: Arga Wijaya Persada, 2001), h. 11.
7
Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual
ESQ Emotional Spiritual Quotient: The ESQ Way 165 1 Ihsan, 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam,
h. 12.
8
Muhhammad bin Mukram bin Manzūr al-Afrīqi al-Mishhri, Lisān al-'Arab, Juz XV, Cet.
I (Beirūt: Dār Shhādir, t.th.), h. 379.
9
Abū al-Hhusain Ahhmad bin Fāris bin Zakariyā, Mu'jam Maqāyīs al-Lughah, pentahqiq
'Abd al-Salām Muhhammad Hārūn, juz VI, (t.t: Dār Fikr, 1979), h. 93.
6
10
Muhhammad Muhhammad Abū Zahwu, Al-Hhadīs wa al-Muhhaddisūn (Cet. I; Mesir:
Syirkah Mahimah Mishhriyah, 1958), h. 11, 12, 14, 15.
7
mencapai tujuan yang mulia, serta untuk mengendalikan kondisi emosional inilah,
kecerdasan spiritual berperan. 11
Nasaruddin Umar mengemukakan beberapa term Al-Qur'an yang dianggap
memberi isyarat tentang kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ)
dan kecerdasan spiritual (SQ). Kecerdasan intelektual dalam Al-Qur'an dapat
dihubungkan penggunaan term 'aql ('aqala) dalam berbagai bentuknya, serta yang
diartikan – salah satunya – sebagai predikat orang yang mempunyai kecerdasan
intelektual (baca: ulu al-bāb). Seorang yang telah mencapai predikat ulu al-bāb
belum tentu memiliki kecerdasan emosional atau kecerdasan spiritual, karena ulu
al-bāb masih mendapat ajakan untuk bertakwa kepada Allah Q.S. al-Maidah/5:
100 dan Q. S. al-Thalaq/65: 10. Meskipun terkadang orang yang telah termasuk
ulu al-bāb juga telah menyadari akan adanya kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi
di balik kemampuan akal pikiran (Q. S. al-Baqarah/2: 269 dan Q. S. al-Zumar/39:
9). Kecerdasan intelektual bukanlah jaminan untuk memperoleh kualitas spiritual
yang lebih baik, karena terbukti banyak orang cerdas intelektual tetapi tetap
ingkar kepada Tuhan, seperti dalam Q.S. al-Baqarah/2: 75. Di dalam Al-Qur'an
aktifitas kecerdasan emosional seringkali dihubungkan dengan kalbu, atau term
lain yang mirip dengan aktifitas kalbu. Dengan demikian kata "qalb" dapat
diartikan dengan emosi. Jika ada emosi yang cerdas dan tidak cerdas, maka emosi
cerdas ditunjukkan dalam Al-Qur'an dengan pengungkapan qalb yang positif,
seperti: Kalbu yang damai (qalb salīm) (Q.S. al-Syu'arā/26: 89), kalbu yang penuh
rasa takut (qalb munīb) (Q.S.Qāf/50: 33), kalbu yang tenang (qalb muthmain)
(Q.S. al-Nahhl/16: 106), kalbu yang berfikir (ya'qilu bihi) (Q.S.al-Hhaj/22: 46)
dan kalbu yang mukmin (qalb mu'min) (Q.S.al-Fathh/48: 4). Adapun emosi yang
tidak cerdas digambarkan dengan kondisi qalb yang negatif, seperti: Kalbu yang
sewenang-wenang (qalb mutakabbir jabbār) (Q.S. Ghāfir/40: 35), kalbu yang
11
Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power: Sebuah Inner
Journey melalui Al-Ihsan (Jakarta: Arga, 2003), h. 60-61.
8
12
http://www.republika.co.id/berita/29676/
Isyarat_isyarat_IQ_EQ_dan_SQ_dalam_Al_Qur_an (19 Nopember 2021)
13
Abū 'Abd al-Lāh Muhhammad bin Ismā'il al-Bukhāri al-Ja'fi, Shhahhīhh al-Bukhāri,
pentahqiq Musthafa Daib al-Bagha, juz I, (Cet. III; Beirūt: Dār Ibn Kasīr, 1987), h. 28.
14
http://www.republika.co.id/berita/29676/
Isyarat_isyarat_IQ_EQ_dan_SQ_dalam_Al_Qur_an (19 Nopember 2021)
15
Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power, h. xix.
9
16
http://www.inpasonline.com/index.php?
option=com_content&task=view&id=38&Itemid=99 (7 Nopember 2009)
17
G.J. Holyoake, The Origin and Nature of Secularism (London: Watts and Co., 1896),
h. 51. http://en.wikipedia.org/wiki/Secularism (7 Nopember 2009)
10
Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power, h. xxiii, xxiv.
18
hal-hal yang tercela.22 Dalam kaitannya dengan mencapai sesuatu, atau mencapai
suatu kebenaran, pemaknaan akal dari perspektif ini sangat signifikan. Dengan
kata lain, bahwa akal berperan sebagai pengontrol terhadap kebebasan yang
dimilikinya untuk mencapai atau menemukan sesuatu yang dianggap kebenaran,
ataupun kebenaran yang sesungguhnya. Dengan demikian seseorang dikatakan
berakal apabila mampu mengontrol daya fikirnya untuk menemukan suatu
kebenaran. Daya fakir yang tidak terkontrol oleh yang pemiliknya, tidak akan
mampu menjumpai bahkan menemukan kebenaran yang sesungguhnya
Akal dalam perspektif kaum rasionalis tempo dulu (mu'tazili) - menurut
saya – adalah suatu komunitas yang telah mampu mengontrol daya fikir untuk
menemukan kebenaran. Hal ini terbukti dengan jelasnya arahan yang mereka
maksudkan dalam rangka pendayagunaan akal dalam kaitannya dengan
kebenaran. Hal ini tampak jelas, ketika mereka memberikan "batasan", bahwa
akal bisa menemukan kebenaran, karena akal mampu membedakan mana yang
memberi kebaikan, dan mana yang menimbulkan kemudaratan (bahaya) bagi diri
si pemilik akal tersebut. Inilah yang saya maksudkan dengan daya fikir yang
terkontrol.
Sehingga bisa dikatakan, bahwa akal yang bisa menemukan kebenaran,
karena kebenaran bisa teridentifikasi melalui ciri khas yang dimilikinya yaitu
menimbulkan manfaat dan menghindarkan bahaya. Kebenaran yang memiliki ciri
khas yang seperti ini bisa dijumpai atau dijangkau oleh akal.
Namun pertanyaanya, akal beralih kepada bagaimana menemukan sumber
kebenaran itu sendiri yaitu, Kebenaran (dengan K besar). Apakah juga bisa
dijangkau oleh akal. Jawabannya adalah, apabila yang dimaksudkan dengan cara
atau praktek untuk merefleksikan bahwa seorang telah menemukan kebenaran,
dalam hal ini – menurut saya – akal mungkin tidak bisa mendapatkannya. Karena
ia sangat berkaitan dengan hal-hal yang bersifat praktis bukan berupa hal-hal yang
2222
Lihat Ibn Zakariyā, Mu'jam Maqāyīs, juz IV, h. 56
13
diterima. Apabila ada orang yang dianggap sebagai "nabi" karena mampu
menemukan Tuhan tanpa teks-teks suci tersebut, maka pada saat itu sebenarnya
dia sedang menggunakan akalnya secara terkontrol. Namun "nabi" tersebut tidak
akan menemukan bagaimana cara-cara praktis dalam memanifestasikan
keberadaan Tuhan yang ditemukannya. Sebaliknya, nabi yang menerima wahyu,
akan bisa menemukan kedua-duanya yaitu keberadaan Tuhan, dan cara-cara
peribadatan kepada Tuhan.
