Anda di halaman 1dari 17

TRILOGI KECERDASAN DAN KAITANNYA DENGAN WAHYU

Makalah
Diajukan sebagai tugas Pada Mata Kuliah
PEMIKIRAN KRITIS DALAM ISLAM

Oleh:
Musmuliadi
NIM: 80100321060

Dosen Pemandu:

Prof. Dr. H. Mahmuddin, M.Ag


Dr. H. A. Aderus, M.A

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN
MAKASSAR
2021

1
2

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Temuan saat ini menunjukkan bahwa dalam diri manusia terdapat
beberapa potensi, yaitu kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional dan
kecerdasan spiritual (SQ). Intellectual quotient berfungsi sebagai quotient dalam
logika dan matematika serta ilmu-ilmu lainnya, berpusat pada otak
kiri. Kecerdasan emosional berfungsi sebagai kecerdasan sosial, dalam menjalin
hubungan dengan orang lain dan dalam membangun empati, berpusat pada otak
kanan. Spiritual quotient (SQ) berfungsi sebagai quotient yang terletak pada
bagaimana menemukan makna hidup. 
Dalam Al-Qur'an kita menemukan beberapa ayat yang menjelaskan
kecerdasan manusia tersebut seperti ,aql, qalb, ruh dan nafs. Bila ketiga potensi
manusia, ruh, aql, dan qalb bekerja dengan baik, maka akan menghasilkan
manusia yang sempurna, tetapi bila nafs mendominasi tiga potensi, itu akan
menghasilkan manusia jahat. 
 Visi baru para ilmuan menemukan bukti porsi intelektualitas manusia
hanya merupakan bagian terkecil dari totalitas kecerdasan manusia. Kalangan
ilmuan menemukan tiga bentuk kecerdasan dalam diri manusia, yaitu kecerdasan
intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ).
IQ ialah kecerdasan yang diperoleh melalui kreatifitas akal yang berpusat
di otak, EQ ialah kecerdasan yang diperoleh melalui kreatifitas emosional yang
berpusat di dalam jiwa, dan SQ ialah kecerdasan yang diperoleh melalui
kreatifitas rohani yang mengambil lokus di sekitar wilayah roh.
Wacana tentang Trilogi Kecerdasan, yaitu Kecerdasan Intelektual (IQ),
Kecerdasan Emosional (EQ) dan Kecerdasan Spiritual (SQ) yang pernah
digulirkan beberapa tahun lalu, menjadi salah satu cara yang digunakan oleh
3

sekelompok orang untuk menemukan kesuksesan dalam kehidupannya. Dengan


acuan "kesuksesan" inilah, kemudian banyak orang yang ambil bagian untuk
mengetahui secara mendalam bahkan ada juga yang terlibat untuk berpartisipasi
dalam pelatihan-pelatihan yang digagas oleh badan-badan atau lembaga-lembaga
yang mengatas namakan penerapan ketiga model kecerdasan ini.
Berdasarkan banyaknya peminat terhadap wacana tersebut, sehingga dapat
dipastikan bahwa trilogi kecerdasan mengalami perkembangan, baik dari segi
teori maupun temuan-temuan yang siap untuk digelar dalam tataran praksis (baca:
pelatihan-pelatihan). Perkembangan yang dimaksudkan di sini sangat erat
kaitannya dengan orientasi berfikir yang menjadi landasan bagi temuan-temuan
tersebut. Orientasi berfikir ini, ada yang dilandaskan pengalaman, ada juga yang
berdasarkan pengalaman serta landasan-landasan filosofis atau dogmatis
keagamaan. Untuk landasan yang disebutkan terakhir ini sangat menarik untuk
dikaji, karena aspek kewahyuan yang merupakan salah satu sumber dogmatis
keagamaan dianggap telah berperan dalam memberikan temuan-temuan yang
dimaksud.

2. Rumusan Masalah
Untuk mengkaji sejauhmana kaitan antara trilogi kecerdasan dengan
wahyu, penulis memberikan satu rumusan masalah yaitu: Bagaimana Potensi dan
Kekuatan Kecerdasan pada Manusia (IQ, EQ, dan SQ) dan kaitannya dengan
Wahyu. Rumusan ini akan dipaparkan dalam dua sub rumusan masalah, yaitu:
1. Bagaimana definisi dasar IQ, EQ, dan SQ ?
2. Bagaimana hubungan Trilogi kecerdasan (IQ, EQ, SQ) dengan Wahyu?
4

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengenalan Dasar IQ, EQ, SQ dan Wahyu.


