Desain obat merupakan proses iterasi dimulai dengan penentuan senyawa yang
menunjukkan sifat biologi penting dan diakhiri dengan langkah optimasi, baik dari profil
aktivitas maupun sintesis senyawa kimia. Tanpa pengetahuan lengkap tentang proses biokimia
yang bertanggungjawab terhadap aktivitas biologis, hipotesis desain obat pada umumnya
didasarkan pada pengujian kemiripan struktural dan pembedaan antara molekul aktif dan tak
aktif (Leach, 2001). Kombinasi antara strategi mensintesis dan uji aktivitasnya menjadi sangat
rumit dan memerlukan waktu yang lama untuk sampai pada pemanfaatan obat. Dengan
kemajuan di bidang kimia komputasi, peneliti dapat menggunakan komputer untuk
mengoptimasi aktivitas, geometri dan reaktivitas, sebelum senyawa disintesis secara
eksperimental. Hal ini dapat menghindarkan langkah sintesis suatu senyawa yang membutuhkan
waktu dan biaya mahal, tetapi senyawa baru tersebut tidak memiliki aktivitas seperti yang
diharapkan.
Dua metode yang saling melengkapi dalam penggunaan komputer sebagai alat bantu
penemuan obat, adalah ligand-based drug design (LBDD) yaitu rancangan obat berdasarkan
ligan yang sudah diketahui, dan structure-based drug design (SBDD) yaitu rancangan obat
berdasarkan struktur target yang didasarkan pada struktur target reseptor yang bertanggung
jawab atas toksisitas dan aktivitas suatu senyawa didalam tubuh. Metode LBDD yang lazim
digunakan adalah pharmacophore discovery, hubungan kuantitatif struktur-aktivitas
(HKSA/QSAR), dan docking molekular (molecular docking).Sedangkan SBDD memanfaatkan
informasi dari struktur protein target untuk mencari sisi aktif protein yang berikatan dengan
senyawa obat. Berdasarkan prediksi sisi aktif dapat dirancang senyawa yang diharapakan
berikatan dengan protein target tersebut dan memiliki aktivitas biologis
Refrensi
- http://shabrina-chemist.blogspot.co.id/2011/12/peran-kimia-komputasi-dalam-bidang.html
(Prof. Dr. Harno Dwi Pranowo, M.Si. 2009. Peran Kimia Komputasi dalam Desain Molekul Obat. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada)