Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Karsinoma hepatoseluler/ hepatocellular carcinoma (HCC) merupakan


penyakit neoplasma ganas primer hepar tersering yang terdiri dari sel menyerupai
hepatosit dengan derajat diferensiasi bervariasi.1 HCC adalah istilah terminologi
yang lebih baik dibandingkan hepatoma dan kanker liver yang sebaiknya dihindari.

HCC sudah menjadi masalah kesehatan global, merupakan kanker kelima


ter banyak di dunia, yaitu 5,4% dari semua jenis kanker, dan penyebab kematian
ketiga ter tinggi akibat kanker.3,4 HCC menjadi salah satu keganasan terbanyak
pada dewasa, lebih dominan pada laki-laki dengan perbandingan 2-4:1. Angka
kejadian tertinggi ditemu kan di Asia dan Afrika dengan kelompok populasi
berusia 20-40 tahun, sedangkan di negara barat jarang terjadi sebelum usia 60
tahun.
Distribusi global dari KHS berkaitan erat dengan prevalensi geografis dari
karier kronik virus hepatitis B dan hepatitis C yang mencapai 400 juta di seluruh
dunia.(2) KHS banyak ditemukan di Sub-Sahara Afrika, Cina, Asia Tenggara, dan
Jepang. Laki-laki lebih banyak daripada wanita dengan perbandingan 2-3 kali. Di
antara mereka yang mengalami infeksi HBV pada saat lahir, laki-laki diperkirakan
memiliki risiko sebesar 50% terhadap KHS sepanjang hidupnya, sedangkan untuk
wanita sebesar 20%.(2) Di negara-negara tersebut di atas, derajat infeksi HBV
berkisar antara 10-25% dan menetap melalui transmisi vertikal dari virus tersebut
oleh ibu ke bayinya atau oleh infeksi dari anak-anak di bawah 10 tahun melalui
transmisi horisontal di dalam keluarga. Dalam keadaan infeksi HBV yang
persisten ini, risiko terjadinya karsinoma hepatoseluler meningkat 100 kali.(3)
Infeksi persisten dengan hepatitis C juga merupakan faktor risiko untuk terjadinya
KHS. Ada sekitar 4 juta orang di Amerika Serikat yang menderita infeksi HCV
kronik. Virus ini seringkali disebarkan secara parenteral pada orang dewasa dan
infeksi kronik terjadi pada sekitar 80% orang-orang yang terpapar virus
tersebut.(4) Rute parenteral ini dijumpai misalnya pada transfusi dan penyalah-
gunaan obat.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Hepar

Hati adalah kelejar terbesar dalam tubuh, berat rata-rata sekitar 1.500
gr atau 2% berat badan orang dewasa. Hati merupakan organ lunak yang
lentur dan tercetak oleh struktur disekitarnya. Hati memiliki permukaan
superior yang cembung dan terletak dibawah kubah kanan diafragma dab
sebagian kubah kiri. Bagian bawah hati berbentuk cekung dan merupakan
atap dari ginjal kanan, lambung, pankreas, dan usus. Hati memiliki dua lobus
tamanya yaitu kanan dan kri.

Gambar 1. Hepar Normal

Lobus kanan dibagi menjadi segmen anterior dan posterior oleh fisur
segmentalis kanan yang tidak terlihat di luar. Lobus kiri dibagi menjadi
segmen medial dan lateral oleh ligamentum falsiformisyang terlihat dari luar.
Ligmentum falsifarum berjalan dari hati ke diafragma dan dinding depan
abdomen. Permukaan hati diliputi oleh peritoneum viseralis, kecuali daerah
kecil pada permukaan posterior yang melekat langsung pada diafragma.
Beberapa ligamentum yang merupakan periotoneum terdapat jaringan ikat
padat yang disebut sebagai kapsula Glisson, yang meliputi permukaan sluruh
organ; bagian paling tebal kapsula ini terdapat pada porta hepatis, membentuk
rangka untuk cabang vena porta, arteri hepatika, dan saluran empedu. Porta
hepatis adalah fisura pada hati tempat masuknya vena porta dan arteri
hepatika serta tempat keluarnya duktus hepatika.

Gambar 2. Lobus posterior Hepar

2.2 Hepotocelluler Carcinoma


1. Definisi

Karsinoma hepatoseluler/ hepatocellular carcinoma (HCC) merupakan


penyakit neoplasma ganas primer hepar tersering yang terdiri dari sel
menyerupai hepatosit dengan derajat diferensiasi bervariasi.1 HCC adalah
istilah terminologi yang lebih baik dibandingkan hepatoma dan kanker liver
yang sebaiknya dihindari. Pada manusia, sebagian besar HCC muncul dengan
latar belakang hepatitis kronis atau sirosis.
2. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, insidens KHS meningkat tajam dan hampir mencapai
dua kali dalam waktu 20 tahun terakhir ini. Peningkatan ini sebagian
disebabkan oleh karena adanya epidemi dari virus hepatitis C yang dapat
mengakibatkan sirosis dan KHS. Sirosis karena virus hepatitis C merupakan
70% dari penyebab kasus-kasus KHS di Jepang dan 30-50% di Amerika
Serikat. Namun demikian, di Amerika Utara kasuskasus KHS terdapat pada
sekitar 40% penderita-penderita nonsirosis hati.
Distribusi geografis HCC di seluruh dunia sangat tidak merata (Gambar 4).
Negaranegara di Asia Tenggara (Taiwan, Korea, Thailand, Hong Kong,
Singapura, Malaysia, Cina Selatan) dan Afrika tropis menunjukkan insidens
paling tinggi dengan 10–20 per 100.000 populasi. Laju prevalensi juga
bervariasi di antara negara-negara tersebut, dengan insidens sebesar 150 per-
100.000 populasi di Taiwan dan 28 per-100.000 populasi di Singapura.
Tingginya laju insidens serupa diperkirakan didapati di Kamboja, Vietnam,
dan Myanmar, namun dokumentasi yang tepat tidak didapatkan. Laju terendah
HCC sebesar 1–3 per-100.000 populasi didapatkan di negara Barat, Australia,
Amerika Selatan, dan India; sedangkan laju yang menengah didapatkan di
Jepang, Timur Tengah, dan negara-negara Mediterania. Bila didasarkan atas
kelompok etnis, variasi insidens HCC tertinggi didapatkan pada etnis Cina
(16,2/100.000 pada pria dan 5/100.000 pada wanita), disusul Hispanik atau
Latin (9,8/100.000 pada pria dan 3,5/100.000 pada wanita), Afrika-Amerika
(7,1/100.000 pada pria dan 2,1/100.000 pada wanita), dan etnis Jepang
(5,5/100.000 pada pria dan 4,3/100.000 pada wanita).(9-10)

Gambar 3. Variasi regional laju insidensi HCC di dunia

3. Etiologi
HCC sangat berhubungan dengan penyakit hepar kronis, terutama infeksi
hepatitis B virus (HBV) dan hepatitis C virus (HCV).Sebanyak 52,3%
penderita HCC berasal dari infeksi HBV kronis dan 20% dari infeksi HCV.
Penyebab lain yaitu non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD), afl atoksin,
dan penyakit hepar alkoholik. Risiko HCC pada sirosis ber kisar 1-6% per
tahun. Sirosis tanpa memandang etiologinya, mempunyai risiko HCC 3-4 kali
lebih tinggi dibanding hepatitis kronis.Peningkatan proliferasi hepatoseluler
dapat mengarah pada aktivasi mutasi gen supresor tumor. Perubahan ini yang
nantinya menginisiasi hepatokarsinogenesis.