IQ (Intelegencia Quotient) atau familiar disebut Kecerdasan Intelektual
adalah kemampuan intelektual, analisa, logika dan rasio. Ia merupakan kecerdasan
untuk menerima, menyimpan dan mengolah infomasi menjadi fakta. 1 Gambaran
alur: menerima, menyimpan dan mengolah informasi menunjukkan akan adanya
"aktifitas berfikir" bagi yang memiliki kecerdasan intelektual model ini.
Kecerdasan model ini adalah hasil temuan Alfred Binet (1857-1911. 2
EQ (Emotional Quotient) atau Kecerdasan emosional adalah kemampuan
merasakan, memahami dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi
sebagai sumber energi, informasi koneksi dan pengaruh yang manusiawi. 3
Maksudnya adalah kecerdasan manusia bukan hanya terletak pada pendayagunaan
akal semata, tetapi juga berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk memahami
kondisi lingkungannya, sehingga dia dapat berhasil dalam hidupnya.4 Kondisi
memahami ini direspon manusia dengan "aktifitas" emosinya seperti amarah,
kesedihan, rasa takut, kenikmatan, cinta, terkejut, jengkel atau malu. Kecerdasan
model ini juga dianggap sebagai kunci utama keberhasilan pribadi seseorang. 5

SQ (Spiritual Quotient) atau Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang


berfungsi untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang
lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup
seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. Jenis kecerdasan ini
1
A. Winarno dan Tri Saksono, Kecerdasan Emosional (Jakarta: LAN, 2001), h. 4.
2
http://www.dudung.net/print-artikel/cerdas-tak-hanya-di-atas-kertas.html, diakses pada
hari Jum’at, tanggal 19 November 2021
3
A. Winarno dan Tri Saksono, Kecerdasan Emotional, h. 8.
4
Daniel Goleman, Working with Emotional Intelligence (New York: Bantam Books,
1999), h. 19.
5
Daniel Goleman, Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosional Mengapa Lebih
Penting daripada IQ) (Jakarta: PT. Gramedia Pusaka Utama, 2000), h. 411, 412.
5

digulirkan pertama kali oleh Danah Zohar (dari Harvard University) dan Ian
Marshall (dari Oxford University). Menurut keduanya, kecerdasan spiritual inilah
yang merupakan puncak kecerdasan (The ultimate Intelligence). 6
Kecerdasan intelektual (IQ) banyak memfungsikan otak neo-cortex, yaitu
lapisan luar otak manusia. Otak neo-cortex inilah yang banyak digunakan untuk
melakukan perhitungan angka-angka, pengoperasian alat elektronik, belajar
bahasa asing, bahkan untuk menciptakan kapal terbang hingga bom nuklir.
Adapun kecerdasan emosial (EQ) dilakukan dalam lapisan otak lebih dalam dari
neo-cortex, yaitu limbic system (lapisan tengah). Sedangkan Kecerdasan spiritual
(SQ) diawali dengan ditemukannya Got Spot dalam otak manusia, tepatnya yang
berada pada bagian otak. 7
Penelusuran makna wahyu atau al-wahhy (dalam bahasa Arab) dapat
dilakukan melalui dua kategori pemaknaan. Pertama, yaitu al-īhhā' yang
menunjukkan cara pewahyuan. Kedua, yaitu al-muhhā bihi yang menunjukkan
materi/bahan pewahyuan. Untuk kategori pertama, Wahhy pada dasarnya diartikan
dengan: Pemberitahuan secara laten/tersembunyi (i'lām fi khafā'), oleh karena itu
bahasa isyarat (al-isyārah), ilham (al-ilhām), bisikan (al-kalām al-khafy), bahkan
pemberitahuan secara tulisan (al-kitābah), dan pengiriman (al-risālah) juga
disebut wahy. 8 Termasuk dalam kategori ini juga perbedaan term al-wahhiyyu
yang berarti cepat (al-sarī') dan al-wahhayyu, yaitu suara (al-shhaut). 9 Dengan
kata lain wahyu menurut bahasa (lughatan) adalah sesuatu yang disampaikan
secara laten, tanpa diketahui orang lain baik dengan atau tanpa suara. Wahy

