Anda di halaman 1dari 20

BAB 10 Pelaporan Segmen

Desentralisasi (decentralization) adalah pratek pendelegasian wewenang pengambilan keputusan


kepada jenjang yang lebih rendah. Pengambilan keputusan terdesentralisasi (decentralized decision
making) memperkenankan manajer pada jenjang yang lebih rendah untuk membuat dan
mengimplementasikan keputusan-keputusan penting yang berkaitan dengan wilayah
pertanggungjawaban mereka.
Alasan melakukan desentralisasi adalah:
1. Mengumpulkan dan Menggunakan Informasi Local. Dalam menjalankan usaha mungkin saja
manajen pusat tidak mengetahui kondisi local sehingga dibutuhkan informasi local dalam
mengendalikan usaha. Kadangkala informasi yang diteima sangat berlebihan sehingga dibutuhkan
orang yang ahli dalam bidangnya untuk mengendalikan.
2. Fokus Manajemen Pusat. Dengan mendesentralisasi keputusan-keputusan operasional, manajemen
pusat bebas untuk menangani perumusan perencanaan dan pengambilan keputusan strategis.
3. Melatih dan Memotivasi Para Manajer. Organisasi selalu membutuhakn manajer yang terlatih
untuk menggantikan posisi manajer jenjang lebih tinggi yang keluar. Kesempatan seperti itu juga
memungkinkan manajer puncak mengevaluasi kapabilitas para manajer lokalnya. Manajer yang
menghasilkan keputusan terbaik adalah manajer yang boleh dipromosikan.
4. Meningkatkan Daya Saing. Perusahaan-perusahaan besar sekarang menemukan bahwa mereka
tidak mampu mempertahankan suatu divisi yang tidak berdaya saing. Salah satu cara terbaik untuk
lebih meningkatkan kinerja sebuah divisi atau pabrik adalah dengan memperkenalkan lebih jauh
kepada kekuatan-kekuatan pasar.
Desentralisasi biasanya diwujudkan melalui pembentukan unit-unit atau divisi. Pengorganisasian
divisi-divisi sebagai pusat pertanggungjawaban menciptakan kesempatan pengendalian divisi melalui
penggunaan akuntansi pertanggungjawaban.
Cara pembagian unit-unit atau divisi tersebut adalah :
1. Pembagian berdasarkan barang dan jasa yang diproduksi. Contoh, divisi Pepsi, Coke dan lain-lain.
2. Pembagian menurut garis geografis. Misalnya, UAL, Inc. (induk perusahaan United Airline)
memiliki sejumlah divisi regional Asia/Pasifik, Eropa, Amerika Latin, Amerika Utara, dan Karibia.
3. Pembagian berdasarkan jenis pertanggungjawaban yang diberikan kepada manajer divisi. Pusat
pertanggungjawaban terdiri dari pusat investasi, pusat laba, pusat pendapatan dan pusat biaya.

Ukuran kinerja yang paling lazim digunakan bagi suatu pusat investasi adalah pengembalian investasi
(return on investasi-ROI) dengan menggunakan rumus:
ROI = Laba operasi / Aktiva operasi rata-rata
ATAU
ROI = Margin x perputaran = (Laba operasi/Penjualan) x (Penjualan /Aktiva operasi rata-rata).
Keterangan :
- Laba Operasi ( operating income ) adalah laba yang dihasilkan sebelum bunga dan pajak
- Aktiva operasi (operating assets) adalah seluruh aktiva yang digunakan untuk menghasilkan laba
operasi.
- Margin adalah rasio dari operasi terhadap penjualan.
- Perputaran (turnover) adalah suatu ukuran lain yang dihitung dengan membagi pendapatan
penjualan dengan aktiva operasi rata-rata.
Laba residu (economic value added-EVA) adalah laba operasional setelah pajak dikurangi dengan
total biaya modal tahunan. Jika EVA positif berarti perusahaan manambah kekayaan, jika negative
berarti perusahaan menyia-nyiakan modal. EVA juga menghasilkan tingkat pengembalian seperti ROI
karena menghubungkan penghasilan bersih (pengembalian) dengan modal yang dipakai. Intinya EVA
penekanannya pada pendapatan bersih operasi dengan biaya actual dari modal.
EVA = Laba operasional setelah pajak – (Biaya tertimbang rata-rata atas modal x Total modal
terpakai)
EVA digunakan untuk menganalisa apakah suatu proyek individual itu diterima atau ditolak. Selain
itu sejumlah perusahaan telah menemukan bahwa EVA membantu mendorong jenis perilaku yang
benar dari berbagai divisi dengan menunjukan bahwa penekanan semata-mata pada pendapatan
operasional tidaklah mencukupi. Alasan yang menggarisbawahi adalah EVA mengandalkan biaya
modal yang sebenarnya.
Yang dimaksudkan dengan harga transfer (transfer price) adalah nilai atau harga internal antar divisi
dalam suatu perusahaan. Divisi yang menerima dianggap sebagai pembeli dan divisi yang mengirim
dianggap sebagai penjual. Dampak dari harga transfer terhadap divisi antara lain :

