Anda di halaman 1dari 16

PENDIDIKAN YANG SPIRITUALIS:

Mengoptimalkan Kecerdasan Spiritual Melalui Pendidikan Agama

Oleh: Muhammad Kosim

Abstrak

Islam sebagai agama, sesungguhnya mengajarkan kepada umatnya untuk membentuk masyarakat
yang berperadaban tinggi. Antara agama dan peradaban memiliki korelasi positif, semakin tinggi
sikap keberagamaan seseorang, maka semakin tinggi pula kontribusinya dalam mewujudkan
masyarakat yang berperadaban, demikian pula sebaliknya.

Makalah ini menolak pemikiran Danah Zohar dan Ian Marshall dalam bukunya "SQ: Spiritual
Intelligence – The Ultimate Intelligence" yang menyatakan bahwa kecerdasan spiritual (SQ)
tidak memiliki hubungan dengan agama. Dengan demikian, sumber bahan yang digunakan
dalam makalah ini adalah buku SQ: Spiritual Intelligence – The Ultimate Intelligence karya
pasangan psikolog Danah Zohar dan Ian Marshall yang diterbitkan oleh Bloomsbury, Great
Britain tahun 2000, yang dibaca dengan menggunakan pola pikir teologis-tasawuf yang dibuat
oleh Sayyed Hossein Nasr dalam bukunya "Islamic Spirituality Foundations" dan telah
diterjemahkan oleh Rahmani Astuti ke dalam bahasa Indonesia dan diterbiutkan oleh Mizan
Bandung Tahun 2002 lalu dikombinasikan dengan pola pikir teologis John Renard dalam
bukunya "Seven doors to Islam: spirituality and the religious life of Muslims" diterbitkan oleh
University of California Press dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh M. Khoirul
Anam dengan judul "Dimens-dimensi Islam" terbitan Jakarta: Inisiasi Press Tahun 2004.

Pendahuluan

Kehadiran teori kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient) yang dipopulerkan oleh pasangan
psikolog, Danah Zohar dan Ian Marshall pada tahun 2000 turut merubah orientasi pendidikan
modern yang selama ini lebih cenderung kepada kecerdasan intelektual (Intellectual Quotient).
Kecerdasan spiritual dianggap penggagasnya sebagai jenis "Q" ketiga (third intelligence) dan
kecerdasan tertinggi (the ultimate intelligence) yang paling menentukan kesuksesan seseorang
sekaligus sebagai landasan yang diperlukan untuk memungsikan IQ dan EQ secara efektif.
Namun teori kecerdasan spiritual yang dikemukakan oleh Zohar dan Marshall tidak sepenuhnya
relevan dengan konsep pendidikan agama, terutama yang berkenaan dengan konsep hubungan
SQ dan agama. Menurut pasangan psikolog ini, SQ tidak mesti berhubungan dengan agama.
Bahkan ia menegaskan bahwa banyak orang humanis dan ateis memiliki SQ sangat tinggi;
sebaliknya banyak orang yang aktif beragama memiliki SQ sangat rendah. Pemahaman semacam
ini bisa berdampak negatif terhadap pengembangan pendidikan. Sebab, ketika SQ dianggap
sebagai kecerdasan yang tertinggi maka pelaksanaan pendidikan bisa lebih berorientasi kepada
kecerdasan spiritual dan mengabaikan aspek religius, bahkan ajaran agama dapat dianggap
sebagai ajaran yang parsial. Jika kondisi ini terjadi, maka agama tidak lagi menjadi pegangan
hidup dan akan mudah ditinggalkan, termasuk dalam pelaksanaan pendidikan.
Padahal, agama memiliki ajaran yang universal, komprehensif dan holistik sehingga aspek
spiritual yang sesungguhnya menjadi bagian penting di dalamnya. Pendidikan agama sebagai
upaya mendidik peserta didik memiliki sikap keberagamaan yang sempurna pada hakikatnya
juga berorientasi kepada multikecerdasan seseorang, termasuk kecerdasan spiritual. Konklusi
sementara ini akan diuraikan lebih lanjut dalam makalah ini secara analisis dan rasional sehingga
menjawab hakikat pendidikan agama dan hubungannya dengan kecerdasan spiritual (SQ)
seseorang.

Adapun metode yang digunakan dalam kajian ini adalah dengan cara menganalisis konsep
kecerdasan spiritual yang dipopulerkan oleh Ian Marshal dan Danah Zohar, khususnya yang
berkenaan dengan hubungan agama dan kecerdasan spiritual. Kemudian, akan dianalisis pula
kajian tentang spiritual dalam Islam. Setelah itu akan dilakukan formulasi model pendidikan
agama yang mampu mencerdaskan spiritual seseorang yang pada gilirannya akan mencerdaskan
suatu bangsa.

Pemikiran Danah Zohar dan Ian Marshall tentang agama dan kecerdasan spiritual dalam bukunya
"SQ: Spiritual Intelligence – The Ultimate Intelligence" akan dianalisi dengan menggunakan
pola pikir teologis-tasawuf yang dibuat oleh Sayyed Hossein Nasr dalam bukunya "Islamic
Spirituality Foundations" dan telah diterjemahkan oleh Rahmani Astuti ke dalam bahasa
Indonesia dan diterbitkan oleh Mizan Bandung Tahun 2002. Selain itu, kajian ini juga didasarkan
pula kepada pola pikir teologis John Renard dalam bukunya "Seven doors to Islam: spirituality
and the religious life of Muslims" diterbitkan oleh University of California Press dan
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh M. Khoirul Anam dengan judul "Dimens-dimensi
Islam" terbitan Jakarta: Inisiasi Press Tahun 2004.

Antara IQ, EQ dan SQ


Di awal abad ke-20, IQ menjadi isu besar. Kecerdasan intelektual atau rasional merupakan
kecerdasan yang digunakan untuk memecahkan masalah logika maupun strategis. Para psikolog
pendukung konsep itu menyusun berbagai tes untuk mengukurnya, dan tes-tes ini menjadi alat
memilah manusia ke dalam berbagai tingkatan kecerdasan, yang kemudian lebih dikenal dengan
istilah IQ (Intelligence Quotient) yang dianggap mampu menunjukkan kemampuan mereka.
Bahkan menurut teori ini, semakin tinggi IQ seseorang, semakin tinggi pula kecerdasannya.
Melalui tes IQ (intelligence quotient), tingkat kecerdasan intelektual seseorang dapat
dibandingkan dengan orang lain. Kecerdasan inteligensi dapat diperoleh melalui pembagian usia
mental (mental age) dengan usia kronologis (cronological age) lalu diperkalikan dengan angka
100.