6
Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual
ESQ Emotional Spiritual Quotient: The ESQ Way 165 1 Ihsan, 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam
(Jakarta: Arga Wijaya Persada, 2001), h. 11.
7
Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual
ESQ Emotional Spiritual Quotient: The ESQ Way 165 1 Ihsan, 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam,
h. 12.
8
Muhhammad bin Mukram bin Manzūr al-Afrīqi al-Mishhri, Lisān al-'Arab, Juz XV, Cet.
I (Beirūt: Dār Shhādir, t.th.), h. 379.
9
Abū al-Hhusain Ahhmad bin Fāris bin Zakariyā, Mu'jam Maqāyīs al-Lughah, pentahqiq
'Abd al-Salām Muhhammad Hārūn, juz VI, (t.t: Dār Fikr, 1979), h. 93.
6

menurut istilah syar'iy (ishhtilāhhan) yaitu: Pemberitahuan yang diinginkan oleh


Allah kepada para Nabi berupa ajaran-ajaran agama dan informasi lain dengan
cara tersembunyi, sehingga Nabi tersebut yakin bahwa yang mereka terima
berasal dari Allah. Kategori kedua adalah al-muhhā bihi, terbagi kepada wahyu
tertulis (al-wahhy al-matlū) dicontohkan dengan Al-Qur'an dan wahyu yang tidak
tertulis (al-wahhy ghair al-matlū), yaitu hadis/sunnah (steitmen, aksi dan
"konsensus profetis"), sebagaimana diisyaratkan dalam Q.S. al-Najm/53: 3-4. 10
Dengan demikian wahyu yang dimaksudkan dalam tulisan ini menunjukkan
kepada Al-Qur'an dan Hadis Nabi Saw, atau secara umum adalah dogma agama,
karena dogma agama ditopang oleh kedua hal ini.

B. IQ, EQ, SQ dan Kaitannya dengan Wahyu


1. Kaitan Trilogi Kecerdasan dengan Wahyu
Sebelum melihat kaitan antara trilogi kecerdasan dengan wahyu, tentu
dalam aspek keterkaitan dengan agama yang bersumber dari Al-Qur'an dan Hadis.
Ada baiknya di sini dijelaskan juga bagaimana kaitan antara ketiga model
kecerdasan ini, sehingga pada akhirnya dihubungkan dengan wahyu.
Orang-orang yang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi atau di
atas rata-rata terkadang banyak yang tidak berhasil dalam kehidupan pribadi
maupun dalam aktivitas rutinnya (baca: pekerjaan). Karena orang yang ber-IQ
tinggi biasanya cenderung kurang pandai bergaul, tidak berperasaan dan egois.
Sehingga di sinilah dibutuhkan kecerdasan emosional. Orang yang telah memiki
kecerdasan emosional, mampu memahami dan beradabtasi dengan lingkungannya,
dan memanfaatkan itu untuk kesejahterannya. Namun dalam kecerdasan
emosional hanya terpaku pada tujuan sesaat, tanpa ada tujuan yang lebih mulia.
Bahkan kadang terjadi pelimpahan emosional yang tidak terkendali. Untuk

10
Muhhammad Muhhammad Abū Zahwu, Al-Hhadīs wa al-Muhhaddisūn (Cet. I; Mesir:
Syirkah Mahimah Mishhriyah, 1958), h. 11, 12, 14, 15.
7

mencapai tujuan yang mulia, serta untuk mengendalikan kondisi emosional inilah,
kecerdasan spiritual berperan. 11
Nasaruddin Umar mengemukakan beberapa term Al-Qur'an yang dianggap
memberi isyarat tentang kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ)
dan kecerdasan spiritual (SQ). Kecerdasan intelektual dalam Al-Qur'an dapat
dihubungkan penggunaan term 'aql ('aqala) dalam berbagai bentuknya, serta yang
diartikan – salah satunya – sebagai predikat orang yang mempunyai kecerdasan
intelektual (baca: ulu al-bāb). Seorang yang telah mencapai predikat ulu al-bāb
belum tentu memiliki kecerdasan emosional atau kecerdasan spiritual, karena ulu
al-bāb masih mendapat ajakan untuk bertakwa kepada Allah Q.S. al-Maidah/5:
100 dan Q. S. al-Thalaq/65: 10. Meskipun terkadang orang yang telah termasuk
ulu al-bāb juga telah menyadari akan adanya kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi
di balik kemampuan akal pikiran (Q. S. al-Baqarah/2: 269 dan Q. S. al-Zumar/39:
9). Kecerdasan intelektual bukanlah jaminan untuk memperoleh kualitas spiritual
yang lebih baik, karena terbukti banyak orang cerdas intelektual tetapi tetap
ingkar kepada Tuhan, seperti dalam Q.S. al-Baqarah/2: 75. Di dalam Al-Qur'an
aktifitas kecerdasan emosional seringkali dihubungkan dengan kalbu, atau term
lain yang mirip dengan aktifitas kalbu. Dengan demikian kata "qalb" dapat
diartikan dengan emosi. Jika ada emosi yang cerdas dan tidak cerdas, maka emosi
cerdas ditunjukkan dalam Al-Qur'an dengan pengungkapan qalb yang positif,
seperti: Kalbu yang damai (qalb salīm) (Q.S. al-Syu'arā/26: 89), kalbu yang penuh
rasa takut (qalb munīb) (Q.S.Qāf/50: 33), kalbu yang tenang  (qalb muthmain)
(Q.S. al-Nahhl/16: 106), kalbu yang berfikir (ya'qilu bihi) (Q.S.al-Hhaj/22: 46)
dan kalbu yang mukmin (qalb mu'min) (Q.S.al-Fathh/48: 4). Adapun emosi yang
tidak cerdas digambarkan dengan kondisi qalb yang negatif, seperti: Kalbu yang
sewenang-wenang (qalb mutakabbir jabbār) (Q.S. Ghāfir/40: 35), kalbu yang