4. Patofisiologi
Patogenesis pasti HCC tidak diketahui. Namun jelas bahwa
hepatokarsinogenesis merupakan suatu proses bertingkat yang melibatkan
interaksi antara faktor eksogen dan faktor endogen, mekanisme karsinogen
langsung (misalnya bahan kimia tertentu dan karsinogenesis virus (HBV))
dan karsinogenik tidak langsung (misalnya nekroinflamasi kronis; lihat
Gambar 5). Proses nekroinflamasi kronis ditandai oleh destruksi berulan
parenkim hepar yang disertai stimulasi regenerasi dan remodelling hepar
yang terus-menerus.
Bahan-bahan sitokin dan imunomodulator seperti interleukin,
interferon, tumor necrosis factor-α, protease, dan faktor-faktor
pertumbuhan dilepaskan dan dapat memicu timbulnya fokus-fokus
praganas dari hepatosit yang mengalami displasia yang dapat berujung
pada transformasi ganas. Patogenesis molekuler HCC tidaklah seragam.
HCC adalah tumor yang secara genetik sangat heterogen, dengan
abnormalitas kromosom yang multipel walaupun tidak semuanya
terekspresi pada suatu HCC. Mutasi gen DNA, modifikasi epigenetik dari
gen supresor tumor, kerentanan genetik akibat polimorfisme genetik dalam
enzim-enzim yang memetabolisme obat, berbagai faktor pertumbuhan
(seperti misalnya insulin-like growth factors, epidermal growth
factors/EGF, transforming growth factor-β/TGF-β) tampaknya memiliki
peran dalam patogenesis HCC.(5,17)
Gambar 4. Skema patogenesis HCC merupakan proses bertingkat

5. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis berupa rasa nyeri tumpul umumnya dirasakan oleh
penderita dan mengenai perut bagian kanan atas, di epigastrium atau pada kedua
tempat epigastrium dan hipokondrium kanan. Rasa nyeri tersebut tidak berkurang
dengan pengobatan apapun juga. Nyeri yang terjadi terus menerus sering menjadi
lebih hebat bila bergerak. Nyeri terjadi sebagai akibat pembesaran hati,
peregangan glison dan rangsangan peritoneum. Terdapat benjolan di daerah perut
bagian kanan atas atau di epigastrium. Perut membesar karena adanya asites yang
disebabkan oleh sirosis atau karena adanya penyebaran karsinoma hati ke
peritoneum. Umumnya terdapat keluhan mual dan muntah, perut terasa penuh,
nafsu makan berkurang dan berat badan menurun dengan cepat. Yang paling
penting dari manifestasi klinis sirosis adalah gejala-gejala yang berkaitan dengan
terjadinya hipertensi portal yang meliputi asites, perdarahan karena varises
esofagus, dan ensefalopati.

6. Diagnosis
7. Manajemen
TERAPI BEDAH
Reseksi
Reseksi secara umum diterima sebagai terapi awal terpilih, namun
demikian belum ada penelitian acak terkontrol yang menunjukkan
efikasinya. Penelitian semacam ini sulit dilaksanakan karena hanya sedikit
pasien yang sesuai untuk tindakan hepatektomi parsial dikarenakan ukuran
tumor yang sudah besar, adanya invasi ke vaskuler, multifokalitas, adanya
hipertensi portal, ataupun rendahnya sisa cadangan fungsi hepar. Tindakan
bedah hanya dipertimbangkan pada pasien tanpa sirosis hati atau dengan
sirosis ringan (Child’s A cirrhosis), dengan tekanan vena portal normal,
dan dengan kadar bilirubin normal pula. Hasil yang baik dicapai apabila
kriteria tadi ditambah dengan adanya unifokalitas, tak adanya invasi ke
vaskuler, ukuran tumor kurang daripada 5 cm, dan progresivitas penyakit
yang relatif rendah. Dengan menggunakan seluruh kriteria tersebut,
diperkirakan hanya 5% pasien HCC dengan sirosis hati yang dapat
menjadi kandidat bagi reseksi bedah. Pada populasi pasien yang lolos
seleksi ketat tadi, hasil terbaik yang dilaporkan adalah angka survival 3
tahun sebesar 50%.(14) HCC bilobi (kedua lobus terkena) biasanya
digolongkan sebagai kontraindikasi bagi reseksi, namun penelitian terakhir
menyarankan bahwa pada pasien dengan sebuah massa yang dominan di
salah satu lobus dengan satu atau dua buah nodul tumor berukuran kecil di
lobus lainnya mungkin ada gunanya dikerjakan kombinasi antara reseksi
atas tumor yang dominan dan ablasi atau kemoembolisasi atas nodul(i) di
lobus kontralateralnya.(10)
Kontraindikasi absolut bagi reseksi adalah adanya metastasis jauh,
trombosis vena porta utama, atau adanya trombosis vena cava inferior.
Penyebab tersering mortalitas pascaoperasi adalah kegagalan hati,
perdarahan, serta komplikasi sepsis, yang dapat diperkecil
kemungkinannya dengan seleksi pasien secara baik. Pengembangan teknik
operasi memungkinkan diangkatnya jaringan hepar yang mengandung
nodul HCC secara selektif dengan teknik segmentektomi, atau bahkan
secara superselektif dengan subsegmentektomi (tindakan ini dapat
dikerjakan dengan panduan USG intraoperasi, yang dikenal sebagai
prosedur Makuuchi).(9,10)
Transplantasi Hati
Antusiasme pasien HCC terhadap transplantasi hati meningkat
sejak pertengahan 1990-an oleh karena peningkatan survival penerimanya.
Kriteria seleksi yang ketat merupakan kunci bagi hasil tadi. Hanya pasien
yang dirasa dapat bertahan pada periode perioperatif yang
dipertimbangkan untuk transplantasi. Pasien tersebut juga harus cukup
kuat menjalani pengobatan dan follow-up yang intens bagi penerima
transplan. Ketergantungan terhadap alkohol ataupun obat-obatan harus
disingkirkan. Yang paling penting, calon penerima transplan harus tidak
sedang menjalani pengobatan bagi penyakit serius yang diperkirakan
secara nyata dapat memperburuk harapan hidup. Semua proses intrinsik di
hepar yang menuju ke dekompensasi atau kegagalan hati secara teoretis
merupakan kontraindikasi bagi transplantasi hepar. Secara umum segala
bentuk penyakit hepar stadium akhir yang ireversibel dan dapat ditangani
dengan transplantasi hepar dianggap sebagai indikasi. Apabila ada
penyakit sistemik yang melibatkan hepar, terapi sistemiknya harus dicapai
dengan transplantasi hepar atau setidaknya efek sistemik transplantasi
hepar tidak malahan memperburuk keadaan.(8,15)
Untuk seleksi pasien HCC calon penerima transplan, secara umum
digunakan kriteria Milan, yaitu pasien dengan lesi tunggal berukuran ≤ 5
cm, atau lesi kurang dari 3 buah dan masing-masing berukuran ≤ 3 cm. Di
Eropa, Barcelona Clinic Liver Cancer Staging and Treatment Approach
telah menyusun bagan alur klasifikasi HCC beserta penatalaksanaannya,

