Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN KASUS II

SEORANG WANITA 45 TAHUN DENGAN


DECOMPENSASI CORDIS

Oleh :
Oni Juniar Windrasmara, S. Ked
J500090003

Pembimbing :
dr. I Wayan Mertha, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UMS / RSUD DR. HARJONO
PONOROGO
2013
Case Report II
SEORANG WANITA 45 TAHUN DENGAN
DECOMPENSASI CORDIS

OLEH:
Oni Juniar Windrasmara , S. Ked J500090003

Telah disetujui dan disyahkan oleh bagian Program Pendidikan Fakultas


Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari , tanggal

Pembimbing:
dr. I Wayan Mertha , Sp.PD ( )

dipresentasikan dihadapan:
dr. I Wayan Mertha, Sp.PD ( )

Disyahkan Ka. Program Profesi :


dr. Dona Dewi Nirlawati ( )

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UMS / RSUD DR. HARJONO
PONOROGO
2013

2
BAB I
STATUS PASIEN
I. ANAMNESIS
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. SN
Umur : 45 th
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Gedangan, Ngrayon, Ponorogo
Tanggal masuk : 9 Agustus 2013
Tanggal pemeriksaan : 12-17 Agustus 2013

B. DATA DASAR
1. Keluhan Utama :
Sesak nafas
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSUD dr. Harjono Ponorogo dengan keluhan sesak
nafas kurang lebih sejak 1 minggu yang lalu. Sebelumnya pasien tidak
pernah mengeluh seperti ini, sesak nafas terjadi baik saat istirahat maupun
saat beraktivitas. Pasien juga mengeluhkan bengkak di seluruh tubuh.
Bengkak awalnya muncul lebih dulu di kaki lalu kemudian timbul di
seluruh tubuh. Keluhan bengkak ini timbul kurang lebih bersamaan
dengan keluhan sesak nafas. Pasien merasa deg-degan dan batuk kurang
lebih 2 hari terakhir, pasien dirawat di bangsal mawar kurang lebih 2 hari
setelah masuk rumah sakit kemudian dipindah rawatkan ke ruang RPI.
Pasien juga merasa perutnya yang bengkak teraba sakit. Apabila batuk
terasa sangat sakit, bila ditekan teraba membesar dan terasa sakit. Pasien
mengeluh batuknya kadang berdahak tapi tidak sering, deg-degan
dirasakan saat batuk, selain itu pasien juga mengeluhkan dadanya terasa

3
sakit. Setelah keluhan ini pasien tidak kuat untuk berjalan dan juga tidak
kuat untuk duduk.
Pasien memiliki riwayat opname di RSI Aisyiah dengan diagnosis stroke
kurang lebih 5 tahun yang lalu. Beberapa bulan terakhir pasien mengaku
mengkonsumsi obat-obatan keliling yang dijual sales, tidak diketahui
nama obatnya, tapi menurut pengetahuan dari pasien obat tersebut
digunakan sebagai suplemen anti stroke.
Riwayat penyakit keluarga tidak ada yang menderita keluhan serupa
dan tidak ada yang pernah dirawat di RS dengan keluhan serupa.
Pusing (-), nyeri kepala (-), cengeng (+), pandangan kabur (-), sesak
(+), mual (-), muntah (-), demam (-), lemas (+), gringgingen/kesemutan (-
), BAB (+) normal, BAB hitam (-), BAB darah (-), BAB lendir (-), darah
(-), BAK (+) banyak, BAK darah (-), BAK gelap (-).

3. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat kencing manis : disangkal
b. Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
c. Riwayat alergi obat & makanan : disangkal
d. Riwayat kencing batu : disangkal
e. Riwayat asma : disangkal
f. Riwayat sakit jantung : disangkal
g. Riwayat sakit ginjal : disangkal
h. Riwayat mondok : diakui
i. Riwayat Stroke : diakui (5 tahun yang lalu)
j. Riwayat operasi : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


a. Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
b. Riwayat sakit gula : disangkal
c. Riwayat sakit darah tinggi : disangkal
d. Riwayat sakit jantung : disangkal
e. Riwayat sakit ginjal : disangkal

4
5. Riwayat Kebiasaan
a. Riwayat olahraga teratur : disangkal
b. Riwayat minum jamu tradisional : disangkal
c. Riwayat minum kopi : disangkal
d. Riwayat minum suplemen : disangkal
e. Riwayat konsumsi alkohol : disangkal
f. Riwayat konsumsi obat bebas : diakui

6. Anamnesis Sistem
a. Keluhan utama : Sesak nafas
b. Sistem saraf pusat : kaku kuduk (-), kejang (-), sakit
kepala (-), pusing (+), nyeri
tengkuk (+)
c. Sistem Indera
- Mata : berkunang-kunang (-), kuning (-),
pandangan dobel (-), penglihatan
kabur (-), pandangan berputar (-),
bengkak sekitar mata (-),
perdarahan subkonjungtiva (-).
- Hidung : mimisan (-), pilek (-)
- Telinga : pendengaran berkurang (-),
berdenging (-) keluar cairan (-),
darah (-)
d. Kepala : rambut rontok (-), wajah bengkak
(+)
e. Mulut : sariawan (-), luka pada sudut bibir
(-), gusi berdarah (-), mulut kering
(-), gigi goyah dan tanggal (-)
f. Tenggorokan : sakit menelan (-), suara serak (-),
gatal (-), tenggorokan terasa
panas (-).

5
g. Sistem respirasi : sesak nafas (+), batuk (+), batuk
darah (-), mengi (-), tidur
mendengkur (-)
h. Sistem kardiovaskuler : sesak nafas saat beraktivitas (+),
nyeri dada (+), berdebar-debar
(+)
i. Sistem gastrointestinal : mual (-), muntah (-), sakit perut (-)
tidak buang air besar (-), perut
sebah (-), mbeseseg (+), kembung
(-), nafsu makan meningkat (-),
ampeg (-), perut membesar (+)
j. Sistem muskuloskeletal : kaku (-), badan lemas (-), mudah
lelah (-), badan terasa berat (-),
kesemutan (-)
k. Sistem genitourinaria : sering kencing (-), air kencing
berwarna merah (-), nyeri saat
kencing (-), keluar darah (-),
kencing nanah (-), sulit memulai
kencing (-), kencing keluar batu (-)
l. Ekstremitas atas : luka (-), nyeri (-), kaku (-), tremor
(-), ujung jari terasa dingin (-),
kesemutan (-), bengkak (+), sakit
sendi (-), berkeringat (-)
m. Ekstremitas bawah : nyeri gerak (-), kaku (-), bengkak
(+), tremor (-), ujung jari terasa
dingin (-), kesemutan (-), luka (-)
n. Sistem neuropsikiatri : kejang (-), gelisah (-), kesemutan
(-), mengigau (-), emosi tidak
stabil (-)

6
II. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 12 Agustus 2013. Setelah 3 hari
perawatan di RSUD Ponorogo.
A. Keadaan Umum
Pasien tampak lemah, kompos mentis
B. Tanda Vital
Tensi : 100/50 mmHg
Nadi : 85x/menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup.
Frekuensi nafas : 26 x/menit, tipe thorakoabdominal
Suhu : 36,6°C per axiler
C. Kulit
Ikterik (-), petechiae (-), acne (-), turgor cukup, hiperpigmentasi (-), bekas
garukan (-), kulit kering (-), kulit hiperemis (-), sikatrik bekas operasi (-) di
kaki
D. Kepala
Bentuk mesocephal, rambut warna hitam, mudah rontok (-), luka (-)
E. Wajah
Simetris, eritema (-), ruam muka (-), moon face (-), edema (+)
F. Mata
Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), perdarahan subkonjungtiva (-/-),
pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm, reflek cahaya (+/+) normal, oedem
palpebra (-/-), strabismus (-/-)
G. Telinga
Sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-) gangguan fungsi pendengaran (-)
H. Hidung
Deviasi septum nasi (-), epistaksis (-), nafas cuping hidung (+), sekret (-),
fungsi pembau baik, foetor ex nasal (bau busuk dari dalam hidung) (-)
I. Mulut
Sianosis (-), gusi berdarah (-), kering (-), stomatitis (-), pucat (-), lidah tifoid
(-), papil lidah atropi (-), luka pada sudut bibir (-)