11
Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power: Sebuah Inner
Journey melalui Al-Ihsan (Jakarta: Arga, 2003), h. 60-61.
8

sakit (qalb mard) (Q.S. al-Ahhzāb/33: 32), kalbu yang melampaui batas (qalb


mu'tad) (Q.S.Yūnus/10:74), kalbu yang berdosa (qalb mujrim) (Q.S.al-Hhijr/15:
12), kalbu  yang terkunci (qalb makhtūm)  (Q.S.al-Baqarah/2: 7) dan kalbu yang
terpecah-pecah (qulūb syattā) (Q.S.al-Hhasyr/59:14). 12 Dalam hadis juga ada
isyarat yang menyatakan pentingnya menjaga hati, yang dibahasakan dengan
mudghah, yaitu qalb. 13
Kecerdasan Spiritual, masih menurut Nasaruddin Umar, bukanlah hal yang
baru dalam Islam. Wacana ini berkaitan dengan keberadaan al-ruhh yang termuat
dalam Al-Qur'an. Ruh ini dianggap sebagai bentuk intervensi langsung Allah swt.
dalam diri manusia, tanpa "melibatkan" pihak-pihak lain sebagaimana maklum
dalam proses penciptaan manusia. Bisa dilihat dalam peniupan ruh yang rekam
ulang dalam beberapa ayat Al-Qur'an seperti: Q.S. al-Hhijr/15: 29, Q.S. Shhad/38:
72.14
Kaitan yang sangat jelas juga tampak ketika Ary Ginanjar menggulirkan
temuannya yang disebut ESQ Model, yaitu suatu sistem terpadu dan sistematis
yang mensinergikan tiga landasan kecerdasan (IQ, EQ, dan SQ) dalam satu sistem
yang padu. ESQ Model ini, diformulasikan dari dimensi spiritual (SQ) dengan
Ihsan, dan dimensi mental (EQ) yang dibangun oleh 6 prinsip rukun Iman, serta
aktifitas fisik yang dikendalikan oleh 5 rukun Islam. 15

2. Sebuah Pandangan dalam Perspektif Sekularisme


Term sekular atau secular/secularize (dalam bahasa Inggris) berasal dari
bahasa Latin yaitu saeculum, dengan makna dasar menunjukkan masa (time) dan

12
http://www.republika.co.id/berita/29676/
Isyarat_isyarat_IQ_EQ_dan_SQ_dalam_Al_Qur_an (19 Nopember 2021)
13
Abū 'Abd al-Lāh Muhhammad bin Ismā'il al-Bukhāri al-Ja'fi, Shhahhīhh al-Bukhāri,
pentahqiq Musthafa Daib al-Bagha, juz I, (Cet. III; Beirūt: Dār Ibn Kasīr, 1987), h. 28.
14
http://www.republika.co.id/berita/29676/
Isyarat_isyarat_IQ_EQ_dan_SQ_dalam_Al_Qur_an (19 Nopember 2021)
15
Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power, h. xix.
9

