Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH

MENGEMBANGKAN KECERDASAN

Oleh :
Yudi Ruswandi, Ami Dailami, Atay Kustaryana

A. Abstrak dan Keywords


Definisi otak didasarkan pada dua istilah: pertama, brain; kedua, mind. Brain
is the organ inside the head that controls movement, thought, memory and feeling.
Otak adalah organ yang berada dalam kepala, otak tersebut mengontrol pergerakan
(gerak-gerik), berpikir (pemikiran), daya ingat dan perasaan. Mind is the part of a
person that makes them able to be aware of things, to think and to feel. Mind adalah
bagian dari seseorang yang membuat mereka mampu menyadari hal-hal, untuk
berpikir dan merasakan. Beberapa jenis kecerdasan diantaranya: Intelligence
Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), Spiritual Quotient (SQ), Multiple
Intelligence, Adversity Quotient (AQ), dan Trancendentyal Intelligence (TI). IQ
diperkenalkan pertama kali oleh William Stern. IQ adalah rasio untuk menguji
kecerdasan manusia tanpa memandang usianya menggunakan tes standar. Teori
kecerdasan Multiple Intelligence dari Howard Gardner, memandang manusia
memiliki keberagaman kecerdasan di antaranya : Logical-mathematical, Spatial,
Bodily-kinestetic, Musical, Interpersonal Intrapersonal, Naturalist. Teori
Emotional Quotient (EQ) dari Goelman. EQ adalah kecerdasan emosional itu
sebagai suatu kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan orang lain,
kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik
pada diri sendiri dan dalam hubungan orang lain Teori kecerdasan spiritual dari
Danah Zohar & Ian Marshal. SQ adalah ‘penghayatan keagamaan tidak hanya
sampai kepada pengakuan atas keberadan Tuhan, namun juga mengaku-Nya
sebagai sumber nilai-nilai luhur yang abadi yang mengatur tata kehidupan alam
semesta raya ini. Dalam Trancendental Intelligence (TI) hati menjadi pusat dan asal
pengakuan adanya Tuhan. Berbeda dengan Spiritual Quotient yang masih
menganggap berada di wilayah otak. Teori Adversity Quotient (AQ) dari Stoltz.
AQ adalah kemampuan manusia dalam mengatasi tantangan/kesulitan serta
keberhasilan yang dicapai.
Model-model pembelajaran yang dapat dikembangkan untuk menuntut
keaktifan dari peserta didik berdasarkan Bimbingan Teknis Impelementasi
Kurikulum 2013 SMK Tahun 2017 diantaranya : (Discovery Learning), model
Inquiry Learning Terbimbing dan Sains, model pembelajaran (Problem Based
Learning), model pembelajaran Project Based Learning (PjBL), model
pembelajaran Production Based Training/Production Based Education Training,
dan model pembelajaran Teaching Factory.

Keywords : mengembangkan kecerdasan, teori kecerdasan, multiple


intelelligences, IQ, EQ, SQ, adversity quotient, transcendental quotient

1
B. Latar Belakang
Dalam mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang Pancasilais,
kompeten, dan professional, peningkatan kualitas pendidikan dianggap paling tepat
sebagai jalan mencapai tujuan itu. Namun, peningkatan kualitas pendidikan
bukanlah jalan yang mudah, banyak ancaman/tantangan dan hambatan yang
merintanignya. Perlu dikerjakan oleh semua pihak, memanfaatkan sumber daya
pendidikan yang ada, dan konsistensi untuk tetap istiqamah dalam menjalankannya.
Oleh karena itu, pendidikan perlu dilihat sebagai suatu sistem yang dijalankan
oleh sinergitas subsistem-subsistem yang berada di dalamnya. Sebagai garis besar
nasional dan arah sistem pendidikan, bangsa Indonesia menetapkan tujuan bersama
untuk bersatu padu menggerakkan roda pendidikan nasional yang berfungsi
membentuk manusia Indonesia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berkhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
Negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Bab II Pasal 3 Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003).
Untuk membentuk kualitas sumber daya manusia Indonesia yang demikian
hebat (baik dimensi jasmani dan rohani), dikembangkan berbagai metode
pembelajaran dengan memanfaatkan hasil penelitian dari berbagai disiplin ilmu.
Agama, psikologi, filsafat, kesehatan, sosial, dan kebangsaan dijadikan dasar
pijakan untuk mencari, merumuskan, memilih, menetapkan, melaksanakan, dan
mengendalikan metode yang paling cocok diterapkan dalam lembaga pendidikan.
Setidaknya ada dua objek dalam manusia yang diteliti banyak cendekiawan,
yaitu otak dan hati. Asimov (dalam Permadi et. a., 2012:17) berpendapat bahwa
dalam otak manusia itu memiliki lebih dari 100 trilyun hubungan yang mungkin
dapat dikerjkan oleh otak dari 200 milyar sel otak yang dimiliki. Pantaslah
kemudian jika otak disebut-sebut sebagai “The Sleeping Giant (Raksasa tidur)” di
kalangan peneliti. Lebih lanjut, Asimov mengatakan bahwa mayoritas manusia
hanya menggunakan 1% saja dari kemampuan otaknya. Sungguh prosentese yang
sangat kecil.
Objek yang kedua adalah hati. Hati merupakan organ yang berada di dalam
dada. Dalam Surat Al-Hajj Allah SWT berfirman:

2
ْ َ ْ‫ضْفَت َ ُكونَْْلَ ُهمْْقُلُوبْْيَع ِقلُونَْْ ِب َهاْأَوْْآذَانْْيَس َمعُونَْْ ِب َهاْْۖفَإِنَّ َها‬
ْ‫لْت َع َمى‬ ْ ِ ‫ِيرواْفِيْاْلَر‬ ُ ‫أَفَلَمْْيَس‬
ِْ ‫صد‬
‫ُور‬ ُّ ‫وبْالَّتِيْفِيْال‬ُْ ُ‫ارْ َو َٰلَ ِكنْْت َع َمىْالقُل‬ َ ‫اْلَب‬
ُْ ‫ص‬
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai
hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang
dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata
itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada (Al-Hajj:46)
Dalam ayat tersebut, jelas disebutkan bahwa bahwa dengan hati juga dapat
memahami. Oleh Karena itu, hati juga menjadi sentral dari proses berfikir dan
bertindak.
Penelitian terhadap kedua objek itu (otak dan hati) memunculkan berbagai
teori-teori tentang kecerdasan yang sampai saat ini masih terus dilakukan penelitian
lanjutan untuk mengungkapkan rahasia yang berada di dalamnya. Teori-teori
tentang kecerdasan itu antara lain: teori Intelligence Quotient (IQ), Emotional
Quotient (EQ), Spiritual Quotient (SQ), Miltiple Intelligence, Adversity Quotient
(AQ), Social Quotient (SQ), dan Spiritual Quotient (SQ). Teori-teori tersebut
sampai saat ini dijadikan dasar untuk merumuskan berbagai kebijakan, model,
strategi, dan metode untuk meningkatkan kecerdasan manusia melalui pendidikan
baik melalui jalur informal, formal, maupun nonformal.
Adanya teori tersebut menjadi penting untuk dikaji lebih mendalam, agar
segala tindakan dalam upaya meningkatkan kecerdasan manusia menjadi terarah
dan sesuai dengan hasil penelitian yang tentu dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah. Di samping itu, nilai-nilai wahyu yang melandasi kajian tersebut harus
dijadikan sebagai pedoman utama, agar teori-teori tersebut tetap terkontrol nilai-
nilai keagamaannya.
Pembahasan makalah ini didasari atas permasalahan yang dirumuskan dalam
bentuk pertanyaan : “Bagaimana mengembangkan kecerdasan?”. Pertanyaan yang
mendasar ini, bertujuan agar dapat diperoleh jawaban yang berdasarkan atas nilai-
nilai wahyu (Al Qur’an) dan nilai-nilai ilmiah. Dengan jawaban itu, dapat
bermanfaat teoritis yakni menambah wawasan tentang cara efektif untuk
mengembangkan kecerdasan yang sesuai dengan jenis kecerdasannya. Selain itu,
secara praktis juga dapat membantu para praktisi pendidikan untuk memilih dan

3
menentukan metode yang tepat sesuai dengan tingkat perkembangan anak, materi,
dan perbedaan kecerdasan anak yang beragam di dalam proses pembelajaran
Pembahasan dilakukan dengan penelaahan sumber-sumber pustaka dan hasil-
hasil penelitian yang relevan tentang pengembangan kecerdasan (Library
Research).

C. Teori
Teori yang digunakan adalah: teori tentang otak dan kecerdasan; teori tentang
Intelligence Quotient dari William Stern; teori Multiple Intelligences dari Howard
Gardner; teori Emotional Quotient dari Daniel Goleman; teori Spiritual Quotient
dari Danah Zohar and Ian Marshal; teori Adversity Quotient dari Stoltz; dan teori
Trancendental Quotient dari KH. Toto Tasmara.

D. Pendekatan
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Yaitu pendekatan
untuk mengeksplorasi dan memahami gejala sentral (Crewell dalam Raco, tanpa
tahun: 7). Pendekatan ini bertujuan untuk memahami secara mendalam mengenai
suatu gejala, fakta atau realita.

E. Metode
Metode yang digunakan adalah metode library research (penelitian
kepustakaan). Metode library research atau yang dikenal dengan metode/penelitian
kepustakaan adalah “…serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode
pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan
penelitian” (Yayasan Obor Indonesia, 2008:3). Metode kepustakaan dipandang
relevan, karena Penulis mengungkap data-data, fakta, maupun gejala berdasarkan
hasil temuan dari berbagai literatur (daftar literatur dapat dilihat di daftar pustaka).

