Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perilaku Merokok

Perilaku merokok merupakan reaksi seseorang dengan cara mengisap rokok yang

dapat diamati atau diukur dengan melihat volume atau frekuensi merokok seseorang (Shiffman

dalam Pratiwi, 2009). Merokok adalah perilaku yang sangat merugikan kesehatan tetapi

perilaku ini terus dipertahankan oleh kebanyakan perokok. Sarafino (Pratiwi, 2009) menjelaskan

bahwa seseorang individu biasanya mulai mencoba untuk merokok pada saat remaja. Mereka

akan menjadi perokok tetap bila mereka sudah mengisap rokok keempatnya (Leventhal dan

Cleary dalam Pratiwi, 2009).

Perilaku merokok merupakan aktivitas yang dilakukan oleh seseorang berupa

membakar dan menghisap serta menimbulkan asap yang dapat terhisap oleh orang-orang

disekitarnya (Lestari & Purwanti, 2012). Pendapat lain menyatakan bahwa perilaku merokok

adalah sesuatu yang dilakukan seseorang berupa membakar dan menghisapnya serta dapat

menimbulkan asap yang dapat terhisap oleh orang-orang disekitarnya (Nasution, 2007)..

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa perilaku merokok adalah

suatu aktivitas yang dapat merugikan bagi kesehatan berupa membakar rokok dan kemudian

menghisap dan menghembuskan asapnya keluar yang dapat terhisap juga oleh orang lain

disekitarnya.

Smet (1994) mengklarifikasikan adanya tiga tipe perokok menurut banyaknya rokok

yang dihisap. Tiga tipe perokok tersebut adalah :

a. Perokok berat yang menghisap lebih dari 15 batang rokok dalam sehari.

b. Perokok sedang yang menghisap 5-14 batang rokok dalam sehari.

c. Perokok ringan yang menghisap 1-4 batang rokok dalam sehari.


Perilaku merokok dapat dilihat dari empat aspek perilaku merokok menurut Lavental dan

Cleary (dalam Mairizal, Murni & Sagala, 2013), yaitu :

a. Fungsi merokok; individu yang menjadikan merokok sebagai penghibur bagi

berbagai keperluan menunjukkan bahwa memiliki fungsi yang begitu penting bagi

kehidupannya. Fungsi merokok ditunjukkan dengan perasaan yang dialami si

perokok, seperti perasaan positif maupun negatif.

b. Tempat merokok; individu yang melakukan aktivitas merokok di mana saja, bahkan

di ruangan yang dilarang untuk merokok menunjukkan bahwa perilaku merokoknya

sangat tinggi.

c. Intensitas merokok; seseorang yang merokok dengan jumlah batang rokok yang

banyak menunjukkan perilaku merokoknya sangat tinggi.

d. Waktu merokok; seseorang yang merokok disegala waktu (pagi, siang, sore, malam)

menunjukkan perilaku merokok yang tinggi. Seseorang yang merokok dipengaruhi

oleh keadaan yang dialaminya pada saat itu, misalnya ketika sedang berkumpul

dengan teman-teman, cuaca dingin, setelah dimarahi orang tua, dll.

Umumnya setiap individu dapat menggambarkan setiap perilaku menurut tiga aspek.

Aspek-aspek perilaku menurut Smet (1994) adalah sebagai berikut :

a. Frekuensi yaitu sering tidaknya perilaku muncul

Frekuensi sangatlah bermanfaat untuk mengetahui sejauh mana perilaku merokok

seseorang dengan menghitung jumlah munculnya perilaku merokok sering muncul atau

tidak. Dari frekwensi merokok seseorang,dapat diketahui perilaku merokok seseorang

yang sebenarnya.

b. Lamanya berlangsung yaitu waktu yang diperlukan seseorang untuk melakukan suatu

tindakan. Aspek ini sangatlah berpengaruh bagi perilaku merokok seseorang. Dari

aspek inilah dapat diketahui perilaku merokok seseorang apakah dalam menghisapnya

lama atau tidak.


c. Intensitas yaitu banyaknya daya yang dikeluarkan oleh perilaku tersebut. Aspek

intensitas digunakan untuk mengukur seberapa dalam dan seberapa banyak seseorang

menghisap rokok.dimensi intensitas merupakan cara yang paling subjektif dalam

mengukur perilaku merokok seseorang.

Menurut Silvan Tomkins dalam (Tim Penulis Poltekkes Depkes Jakarta I, 2010),

berdasarkan Management of Affect Theory, ada empat tipe perilaku merokok. Empat hal yang

dimaksud keempat tipe tipe tersebut adalah sebagai berikut.