7
J. Leher
JVP meningkat, trakea di tengah, simetris, pembesaran tiroid (-),
pembesaran kelenjar getah bening (-).
K. Thoraks
Bentuk normochest, simetris, retraksi intercostalis (-), spider nevi (-),
pernapasan thorako abdominal, sela iga melebar (-), pembesaran kelenjar
getah bening aksilla (-), rambut ketiak rontok (-)
Jantung :
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi :Iktus kordis kuat angkat, teraba di 1 cm medial SIC V linea
midclavicularis sinistra
Perkusi : Batas jantung
kiri atas : SIC II linea parasternalis sinistra
kiri bawah : SIC VI 3 cm medial linea
midclavicularis sinistra
kanan atas : SIC II linea parasternalis dextra
kanan bawah : SIC V linea parasternalis dextra
 Konfigurasi jantung kesan melebar
Auskultasi : HR 85 x/menit reguler. Bunyi jantung I-II irregular cepat,
bising (-), gallop (-).
Pulmo :
Depan
Inspeksi :
Statis : normochest, simetris kanan-kiri, sela iga tidak
melebar, retraksi (-)
Dinamis : simetris, sela iga tidak melebar, retraksi (-),
pergerakan paru simetris
Palpasi :
Statis : simetris, sela iga tidak melebar, retraksi (-), tidak
ada yang tertinggal
Dinamis : pengembangan paru simetris, tidak ada yang

8
tertinggal
Fremitus : fremitus raba simetris kanan dan kiri
Perkusi :
Kanan : Sonor hingga SIC III
Batas paru – lambung sulit dievaluasi.
Batas paru – hepar pekak relatif di SIC V linea
medioklavikularis dextra.
Batas paru – hepar pekak absolut di SIC VI linea
medioklavikularis dextra.
Kiri : Sonor
Auskultasi :
Kanan : Suara dasar vesikuler intensitas normal –
menghilang di basal paru, suara tambahan wheezing
(-), ronchi basah kasar (+), krepitasi (-)
Kiri : Suara dasar vesikuler intensitas normal –
menghilang di basal paru, suara tambahan wheezing
(-), ronchi basah kasar (+), krepitasi (-)
L. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dengan dinding dada, venektasi (-),
sikatrik bekas operasi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani (+), pekak alih (-), undulasi (-), nyeri ketok
kostovertebra (-)
Palpasi : supel, hepar dan lien teraba membesar, defans muskular (-),
nyeri tekan (+) di bagian epigastrium; hipokondriaca
dextra dan sinistra; lumbal dextra dan sinistra, nyeri tekan
suprapubik (-), ballotment (-)
M. Genitourinaria
Ulkus (-), sekret (-), tanda-tanda radang (-)

9
N. Ekstremitas :
Superior dekstra : pittting odem (+), sianosis (-), pucat (-), akral dingin (-),
eritem palmaris (-), luka (-), ikterik (-), spoon nail (-),
kuku pucat (-), jari tabuh (-), nyeri tekan (-), nyeri gerak (-
), deformitas (-), kesemutan (-)
Superior sinistra : odem (-), sianosis (-), pucat (-), akral dingin (-), eritema
palmaris (-), luka (-), ikterik (-), spoon nail (-), kuku pucat
(-), jari tabuh (-), nyeri tekan dan nyeri gerak (-),
deformitas (-), kesemutan (-)
Inferior dekstra : pitting odem (+), luka (-), hiperemis (-), nyeri tekan (-),
sianosis (-), pucat (-), akral dingin (-), eritema palmaris
(-), ikterik (-), spoon nail (-), kuku pucat (-), jari tabuh (-),
deformitas (-), kesemutan (-)
Inferior sinistra : pitting odem (+), hiperemis (-), nyeri tekan (-), sianosis (-
), pucat (-), akral dingin (-), eritema palmaris (-), ikterik (-
), spoon nail (-), kuku pucat (-), jari tabuh (-), deformitas (-
), kesemutan (-).

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. EKG

HR: 85x/ menit


Ritme: irregular
Irama: sinus (PQRS)
V1, V2, V3 = gelombang P sulit dikenali  Atrial fibrilasi
V3,V4, V5, V6 = T inversi  Iskemik anterior
V1, V2, V3 = gelombang QS  OMI
B. Rontgen Thorax
Cardiomegali + congestive pulmonal

10
C. Pemeriksaan Darah Rutin
Pemeriksaan
Hasil Satuan Nilai Normal
13 - 8 - 2013
WBC 9.5 10³/µl 4.0-10.0
Limfosit# 1.6 10³/µl 0.8-4.0
Mid# 0.6 10³/µl 0.1-0.9
Granulosit# 7.3 10³/µl 2.0-7.0
Limfosit% 16.5 % 20.0-40.0
Mid% 6.5 % 3.0-9.0
Granulosit% 77.0 % 50.0-70.0
Hemoglobin 11.3 gr/dl 11.0-16.0
RBC 6.87 10⁶/µl 3.50-5.50
Hematokrit 39.7 % 37.0-50.0
MCV 57.8 fl 82.0-95.0
MCH 16.4 pg 27.0-31.0
MCHC 28.4 g/dl 32.0-36.0
Trombosit 195 10³/µl 100-300

D. Pemeriksaan Kimia Darah


Pemeriksaan
Hasil Satuan Nilai Normal
13 – 8 – 2013
DBIL 0.7 mg/dl 0-0.35
TBIL 1.65 mg/dl 0.2-1.2
SGOT 49 uI 0-31
SGPT 41.7 uI 0-31
ALP 201 mg/dl 98-279
Gama GT 37 mg/dl 8-34
TP 6.5 g/dl 6.6-8.3
Albumin 3.5 mg/dl 3.5-5.5
Globulin 3 g/dl 2-3.9

11
Urea 39.09 mg/dl 10-50
Kreatinin 0.89 mg/dl 0.7-1.2
UA 6.9 g/dl 2.4-5.7
CHOL 117 mg/dl 140-200
Trigliserid 120 mg/dl 36-165
HDL 25 mg/dl 35-150
LDL 68 mg/dl 0-190

E. Pemeriksaan Urine Lengkap (14 Agustus 2013)


MAKROSKOPIS HASIL NILAI NORMAL
Warna
Kejernihan
Bau
Berat jenis 1.020 1.005-1.030
Ph 5 4.5-8.0
Blood Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Urobilinogen Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Protein Positif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Glukosa Negatif Negatif

MIKROSKOPIS HASIL NILAI NORMAL


Eritrosit 8-10 0-1/LP
Leukosit 4-5 0-2/LP
Epitel 5-6 0-2/LP
Silinder Negatif Negatif
Parasit Negatif Negatif
Jamur Negatif Negatif

12
Bakteri Positif Negatif
Kristal Negatif Negatif

F. Pemeriksaan Elektrolit
Jenis Hasil Satuan Nilai Normal
Na 138 Mmol/L 135-148
K 4.51 Mg/dl 3.5-5.3
Cl 104.8 Mg/dl 98-107
CA 8.7 Mg/dl 8.1-10.4
Mg 2.5 Mg/dl 1.9-2.5

IV. ASSESMENT/ DIAGNOSIS KERJA DAN DIAGNOSIS BANDING


Decompensasi cordis
V. POMR (PROBLEM ORIENTED MEDICAL RECORD)
Daftar Planning
Problem Assessment
Masalah Diagnosis Terapi Monitoring
 deg-degan;  Gangguan  Atrial  Klinis  O2 3 lt/mnt Klinis
;nyeri dada; irama jantung fibrilasi  EKG  Inf. PZ : Vital sign
sesak nafas;  Cardiomegali  Elektroli Aminofusin EKG
nyeri perut;  Congestive  Decompe  USG L600 12tpm USG
batuk; pulmonal nsasi Abdomen  Ranitidine abdomen
BJ I/II  Hepatomegali cordis  Foto 2x1 Kimia darah
irregular:  splenomegali thorax PA  Metoclopra
oedem;  Dispepsia
 Kimia mide 3x1
pitting darah  Lansoprazol
oedem;  Endoskop e 001
hepatomegali i  Antasida 3x1
;  GG 3x1
splenomegali
 Digoxin 100
JVP
 ASA 1x100