4
F. Sumber Data
Sumber data primer berasal dari berbagai literatur berupa buku-buku, jurnal,
hasil penelitian yang membahas tentang teori kecerdasan dan pengembangan
kecerdasan. Adapun sumber data sekunder didapatkan dari literatur lain sebagai
pelengkap di luar sumber primer.

G. Pembahasan Hasil
1. Otak dan Kecerdasan
Berbagai kajian sampai dengan penelitian tentang otak sudah banyak
dilakukan oleh banyak ahli filsafat, kesehatan, maupun psikolog. Antusiasme
tersebut, dilatarbelakangi oleh tingkat kuriositas yang sangat tinggi terhadap
bagian tubuh manusia yang disebut dengan istilah “otak”. Didasari dari
banyaknya pertanyaan yang timbul, seperti : apa fungsi otak itu? Apa yang
membuat otak disebut sebagai organ vital bagi manusia? Apa keistimewaan
otak manusia, jika dibandingkan dengan makhluk lain? Dan lain sebagainya.
Otak adalah benda putih yang lunak terdapat di dalam rongga tengkorak
yang menjadi pusat saraf (https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/otak, 2018).
Dalam pengertian lain, otak dalam bahasa Inggris disebut “brain” adalah pusat
sistem saraf/central nervous system (https://kamus.farmasi-
id.com/glossary/otak/, 2016). Dari dua pengertian tersebut, benang merahnya
adalah otak sebagai pusat dari sistem saraf. Dalam bahasa Inggris, ada dua
istilah yang merujuk pada otak. Yaitu “brain” dan “mind”. Brain is the organ
inside the head that controls movement, thought, memory and feeling
(https://www.oxfordlearnersdictionaries.com, 2018) Otak adalah organ yang
berada dalam kepala, otak tersebut mengontrol pergerakan (gerak-gerik),
berpikir (pemikiran), daya ingat dan perasaan. Mind is the part of a person that
makes them able to be aware of things, to think and to feel
(https://www.oxfordlearnersdictionaries.com). Mind adalah bagian dari
seseorang yang membuat mereka mampu menyadari hal-hal, untuk berpikir
dan merasakan.

5
Dari dua penjelasan definisi di atas, istilah brain merujuk pada otak
sebagai sebuah organ dalam kepala manusia. Sedangkan istilah mind, merujuk
pada kemampuan yang bisa dilakukan oleh otak, yaitu berpikir dan merasakan.
Penjelasan tersebut juga senada dengan pendapat Leonardo Da Vinci (dalam
Permadi et. al., 2012) yang membedakan antara otak (brain) dengan pikiran
(mind).
Hasil penelitian dalam bidang kedokteran, bahwa otak terdiri dari bagian
kanan yang disebut dengan otak kanan dan bagian kiri yang disebut dengan
otak kiri. Kedua belahan/bagian ini masing-masing memiliki fungsi yang
berbeda. Pasiak (2009:6) mengemukakan delapan perbedaan struktural antara
keduanya:
a. Secara ukuran, bagian kanan lebih besar dari bagian kiri. Warna kelabu
lebih banyak di bagian kanan;
b. Cortex auditory primer atau pengaturan pendengaran pada gyrus heschl
lebih besar pada bagian kanan. Ini berfungsi dalam kegiatan berbahasa
dan musik;
c. Nucleus posterior lateral (bagian thalamus) lebih besar pada bagian kiri.
Nucleus geniculatum medial lebih besar di bagian kanan.
d. Fissure sylvii lebih dalam pada belahan kiri. Sedangkan temporal-
parietal cortex lebih luas pada bagian kanan. Berhubungan dengan fungsi
spasial;
e. Daerah yang berhubungan dengan bahasa atau suara yang disebut dengan
broca, lebih terlihat pada 1/3 permukaan bagian kanan;
f. Neorutransmiter penyebarannya pada kedua bagian dengan jumlah yang
berbeda;
g. Bagian kiri lebih meluas ke belakang, sedangkan bagian kanan meluas
ke depan;
h. Penggunaan tangan yang dominan serta jenis kelamin, memperlihatkan
perbedaan yang lebih jelas.

6
Gambar I.A.1. Otak Bagian Kanan dan Bagian Kiri (google.co.id)

Secara keseluruhan dua bagian otak (kanan dan kiri) disebut neocortex
atau cortex cerebri. Otak ini memiliki fungsi untuk berpikir (Permadi et al.,
2012:30). Lebih lanjut, Permadi et al. menjelaskan dalam bukunya “Bagaimana
Mengembangkan kecerdasan”, bahwa otak neocortex ini merupakan pembeda
antara manusia dengan binatang. Karena melalui otak ini, manusia tidak hanya
mampu untuk berpikir, tetapi juga mampu memecahkan berbagai persoalan
yang dihadapi dalam kehidupannya.
Neocortex memiliki ukuran yang berbeda. Jika diperhatikan secara
seksama, peneliti menyatakan bahwa antara bagian kanan dan kiri memiliki
ciri-ciri yang berbeda, baik dari segi ukuran maupun warnanya. Bagian kiri
warnanya lebih abu-abu dan lebih besar bagian lobus occipitalis (belakang).
Bagian kanan lebih berat, dan lebih lebar bagian lobus frontalis-nya (depan),
dan lebih besar ukuran internal skull-nya. Kedua bagian dihubungkan dengan
corpus callosum, hippocampus, dan comisura anterior (Permadi et al.,
2012:31). Ketiga penghubung tersebut berfungsi mengirimkan informasi satu
sama lain, sehingga mampu berkolaborasi secara baik.
Hubungan otak terjadi dengan melibatkan milyaran atau bahkan triliunan
sel. Beberapa pendapat dari ahli tentang jumlah neuron adalah sebagai berikut:
a. Levitton berpendapat bahwa neuron otak manusia itu berjumlah 100
milyar;

7
b. Isaac Assimov menyatakan dua kali lipat lebih banya dari pendapat
Levitton, yaitu sebanyak 200 Milyar;
c. Yang paling banyak adalah pendapat dari David Samuels, bahwa neuron
dalam otak manusia paling sedikit 1 triliun (Permadi et al. 2012:35).
Dari berbagai pendapat yang dikemukakan, pantaslah jika manusia itu
disebut dalam Al-Qur’an sebagai Khalifah fil ardh. Keistimewaan yang
dianugerahkan oleh Allah SWT sebagai makhluq yang dibekali potensi untuk
berpikir begitu dahsyatnya. Berbagai hasil penelitian sampai saat ini, diakui
oleh banyak ilmuwan belum mampu menguak secara pasti sampai di mana
sebenarnya kemampuan otak manusia itu bisa digunakan. Dengan fakta ini,
jelaslah bahwa headline yang ditulis Pasiak (2009) dalam bukunya yang
berjudul “Unlimited Potency Of The Brain”, bahwa otak manusia diistilahkan
dengan “A Sleeping giant (raksasa yang tertidur)”. Pernyataan ini didasari oleh
realitas bahwa manusia belum mampu menggunakan otaknya secara optimal.
Lebih lanjut Pasiak (2009) mengungkapkan bahwa konon manusia hanya
menggunakan kemampuan otaknya sebesar 1-10% saja.
Selain neocortex, bagian otak lain adalah sistem limbik. Secara anatomis,
sistem limbik terletak dibawah neocortex dan berukuran lebih kecil. Meski
lebih kecil sistem limbik disebut sebagai otaknya otak. Sistem limbik disebut
juga dengan The Emotional Brain (Permadi et al., 2012:31). Berbeda dengan
neocortex yang berperan sebagai otak rasional, sistem limbik berperan dalam
mengolah emosi manusia.

Gambar I.A.2. Sistem Limbik (https://google.com)

8
Optimalisasi otak berhubungan dengan peningkatan kecerdasan. Karena
pada dasarnya, otak merupakan alat manusia untuk berpikir, merasa,
mengambil keputusan, berperilaku, bersikap, dan aktivitas-aktivitas fisik dan
psikis lainnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring, istilah
kecerdasan disamakan dengan intelegensi. Dalam pengertian yang kedua,
“kecerdasan itu adalah kesempurnaan perkembangan akal budi (seperti
kepandaian, ketajaman pikiran)” (https://kbbi.kemdikbud.go.id/, 2018). Dalam
oxford learner’s dictionary online (2018), intelligence didefinisikan sebagai
“the ability to learn, understand and think in a logical way about things”.
Kemampuan untuk belajar, memahami dan berpikir dengan cara yang logis
tentang berbagai hal. Armstrong (2002:4) memberikan pengertian bahwa
kecerdasan itu “Merupakan kemampuan untuk menangkap situasi baru serta
kemampuan untuk belajar dari pengalaman masa lalu”. Berdasarkan beberapa
definisi tersebut, Penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
kecerdasan itu adalah kemampuan yang dimiliki manusia untuk menerima,
berpikir, dan memahami sesuatu yang baru didapatnya atau sesuatu yang sudah
dialaminya.
Berbagai kajian dalam literatur yang membahas tentang kecerdasan,
bahwa saat ini Intelligence Quotient (IQ) tidak lagi menjadi ukuran baku
seseorang dikatakan cerdas atau tidak. Banyak hasil penelitian menunjukkan
bahwa orang-orang yang berhasil didominasi oleh orang yang IQ-nya rendah.
Hasil penelitian ini semakin memperkuat anggapan bahwa masih banyak
kecerdasan-kecerdasan lain yang bisa di explore dan dikembangkan selain
kecerdasan IQ. Penulis tidak menganggap kecerdasan IQ saat ini menjadi tidak
penting. Namun, kecerdasan IQ bukanlah satu-satunya ukuran untuk
menentukan kecerdasan seseorang.
Kebanyakan orang berkecenderungan tidak memberikan penghargaan
yang sama atau bahkan tidak sama sekali, kepada orang-orang yang tidak pintar
dalam matematika (kemampuan logika) (Gardner dalam Soleh et al., 2016:22).
Dalam teori MI Gardner yang dikutip Soleh (2016), setidaknya ada Sembilan
kecerdasan yang dimiliki seseorang. Kecerdasan itu adalah: linguistik-verbal,

9
matematis-logis, visual-spasial, kinestetik, irama-musik, interpersonal,
intrapersonal, naturalis, dan eksistensional (Soleh et al., 2016:25-31).
Berdasarkan teori MI Gardner ini, jelaslah bahwa tes IQ hendaknya tidak
dijadikan sebagai instrumen untuk mengukur seberapa cerdas seseorang.
Karena tes IQ hanya mengukur kemampuan matematis-logis saja, sementara
masih ada delapan kecerdasan lain yang belum diukur.
Dikaitkan dengan kajian otak secara anatomis beserta fungsinya, terdapat
relevansi yang jelas dengan teori MI Gardner. Berikut ini visualisasi ilustrasi
keterkaitan tersebut.