1. Perokok yang dipengaruhi oleh perasaan positif.

Mereka berpendapat bahwa dengan merokok seseorang akan merasakan penambahan

rasa yang positif. Green dalam Tim Penulis Poltekkes Depkes Jakarta I (2010)

menambahkan tiga subtype berikut ini.

a. Pleasure relaxation, yaitu perilaku merokok hanya untuk menambah atau

meningkatkan kenikmatan yang sudah didapat, misalnya merokok setelah minum

kopi atau makan.

b. Stimulation to pick them up, yaitu perilaku merokok yang hanya dilakukan

sekedarnya untuk menyenagkan perasaan.

c. Pleasure of handling the cigarette, yaitu kenikmatan yang diperoleh dengan

memegang rokok. Sangat spesifik pada perokok pipa. Perokok pipa akan

menghabiskan waktu untuk mengisi pipa dengan tembakau sedangkan untuk

menghisapnya hanya dibutuhkan waktu beberapa menit saja. Ada juga perokok

yang lebih senang berlama-lama untuk memainkan rokoknya dengan jari-jarinya

lama sebelum ia menyalakan dengan api.

2. Perilaku merokok yang dipengaruhi oleh perasaan negatif.

Banyak orang yang menggunakan rokok untuk mengurangi perasaan negatif, misalnya

bila ia marah, cemas, atau gelisah. Rokok dianggap sebagai penyelamat. Mereka
menggunakan rokok bila perasaan tidak enak terjadi, sehingga terhindar dari perasaan

yang lebih tidak enak.

3. Perilaku merokok yang adiktif.

Green menyebutnya sebagai kecanduan secara psikologis (psychological addiction).

Mereka yang sudah kecanduan cenderung akan menambah dosis rokok yang

digunakan setiap saat setelah efek dari rokok yang dihisapnya berkurang. Mereka

umumnya akan pergikeluar rumah membeli rokok, walau tengah malam sekalipun,

karena khawatir rokok tidak tersedia saat ia menginginkannya.

4. Perilaku merokok yang sudah menjadi kebiasaan.

Mereka menggunakan rokok sama sekali bukan karena untuk mengendalikan perasaan

mereka, tetapi karena benar-benar sudah menjadi kebiasaan rutin. Dapat dikatakan

pada orang-orang tipe ini, merokok sudah menjadi perilaku yang bersifat otomatis,

sering kali tanpa dipikirkan dan tanpa disadari. Ia menghidupkan lagi api rokoknya bila

rokok yang terdahulu telah benar-benar habis.

Menurut Juniarti dalam Tim Penulis Poltekkes Depkes Jakarta I (2010), faktor yang

mempengaruhi kebiasaan merokok adalah sebagai berikut.

1. Pengaruh orang tua.

Salah satu temuan tentang remaja perokok adalah bahwa anak-anak muda yang

berasal dari rumah tangga yang tidak bahagia, di mana orang tua tidak begitu

memperhatikan anak-anaknya dan memberikan hukuman fisik yang keras, lebih mudah

untuk menjadi perokok dibanding anak-anak muda yang berasal dari lingkungan rumah

tangga yang bahagia (Baer dan Corado dalam Atkinson, 1999). Remaja yang berasal

dari keluarga yang menekankan nilai-niai sosial dan agama dengan baik dengan tujuan

jangka panjang lebih sulit untuk terlibat dalam rokok/tembakau/obat-obatan

dibandingkan dengan keluarga yang permisif dengan penekanan dalam falsafah

“kerjakan urusanmu sendiri-sendiri”. Yang paling kuat pengaruhnya adalah bila orang
tua sendiri menjadi figure contoh, yaitu sebagai perokok berat, maka anak-anaknya

akan mungkin sekali untuk mencontohnya. Perilaku merokok lebih bnayak ditemui pada

mereka yang tinggal dengan satu orang tua (single parent). Daripada ayah yang

perokok, remaja akan lebih cepat berprilaku sebagai perokok justru bila ibu merekan

yang merokok, hal ini lebih terlihat pada remaja putrid (Al Bachri, 1991).