13
meningkat;  Captopril
foto RO: 3x12,5
cardiomegali  Farsix 2x1
+ kongesti
pulmonal:
EKG V1,
V2, V3  P
sulit
dikenali;
Ritme:
irregular
SGOT: 49,
SGPT: 41.7

VI. FOLLOW UP
Date Subject Object Assesment Plaining
13/8/13  Sesak KU: lemas KS:CM Atrial Inf. PZ : Aminofusin
nafas TD: 130/80 N: 85 fibrilasi L600 12 tpm
 Lemas RR:28 S:36,6 Gangguan Lanzoprazole 001
 Bengkak K/L: CA (-/-), SI(-/-), PKGB fungsi hepar Ranitidin 2x1

 Nyeri (-/-). Hepatomeg Metoclopramide 3x1

perut Thorak: Rh (+/+), BJ I/II ali O2 3 L/mnt

 Mual irregular Splenomega Digoxin 100


Abdomen: hepatomegali, li Captopril 3 x 12,5
splenomegali, nyeri tekan
seluruh lapangan perut
Ext: edema pitting inf.dex-sin
UL : protein (+)
14/8/13  Sesak KU: lemas KS:CM Atrial Inf. PZ : Aminofusin
nafas TD: 110/80 N: 88 fibrilasi L600 12 tpm

14
 Lemas RR:24 S:36,4 Gangguan Lanzoprazole 001
 Bengkak K/L: CA (-/-), SI(-/-), PKGB fungsi hepar Ranitidin 2x1
 Nyeri (-/-). Hepatomeg Metoclopramide 3x1
perut Thorak: Rh (+/+), BJ I/II ali O2 3 L/mnt

 Mual irregular Splenomega Digoxin 100


Abdomen: hepatomegali, li Captopril 3 x 12,5
splenomegali, nyeri tekan
seluruh lapangan perut
Ext: edema pitting inf.dex-sin
UL : protein (+)
16/8/13  Sesak KU: lemas KS:CM Atrial  O2 3 lt/mnt
RPI nafas TD: 110/80 N: 85 fibrilasi  Inf. PZ :
 Lemas RR:24 S:36,6 Decompens Aminofusin L600
 Bengkak K/L: CA (-/-), SI(-/-), PKGB asi cordis 12tpm
 Nyeri (-/-). Dispepsia  Ranitidine 2x1
perut Thorak: Rh (+/+), BJ I/II  Metoclopramide
 Mual irregular 3x1
Abdomen: hepatomegali,  Lansoprazole 001
splenomegali, nyeri tekan  Antasida 3x1
seluruh lapangan perut  GG 3x1
Ext: edema pitting inf.dex-sin
 Digoxin 100
RO: Cardiomegali + kongesti
 ASA 1x100
pulmonal
 Captopril 3x12,5
 Farsix 2x1

17/8/13  Sesak KU: lemas KS:CM Atrial  O2 3 lt/mnt


RPI nafas TD: 120/70 N: 87 fibrilasi  Inf. PZ :
 Lemas RR:24 S:36,6 Decompens Aminofusin L600
 Bengkak K/L: CA (-/-), SI(-/-), PKGB asi cordis 12tpm
 Nyeri (-/-). Dispepsia  Ranitidine 2x1

15
perut Thorak: Rh (+/+), BJ I/II  Metoclopramide
 Mual irregular 3x1
Abdomen: hepatomegali,  Lansoprazole 001
splenomegali, nyeri tekan  Antasida 3x1
seluruh lapangan perut  GG 3x1
Ext: edema pitting inf.dex-sin  Digoxin 100
RO: Cardiomegali + kongesti  ASA 1x100
pulmonal  Captopril 3x12,5
 Farsix 2x1

16
BAB II
PEMBAHASAN
I. ATRIAL FIBRILASI
1. Definisi
Fibrilasi atrium (FA) merupakan suatu takiaritmia supraventrikel
yang ditandai dengan aktivasi elektris atrium yang tak terkoordinasi
sehingga terjadi gangguan fungsi mekanik atrium (Mappahya 2009).
2. Klasifikasi
Tampilan klinis FA sangat bervariasi. Klasifikasi FA dapat
menolong dalam melakukan pengelolaan kelainan irama tersebut.
Terdapat banyak klasifikasi yang dikenal dalam literatur, namun yang
direkomendasikan adalah klasifikasi yang didasarkan pada pedoman
ACC/AHA/ESC2, yakni :
1. FA paroksismal: Suatu episode aritmia yang dimulai dan berakhir
secara spontan, umumnya berlangsung kurang dari 24 jam tapi kadang-
kadang bisa berlangsung sampai 7 hari.
2. FA persisten: Episode aritmia yang berlangsung lebih dari 7 hari atau
membutuhkan terminasi baik secara farmakologis maupun secara
elektris.
3. FA permanen: Episode aritmia yang berlangsung lama dimana
diperlukan terminasi yang berulang-ulang (Mappahya 2009).

3. Patofisiologi
Keadaan normal kadar glukosa darah berkisar antara 70-110 mg/dl, setelah
makan kadar glukosa darah dapat meningkat 120-140 mg/dl dan akan
menjadi normal dengan cepat. Kelebihan glukosa dalam darah disimpan
sebagai glikogen dalam hati dan sel-sel otot (glicogenesis) yang diatur
oleh hormon insulin yang bersifat anabolik. Kadar glukosa darah normal
dipertahankan selama keadaan puasa karena glukosa dilepaskan dari
cadangan-cadangan tubuh (glycogenolisisi) oleh hormon glucagon yang
bersifat katabolik (Soegondo, 2009)

17
Mekanisme regulasi kadar glukosa darah, hormon insulin merupakan satu-
satunya hormon yang menurunkan glukosa darah. Insulin adalah hormon
protein dibuat dari dua rantai peptida (rantai A dan rantai B) dihubungkan
pada dua lokasi melalui jembatan disulfida. Dalam bentuk ini lah insulin
dilepaskan ke dalam darah dan beraksi pada sel target. Insulin disintesa di
dalam sel β di reticulum endoplasmik, sebagai rantai peptida lebih besar
yang disebut proinsulin (Manaf, 2009).
Pada diabetes melitus defisiensi atau resistensi hormon insulin
menyebabkan kadar gula darah menjadi tinggi karena menurunnya
ambilan glukosa oleh jaringan otot dan adiposa serta peningkatan
pengeluaran glukosa oleh hati, akibatnya otot tidak mendapatkan energi
dari glukosa dan membuat alternatif dengan membakar lemak dan protein.
Dampak lebih jauh terjadi komplikasi-komplikasi yang secara biokimia
menyebabkan kerusakan jaringan atau komplikasi tersebut akibat
terdapatnya : (1) Glikosilasi, kadar gula yang tinggi memudahkan ikatan
glukosa pada berbagai protein yang dapat ireversibel yang sering
mengganggu fungsi protein; (2) Jalur poliol (peningkatan aktifitas aldose
reductase), jaringan mengandung aldose reductase (saraf, ginjal lensa
mata) dapat menyebabkan metabolisme kadar gula yang tinggi menjadi
sorbitol dan fructose. Produk jalur poliol ini berakumulasi dalam jaringan
yang terkena menyebabkan bengkak osmotik dan kerusakan sel
(Soegondo, 2009).
4. Manifestasi klinis
Diabetes seringkali muncul tanpa gejala. Manifestasi klinis diabetes
melitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defisiensi insulin. Pasien
dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa
plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa setelah makan
karbohidrat. Jika hiperglikeminya berat dan melebihi ambang ginjal untuk
zat ini, maka timbul glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan
diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urin (poliuri) dan timbul
rasa haus (polidipsi). Karena glukosa hilang bersama urin, maka pasien

18
mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa
lapar yang semakin besar (polifagi) mungkin akan timbul sebagai akibat
kehilangan kalori. Selain itu pasien juga mengeluh lelah dan mengantuk.
Selain itu sering pula muncul keluhan penglihatan kabur, koordinasi gerak
anggota tubuh terganggu, kesemutan pada tangan dan kaki, timbul gatal-
gatal yang seringkali sangat menganggu dan berat badan menurun tanpa
sebab yang jelas.
Pada diabetes melitus tipe 1 gejala klasik yang umum dikeluhkan adalah
poliuri, polidipsi, polifagia, penurunan berat badan, cepat merasa lelah
(fatigue), dan gatakl- gatal pada kulit. Pada diabetes melitus tipe 2
seringkali muncul tanpa diketahui, dan penanganan baru dimulai beberapa
tahun kemudian ketika penyakit sudah berkembang dan komplikasi sudah
terjadi. Penderita diabetes melitus tipe 2 umumnya lebih mudah terkena
infeksi, sukar sembuh dari luka, daya penglihatan makin buruk, dan
umumnya menderita hipertensi, hiperlipidemia, obesitas, dan juga
komplikasi pada pembuluh darah dan saraf. (Purnamasari, 2009)
5. Diagnosis
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penderita diabetes melitus
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik
DM, antara lain:
a. Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polifagia, dan penurunan berat
badan yang tidak dijelaskan sebabnya.
b. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan
disfungsi ereksi pada laki-laki serta pruritus vulva pada perempuan.
Selain dengan keluhan, diagnosa DM harus ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan kadar glukosa darah dengan cara enzimatik dengan bahan darah
plasma vena.
Langkah-langkah untuk menegakkan diagnosa DM adalah :
a. Didahului dengan adanya keluhan-keluhan khas yang dirasakan dan
dilanjutkan dengan pemeriksaan glukosa darah.