Gambar I.A.3. Otak Bagian Kanan dan Bagian Kiri dan fungsinya
(https://cicendekia.files.wordpress.com/2013/02/otak.png)

Ilustrasi di atas menunjukkan fungsi-fungsi dari otak bagian kanan dan


otak bagian kiri. Otak bagian kiri berfungsi untuk kemampuan yang bersifat
matematis-logis, linguistik-verbal, berpikir sistematis dan analisis. Sementara
otak bagian kanan, berfungsi untuk kemampuan visual-spasial dan irama
musik. Perbedaan-perbedaan struktur pada masing-masing bagian
menghasilkan perbedaan fungsi pula. Pasiak (2009:7) membedakan fungsi
tersebut sebagai berikut:

10
Belahan Otak Otak Bagian Kiri Otak Bagian Kanan
Pikiran Abstrak, linier, analitik. Konkret, holistic.
Gaya berpikir Rasional, logis, analitis. Intuitif, artistik, sintesis.
Bahasa Kaya kata-kata, kalimat dan Tidak ada tata bahasa dan
tata bahasa yang baik kalimat, sedikit kata-kata
Bentuk pengungkapan bahasa Aspek leksikal dan sintaksis Nuansa emosi dari bahasa
Kemampuan memutuskan Introspeksi, berkehendak, Low sense of self, kurang
berinisisatif, mengenal diri, inisiatif, berfokus pada
berfokus pada “pohon” “hutan”
Kekhususan fungsi Membaca, menulis, Musik, mimpi yang dalam,
aritmatika, keterampilan imajinasi, getalt recognition
motorik dan sensorik
Waktu Sekuensi, terukur. “Lived” time, tak berwaktu.
Kemampuan spasial Kurang bagus Bagus sekali, terutama untuk
ruang dan gambar
Lapangan pandang Kanan Kiri
Ekspresi pikiran Verbal (kata-kata). Nonverbal (bahasa tubuh)

Tabel I.A.1 Perbedaan struktur menghasilkan perbedaan fungsi

2. Jenis-Jenis Kecerdasan
Teori tentang kecerdasan yang saat ini berkembang di dunia pendidikan
adalah teori Multiple Intelligences (MI) dari Gardner. Gardner menjawab
beberapa persoalan kesalahpahaman yang timbul di kalangan para pendidik.
Permasalahan tersebut diistilahkan sebagai missunderstandings. Dia mengutip
dari salah satu artikel dengan judul “Reflections on Multiple Intelligences :
Myths and Realities”, yang isinya memperingatkan para pendidik tentang
beberapa hal sebagai berikut:
a. “An intelligence is not the same as sensory system”. Kecerdasan itu tidak
sama dengan sistem sensorik.
b. “An intelligence is not learning style”. Kecerdasan bukan gaya belajar.
c. “An intelligence is not the same as a domain or discipline”. Kecerdasan
tidak sama dengan domain atau disiplin.
d. “People are not born with a given amount intelligence, which serves as
some kind of limit”. Orang tidak dilahirkan dengan kecerdasan yang
diberikan, yang berfungsi sebagai semacam batasan.
e. “An individual should not be described, except in informal shorthand, as
a “spatial” person, a “musical” person, or “lacking interpersonal
intelligence”. Seseorang tidak boleh dideskripsikan, kecuali dalam

11
tulisan pendek informal, sebagai orang “spasial”, orang “pemusik”, atau
kurang kecerdasan interpersonal”.
f. “There are no official MI or Gardner Schools. Many principles, goals,
and methods are consistent with the principal assertions of MI theory”
(Chen, 2009:7). Tidak ada MI atau Sekolah Gardner secara resmi.
Namun banyak prisip, tujuan, dan metode yang konsisten dengan asas
utama teori MI.
Howard Gardner mengklasifikasikan kemampuan manusia ke dalam
delapan katogeri yang komprehensif (kecerdasan), yaitu sebagai berikut:
a. Linguistic
“The capacity to use words effectively, wether orally (e.g., as a
storyteller, orator, or politician) or in writing (e.g., as a poet, playwright,
editor, or journalist)” (Armstrong, 2009:6). Kapasitas untuk menggunakan
kata-kata secara efektif, baik secara lisan (misalnya sebagai pendongeng,
orator, atau politisi) atau dalam bentuk tulisan (misalnya, sebagai penyair,
penulis, drama, editor, atau jurnalis).
Kemampuan linguistic ini meliputi beberapa kemampuan, yaitu
kemampuan dalam memanipulasi tata bahasa (syntax), sistem bunyi
(phonology), makna (semantics), penggunaan bahasa dan aturan
penggunaannya, serta keterampilan berbahasa (pragmatic dimension)
(Soleh, 2016:26). Beberapa kegunaan dari kemampuan tersebut, termasuk
juga untuk rhetoric, mnemonics, explanation, dan metalanguage.
b. Logical-mathematical
“The capacity to use numbers effectively (e.g., as a mathematician, tax
accountant, or statistician) and to reason well (e.g) as a scientist, computer
programmer, or logician)” (Armstrong, 2009:6). Kapasitas untuk
menggunakan angka-angka secara efektif (misalnya, sebagai ahli
matematika, akuntan pajak, atau ahli statistik) dan ahli pikir (misalnya,
sebagai ilmuwan, programmer komputer, atau ahli logika.
Sebagai kemampuan manusia yang pertama kali ditemukan serta diteliti
oleh banyak ilmuwan, kapasitas ini merupakan kapasitas yang paling mudah

12
untuk diukur (measurable). Seseorang dengan kecerdasan logika-matemika
yang menonjol, cenderung tertarik terhadap kegiatan-kegiatan eksplorasi
dan menuntut penjelasan logis dari setiap pertanyaan yang diajukan (Soleh,
2016:27).
c. Spatial
“The ability to perceive the visual-spatial world accurately (e.g., as a
hunter, scout, or guide) and to perform transformations upon those
perceptions (e.g., as an interior decorator, architect, artist, or inventor)”
(Armstrong, 2009:7). Kemampuan untuk memahami dunia visual-spasial
secara akurat (misalnya, sebagai pemburu, pengintai, atau pemandu) dan
untuk melakukan transpormasi pada persepsi tersebut (misalnya, sebagai
dekorator interior, arsitek, artis, atau penemu.
Kecerdasan ini mencakup sensitivitas seseorang terhadap warna, garis,
bentuk, jarak, dan hubungan diantara elemen-elemen tersebut. Anak dengan
kecerdasan visual-spasialnya menonjol cenderung berpikir imajinatif dan
kreatif.
d. Bodily-kinestetic
Expertise in using one’s whole body to express ideas and feelings (e.g.,
as an actor, a mime, an athlete, or a dancer) and facility in using one’s
hands to produce or transform things (e.g., as a craftperson, sculptor,
mechanic, or surgeon)” (Armstrong, 2009:7).
Keahlian dalam menggunakan seluruh tubuh untuk mengekpresikan ide
dan perasaan (misalnya, sebagai aktor, seorang pantomime, atlet, atau
penari) dan kemampuan seseorang dalam menggunakan tangannya untuk
menghasilkan atau mengubah sesuatu (misalnya, sebagai pengrajin,
pematung, mekanik, atau ahli bedah).
Kecerdasan gerak kinestetik ini berada pada otak serebelum, otak
keseimbangan dan motor korteks (Gardner dalam Soleh, 2016:28).
Kecerdasan ini juga mencakup pada kemampuan fisik yang spesifik seperti
koordinasi, keseimbangan, kekuatan dan kecepatan.

13
e. Musical
“The capacity to perceive (e.g., as a music aficionado), discriminate
(e.g., as a music critic), transform (e.g., as a composer), and express (e.g.,
as a performer) musical forms” (Armstrong, 2009:7). Kapasitas untuk
memahami (misalnya, sebagai penggemar musik), mendiskriminasi
(misalnya, sebagai kritikus musik), mengubah (misalnya, sebagai
komposer), dan mengekspresikan (misalnya, sebagai pemain) bentuk-
bentuk musik.
Dari pengertian Armstrong tersebut, bahwa terdapat tahapan-tahapan
kecerdasan dalam musical intelligence. Mulai dari hanya sekedar penikmat,
kritikus, sampai dengan pemain musik itu sendiri. Dengan demikian,
kecerdasan musikal tidak terbatas pada mampu atau tidaknya seseorang
memainkan alat musik.
Kecerdasan ini juga mencakup di dalamnya sensitivitas irama, pitch
atau melodi, dan nada.
f. Interpersonal
“Self-knowledge and the ability to perceive and make distinctions in the
moods, intentions, motivations, and feelings of other people” (Armstrong,
2009:7). Pengetahuan diri dan kemampuan untuk memahami dan membuat
perbedaan dalam suasana hati, niat, motivasi, dan perasaan orang lain.
Seseorang yang memiliki kecerdasan interpersonal mampu mengetahui
dan cara bagaimana berinteraksi dengan orang lain (Soleh, 2016:29).
Sehingga mampu menjalin hubungan baik dengan orang di sekitarnya
karena berperilaku baik dan ramah.
Kecerdasan interpersonal dalam istilah lain disebut dengan kecerdasan
sosial. Perbedaannya hanya dalam penyebutannya saja (Soleh, 2016:29).
Istilah kecerdasan sosial ini juga digunakan oleh Tony Buzan dalam
bukunya yang berjudul “The Power Of Social Intelligence” (2007:142). Dia
menjelaskan tentang beberapa kualitas dan karakteristik yang penting dalam
kecerdasan sosial, diantaranya:
1) Rasa percaya diri untuk menjadi diri sendiri.