Materi lain yang akan dikemukakan di sini adalah, aspek kerahmatan
dengan wahyu. Kerahmatan ada merupakan rasa yang dimiliki karena fitrah
manusia. Dalam kaitannya dengan wahyu maka pertanyaan yang muncul adalah
apakah aspek kerahmatan dan wahyu berjalan seimbang atau sejajar, ataukah
pernah terjadi persengketaan?.
Pertanyaan di atas bisa dijawab dengan mengatakan bahwa. Terkadang
pemahaman terhadap wahyu (dalam arti teks agama), kadang memaksa orang
untuk tidak lagi memperdulikan aspek kerahmatan. Pemahaman yang
dimaksudkan misalnya diartikan kepada pemahaman-pemahaman yang dihasilkan
dari pembacaan secara tekstual terhadap wahyu. Contoh yang banyak
dikemukakan adalah bagaimana hukum had (qat'u al-yad) dipahami segelintir
orang telah merusak tatanan kerahmatan manusia. Namun kalau pemahaman yang
lain dikemukakan, seperti pemahaman konstekstual bahwa diharapkan dari teks-
teks yang qat'u al-yad adalah sisi kelayakan dari sebuah hukuman yang diterapkan
bagi masyarakat tertentu yang dapat membuat jera. Maka dalam kondisi ini, aspek
kerahmatan tidak lagi bertentangan dengan wahyu (baca: teks-teks agama).
Sehingga dari persepsi akan timbul bahwa hanya pemahaman-pemahaman agama
yang dihasilkan dari pembacaan kontekstual sajalah yang bisa menanggapi baik
aspek-aspek kerahmatan yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan. Karena memang
agama-agama kefitrahanlah yang dianggap relevan dengan kandungan wahyu.
15
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan dari paparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa perlu
adanya pembedaan ruanglingkup kajian trilogi kecerdasan yang diwacanakan
dalam kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional maupun kecerdasan spiritual,
ketika dikaitkan dengan wahyu, dalam hal agama. Trilogi kecerdasan berada pada
ruanglingkup "kemampuan seseorang" dalam mengoptimalkan seluruh
kecerdasannya, tanpa merasa kecerdasan itu ditopang oleh "kemampuan ajaran
agama" untuk mengendalikan kecerdasannya.
2. Implikasi
Seseorang yang "melakukan" aktifitas kecerdasan, baik intelektual,
emosional maupun spiritual tanpa mencampuradukkannya dengan dogma agama,
akan mampu melahirkan serta memupuk keikhlasan, karena tanpa harus merasa
bahwa ajaran agama yang dilakukannya "disusupi" oleh hal yang lain di luar
agamanya.
17
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur'ān al-Karīm
Abū Zahwu, Muhammad Muhammad. Al-Hhadīs wa al-Muhhaddisūn. Cet. I;
Mesir: Syirkah Mahimah Mishhriyah, 1958.
Holyoake, G.J. The Origin and Nature of Secularism. London: Watts and Co.,
1896.
Ibn Zakariyā, Abū al-Hhusain Ahhmad bin Fāris. Mu'jam Maqāyīs al-Lughah,
pentahqiq 'Abd al-Salām Muhammad Hārūn. Juz VI. t.t: Dār Fikr, 1979.
al-Ja'fi, Abū 'Abd al-Lāh Muhammad bin Ismā'il al-Bukhāri. Sahīh al-Bukhāri,
pentahqiq Musthafa Daib al-Bagha. Juz I. Cet. III; Beirūt: Dār Ibn Kasīr,
1987.
al-Mishhri, Muhammad bin Mukram bin Manzhūr al-Afrīqi. Lisān al-'Arab. Juz
XV. Cet. I; Beirūt: Dār Sādir, t.th.
https://www.academia.edu/2583855/IQ_EQ_SQ_dan_Kaitannya_dengan_Wahyu
(diakses 20 November 2021)