1. Dampak Terhadap Ukuran Kinerja Divisi.


Harga yang dikenakan untuk barang yang ditransfer mempengaruhi biaya divisi pembeli dan
pendapatan divisi penjual. Artinya, laba kedua divisi tersebut sebagaiman juga evaluasi dan
kompensasi para manajer mereka, dipengaruhi oleh harga transfer.
2. Dampak terhadap Keuntungan Perusahaan.
Meskipun harga transfer actual tidak mempengaruhi perusahaan sebagai kesatuan, penetapan harga
transfer ternyata mampu mempengaruhi tingkat laba yang dihasilkan oleh perusahaan dengan dua cara
yaitu jika ia mempengaruhi perilaku divisi dan ia mempengaruhi pajak pengahsilan. Divisi-divisi,
yang bertindak secara independent, mungkin menetapkan harga transfer yang memaksimalkan laba
devisi tetapi menimbulkan pengaruh sebaliknya bagi laba perusahaan secara keseluruhan.
3. Dampak terhadap Otonomi.
Karena keputusan penetapan harga transfer dapat mempenearuhi profitabilitas perusahaan secara
keseluruhan, manajemen puncak sering tergoda untuk mencapuri dan mendikte harga transfer yang
mereka inginkan.
Sistem penetapan harga transfer harus mampu memenuhi tiga unsur : (1) evaluasi kinerja yang akurat
yaitu berati bahwa tidak satupun manajer divisi akan memperoleh manfaat atas beban manajer divisi
lain. (2) Kesesuaian tujuan berarti bahwa manajer divisi memilih tindakan-tindakan yang
memaksimalkan keuntungan perusahaan secara keseluruhan. (3) Otonomi divisi berarti bahwa
manajemen pusat tidak boleh mencapuri kemandirian manajer divisi dalam membuat keputusan.
Masalah penetapan harga transfer adalah berkaitan dengan upaya menciptakan system yang secara
simultan memenuhi ketiga sasaran di atas. Pedoman penetapan harga transfer:
1. Pendekatan Biaya Kesempatan.
Pendekatan ini dengan cara mengidentifikasikan harga terendah yang mau diterima oleh penjual dan
harga tertinggi yang mau dibayar oleh pembeli. Harga tersebut ditetapkan bagi masing-masing divisi
sebagai berikut:
- Harga transfer minimum (minimum tfransfer price) adalah harga transfer yang akan membuat
keadaan divisi penjual tidak lebih buruk apabila barang dijual kepada divisi internal daripada dijual
kepada pihak luar. Hal ini disebut batas bawah (floor) dari jangkauan penawaran
- Harga transfer maksimum (maximum transfer price) adalah harga transfer yang akan membuat
keadaan divisi pembeli tidak lebih buruk apabila input dibeli dari divisi internal daripada dibeli dari
pihak luar. Hal ini disebut batas atas (ceiling) dari jangkauan penawaran
2. Pendekatan Harga Pasar.
Apabila terdapat pasar luar dengan persaingan sempurna untuk produk yang ditransfer, maka harga
transfer yang sesuai adalah harga pasar.
3. Pendekatan Harga Transfer yang Dinegosiasikan.
Kelemahan harga transfer yang dinegosiasikan : (1) Manajer divisi yang menguasai informasi khusus
mungkin mengambil keuntungan dari manajer dicisi lainnya. (2) Ukuran-ukuran kinerja mungkin
terganggu oleh ketrampilan negosiasi dari para manajer. (3) Negosiasi dapat menghabiskan waktu dan
sumber daya yang besar. Keunggulan harga transfer yang dinegosiasikan adalah harga transfer yang
dinegosiasikan menawarkan harapan untuk melengkapi ketiga criteria kesesuaian tujuan, otonomi dan
akurasi evaluasi kinerja.
4. Pendekatan Harga Transfer berdasarkan Biaya.
Tiga bentuk penetapan harga berdasarkan biaya :
(1) Biaya penuh; biaya penuh meliputi biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya
overhead variable dan sebagai biaya overhead tetap.
(2) Biaya penuh ditambah mark-up.
(3) Biaya variable ditambah biaya tetap