14
2) Visi hidup-untuk mengetahui arah hidup.
3) Rasa perhatian terhadap orang lain yang melekat pada diri.
4) Menghormati orang lain.
5) Empati dan kemampuan membaca dan menggunakan bahasa tubuh.
6) Menyadari kapan pantas berbicara dan kapan harus mendengarkan.
7) Sikap yang positif.
g. Intrapersonal
“Self-knowledge and the ability to act adaptively on the basis of that
knowledge” (Armstrong, 2009:7). Pengetahuan diri dan kemampuan untuk
bertindak secara adaptif atas dasar pengetahuan itu. Menurut Lwin (dalam
Soleh, 2016:30), ‘kecerdasan interpersonal adalah kecerdasan yang
berhubungan dengan kemampuan memahami diri sendiri dan tanggung
jawab pada kehidupan diri sendiri’.
Kecerdasan ini dipandang sebagai kecerdasan yang paling sulit untuk
dimengerti oleh Mulyadi (2012:96), jika di bandingkan dengan kecerdasan
lainnya. Kesulitan tersebut karena kecerdasan ini berusaha untuk
memahami diri sendiri. Hasil dari memahami diri sendiri digunakan untuk
memahami orang lain. Jika dalam Islam, kita mengenal istilah ibda’ bin
nafsi. Yakni memulai segala sesuatu dari diri sendiri dan mengevaluasi
kemajuan diri secara mandiri.
Setidaknya ada tiga hal yang didapat dari hasil pemahaman terhadap
diri sendiri itu. Pertama, mengetahui kekurangan dan kelebihan diri; kedua,
mengetahui kebutuhan diri untuk berprestasi (needs for achievement) yang
timbul dari refleksi diri, motivasi, etika/moral kepribadian, empati dan
altruisme; ketiga, sifat mementingkan orang lain yang ditimbulkan oleh
kesadaran diri (Mulyadi, 2012:96).
h. Naturalist
“Expertise in the recognition and classification of the numerous
species-the flora and fauna-of an individual’s environment” (Armstrong,
2009:7). Keahlian dalam pengakuan dan klasifikasi banyak spesies-flora
dan fauna-dari lingkungan individu. Anak-anak yang memiliki kecerdasan
ini, cenderung menyukai flora atau fauna yang ia temukan di
lingkungannya.

15
Itulah kedelapan kecerdasan berdasarkan teori Multiple Intelligences
dari Howard Gardner. Kini, teori ini menjadi salah satu teori primadona
yang digunakan di seluruh dunia. Ini terbukti dengan begitu banyaknya
literatur yang secara khusus membahas tentang teori hingga penerapan teori
ini secara praktis terutama dalam lembaga pendidikan formal di seluruh
belahan dunia.
Armstrong (2009) mengungkap alasan kenapa Howard Gardner
memakai istilah intelligences daripada talents atau aptitudes. Menurutnya,
Gardner menyadari betul bahwa orang-orang yang dijumpai telah terbiasa
mendengar sebuah perkataan ‘Dia tidak begitu cerdas, tetapi memiliki bakat
luar biasa untuk musik’. Penggunaan istilah intelligence menjadi hal yang
mahal dan penuh kehati-hatian untuk disematkan pada seseorang. Ini
terbukti bahwa orang yang bisa memainkan alat musik, menyanyi, dan/atau
menggubah sekalipun belum masuk pada kategori intelligence. Berbeda hal-
nya dengan orang yang cerdas dalam matematika, fisika, atau scientist,
tanpa ragu-ragu mereka disematkan sebagai orang-orang intelligence.
Setidaknya itulah alasan Gardner memandang bahwa dia tidak
menggunakan istilah aptitudes atau talents untuk teorinya. Dengan harapan,
bahwa kecerdasan seseorang itu tidak dapat disamakan, masing-masing
memiliki kekhasan dan kemampuan masing-masing sesuai dengan bakat
dan upaya nya untuk belajar mengembangkan kemampuannya tersebut.
Weinrech-Haste (1985:48) sebagaimana dikutip Armstrong (2009:8)
menuliskan satu jawaban menarik dari Gardner dalam sebuah sesi
wawancara.
‘I deliberately being somewhat provocative. if i'd said that there's
seven kinds of competencies, people would yawn and say 'Yeah, Yeah'.
but by calling them 'intelligences', i'm saying that we've tended to put
on a pedestal one variety called intelligence, and there's actually a
plurality of them, and some are things we've never thought about as
being 'intelligence' at all’.
Gardner mengatakan : saya sengaja menjadi agak provokatif. Jika saya
mengatakan ada tujuh macam kompetensi, orang-orang akan menguap
sambil berkata ‘Iya, ‘Iya. Tetapi dengan menyebut bakat itu sebagai

16
‘kecerdasan’. Saya mengatakan bahwa kita terlalu cenderung untuk tetap
pada pendirian pada satu jenis saja dari kecerdasan, padahal begitu banyak
dan beberapa hal itu tidak pernah kita pikirkan sebagai ‘kecerdasan’ sama
sekali.
Berdasarkan jawabannya tersebut, Penulis berpendapat bahwa Gardner
berupaya menyadarkan semua orang tentang kecerdasan. Kecerdasan itu
tidaklah hanya diukur dari segi intelektual saja, namun masih ada tujuh
kecerdasan lain yang sering terabaikan oleh banyak orang. Perubahan
mindset tersebut setidaknya akan berdampak pada dua hal. Pertama, dampak
yang terjadi pada personal. Orang akan lebih mampu menghargai potensi
diri sendiri dengan berusaha untuk mengembangkannya secara mandiri.
Kedua, dampak yang terjadi pada orang lain. Seseorang akan lebih mampu
menghargai potensi orang lain sesuai dengan kemampuan dan bakatnya
masing-masing. Untuk lebih jelasnya teori Multiple Intelligences dari
Howard Gardner divisualisasikan dalam gambar berikut ini.

Gambar I.B.1 Teori Multiple Intelligences (MI) dari Howard Gardner


(https://www.google.com)

17
Selain teori Multiple Intelligences (MI) dari Howard Gardner, teori-teori
lain tentang kecerdasan yang sudah dikenal adalah Intelligence Quotient (IQ),
Emotional Quotient (EQ), Spiritual Quotient (SQ), dan Adversity Quotient
(AQ).
Konsep IQ diperkenalkan pertama kali oleh soerang filsuf dan psikolog
Jerman yang bernama Wiliam Stern. Dalam istilah Jerman disebut dengan
intelligenz-quotient (Imlahi dalam Fazrin, 2017:36). Fazrin (2017:36)
mendefinisikan IQ sebagai “…rasio untuk menguji kecerdasan manusia tanpa
memandang usianya menggunakan tes standar”. Konsep ini berkembang mulai
abad 20 dari dunia psikologi (Permadi, 2012:8).
Menurut Fazrin et. al., (2017:36) IQ itu berkaitan dengan intelegensi
intelegensi itu merupakan perwujudan dari beberapa kemampuan primer
(Thurstone dalam Fazrin, 2017:36) sebagai berikut:
a. Kemampuan berbahasa (verbal comprehension);
b. Kemampuan mengingat (memory);
c. Kemampuan nalar atau berpikir (reasoning);
d. Kemampuan tilikan ruangan (spatial factor);
e. Kemampuan bilingan (numerical ability);
f. Kemampuan menggunakan kata-kata (word fluency);
g. Kemampuan mengamati dengan cepat dan cermat (perceptual speed).
Jika ditelaah dari penjelasan IQ di atas, maka ada kesamaan kecerdasan
dengan teori MI Gardner sebagaimana diuraikan sebelumnya. Jika IQ
memberikan kemampuan untuk memecahkan persoalan logis, maka
kecerdasan yang yang berikutnya yaitu Emotional Quotient (EQ) memberikan
kemampuan untuk memiliki rasa empati, cinta, motivasi dan kemampuan untuk
menanggapi kebahagiaan dan kesedihan (Permadi, 2012:8).
Lalu apa itu Emotional Quotient (EQ)? kecerdasan emosional
diperkenalkan oleh Daniel Goleman (1995). Goelman mendefinisikan
kecerdasan emosional itu sebagai suatu kemampuan mengenali perasaan kita
sendiri dan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan

18
mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan orang lain
(Pietono, 2014:89). Dari definisi tersebut, Pietono (2014:89-90) menjelaskan
lebih lanjut, bahwa setidaknya ada empat dimensi yang terkandung:
a. Adanya kefasihan emosional. Yaitu mengenal, menerima dan
mengekspresikan emosi, dilakukan dengan cara mampu membedakan
emosi orang lain, baik melalui ekspresi maupun wajah dan perilaku.
b. Pelibatan emosi dalam kegiatan intelektual. Dilakukan dengan cara
mampu mengubah rasa optimis menjadi pesimis.
c. Memahami dan menganalisis emosi. Mampu mengetahui terjadinya
perubahan emosi pada seseorang.
d. Dapat me-manage emosinya sendiri maupun orang lain dengan cara
meringankan emosi negatif dan memperkuat emosi positif.
Salovey dan koleganya John Mayer (Goleman, 2006), menguraikan
kecerdasan emosional itu ke dalam lima domain:
a. “Knowing one’s emotions. Self awareness-recognizing a feeling as it
happens-is the keystone of emotional intelligence”. Mengetahui emosi
seseorang. Kesadaran diri-mengenali perasaan seperti yang terjadi-
adalah kunci dari kecerdasan emosi.
b. “Managing emotions. Handling feelings so they are appropriate is an
ability that builds on self-awareness”. Mengelola emosi. Menangani
perasaan-perasaan sehingga sesuai adalah kemampuan yang dibangun
berdasarkan kesadaran diri.
c. “Motivating oneself”. Memotivasi diri sendiri.
d. “Recognizing emotions in others. Emphaty, another ability that builds on
emotional self-awareness, is the fundamental “people skill”. Mengenali
emosi orang lain. Empati, kemampuan lain yang dibangun di atas
kesadaran diri, itu merupakan keterampilan setiap orang yang mendasar.
e. “Handling relationships. The art of relationships is, in large part, skill
in managing emotions in others”. Menangani hubungan. Sebuah seni
relasi merupakan sebagian besar dari keterampilan dalam mengelola
emosi dalam diri orang lain.