Gambar 8. Alur Tatalaksana HCC menurut BCLC


Dikutip dari: Dancygier H. Clinical Hepatology Vol.2, 2010 (5)
seperti tampak pada Gambar 8. Berdasarkan kriteria ini, pasien
HCC dibagi menjadi stadium sangat dini, dini, menengah, lanjut, dan
terminal. Transplantasi hati diperuntukkan pasien HCC stadium sangat
dini dengan peningkatan tekanan vena porta dan stadium dini tanpa
penyulit. Pasien HCC penerima transplantasi hati sesuai algoritma ini
dilaporkan memiliki angka survival lima tahun sebesar 60-70%.(8,9,14,15,17)
TERAPI ABLASI LOKAL
Injeksi Etanol Perkutan (PEI - Percutaneous Ethanol Injection)
PEI digunakan untuk terapi HCC yang kecil dan terlokalisir. HCC
berukuran kurang dari 3 cm dan berjumlah kurang dari 3 nodul merupakan
kandidat yang sesuai bagi PEI. Pada PEI, etanol steril disuntikkan ke
nodul tumor dengan panduan USG atau CT. Destruksi sel tumor oleh
alkohol absolut steril yang diinjeksikan diperkirakan dihasilkan oleh
kombinasi dari dehidrasi sel, nekrosis koagulasi, serta trombosis vaskuler
yang diikuti iskemia jaringan. Hasil nekrosis yang dicapai bergantung
pada ukuran nodul. Nodul kecil kurang dari 3 cm biasanya dapat
dihancurkan secara total, sedangkan nodul yang lebih besar hanya parsial
saja. Tindakan PEI dapat diulang beberapa hari kemudian bila
diperlukan.(15)
Komplikasi PEI yang dapat muncul adalah timbulnya nyeri
abdomen yang dapat terjadi akibat kebocoran etanol ke dalam rongga
peritoneal. Kontraindikasi PEI meliputi adanya asites yang masif,
koagulopati, atau ikterus obstruksi, yang semua dapat meningkatkan risiko
perdarahan dan peritonitis bilier pasca-tindakan. Angka survival 3 tahun
bagi pasien sirosis dengan nodul tunggal HCC yang ditangani dengan PEI
dilaporkan sebesar
70%.(15)
Ablasi Radiofrekuensi (RFA – Radiofrequency Ablation)
Dibandingkan dengan sel-sel normal, sel-sel ganas ternyata lebih
tahan terhadap kerusakan letal akibat pembekuan, namun lebih rentan
terhadap kerusakan hipertermik. Berdasarkan sifat ini, saat ini telah
dikembangkan suatu metoda ablasi dengan radiofrekuensi, yang
merupakan metoda termal lokal untuk menghancurkan tumor dengan
memasukkan suatu probe penghantar panas ke dalam tumor (dengan
panduan pencitraan, laparoskopik atau laparotomi) yang kemudian
dipanaskan hingga mencapai suhu 60oC atau lebih (Gambar 9). Pada suhu
tersebut, protein intrasel akan mengalami denaturasi, membran lipid akan
meleleh, dan kematian sel akan segera terjadi. Prosedur ini terbatas
penggunaannya, yakni untuk lesi-lesi subkapsuler dan relatif jauh dari
pembuluh darah yang besar (bila terlalu dekat dengan pembuluh darah
akan menyulitkan tercapainya temperatur yang cukup tinggi bagi nekrosis
komplit tumor).(27-29)
Pada saat ini telah dikembangkan dan digunakan perangkat untuk
menghantarkan panas radiofrekuensi dengan elektroda yang multipel. Alat
ini (yang disebut multielectrode arrays) menyebarkan radiofrekuensi
melalui ujung-ujung kawat melengkung seperti kawat payung, masing-
masing berkanul dengan ukuran 14 hingga 16 gauge. Bentuk ini
memungkinkan penghantaran radiofrekuensi (yang dikonduksi oleh
sejumlah kecil cairan salin yang disalurkan lewat kanul) ke daerah yang
lebih luas daripada alat dengan hanya satu ujung. Fungsi cairan salin
adalah untuk meningkatkan konduksi termal dan memperluas area
permukaan aktif elektroda agar nekrosis koagulasi dapat lebih luas
(Gambar 10).(28,29)
Gambar 9 (kiri). Skema Ablasi Radiofrekuensi
(RF) di hepar. Gambar ini
menunjukkan operator memasukkan
suatu elektroda RF ke dalam tumor di
dalam hepar. Elektroda terhubung ke
generator RF. Pemanasan karena
tahanan terjadi sebagai akibat dari
agitasi ionik di sekitar elektroda
menjadi energi RF yang berosilasi
selama usaha untuk mencapai ground
(dalam gambar ini, landasan pad
sebagai ground di punggung pasien
tidak tervisualisasi).
Dikutip dari: Ellis, et al, Radiofrequency
Ablation for Cancer, 2004(28)
Gambar 10 (kanan).
Hooked Multielectrode
Arrays Radiofrequency
Needles
Dikutip dari: Ellis, et al,
Radiofrequency Ablation
for Cancer, 2004(28)
Sebuah studi yang membandingkan RFA dengan PEI pada pasien-
pasien dengan HCC berukuran lesi hingga 4 cm menunjukkan bahwa RFA
unggul dalam hal angka survival 3 tahun pasien (74% dibanding 51%).
Penelitian yang lain menunjukkan manfaat RFA sama saja dengan PEI.
Secara umum, hanya sedikit saja penggunaan RFA yang mencapai
nekrosis lengkap tumor, tanpa perbedaan bermakna dalam morbiditas dan
peningkatan ketahanan hidup pasien.(28-33)

Kryoterapi/Kryoablasi (Cryotherapy/Cryoablation)
Kryoterapi atau juga dikenal dengan kryoablasi merupakan salah
satu metoda penggunaan sifat termal untuk mengablasi suatu tumor.
Kryoterapi ditempuh dengan menggunakan pendinginan/pembekuan yang
cepat, biasanya menggunakan gas nitrogen, penghangatan yang lambat,
lalu pengulangan siklus pembekuan-penghangatan (freeze-thaw cycles)
tadi hingga mencapai titik ablasi yang ditandai oleh terbentuknya kristal es
pada intradan ekstrasel, penggabungan kristal es yang terbentuk (sebagai
bola es), dan kerusakan vaskuler setempat. Efek kryoterapi meliputi
kerusakan vaskuler, kerusakan organela dan dinding sel, dehidrasi sel,
serta perubahan pH dan osmolaritas intrasel. Pengulangan siklus
pembekuan-penghangatan tadi akan menghasilkan kerusakan jaringan sel
tumor target yang lebih luas karena sel tumor dihadapkan pada paparan
termal berulang yang merusak. Kerusakan unsur dan dinding sel selama
siklus pembekuan-penghangatan sebelumnya akan menyebabkan
meningkatnya konduktivitas termal dan berakibat pendinginan yang lebih
cepat serta pembesaran volume jaringan yang dibekukan.(8)
Indikasi kryoterapi dalam konteks HCC adalah untuk pasien
dengan tumor multipel yang bilobi yang tidak memungkinkan bagi
tindakan reseksi subsegmental yang multipel. Dalam kasus ini kryoterapi
akan bertindak sebagai pendamping reseksi subsegmental, sehingga
memungkinkan destruksi fokal tumor sambil menjaga jaringan hepar yang
fungsional. Bagi pasien dengan kondisi umum yang buruk, pendekatan
kryoterapi perkutan dapat dipertimbangkan.(8)
Teknik kryoterapi intraoperatif (cryosurgery) dikerjakan
pascareseksi segmental, dengan menempatkan suatu cryoprobe dengan
panduan ultrasonografi intraoperatif (intraoperative
ultrasonography/IOUS) sehingga ujung probe tadi mencapai tengah/pusat
lesi tumor yang dituju (Gambar 11, dengan pesawatnya pada Gambar 12).
Untuk lesi yang lebih besar dari 3 cm, dapat dipakai 2 cryoprobe atau
lebih agar ablasi lebih cepat dan lebih menyeluruh ke semua area tumor.
Kemudian di bawah pemantauan menggunakan IOUS tadi, pembekuan-
penghangatan dikerjakan. Setelah tindakan selesai, hemostasis dikerjakan,
dinding abdomen ditutup setelah pemasangan dua buah drain.(8)
Gambar 11. (Atas). Cryosurgery – suatu
kryoterapi saat operasi
Dikutip dari: Lau WY, A Book on Hepatocellular
Carcinoma, 2007(8)
Gambar 12. (kanan). Mesin ERBE Cryo 6
(Elektromedizin, Tübingen, Jerman )
Dikutip dari: Lau WY, A Book on Hepatocellular
Carcinoma, 2007(8)
Zhou dkk. melaporkan angka survival 1, 3, dan 5 tahun pasien
HCC yang ditangani dengan kryoablasi berturut-turut sebesar 74%, 48%,
dan 32%. Komplikasi pasca-tindakan yang harus diwaspadai cukup
banyak, meliputi sindroma cryoshock (merupakan sindroma kegagalan
multiorgan yang ditandai oleh koagulopati berat, disseminated
intravascular coagulation/DIC, acute adult respiratory distress syndrome
(ARDS), kegagalan hati, kegagalan hepar, hipotensi atau syok, perdarahan
akibat pecahnya “bola es” yang meluas ke kapsul hepar, trombositopenia,
pireksia aseptik, aritmia kordis, abses subfrenik atau intrahepatik, fistula
bilier, dan komplikasi pulmonal berupa efusi pleura, atelektasis, kolaps
paru serta infeksi paru.(21)