BAB 11 CVP
Definisi Analisis Biaya Volume Laba
Pengertian analisis CVP (cost volume profit) adalah analisis yang digunakan untuk menentukan
bagaimana perubahan dalam biaya dan volume dapat mempengaruhi pendapatan operasional (operating
income) perusahaan dan pendapatan bersih (net income). Seperti kita ketahui, jumlah produk yang
dihasilkan perusahaan didalam suatu periode tertentu akan memiliki hubungan langsung dengan
besarnya biaya yang dikeluarkan perusahaan. Ketika biaya itu dipertemukan dengan nilai penjualan
produk yang dihasilkan oleh perusahaan, laba perusahaan yang diperoleh pada suatu periode akan
terpengaruh menjadi lebih besar atau lebih kecil. Suatu analisa yang menggambarkan bagaimana
perubahan biaya variabel, biaya tetap, harga jual, volume penjualan dan bauran penjualan akan
mempengaruhi laba perusahaan inilah yang disebut dengan analisis CVP (cost volume profit).
Analisis CVP merupakan instrumen yang lazim dipakai untuk menyediakan informasi yang
bermanfaat bagi manajemen untuk pengambilan keputusan, misalkan dalam menetapkan harga jual
produk. Proses analisis ini memerlukan sejumlah teknik dan prosedur pemecahan masalah dengan
bertumpukan pada pemahaman terhadap pola-pola perilaku biaya perusahaan. Analisis biaya volume
laba (cost profit analysis) merupakan alat yang berguna untuk perencanaan dan pengambilan keputusan,
khususnya jangka pendek, karena analisis ini menekankan pada keterkaitan antara biaya, jumlah yang
dijual, dan harga. Analisis biaya volume laba juga dapat menjadi alat yang berharga untuk
mengidentifikasi luas dan besarnya masalah ekonomi yang dihadapi perusahaan dan membantu
menunjukkan secara tepat jawaban yang diperlukan.
Analisis biaya volume laba dapat diterapkan dalam banyak hal, diantaranya adalah :
1. Menentukan harga jual produk atau jasa.
2. Memperkenalkan produk atau jasa baru.
3. Mengganti peralatan.
4. Memutuskan apakah produk atau jasa yang ada seharusnya dibuat di dalam perusahaan atau dibeli dari
luar perusahaan.
5. Melakukan analisis apa yang akan dilakukan, jika sesuatu dipilih oleh manajemen.”

B. Asumsi Analisis Biaya Volume Laba


Dalam mengambil keputusan, manajemen juga melihat lima elemen penting terkait analisis cost
volume profit, yaitu:
1. Harga produk yaitu harga yang ditetapkan di dalam suatu periode tertentu secara konstan.
2. Volume atau tingkat aktivitas yaitu besarnya produk yang dihasilkan dan direncanakan akan dijual di
dalam suatu periode tertentu.
3. Biaya variabel per unit yaitu besarnya biaya produk yang dibebankan secara langsung pada setiap unit
barang yang diproduksi.
4. Total biaya tetap yaitu keseluruhan biaya periodik di dalam suatu periode tertentu.
5. Bauran volume produk yang dijual yaitu proporsi volume relatif produk-produk perusahaan yang akan
dijual.