Studi tentang IQ ini yang pertama kali dipelopori oleh Sir Francis Galton pengarang Heredity
Genius (1869) dan kemudian disempurnakan oleh Alfred Binet dan Simon, pada umumnya
mengukur kemampuan yang berkaitan dengan pengetahuan praktis, daya ingat (memory), daya
nalar (reasoning), perbendaharaan kata dan pemecahan masalah (vocabulary and problem
sol¬ving). IQ telah menjadi mitos sebagai satu-satunya alat ukur atau parameter kecerdasan
manusia, sampai akhirnya Daniel Goleman mempopulerkan apa yang disebut dengan EQ
(Emotional Intelligence) pada tahun 1995 dengan menunjukkan bukti empiris dari penelitiannya
bahwa orang-orang yang IQ tinggi tidak menjamin untuk sukses. Sebaliknya, orang yang
memiliki EQ, banyak yang menempati posisi kunci di dunia eksekutif. EQ memberi rasa empati,
cinta, motivasi, dan kemampuan untuk menanggapi kesedihan dan kegembiraan secara tepat.
Penelitian para psikolog semakin berkembang sehingga ditemukan jenis "Q" ketiga, yaitu
kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient). Kecerdasan ketiga ini dipopulerkan oleh Danah Zohar
dan Ian Marshall dalam bukunya "SQ: Spiritual Intelligence – The Ultimate Intelligence".
Pasangan psikolog ini mendefinisikan SQ sebagai kecerdasan untuk menghadapi dan
memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan
hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa
tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. Bahkan
mereka menegaskan bahwa SQ sebagai kecerdasan tertinggi manusia sekaligus sebagai landasan
untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif.

Seseorang yang memiliki kecerdasan spiritual, menurut mereka adalah orang yang memiliki
kemampuan bersikap fleksibel, tingkat kesadaran diri yang tinggi, mampu menghadapi dan
memanfaatkan penderitaan dan rasa sakit, kualitas hidupnya diilhami oleh visi dan nilai-nilai,
berpandangan holistic, dan hidup secara mandiri. Dalam konteks pendidikan, orang yang
memiliki kecerdasan spiritual akan menjadi pribadi yang mandiri, merasakan hidupnya penuh
dengan nilai serta memiliki kriteria-kriteria di atas sehingga pembentukan karakter yang
diinginkan dalam proses pendidikan dapat terwujud.

Kecerdasan Spiritual dalam Islam


Istilah spiritual, sebagaimana yang digunakan dalam bahasa Inggris, sesungguhnya mempunyai
konotasi Kristen yang sangat kuat. Menurut Seyyed Hossein Nasr, istilah yang digunakan untuk
"spiritualitas" adalah rūhāniyyah (bahasa Arab), ma'nawiyyah (bahasa Persia), atau berbagai
turunannya. Istilah pertama diambil dari kata ruh, yang bermakna ruh dimana Nabi Muhammad
SAW diperintahkan untuk mengatakan, ketika ditanya tentang hakikat ruh: "Sesungguhnya ruh
adalah urusan Tuhanku (Qs. al-Isra'/17: 85). Sedangkan istilah yang kedua berasal dari kata
ma'na yang secara harfiah berarti makna, yang mengandung konotasi kebatinan, yang hakiki,
sebagai lawan dari yang kasatmata, dan juga "ruh", sebagaimana istilah ini dipahami secara
tradisional, yaitu berkaitan dengan tataran realitas yang lebih tinggi daripada yang bersifat
material dan kejiwaan dan berkaitan pula secara langsung dengan realitas Ilahi itu sendiri.

Pemahaman seperti ini menunjukkan bahwa spiritual dalam pandangan Islam merupakan aspek
yang bersifat batin, hakiki, dan erat kaitannya dengan keilahiahan. Pemahaman ini juga memiliki
relevansi dengan SQ yang dikemukakan oleh Danah Zohar dan Marshall yang mengakui hasil
penelitian neuropsikolog Michael Persinger di awal tahun 1990-an lalu dilanjutkan pula tahun
1997 oleh neurology V.S. Ramachandran bersama timnya di Universitas California mengenai
adanya "titik tuhan" (God Spot) dalam otak manusia. Hasil penelitian ini justru memperkuat teori
SQ yang dikemukakan oleh Zohar dan Marshall, meskipun pada akhirnya keduanya menolak
jika kecerdasan spiritual ini disamakan dengan agama yang sesungguhnya memperkenalkan
Tuhan.

Adapun mengenai kecerdasan spiritual dalam perspektif Islam berarti kecerdasan yang
berhubungan dengan keilahiahan, bersifat ruhaniyyah, diliputi oleh hikmah dan menjadi kajian
psikologi Islam. Kecerdasan spiritual merupakan potensi yang dimiliki setiap orang untuk
mampu beradaptasi, berinteraksi dan bersosialisasi dengan lingkungan ruhaniahnya yang bersifat
gaib atau transcendental, serta dapat mengenal dan merasakan hikmah dari ketaatan beribadah
secara vertikal di hadapan Tuhannya secara langsung. Kecerdasan spiritual dalam Islam juga erat
kaitannya tradisi tasawuf yang menjadi kajian penting dalam Islam. Sufi atau orang yang
bertasawuf sesungguhnya orang yang cinta kepada Allah, berupaya mengasah kemampuan
spiritualnya agar dekat dengan-Nya.

Kaitan antara kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual pada hakikatnya juga mendapat
perhatian dalam al-Qur'an, seperti firman-Nya dalam surat al-Baqarah/2: 151. Dalam ayat ini
dijelaskan bahwa di antara tugas setiap Rasulullah adalah untuk yatlu 'alaikum ayatina,
yuzakkikum, dan yu'allimukum al-kitab wa al-hikmah. Tugas yatlu 'alaikum
ayatina/mengajarkan kamu ayat-ayat Kami, sesunggunya mengandung isyarat kecerdasan
intelektual (IQ), sementara yuzakikum atau mensucikan kamu mengandung makna kecerdasan
emosional (EQ), sedangkan yu'allimukum al-kitab wa al-hikmah berarti kecerdasan spiritual
(SQ). Al-kitab dan al-hikmah sarat akan nilai-nilai keilahiahan sehingga tugas terakhir dalam
ayat di atas patut disebut kecerdasan spiritual.

Selain dari ayat di atas, juga terdapat ayat-ayat lain yang mengisyaratkan tentang kecerdasan
spiritual. Hamdani Bakran Adz-Dzakiey juga mengemukakan beberapa indikator kecerdasan
spiritual yang didukung oleh ayat-ayat al-Qur'an, di antaranya: dekat, mengenal, cinta dan
berjumpa Tuhannya ( Qs. 2: 186, 223, Qs. 11: 29, dan Qs. 5:54); selalu merasakan kehadiran dan
pengawasan Tuhannya di mana dan kapan saja (Qs. 2: 284); tersingkapnya alam ghaib
(transcendental) atau ilmu mukasyafah (Qs. 7:96, Qs. 15:14-15, Qs. 78: 19 dan Qs. 50: 22);
shiddiq (Qs. 9: 119, Qs. 4: 69 dan Qs. 59:8); Tabligh/menyampaikan (Qs. 3: 104, Qs. 2: 44 dan
Qs. 61: 2-3); tulus ikhlas (Qs. 4: 146); selalu bersyukur kepada Allah SWT (Qs. 14:7); dan malu
melakukan perbuatan dosa dan tercela (Qs. 96:14, Qs. 2:284). Begitu banyaknya ayat-ayat
berkenaan dengan spiritualitas ini, John Renard menyebut bahwa al-Qur'an merupakan pusat
(rujukan) bagi diskursus dan pengembangan spiritualitas Islam.

