KONSELING SUFISTIK:
HARMONISASI PSIKOLOGI DAN TASAWUF
DALAM MEWUJUDKAN KESEHATAN MENTAL
Zamzami Sabiq
Institut Ilmu Keislaman Annuqayah
sabiqzamzami@gmail.com
ABSTRAK
___________________
ABSTRACT
___________________
Pendahuluan
Manusia dalam pandangan psikologi dianggap sebagai
makhluk yang mendasari kajian filsafat merujuk pada paham
antroposentris, yaitu pandangan yang menempatkan manusia
sebagai pusat segala pengalaman dan relasi-relasinya serta
penentu utama terhadap masalah-masalah yang menyangkut
manusia. Pandangan tersebut berbeda dengan pandangan
manusia menurut tasawuf yang bercorak anthroporeligiosentries,
yang berprinsip meskipun mengakui manusia memiliki
kehendak bebas, namun menganggap manusia tetap makhluk
yang memiliki dimensi rohaniah dari Tuhan.
Sebagai ilmu pengetahuan yang berdasar pada kajian
psikologi, ilmu konseling modern tentu hanya terbatas pada
kajian dimensi lahiriyah manusia. Hal ini berakibat pada asumsi
epistimologis terkait eksistensi dan substansi manusia sebagai
unit analisis utama ilmu konseling. Pada titik inilah para ahli
memandang bahwa posisi epistimologis seperti ini menemukan
kelemahan yang amat esensial sehingga berakibat pada
kesimpulan yang keliru terhadap keberadaan manusia. Makhluk
yang bernama manusia hanya dipandang sebagai organisme
psiko-antropo-sosial dan abai terhadap aspek spiritual sebagai
yang paling esensial1
Kondisi semacam ini akhirnya mendorong para ahli untuk
kembali merumuskan kerangka keilmuan. Dalam rangka
mencari cara menutupi kelemahan ilmu pengetahuan modern
termasuk di dalamnya psikologi dan konseling. Perlu adanya
harmonisasi keilmuan dalam mengisi kelemahan esensial
keilmuan yang ada. Salah satu upayanya adalah dengan gagasan
Islamisasi sains. Embrio gagasan “Islamisasi” ilmu konseling ini
sesungguhnya dapat dilacak melalui “proyek Islamisasi sains”
yang digagas oleh Ismail Rozi Alfaruqi.2 Islamisasi sains ini
dilandasi oleh keyakinan bahwa sesungguhnya segala yang ada
1
Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam; Sebuah Pendekatan Psikologis
(Jakarta: Darul Fatah, 2006), 32
2
Hamdani Bakram Adz Dzaky, Konseling dan Psikoterapi Islami
(Yogyakarta: Pustaka Fajar, 2001), 13
Zamzami Sabiq, Konseling Sufistik | 331-352
di muka bumi ini adalah ciptaan Allah dan pasti telah termaktub
dalam Alquran sebagai kitab Allah dan Hadis.3
Islamisasi sains pada ilmu konseling dan psikologi
berkembang cukup pesat seiring perkembangan zaman.
Sehingga menghasilkan keilmuan-keilmuan baru yang
bermanfaat bagi masalah keummatan. Salah satunya adalah
harmonisasi konseling dan psikologi dengan tasawuf yang akan
dibahas dalam tulisan ini.
Pada dasarnya, tasawuf dan psikologi memiliki perbedaan
yang cukup esensial karena adanya perbedaan maksud dan cara
pandang terhadap objek kajian keilmuan yang ada. Namun bukan
berarti tidak ada titik singgung atau kesamaan diantara keduanya.
Terdapat beberapa titik singgung antara tasawuf dan psikologi.
Titik singgung ini akan memudahkan terjadinya harmonisasi
diantara keduanya. Titik singgung diantara keduanya adalah
pertama, tasawuf dan psikologi agama sama-sama berpijak pada
kajian kejiwaan manusia. Perbedaannya hanya terletak pada
metode pengkajiannya. Tasawuf lebih banyak menggunakan
metode intuitif, metode nubuwah, metode ilahiyah, dan metode-
metode yang berkaitan dengan qalb. Sedangkan psikologi
menggunakan metode pengkajian psikologis-empirik. Kedua,
Tasawuf dan psikologi berbicara tentang kondisi keberagamaan
seseorang. Tasawuf menggunakan pendekatan rasa, psikologi
menggunakan pendekatan positivisme, cara berfikir positif, dan
rasional empirik. Ketiga, kedekatan hubungan tasawuf dengan
psikologi ditemukan ketika ternyata salah satu kajian psikologi
adalah perilaku para sufi. Hal ini juga ditunjukkan dengan
adanya kajian psikologi sufi.