kedudukan/tempat (location), yaitu masa sekarang dan di dunia ini. Dengan


demikian paham sekular, bisa diartikan paham yang menunjukkan
"kekinidisinian" 16. Hal Ini mengisyaratkan bahwa kata ini dimaksud untuk
menunjukkan persoalan "keduniawian" (al-dunyawiyah) atau sesuatu yang lain
(the other) dari "keakhiratan" (al-ukhurawiyah) atau keagamaan (al-diniyah).
Dalam perkembangan selanjutnya term sekularisme diartikan sebagai sebuah
ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau badan harus berdiri
terpisah dari agama atau kepercayaan (the concept that government or other
entities should exist separately from religion and/or religious beliefs). Term ini
pertama kali digunakan pada tahun 1851 oleh seorang agnostis dan juga penulis
berkebangsaan Inggris, George Jacob Holyoake (1817-1906). Dia memakai term
ini untuk menjelaskan pandangannya yang mendukung tatanan sosial terpisah dari
agama, tanpa merendahkan atau mengkritik sebuah kepercayaan agama. Holyoake
berpendapat bahwa sekularisme tidak mengatakan bahwa tidak ada tuntunan atau
penerangan dari ideologi lain, namun memelihara bahwa ada penerangan dan
tuntunan di dalam kebenaran sekular, yang kondisi dan sanksinya berdiri secara
mandiri dan berlaku selamanya. 17
Diskursus tentang kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosional
(EQ), tampaknya sudah digiring kepada persoalan-persoalan keakhiratan dan
keagamaan. Hal ini bisa dilihat dari titik singgung melalui penggunaan berbagai
term Al-Qur'an yang dikemukakan oleh Nasaruddin Umar, tentang 'aql, qulb dan
ruh. Ketiga term ini, menurut beliau merupakan indikasi yang mengarahkan
kepada perlunya mendayagunakan trilogi kecerdasan, dan sebagai gambaran
"dukungan" agama terhadap trilogi kecerdasan ini.

16
http://www.inpasonline.com/index.php?
option=com_content&task=view&id=38&Itemid=99 (7 Nopember 2009)
17
G.J. Holyoake, The Origin and Nature of Secularism (London: Watts and Co., 1896),
h. 51. http://en.wikipedia.org/wiki/Secularism (7 Nopember 2009)
10

Melalui ESQ Model-nya juga telah menggiring trilogi kecerdasan kepada


agama, ini terlihat dalam steitmen: Ihsan, 6 prinsip rukun Iman, dan 5 rukun
Islam. Namun Muhammad Religineer pada waktu memberikan pengantarnya
terhadap buku ESQ Model, mengatakan bahwa karya Ary Ginanjar ini bersifat
Hygienic yaitu bebas dari pengaruh yang bersifat dogmatis. 18
Akan tetapi persepsi ini terbantahkan dengan salah satu tulisan Ary
Ginanjar yang mengatakan: "Angka nol adalah lambang kesucian hati dan pikiran,
sedangkan angka satu adalah lambing Tuhan, dan hanya berprinsip kepada Dia
Yang Maha Esa. Atau dengan kata lain: Laa (0) Ilaha illallah (1)." 19 Ini juga
membantah anggapan bahwa tulisan Ary Ginanjar yang lain pada waktu menerbit
karya The ESQ Way 165-nya ketika menulis: "Tidak perlu berpikir bahwa ini
adalah buku dakwah atau buku agama, atau jangan berpikir bahwa buku ini akan
mendoktrin Anda tentang suatu agama." 20
Sejatinya kedua persoalan ini, yaitu persoalan Trilogi Kecerdasan dan
Agama (baca: Wahyu) harus dipisahkan. Sehingga batas-batas keduanya akan
tampak jelas. Selain itu akan dapat memberikan kesan yang buruk yaitu, kesan
bahwa ajaran agama yang "terkisahkan" dalam wahyu, tidak memberi daya
kepada penganutnya untuk mencipta kecerdasan intelektual, emosional dan
spritualnya sendiri. Sehingga perlu dibahasakan dengan nomenklatur modern,
seperti yang telah disebutkan tadi. Selain itu juga akan menimbulkan pandangan
negatif bahwa, persoalan trilogi kecerdasan dikaitkan dengan pengembangan
dogma agama tertentu.
Sungguh benar apa yang dikatakan Danah Zohar dan Ian Marshall, ketika
menuliskan:

Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power, h. xxiii, xxiv.
18

Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power, h. xxvi.


19
20
Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual
ESQ Emotional Spiritual Quotient, h. 24.
11

“SQ tidak mesti berhubungan dengan agama. Bagi sebagian orang SQ


menemukan cara pengungkapan melalui agama formal, tetapi beragama
tidak menjamin SQ tinggi. Banyak orang humanis dan atheis memiliki SQ
sangat tinggi, sebaliknya banyak orang yang aktif beragama memiliki SQ
sangat rendah.” 21