Jika dikaitkan dengan struktur kepribadian manusia, maka kecerdasan spiritual bertumpu pada
qalb. Meminjam istilah Taufik Pasiak, qalb merupakan "otak spiritual". Qalb inilah yang
sebenarnya merupakan pusat kendali semua gerak anggota tubuh manusia. Ia adalah raja bagi
semua anggota tubuh yang lain. Semua aktivitas manusia berada di bawah kendalinya. Bahkan
Rasulullah SAW menegaskan bahwa jika qalb ini sudah baik, maka gerak dan aktifitas anggota
tubuh yang lain akan baik pula; demikian sebaliknya. Sementara kecerdasan intelektual berpusat
di aql dan emosional berpusat pada nafs. Ketiga komponen ini mendapat perhatian dalam Islam
agar dikembangkan dan dioptimalkan sebagaimana mestinya.

Hubungan antara Agama dan Kecerdasan Spiritual


Danah Zohar dan Ian Marshall sebagai tokoh yang memopulerkan SQ, membedakan antara SQ
dengan agama. Menurutnya SQ tidak mesti berhubungan dengan agama. Bahkan ia menegaskan
bahwa banyak orang humanis dan ateis memiliki SQ sangat tinggi; sebaliknya banyak orang
yang aktif beragama memiliki SQ sangat rendah. Baginya, agama merupakan seperangkat aturan
dan kepercayaan yang dibebankan secara eksternal. Agama dipahaminya sebagai lembaga yang
bersifat formal dan top-down, diwarisi dari para pendeta, nabi, dan kitab suci yang ditanamkan
melalui keluarga atau tradisi. Sementara SQ sendiri, ia pahami sebagai kemampuan yang bersifat
internal, bukan eksternal.

Seperti yang telah disinggung di atas, Zohar dan Marshall sebenarnya mengakui hasil penelitian
psikolog sebelumnya tentang adanya god spot dalam otak manusia yang terletak di antara
hubungan-hubungan saraf dalam cuping-cuping temporal otak. Namun ia tetap menyangkal
kaitan god spot ini dengan adanya Tuhan. God spot, menurutnya, hanya menunjukkan bahwa
otak telah berkembang untuk menanyakan "pertanyaan-pertanyaan pokok", untuk memiliki dan
menggunakan kepekaan terhadap makna dan nilai yang lebih luas.
Munculnya pendapat yang membedakan agama dan spiritual ini tentu dilatarbelakangi oleh
pemahaman kedua tokoh ini terhadap agama formal. Jika dilihat setting sosial kehidupannya
yang dibesarkan dan menetap di Barat, tentu pemikiran ini dipengaruhi oleh budaya Barat
setempat. Barat yang notabenenya penganut agama Kristiani sesungguhnya memiliki sejarah
yang amat panjang. Dalam perkembangan sejarah, agama Kristen—melalui para pendeta dan
tokoh-tokoh agama ini—pernah mengalami lembaran yang kelam, khususnya ketika berhadapan
dengan para ilmuan.

Selama beberapa abad, Barat dikuasai oleh doktrin gereja yang cenderung menolak kajian ilmu
pengetahuan dan budaya berpikir atau filsafat yang pernah berkembang pada masa sebelumnya
di Yunani sehingga mereka jauh dari peradaban. Bapak-bapak gereja Kristen, setelah agama
Kristen menjadi agama resmi Imperium Romawi pada dasawarsa ketiga abad ke empat Masehi,
bersemangat melakukan kampanye membasmi ilmu dan filsafat. Mereka menganggap ilmu
sebagai sihir. Para ilmuan dianggap kafir, zindik dan keluar dari agama Masehi. Bahkan antara
tahun 1481 hingga 1801, lembaga penyelidikan yang dibentuk oleh penguasa Paus untuk
mencari dan menemukan para ilmuan yang dianggap murtad, telah berhasil menghukum 340.000
orang, hampir 32.000 di antaranya dibakar hidup-hidup termasuk sajana besar Bruno. Galileo
Galilei (1564-1642 M), sarjana besar lainnya, dengan terpaksa dihukum seumur hidup dalam
penjara, karena keyakinannya bertentangan dengan kitab Injil dimana ajaran gereja waktu itu
berpegang pada konsep geosentris (matahari mengelilingi bumi) sementara Galileo menganut
konsep heliosentris, yaitu bumi bergerak mengelilingi matahari.

Sikap dari bapak-bapak gereja yang menginginkan umatnya bodoh semata-mata demi
kepentingan pribadi dan kepentingan penguasa. Dengan kebodohan umat tersebut, maka tidak
akan ada perlawanan atas kezaliman yang mereka lakukan. Dogmatik gereja tersebut
berkembang hingga abad pertengahan. Hingga saat itu pula, Barat mengalami masa kegelapan
yang pada gilirannya berakhir dengan perlawanan para ilmuan yang mempertahankan pendirian
ilmiahnya dan berkoalisi dengan raja untuk menumbangkan kekuasaan gereja. Koalisi ini
berhasil dan tumbanglah kekuasaan gereja sehingga muncul renaissance yang pada gilirannya
melahirkan sekularisasi dan lahirlah dikotomi antara ilmu dan gereja (agama).
Dampak dari sejarah kelam tentang agama versus ilmu pengetahuan yang terjadi di Barat
tersebut hingga saat ini masih terlihat. Meskipun agama kristen mayoritas, akan tetapi
epistemologi keilmuan yang berkembang di Barat tidak dilandasi oleh ajaran agama sehingga
ilmu pengetahuan yang mereka hasilkan bisa mengabaikan—bahkan menolak—peran dan
kedudukan suatu agama.

Berbeda dengan sejarah umat Islam, meskipun terdapat lembaran sejarah yang kelam—seperti
sejarah kekuasaan umat Islam yang sulit untuk berjamaah, termasuk ketertinggalan umat Islam
dewasa ini dalam perkembangan iptek, dll.—namun dalam hal perkembangan ilmu pengetahuan
justru berkembang dari motivasi agama. Artinya, puncak ilmu pengetahuan pada abad
pertengahan di dunia Timur sesungguhnya dipicu oleh semangat ajaran agama sangat respon
terhadap ilmu pengetahuan. Hal ini dapat dilihat dari wahyu pertama yang diturunkan justru
bermula dengan kata iqra', bacalah! Bukankah membaca sebagai aktivitas pokok dalam
pengembangan ilmu pengetahuan?