Titik singgung diantara tasawuf dan psikologi memang
tidak bersifat esensial. Karena secara hakiki, kedua bidang kajian
tersebut memiliki titik kajian, metode, tujuan, dan pendekatan
berbeda. Namun justru hal ini bisa menjadi alasan kuat terjadinya
harmonisasi diantara keduanya.
Muhammadiyah, 2000), 10
332-352 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 2, Desember 2016
1. Konseling Behaviouristik
Konsep dasar konseling behavioristik berpangkal pada
beberapa keyakinan tentang martabat manusia yang sebagian
bersifat falsafah dan sebagian lagi bercorak psikologis, yaitu: (1)
Manusia pada dasarnya tidak berakhlak baik atau buruk, bagus
atau jelek. Manusia mempunyai potensi untuk bertingkah laku
baik atau buruk, tepat atau salah berdasarkan bekal keturunan
atau pembawaan dan bakat interaksi antara keturunan dan
lingkungan, inilah yang nantinya membentuk pola-pola
bertingkah laku yang menjadi ciri-ciri khas dari kepribadiannya.
(2) Manusia mampu merefleksikan tingkah lakunya sendiri,
menangkap apa yang dilakukannya dan mengatur serta
mengontrol perilakunya sendiri. (3) Manusia mampu
memperoleh dan membentuk sendiri pola-pola tingkah laku yang
baru melalui proses belajar. (4) Manusia dapat mempengaruhi
perilaku orang lain dan dirinya pun dipengaruhi oleh perilaku
orang lain4. Tokoh konseling behaviouristik yaitu John D.
Krumbolz, yang awalnya memiliki tujuan untuk melanjutkan
kajian bahwa konseling diharapkan dapat mengubah perilaku
konseling agar mampu mengatasi masalah yang dihadapi.
2. Konseling Psikoanalisa
Psikoanalisa memandang manusia sebagai makhluk yang
deterministic. Tokoh utama pada pendekatan ini adalah Sigmund
4
Ekoeswara. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi (Jakarta, Eresco,
1988), 69
Zamzami Sabiq, Konseling Sufistik | 333-352
3. Konseling Eksistensial
Eksistensial memandang manusia sebagai makhluk yang
sadar, mandiri, berperilaku aktif dan mampu melakukan
segalanya. Ia mendapat julukan the self determining being yang
mampu menentukan tujuan-tujuan yang diinginkan dan
cara-cara untuk mencapai tujuan itu dianggap paling tepat6.
Teori konseling eksistensial berawal dari psikologi humanistic
sebagai mazhab ketiga dalam dunia psikologi. Manusia
dipandang sebagai makhluk yang selalu dalam keadaan transisi,
berkembang, membentuk diri, dan menjadi sesuatu. Berdasarkan
pada asumsi ini, maka dimensi dasar kondisi manusia adalah: 1)
kapasitas kesadaran diri, 2) kebebasan dan tanggungjawab, 3)
menciptakan identitas dirinya dan menciptakan hubungan yang
bermakna dengan orang lain, 4) usaha untuk mencari makna,
tujuan, nilai, dan sasaran, 5) kecemasan sebagai kondisi hidup,
dan 6) kesadaran akan datangnya maut serta ketidakberadaan7.
Tokoh utama konseling eksistensial adalah Roll May dan Victor
Frankl.
5. Konseling Gestalt
Gestalt berasal dari kata Jerman yang diartikan sebagai
bentuk, wujud, atau organisasi. Kata itu mengandung pengertian
kebulatan atau keparipurnaan. Tokoh utama konseling Gestalt
adalah Fedrick Perls. Gestalt Perls ini tidak langsung berasal
dari psikologi Gestalt. Perls menerangkan satu-satunya hukum
tentang fungsi manusia yang tetap dan universal, yaitu setiap
organisme cenderung mengarah kepada kebulatan dan
keparipurnaan9. Gestalt memandang bahwa setiap individu
dapat menangani sendiri problem hidup mereka secara efektif,
terutama apabila mereka memanfaatkan secara tuntas kesadaran
mereka terhadap apa yang terjadi dalam diri dan sekitarnya.