Ablasi dengan Ultrasonik Intensitas Tinggi Terfokus (High Intensity


Focused
Ultrasound/HIFU)
Ablasi dengan HIFU yang dikembangkan pada tahun 1990-an
merupakan metoda penanganan tumor dari luar tubuh dengan
memanfaatkan sifat fisika gelombang USG dengan mengarahkan,
mempenetrasikan, serta memfokuskan energi rendah gelombang ultrasonik
di luar tubuh pada area tumor sehingga menjadikan jaringan target tumor
suatu fokus nekrosis koagulasi, tanpa merusak jaringan sekitarnya
(Gambar 13). Konsep ini dapat dianalogikan dengan memfokuskan sinar
matahari dengan kaca pembesar untuk menghasilkan api. Mekanisme
utama perusakan sel tumor oleh HIFU adalah secara termal, yakni lewat
denaturasi protein oleh suhu tinggi yang dihasilkan oleh pemfokusan
energi ultrasonik tadi pada tumor (temperatur di dalam fokus tumor
dinaikkan hingga melebihi 80oC). Mekanisme lainnya adalah
penghancuran jaringan oleh efek kavitasi akustik. Gelombang ultrasonik
HIFU menyebar ke dalam jaringan sebagai gelombang bertekanan. Oleh
karena cairan interseluler sekitar fokus menjadi bertekanan negatif, suatu
waktu akan timbul gelembunggelembung udara di sana. Gelembung-
gelembung udara tadi akan bertumbukan dan kemudian menyatu menjadi
gelembung yang lebih besar. Saat mencapai diameter yang beresonansi
dengan gelombang ultrasonik yang dipancarkan (sekitar 3 μm pada
frekuensi 1 MHz), gelembung-gelembung tadi akan sangat membesar
kemudian kolaps dengan cepat pula. Inilah yang disebut dengan kavitasi
inersi akustik. Suhu yang amat tinggi dan pergeseran tekanan yang terjadi
diteruskan ke sekitar gelembung yang kolaps tadi, berakibat kerusakan
lokal akibat mekanik dan termal yang terlokalisir. Secara histologis akan
jaringan tumor akan tampak mengalami nekrosis koagulasi, dan akan
didapatkan lubang-lubang transparan pada lokasi gelembung terjadi.
Ablasi menggunakan HIFU dewasa ini membawa hasil yang cukup
menggembirakan, khususnya untuk penanganan tumor hati, uterus, ginjal,
payudara dan pankreas. Di dunia barat, ablasi menggunakan HIFU masih
pada tahap clinical trial. Li Chuan-Xing dkk. pada tahun 2003 meneliti
manfaat klinis ablasi dengan HIFU pada tumor hati primer dan metastasis,
menyatakan bahwa HIFU dapat menjadi pilihan terapi yang cukup aman
dan efektif untuk kanker hati. Lebih lanjut, Feng Wu dkk. (2005)
menyatakan bahwa kombinasi ablasi dengan HIFU dan TACE merupakan
pendekatan terapi yang cukup menjanjikan.(27,33,34)

Kemoembolisasi Transarterial (=Transarterial Chemoembolization/TACE)


HCC adalah suatu tumor yang kaya vaskularisasi, terutama dari
arteria hepatika yang mengalirkan sekitar 80-90% suplai darah HCC
(sisanya oleh vena porta). Sebaliknya parenkim hati non-tumor
mendapatkan mayoritas suplai darah dari vena porta. Berdasarkan
pemahaman ini, dikembangkan terapi TACE yang menggunakan
kateterisasi selektif arteria hepatika untuk memasukkan kemoterapi
regional, kemudian mengembolisasi arteria yang memberi suplai darah
bagi tumor (tumor-feeding artery) (lihat Gambar 13). Pemberian
kemoterapi secara selektif ini bertujuan untuk meningkatkan konsentrasi
bahan kemoterapi pada tumor dan untuk mengurangi paparan sistemik.
Kemoterapi (yang sering digunakan adalah preparat cisplatin, doxorubicin,
mitomycin C, atau kombinasi dari bahan-bahan ini) mula-mula disuntikkan,
seringkali dalam bentuk campuran dengan lipiodol, suatu senyawa minyak
yang cenderung terakumulasi di dalam jaringan tumor HCC. Akumulasi
ini kemungkinan akibat peningkatan permeabilitas pada pembuluh darah
dan retensi akibat terganggunya aliran limfatik. Tindakan tadi disusul
dengan embolisasi feeding artery menggunakan satu atau beberapa bahan
embolik (lipiodol selain sebagai bahan pembawa obat, juga merupakan
bahan embolik; bahan lain meliputi alkohol polivinil, gelfoam, serta
butiran pelepas-obat/drug-eluting beads seperti DC/LC Beads,
Hepasphere/Quadrisphere, microsphere) (Gambar 14).(27,35)
Gambar 14. Suplai vaskuler HCC. Angiogram sesaat sebelum TACE (A) yang dibuat
melalui suatu mikrokateter selektif yang ditempatkan pada satu cabang dari arteria
hepatika dekstra (ujung panah hitam) menunjukkan adanya kondisi disorganisasi pada
arteriola hepatika yang menyuplai tumor (ujung panah putih). Citra pasca-TACE (B)
menunjukkan pooling atau konsentrasi dari senyawa campuran lipiodol–kemoterapi di
dalam vascular bed yang abnormal dari tumor (ujung panah)
Dikutip dari: McMasters and Vauthey, Hepatocellular Carcinoma - Targeted Therapy and
Multidisciplinary Care, 2011(13)
Untuk kemoembolisasi yang aman, suplai darah bagi jaringan hati
non-tumor dari vena porta haruslah adekuat. Karena itu, adanya trombosis
cabang utama vena porta merupakan kontraindikasi. Kontraindikasi lain
meliputi metastasis ekstrahepatik, tumor hati yang besar (>50% ukuran
hepar), sirosis hati yang lanjut, dan kondisi umum yang buruk (skor Child-
Pugh ≥8, kadar bilirubin serum >50 μmol/L). Keluhan pasien yang
mengikuti tindakan embolisasi meliputi sindroma yang terdiri atas nyeri
abdomen, demam, keluhan yang menyerupai flu, kelemahan umum,
ataupun mual, yang biasanya membaik spontan dalam 2 – 4 hari,
walaupun pada beberapa pasien dapat berlanjut menjadi abses hati.
Komplikasi meliputi komplikasi pada tempat injeksi (<5% tindakan,
meliputi hematoma, perdarahan, trombosis) dan komplikasi terkait
tindakan (±1-5% tindakan, meliputi infeksi/abses, gagal hati akut,
netropenia).(27,35)

TERAPI SISTEMIK
Kemoterapi Sistemik
Banyak studi yang meneliti terapi sistemik untuk HCC, khususnya
pada pasien yang inoperabel, dan banyak pula yang hasilnya tidak terlalu
menggembirakan. Terapi kemoterapi sistemik yang diberikan dapat
digolongkan ke dalam beberapa kelompok, antara lain:
1. Kemoterapi sitotoksik (meliputi etoposide, doxorubicin, epirubicin,
cisplatin, 5-
fluorouracil, mitoxantrone, fludarabine, gemcitabine, irinotecan,
nolatrexed)(36,37)
2. Terapi hormonal
Estrogen secara in vitro terbukti memiliki efek merangsang
proliferasi hepatosit, dan secara in vivo bisa memicu pertumbuhan tumor
hepar. Obat antiestrogen, tamoxifen, dipakai karena bisa menurunkan
jumlah reseptor estrogen di hepar. Namun hasil studi random fase III yang
dilakukan oleh Barbare ternyata tidak menunjukkan peningkatan
survival.(38)
3. Terapi somatostatin (ocreotide, lanreotide)
Somatostatin memiliki aktivitas antimitosis terhadap berbagai
tumor non-endokrin, dan sel-sel HCC memiliki reseptor somatostatin.
Karena itu analog somatostatin dipakai untuk menangani pasien dengan
HCC yang lanjut. Sebuah penelitian random awal oleh Kouroumalis dkk.
menunjukkan perbaikan survival pada pasien yang diberi terapi ocreotide
secara subkutan, namun studi lainnya oleh Becker dkk. menunjukkan tidak
ada peningkatan survival pada pemberian ocreotide aksi lama
(lanreotide).(39,40)