Demikian pula pandangan tentang hubungan agama dan spiritual, Islam tentu memiliki
pandangan yang berbeda dari Danah Zohar dan Ian Marshall di atas. Islam merupakan agama
yang memiliki ajaran universal dan bersifat totalitas; mencakup berbagai aspek kehidupan
manusia, baik sosial-budaya, politik, ekonomi, material/fisikal, dan termasuk aspek spiritual.
Karena totalitas dan universalitas Islam itu pulalah Allah menyeru agar manusia yang berakal
masuk ke dalam Islam secara kaffah (Qs. al-Baqarah/2: 208) atau utuh, tidak setengah-setengah.

Hubungan antara spiritual dengan agama juga tampak dalam pernyataan Allahbakhsh K. Brohi
yang berpendapat bahwa siapa saja yang memandang Tuhan atau Ruh Suci sebagai norma yang
penting dan menentukan atau prinsip hidupnya bisa disebut "spiritual". Seyyed Hossein Nasr
juga menegaskan bahwa tujuan spiritualitas itu sendiri adalah memperoleh sifat-sifat Ilahi
dengan jalan meraih kebaikan-kebaikan yang dimiliki dalam kadar sempurna oleh Nabi dan
dengan bantuan metode-metode serta anugerah yang datang darinya dan wahyu dari al-Qur'an.
Dengan demikian, dalam perspektif Islam, antara agama dan spiritual memiliki korelasi positif:
semakin tinggi kualitas agama seseorang maka semakin cerdas spiritualnya; sebaliknya, semakin
tinggi tingkat kecerdasan spiritual seseorang maka semakin baik pula sikap keberagamaannya.
Dalam istilah John Renard, aspek spiritualitas yang sesungguhnya mengembangkan dan juga
meninggikan sikap keberagamaan.

Urgensi Pendidikan yang Spiritualis


Ketika agama dan spiritual memiliki hubungan yang jelas, maka pendidikan—khususnya
pendidikan agama—sejatinya berorientasi terhadap pengembangan kecerdasan spiritual.
Kecerdasan spiritual tersebut tidak hanya diperlukan oleh seseorang secara individual, akan
tetapi lebih dari itu juga dibutuhkan oleh masyarakat luas, bahkan dalam konteks suatu bangsa.
Ada beberapa alasan penting yang menunjukkan urgensi pendidikan agama yang bersifat
spiritualis tersebut--khususnya dalam kaitannya dengan masyarakat luas—setidaknya mencakup
tiga bentuk, yaitu pertama, sebagai penggerak dan kontrol peradaban; kedua, mewujudkan tujuan
pendidikan nasional, dan ketiga; menjawab tantangan era globalisasi.

Sebagai Penggerak dan Kontrol Peradaban


Tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban suatu bangsa turut dimotivasi oleh keberadaan agama.
Bahkan peradaban yang dicapai oleh umat Islam di era awal dan abad pertengahan juga
dimotivasi oleh agama. Hal itu dapat dilihat dari doktrin dan perintah pertama yang diterima oleh
Nabi Muhammad SAW; iqra'. Ayat sekaligus perintah pertama (QS.96:1) yang diterima Nabi itu
membawa implikasi yang amat besar terhadap peradaban yang dibangun dengan basis iman dan
ilmu pengetahuan.

Ketika agama diamalkan oleh pemeluknya dengan sempurna, maka spiritualitas masyarakat pun
akan terbangun. Dengan spiritualitas itu pula seseorang mampu memahami hakikat hidupnya lalu
membentuk suatu peradaban yang dinamis. Inilah yang dimaksud dengan "penggerak"
peradaban. Sementara "kontrol" peradaban merupakan peranan agama yang mencerdaskan
spiritual dibutuhkan untuk menjaga stabilitas suatu peradaban agar tidak terjerumus kepada
bangsa yang berfoya-foya, berorientasi duniawi semata yang pada gilirannya akan mengundang
keterpurukan.

Fakta sejarah juga membuktikan bahwa para pecinta spiritual (sufi) memainkan peranan penting
dalam menggerakkan peradaban suatu bangsa. Menjelang 1920, misalnya, setiap negeri Muslim
—kecuali empat di antaranya, Persia, Arab Saudi, Afganistan, dan Turki—telah dikuasai dan
dijajah oleh kekuatan asing yang kebanyakan adalah bangsa Kristen Eropa. Dalam sebuah proses
yang telah bermula sejak seabad sebelumnya, rezim-rezim kolonial memperluas wilayah
kekuasaannya atas negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim. Di sejumlah daerah,
tarekat-tarekat Sufi merupakan institusi-institusi lokal terkuat yang masih tetap bertahan ketika
para penguasa setempat dijatuhkan oleh kekuatan bangsa Eropa. Oleh sebab itulah tarekat-tarekat
Sufi mampu menjadi pusat-pusat perlawanan antikolonial di beberapa tempat, seperti di Aljazair,
Kaukasus, dan Sudan. Kondisi ini juga dapat dilihat di Indonesia dimana para santri bergerak
melawan kolonial Belanda. Kaum santri yang dipimpin oleh Kiyai ini merupakan kelompok
yang kaya akan spiritual sehingga eksistensi mereka memberikan kontribusia yang amat besar
terhadap kemerdekaan Republik Indonesia.

Dengan demikian, suatu bangsa yang berperadaban tinggi memiliki kecerdasan spiritual yang
tinggi pula, sementara spiritual yang tinggi sangat identik dengan agama. Oleh karena itu,
pendidikan agama yang mencerdaskan spiritualitas bangsa amat dibutuhkan.

Mewujudkan Tujuan Pendidikan Nasional


Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pasal 4, disebutkan bahwa pada tujuan
pendidikan adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Kata-kata
iman dan takwa jelas mengandung muatan spiritualitas yang amat mendalam. Kata-kata itu
sendiri tentu terinspirasi dari isi al-Qur'an yang juga sarat akan nilai-nilai spiritual. Bahkan
mendahulukan tujuan iman dan takwa dari yang lainnya, termasuk ilmu pengetahuan,
mengisyaratkan bahwa pendidikan nasional memberikan penekanan yang lebih terhadap
pendidikan yang mencerdaskan spiritual peserta didiknya.