Untuk mewujudkan kesempurnaan, manusia harus mampu
menjelaskan sesuatu yang menghambat pencapaian Gestalt,
yaitu yang disebut Perls, situasi yang belum selesai10. Perasaan-
perasaan yang belum selesai atau yang tak terungkap seperti
rasa jengkel, amarah, kebencian, keresahan, rasa bersalah,
prasangka dan duka cita yang menyiksa batin harus diterima
dan merupakan tanggung jawab sendiri bukan orang lain.
Dengan demikian seseorang akan memiliki jalan baru untuk
mengambil peran lebih efektif dalam mengatur kehidupannya
sendiri dengan usaha-usaha yang lebih konstruktif.
8
Subandi, Latihan Meditasi Untuk Latihan Psikoterapi (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), 40-41
9
Ibid, 118
10
Surya, M., Psikologi Konseling (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2003), 73
336-352 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 2, Desember 2016
8. Konseling Realitas
Konsep dasar konseling realitas adalah manusia memilih
perilakunya sendiri dan harus bertanggung jawab tidak
hanya atas apa yang ia lakukan, tetapi bagaimana berfikir dan
merasakan. Tokoh utama konseling ini adalah William Glasser.
Glasser menyebutnya sebagai teori kontrol perilaku manusia
W.S. Winkel, Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan (Jakarta:
13
a. Qalb
Qalb menurut para sufi bukan dalam pengertian sebagai
segumpal daging yang berada di dada yang berfungsi mengatur
peredaran darah tubuh atau bisa kita sebut jantung, tetapi
lebih dimaknai sebagai substansi yang halus. Qalb adalah suatu
rahasia halus (lat}ifah) yang bersifat rabbaniyah dan ruhaniyah
yang memiliki keterkaitan dengan qalb yang bersifat jasmani.19
Al-Tirmidi membagi konsepsi qalb ini menjadi empat bagian.
(1) dada (s}adr) pada posisi ini adalah tempat cahaya Islam atau
Muh. Sulthon, Desain Ilmu Dakwah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003),
16
60
17
Muhammad Hasyim, Dialog Antar Psikologi dan Tasawuf: Telaah Kritis
Psikologi Humanistik Abraham Maslow (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 27
18
Fuad Ansori, Potensi-Potensi Manusia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005), 92
19
Sa’id Hawwa, Pendidikan Spiritual, terj. Abdul Munip (Yogyakarta: Mitra
Pustaka, 2006), 27
340-352 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 2, Desember 2016
cahaya amaliyah, (2) Hati (qalb) tempat cahaya Iman, (3) Hati
lebih dalam (fu’ad) tempat cahaya makrifat, dan (4) Lubuk hati
terdalam (lubb) tempat cahaya tauhid.20
Qalb adalah tempat antara wilayah kesatuan (ruh}) dan
daerah keanekaragaman (nafs). Jika hati mampu melepas nafs
yang melekat padanya, dia akan berada di bawah pengaruh ruh
hati yang bersih. Sebaliknya jika hati dikuasai nafs, maka ia akan
menjadi keruh. Menurut Abdul Mujib, qalb ruh}ani> merupakan
bagian esensi dari fit}rah nafsani> yang berfungsi sebagai pemandu,
pengontrol, dan pengendali tingkah laku, sehingga bila ia mampu
berfungsi normal, maka kehidupan manusia akan sesuai fitrahnya.
Dengan hati yang bersih (memiliki uluhiyyat dan rabbaniyyat) inilah
manusia tidak hanya mengenal lingkungan fisik dan sosial tetapi
juga mengenal lingkungan spiritual keagamaan dan ketuhanan21
b. Ruh}
Ruh} juga merupakan dimensi esensial yang membatu
manusia berbeda dengan makhluk yang lain. Ruh} mempunyai
eksistensi sendiri yang berbeda dengan jasad. Jasad berasal
dari elemen materi, sedangkan ruh berasal dari alam arwah
yang merupakan esensi ketuhanan dalam diri manusia22. Ruh}
inilah yang merupakan hal mengagumkan yang bersifat rabbani>
yang tidak mampu diketahui hakikatnya oleh kebanyakan akal
manusia.23 Ruh} yang ada dalam diri manusia juga merupakan
presensi (kehadiran) gerakan uluhiyyah, namun kekhususan
pemberian ruh} kepada manusia bukan secara otomatis
manusia menjadi makhluk secara baik. Ruh adalah konsep
dasar, semua bergantung pada bagaimana manusia hendak
memanfaatkannya24.