Hasil dari pemisahan antara diskursus trilogi kecerdasan dengan wahyu,


sebetulnya tidak serta merta menafikan hal-hal mendasar yang diungkapkan dalam
trilogi tersebut. Namun yang lebih penting adalah, bagaimana memberikan
gambaran filosofis yang jelas dalam kaitannya wahyu dengan hal-hal yang
sebenarnya tidak mesti berada dalam kajian trilogi kecerdasan ini. Dengan kata
lain, materi-materi yang pernah ada dalam trilogi kecerdasan bisa saja
dihubungkan dengan wahyu, dengan syarat bahwa materi-materi tersebut tidak
ditinjau dari perspektif trilogi kecerdasan saja.
Materi-materi yang dimaksudkan adalah seperti kajian tentang akal, rasa
dan spiritual serta dihubungkan dengan keberadaan wahyu. Kajian akal dengan
wahyu adalah merupakan persoalan klasik yang masih berlanjut dalam diskurus
sampai saat ini. Demikian juga halnya dengan aspek rasa, atau kasih-sayang
(konsep kerahmatan) masih selalu dikaitkan keberadaan eksistensi wahyu.
Demikian pula halnya dengan tinjauan spiritual. Saya ingin kembali mempertegas
bahwa ketiga materi ini akan dibahas, bukan dari perspektif trilogi kecerdasan
lagi, karena memang saya tidak berpandangan antara trilogi kecerdasan dengan
wahyu harus dipisahkan, seperti yang telah disampaikan sebelumnya.
Diskurus antara akal dan eksistensi wahyu, diawali dengan pertanyaan:
Apakah akal bisa menemukan kebenaran tanpa wahyu?, atau mungkin kedua-
duanya harus saling dibutuhkan untuk menemukan kebenaran tersebut. Akal
dalam kajian bahasa berasal dari tiga huruf: 'Ain, qāf dan lām, diartikan menahan
sesuatu, atau memberi sesuatu untuk bertahan. Makna asal ini kemudian
digunakan untuk menunjukkan menahan suatu ungkapan atau perbuatan daripada
21
Ungkapan Danah Zohar dan Ian Marshall ini dikutip dari http://www.rezaervani.com
/training/SQ_vs_TAQWA.pdf (7 Nopember2009).
12

hal-hal yang tercela.22 Dalam kaitannya dengan mencapai sesuatu, atau mencapai
suatu kebenaran, pemaknaan akal dari perspektif ini sangat signifikan. Dengan
kata lain, bahwa akal berperan sebagai pengontrol terhadap kebebasan yang
dimilikinya untuk mencapai atau menemukan sesuatu yang dianggap kebenaran,
ataupun kebenaran yang sesungguhnya. Dengan demikian seseorang dikatakan
berakal apabila mampu mengontrol daya fikirnya untuk menemukan suatu
kebenaran. Daya fakir yang tidak terkontrol oleh yang pemiliknya, tidak akan
mampu menjumpai bahkan menemukan kebenaran yang sesungguhnya
Akal dalam perspektif kaum rasionalis tempo dulu (mu'tazili) - menurut
saya – adalah suatu komunitas yang telah mampu mengontrol daya fikir untuk
menemukan kebenaran. Hal ini terbukti dengan jelasnya arahan yang mereka
maksudkan dalam rangka pendayagunaan akal dalam kaitannya dengan
kebenaran. Hal ini tampak jelas, ketika mereka memberikan "batasan", bahwa
akal bisa menemukan kebenaran, karena akal mampu membedakan mana yang
memberi kebaikan, dan mana yang menimbulkan kemudaratan (bahaya) bagi diri
si pemilik akal tersebut. Inilah yang saya maksudkan dengan daya fikir yang
terkontrol.
Sehingga bisa dikatakan, bahwa akal yang bisa menemukan kebenaran,
karena kebenaran bisa teridentifikasi melalui ciri khas yang dimilikinya yaitu
menimbulkan manfaat dan menghindarkan bahaya. Kebenaran yang memiliki ciri
khas yang seperti ini bisa dijumpai atau dijangkau oleh akal.
Namun pertanyaanya, akal beralih kepada bagaimana menemukan sumber
kebenaran itu sendiri yaitu, Kebenaran (dengan K besar). Apakah juga bisa
dijangkau oleh akal. Jawabannya adalah, apabila yang dimaksudkan dengan cara
atau praktek untuk merefleksikan bahwa seorang telah menemukan kebenaran,
dalam hal ini – menurut saya – akal mungkin tidak bisa mendapatkannya. Karena
ia sangat berkaitan dengan hal-hal yang bersifat praktis bukan berupa hal-hal yang
2222
Lihat Ibn Zakariyā, Mu'jam Maqāyīs, juz IV, h. 56
13