Dalam perspektif Islam, mewujudkan peserta didik yang beriman dan bertakwa serta berkakhlak
mulia sebagai watak bangsa mustahil dapat dilakukan tanpa adanya perhatian terhadap dimensi
spiritual peserta didik. Perhatian itu tentu melalui pendidikan agama. Namun persoalannya,
pendidikan agama, termasuk PAI, belum mampu mewujudkan tujuan yang diinginkan.
Ketidakmampuan ini turut disebabkan oleh orientasi pendidikan agama yang selama ini lebih
mementingkan aspek kognisi (kecerdasan intelektual). Akibatnya, peserta didik tidak mampu
menjadi manusia yang tawakal, tawadhu', serta shaleh secara individual dan sosial, sehingga
seringkali muncul ketidakpercayaan terhadap pendidikan agama dalam membentuk etika dan
moral bangsa.

Oleh karena itu, pendidikan agama yang berorientasi spiritual amat dibutuhkan dalam konteks
keindonesiaan yang pada dasarnya bercorak religius. Tanpa orientasi seperti itu, maka bangsa ini
akan kehilangan jati dirinya, termasuk corak religiusnya, dan diambil alih oleh pola hidup
materialis, hedonis, dan pragmatis.

Menjawab Tantangan Era Globalisasi


"Globalisasi" merupakan kata yang digunakan untuk mengacu kepada bersatunya berbagai
negara dalam globe menjadi satu entitas. Proses globalisasi yang semakin menemukan
momentumnya sejak dua dasawarsa menjelang millennium baru telah mempengaruhi berbagai
dimensi kehidupan suatu bangsa: literatur akademik, idiologi ekonomi dan politik, sosial-budaya,
hingga pada dimensi pendidikan. Singkatnya, proses globalisasi tidak lagi mengenal tanpa batas
(borderless) dengan kemajuan sistem teknologi dan informasi.
Dalam konteks pendidikan, berbagai kecenderungan perkembangan baru pendidikan yang
muncul sebagai konsekuensi globalisasi pada akhirnya diadopsi oleh sistem pendidikan nasional.
Pada adab 21 ini, pendidikan dituntut untuk menyiapkan sumber daya manusia yang adaptif, siap
pakai, mampu menerima dan menyesuaikan perubahan yang kian cepat di lingkungannya.
Padahal arus globalisasi yang begitu deras, di samping dampak positif yang ditimbulkan, juga
membawa dampak negatif terhadap cita-cita bangsa.

Meskipun era globalisasi mampu membuka sekat-sekat antara satu negara dengan negara lain,
namun disadari atau tidak, era globalisasi juga memunculkan hegomoni bangsa yang relatif kuat
dengan bangsa yang sedang berkembang, apalagi yang terbelakang. Akibatnya, idiologi,
falsafah, budaya dan cara pandang mereka akan berpengaruh pula terhadap watak bangsa
Indonesia.
Dalam konteks kekinian, Barat memegang peran yang signifikan dalam percaturan global di
berbagai aspek, termasuk pendidikan. Barat pun dianggap negara maju karena lebih mampu
mengembangkan ilmu pengetahuan secara dinamis dan varian sehingga negara-negara
berkembang dan yang sedang merangkak maju kerap kali menjadikannya sebagai referensi
(barat-centris) dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini pernah disinggung oleh Ismail
Raji al-Faruqi yang menyatakan bahwa materi dan metodologi yang kini diajarkan di dunia Islam
adalah jiplakan dari materi dan metodologi Barat, namun tak mengandung wawasan yang selama
ini menghidupkannya di negeri Barat. Padahal, umat Islam tidak mesti meniru secara mutlak
metodologi Barat.

Ketika Barat dianggap lebih maju dan dijadikan sebagai referensi dalam pembangunan dan
pengembangan suatu bangsa, termasuk Indonesia, maka bangsa ini akan rentan terpengaruh oleh
idiologi liberal yang mereka anut serta menjadi korban "imperialisme kultural". Seperti yang
disinggung sebelumnya, bangsa Barat memiliki sejarah kelam terhadap pihak gereja vs ilmuan
selama berabad-abad sehingga memicu berkembangnya idiologi liberalisme. Bahkan, idiologi ini
pada gilirannya turut berpengaruh terhadap epistemology keilmuan yang mereka kembangkan.
Mujamil Qomar menyatakan bahwa epistemology yang dikembangkan Barat lebih menekankan
pada pendekatan skeptis, rasional-empiris, dikotomik, positif-objektif, dan pendekatan yang
menentang dimensi spiritual. Semua pendekatan ini menunjukkan bangsa Barat mengabaikan
dimensi spiritual, terutama yang bersifat keilahiahan. Mereka juga mengeluarkan agama secara
total dari epistemology tersebut dengan dalih dapat menghambat objektifitas dan merusak
validitas ilmu pengetahuan.

Umat Islam memang tidak antipati terhadap perkembangan dan kemajuan bangsa Barat. Bahkan
fakta sejarah menunjukkan bahwa umat Islam juga belajar kepada Barat dengan menerjemahkan
karya-karya ilmuan Yunani. Hal ini menunjukkan bahwa Islam sangat toleran terhadap pihak
asing dan dibolehkan belajar kepada mereka selagi yang dipelajari itu bermanfaat. Demikian
pula yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW pada masanya senantiasa memotivasi umatnya
untuk belajar, termasuk kepada non-Muslim. Para tawanan Badr, misalnya, yang pandai baca
tulis itu justru dapat menebus dirinya jika ia bersedia mengajarkan baca-tulis kepada 10 orang
anak-anak Madinah.

Peristiwa ini mengisyaratkan bahwa umat Islam diperkenankan belajar dari manapun asalnya,
termasuk dari Barat. Hanya saja, bangsa Indonesia harus memiliki karakter yang kuat sehingga
tidak mudah luntur dengan sesuatu yang baru yang datangnya dari luar. Pola hidup materialis,
pragmatis, hedonis, dan liberalis yang bertentangan dengan akaran Islam mesti diwaspadai oleh
bangsa ini.

Untuk menghadapi tantangan tersebut, pendidikan yang spiritualis perlu ditampilkan dengan cara
menerapkan pendidikan agama yang berorientasi spiritual. Jika pendidikan agama yang
berorientasi spiritualitas ini dapat dilakukan, maka ilmu pengetahuan yang dikembangkan di
Barat tidak akan menimbulkan mudharat, justru sebaliknya, ilmu pengetahuan seperti itu akan
mampu menghasilkan peradaban yang tinggi, bahkan lebih tinggi dari peradaban yang telah
mereka dicapai.

Gagasan pendidikan agama yang spiritualis sesungguhnya relevan dengan kondisi bangsa
Indonesia itu sendiri yang mayoritas menganut agama Islam dan didukung oleh kebijakan-
kebijakan politik pendidikan yang religius. Untuk itu, agar umat Islam Indonesia yang dikenal
sebagai "The Biggest Moslem Community in The Word" mampu tampil terdepan dengan
kebudayaan dan peradaban yang tinggi, perlu menerapkan strategi pendidikan agama yang
mencerdaskan spiritual bangsa.