20
Robert Frager, Psikologi Sufi Untuk Transformasi Hati, Jiwa dan Ruh
(Jakarta: Zaman, 2014), 64-65
21
Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam; Sebuah Pendekatan Psikologis
(Jakarta: Darul Fatah, 2006), 129
22
Sukanto MM., Nafsiologi Pendekatan Alternatif Atas Psikologi (Jakarta:
Integrita Press, 1985), 50
23
Ibid, 29
24
Ibid, 117
Zamzami Sabiq, Konseling Sufistik | 341-352
c. Nafs
Nafs bisa dimaknai sebagai jiwa26. Makna lain nasf adalah
intisari dan napas.27 Mayoritas kaum sufi mengatakan bahwa jiwa
merupakan sumber-sumber penyebab timbulnya akhlak tercela
dan perilaku yang rendah28. Sikap nafs yang paling menyolok
adalah nafsunya, yang tersebar di seluruh tubuh manusia dan
semua indra dapat berpengaruh. Berkaitan dengan daya tarik
nafsu memiliki bentuk beraneka ragam seperti nafsu seksual dan
nafsu akan kemewahan. Nafsu merupakan komponen dalam diri
manusia yang memiliki kekuatan untuk mendorong melakukan
sesuatu (al-syahwat) dan menghindari diri untuk melakukan
sesuatu (al-gad}ab)29. Nafs yang cenderung memiliki sifat buruk
ini harus dirubah menuju perilaku-perilaku yang baik.
Robert Frager membagi nafs dalam tujuh tingkatan dan
tiap tingkatan dihubungkan dengan salah satu nama atau
sifat Tuhan. Ada 99 nama Tuhan yang termaktub di dalam
Al-Quran. Pengulangan nama-nama ini dan perenungan
terhadap maknanya dapat menjadi obat yang efektif untuk
menyembuhkan penyakit diri pada setiap tingkatan. Tingkatan
25
Robert Frager, Psikologi Sufi Untuk Transformasi Hati, Jiwa dan Ruh
(Jakarta: Zaman, 2014), 167
26
Fuad Ansori, Potensi-Potensi Manusia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005), 108
27
Ibid, 98
28
Amin Annajar, Psikologi Sufistik Dalam Kehidupan Modern (Bandung:
Mizan Media Utama, 2004), 6
29
Ibid, 153
342-352 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 2, Desember 2016
nafs tersebut adalah (1) Nafs Tirani, nama tuhan yang dapat
dijadikan terapi pada tingkatan ini adalah La> ilaha illa Alla>h. (2)
Nasf penuh penyesalan, nama Tuhan Allah, (3) Nafs Terilhami,
dengan nama Tuhan Hu (Engkau), (4) Nafs Tenteram, dengan
nama Tuhan Haqq (Kebenaran), (5) Nafs Rida, dengan nama
Tuhan H}ayy (Maha hidup), (6) Nafs diridai, dengan nama tuhan
Qayyum (Maha Kekal), dan (7) Nafs Suci, dengan nama Tuhan
Qahhar (Maha Kuasa).30
d. ‘Aql
‘Aql bisa diartikan menahan, ikatan, melarang, dan
mencegah sehingga orang dikatakan berakal jika orang tersebut
mampu menahan dan mengikat hawa nafsunya.31 ‘Aql memiliki
dua makna yaitu sebagai salah satu organ di kepala atau disebut
otak yang mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan
secara nalar dan akal ruhani yaitu cahaya ruhani dan daya
nafsiah yang disiapkan dan mampu memperoleh pengetahuan
(al-ma’rifat) dan kognisi. Pengertian ini sering ditafsirkan
berakal merupakan aktivitas kalbu karena hatilah yang mampu
menerima pengetahuan supra rasional dengan kekuatan cita
rasa (al-zawq). Akal sebagaimana dalam Alquran tidak hanya
dimaknai sebagai daya pikir dan daya rasa saja, tetapi ia adalah
dorongan moral untuk berfikir untuk memahami persoalan.32
Sa’id Hawwa menjelaskan kadang-kadang antara qalb, nafs, ruh}
dan ‘aql memiliki makna dan pengertian yang sama. Perbedaannya
hanyalah pada persoalan nama atau istilah karena adanya
perbedaan sifat atau karakter yang dimiliki oleh ruh manusia. Jika
ruh} dapat mengalahkan syahwatnya, maka dinamakan dengan