19
b. Pemeriksaan glukosa darah menunjukkan hasil : pemeriksaan glukosa
darah sewaktu ≥ 200 mg/dl (sudah cukup menegakkan diagnosis),
pemeriksaan glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl (patokan diagnosis DM).
Kriteria untuk mendiagnosis Diabetes Melitus :
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl (11.1
mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada
suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.
2. Gejala klasik DM + Kadar glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl (7.0
mmol/L)
Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam.
3. Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dl (11.1 mmol/L)
TTGO dilakukan dengan standart WHO, menggunakan beban glukosa
yang setara dengan 75gr glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.

Langkah diagnosis DM dan gangguan Toleransi :

20
Cara pelaksanaan TTGO:
a) Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari
(dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani
seperti biasa. Untuk mengoptimalisasi sekresi dan efektivitas insulin,
minimum 150-200 gram karbohidrat per hari harus dimasukkan dalam
menu makanan selama tiga hari ini.
b) Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan,
minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan.
c) Diperiksa kadar glukosa darah puasa.
d) Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-
anak), dilarutkan dalam air 250-300 ml dan diminum dalam waktu 5
menit.
e) Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2
jam setelah minum larutan glukosa selesai.
f) Diperiksa kadar glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa.
g) Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok.
6. Komplikasi

21
a) Retinopathy Diabetik
Retinopati diabetik adalah suatu mikroangiopati yang ditandai oleh
kerusakan dan sumbatan pembuluh-pembuluh halus meliputi arteriol
prekapiler retina, kapiler-kapiler dan vena-vena.(Pandelaki, 2009)
Penyebab pasti retinopatibelum diketahui. Tetapi diyakini bahwa
lamanya terpapar pada hiperglikemi (kronis) menyebabkan perubahan
fisiologi dan biokimia yang akhirnya menyebabkan kerusakan endotel
pembuluh darah. Perubahan abnormalitas sebagian besar hematologi
dan biokimia telah dihubungkan dengan prevalensi dan beratnya
retinopati antara lain :
 Adhesif platelet yang meningkat
 Agregasi eritrosit yang meningkat
 Abnormalitas lipid serum
 Fibrinolisis yang tidak sempurna
 Abnormalitas dari sekresi growth hormone
 Abnormalitas serum dan viskositas darah
Gejala subjektif yang dapat ditemui dapat berupa :
 Kesulitan membaca
 Penglihatan kabur
 Penglihatan tiba-tiba menurun pada satu mata
 Melihat lingkaran- lingkaran cahaya
 Melihat bintik gelap dan cahaya kelap kelip
Gejala objektif yang dapat ditemukan pada retina dapat berupa:
 Mikroaneurisma
 Perdarahan dalam bentuk titik, garis, dan bercak
 Dilatasi pembuluh darah
 Hard exudate
 Soft exudate
 Pembuluh darah baru (neovaskularisasi)
Edema retina (Subekti, 2009)

22
b) Neuropathy Diabetik
Neuropati diabetik adalah adanya gejala dan atau tanda dari disfungsi
saraf penderita diabetes tanpa ada penyebab lain selain diabetes
mellitus. Faktor-faktor etiologik daripada diabetes neuropati diduga
adalah vaskuler, metabolisme, neurotrofik dan immunologik. (Subekti,
2009)
c) Nefropathy Diabetik
Nefropati Diabetika adalah komplikasi Diabetes mellitus pada ginjal
yangdapat berakhir sebagai gagal ginjal.
d) Hipertensi
Hipertensi merupakan suatu tanda telah adanya komplikasi
makrovaskulerdan mikrovaskuler pada Diabetes, Hipertensi dan
diabetes biasanya adaketerkaitan patofisiologi yang mendasari yaitu
adanya resistensi insulin. Pasien-pasien diabetes tipe II sering
mempunyai tekanan darah lebih tinggi atau samadengan
150/90mmHg. Beberapa penelitian klinik menunjukkan hubungan
erattekanan darah dengan kejadian serta mortalitas kardiovaskuler,
progresifitasnefropati, retinopati (kebutaan). Kontrol tekanan darah
dengan obat anti hipertensibaik sistol dan diastole dan kontrol gula
darah penderita pasien hipertensi dengandiabetes telah terbukti dari
beberapa penelitian. Bahwa terbukti menaikkan “lifeexpentacy”resiko
stroke dan komplikasi kardiovaskuler pada pasien diabetes meningkat
bila hipertensi (Subekti, 2009)
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Diabetes Melitus dapat dilakukan dengan cara
pengelolaan yang baik. Tujuan penatalaksanaan secara umum menurut
PERKENI (2006) adalah meningkatkan kualitas hidup penderita Diabetes.
Penatalaksanaan diabetes melitus dikenal dengan 4 pilar :
a. Edukasi
b. Terapi gizi
c. Latihan jasmani

23
d. Pengelolaan farmakologis
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum
mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat
hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu,
OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi,
sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya
ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, adanya
ketonuria, insulin dapat segera diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan
mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus
diberikan kepada pasien, sedangkan pemantauan kadar glukosa darah
dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus
(PERKENI, 2006).
a) Edukasi
Diabetes Melitus umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan
perilaku telah terbentuk dengan kokoh. Keberhasilan pengelolaan
diabetes mandiri membutuhkan partisipasi aktif penderita, keluarga
dan masyarakat. Tim kesehatan harus mendampingi penderita dalam
menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan
perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif pengembangan
ketrampilan dan motivasi. Edukasi secara individual dan pendekatan
berdasarkan penyelesaian masalah merupakan inti perubahan perilaku
yang berhasil. Perubahan perilaku hampir sama dengan proses edukasi
yang memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi, dokumentasi
dan evaluasi (PERKENI, 2006).
b) Terapi gizi
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang
seimbang dalam hal karbohidrat, protein, lemak, sesuai dengan
kecukupan gizi baik sebagai berikut (PERKENI, 2006):
 Karbohidrat : 45 – 65% total asupan energi
 Protein : 10 – 20% total asupan energi

24
 Lemak : 20 – 25 % kebutuhan kalori
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur,
stres akut, dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan
berat badan ideal.Pada dasarnya kebutuhan kalori pada diabetes tidak
berbeda dengan non diabetes yaitu harus dapat memenuhi kebutuhan
untuk aktifitas baik fisik maupun psikis dan untuk mempertahankan
berat badan supaya mendekati ideal (PERKENI, 2006).
c) Latihan jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4
kali seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu
pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti
berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap
dilakukan Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus
Tipe 2 di Indonesia 2006. Latihan jasmani selain untuk menjaga
kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki
sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa
darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang
bersifat aerobik seperti : jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan
berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan
status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas
latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat
komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang
kurang gerak atau bermalas-malasan (PERKENI, 2006).
d) Pengelolaan farmakologis
A. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
Berdasarkan cara kerjanya OHO dibagi menjadi 4 golongan :
a. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) : sulfonilurea
dan glinid
b. Penambah sensitifitas terhadap insulin : meltformin,
tiazolidindion
c. Penghambat glukoneogenesis : meltformin

25
d. Penghambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase alfa
Cara pemberian OHO terdiri dari :
OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap
sesuai respon kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis
hampir maksimal.
 Sulfonilurea generasi I dan II : 15-30 menit sebelum makan
 Glimepiride : sebelum/sesaat sebelum makan
 Repaglinid, Nateglinid : sebelum/sesaat sebelum makan
 Meltformin : sebelum/pada saat/sesudah makan karbohidrat
 Acarbose : bersama suapan pertama makan
 Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan
1) Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) : sulfonilurea dan
glinid

a. Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama
untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang, namun
masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih.
Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai
keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati,
kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan
penggunaan sulfonilurea kerja panjang. (Soegondo, 2009)
b. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan
sulfonilurea, dengan penekanan pada meningkatkan sekresi
insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat
yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat
fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian
secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati (Soegondo,
2009).