19
Senada dengan definisi Goleman, Abidzar (2016:25) memberikan
pengertian bahwa “kecerdasan EQ adalah kemampuan dan kemauan untuk
merasakan.” Ada dua kalimat yang disandingkan oleh Abidzar. Pertama,
“kemampuan” dan kedua, “kemauan”. Kemampuan berarti kesanggupan,
kecakapan, atau kekuatan (https://kbbi.kemdikbud.go.id), seseorang memiliki
kemampuan untuk dapat mengenali perasaan dirinya sendiri dan orang lain.
Kemampuan saja tidak cukup, apabila tidak ditopang dengan “kemauan”. Hal
yang mendorong terwujudnya kemampuan itu adalah dengan adanya kehendak
untuk berupaya mengenali dirinya dan orang lain secara serius. Keseriusan itu
penting, karena mengindikasikan kesungguhan seseorang.
Orang yang memiliki kecerdasan EQ dapat lebih memahami orang lain
sebagaimana ia memahami dirinya (Abidzar, 2016:25). Ia mampu mengontrol
emosi-emosi negatif untuk tidak berdampak negatif bagi dirinya. Justru emosi
negatif tersebut dapat diubah menjadi positif, karena kecerdasan yang ia miliki.
Tidak heran jika kita sering menyebutnya dengan orang yang penyabar.
Penggagas kecerdasan lain berikutnya adalah pasangan suami-isteri Danah
Zohar dan Ian Marshal yang merumuskan kecerdasan spiritual atau dikenal
dengan Spiritual Quotient (SQ). Dari hasil penelitiannya mereka menemukan
bahwa “ternyata manusia adalah makhluk yang selalu mencari makna”
(Abidzar, 2016:26).
Pietono (2014:90) mengutip beberapa pengertian para ahli tentang
kecerdasan spiritual, diantaranya pengertian dari Brightman (1956).
Menurutnya kecerdasan spiritual itu adalah ‘penghayatan keagamaan tidak
hanya sampai kepada pengakuan atas keberadan Tuhan, namun juga mengaku-
Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur yang abadi yang mengatur tata kehidupan
alam semesta raya ini.
Dalam pandangan penggagasnya, kecerdasan spiritual merupakan
kecerdasan yang malah menjadi kecerdasan utama jika dibandingkan dengan
kecerdasan lainnya. Seseorang dengan IQ yang tinggi hanya mampu
mengkalkulasi dan merasakan dengan tepat, namun tidak dapat memperoleh
makna dibalik realitas kehidupan. Dengan kata lain, IQ dan EQ tidak akan

20
memiliki makna apa-apa jika tanpa kecerdasan spiritual. Adanya kompleksitas
dalam kecerdasan manusia, maka dituntut untu memiliki IQ, EQ dan SQ yang
kuat untuk dapat mengerti akan makna kehidupan ini.
Dari hasil penelitian VS. Ramachandran ditemukan bahwa dalam otak
setiap manusia terdapat satu titik yang disebut dengan God Spot atau titik
Tuhan. Ini merupakan wilayah ketuhanan sebagai pusat spiritual yang terdapat
dalam struktur otak manusia (Permadi, 2012:10). Penelitian ini semakin
membuktikan bahwa manusia itu memiliki potensi mengakui kekuatan yang
ada di luar dirinya, dan cenderung tunduk kepada kekuatan itu. Asumsi ini
sebagaimana pendapat para filsuf terdahulu.
Dilihat dari pengertian dan karakteristik SQ, Penulis berasumsi bahwa ada
persamaan yang identik dengan teori kecerdasan ruhaniah (Trancendental
Intelligence) K.H. Toto Tasmara. Ruhaniah dalam bahasa Indonesia disebut
dengan rohani. Rohani berkaitan dengan roh atau lawan dari jasmani yang
sifatnya tidak nampak. Manusia diakui memiliki kedua dimensi ini.
Kecerdasan ruhaniah dapat dilihat dari seberapa takwa seseorang kepada Allah
(Tasmara, 2001:1). Karena takwa merupakan indikator dari kecerdasan ini.
Takwa diartikan sebagai perilaku menaati segala perintah Allah SWT dan
menjauhi larangan-Nya. Orang yang takwa menurut Tasmara adalah orang
yang memiliki visi, merasakan kehadiran Allah SWT, senantiasa berdzikir dan
berdo’a, sabar, cenderung pada kebaikan, memiliki empati, berjiwa besar, dan
melayani.
Jika dalam SQ terdapat God Spot yang disebut-sebut sebagai wilayah
ketuhanan dalam struktur otak manusia, maka dalam Trancendental
Intelligence (TI) hati menjadi pusat dan asal pengakuan adanya Tuhan. Hati
atau dalam bahasa Arab disebut “qalbu” memiliki dimensi fu’ad, shadr, dan
hawaa. Fu’ad adalah potensi dari qalbu yang berkenaan dengan inderawi
(Tasmara, 2001:96). Memiiki kemampuan untuk mengolah berbagai informasi
yang dihasilkan oleh inderawi. Hubungannya dengan akal manusia, di mana
fu’ad memberikan ruang bagi akal bertafakur agar ilmu pengetahuan yang
dihasilkannya menjadi ilmu pengetahuan bermoral. Proses menghasilkan ilmu

21
pengetahuan yang bermoral itu, karena prinsip-prinsip yang digunakan tidak
lepas dari Al-Qur’an sebagai sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan.
Dalam Surat Al-Furqan ayat (32) Allah SWT berfirman:
“Demikianlah supaya kami perkuat hatimu (fu’adaka) dengannya (Al-
Qur’an) dan kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar).”
Shadr adalah potensi dari qalbu yang berfungsi untuk merasakan,
menghayati atau mempunyai fungsi emosi (Tasmara, 2001:96). Tersimpan di
dalamnya kemauan/hasrat kepada kebajikan begitu juga sebaliknya kepada
keburukan. Dimensi ini harus dijaga kesucian dan kemurniannya agar
senantiasa tetap istiqomah dalam kebajikan. Shadr menyimpan kenangan-
kenangan masa lalu dan pengalaman-pengalaman hidup yang pernah terjadi.
Shadr dapat merasakan semua kegagalan dan keberhasilan yang telah dicapat
pada masa itu sebagai cermin dan pelajaran.
Dimensi hawaa merupakan dimensi yang menggerakkan keinginan. Di
dalamnya terdapat ambisi, kekuasaan, pengaruh dan keinginan (Tasmara,
2001:96). Oleh karena demikian, dimensi ini cenderung mendorong manusia
pada hal-hal hedonis atau mementingkan diri sendiri. Begitu berbahaya jika
seseorang tidak bisa mengatasinya maka akan terjerumus pada kesesatan.
Orang yang tergiur dengan kemewahan dunia akan timbul perilaku serakah,
menghalalkan segala cara, dan sombong. Inilah yang selalu Allah ingatkan
dalam firman-Nya untuk selalu ingat kepada –Nya dan tidak tergoda pada hal-
hal yang justru akan menjerumuskannya pada kebatilan. Dalam Surat An-
Nisaa’ ayat (135) Allah SWT berfirman:
“Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari
kebenaran.”
Meski ada perbedaan pusat di mana sebenarnya wilayah Tuhan itu, namun
kedua teori tersebut sama-sama merujuk pada agama untuk pengembangan
kecerdasannya. Agama merupakan lahan yang paling subur yang bisa dijadikan
sumber dalam menumbuhkembangkan kecerdasan spiritual (Permadi,
2012:13).

22
Wilayah ketuhanan dalam struktur otak manusia dalam teori SQ
didasarkan atas hasil penelitian tentang otak manusia. Sedangkan pusat
ketuhanan yang ada dalam qalbu dalam teori TI berdasarkan kajian dari ayat-
ayat dalam Al-Qur’an Al Karim. Jika dibandingkan, asumsi Penulis
beranggapan tidak ada yang bertolak belakang satu sama lainnya. Jika diteliti
lebih lanjut kemungkinan akan terungkap kesesuaian diantara keduanya.
Sehingga bisa saja sampai pada satu kesimpulan yang sama.
Dalam aplikasinya, kecerdasan-kecerdasan tersebut digunakan untuk
menjalani kehidupan di dunia dan sebagai bekal untuk di akhirat. Berbagai
macam orang ditemukan di sekitar kita. Ada orang yang sukses duniawinya,
namun lemah dalam mengontrol dirinya dan sebaliknya. Kesuksesan dan
kegagalan adalah dua hal yang saling beriringan dalam kehidupan. Tidak
banyak orang berhasil mengatasi kegagalan. Oleh karena itu, kemampuan
dalam mengatasi masalah atau sampai berujung pada kegagalan dipandang
suatu kecerdasan oleh Stoltz.
Dalam pandangan Stoltz, kemampuan manusia dalam mengatasi
tantangan/kesulitan serta keberhasilan yang dicapai disebut dengan Adversity
Quotient (AQ). Keberhasilan yang didapat seseorang dalam
karir/jabatan/pekerjaan atau dalam setiap lini kehidupan merupakan hasil dari
AQ seseorang. Setidaknya ada 4 fungsi dari AQ (Stoltz, 1997:7):
a. “AQ tells you how well you withstand adversity and your ability to
surmount it.” AQ memberi tahu anda seberapa baik anda menghadapi
kesulitan dan kemampuan anda untuk mengatasinya.
b. “AQ predicts who will overcome adversity and who will be crushed.”
AQ memprediksi siapa yang akan mengatasi kesulitan dan siapa yang
akan dihancurkan.
c. “AQ predicts who will exceed expectations of their performance and
potential and who will fall short.” AQ memprediksi siapa yang akan
melampaui ekspektasi kinerja dan potensi mereka dan siapa yang akan
gagal.