2. Pengaruh teman.

Berbagai fakta mengungkapkan bahwa bila semakin banyak remaja yang merokok,

maka semakin besar kemungkinan teman-temannya adalah perokok dan demikian

sebaliknya. Dari fakta tersebut ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, remaja tadi

terpengaruh oleh teman-temannya atau bahkan teman-teman remaja tersebut

dipengaruhi oleh remaja tersebut, hingga akhirnya mereka semua menjadi perokok. Di

antara remaja perokok, 87 % mempunyai sekurang-kurangnya satu atau lebih sahabat

yang perokok, begitu pula dengan remaja bukan perokok (Al Bachri, 1991).

3. Faktor kepribadian.

Orang mencoba untuk merokok karena alasan ingin tahu atau ingin melepaskan diri dari

rasa sakit fisik atau jiwa, dan membebaskan diri dari kebosanan.

4. Pengaruh iklan.

Melihat iklan di media massa atau elektronik yang menampilkan gambaran bahwa

perokok adalah lambang kejantanan atau glamour, membuat remaja sering kali terpicu

untuk mengikuti perilaku seperti yang ada di dalam iklan tersebut (Juniarti, 1991).

Subandana (dalam Mairizal, Murni & Sagala, 2013) menyatakan faktor-faktor yang

menyebabkan perilaku merokok terdiri dari :

a. Faktor Psikologis, merokok dapat menjadi sebuah cara bagi individu untuk santai dan

kesenangan, tekanan-tekanan teman sebaya, penampilan diri, sifat ingin tahu, stres,

kebosanan dan ingin kelihatan gagah merupakan hal-hal yang dapat mengkontribusi
mulainya merokok. Selain itu, individu dengan gangguan cemas bisa menggunakan

rokok untuk menghilangkan kecemasan yang mereka alami.

b. Faktor Biologis, faktor genetic dapat mempengaruhi seseorang untuk mempunyai

ketergantungan terhadap rokok. Faktor lain yang mungkin mengkontribusi

perkembangan kecanduan nikotin adalah merasakan adanya efek bermanfaat dari

nikotin. Proses biologisnya yaitu nikotin diterima reseptor asetilkotin-nikotinik yang

kemudian membagi ke jalur imbalan dan jalur adrenergenik. Pada jalur imbalan, perokok

akan merasakan nikmat, memacu system dopaminergik. Hasilnya perokok akan merasa

lebih tenang, daya piker serasa lebih cemerlang, dan mampu menekan rasa lapar. Di

jalur adrenergik, zat ini akan mengaktifkan sistem adrenergik pada bagian otak lokus

seruleus yang mengeluarkan sorotin. Meningkatkan sorotin menimbulkan rangsangan

rasa senang sekaligus keinginan mencari rokok lagi. Hal inilah yang menyebabkan

perokok sangat sulit meninggalkan rokok, karena sudah ketergantungan dengan nikotin.

Ketika ia berhenti merokok rasa nikmat yang diperolehnya akan berkurang.

c. Faktor Lingkungan yang berkaitan dengan penggunaan tembakau antara lain orang tua,

saudara kandung maupun teman sebaya yang merokok, terpapar reklame tembakau,

artis pada reklame rembakau di media. Orang tua memegang peranan penting, selain

itu juga reklame tembakau diperkirakan mempunyai pengaruh yang lebih kuat dari pada

pengaruh orang tua dan teman sebaya.

d. Faktor Regulatori, peningkatan harga jual atau diberlakukan cukai yang tinggi, akan

menurunkan pembelian dan konsumsi. Pembatasan fasilitas untuk merokok, dengan

menetapkan ruang/daerah bebas rokok, diharapkan mengurangi konsumsi rokok.

B. Konformitas

Satu hal yang seseorang lakukan ketika berada dalam sebuah kelompok adalah

konform, yaitu melakukan tindakan atau mengadopsi sikap sebagai hasil dari adanya tekanan
kelompok yang nyata maupun yang persepsikan (Wade & Travris, 2007). Konformitas berasal

dari conformity yang artinya adalah tendensi untuk mengubah keyakinan atau perilaku

seseorang agar sesuai dengan perilaku orang lain (Cialdini & Goldstein dalam Rahmah, 2013).

Konformitas adalah suatu jenis pengaruh sosial di mana individu mengubah sikap dan tingkah

laku mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada (Kulsum & Jauhar, 2014).

Menurut Richards. G (Rahmah, 2013) konformitas adalah melakukan hal yang sama

dengan orang lain sesuai dengan norma-norma, selera, pendapat, penataan, dan sebagainya

yang bersifat behavioral dalam sebuah kelompok yang didalamnya seseorang mengasumsikan

dirinya sebagai anggotanya. Konformitas berarti penyesuaian diri dengan masyarakat dengan

mengindahkan norma dan nilai masyarakat (Soekanto dalam Rahmah, 2013). Dalam Chaplin

(2008) konformitas adalah kecenderungan untuk memperbolehkan satu tingkah laku seseorang

dikuasai oleh sikap dan pendapat yang sudah berlaku.