bersifat filosofis. Akal hanya menemukan Kebenaran dari perspektif filosofis,


bukan praktis. Hal ini mengisyaratkan bahwa jika Kebenaran diartikan di sini
adalah sifat-sifat atau ada tidaknya Tuhan, maka akal bisa menemukannya.
Namun apabila berkaitan dengan aspek-aspek praktis seperti peribadatan kepada
Tuhan, maka tentu akal tidak bisa menemukannya. Namun ketidak mampuan ini
bukan menunjukkan sisi kekurangan akal, akan tetapi karena memang akal tidak
difungsikan untuk menemukan hal-hal yang praktis seperti model peribadatan,
karena memang bukan bagian dari ranah fungsionalnya. Untuk pembuktikan akal
bisa menemukan keberadaan Tuhan, mungkin kisah Ibrahim As. bisa mewakili
pembuktian ini. Sebaliknya model dan ragam peribadatan, akal tidak sampai
penelusurannya ke arah itu.
Kemudian persoalannya, bagaimana dengan wahyu? Apakah tanpa wahyu
akal bisa menemukan kebenaran? Pertanyaan ini tentulah telah dijawab pada
bagian penjelasan. Di saat akal menemukan kebenaran yang beridentitaskan
membawa manfaat dan menolak bahaya, maka wahyu sama sekali tidak
dibutuhkan dalam hal ini. Karena semuanya bisa dilakukan oleh akal manusia
(akal yang terkontrol tentunya). Sedangkan terhadap sumber kebenaran atau
Kebenaran (K besar), terbagi kepada dua hal. Jika yang dimaksudkan dengan
penelusuran keberadaan Tuhan, maka akal secara mandiri bisa menemukan hal itu
tanpa wahyu. Akan tetapi dari sisi praktis peribadatan sebagai refleksi akan
keberadaan Kebenaran, akal tidak bisa menemukan hal itu, di sinilah wahyu
diturunkan agar manusia mengetahui dan melaksanakan cara-cara praktis
peribadatan.
Pemahaman seperti ini akan melahirkan, bahwa akan ada nabi yang
mendapat kebenaran dengan wahyu, dan ada pula "nabi" yang mendapatkan
kebenaran tanpa wahyu, dengan kata lain Nabi yang tidak memiliki teks-teks suci
(sebagai wujud dari wahyu). Dalam kajian seperti ini, pendapat seperti itu bisa
14

diterima. Apabila ada orang yang dianggap sebagai "nabi" karena mampu
menemukan Tuhan tanpa teks-teks suci tersebut, maka pada saat itu sebenarnya
dia sedang menggunakan akalnya secara terkontrol. Namun "nabi" tersebut tidak
akan menemukan bagaimana cara-cara praktis dalam memanifestasikan
keberadaan Tuhan yang ditemukannya. Sebaliknya, nabi yang menerima wahyu,
akan bisa menemukan kedua-duanya yaitu keberadaan Tuhan, dan cara-cara
peribadatan kepada Tuhan.
Materi lain yang akan dikemukakan di sini adalah, aspek kerahmatan
dengan wahyu. Kerahmatan ada merupakan rasa yang dimiliki karena fitrah
manusia. Dalam kaitannya dengan wahyu maka pertanyaan yang muncul adalah
apakah aspek kerahmatan dan wahyu berjalan seimbang atau sejajar, ataukah
pernah terjadi persengketaan?.
Pertanyaan di atas bisa dijawab dengan mengatakan bahwa. Terkadang
pemahaman terhadap wahyu (dalam arti teks agama), kadang memaksa orang
untuk tidak lagi memperdulikan aspek kerahmatan. Pemahaman yang
dimaksudkan misalnya diartikan kepada pemahaman-pemahaman yang dihasilkan
dari pembacaan secara tekstual terhadap wahyu. Contoh yang banyak
dikemukakan adalah bagaimana hukum had (qat'u al-yad) dipahami segelintir
orang telah merusak tatanan kerahmatan manusia. Namun kalau pemahaman yang
lain dikemukakan, seperti pemahaman konstekstual bahwa diharapkan dari teks-
teks yang qat'u al-yad adalah sisi kelayakan dari sebuah hukuman yang diterapkan
bagi masyarakat tertentu yang dapat membuat jera. Maka dalam kondisi ini, aspek
kerahmatan tidak lagi bertentangan dengan wahyu (baca: teks-teks agama).
Sehingga dari persepsi akan timbul bahwa hanya pemahaman-pemahaman agama
yang dihasilkan dari pembacaan kontekstual sajalah yang bisa menanggapi baik
aspek-aspek kerahmatan yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan. Karena memang
agama-agama kefitrahanlah yang dianggap relevan dengan kandungan wahyu.
15