26
2) Penambah sensitivitas terhadap insulin : metformin, tiazolidindion
Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada
Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-γ),
suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini
mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung klas I-IV
karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada
gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan
tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara
berkala (Soegondo, 2009).
3) Penghambat glukoneogenesis (metformin)
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa
hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan
glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes
gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin > 1,5 mg/dL) dan hati,
serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia
(misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis, renjatan, gagal
jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual.
Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat
atau sesudah makan (Soegondo, 2009).
4) Penghambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase alfa
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus
halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa
darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek
samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering
ditemukan ialah kembung dan flatulens (Soegondo, 2009).
B. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :

27
 Penurunan berat badan yang cepat
 Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
 Ketoasidosis diabetik
 Hiperglikemia hiperosmolar nonketotik
 Hiperglikemia dengan asidosis laktat
 Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
 Stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
 Diabetes mellitus gestasional yang tidak terkendali dengan
TGM
 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
 Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Efek samping terapi insulin :
 Efek samping utama adalah terjadinya hipoglikemia
 Efek samping yang lain berupa reaksi imun terhadap insulin
yang dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi
insulin (Sudoyo, 2006).
Jenis Kerja Preparat
Kerja pendek Actrapid human 40/Humulin
Actrapid human 100
Kerja sedang Monotard human 100
Insulartard
NPH
Kerja panjang PZI (tidak dianjurkan karena
risiko hipoglikemia)
Campuran kerja pendek dan Mixtard
sedang/panjang

II. NEFROPATI DIABETIK

28
Nefropati diabetik adalah kelainan degeneratif vaskuler ginjal dan merupakan
komplikasi yang sering terjadi pada penderita diabetes mellitus (Supartondo,
2003). Penyakit ini terjadi 0-5 tahun sejak diagnosis DM ditegakkan
(Hendromartono, 2007).
Nefropati diabetik merupakan manifestasi mikroangiopati pada ginjal yang
ditandai dengan adanya proteinuria yang mula-mula intermiten kemudian
persisten, penurunan LFG, peningkatan tekanan darah yang perjalanannya
progresif menuju stadium akhir berupa gagal ginjal terminal (Arsono, 2009).
Patogenesis penyakit ini bermula dari kelebihan gula darah yang memasuki
glomerulus melalui fasilitas glucose transporter (GLUT) terutama GLUT1
yang menyebabkan aktivasi beberapa mekanisme seperti polyol pathway,
hexomanine pathway, protein kinase C (PKC) pathway dan penumpukan zat
yang disebut sebagai advanced glication end-product (AGEs). Kadar TGF-β
juga ditemukan meningkat. Keadaan-keadaan tersebut menyebabkan
terjadinya peningkatan progresifitas dari penyakit-penyakit nefropati diabetik
(Hendromartono, 2007).
Pada penyakit ini terjadi kerusakan pada glomerulus. Oleh karena terjadi
kerusakan glomerulus maka sejumlah protein darah diekskresikan ke dalam
urin secara abnormal. Protein utama yang diekskresikan adalah albumin.
Penelitian dengan menggunakan micro-puncture menunjukkan bahwa
tekanan intra glomerulus meningkat pada pasien DM bahkan sebelum tekanan
darahh sistemik meningkat. Perubahan hemodinamik ginjal ini diduga terkait
dengan aktivitas berbagai hormon vasoaktif, seperti angiotensin-II (A-II) dan
endotelin (Hendromartono, 2007).
Diagnosis nefropati diabetik dimulai dikenalinya albuminuria pada pasien
DM baik tipe I maupun tipe II. Bila jumlah protein atau albumin di dalam
urine sangat rendah sehingga sulit dideteksi dengan metode pemeriksaan
urine yang biasa, akan tetapi sudah >30 mg/24 jam ataupun 20 µg/menit
disebut juga sebagai mikroalbuminuria.
Nefropati diabetik dapat dibedakan menjadi dua kategori utama berdasarkan
jumlah albumin yang hilang pada ginjal, yaitu :

29
1. Mikroalbuminuria
Terjadi kehilangan albumin dalam urine sebesar 30-300 mg/hari.
Mikroalbuminuria juga dikenal sebagai tahapan nefropati insipien.
2. Proteinuria
Terjadi bila kehilangan albumin dalam urine lebih dari 300 mg/hari.
Keadaan ini dikenal sebagai makroalbuminuria atau nefropati overt.
Sedangkan secara lebih rinci, derajat nefropati akibat penyakit DM dibagi
menjadi 5 derajat, antara lain :
1. Derajat I (Hiperfiltrasi)
 Pasien mengalami peningkatan LFG sampai 40% dan terjadi
pembesaran ginjal
 Besar klirens kreatinin >150 ml/menit/1,732 m2
2. Derajat II (The Silent Stage)
 Terjadi perubahan struktur ginjal tapi LFG masih tinggi
 Besar klirens kreatinin >150 ml/menit/1,732 m2
3. Derajat III (Mikroalbuminuria)
 Tahap awal nefropati yang nyaata, terjadi penebalan membran
basalis, LFG masih tinggi, tekanan darah meningkat
 Besar kliren kreatinin >150 ml/menit/1,732 m2
4. Dejarat IV (Makroalbuminuria)
 Pasien mengalami proteinuria nyata dengan LFG turun dari normal
dan tekanan darah meningkat
 Dibagi dalam dua stadium berdasar besar kliren kreatinin :
 Ringan : Kliren kreatinin sebesar 160 ml/menit/1,732 m2
 Berat : Kliren kreatinin sebesar 130 ml/menit/1,732 m2
5. Derajat V (Uremia)
 Terjadi gagal ginjal, syndrome uremik dan membutuhkan terapi
hemodialisis
 Besar kliren kreatinin <15 ml/menit/1,732 m2 (Hendromartono,
2007).

30
Evaluasi
Pada saat diagnosa diabetes mellitus ditegakkan, kemungkinan adanya
penurunan fungsi ginjal juga harus diperiksa, demikian pula saat pasien sudah
menjalani pengobatan rutin (Hendromartono, 2007). Pemantauan yang
dianjurkan oleh American Diabetes Association (ADA) adalah pemeriksaan
terhadap adanya mikroalbuminuria serta penentuan kreatinin serum dan
klirens kreatinin. Untuk mempermudah evaluasi, perhitungan laju filtrasi
glomerulus dengan menggunakan rumus dari Cockroft-Gault yaitu :
LFG (ml/menit/1,732m2) = (140-umur) x Berat badan *)
72 x kreatinin serum
*) pada perempuan dikalikan 0,85
Pemantauan fungsi ginjal pada pasien diabetes
Tes Evaluasi awal Follow up
Penentuan Sesudah pengendalian DM tipe 1 : tiap tahun
mikroalbuminuria gula darah awal (dalam setelah 5 tahun
3 bulan diagnosis DM tipe 2 : tiap tahun
ditegakkan) setelah diagnosis
ditegakkan
Klirens kreatinin Saat awal diagnosis Tiap 1-2 tahun sampai
ditegakkan LFG
<100ml/menit/1,732m2,
kemudian tiap tahun atau
lebih sering
Kreatinin serum Saat awal diagnosis Tiap tahun atau lebih
ditegakkan sering tergantung dari
laju penurunan fungsi
ginjal
(Hendromartono, 2007).