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa konformitas adalah suatu

bentuk penyesuaian diri terhadap lingkungan kelompok atau masyarakat yang mana individu

dalm hal ini menyesuaikan tingkah lakunya dengan kelompoknya agar dapat diterima didalam

kelompok atau masyarakat tersebut dengan mengindahkan norma dan nilai yang ada

didalamnya.

Ada beberapa alasan yang dapat dikedepankan untuk memahami mengapa individu

melakukan konformitas (Kulsum & Jauhar, 2014). Alasan-alasan tersebut adalah :

1. Keinginan untuk disukai.

Sebagai akibat dari internalisasi dan proses belajar di masa kecil, banyak individu

melakukan konformitas untuk membantunya mendapatkian persetujuan dengan banyak

orang. Persetujuan diperlukan agar individu mendapatkan pujian. Pada dasarnya,


kebanyakan orang senang akan pujian, yang membuatnya berusaha untuk

menyesuaikan diri dengan keadaan.

2. Rasa takut akan penolakan.

Konformitas penting dilakukan agar individu mendapatkan penerimaan dari kelompok

atau lingkungan tertentu. Jika individu memiliki pandangan dan perilaku yang berbeda,

maka dirinya dianggap bukan termasuk dari anggota kelompok dan lingkungan tersebut.

3. Keinginan untuk merasa benar.

Banyak keadaan yang menyebabkan individu beada dalam posisi yang dilematis karena

tidak mampu mengambil keputusan. Jika ada orang lain dalam kelompok ternyata

mampu mengambil keputusan yang dirasa benar, maka dirinya akan ikut serta agar

dianggap benar.

4. Konsekuensi kognitif.

Kebanyakan individu yang berpikir melakukan konformitas adalah konsekuensi kognitif

akan keanggotaan mereka terhadap kelompok dan lingkungan di mana mereka berada.

Taylor, dkk (2004) membagi aspek konformitas menjadi lima, yaitu :

a. Peniruan.

Keinginan individu untuk sama dengan orang lain baik secara terbuka atau ada tekanan

(nyata atau dibayangkan) menyebabkan konformitas.

b. Penyesuaian.

Keinginan individu untuk dapat diterima orang lain menyebabkan individu bersikap

konformitas terhadap orang lain. Individu biasanya melakukan penyesuaian pada norma

yang ada pada kelompok.

c. Kepercayaan.

Semakin besar keyakian individu pada informasi yang benar dari orang lain semakin

meningkat ketepatan informasi yang memilih conform terhadap orang lain.


d. Kesepakatan.

Sesuatu yang sudah menjadi keputusan bersama menjadikan kekuatan sosial yang

mampu menimbulkan konformitas.

e. Ketaatan.

Respon yang timbul sebagai akibat dari kesetiaan atau ketertundukan individu atas

otoritas tertentu, sehingga otoritas dapat membuat orang menjadi conform terhadap hal-

hal yang disampaikan.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi konformitas (Kulsum & Jauhar, 2014).

Faktor-faktor tersebut adalah :

1. Pengaruh dari orang-orang yang disukai.

Orang-orang yang disukai akan memberikan pengaruh lebih besar. Perkataan atau

perilaku mereka cenderung akan diikuti atau diamini oleh orang lain yang menyukai

dan dekat dengan mereka.

2. Kekompakan kelompok.

Kekompakan kelompok sering disebut sebagai kohesivitas. Semakin kohesif suatu

kelompok, maka akan semakin kuat pengaruhnya dalam membentuk pola piker dan

perilaku anggota kelompoknya.

3. Ukuran kelompok dan tekanan sosial.

Konformitas akan meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah anggota

kelompok. Semakin besar kelompok tersebut, maka semakin besar pula

kecenderungan kita untuk ikut serta, walaupun mungkin kita akan menerapkan

sesuatu yang berbeda dari yang sebenarnya kita inginkan.

4. Norma sosial deskriptif dan norma sosial injungtif.

Norma deskriptif adalah norma yang hanya mendeskripsikan apa yang sebagian

besar orang lakukan pada situasi tertentu. Norma ini akan memengaruhi tingkah laku
kita dengan cara member tahu kita mengenai apa yang umumnya dianggap efektif

atau bersifat adaptif dari situasi tertentu tersebut. Sementara itu, norma injungtif

akan memengaruhi kita dalam menetapkan apa yang harusnya dilakukan dan

tingkah laku apa yang diterima dan tidak ditrima pada situasi tertentu.