23
d. “AQ predicts who gives up and who prevails.” AQ memprediksi siapa
yang menyerah dan siapa yang menang.
Kaitannya dengan proses belajar, anak-anak mesti diberikan pengetahuan
tentang AQ ini. Dengan harapan, mereka kelak akan menjadi orang yang
berhasil bermental tangguh (Climber) dan tak pernah putus asa (Quitter).

3. Metode Pengembangan Kecerdasan


Dari pembahasan tentang jenis-jenis kecerdasan di atas, dapat kita
identifikasi bahwa begitu banyak teori tentang kecerdasan tersebut. Ini
menunjukkan bahwa manusia belum mampu mengungkap rahasia besar
tentang anugerah yang Allah SWT berikan. Ilmuwan yang meneliti tentang
otak, bahkan mereka berbeda pendapat mengenai berapa banyak sel yang ada
di dalamnya. Semakin banyak jumlah sel, semakin besar pula potensi yang bisa
dilakukan oleh manusia jika ia bisa mengembangkannya.
Ilmuwan yang meneliti tentang hati, baru sampai pada dimensi dan potensi
yang bisa dikembangkan. Penulis meyakini masih begitu banyak sekali rahasia
besar yang belum dapat diungkap sampai saat ini tentang keistimewaan
manusia. Sesuai dengan petunjuk Allah SWT, bahwa manusia merupakan
ciptaan-Nya dalam bentuk yang paling sempurna (laqad kholaqnal insana fi
ahsanit taqwim).
Selanjutnya, lalu bagaimana berbagai kecerdasan yang telah berhasil
diungkap itu dikembangkan menurut para ahli? Pembahasan mengenai metode
ini akan disesuaikan dengan jenis kecerdasan masing-masing.
a. Metode pengembangan Multiple Intelligence (MI) Howard Gardner
1) Kecerdasan Linguistik. Untuk mengembakan kecerdasan ini pada
anak dapat dilakukan sejak dini dengan cara sebagai berikut:
a) Memperdengarkan dan memperkenalkan lagu anak-anak.
b) Bermain peran.
c) Berdiskusi tentang berbagai hal yang ada di sekitar anak.
d) Membacakan cerita atau mendongeng sesuai situasi dan kondisi.
e) Mengajak anak berbicara sejak bayi.
f) Permainan tebak kata.
g) Memperkaya kosa kata.
h) Membuat pantun dan puisi sederhana (Madyawati, 2016:23).

24
2) Kecerdasan Logika-Matematis. Cara yang dapat dikembangkan untuk
kecerdasan ini adalah:
a) Memperkaya pengalaman berinteraksi dengan konsep matematika.
b) Eksplorasi pikiran melalui diskusi dan olah piker ringan.
c) Mengenal bilangan melalui sajak berirama dan lagu.
d) Mengenal bentuk geometri.
e) Bermain puzzle, bermain ular tangga, domino, bermain maze, dan
lain-lain (Madyawati, 2016:22-23).
3) Kecerdasan Spasial. Cara mengembangkan kecerdasan ini dapat
dilakukan dengan cara:
a) Melatih anak untuk belajar mengatur dan merancang sesuatu.
b) Melakukan permainan yang konstruktif dan kreatif.
c) Mengunjungi berbagai tempat yang dapat memperkaya
pengalaman visual anak.
d) Kegiatan membuat prakarya atau kerajinan tangan.
e) Menggambar dan melukis.
f) Mencoret-coret.
g) Kegiatan membentuk (Madyawati, 2016:24).
4) Kecerdasan Kinestetik. Kecerdasan ini berhubungan dengan
gerak/motorik pada anak. Pada usia dini biasanya dimulai dengan
motorik halus kemudian motorik kasar. Di lingkungan keluarga, para
orang tua biasanya lebih mengenali kecerdasan ini. Agar dapat
berkembang menjadi lebih baik dan terlatih maka cara yang dapat
dilakukan adalah dengan memberikan latihan-latihan diantaranya:
a) Menari
b) Bermain drama.
c) Melatih keterampilan/gerak-gerak fisik.
d) Berolah raga (Madyawati, 2016:22)
5) Kecerdasan Musikal. Cara yang dapat dilakukan untuk
mengembangkan kecerdasan ini diantaranya:
a) Membuat anak lebih percaya terhadap diri sendiri. Cenderung
memberikan kepercayaan yang terbimbing kepada anak untuk
mengamati dirinya sendiri.
b) Memfasilitasi anak untuk mendapatkan pengalaman praktis,
sekaligus memberikan reward atas apa yang dicapai anak.

25
c) Membimbing dan mengajak anak untuk bernyanyi dengan syair
sederhana dengan irama dan birama yang mudah diikuti
(Madyawati, 2016:21).
6) Kecerdasan interpersonal. Cara yang dapat dilakukan untuk
mengembangkan kecerdasan ini pada anak diantaranya:
a) Berbicara dan belajar mendengarkan orang lain berbicara.
b) Melatih kesabaran menunggu giliran.
c) Memahami keragaman lingkungan sosial dan menumbuhkan sikap
ramah.
d) Menghargai perbedaan perndapat dengan orang lain.
e) Melatih melakukan kegiatan sosial di lingkungan.
f) Belajar menyelesaikan konflik secara bersama-sama.
g) Melatih dan memberikan kesempatan pada anak untuk
bertanggung jawab di rumah.
h) Mengenalkan dan menyepakati berbagai tingkah laku.
i) Mengembangkan dukungan kelompok.
j) Melakukan kegiatan outbound, makan bersama, kerja bakti, dan
bermain drama (Madyawati, 2016:25).
7) Kecerdasan intrapersonal. Cara yang dapat dilakukan untuk
mengembangkan kecerdasan ini pada anak diantaranya:
a) Melatih anak untuk merencanakan masa depan, mulai dengan
merencanakan secara bersama dengan orang tua tentang apa yang
ingin dicapai pada masa yang akan datang.
b) Mengkomunikasikan bersama anak tentang kelebihan,
kekurangan, dan minatnya.
c) Belajar menuangkan keinginan dalam bentuk tulisan.
d) Memberikan penghargaan pada anak di lingkungan keluarga agar
tercipta kondisi keluarga yang kondusif bagi anak.
e) Membantu anak memciptakan citra positif pada diri sendiri.
f) Berkegiatan yang melatih kesabaran dan keuletan (Madyawati,
2016:26).

26
8) Kecerdasan naturalis. Anak yang memiliki kecerdasan ini cenderung
menyukai keindahan alam lingkungan, hewan dan tumbuhan di
sekitarnya. Hal ini berdampak pada kepekaan rasa memiliki dan
kepedulian yang tinggi terhadap alam. Untuk melatih dan
mengembangkan kecerdasan naturalis pada anak, dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut:
a) Mengajak anak melakukan kegiatan ekostudi untuk menumbuhkan
dan meningkatkan kepekaan terhadap lingkungan.
b) Berkomunikasi tentang kejadian-kejadian di alam sekitar.
c) Menceritakan tentang alam.
d) Mengajak anak berjalan-jalan di lingkungan terbuka.
e) Belajar berkebun.
f) Mengamati pertumbuhan tanaman.
g) Mengamati kehidupan hewan (Madyawati, 2016:27).
b. Metode pengembangan kecerdasan Spiritual Quotient (SQ) /
Transcendental Intelligence (TI)
Upaya yang dapat dilakukan oleh orang tua atau pendidik untuk
mengembangkan kecerdasan SQ dan IQ beberapa diantaranya adalah:
1) Memahami pluralitas anak. Orang tua dan/atau pendidik dapat
menggali kelebihan dan kekurangan anak.
2) Jangan pernah membanding-bandingkan anak. Karena
membandingkan anak dengan hal yang di luar dirinya akan
berdampak pada kurangnya pernghargaan atas potensi yang dimiliki.
3) Melakukan pengamatan pada kegiatan anak untuk mengetahui
minatnya.
4) Menemukan kelebihan anak dan melatih kelebihannya itu untuk
menutupi kekurangannya.
5) Menstimulasi anak melalui berbagai kegiatan yang sesuai, dengan
tujuan untuk mengoptimalisasi potensi yang dimilikinya. Hendaknya
stimulasi ini dilakukan secara rutin dan berkelanjutan.