Dalam melihat hubungan diantara kelima elemen tersebut terdapat beberapa asumsi yang harus
digunakan didalam hubungan diantara besarnya biaya dan volume serta laba yang akan diperoleh, yaitu
:
1. Harga jual produk yang konstan dalam cakupan yang relevan. Hal ini berarti harga jual setiap unit
produk tidak berubah walaupun terjadi perubahan volume penjualan.
2. Biaya bersifat linear dalam rentang cakupan yang relevan dan dapat dibagi secara akurat ke dalam
elemen biaya tetap dan biaya variabel. Jumlah biaya variabel per unit konstan dan jumlah biaya tetap
total juga harus konstan.
3. Dalam perusahaan mulitiproduk, bauran penjualannya tidak berubah.
4. Jumlah unit yang diproduksi sama dengan jumlah unit yang dijual. Berarti, jumlah persediaan tidak
berubah.

Analisis biaya-volume-biaya tergantung pada sejumlah asumsi yang membatasi. Asumsi-asumsi


tersebut diantaranya :
1. Semua biaya diklasifikasikan sebagai biaya variable ataupun biaya tetap. Dianggap bahwa biaya-biaya
lainya, seperti biaya campuran, dapat dipilah-pilah menjadi unsur-unsur biaya variabel dan tetap.
Jumlah biaya tetap sifatnya konstan pada saat aktivitas berubah, dan biaya variabel per unit itidak
berganti ketika aktivitas berubah. Efisiensi dan produktivitas proses produktif serta tenaga kerja
dianggap konstan pula.
2. Fungsi jumlah biaya adalah linier dalam kisaran relavan. Asumsi ini sahih dalam kisaran relavan
kegiatan usaha normal.
3. Fungsi jumlah kegiatan pendapatan adalah linier dalam kisaran relavan. Harga jual per unit dianggap
konstan dalam kisaran volume produksi. Hal ini menyiratkan pasar yang murni kompetitif untuk produk
atau jasa akhir. Jumlah pendapatan berubah sebanding dengan perubaha volume penjualan unit produk.
Harga jual rata-rata perrunit produk adalah konstan.
4. Analisisnya untuk sebuah produk atau bauran penjualan dari bermacam-macam produk adalah konstan
dalam kisaran relavan . Apabila produk-produk mempunyai harga jual dan biaya yang berbeda-beda,
perubahan bauran penjualan akan mempengaruhi hasil-hasil analisis biaya-volume-laba.
5. Hanya terdapat satu pemicu biaya : volume unit produk atau rupiah penjualan
6. Dalam perusahaan pabrikasi, tingkat persediaan pada awal dan akhir periode adalah sama. Hal ini
menyiratkaan bahwa jumlah unit yang diproduksi selama periode berjalan sama dengan unit yang dijual.

Dengan pengertian dan asumsi seperti diatas maka jika salah satu elemen saja berubah maka hasil
analisis cost volume profit pasti akan menghasilkan kesimpulan yang berbada dan dapat menghasilkan
keputusan yang berbeda juga. Meskipun tujuan utama dari analisis ini adalah untuk melihat hubungan
diantara elemen-elemen tersebut dan pengaruhnya satu dengan yang lainnya.
Terkait asumsi dasar biaya diklasifikasikan sebagai biaya variabel dan tetap, Manajemen harus teliti
dalam memasukkan semua biaya variable yang relevan yaitu tidak hanya biaya produksi saja tapi juga
biaya penjualan dan biaya distribusi. Ketelitian ini diperlukan untuk mengukur biaya variabel per unit.
Selain itu, (pada analisis jangka pendek) biaya tetap yang relevan dapat diartikan sebagai biaya tetap
yang diperkirakan berubah sehubungan dengan peluncuran produk baru. Pada saat biaya variabel dan
biaya tetap dijumlahkan menjadi biaya total, dapat diasumsikan dengan analisis cost volume profit
bahwa pendapatan dan total biaya adalah linear pada rentang aktivitas yang relevan. Meskipun perilaku
biaya sebenarnya tidak relevan dengan rentang output yang terbatas, total biaya diharapkan meningkat
mendekati tingkat yang linear.
Karena peran yang sangat vital, analisis cost volume profit ini dapat diterapkan dalam banyak hal
seperti menentukan harga jual produk atau jasa, memperkenalkan produk atau jasa baru, mengganti
peralatan, memutuskan apakah produk atau jasa yang ada seharusnya dibuat di dalam perusahaan atau
dibeli dari luar perusahaan, dan melakukan analisis apa yang akan dilakukan, jika sesuatu dipilih oleh
manajemen.