Menurut Deutsch & Gerrard (dalam Sarwono, 1999) ada dua penyebab mengapa orang

berperilaku konform, yaitu :

1. Pengaruh norma, yaitu disebabkan oleh keinginan untuk memenuhi harapan orang lain

sehingga dapat lebih diterima oleh orang lain.

2. Pengaruh informasi, yaitu karena adanya bukti-bukti dan informasi-informasi mengenai

realitas yang diberikan oleh orang lain yang dapat diterimanya atau tidak dapat

dielakkan lagi.

Menurut David, dkk (dalam Rahmah, 2013), hal-hal yang memengaruhi adanya

konformitas adalah :

a. Kurangnya informasi. Orang lain merupakan sumber informasi yang penting. Sering kali

mereka mengetahui sesuatu yang tidak kita ketahui; dengan melakukan apa yang

mereka lakukan, kita akan memperoleh manfaat dari pengetahuan mereka.

b. Kepercayaan terhadap kelompok. Dalam situasi konformitas, individu mempunyai suatu

pandangan dan kemudian menyadari bahwa kelompoknya menganut pandangan yang

bertentangan. Individu ingin memberikan informasi yang tepat. Oleh karena itu, semakin

besar kepercayaan individu terhadap kelompok sebagai sumber informasi yang benar,

semakin besar pula kemungkinan untuk menyesuaikan diri terhadap kelompok.

c. Kepercayaan diri yang lemah. Salah satu faktor yang sangat memengaruhi rasa percaya

diri dan tingkat konformitas adalah tingkat keyakinan orang tersebut pada

kemampuannya sendiri untuk menampilkan suatu reaksi. Semakin lemah kepercayaan


seseorang akan penilaiannya sendiri, semakin tinggi tingkat konformitasnya. Sebaliknya,

jika ia merasa yakin dengan kemampuannya sendiri akan penilaian terhadap sesuatu

hal, semakin turun tingkat konformitasnya.

d. Rasa takut terhadap celaan sosial. Celaan sosial memberikan efek yang signifikan

terhadap sikap individu karena pada dasarnya manusia cenderung mengusahakan

persetujuan dan menghindari celaan kelompok dalam setiap tindakan. Tetapi, sejumlah

faktor akan menentukan bagaimana pengaruh persetujuan dan celaan ini terhadap

tingkat konformitas individu.

e. Rasa takut terhadap penyimpangan. Rasa takut dipandang sebagai orang yang

menyimpang merupakan faktor dasar hampir dalam semua situasi sosial. Kita tidak mau

dilihat sebagai orang yang lain dari orang lain, kita tidak ingin tampak seperti orang lain.

Kita ingin agar kelompok tempat kita berada menyukai kita, memperlakukan kita dengan

baik dan bersedia menerima kita.

f. Kekompakan kelompok. Konformitas juga dipengaruhi oleh eratnya hubungan antar

individu dengan kelompoknya. Kekompakan yang tinggi menimbulkan konformitas yang

semakin tinggi.

g. Kesepakatan kelompok. Orang yang dihadapkan pada keputusan kelompok yang sudah

bulat akan mendapat tekanan yang kuat untuk menyesuaikan pendapatnya. Namun, bila

kelompok tidak bersatu akan tampak adanya penurunan tingkat konformitas.

h. Ukuran kelompok. Konformitas akan meningkat bila ukuran mayoritas yang sependapat

juga meningkat, setidak-tidaknya sampai tingkat tertentu. Namun, berdasarkan

penelitian yang dilakukan oleh Wilder (1977) disimpulkan bahwa pengaruh ukuran

kelompok terhadap tingkat konformitas tidak terlalu besar, melainkan jumlah pendapat

lepas (independent opinion) dari kelompok yang berada atau dari individu merupakan

pengaruh utama.
i. Keterikatan pada perilaku bebas. Orang yang secara terbukan dan bersungguh-sungguh

terikat suatu penilaian bebas akan lebih enggan menyesuaikan diri terhadap penilaian

kelompok yang berlainan. Atau dengan kata lain keterikatan sebagai kekuatan total yang

membuat seseorang mengalami kesulitan untuk melepaskan suatu pendapat.

j. Keterikatan terhadap Non-Konformitas. Orang yang karena satu dan lain hal tidak

menyesuaikan diri pada percobaan-percobaan awal cenderung terikat pada perilaku

konformitas ini. Orang yang sejak awal menyesuaikan diri akan tetap terikat pada

perilaku itu.