Terapi

31
Tatalaksana nefropati diabetik tergantung pada tahapan-tahapan apakah masih
normoalbuminuria, mikroalbuminuria atau makroalbuminuria. Tetapi pada
prinsipnya pendekatan utama tatalaksana nefropati diabetik adalah melalui :
1. Pengendalian gula darah dengan olahraga, diet, obat anti diabetes
2. Pengendalian tekanan darah dengan diet rendah garam, obat antihipertensi
3. Perbaikan fungsi ginjal dengan diet rendah protein, pemakaian Angiotensin
Converting Enzyme Inhibitor (ACE-I) atau Angiotensin Reseptor Blocker
(ARB)
4. Pengendalian faktor-faktor ko-morbiditas lain seperti peningkatan kadar
lemak, mengurangi obesitas (Hendromartono, 2007).

III. NEUROPATI DIABETIK


Neuropati diabetik adalah adanya gejala dan atau tanda dari disfungsi saraf
penderita diabetes tanpa ada penyebab lain selain diabetes mellitus. Faktor-
faktor etiologik daripada diabetes neuropati diduga adalah vaskuler,
metabolisme, neurotrofik dan immunologic (Subekti, 2009).
1. . Faktor vaskular
Abnormalitas vaskuler yang terjadi pada pasien dengan diabetik
polineuropati meliputi penebalan membran basalis dinding pembuluh
darah, endotelial hiperplasia, disfungsi endotelial, peningkatan ekspresi
endotelin dan peningkatan kadar vascular endotelial growth factor
(VEGF). Diabetes secara selektif merusak sel, seperti endotelial sel dan
mesangial sel, dimana kecepatan pengangkutan glukosa tidak merosot
dengan cepat seperti halnya hasil peningkatan kadar gula, hal ini
mendorong ke arah penumpukan glukosa tinggi dalam sel. Berdasarkan
teori ini, terjadi proses iskemia endoneurial yang berkembang karena
adanya peningkatan endoneural vascular resistance terhadap daerah
hiperglikemi. Berbagai faktor berkenaan dengan metabolisme, termasuk
pembentukan glycostatin end product, juga telah mencakup, mendorong
ke arah kerusakan kapiler, inhibisi transpor aksonal, aktivitas
Na+/K+ATPase, dan akhirnya ke degenerasi aksonal (Subekti, 2009).

32
2. Teori berkenaan dengan metabolisme
Ada 2 teori utama berhubungan dengan efek yang berkenaan dengan
metabolisme dari hiperglikemi kronis dan efek iskemia pada saraf
periferal. Efek hiperglikemia yang berkenaan dengan metabolisme
meliputi pembuatan potensi neurotoksin (seperti jenis oksigen reaktif dan
sorbitol) dan perubahan tingkatan enzimntraseluler dan molekul
pemberian isyarat (seperti Na+/K+ATPase, protein kinase C, dan protein
mitogen-activated kinase).
2.1. The polyol pathway
Di dalam status yang normoglikemik, kebanyakan glukosa
intrasellular adalah di phosphorylated ke glucose-6-phosphate oleh
hexoginase. Hanya sebagian kecil dari glukosa masuk polyol pathway.
Dibawah kondisi-kondisi hiperglikemi, hexoginase disaturasi, maka
akan terjadi peningkatan influks glukosa ke dalam polyol pathway
aldose reductase, yang mengkatalisa pengurangan glukosa ke sorbitol,
adalah rate limiting enzim didalam pathway ini.
Aldose reductase, yang secara normal mempunyai fungsi mengurangi
aldehid beracun didalam sel ke alkohol non aktif, tetapi ketika
konsentrasi glukosa di dalam sel menjadi terlalu tinggi, aldose
reductase juga mengurangi glukosa itu ke sorbitol, yang mana
kemudian dioksidasi menjadi fruktose. Sedang dalam proses
mengurangi glukosa intraselluler tinggi ke sorbitol, aldose reductase
mengkonsumsi co-factor NAPH (nicotinamide adenin dinucleotide
phospat hydrolase). NADPH adalah juga co-factor yang penting untuk
memperbaharui suatu intraselluler critical antioxidant, dan
pengurangan glutathione. Dengan mengurangi jumlah
glutathione,polyol pathway meningkatkan kepekaan ke intracelluler
oxidative stress. Oxydative stress berperan utama didalam patogenesis
diabetik periferal neuropati (Subekti, 2009).
Oxidative stress terjadi didalam sistem selluler ketika produksi radikal
bebas melebihi kemampuan antioksidan didalam sel. Jika antioksidan

33
tidak membuang radikal bebas, radikal akan menyerang dan merusak
protein, lipid dan asam nukleat. Hasil dari oksidasi atau nitrosilasi dari
radikal bebas akan menyebabkan penurunan aktivitas biologik,
kehilangan kemampuan metabolisme energi, transport, dan kehilangan
kemampuan fungsi utama lainnya. Akumulasi dari proses ini akan
menyebabkan sel mati melalui mekanisme apoptosis atau nekrotik
(Subekti, 2009).
Suatu teori mengatakan bahwa gula yang berlebihan dalam sirkulasi
darah di tubuh saling berinteraksi dengan suatu enzim di dalam sel
Schwann, yang disebut aldose reductase. Aldose reductase mengubah
bentuk gula ke dalam sorbitol, yang pada gilirannya menarik air ke
dalam sel Schwann, menyebabkan sel Schwann membengkak. Ini pada
gilirannya menjepit serabut saraf, menyebabkan kerusakan dan
menimbulkan rasa nyeri. Akhirnya sel Schwann dan serabut saraf
dapat nekrosis.
2.2 Aktivasi protein kinase C pathway
Berperan dalam patogenesis diabetic peripheral neuropathy.
Hiperglikemi didalam sel meningkatkan sintesa suatu molekul yang
disebut dicylglycerol (DAG), yaitu suatu critical activating factor
untuk isoforms protein kinase-C,β,α,ð. Protein kinase C juga
diaktifkan oleh oxydative stress dan advanced glycation end product.
Aktivasi protein kinase C menyebabkan peningkatan permeabilitas
vaskuler, gangguan sintesa nitric oxyde (NOs), dan perubahan aliran
darah.
advanced glycation end product sangat toksik dan merusak semua
protein tubuh, termasuk sel saraf. Dengan terbentuknya AGEs dan
sorbitol, maka sintesis dan fungsi NO akan menurun, sehingga
vasodilatasi berkurang, aliran darah ke saraf menurun, dan bersama
rendahnya mionisitol dalam sel saraf, terjadilah neuropati diabetik.
(Subekti, 2009)
2.3Adenosine diphosphate (ADP)

34
Ada bukti bahwa poly Adenosine diphosphate (ADP)-ribose
polymerase (PARP) mempunyai suatu peran penting dalam mediator
beberapa pathway dari hyperglicemia induced damage.(Subekti, 2009)
2.4 The hexosamine pathway
Ketika hiperglikemia intraselluler berkembang didalam sel target dari
komplikasi diabetes, menyebabkan produksi ROS(reactive oxygen
species) mitokhondria. ROS menerobos inti DNA, yang mengaktifkan
PARP. PARP kemudian memodifikasi enzim GAPDH (glycolytic
glyceryldehyde-3 fosfat dehidrogenase), dengan demikian mengurangi
aktivitasnya. Akhirnya, pengurangan aktivitas GAPDH akan
mengaktifkan polyolpathway, meningkatkan pembentukan AGE
intraseluler (lycation and product), mengaktifkan PKC dan sesudah itu
NFxB, dan mengaktifkan hexosamine pathway flux. (Subekti, 2009)
3. Faktor neurotropik
Nerve growth factor diperlukan untuk mempercepat dan mempertahankan
pertumbuhan saraf. Pada penderita diabetes kadar NGF serum cenderung
turun dan berhubungan dengan derajat neuropati.
4. Faktor immunologi
Pada penderita diabetes dijumpai adanya antineural antibodies dalam
serum yang secara langsung dapat merusak struktur saraf sensorik dan
motorik yang bisa dideteksi dengan immunoflorens indeks.
Gejala klinis neuropathy diabetik bergantung pada tipe neuropati dan saraf
yang terlibat. Pada beberapa orang bisa tidak dijumpai gejala. Kesemutan,
tingling atau nyeri pada kaki sering merupakan gejala yang pertama, bisa juga
nyeri dan kesemutan. Gejala bisamelibatkan sistem saraf sensoris atau
motorik ataupun sistem saraf otonom.
Langkah manajemen terhadap pasien adalah untuk menghentikan
progresifitas rusaknya serabut saraf dengan kontrol kadar gula darah secara
baik. Mempertahankan kontrol glukosa darah ketat, HbA1c, tekanan darah,
dan lipids dengan terapi farmakologis dan perubahan pola hidup. Komponen