Strategi PAI dalam Mengoptimalkan Kecerdasan Spiritual


Untuk mewujudkan pendidikan agama yang mampu mengoptimalkan kecerdasan spiritual, perlu
dilakukan beberapa strategi. Dalam hal ini, strategi itu akan dilihat dari sudut pendekatan atau
metodologi keilmuan yang digunakan. Ada lima pendekatan yang mendapat penekanan lebih
dalam konteks pendidikan agama yang mengoptimalkan kecerdasan spiritual, yaitu: 1)
pendekatan intrinsic, 2) pendekatan teoantroposentris dan humanistic religius, 3) pendekatan
integralistik tematik, 4) pendekatan keteladanan, dan 5) pendekatan amanū wa 'amilushshālihāt.

Pendekatan intrinsik
Pendekatan intrinsik adalah pendekatan yang berupaya untuk membangkitkan kesadaran
beragama dalam dirinya sendiri, bukan semata-mata dorongan dari luar. Ada dua cara macam
beragama: yang ekstrinsik dan yang intrinsik. Cara ekstrinsik memang agama sebagai sesuatu
untuk dimanfaatkan, dan bukan untuk kehidupan, something to use but not to live. Orang
berpaling kepada Tuhan, tetapi tidak berpaling dari dirinya sendiri. Agama digunakan untuk
menunjang motif-motif lain; kebutuhan akan status, rasa aman atau harga diri. Orang yang
beragama dengan cara ini, melaksanakan bentuk-bentuk luar dari agama, ia puasa, shalat, naik
haji, dan sebagainya – tetapi tidak di dalamnya. Cara beragama seperti ini memang erat
kaitannya dengan penyakit mental. Cara beragama semacam ini tidak akan melahirkan
masyarakat yang penuh kasih sayang. Sebaliknya kebencian, irihati, dan fitnah masih akan tetap
berlangsung.

Agaknya, beragama dengan cara ekstrinsik inilah yang identik dengan pendapat Danah Zohar
dan Ian Marshall tentang orang-orang yang beragama, tetapi rendah kecerdasan spiritualnya.
Hanya saja, keduanya tidak menguraikan lebih lanjut, akan tetapi mengklaim secara langsung
bahwa agama tidak ada hubungannya dengan SQ.

Dengan pendekatan instrinsik, maka sikap keberagamaan setiap peserta didik diharapkan muncul
dari dalam dirinya, bukan karena dari luar. Kondisi semacam ini pada gilirannya akan
membentuk kepribadiannya sehingga menjadi akhlak dalam hidupnya. Jika kondisi semacam ini
terbentuk, niscaya akan berpengaruh pula terhadap perkembangan masyarakat, serta bangsa dan
negaranya.

Pendekatan teo-antroposentris atau humanistik religious


Corak pemikiran filosofis yang berkembang pada tiap-tiap zaman memiliki ciri tertentu yang
berbeda. Ada yang berpendapat bahwa filsafat zaman kuno bersifat "kosmosentris" dan filsafat
abad pertengahan bersifat "teosentris" sedangkan zaman modern bersifat "antroposentris".
Namun, jika dilihat dari konsep ajaran Islam, dapat dipahami bahwa ajarannya mengandung
pesan yang bersifat humanis, berorientasi pada manusia, akan tetapi dilandasi dan dibarengi oleh
keimanan kepada Allah SWT.

Esensi pendekatan humanistik religious adalah mengajarkan sikap keberagamaan tidak semata-
mata merujuk teks kitab suci, tetapi melalui pengalaman hidup dengan menghadirkan Tuhan
dalam mengatasi persoalan kehidupan individu dan sosial. Tegasnya, pendekatan
teoantroposentris menekankan akan pentingnya aspek spiritual dalam pengembangan pendidikan
agama. Hanya saja, tidak berorientasi kepada aspek yang bersifat transenden belaka, tetapi
konsep pendidikan itu harus "membumi", dapat menyentuh dan menjawab berbagai persoalan
dan tantangan yang dihadapi oleh umat.

Pendekatan integralistik tematik


Sebagaimana yang disinggung sebelumnya, pendidikan agama yang bermuatan spiritual tidak
hanya mengedepankan aspek spiritual lalu mengabaikan aspek materil. Tetapi, kedua aspek itu
mesti dikombinasikan, saling melengkapi dan saling terpadu. Disinilah diperlukan pendekatan
integralistik-tematik.

Pendekatan integralistik tematik merupakan sebuah pendekatan penyajian agama, baik secara
lisan maupun tertulis dengan cara mengintegrasikan seluruh bidang ilmu agama ke dalam sebuah
tema tertentu. Ketika mengajarkan tema tentang shalat misalnya, tidak hanya dilihat atau didekati
dari segi formalistik, simbolistik dan ritualistiknya (fikih-nya) saja, melainkan juga dilihat dari
segi dalil-dalil berupa ayat al-Qur’an dan al-hadis yang pada hakikatnya berkaitan dengan bidang
kajian al-Qur’an dan al-Hadis. Kemudian dilihat pula dari segi hikmahnya yang berkaitan
dengan ajaran tentang filsafatnya. Selanjutnya dilihat pula latar belakang terjadinya kewajiban
shalat yang selanjutnya berkaitan dengan ajaran tentang sejarah. Kemudian dilihat pula dari segi
spirit atau kejiwaannya yang pada hakikatnya berkaitan dengan ajaran tasawuf.

Dengan demikian, sebuah tema kajian dapat dilihat dari berbagai bidang ilmu agama.
Pendekatan integralistik tematik ini akan memberikan pemahaman kepada anak didik tentang
ayat-ayat Allah baik dalam bentuk qawliyah maupun kawniyah secara integral. Kedua ayat-ayat
ini sesungguhnya mampu meningkatkan keimanan seorang mukmin. Dengan pendekatan ini,
akan nampak bahwa ternyata berbagai bidang ilmu agama tersebut saling berhubungan dengan
erat. Pendekatan penyajian agama secara integralistik tematik ini selain akan lebih efisien dan
menantang serta penuh dengan daya analisa, juga sejalan dengan prinsip pendekatan pengajaran
yang modern, serta didukung oleh teori psikologi Gestalt yang melihat bahwa antara satu
kemampuan dengan kemampuan lainnya yang dimiliki manusia saling berhubungan. Dengan
pendekatan yang integralistik tematik ini, maka tidak akan ada lagi pertentangan (dikotomi)
antara satu ilmu agama dengan ilmu agama lainnya sebagaimana yang pernah terjadi dalam
sejarah dan masih cukup kuat pengaruhnya hingga sekarang.