C. Hubungan Antara Konformitas Dengan Perilaku Merokok Pada Remaja

Konformitas berkaitan dengan pengaruh yang datang dari lingkungan sosial dimana

individu akan berusaha mengikuti aturan yang ada agar bisa diterima didalam kebuah kelompok

atau masyarakat. Konformitas (dalam Kulsum & Jauhar, 2014) adalah suatu jenis pengaruh

sosial di mana individu mengubah sikap dan tingkah laku mereka agar sesuai dengan norma

sosial yang ada. Pengaruh sosial yang didapat bisa berupa pengaruh positif dan pengaruh

negatif.

Pengaruh positif berupa aktif dalam kegiatan bermasyarakat, berpakaian seperti teman-

teman didalam kelompok, mengikuti kegiatan organisasi, membuat kelompok belaajar, dan

sebagainya. Sedangkan yang bersifar negatif seperti, tawuran, terlibat dalam sebuah geng yang

tidak benar (seperti geng motor), mengikuti kegiatan yang tidak benar didalam suatu kelompok

(seperti merokok, berkelahi, mencopet, dll). Dan sebagainya.

Salah satu dampak buruk dari konformitas adalah berperilaku merokok. Perilaku

merokok bisa berawal dari dalam sebuah kelompok. Misalnya untuk dapat diterima didalam

sebuah kelompok individu diwajibkan untuk menaati peraturan yang sudah ada dan salah
satunya yaitu individu wajib merokok. Karena dilihat sebagai kelompok yang paling disegani

dilingkungan sekitar maka individu tersebut mengikuti peraturan yang ada tadi. Atau bisa jadi

melihat ada seseorang yang berperilaku merokok didalam sebuah kelompok mengakibatkan

teman-teman yang lainnya penasaran dan ingin mencobanya juga.

Perilaku merokok yang telah kita ketahui adalah sebagai perilaku yang tidak baik bagi

kesehatan tubuh dan lingkungan. Tidak hanya yang menghisap rokok saja yang bisa terkena

dampak buruk, orang yang berada disekitarnya juga bisa terkena dampak buruk dari asap rokok

yang dihasilkan si perokok. Merokok sudah menjadi masalah yang bertahun-tahun sulit

diberantas oleh pemerintah dan individu.

Zat yang ada didalam rokok dapat mengakibatkan orang yang menggunakannya bisa

kecanduan untuk menggunakannya lagi. Oleh karena itu rokok sulit dihentikan penggunaannya.

Merokok pada usia remaja menyebabkan cepatnya peningkatan resiko penyakit yang akan

diderita, misalnya jantung dan paru-paru. Tidak hanya itu, pada usia remaja banyak norma-

norma yang akan dilanggar bagi si perokok.

Selain resiko terkena penyakit, remaja yang merokok akan melanggar norma yang ada

disekolah. Karena usia remaja adalah usia wajib sekolah maka remaja yang melakukan

kegiatan ini akan mendapatkan hukuman dari pihak sekolahnya. Sekolah akan memberikan

sangsi kepada pelanggar agar tidak mengulangi pelanggarannya lagi.

Terlepas daari itu semua, yang paling penting disini adalah pengawasan dari orang tua.

Orang tua sangat berperan dalam proses tumbuh kembang anaknya. Kurangnya pengawasan

dari orang tua menjadikan remaja yang harusnya berada didalam pengawasan orang dewasa

menjadi terabaikan. Orang tua yang kurang memperhatikan anaknya akan membuat anaknya

terjerumus kedalam pertemanan yang sesat. Bisa saja anaknya dalam bergaul dikenalkan

dengan rokok, dan diajak untuk melakukan perbuatan yang tidak baik.
D. Hipotesis

Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis yang akan diajukan dalam penelitian ini

adalah ada hubungan antara konformitas dengan perilaku merokok pada remaja yang berada di

SMP Nurul Falah Pekanbaru. Bahwa, semakin tinggi tingkat konformitas remaja maka akan

semakin tinggi tingkat perilaku merokok pada remaja di SMP Nurul Falah Pekanbaru, demikian

juga sebaliknya semakin rendah tinggal konformitas remaja maka akan semakin rendah tingkat

perilaku merokok pada remaja di SMP Nurul Falah Pekanbaru.

Anda mungkin juga menyukai