35
manajemen diabetes lain yaitu perawatan kaki, pasien harus diajar untuk
memeriksa kaki mereka secara teratur. (Subekti, 2009)

IV. ANEMIA HIPOKROMIK MIKROSITER


1. Definisi
Anemia adalah keadaan klinis dimana massa eritrosit dan/atau massa
hemoglobin yang beredar tidak dapat memenuhi fungsinya untuk
menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh. Anemia ditandai dengan adanya
penurunan kadar hemoglobin, hematokrit dan jumlah eritrosit dalam darah.
Ketiga parameter itu dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, keadaan
fisiologik tertentu seperti kehamilan, ketinggian tempat tinggal (Bakta,
2006).
Anemia hipokromik mikrositer pada dasarnya terjadi karena berkurangnya
penyediaan besi atau gangguan utilisasi besi oleh progenitor eritroid dalam
sumsum tulang (Bekta, 2006).
Batasan anemia oleh WHO adalah:
a) Anak 6 bulan – 6 tahun : Hb < 11 gr/dl
b) Anak 6 tahun – 14 tahun : Hb <12 gr/dl
c) Wanita hamil : Hb < 11 gr/dl
d) Wanita dewasa : Hb < 12 gr/dl
e) Laki dewasa : Hb < 13 gr/dl
Untuk keperluan klinis ada yang memakai batasan Hb< 10 gr/dl sebagai
titik pemilah (cut off point) (Bakta, 2006).
2. Kriteria klinik
Alasan praktis kriteria anemia di klinik untuk Indonesia pada umumnya
adalah :
a) Hemoglobin <10 g/dl
b) Hematokrit <30%
c) Eritrosit <2,8 juta/mm3 (Bakta, 2006).
3. Patofisiologi
Pada dasarnya gejala anemia timbul karena :

36
d) Anoksia organ target oleh sebab berkurangnya jumlah oksigen
yang dapat dibawa oleh darah ke jaringan
e) Mekanisme kompensasi tubuh terhadap anemia
Kombinasi kedua penyebab ini akan menimbulkan gejala yang disebut
sebagai sindrom anemia. Gejala anemia biasanya timbul apabila
hemoglobin menurun kurang dari 7 atau 8 g/dl. Berat ringannya gejala
tergantung pada berikut :
a) Beratnya penurunan kadar hemoglobin
b) Kecepatan penurunan kadar hemoglobin
c) Umur : adaptasi orang tua lebih jelek, gejala lebih cepat timbul
d) Adanya kelainan kardiovaskuler sebelumnya
4. Gejala
Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia. Gejala ini pada
semua jenis anemia karena kadar Hemoglobin yang sudah menurun di
bawah titik tertentu. Gejala ini timbul karena anoksia organ target dan
mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan hemoglobin (Bakta,
2006).
f) Sistem kardiovaskuler : Lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardi,
sesak saat aktivitas, angina pectoris, dan gagal jantung
g) Sistem saraf : sakit kepala, pusing, telinga berdenging, mata
berkunang-kunang, kelemahan otot, iritabel, lesu, perasaan dingin
pada ekstremitas
h) Sistem urogenital : gangguan haid, dan libido menurun
i) Epitel : warna pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit
menurunn, rambut tipis dan halus
Gejala khas masing-masing anemia menjadi ciri dan membedakan satu
sama lain :
a) Anemia defisiensi besi : disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis
angularis
b) Anemia defisiensi asam folat : lidah merah (buffy tongue)
c) Anemia hemolitik : ikterus dan hepatosplenomegali

37
d) Anemia aplastik : perdarahan kulit dan mukosa dan tanda-tanda
infeksi
5. Pemeriksaan khusus
Hanya dikerjakan atas indikasi khusus misalnya:
1. Anemia defisiensi besi serum iron, TIBC, saturasi transferin,
protoporfirin eritrosit, feritin serum, reseptor transferin, dan
pengecatan besi sumsum tulang.
2. Anemia megaloblastik folat serum, vit B12 serum, test supresi
diooksiuridin, dan test schiling.
3. Anemia hemolitik bilirubin serum, test coomb, elektroforesis
Hb.
4. Anemia aplastik biopsi sumsum tulang
Jika diperlukan pemeriksaan non hematologik tertentu seperti test
faal hati, test faal tiroid, test faal ginjal, pemeriksaan cacing
tambang, darah samar pada feces.
6. Anemia hipokromik mikrositer
Anemia hipokromik mikrositer dengan gangguan metabolisme besi
merupakan penyebab anemia tersering yang bisa dijumpai.
Termasuk dalam kelompok anemia hipokromik mikrositer adalah :
a) Anemia defisiensi besi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat kosongnya
cadangan besi tubuh sehingga penyediaan besi untuk eritropoesis
berkurang, yang pada akhirnya pembentukan hemoglobin berkurang.
Kelainan ini ditandai dengan anemia mikrositik hipokromik, besi
serum menurun, TIBC meningkat, saturasi transferin menurun, feritin
serum menurun, pengecatan besi sumsum tulang negatif dan adanya
respon terhadap pengobatan dengan preparat besi.
b) Anemia akibat penyakit kronis
Penyakit kronis sering kali disertai anemia, namun tidak semua
anemia pada penyakit kronis dapat digolongkan sebagai anemia pada
penyakit kronis. Anemia pada penyakit kronis adalah anemia yang

38
dijumpai pada kondisi tertentu yang khas ditandai dengan gangguan
metabolisme besi, yaitu adanya hipoferemia sehingga menyebabkan
berkurangnya penyediaan besi yang dibutuhkan untuk sintesis
hemoglobin tetapi cadangan besi sumsum tulang masih cukup.
Anemia ini tergolong anemia yang cukup sering dijumpai di klinik.
Beberapa teori tentang terjadinya anemia ini yakni gangguan
pelepasan besi dari RES ke plasma, pemendekan masa hidup eritrosit,
pembentukan eritropoetin tidak adekuat, dan respon sumsum tulang
terhadap eritropoetin tidak adekuat.
c) Anemia sideroblastik
Anemia sideroblastik adalah anemia dengan sideroblas cincin dalam
sumsum tulang. Anemia ini relatif jarang dijumpai tetapi perlu
mendapat perhatian karena merupakan salah satu diagnosis banding
anemia mikrositik hipokromik. Anemia ini pada dasarnya terjadi
kegagalan inkorporasi besi dalam senyawa hem pada mitokondria
yang mengakibatkan besi mengendap pada mitokondria sehingga jika
dicat dengan cat besi akan kelihatan sebagai bintik-bintik yang
mengeelilingi inti yang disebut sebagai sideroblas cincin, hal ini
menyebabkan kegagalan pembentukan hemoglobin.
7. Penatalaksanaan
Anemia merupakan kelainan fisiologis, bukan suatu diagnosis. Oleh
karenanya harus ditegakkan diagnosis akhir berupa suatu penyakit.
a. Langkah pertama dalam melakukannya adalah mengelompokkan
anemia menurut ukuran eritrosit.
b. Cari penyebabnya dan berikan pengobatan yang memadai.
c. Bila anemia timbul sekunder akibat penyakit lain, dengan pengobatan
penyakit dasarnya anemia akan membaik. Pada anemia jenis ini
umumnya tidak diperlukan obat-obat antianemia kecuali bila progresif
dan timbul keluhan.
d. Transfusi darah hanya bila diberikan jika:
1. Perdarahan akut yang disertai dengan perubahan hemodinamik.

39
2. Pada anemia kronis, progesif dan terdapat keluhan (packed red
cell).
3. Bila terdapat kegagalan faal jantung penderita harus istirahat total
dan diberikan diuretika.