Pendekatan keteladanan
Metode keteladanan merupakan metode yang paling berpengaruh dalam mendidik peserta didik,
khususnya dalam hal pembentukan kepribadian. Pentingnya metode ini juga dimiliki oleh Nabi
Muhammad SAW sebagai utusan Allah. Bahkan al-Qur’an menegaskan bahwa Nabi Muhammad
SAW itu menjadi teladan bagi para umatnya (Qs. al-Ahzab/33: 21). Keteladanan itu terlihat dari
setiap perilaku yang ditampilkan oleh Rasulullah, sehingga Allah pun memujinya dalam al-
Qur’an: dan sesungguhnya engkau (Muhammad) memiliki akhlak yang agung (Q.s.
Qalam/68:4).

Untuk menerapkan pendidikan agama yang berorientasi kepada kecerdasan spiritual, pendekatan
keteladan merupakan pendekatan yang paling efektif. Bahkan, dalam tradisi tarekat, keteladanan
seorang mursyd atau guru amat dibutuhkan. Dalam hal ini, seorang guru dituntut untuk memiliki
integritas kepribadian yang mulia sehingga menjadi model dan teladan bagi peserta didiknya.

Pendekatan amanū wa 'amilushshālihāt


Banyak ditemukan dalam al-Qur'an kata-kata amanū wa 'amilushshālihāt yang secara tekstual
diartikan sebagai beriman dan beramal shaleh. Orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok
ini adalah orang yang beruntung (al-Ashr/103:3), mendapat ampunan dan pahala (al-Fath/48:
29), dijadikan sebagai penguasa atau khalifah di muka bumi (an-Nur/24: 55), memperoleh
keamanan (Saba'/34: 37), memperoleh karunia-Nya (asy-Syuura/42: 26), dan sebagainya.
Amanū wa 'amilushshālihāt juga dapat diartikan sebagai sikap yang memliki konsisten,
komitmen, dan loyalitas loyaliyas yang kuat serta berpikir dan bertindak secara kreatif dan
produktif. Konsep Amanū wa 'amilushshālihāt ini dapat dijadikan sebagai pendekatan
pendidikan agama. Amanū wa 'amilushshālihāt mengandung sarat nilai-nilai spiritual sekaligus
memberi inspirasi untuk berkarya secara kreatif, inovatif, dan produktif. Modal ini sangat
dibutuhkan dalam mewujudkan bangsa Indonesia yang berperadaban tinggi.

Kesimpulan

Makalah ini menolak pemikiran Danah Zohar dan Ian Marshall tentang hubungan agama dengan
kecerdasan spiritual dalam bukunya "SQ: Spiritual Intelligence – The Ultimate Intelligence".
Dalam buku tersebut Zohar dan Marshalla menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara agama
dengan kecerdasan spiritual (SQ). Menurut penulis, agama justru mendidik pemeluknya untuk
memiliki kecerdasan spiritual dalam arti yang sesungguhnya. Antara agama dan spiritual
memiliki korelasi yang positif: semakin tinggi kualitas keberagamaan seseorang maka semakin
tinggi pula kualitas spiritualnya, demikian sebaliknya.

Hubungan antara agama dan spiritualitas ini juga dikemukakan oleh Sayyed Hossein Nasr dalam
bukunya Islamic Spirituality Foundations. Menurutnya, hakikat spiritual justru bersifat ilahiah
yang menjadi puncak tertinggi dalam ajaran Islam. Demikian juga John Renard berpendapat
bahwa spiritualitas mengembangkan dan juga meninggikan kehidupan keberagamaan. Namun,
dikotomi antara agama dan dimensi spiritualitas juga banyak dikemukakan oleh sarjana Barat, di
antaranya J. Harold Ellens, Vernon A. Holtz dan Stephen R. Honeygosky. Bahkan John Naisbitt
dan Patricia Aburdence dalam Megatrend 2000 menyebutkan slogan New Age dengan
Spirituality, Yes! Organized Religion, No!. Perbedaan ini tampaknya dilatarbekalangi oleh
pemahaman mereka sendiri yang tidak utuh terhadap agama sehingga agama hanya dianggap
sebagai organisasi formal yang tidak menjamin terpenuhinya kepuasan spiritual.