4. Terapi dengan thalidomide (sebagai terapi tunggal atau kombinasi


dengan epirubicin atau interferon)
Thalidomide yang awalnya dikembangkan pada tahun 1960-an
sebagai sedatif, barubaru ini dievaluasi ulang perannya untuk obat
antikanker. Penggunaannya pada pasien HCC lanjut terutama berdasarkan
efek anti-angiogeniknya. Studi fase II telah dibuat untuk mengukur
kemangkusan thalidomide sebagai terapi tunggal atau dalam kombinasi
dengan epirubicin atau dengan interferon menunjukkan aktivitas yang
terbatas pada pengobatan HCC.(36,42,43)
5. Terapi interferon
Interferon yang biasa dipakai untuk terapi hepatitis viral telah
dicobakan untuk pengobatan HCC. Mekanisme terapinya ada beberapa,
meliputi efek langsung antivirus, efek imunomodulasi, serta efek
antiproliferasi langsung maupun tak langsung.Beberapa studi awal
menunjukkan pemberian interferon dosis tinggi meningkatkan angka
survival, namun ada toksisitas karena obat pada penerimanya. Penelitian
lain menunjukkan bahwa pemberian interferon dosis rendah tidak
menunjukkan efek perbaikan yang bermakna.(44,45)
6. Molecularly targeted therapy
Erlotinib yang merupakan inhibitor tirosin-kinase yang bekerja
pada reseptor EGF (epidermal growth factor), menunjukkan kemangkusan
sebagai pengobatan HCC lanjut. Sunitinib adalah inhibitor tirosin-kinase
multitarget dengan kemampuan antiangiogenesis pula. Sebuah studi fase II
memperlihatkan pemberian sunitinib pada pasien HCC yang inoperabel
memberikan hasil survival keseluruhan sebesar 9,8 bulan.(46) Sorafenib
adalah inhibitor multi-kinase oral yang menghambat proliferasi sel tumor
dengan membidik jalur sinyal intrasel pada tingkat Raf-1 dan B-raf serin-
treonin-kinase dan juga menghasilkan efek anti-angiogenik dengan
membidik reseptor EGF (endothelial growth factor) 1, 2, dan 3 serta
reseptor platelet derived growth factor dari tirosin-kinase beta. Obat ini
cukup mahal, namun manfaat klinisnya masih sangat terbatas.(47-49)
TERAPI RADIASI
Terapi Radiasi Eksterna
Dalam sejarahnya, radioterapi memiliki peran yang terbatas dalam
penanganan keganasan pada hati, disebabkan toleransi hepar terhadap
radiasi. Risiko munculnya gangguan hati yang diinduksi oleh radiasi
(RILD=radiation-induced liver disease) membatasi dosis radiasi eksterna
terhadap seluruh jaringan hati hanya sebesar 30-35 Gy yang diberikan
dalam fraksi-fraksi berdosis 2 Gy, suatu dosis yang jauh di bawah dosis
yang dibutuhkan untuk eradikasi tumor solid. Pengembangan 3-DCRT
(three dimensional conformal radiotherapy) maupun targeting therapies
memungkinkan pemberian dosis radiasi yang lebih tinggi ke daerah tumor
sambil meminimalkan paparan ke jaringan hati sekitar.(12)
RILD dapat timbul pada 5-10% pasien yang menerima radiasi 30-32
Gy pada seluruh liver menggunakan fraksinasi konvensional, biasa muncul
2 hingga 4 bulan setelah iradiasi dan ditandai oleh hepatomegali anikterik,
asites, serta meningkatnya enzim-enzim hepar terutama fosfatase alkali,
dengan sedikit atau tanpa peningkatan bilirubin (kesemuanya muncul pada
saat tidak adanya progresivitas tumor). Patologi yang mendasari adalah
terjadinya oklusi vena-vena kecil yang pada selanjutnya dapat disertai
atrofi hepatosit dan fibrosis hati. Tampilan klinis RILD berkisar dari yang
ringan dan reversibel hingga kegagalan hati yang progresif yang berujung
kematian.(12)
Saat ini untuk memberikan terapi radiasi eksterna bagi pasien HCC
yang inoperabel, dikembangkan beberapa teknik,(12) antara lain:
- Three dimensional conformal radiotherapy (3-D-CRT)
- Intensity-modulated radiotherapy (IMRT)
- Stereotactic body radiotherapy (SBRT)
- Proton beam dan heavy ion therapy

Terapi Radiasi Interna menggunakan selective internal radiotherapy (SIRT)


dengan Radioisotop

Suatu usaha lain untuk mengantarkan radiasi fokal ke jaringan


HCC adalah radiasi interna dengan memakai isotop radioaktif. Terapi yang
sudah digunakan adalah menggunakan yttrium-90 (90Y) yang tertanam di
dalam resin/gelas microsphere, lipiodol yang dilabel dengan iodine-131
(131I), dan 4-hexadecyl-1,2,9,9-tetramethyl-4,7 diaza-1,10-
decanethiol/lipiodol berlabel 188Re (188Re-HDD/lipiodol), diberikan secara
selektif ke tumor melalui arteria hepatika yang merupakan pembuluh
darah utama penyuplai tumor HCC. Jaringan hepar normal sendiri
mendapatkan suplai utama dari vena porta. Dengan demikian, pemberian
bahan-bahan radionuklida melalui arteria hepatika akan memberikan
distribusi dosis radiasi yang tinggi pada tumor dan sangat sedikit saja yang
memapar parenkim hepar normal sekitar. Dibandingkan dengan
radioterapi eksternal, SIRT memungkinkan pemberian dosis yang jauh
lebih tinggi ke jaringan tumor (100-150 Gy) tanpa toksisitas bagi hepar
yang bermakna.(6,12,50,51)
Terapi SIRT dengan metoda TART (transarterial radionuclide
therapy) lain yang jarang dipakai untuk terapi HCC adalah dengan
memakai Phosphorus-32 (32P) glass microsphere dan Milican/holmium-
166 microspheres (HoMS).(7) Kedua terapi ini tidak dipaparkan dalam
tulisan ini.

SIRT dengan 90Ytrium microsphere


Radioterapi internal menggunakan 90Ytrium telah digunakan sejak
1960-an. 90Y adalah suatu beta emitter murni dengan waktu paruh 64,2
jam, menghasilkan unsur stabil zirconium-90. Kemampuan penetrasi emisi
partikel betanya ke dalam jaringan adalah sejauh 2,5-11 mm. 90Ytrium ini
diberikan dalam ikatan dengan suatu mikro- atau nanopartikel yang
disebut microsphere dari bahan gelas/kaca ataupun resin. Therasphere®
(MDS Nordion, Ottawa, Canada) adalah microsphere berbahan kaca mikro
yang tak teruraikan dalam tubuh dengan diameter antara 20 dan 30 μm,
dan telah mendapat persetujuan dari FDA pada tahun 1999 untuk terapi
pasien HCC dengan trombosis vena porta. SIR-Spheres® (Sirtex Medical,
Lane Cove, Australia) merupakan microsphere yang terbuat dari resin
yang teruraikan dalam tubuh. Dibandingkan dengan Therasphere®, ia
memiliki diameter yang sedikit lebih besar (yaitu antara 20 dan 60 μm)
dan gravitasi spesifik per-microsphere yang lebih rendah. Pada tahun 2002
SIR-Spheres® disetujui oleh FDA untuk diberikan pada pasien dengan
metastasis kanker kolorektal di hepar.(7,12,50,52)

Persiapan Tindakan Pemberian 90Y-microsphere


Sebelum pemberian terapi 90Y-microsphere, wajib dikerjakan sidik
praterapi dengan SPECT 99mTc-macroaggregate-albumin (99mTc-MAA)
intra-arteri hepatik untuk memeriksa adanya pirau hepar-paru potensial
dan untuk menyingkirkan reflux aliran darah ke usus besar, lambung, atau
pankreas. Semua ini perlu untuk mencegah komplikasi-komplikasi yang
dapat dihindari seperti pnemonitis radiasi, ulserasi usus/gaster, pankreatitis
akut. Untuk profilaksi komplikasi tadi, kadangkala dilakukan embolisasi
profilaksis pembuluh darah kolateral saat sidik dikerjakan agar saat
pemberian terapi SIRT nanti kemungkinan deposisi radioaktif ke tempat-
tempat yang tidak diharapkan dapat dikurangi.(53)
Persiapan dan evaluasi pra-terapi lain yang harus dikerjakan adalah
pemeriksaan laboratorium darah (kadar enzim-enzim hati, kolinesterase,
hitung darah, koagulasi serta kadar kreatinin sebaiknya diperiksa dalam
kurun waktu 2 minggu sebelum terapi), serta pemeriksaan angiografi
pembuluh darah mesenterika dengan high-speed multi slice CT (angio-CT),
yang bertujuan:
1) untuk menilai akses arteria hepatik, yaitu adanya variasi anatomi
(seperti arteria hepatika dekstra yang dipercabangkan dari arteria
mesenterika superior)
2) untuk menilai adanya trombosis vena porta yang dapat tampak selama
fase venosa, dan ada tidaknya malformasi arteriovenosa ataupun
pembuluh aberans yang dapat menyebabkan aliran sistemik senyawa
radioaktif ke dalam sirkulasi sistemik
3) penempatan koil untuk jalur terapi.(53)
Pasien harus diberi informasi lisan maupun tertulis mengenai
prosedur tindakan. Pasien harus diberitahu bahwa terapi ini bukanlah
untuk kuratif, melainkan terapi paliatif yang ditujukan ke lesi tumor di
hepar mereka. Efek samping potensial maupun nasihat untuk mengurangi
bahaya paparan ke anggota keluarga atau lingkungan pasien harus
disampaikan. Akhirnya, informed consent tertulis harus dimintakan dari
pasien.(53)