Selain itu beberapa hal yang harus diperhatikan adalah:


a. Linearitas dan Rentang yang relevan
Model CVP mengasumsikan bahwa pendapatan dan total biaya adalah linear pada rentang
aktivitas yang relevan. Meskipun perilaku biaya sebenarnya tidak relevan dengan rentang output yang
terbatas, total biaya yang diharapkan meningkat mendekati tingkat yang linear.

b. Mengidentifikasi biaya tetap dan biaya variabel untuk analisis CVP


Pada analisis jangka pendek, biaya tetap yang relevan adalah biaya tetap yang diperkirakan
berubah sehubungan dengan peluncuran produk baru untuk mengukur biaya variabel perunit, akuntan
manajemen harus teliti memasukkan semua biaya variable yang relevan, tidak hanya biaya produksi
tapi juga biaya penjualan dan biaya distribusi.

C. Dasar Analisis Biaya-Volume Dan Laba


Biaya-volume-laba atau analisis titik impas (cost-volume-profit or breakeven analysis)
membahas hubungan antara penerimaan total, biaya total, dan laba total perusahaan pada berbagai
tingkat output. Biaya-volume-laba atau analisis titik impas sering digunakan para eksekutif bisnis untuk
menentukan volume penjualan yang diperlukan bagi perusahaan untuk mencapai titik impas, laba total
dan kerugian pada tingkat penjualan lainnya.
Pengetahuan dasar yang sangat menentukan dalam analisis biaya volume dan laba adalah
pemahaman tentang penyusunan laporan laba rugi dengan menggunakan pendekatan variable costing.
Pendekatan ini menghasilkan suatu model laporan laba rugi dimana biaya diklasifikasikan menurut
perilakunya. Agar lebih informatif maka sebaiknya laporan laba rugi diuraikan dalam bentuk laporan
penjualan secara total, penjualan per unit, dan analisis vertikal yang menunjukan persentase biaya
variabel dan marjin kontribusi dan nilai penjualan.
Misalnya pada bulan Juni 2013 PT Jakasain menjual 150 unit produknya dengan harga Rp. 3.500
per unit. Biaya variabel per unit Rp. 2.625. biaya tetap Rp. 75.000. Berdasarkan data ini maka terlebih
dahulu dapat dibuat laporan laba rugi berdasarkan pendekatan kontribusi, seperti pada ikhtisar berikut
ini.
PT JAKSAIN
Laporan Laba Rugi Kontribusi
Bulan Juni 2013
Total Per unit %
Penjualan (150 unit) Rp525.000 Rp3.500 100
Biaya biaya variabel Rp393.750 Rp2.625 75
Marjin kontribusi Rp131.250 Rp875 25
Biaya-biaya tetap Rp75.000
Laba usaha Rp56.250

Dengan menggunakan formula:


Marjin kontribusi Rp 875 dibagi dengan penjualan Rp 3.500 dari laporan laba rugi diatas dapat
dihitung rasio marjin kontribusi per unit sebesar 25 % (Rp 875/Rp 3.500) % atau sama dengan total
rasio marjin kontribusi (Rp 131.250/Rp 525.000) %Marjin kontribusi memegang peranan penting pada
banyak keputusan dalam sebuah perusahaan, seperti produk apa yang akan diproduksi atau dijual,
kebijakan harga mana yang akan diikuti, strategi pemasaran apa yang akan digunakan, dan jenis fasilitas
produktif apa yang akan dibeli. Hubungan konsep biaya-volume dan laba dalam perencanaan laba dapat
digunakan untuk menghitung titik impas, target laba, marjin keamanan, komposisi biaya untuk
memaksimumkan marjin kontribusi, dan atau titik penutupan usaha.