27
6) Intensitas stimulasi akan menentukan cepatnya perkembangan anak.
Sebaliknya, kurangnya stimulasi berdampak pada tumbuh
kembangnya.
7) Memotivasi dan memberikan dukungan emosional untuk memperkuat
usaha berprestasi yang telah dicapai.
8) Memberikan reinforcement agar anak dapat mempertahankan dan
meningkatkannya (Madyawati, 2016:29).
Menurut Rakhmat (dalam Asteria, 2014:38) upaya-upaya agar anak
memiliki kecerdasan spiritual maka:
1) Orang tua menjalankan perannya sebagai ‘Gembala Spiritual’ bagi
anaknya. Pengalaman spiritual yang dialami oleh orang tuanya, itulah
yang juga diajarkan kepada anaknya. Dengan demikian, orang tua
harus memiliki pengalaman spiritual terlebih dahulu baru
mengajarkannya.
2) Membantu anak dalam merumuskan tujuan hidupnya.
3) Membaca dan mengkaji Kitab suci bersama anak.
4) Menceritakan kisah-kisah sarat nilai-nilai pendidikan kepada anak.
5) Membacakan puisi atau lagu.
6) Membawa anak menikmati indahnya alam.
7) Membawa anak ke tempat orang yang kurang beruntung, sebagai
pembelajaran bagi dirinya.
8) Mengikutsertakan anak dalam kegiatan sosial.
9) Memberikan kasih sayang dan belaian kepada anak.
c. Metode pengembangan Adversity Quotient (AQ) Paul G. Stoltz
Stoltz mempelajari ratusan hasil penelitian dari berbagai ilmuwan yang
mendasari pemikirannya tentang AQ. Fenomena di dunia yaitu banyaknya
orang yang tidak mau bergerak untuk sukses, atau orang yang gagal tidak
mau bangkit kembali untuk maju, memunculkan beberapa pertanyaan-
pertanyaan yang menggelitik Stoltz untuk menemukan jawabanya.
Beberapa pertanyaan itu seperti: mengapa ada perusahaan-perusahaan yang
terus maju dalam persaingan, semmentara perusahaan lain hancur?

28
Mengapa ada pengusaha yang mampu mengatasi hambatan-hambatan yang
tak terkira sulitnya, sementara perusahaan lain menyerah? Mengapa ada
orang tua yang mampu membesarkan anaknya menjadi warga Negara yang
baik di lingkungan yang penuh dengan tindak kekerasan dan obat-obatan
terlarang? Mengapa ada banyak orang yang kemampuannya tertinggal jauh
dibandingkan dengan bakat IQ mereka yang tinggi?
Kecerdasan IQ diakui sebagai kecerdasan yang terukur secara ilmiah.
IQ dipengaruhi oleh hereditas dianggap sebagai harapan mencapai
kesuksesan di masa mendatang. Namun pada kenyataannya, IQ tidak
menjamin hal itu. Banyak orang dengan IQ tinggi namun hidupnya tidak
berhasil. Selanjutnya berkembang pula teori EQ yang mencoba menjawab
kegagalan yang dialami oleh teori IQ. Menurut Goleman orang yang
memiliki rasa empati, kasih sayang, sadar diri, dan lainnya dianggap lebih
penting daripada seseorang yang memiliki kecerdasan IQ.
Menurut Stoltz, meskipun kecakapan-kecakapan dalam EQ sudah
dimilki namun masih belum bisa mengoptimalisasi potensi seseorang.
Karena EQ tidak mempunyai tolak ukur yang sah dan metode yang jelas
untuk mempelajarainya “…it lacks a valid measure and a definitive method
of learning it…” (Stoltz, 1997:12). Berpijak dari hal tersebut, Stoltz
mengklaim bahwa Adversity Quotient (AQ) adalah jawabannya.
Dalam bukunya yang berjudul “Adversity Quotient Turning Obstacles
into Opportunities”, Stoltz tidak menjelaskan secara eksplisit tentang
bagaimana mengembangkan kecerdasan AQ ini. Dalam penjelasannya, ia
mengemukakan tiga tipe manusia. Pertama, tipe Quitter; kedua, tipe
Camper; dan ketiga, tipe Climber. Quitter adalah tipe orang yang cenderung
tidak mau maju, gampang putus asa, dan pasrah oleh keadaan. Sedangkan
Camper, adalah tipe orang yang mau mencoba tantangan namun tidak
sampai selesai. Baginya apa yang sudah diperoleh dipandang cukup dan
tidak mau maju lagi. Zona aman dalam kehidupan itulah keinginannya.
Namun setidaknya, Camper sudah selangkah lebih maju dari pada Quitter.
Berbeda dengan Quitter dan Camper, tipe Climber adalah pejuang sejati

29
yang selalu pantang menyerah untuk menghadapi tantangan. Tipe Climber
inilah yang memiliki AQ yang tinggi.
Berdasarkan penjelasan Stoltz tentang tipe orang Climber yang
ditempatkan sebagai kasta tertinggi dalam teorinya, maka Penulis
merumuskan beberapa cara yang dapat dilakukan oleh orang tua/pendidik
dalam mengembangkan kecerdasan AQ sebagai berikut:
1) Mengamati minat dan potensi anak yang paling menonjol.
2) Mengarahkan (directing) segala kegiatan yang dilakukan anak pada
hal-hal yang sesuai dengan minat.
3) Memfasilitasi segala kebutuhan anak sesuai dengan minatnya.
4) Memperkenalkan gambaran tentang tujuan di masa depan sesuai
dengan minatnya.
5) Memberikan motivasi dan penghargaan atas prestasi yang dicapai
anak.
6) Menanamkan pentingnya kerja keras untuk mencapai cita-cita.
7) Mendampingi anak dalam keadaan gagal maupun berhasil.
8) Mengingatkan akan pentingnya manajemen waktu dalam hidup.
9) Mendorong anak untuk mempelajari hal-hal baru.
Dalam praktek pembelajaran di dalam maupun di luar kelas, berdasarkan
kurikulum tahun 2013 pendidik wajib mengembangkan pendekatan dan model
pembelajaran yang berorientasi pada keaktifan peserta didik (student centered
learning). Beberapa model pembelajaran yang dapat dikembangkan seperti :
model pembelajaran penemuan (Discovery Learning), model Inquiry Learning
Terbimbing dan Sains, model pembelajaran (Problem Based Learning), model
pembelajaran Project Based Learning (PjBL), model pembelajaran Production
Based Training/Production Based Education Training, dan model
pembelajaran Teaching Factory.
Berikut penjalasan ringkas tentang beberapa model pembelajaran tersebut:
a. Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)
Budiningsih sebagaimana dikutip oleh Dikdasmen (2017:5)
berpendapat, bahwa model pembelajaran penemuan adalah memahami

30
konsep, arti, dan hubungan, melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai
pada suatu kesimbulan. Model ini bertujuan :
1) Meningkatkan kesempatan peserta didik terlibat aktif dalam
pembelajaran
2) Peserta didik belajar menemukan pola dalam situasi konkret maupun
abstrak
3) Peserta didik belajar merumuskan strategi Tanya jawab yang tidak
rancu dan memperoleh informasi yang bermanfaat dalam menemukan
4) Membantu peserta didik membentuk cara kerja bersama yang efektif,
saling membagi informasi serta mendengarkan dan menggunakan ide-
ide orang lain
5) Meningkatkan keterampilan konsep dan prinsip peserta didik yang
lebih bermakna
6) Dapat mentransfer keterampilam yang dibentuk dalam situasi belajar
penemuan ke dalam aktivitas situasi belajar yang baru (Dikdasmen,
2017:5)
Adapun langkah-langkah pembelajarannya adalah sebagai berikut:
1) Memberikan stimulasi (Stimulation);
2) Mengidentifikasi masalah/pernyataan (Problem Statement);
3) Mengumpulkan data (Data Collection);
4) Pembuktian (Verification);
5) Memberikan simpulan/generalisasi (Generalization).
b. Model Inquiry Learning Terbimbing dan Sains
Adalah model pembelajaran yang dirancang untuk membawa peserta
didik dalam proses penelitian melalui penyelidikan dan penjelasan dalam
setting waktu yang singkat (Joice & Wells dalam Dikdasmen, 2017:5).
Model ini mengoptimalisasi kemampuan siswa untuk mencari dan
menyelidiki sesuatu secara sistematis kritis dan logis sehingga mereka dapat
merumuskan sendiri hasil temuannya dari sesuatu yang dipertanyakan.
Model pembelajaran ini bertujuan agar kemampuan berfikir peserta
didik berkembang secara sistematis, logis dan kritis sebagai bagian dari
proses mental (Dikdasmen, 2017:6).
Adapun langkah-langkah pembelajarannya adalah sebagai berikut:
1) Orientasi masalah;
2) Pengumpulan data dan verifikasi;

31
3) Pengumpulan data melalui eksperimen;
4) Pengorganisasian dan formulasi eksplanasi;
5) Analisis proses inkuiri.
Langkah-langkah dalam model inkuiri sains adalah:
1) Menentukan area investigasi termasuk metodologi yang akan
digunkan
2) Menstrukturkan problem/masalah
3) Mengidentifikasi problem-problem yang kemungkinan terjadi dalam
proses investigasi;
4) Menyelesaikan kesulitas/masalah dengan melakukan desain ulang,
mengumpulkan dan mengorganisir data dengan cara lain dan
sebagainya (Dikdasmen, 2017:6).

c. Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL)


Menurut Tan Onn Seng dalam Dikdasmen (2017:6), model PBL adalah
pembelajaran yang menggunakan berbagai kemampuan berpikir dari
peserta didik secara individu maupun kelompok serta lingkungan nyata
(autentik) untuk mengatasi permasalahan sehingga bermakna, relevan, dan
kontekstual.
Model pembelajaran ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan
dalam menerapkan konsep-konsep pada permasalahan baru/nyata,
pengintegrasian konsep High Order Thinking Skills (HOT’s). konsep
HOT’s yaitu mengembangkan kemampuan kritis, pemecahan masalah, dan
mengembangkan keinginan belajar secara aktif dengan mengarahkan
belajar diri sendiri dan keterampilan (Norman and Schimdt dalam
Dikdasmen, 2007:6).
Adapun langkah-langkah (sintaks) pembelajarannya adalah sebagai
berikut:
1) Mengidentifikasi masalah;
2) Menetapkan masalah melalui berpikir tentang masalah dan
menyeleksi informasi-informasi yang relevan;
3) Mengembangkan solusi melalui pengidentifikasian alternatif-
alternatif, tukar-pikiran dan mengecek perbedaan pandang;
4) Melakukan tikdakan strategis, dan
5) Melihat ulang dan mengevaluasi pengaruh-pengaruh dari solusi yang
dilakukan (Bransford and Stein dalam Jamie Kirkley dalam
Dikdasmen, 2017:6-7)