nafs. Jika ruh} mampu mengalahkan syahwat yang diharamkan,
maka dinamakan dengan ‘aql. Jika ruh} menemukan keimanannya,
maka dinamakan dengan qalb. Sedangkan jika mampu mengetahui
30
Robert Frager, Psikologi Sufi Untuk Transformasi Hati, Jiwa dan Ruh
(Jakarta: Zaman, 2014), 99
31
Ibid, 101
32
M. Toyyibi dan M. Ngemron, Psikologi Islam (Surakarta: Universitas
Muhammadiyah, 2000), 44
Zamzami Sabiq, Konseling Sufistik | 343-352
Kesehatan Mental
Kesehatan mental sering disebut juga dengan istilah
mental health dan atau mental hygiene. Secara historis, ilmu ini
diakui berasal dari kajian psikologi. Usaha para psikolog yang
kemudian menelurkan ilmu baru ini berawal dari keluhan-
keluhan masyarakat sebagai akibat dari munculnya gejala-gejala
yang menggelisahkan. Fenomena psikologis ini tampaknya
tidak hanya dirasakan oleh individu semata, melainkan oleh
masyarakat luas.34 Namun demikian para ahli belum ada
kesepakatan terhadap batasan atau definisi kesehatan mental
(mental health). Hal tersebut disebabkan antara lain karena adanya
berbagai sudut pandang dan sistem pendekatan yang berbeda.
Dengan tiadanya kesatuan pendapat dan pandangan tersebut,
maka menimbulkan adanya perbedaan konsep kesehatan
mental. Lebih jauh lagi mengakibatkan terjadinya perbedaan
implementasi dalam mencapai dan mengusahakan mental yang
sehat. Perbedaan itu wajar dan tidak perlu merisaukan, karena
sisi lain adanya perbedaan itu justru memperkaya khasanah dan
memperluas pandangan orang mengenai apa dan bagaimana
kesehatan mental.35
Marie Jahoda memberikan batasan yang agak luas tentang
kesehatan mental. Kesehatan mental tidak hanya terbatas pada
absennya seseorang dari gangguan kejiwaan dan penyakitnya.
Akan tetapi, orang yang sehat mentalnya memiliki ciri-ciri utama
sebagai berikut: (1) Sikap kepribadian yang baik terhadap diri
sendiri dalam arti dapat mengenal diri sendiri dengan baik. (2)
Pertumbuhan, perkembangan, dan perwujudan diri yang baik.
33
Ibid, 34
34
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1983),
10.
Thohari Musnamar, et al, Dasar-Dasar Konseptual Bimbingan dan Konseling
35
36
A.F Jaelani, Penyucian Jiwa (Tazkiyat Al-nafs) & Kesehatan Mental (Jakarta:
Penerbit Amzah, 2000), 75-77
37
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta, Gunung Agung, 1983), 11-
13
Zamzami Sabiq, Konseling Sufistik | 345-352
Erlangga, 2012), 37
348-352 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 2, Desember 2016
Ibid., 25-26
43
Kesimpulan
Psikologi dan tasawuf memiliki perbedaan dalam
memandang manusia. Psikologi memandang manusia dalam
bentuk fisik dan psikis. Sedangkan tasawuf memandang manusia
tidaklah suatu bentuk sederhana yang hanya terdiri dari fisik
dan psikis. Begitu juga penderitaan yang diderita oleh klien/
konselee tidak hanya sebatas pada penderitaan fisik dan psikis.
Masih terdapat dimensi rohaniah dari Tuhan pada diri manusia.
Perbedaan cara pandang ini sebenarnya bukanlah menjadi suatu
hal yang perlu untuk diperdepatkan. Namun perbedaan ini bisa
menjadi salah satu dasar untuk terjadinya harmonisasi diantara
keduanya.
Salah satu bentuk harmonisasi psikologi dan tasawuf adalah
45
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf (Surabaya: PT. Bina Ilmu,
1995), 65
46
Amin Syukur, Zuhud di Abad Moderen (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2000), 156
350-352 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 2, Desember 2016
Daftar Pustaka