Materi spritualitas yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah, adanya


kesadaran bahwa akan ada pertanggungjawaban dan pembalasan bagi suatu
perbuatan yang dilakukan di alam dunia. Dalam kaitannya, dengan wahyu akan
timbul pertanyaan: Apakah hanya dengan spritualitas bisa menentukan nasib
seseorang di hari akhir, tanpa adanya teks-teks kewahyuan?.
Pertanyaan tersebut, sebenarnya diawali dengan diskursus pemahaman
seseorang berhubungan dengan kebenaran yang diperoleh dalam agama tertentu.
Maksudnya adalah, jika diakui hanya agama tertentu yang bisa memuat kebenaran
yang sesungguhnya, sementara agama yang lain tidak refresentatif memuat
kebenaran, maka siapapun orang berada pada agama tersebut, dia akan mendapati
masa depan yang baik di hari akhir. Sedangkan orang yang berada hanya pada
level spritualitas saja, tidak akan mendapatkan masa depan yang baik itu.
Menurut saya, spiritualitas sangat dibutuhkan oleh siapapun, baik bagi
orang yang beragama, maupun sudah menganut agama tertentu. Bagi yang tidak
memasukkan dirinya ke dalam komunitas suatu agama tertentu, spritualitas sangat
dibutuhkan agar segala kebaikan yang dilakukannya di dunia, bisa diberi balasan
kebaikan pula di hari akhir. Kesadaran ini sangat dibutuhkan untuk
menghilangkan pandangan tentang kesia-siaan dalam melakukan suatu perbuatan
baik. Bagi orang yang beragama tentunya, spiritualitas juga sangat dibutuhkan,
sehingga wahyu baginya hanya merupakan penegas bahwa memang spritualitas
dilegalkan dalam beragama. Dalam berbagai teks agama (seperti Al-Qur'an) kedua
hal ini bisa ditemukan, mulai dari dari pernyataan bahwa "terus mengadanya"
agama, kepercayaan atau spritualitas", sampai kepada anjuran untuk berlomba-
lomba melakukan kebaikan.
16

BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Berdasarkan dari paparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa perlu
adanya pembedaan ruanglingkup kajian trilogi kecerdasan yang diwacanakan
dalam kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional maupun kecerdasan spiritual,
ketika dikaitkan dengan wahyu, dalam hal agama. Trilogi kecerdasan berada pada
ruanglingkup "kemampuan seseorang" dalam mengoptimalkan seluruh
kecerdasannya, tanpa merasa kecerdasan itu ditopang oleh "kemampuan ajaran
agama" untuk mengendalikan kecerdasannya.

2. Implikasi
Seseorang yang "melakukan" aktifitas kecerdasan, baik intelektual,
emosional maupun spiritual tanpa mencampuradukkannya dengan dogma agama,
akan mampu melahirkan serta memupuk keikhlasan, karena tanpa harus merasa
bahwa ajaran agama yang dilakukannya "disusupi" oleh hal yang lain di luar
agamanya.
17

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur'ān al-Karīm
Abū Zahwu, Muhammad Muhammad. Al-Hhadīs wa al-Muhhaddisūn. Cet. I;
Mesir: Syirkah Mahimah Mishhriyah, 1958.

Agustian, Ary Ginanjar. Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power: Sebuah


Inner Journey melalui Al-Ihsan. Jakarta: Arga, 2003.

_______________ . Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual


ESQ Emotional Spiritual Quotient: The ESQ Way 165 1 Ihsan, 6 Rukun
Iman dan 5 Rukun Islam. Jakarta: Arga Wijaya Persada, 2001.

Goleman, Daniel. Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosional Mengapa Lebih


Penting daripada IQ). Jakarta: PT. Gramedia Pusaka Utama, 2000.

_____________. Working with Emotional Intelligence. New York: Bantam


Books, 1999.

Holyoake, G.J. The Origin and Nature of Secularism. London: Watts and Co.,
1896.

Ibn Zakariyā, Abū al-Hhusain Ahhmad bin Fāris. Mu'jam Maqāyīs al-Lughah,
pentahqiq 'Abd al-Salām Muhammad Hārūn. Juz VI. t.t: Dār Fikr, 1979.

al-Ja'fi, Abū 'Abd al-Lāh Muhammad bin Ismā'il al-Bukhāri. Sahīh al-Bukhāri,
pentahqiq Musthafa Daib al-Bagha. Juz I. Cet. III; Beirūt: Dār Ibn Kasīr,
1987.

al-Mishhri, Muhammad bin Mukram bin Manzhūr al-Afrīqi. Lisān al-'Arab. Juz
XV. Cet. I; Beirūt: Dār Sādir, t.th.

Winarno. A. dan Tri Saksono, Kecerdasan Emosional. Jakarta: LAN, 2001.

https://www.academia.edu/2583855/IQ_EQ_SQ_dan_Kaitannya_dengan_Wahyu
(diakses 20 November 2021)

Anda mungkin juga menyukai