Kontraindikasi terapi SIRT 90Ytrium microsphere meliputi:


a. Kontraindikasi umum pemberian terapi radioaktif intraarterial (termasuk
terapi dengan 131I) yang terdiri atas:
- kontraindikasi absolut: kehamilan, menyusui, perkiraan harapan hidup
kurang dari 1bulan
- kontraindikasi relatif: skor Child-Pugh di atas 7, banyak metastasis
ekstrahepatik, gangguan ginjal yang berat (klirens kreatinin <30
ml/menit), gangguan paru yang berat, serta semua kontraindikasi
tindakan kateterisasi arteria hepatika (gangguan koagulasi yang tak
dapat tertangani, gagal ginjal, alergi terhadap media kontras,
abnormalitas vaskuler).
-
b. Kontraindikasi spesifik bagi pemberian masing-masing bahan antara
lain:
1. Kontraindikasi untuk pemberian TheraSphere®:
- Kasus dengan sidik SPECT/CT praterapi menggunakan 99mTc MAA
menunjukkan deposit radioaktivitas pada saluran cerna yang tidak
dapat dikoreksi dengan teknik angiografi
- kasus dengan pirau hepar-pulmo sehingga dapat mengakibatkan
mengalirnya lebih dari 610 MBq 90Y ke paru. Pnemonitis radiasi
akan mulai timbul apabila dosis yang diterima paru setiap terapi
tunggal sebesar 30 Gy.
- kasus disfungsi hati ataupun insufisiensi paru yang berat.

Catatan khusus:
- tipe tumor yang infiltratif
- “Bulk disease” yaitu volume tumor > 70% dari volume hepar, atau
adanya nodul tumor yang multipel
- AST atau ALT > 5 kali nilai rujukan
- bilirubin yang lebih tinggi dari nilai rujukan
- volume tumor > 50% volume hepar dengan kadar albumin < 3 g/dl
- pasien yang dalam terapi antiangiogenesis dapat berpengaruh pada
kualitas
pembuluh darah dan dapat memicu komplikasi selama angiografi.(53)
2. Kontraindikasi untuk pemberian SIR-spheres®:
- penderita dengan hasil laboratorium fungsi ekskresi hati yang
abnormal (> 5 kali nilai rujukan)
- adanya asites atau tanda klinis kegagalan fungsi hati
- adanya abnormalitas anatomi pembuluh darah yang diperkirakan
dapat mengakibatkan aliran balik/reflux aliran darah dari arteria
hepatika ke lambung, pankreas atau usus besar (dari angiogram
praterapi)
- laju/fraksi pirau hepar-paru (LSF=Lung shunt fraction) lebih dari 20%
yang dihitung berdasarkan sidik praterapi SPECT/CT 99mTc-MAA
intraarteria hepatika. Fraksi ini dapat dihitung dengan rumus berikut:

𝑓𝑟𝑎𝑘𝑠𝑖 𝑝𝑖𝑟𝑎𝑢 𝑝𝑎𝑟𝑢 (%)


aktivitas di paru (𝑐𝑜𝑢𝑛𝑡𝑠)
=
jumlah aktivitas di hepar + di paru (𝑐𝑜𝑢𝑛𝑡𝑠)
- metastasis ekstrahepatik yang luas
- kontraindikasi relatif meliputi riwayat radiasi eksterna atas sebagian
besar dari volume total hepar
- penderita dengan riwayat pemberian capecitabine di dalam kurun 2
bulan sebelum injeksi, atau yang direncanakan akan diberi
capecitabine kapan pun setelah terapi dengan SIR-spheres®
- trombosis vena porta utama.

Catatan khusus:
- Pemberian SIR-spheres® yang kurang hati-hati sehingga masuk ke
saluran gastrointestinal atau ke pankreas akan menyebabkan nyeri
abdomen akut, pankreatitis akut atau ulkus peptikum, sedangkan bila
masuk ke kandung empedu dapat menyebabkan kolesistitis
- pemberian dosis radiasi yang tinggi dan/atau adanya pirau ke paru
yang berat dapat berakibat pnemonitis radiasi
- radiasi yang eksesif terhadap parenkima hepar normal dapat
menyebabkan hepatitis radiasi
- pasien yang dalam terapi antiangiogenesis dapat berpengaruh pada
kualitas pembuluh darah dan dapat memicu komplikasi selama
angiografi.

Dosimetri Terapi 90Y-microsphere


Tidak seperti terapi SIRT dengan Lipiodol yang memakai dosis tetap,
terapi dengan microsphere didasarkan pada dosimetri saat perencanaan
terapi. Ada beberapa metoda perhitungan dosimetri yang diusulkan oleh
para peneliti.
- Metoda dosimetri pertama dibuat berdasarkan atas data empirik
menyangkut ukuran tumor, yaitu pemberian dosis dengan aktivitas
yang diusulkan sebesar 2 GBq untuk tumor < 25% dari volume hepar
total; 2,5 GBq untuk tumor berukuran antara 25% dan 50% dari
volume hepar, dan 3 GBq untuk tumor yang melebihi ukuran 50%
dari volume hepar.
- Metoda kedua yang diusulkan untuk terapi SIR-spheres®,
memasukkan unsur luas permukaan tubuh (body surface area/BSA)
dalam meter-persegi, dengan formula sebagai berikut:
𝑇𝑢𝑚𝑜𝑟 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒
𝐴 (𝐺𝐵𝑞) = (𝐵𝑆𝐴 − 0,2) +
𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑙𝑖𝑣𝑒𝑟 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒

dengan perhitungan BSA(m2) = 0,20247 x tinggi badan(m)0,725 x berat


badan(kg)0,425.
- Metoda dosimetri yang lainnya meliputi MIRD (Medical Internal
Radiation Dose) yang terdiri atas 2 macam dosimetri, yakni
makrodosimetri non-kompartemen yang diusulkan oleh Salem dkk.
untuk pemberian Therasphere®, dan makrodosimetri kompartemen
yang diusulkan oleh Gulec dkk. yang dapat diterapkan untuk kedua
jenis sphere. Makrodosimetri kompartemen memasukkan perhitungan
dengan akurasi variabel, yaitu dengan menghitung volume hepar dan
tumor, rasio tumor dan jaringan hepar normal, serta persentase
radioaktivitas yang diperkirakan akan masuk ke paru-paru. Kedua
model dosimetri ini didasarkan pada dosis untuk keseluruhan hepar.
Jika terapi hendak ditujukan untuk lobus tertentu, dosimetri harus
dihitung lagi dengan asumsi volume seluruh hati "dikoreksi" dengan
volume proporsional lobus target yang diterapi. Dosis yang diberikan
juga harus disesuaikan/dikurangi lagi berdasarkan fraksi pirau
paru/LSF (lihat rumus di atas). Untuk SIR-spheres®, dosis pemberian
tidak dikurangi bila LSF kurang dari 10%, dikurangi 20%-nya bila
LSF sebesar 10-15%, dikurangi 40%-nya bila LSF sebesar 15-20%,
dan dikontraindikasikan untuk LSF di atas 20%. Untuk Therasphere®,
biasa dipakai batas dosis serap empiris ke paru sebesar 25-30 Gy,
namun batas ini dapat diturunkan apabila ada penurunan fungsi paru,
misalnya pada pasien dengan PPOK atau pada pasien yang pernah
menjalani reseksi paru.(53)
Dengan pengandaian distribusi radioaktivitas yang homogen di
hepar, jaringan tumor, dan paru (bila ada pirau), berdasarkan
makrodosimetri kompartemen yang sedikit disederhanakan,
perhitungannya berdasarkan rumus berikut:
𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 ℎ𝑒𝑝𝑎𝑟 [𝐺𝑦]
𝑎𝑘𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑖𝑛𝑗𝑒𝑘𝑠𝑖𝑘𝑎𝑛 [𝐺𝐵𝑞] 𝑥 50 𝑥 𝐹𝑈 𝑇𝑢𝑚𝑜𝑟
=
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 ℎ𝑒𝑝𝑎𝑟 [𝑘𝑔]
dengan fraksi ambilan (FU=fractional uptake) hepar dihitung seperti
berikut:
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 ℎ𝑒𝑝𝑎𝑟
𝐹𝑈 ℎ𝑒𝑝𝑎𝑟 = (1 − 𝐿𝑆𝐹) 𝑥
𝑇𝐿𝑅 𝑥 𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑡𝑢𝑚𝑜𝑟 + 𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 ℎ𝑒𝑝𝑎𝑟
Dosis yang diinjeksikan haruslah memperhitungkan dosis yang
tersisa di vial, yakni kira-kira 5% keseluruhan dosis pada Therasphere®,
sedangkan pada SIR-sphere® tergantung sediaan yang dipakai. TLR pada
rumus di atas adalah rasio tumor dibagi jaringan hepar, yang hanya dapat
ditentukan dengan akurat menggunakan koreksi atenuasi sidik SPECT.
Jika hal ini tidak dimungkinkan, dosimetri yang memperhitungkan dosis
serap hepar dapat ditempuh menggunakan rumus di atas dengan
memasukkan 0 (nol) sebagai massa tumor (= model MIRD non-
kompartemen). Jikalau pemberian selektif pada lobus atau segmen hendak
dikerjakan, maka kedua rumus di atas dapat dipakai dengan mengganti
massa hepar dengan massa lobus atau massa segmen.

Maka perhitungan fraksi radioaktivitas yang diberikan ke jaringan tumor


adalah:
𝑇𝐿𝑅 𝑥 𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑡𝑢𝑚𝑜𝑟
𝐹𝑈 𝑡𝑢𝑚𝑜𝑟 = (1 − 𝐿𝑆𝐹) 𝑥
𝑇𝐿𝑅 𝑥 𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑇𝑢𝑚𝑜𝑟 + 𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 ℎ𝑒𝑝𝑎𝑟
Dosis yang diberikan untuk tumor dapat dihitung sebagai berikut:
𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑡𝑢𝑚𝑜𝑟 [𝐺𝑦]
𝑎𝑘𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑖𝑛𝑗𝑒𝑘𝑠𝑖𝑘𝑎𝑛 [𝐺𝐵𝑞]𝑥 50 𝑥 𝐹𝑈 𝑇𝑢𝑚𝑜𝑟
=
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑡𝑢𝑚𝑜𝑟 [𝑘𝑔]
Massa tumor ataupun massa hepar harus dihitung dari penentuan
volume pada citra CT tumor dan hepar. Berat jenis kedua jaringan adalah
sedikit lebih tinggi dari 1 g/cm3, namun massa keduanya dapat dianggap
setara dengan volumenya dalam akurasi perhitungan dosimetri ini. Dosis
di atas, baik untuk jaringan tumor maupun hepar, sudah memperhitungkan
peluruhan dari 90Y dalam kompartemen penyerapan.(53)

Pemberian 90Y-microsphere
Pemberian 90Y-microsphere haruslah dikerjakan oleh staf medis terlatih
dan didukung oleh staf fisika medis dan perawat. Setelah langkah-langkah
penting persiapan meliputi angiografi viseral, penilaian pirau paru dan
gastrointestinal dengan sidik 99mTc MAA (bila perlu disertai embolisasi
profilaksi pembuluh kolateral), serta perencanaan terapi, dan setelah
pasien dinyatakan layak untuk terapi, 90Y-microsphere dapat diberikan di
departemen radiologi intervensi. Injeksi ke pembuluh utama arteria
hepatika dihindari karena membuat radiasi tersebar ke kedua lobus hepar.
Jika lesi terbatas pada satu lobus, kateter dapat secara selektif dimasukkan
ke arteria hepatika cabang kanan atau kiri sesuai lobus tempat tumor,
dengan demikian menghindari terpaparnya lobus kontralateral. Pada
kasus-kasus tertentu, terapi yang hiperselektif (misalnya ke satu segmen
tertentu) dapat diberikan. Apabila ujung kateter telah mencapai tempat
yang dikehendaki, penyuntikan harus dikerjakan dengan hati-hati tanpa
tekanan paksa, untuk menghindari aliran balik.(53)

SIRT dengan 131I-Lipiodol


131
I adalah radionuklida yang memancarkan partikel beta (dengan
energi maksimum sebesar 0,61 MeV, sedangkan rata-ratanya 0,192 MeV)
dan foton gamma (energi sebesar 364 keV) dengan waktu paruh fisik 8,04
hari. Penetrasi maksimum partikel beta 131I di jaringan lunak adalah 2,4 mm,
dengan rerata 0,9 mm. Lipiodol adalah suatu minyak yang secara alami
terdapat pada benih opium/candu, merupakan asam lemak etil ester yang
kaya akan iodin. Kandungan 127I-nya yang stabil lalu diganti dengan 131I
melalui reaksi pertukaran yang sederhana. Lipiocis® adalah nama dagang
preparat 131I-Lipiodol, diproduksi oleh IBA di Brussels, Belgia. Seperti 90Y-
microsphere, 131I-Lipiodol diberikan secara sangat selektif melalui kateter
arterial via arteria hepatika ke feeding artery jaringan tumor. Sejumlah
131
Ilipiodol akan berpindah menuju lingkungan mikro dari tumor HCC
melalui permeabilitas pembuluh yang meningkat. Bersihan (wash out)
senyawa radioaktif ini akan berjalan lambat karena kurangnya pembuluh
limfatik dan sel Kupfer, maupun karena proses endositosis oleh sel tumor.
Pada 24 jam pasca-pemberiannya, 75-90% aktivitas dari dosis yang
diberikan akan terperangkap di hepar. Sejumlah fraksi senyawa radioaktif
tersebut akan terdistribusi ke dalam jaringan hepar normal.(53)
Indikasi 131I-Lipiodol
131
I-Lipiodol diindikasikan untuk:
- terapi paliatif bagi pasien yang secara histologi terbukti sebagai HCC
dan secara medis inoperabel
- terapi ajuvan setelah reseksi HCC
- terapi neo-ajuvan HCC sebelum reseksi atau transplantasi hepar. (53)

Kontraindikasi 131I-Lipiodol:
1. Kontraindikasi umum (lihat kontraindikasi umum pada pemberian
SIRT di atas)
2. Kontraindikasi spesifik:
- Secara klinis didapati adanya kegagalan fungsi hepar, seperti
adanya ensefalopati hepatis atau asites masif
- Kelas Child-Pugh di atas B7 pada kasus yang direncanakan akan
diberi terapi menyangkut seluruh hepar atau salah satu lobus hepar.