V. PEMBAHASAN
Dari data anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
didapatkan pasien mengeluh lemas sejak 2 hari yang lalu. Pasien mengeluh
badannya lemas dalam beberapa hari terakhir dan sangat mengganggu aktivitas

40
hariannya. Pasien mengaku sebelumnya belum pernah merasakan lemas yang
berat hingga mengganggu aktivitas hariannya. Sebelumnya pasien sudah
memeriksakan diri ke Puskesmas Jetis, dan didapatkan hasil pemeriksaan di
puskesmas bahwa gula darahnya sangat tinggi. Lemas disini terjadi karena
terjadinya resistensi dari hormon insulin yang menyebabkan kadar gula darah
menjadi tinggi karena menurunnya ambilan glukosa oleh jaringan otot dan
adiposa serta peningkatan pengeluaran glukosa oleh hati sehingga otot tidak
mendapatkan energi dari glukosa dan membuat alternatif dengan membakar
lemak dan protein yang menyebabkan berat badan dari pasien mengalami
penurunan sejak menderita diabetes mellitus ini.
Selain itu, lemas juga bisa disebabkan karena pasien mengalami
anemia, yakni suatu kondisi dimana massa eritrosit dan/atau hemoglobin yang
beredar dalam tubuh tidak dapat memenuhi fungsinya untuk menyediakan
oksigen bagi jaringan tubuh. Dari pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva
anemis dan pemeriksaan laboratorium juga terdapat penurunan dari nilai HB,
HCT, MCV, MCH dan MCHC yang mengindikasikan bahwa terdapat
anemia. Anemia bisa terjadi karena adanya gangguan pada proses eritropoesis
maupun karena adanya defisiensi dari bahan-bahan pembentuk eritrosit dan
hemoglobin.
Pasien mengaku memiliki riwayat penyakit kencing manis kurang lebih
3 tahun terakhir. Pasien juga mengaku rutin kontrol di dokter atau mantri desa
setiap bulannya dan diberikan obat untuk dikonsumsi. Pasien merasakan
setiap malam sering bolak-balik ke kamar mandi untuk buang air kecil dan
jumlahnya banyak. Pasien juga merasa sering haus, sering merasa lapar dan
keringatnya sedikit. Selain itu dari pemeriksaan gula darah sewaktu selalu
didapatkan hasil yang tinggi. Gula darah yang tinggi terjadi akibat adanya
defisiensi atau resistensi dari hormon insulin, banyak akibat yang timbul oleh
karena tertimbunnya gula darah ini. Gula darah yang tinggi bisa rusak filtrasi
ren karena gula darah ini mengalir bebas di aliran darah dan tidak bisa
diangkut ke sel atau jaringan untuk digunakan sebagai energi. Sebagian dari
glukosa ini nantinya akan diubah oleh enzim aldose reduktase menjadi

41
sorbitol. Sorbitol inilah yang nantinya menjadi dasar dari berbagai keluhan
akibat diabetes mellitus, karena dengan peningkatan sorbitol dalam sel atau
jaringan akan menyebabkan kerusakan fungsi organ dan menyebabkan
makro-mikroangiopati. Bila sudah terjadi makro-mikroangiopati ini maka
kemungkinan untuk terjadinya berbagai komplikasi diabetes mellitus
meningkat seperti misalnya nefropati diabetik, neuropati diabetik, retinopati
diabetik dan juga hipertensi serta ulkus diabetik. Keluhan ini juga
menunjukkan bahwa pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat
mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal atau toleransi
glukosa setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikeminya berat dan melebihi
ambang ginjal akan menyebabkan glukosuria yang nantinya mengakibatkan
diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urin (poliuri) dan timbul
rasa haus (polidipsi). Disamping itu karena glukosa hilang bersama urin,
maka pasien mengalami ketidakseimbangan kalori dan berat badan berkurang
sehingga rasa lapar akan semakin besar (polifagi) akan timbul sebagai akibat
kehilangan kalori.
Dari hasil laboratorium kimia darah, didapatkan peningkatan dari kadar
ureum dan kreatinin, serta setelah dilakukan penghitungan laju filtrasi
glomerulus mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi
penurunan fungsi ginjal dan hal ini berkaitan dengan kondisi pasien yang
menderita diabetes mellitus. Kadar gula darah yang tinggi tidak akan dapat
diangkut ke sel karena defisiensi insulin sebelumnya sehingga akan
menumpuk didalam sel atau jaringan yang akibatnya menyebabkan makro-
mikroangiopati.
Nefropati diabetik merupakan salah satu menifestasi mikroangiopati
dimana hiperglikemik akan merusak fungsi nefron karena memasuki dan
merusak glomerulus. Akibat dari rusaknya glomerulus ini maka sejumlah
protein darah dieksresikan ke dalam urin secara abnormal sehingga pada
pasien ini juga terdapat proteinuria dalam pemeriksaan urin lengkap. protein
utama yang diekskresikan adalah albumin yakni protein larut air yang
disekresikan di hepar. Karena tingginya glukosa darah menyebabkan

42
terjadinya pemecahan glikogen di hepar yang kaya albumin untuk keperluan
energi bagi tubuh sehingga akan terjadi proteinuria.
Selain itu karena tingginya kadar gula darah dan melebihi nilai ambang
filtrasi ginjal maka akan timbul glikosuria atau glukosa akan dieksresikan
oleh ginjal melalui urin. Akibat lain yang mungkin bisa ditimbulkan dari
terjadinya glikosuria ini adalah kekurangan energi sel maupun jaringan tubuh
sehingga pasien akan lebih cepat merasakan lelah dan mengantuk.
Pasien memiliki tekanan darah yang tinggi yakni 160/80. Hal ini karena
hipertensi merupakan manifestasi adanya komplikasi makrovaskuler dan
mikrovaskuler. Perubahan hemodinamik ini dipengaruhi oleh karena
rusaknya fungsi ginjal karena tingginya kadar glukosa darah yang
menyebabkan kerusakan pada filtrasi ginjal. Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa kerusakan ini terkait dengan aktivitas berbagai hormon
vasoaktif seperti angiotensin II dan endotelin.
Pasien juga mengeluhkan bahwa tangan dan kakinya sering merasakan
kesemutan. Hal ini menunjukkan telah terjadi neuropati diabetik yang
merupakan gejala dan atau tanda dari disfungsi saraf pada penderita diabetes.
Keluhan ini disebabkan karena berbagai faktor penyebab yakni vaskuler,
metabolisme, neurotropik dan imunologik. Diduga terjadi perubahan biokimia
dalam jaringan saraf sehingga kegiatan sel saraf dan akson terganggu
sehingga terjadi gangguan baik sensorik dan motorik yang dimanifestasikan
pasien dalam bentuk kesemutan di tangan dan kaki kanan dan kiri. Selain itu,
karena menumpuknya glukosa dalam darah dan tidak dapat diangkut ke sel
maupun jaringan untuk digunakan sebagai energi inilah yang menyebabkan
timbulnya iskemik pada saraf perifer juga mendasari timbulnya neuropati
diabetik.

DAFTAR PUSTAKA

Bakta, M., 2006. Hematologi Klinis Ringkas. Jakarta : EGC

43
Hendromartono. 2007. Ilmu Penyakit Dalam : Nefropati Diabetik. Jakarta : FKUI
(pp. 1943-1946)
Manaf, A. 2009. Ilmu Penyakit Dalam. Insulin: Mekanisme Sekresi dan Aspek
Metabolisme . Jakarta : FKUI (1896-1899)
Pandelaki, K. 2009. Ilmu Penyakit Dalam : Retinopati Diabetik. Jakarta : FKUI
(pp. 1930-1946)
PERKENI. 2006. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia
PERKENI. 2011. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia
Purnamasari, Diah . 2009. Ilmu Penyakit Dalam : Diagnosis dan Klasifikasi
Diabetes Melitus. Jakarta FKUI (pp.1880-1883)
Soegondo, S. 2009. Ilmu Penyakit Dalam : Farmakoterapi pada Pengendalian
Glikemia Diabetes Melitus Tipe 2. Jakarta : FKUI (pp. 1884-1890)
Subekti, I. 2009. Ilmu Penyakit Dalam : Neuropati Diabetik. Jakarta : FKUI (pp.
1947-1951)
Sudoyo, A., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed IV. Jilid III. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta
Supartondo, W., 2003. Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta : 2003. 375-7

44

Anda mungkin juga menyukai