BIBLIOGRAFI
Alexander, Hanan A., Spirituality and Ethics in Education; Philosophical, Theological and
Radical Perspective, Oxford: Blackwell Publishing, 2004
Arif, Muhammad, "The Islamization of Knowladge and Some Methodoogical Issues in Paradigm
Building: The General Case of Social Science with a Special Focus on Economic", dalam
Mohammad Muqim (ed.), Research Methodology in Islamic Perspektive, New Delhi: Institute
and Objective Studies, 1994
Arkoun, Mohammed, Rethinking Islam, Penj. Yudian W. Asmin dan Lathiful Khuluq,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996
ar-Rifa’i, Muhammad Nasib, Kemudahan dari Allah; Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid I, Penj.
Syihabuddin, Jakarta: Gema Insani Press, 1999
As-Siba'i, Musthafa Husni, Min Rawâ'i Hadarâtina, Penj. Abdullah Zakiy al-Kaaf, Bandung:
Pustaka Setia, 2002
Aziz, Abdul, "Posisi Pendidikan Agama dalam Sisdiknas", dalam Ali Muhdi Amnur (ed.),
Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional, Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2007
Aziz, Fayaz, Man Syahkumul 'Alam, alih bahasa Ahmad Syakur, judul Dicari! Pemimpin
Peradaban Dunia; Menakar Visi Universal Paham dan Agama-agama Besar Dunia, , Solo: Era
Intermadia, 2006
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta:
Logos, 1999
Bagir, Haidar, Gagalnya Pendidikan Agama, dalam Kompas, tanggal 28 Februri 2003.
___________, "Memaknai Tasawuf sebagai Spiritual Islam", dalam Madjid, Nurchalish, et.al.,
Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern; Respon dan Transformasi Nilai-nilai Islam Menuju
Masyarakat Madani, Jakarta: Paramadina, 2000
Burhanudin, Jajat dan Dina Afrianty (Peny.), Mencetak Muslim Modern; Peta Pendidikan Islam
di Indonesia, Jakarta: PTRajaGrafindo Persada, 2006
Dahlan, Abdul Aziz, Agama dan Falsafat, dalam Jurnal Al-Ta'lim, edisi IX September-Desember
2000, Padang: IAIN IB Press, 2000
Adz-Dzakiey, Hamdani Bakran, Prophetic Intelligence, Kecerdasan Kenabian; Menumbuhkan
Potensi Hakiki Insani Melalui Pengembangan Kesehatan Ruhani, Yogyakarta: Islamika, 2005
Ellens, J. Harold, Understanding Religious Experiences: What The Bible Says About
Spirituality, Greenwood Publishing Group, 2008
Ernst, Carl W., The Shambhala Guide to Sufism, Shanbahala Publications., Massachusetts, 1997,
diterjemahkan oleh Arif Anwar dengan judul "Ajaran dan Aliran Tasawuf; sebuah Pengantar",
Jogjakarta: Pustaka Sufi, 2003
al-Faruqi, Ismail Raji, Islamization of Knowladge: Problem, Principle and Perspectives,
Heradon, U.S. IIIT, 1987, alih bahasa Anas Wahyudin, judul: Islamisasi Pengetahuan, Bandung:
Pustaka, 1984
Faridi, Shah Shahidullah, "The Spiritual Psychology of Islam", dalam Wahid Bakhsh Rabbani,
Islamic Sufism, Kuala Lumpur: A.S. Noordeen, 1990, third edition
Feisal, Jusuf Amir, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1995
Goleman, Daniel, Emotional Intelligences, New York: HarperCollins (Basic Books), 1993, alih
bahasa T. Hermaya, judul: Emotional Intelligence, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999
Hamersma, Harry, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: PT Gramedia, 1992
Hamka, Tafsir al-Azhar, juz II dan XXX, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988
Hasan, Abdul Wahid, SQ Nabi; Aplikasi Strategi dan Model Kecerdasan Spiritual (SQ)
Rasulullah Masa Kini, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2006
Heelas, Paul, Linda Woodhead, Benjamin Seel, The Spiritual Revolution; Why Religion is
Giving Way to Spirituality, Wiley-Blackwell, 2005
Hicks, Douglas A., Religion And The Workplace: Pluralism, Spirituality, Leadership, Cambridge
University Press, 2003
Honeygosky, Stephen R. (ed.), Religion and Spirituality: Bridging the Gap, Twenty-Third
Publications, 2006
al-Jazairi, Abu Bakar Jabir, Tafsir al-Aisar, Penj. M. Azhari Hatim dan Abdurrahim Mukti,
Jakarta: Sarus Sunnah, 2006
Karni, Asrori S., Civil Society dan Ummah; Sintesa Diskursif "Rumah" Demokrasi, Jakarta:
Logos, 1999
Kartanegara, Mulyadhi, Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik, Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2005
Khaldun, Abdurrahman Ibn, al-Ibar wa Dīwān al-Mubtada’ wa al-Khabar fī Ayyām al-Arb wa
al-‘Ajam wa al-Barbar wa Man ‘Āsharahum min Dzawī al-Sulthān al-Akbar, jilid I — VII,
Beirut: al-Dar al-Kutb al-’Ilmiyyah, 1992
Kosim, Muhammad, al-Qur'an, Karakter Pendidikan Sumbar, opini, harian Padangekspres,
tanggal 6 Juni 2009
__________, Mempertegas Peran PAI di Sekolah, opini, harian padangekspres,, 2009
__________, Transformasi dan Kontribusi Intelektual Islam atas Dunia Barat, Makalah PPs.
Program Magister IAIN Imam Bonjol Padang, 2006
Langgulung, Hasan, Peralihan Paradigma dalam Pendidikan Islam dan Sains Sosial, Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2002
Leksono, Karlina -Supelli, Awal Sebuah Pemahaman, http://mkb.kerjabudaya.org
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-nusansa Psikologi Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2001
Murad, Yusuf, Mahadi' 'ilm al-Nafs al-'Am, (Mesir: Dar al-Ma'arif, tt.
Muthahhari, Murtadha dan S.M.H. Thabathaba'i, Light Within Me, diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia oleh tim penerjemah pustaka hidayah dengan judul: Menapak Jalan Spiritual,
Bandung: Pustaka Hidayah, 1997, cet. ke-2
Nadwi, Abul Hasan Ali, Islam and The Word, Penj. Adang Affandi, Bandung: Angkasa, 1987
Nasr, Seyyed Hossein (ed.), Islamic Spirituality Foundations, Penj. Rahmani Astuti, judul:
Ensiklopedi Tematis Spiritual Islam; Fondasi, Bandung: Mizan, 2002
____________, The Encounter Man and Nature, University of California Press 1984, Penj. Ali
Noer Zaman, judul: Antara Tuhan, Manusia dan Alam, Yogyakarta: IRCiSoD, 2003
Nata, Abuddin, Orientasi Pengembangan Pendidikan Agama Islam pada Buku Teks
SD/SMP/SMU, Semarang: Makalah, 18 Desember 2008
Moody, Harry D., Religion, Spirituality, and Aging; A Social Work Perspective Routledge, 2005
Pasiak, Taufik, Revolusi IQ/EQ/SQ, Antara Neurosains dan al-Qur'an, Bandung: Mizan, 2002
Qomar, Mujamil, Epistemologi Pendidikan Islam, dari Metode Rasional hingga Metode Kritik,
Jakarta: Erlangga, 2005
Rahman, Fazlur, Islam, University of Chicago, 1979, Penj. Ahsin Mohamad, Bandung: Pustaka,
2000, cet. ke-IV
Rahmat, Jalaluddin, Islam Alternatif, Bandung: Mizan, 1991, cet. IV
Ramadan, Tariq, Menjadi Modern Bersama Islam; Islam, Barat, dan Tantangan Modernitas,
Jakarta: Teraju, 2003
Renard, John, Seven doors to Islam: spirituality and the religious life of Muslims, University of
California Press, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh M. Khoirul Anam dengan judul
"Dimensi-dimensi Islam", Jakarta; Inisiasi Press, 2004
Shihab, Quraish, Wawasan al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atau Pelbagai Persoalan Umat, Bandung:
Mizan, 1998
Shimogaki, Kazuo, Between Modernity and Postmodernity The Islamic Left and Dr Hassan
Hanafi's Though: A Critical Reading, terbit tahun 1988 dan alih bahasa oleh M. Imam Aziz dan
M. Jadul Maula dengan judul Kiri Islam; Antara Modernisme dan Posmodernisme, Telaah Kritis
Pemikiran Hassan Hanafi, Yogyakarta: LKiS, 2004, cet. ke-7,
Syar'ati, Ali, A Glance Tomorrow's History, Penj. Laleh Bachtiar dan Husayn Saleh, Bandung:
Pustaka Hidayah, 1996, cet. ke-2
Taher, Tarmizi, "Islam dan Isu Globalisasi Perspektif Budaya dan Agama", dalam M. Nasir
Tamara dan Elza Peldi Taher (ed.), Agama dan Dialog Antar Peradaban, Jakarta: Paramadina,
1996
Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah (Transcendental Intelligence); Membentuk Kepribadian
yang Bertanggung Jawab, Profesional, dan Berakhlak, Jakarta: Gema Insani Press, 2001
Wright, Andrew, Spirituality and Education, (New York: Routledge, Falmer, 2000
Yunus, Mahmud, Sedjarah Pendidikan Islam, Jakarta: Mutiara, 1966
_______, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1993
Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004
Zohar, Danah dan Ian Marshall, SQ: Spiritual Intelligence – The Ultimate Intelligence,
Bloomsbury, Great Britain tahun 2000

Anda mungkin juga menyukai