Catatan khusus:
- 131I-Lipiodol tidak dikontraindikasikan pada kasus HCC dengan
trombosis vena porta parsial ataupun total, walaupun hasil terapi
kurang menguntungkan
- Ambilan dalam jumlah kecil pada paru-paru (akibat pirau), tiroid dan
traktus gastrointestinal (akibat terdapatnya iodin bebas) sering
dijumpai dan biasanya bukan merupakan masalah yang khusus
- Karena ada emisi gamma, maka risiko medis dan proteksi radiasi yang
berhubungan dengan perawatan isolasi harus dipikirkan. (53)

Persiapan Pasien
Secara umum persiapan pasien pada pemberian terapi 131I-Lipiodol
adalah sama dengan pada pemberian 90Y-microsphere, dengan penekanan
khusus pada informed consent kepada pasien dan keluarga untuk sedapat-
dapatnya menghindarkan paparan radiasi ataupun kontaminasi ke
lingkungan terdekat pasien. Instruksi tertulis berkenaan hal ini sebaiknya
diberikan.(53)

Pemberian 131I-Lipiodol:
Tidak seperti 90Y-microsphere, 131I-Lipiodol tidak memerlukan
perencanaan terapi berkenaan dengan dosimetri, namun dosis dapat
disesuaikan. Estimasi dosis serap lipiodol pada beberapa jaringan dapat
dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Estimasi Dosis Serap Terapi 131I-Lipiodol Intra-arteria Hepatika

a) Sumber: “Lipiocis et hepatocarcinome” monograph oleh CIS Biomedical


b) Values adapted from Monsieurs MA, et al. Patient dosimetry for 131I-lipiodol therapy.
Eur J Nucl Med Mol Im (2003) 30:554-561
Dikutip dari: EANM Procedure Guideline for the Treatment of Liver Cancer
and Liver Metastases with Intra-arterial Radioactive Compounds.
Eur J Nucl Med Mol Imaging 2011 Jul;38(7):1393-406
131
I-Lipiodol diberikan dalam bentuk larutan untuk digunakan pada
suhu ruangan.
Lipiodol berbentuk minyak kental sehingga dapat menimbulkan tahanan
yang besar saat pencampuran di syringe dan saat injeksi via kateter. Untuk
memperbesar volume total injeksi, radiofarmaka dapat diencerkan lagi
dengan 2-10 cc Lipiodol yang tak dilabel.
Preparasi 131I-Lipiodol haruslah dilakukan di suatu ruangan yang
berventilasi baik untuk menghindari inhalasi uap radioiodin. Kehati-hatian
harus dijaga dalam menggunakan jarum Luerlock dan tutup keran saluran
dari bahan yang tidak larut dalam Lipiodol.
Terapi dimasukkan melalui arteria hepatika yang dicapai dengan
memasukkan kateter, dapat melalui suatu jalur (port) yang sudah dipasang
sebelumnya, atau lebih disukai secara langsung lewat trans-femoralis.
Kateterisasi arteria hepatika trans-femoralis harus dikerjakan oleh seorang
radiolog intervensi di bawah panduan sinar-X. Dosis tetap 131I-Lipiodol
sebesar 2,22 GBq (=60 mCi) diinjeksikan perlahan melalui kateter arteria
hepatika, menghantarkan dosis rata-rata sebesar kira-kira 50 Gy. Dosis
tadi dapat dimodifikasi/disesuaikan dengan alasan medis seperti ukuran
tumor, berdasarkan kalkulasi dosimetri atau peraturan atau konsensus
setempat.
Pada pasien HCC dengan anatomi arteria hepatika yang normal,
131
I-Lipiodol biasa diberikan dengan penempatan kateter pada arteria
hepatika distal dari asalnya di arteria gastroduodenalis. Pada kasus dengan
variasi anatomi, beberapa prosedur pemberian secara terpisah pada arteria
hepatika kanan dan kiri mungkin harus dikerjakan. Untuk pemberian
super- atau hiperselektif, kateter ditempatkan pada cabang arteria hepatika
yang lebih distal lagi. Untuk beberapa kasus, pemberian radiofarmaka
dilakukan dengan injeksi perlahan secara intra-arterial di bawah
pengawasan fluoroskopi untuk mengontrol agar aliran lambat gelembung-
gelembung lipiodol tetap pada jalurnya.
Aliran arterio-venosa yang cukup besar bukanlah hal yang wajar
dan harus dianggap sebagai alasan menghentikan tindakan dan
mempertimbangkan modalitas terapi lain. Pada kasus aliran arterio-venosa
yang kecil, prosedur dapat diteruskan berdasarkan penilaian dan teknik
prosedur ahli.
Terapi 131I-Lipiodol dapat diulangi 2, 5, 8 dan 12 bulan setelah
injeksi pertama, bergantung pada kondisi pasien, efek samping setelah
terapi sebelumnya (khususnya timbulnya gejala gangguan respirasi),
respons tumor dan dosimetri.(53)
SIRT dengan 188Re-HDD/Lipiodol
188
Rhenium adalah radioisotop pemancar partikel beta dengan
waktu paruh pendek (16,9 jam) dan energi maksimum tinggi (2,12 MeV)
yang efektif untuk terapi antitumor. Penetrasi rata-ratanya sedalam 2,6
mm, dengan jangkauan maksimum 10,1 mm. Melebihi jarak ini, partikel
beta akan sangat lemah, sehingga membatasi terjadinya jejas pada jaringan
atau organ yang berdekatan dan memungkinkan terapi rawat jalan tanpa
perlu proteksi radiasi tambahan atau perhatian ekstra lain. 188Re juga
memancarkan 155keV emisi-γ (15% emisinya), yang hampir sama dengan
energi pada 99mTc sehingga memungkinkan sidik pradan pascaterapi
menggunakan kamera gamma untuk penentuan biodistribusi dan dosimetri.
Kelebihan utama dari 188Re adalah dapat dibuat lewat generator yang
memiliki shelf-life beberapa bulan, berbeda dengan perangkat radionuklida
lainnya yang memiliki shelf life hanya beberapa hari. Ketersediaan 188Re
dalam bentuk generator membuat penyimpanan, transportasi, elusi, serta
penggunaannya sangat hemat biaya dan menguntungkan, terutama bagi
daerah yang jauh dan negara-negara berkembang. Penggunaan generator
tadi juga membuat keberadaan 188Re terjamin dan dapat disesuaikan
kebutuhan.(54)
Banyaknya 188Re-HDD/lipiodol yang diberikan untuk terapi HCC
tergantung pada dosis serap radiasi pada organ-organ penting, yang diukur
setelah pemberian suatu dosis radiokonjugat tadi secara transarterial.
Organ yang dimaksud adalah sumsum tulang, paruparu, serta jaringan
hepar normal, dan batas dosis untuk organ-organ tadi berturut-turut
sebesar 1,5 Gy, 12 Gy dan 30 Gy. Dosis perintis radiokonjugat sebesar
185 MBq disuntikkan, 49 kemudian sidik seluruh tubuh dilakukan untuk
menghitung dosis serap radiasi organ-organ penting di atas. Dosis
pemberian lalu dihitung berdasarkan dosis serap tadi dan diberikan pada
hari yang sama.(55)
Gambar 15. Beberapa citra dari pasien pria berusia 69 tahun dengan dua buah nodul
HCC pada kedua lobi hepar. Kedua lesi tampak terablasi secara komplit setelah dua kali
pemberian 188Re-HDD lipiodol dengan interval 3 bulan. Tiga tahun pascaterapi terakhir,
pasien masih bertahan hidup dan aktif, dengan kadar AFP serum dan CT follow-up
menunjukkan tidak adanya rekurensi massa tumor. (a) Citra praterapi menunjukkan dua
nodul (arah panah), masing-masing pada segmen IV dan VIII (b) Angiogram
menunjukkan vaskularitas yang meningkat pada kedua lesi (arah panah) (c) Sidik
seluruh tubuh 188Re menunjukkan akumulasi radioaktivitas pada tumor (arah panah),
dengan visualisasi yang samar pada paru, sedangkan pada tiroid, saluran gastrointestinal
maupun tempat lain tidak menunjukkan adanya ambilan (d) CT scan ulang yang
diambil 3 bulan setelah terapi dosis kedua menunjukkan hilangnya kedua nodul (arah
panah). Daerah radioopak pada segmen IV yang tampak sebagai massa HCC yang
mengikat kontras pada citra fase arteri, sebenarnya merupakan sejumlah kecil lipiodol
yang tampak pula pada semua fase CT scan (fase nonkontras, fase arterial, fase vena
porta, serta fase lambat). (e) sidik PET/CT diambil 2 tahun setelah terapi juga
menunjukkan tidak adanya sisa tumor ataupun rekurensi HCC (arah panah).
Dikutip dari: Kumar A, et al. Inoperable Hepatocellular Carcinoma: Transarterial 188Re-
HDD–Labeled Iodized Oil for Treatment - Prospective Multicenter Clinical Trial.
Radiology 2007; 243:509 –19 (55)

Angka kejadian efek samping (toksisitas) serius pemberian terapi


ini rendah. Survival pada pasien HCC yang inoperabel dengan stadium I
Okuda sebesar 59% dilaporkan oleh Ajay Kumar, dkk. Salah satu contoh
keberhasilan terapi 188Re-HDD/lipiodol pada kasus HCC dapat dilihat pada
Gambar 15.55

Anda mungkin juga menyukai