32
Untuk langkah-langkah model Problem Solving Learning Jenis Trouble
Shooting (Jonassen dalam Dikdasmen, 2017:7) adalah:
1) Merumuskan uraian masalah;
2) Mengembangkan kemungkinan penyebab;
3) Mengetes penyebab atau proses diagnosis
4) Mengevaluasi.
d. Model Pembelajaran Project Based Learning (PjBL)
Model pembelajaran PjBL adalah model pembelajaran dengan
menggunakan proyek nyata dalam kehidupan yang didasarkan pada
motivasi tinggi, pertanyaan menantang, tugas-tugas atau permasalahan
untuk membentuk penguasaan kompetensi yang dilakukan secara kerja
sama dalam upaya memecahkan masalah (Barel and Baron dalam
Dikdasmen, 2017:7).
PjBL ditujukan untuk meningkatkan motivasi belajar, team work,
keterampilan dan kolaborasi dalam pencapaian kemampuan akademik level
tinggi/taksonomi tingkat kreativitas yang dibutuhkan pada abad 21 (Cole &
Moses dalam Dikdasmen, 2017:7).
Adapun tahap-tahap yang dilaksanakan dalam model PjBL adalah
sebagai berikut:
1) Menentukan pertanyaan mendasar (Start With The Essential
Question);
2) Mendesain perencanaan proyek;
3) Menyusun jadwal (Create a schedule);
4) Memonitor peserta didik dan kemajuan proyek (Monitor The Students
and The Progress of the Project);
5) Menguji hasil (Asses the Outcome), dan
6) Mengevaluasi pengalaman (Evaluate the Experience).
e. Model Pembelajaran Production Based Training/Production Based
Education Training
Dalam model pembelajaran ini peserta didik diberikan pengalaman
belajar pada situasi kontekstual dan mengikuti aliran kerja industri mulai

33
dari perencanaan berdasarkan pesanan, pelaksanaan dan evaluasi
produk/kendali mutu produk, sampai pada langkah pelayanan pasca
produksi (Dikdasmen, 2017:7).
Model pembelajaran Production Based Training/Production Based
Education Training memiliki tujuan untuk mempersiapkan peserta didik
yang memiliki kompetensi kerja yang berkaitan dengan teknis serta
kemampuan kerjasama (berkolaborasi) sesuai tuntutan organisasi kerja.
Langkah-langkah dalam model pembelajaran PBT/PBET adalah
sebagai berikut:
1) Merencanakan produk;
2) Melaksanakan proses produksi
3) Mengevaluasi produk (melakukan kendali mutu), dan
4) Mengembangkan rencana pemasaran (Dikdasmen, 2017:8).
f. Model Pembelajaran Teaching Factory
Dikdasmen (2017:8) mendefinisikan model pembelajaran Teaching
Factory di SMK adalah model pembelajaran yang berbasis produksi/jasa
yang mengacu pada SOP yang berlaku di industri. Model pembelajaran ini
persis dilaksanakan sesuai dengan proses kerja di industri. Dengan demikian
model pembelajaran ini perlu ada kerja sama yang baik antara sekolah
dengan industri.
Dalam pelaksanaannya sesuai dengan pandauan Teaching Factory
(TEFA) Direktorat PMK terbagi atas 4 model antara lain:
1) Dual Sistem. Yaitu pola pembelajaran kejuruan di tempat kerja yang
dikenal sebagai experience based training atau enterprise based
training.
2) Competency Based Training (CBT). Yaitu pendekatan dalam
pembelajaran pengembangan kompetensi peserta didik relevan
dengan tuntutan kebutuhan pekerjaan.
3) Production Based Education and Training (PBET). Adalah
pendekatan pembelajaran berbasis produksi. Memperkuat kompetensi

34
yang dimiliki peserta didik dalam pembuatan produk nyata yang
dibutuhakan dunia kerja.
4) Teaching factory. Adalah konsep pembelejaran berbasis industry
(produk dan jasa) melalui kerja sama antara sekolah dan dunia
industri.
Adapun langkah-langkah dalam model pembelajaran PBET/PBT
berdasarkan langkah-langkah yang diterapkan di Cal Poly-San Luis Obispo
USA (Sema E. Alptekin dalam Dikdasmen, 2017:8) adalah sebagai berikut:
1) Merancang produk;
2) Membuat prototype;
3) Memvalidasi dan memverifikasi prototype;
4) Membuat produk masal.

H. Simpulan
Berdasarkan penetapan tujuan dan pembahasan, ditentukan beberapa simpulan
adalah sebagai berikut:
1. Definisi otak didasarkan pada dua istilah: pertama, brain; kedua, mind.
Brain is the organ inside the head that controls movement, thought,
memory and feeling. Otak adalah organ yang berada dalam kepala, otak
tersebut mengontrol pergerakan (gerak-gerik), berpikir (pemikiran), daya
ingat dan perasaan. Mind is the part of a person that makes them able to be
aware of things, to think and to feel. Mind adalah bagian dari seseorang
yang membuat mereka mampu menyadari hal-hal, untuk berpikir dan
merasakan.
2. Beberapa jenis kecerdasan diantaranya: Intelligence Quotient (IQ),
Emotional Quotient (EQ), Spiritual Quotient (SQ), Multiple Intelligence,
Adversity Quotient (AQ), dan Trancendentyal Intelligence (TI)..
3. IQ diperkenalkan pertama kali oleh William Stern. IQ adalah rasio untuk
menguji kecerdasan manusia tanpa memandang usianya menggunakan tes
standar (Fazrin dalam Permadi, 2012).

35
4. Teori kecerdasan Multiple Intelligence dari Howard Gardner, memandang
manusia memiliki keberagaman kecerdasan di antaranya : Logical-
mathematical, Spatial, Bodily-kinestetic, Musical, Interpersonal
Intrapersonal, Naturalist.
5. Teori Emotional Quotient (EQ) dari Goelman. EQ adalah kecerdasan
emosional itu sebagai suatu kemampuan mengenali perasaan kita sendiri
dan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan
mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan orang
lain
6. Teori kecerdasan spiritual dari Danah Zohar & Ian Marshal. SQ adalah
‘penghayatan keagamaan tidak hanya sampai kepada pengakuan atas
keberadan Tuhan, namun juga mengaku-Nya sebagai sumber nilai-nilai
luhur yang abadi yang mengatur tata kehidupan alam semesta raya ini.
7. Dalam Trancendental Intelligence (TI) hati menjadi pusat dan asal
pengakuan adanya Tuhan. Berbeda dengan Spiritual Quotient yang masih
menganggap berada di wilayah otak.
8. Teori Adversity Quotient (AQ) dari Stoltz. AQ adalah kemampuan manusia
dalam mengatasi tantangan/kesulitan serta keberhasilan yang dicapai.
9. Model-model pembelajaran yang dapat dikembangkan untuk menuntut
keaktifan dari peserta didik berdasarkan Bimbingan Teknis Impelementasi
Kurikulum 2013 SMK Tahun 2017 diantaranya : (Discovery Learning),
model Inquiry Learning Terbimbing dan Sains, model pembelajaran
(Problem Based Learning), model pembelajaran Project Based Learning
(PjBL), model pembelajaran Production Based Training/Production Based
Education Training, dan model pembelajaran Teaching Factory.

I. Kepustakaan
Armstrong, Thomas. (2009). Multiple Intelligences in the Classroom (third
edition): Virginia United States of ASCD
Asteria, Prima Vidya. (2014). Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Anak
Melalui Pembelajaran Membaca Sastra. Malang : Universitas Brawijaya Press (UB
Press)

36
Chen, Jie-Qi., Moran, Seana and Gardner, Howard (2009). Multiple
Intelligences Around the World (first edition): United States of Jossey-Bass
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan. 2017. Dinas
Pengembangan Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan. Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Fazrin et. al. (2017). Mengembangkan Intelegensi Quotient (IQ) Pada Anak
Prasekolah dengan Stimulasi Keluarga dan Pendidikan Anak Usia Dini. Ponorogo:
Forum Ilmiah Kesehatan (FORIKES)
Goleman, Daniel. (2006). Emotional Intelligence Why It Matter More Than IQ
: New York of Bantam Dell
Hermaya, T. (2002). Seven Kinds of Smart Menemukan dan Meningkatkan
Kecerdasan Anda Berdasarkan Teori Multiple Intelligence ole Thomas Armstrong,
Ph. D. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Kamus Farmasi. Tersedia : https://kamus.farmasi-id.com (27 Maret 2018)
Oxford Learner's Dictionaries. Tersedia :
https://www.oxfordlearnersdictionaries.com (27 Maret 2018)
Kementerian Pendidikann dan Kebudayaan. KBBI Daring (online). Tersedia :
https://kbbi.kemdikbud.go.id (27 Maret 2018)
Pasiak, Taufik. (2009). Unlimited Potency of the Brain. Bandung : PT Mizan
Pustaka
Stoltz, Paul G. (1997). Adversity Quotient Turning Obstacles into
Opportunities : United States of John Wiley & Sons Inc
Suryaputra, Eric. (2007). The Power Of Social Intelligence 10 Ways to Tap
into Your Social Genius Tony Buzan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
.Tasmara, K.H. Toto. (2001). Kecerdasan Ruhaniah (Transcendental
Intelligence). Depok : Gema Insani
Yayasan Obor Indonesia. (2008). Metode Penelitian Kepustakaan, Mestika
Zed. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

37

Anda mungkin juga menyukai