D. Analisis Titik Impas (Break-Even Point Analysis)


Titik impas merupakan tingkat aktivitas dimana suatu organisasi tidak mendapatkan laba dan
juga tidak mendapatkan rugi. Titik impas juga dapat didefinisikan sebagai titik dimana total pendapatan
sama dengan total biaya atau sebagai titik dimana total marjin kontribusi sama dengan total biaya tetap.
Tujuan analisis titik impas adalah untuk mencari tingkat aktivitas dimana pendapatan dan hasil
penjualan sama dengan jumlah semua biaya variabel dan biaya tetapnya. Perusahaan tidak mendulang
untung ketika hanya mencapai titik impas. Oleh karena itu hanya penjualan,biaya variabel, dan biaya
tetap saja yang dipakai untuk menghitung titik impas. Titik impas normalnya bukan merupakan sasaran
kinerja yang diharapkan, namun titik impas ini dapat mengindikasikan tingkat penjualan yang
disyariatkan agar perusahaan terhindar dari kerugian. Dengan demikian, titik impas menunjukan suatu
sasaran volume penjualan minimal yang harus diraih oleh perusahaan. Mengetahui titik impas terutama
penting ketika sebuah perusahaan memperkenalkan sebuah produk baru atau memasuki pasar baru.
Dalam kedua kondisi tersebut, Perusahaan harus mengawasi secara hati-hati potensi penjualan dan
membandingkanya dengan titik impas.
Titik impas ini selanjutnya dapat dihitung dengan menggunakan metode persamaan, metode
marjin kontribusi, dan metode grafik, baik dalam hitungan unit penjualan maupun penjualan dalam
satuan mata uang tertentu yang digunakan dalam transaksi bisnis.

1. Metode Persamaan
Titik impas dengan metode ini dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
Dari kasus diatas misalkan:
x = jumlah speaker terjual
3.500 = harga jual per unit
2.625 = biaya variabel per unit
75.000 = total biaya tetap
Karena laba pada titik impas sama dengan nol maka faktor laba dalam persamaan tersebut dapat
diabaikan. Dengan demikian titik impas dalam unit dapat dihitung sebagai berikut:

3.500x = 2625x + 75.000 + 0


3.500x – 2.625x = 75.000 + 0
875x = 75.000 + 0
x = 75.000/875
x = 85,71 unit

Dengan cara sederhana titik impas dalam rupiah selanjutnya dapat dihitung dengan mengalikan 85,71
unit (impas dalam unit) dengan Rp. 3.500 (harga jual per unit produk) = Rp. 300.000. Namun apabila
data tidak tersedia untuk menggunakan cara tersebut maka dengan menggunakan data dari kasus di atas
titik impas dalam rupiah dapat dihitung dengan prosedur sebagai berikut:

x = 0,25x + Rp. 75.000 + Rp. 0


0,25x = Rp. 75.000
x = Rp. 75.000/0,25
x = Rp. 300.000

2. Metode Marjin Kontribusi


Metode ini merupakan penyingkatan dari formula metode persamaan dalam menghitung titik
impas. Langkah awal dalam melihat hubungan antara biaya volume dan laba suatu perusahaan adalah
dengan mengerti dan melihat besarnya marjin kontribusi yang diperoleh suatu perusahaan pada berbagai
tingkat kegiatan. Pada setiap kegiatan perusahaan akan memiliki kemampuan menghasilkan marjin
kontribusi yang berbeda-beda. Besarnya marjin kontribusi per unit yang dapat diperoleh suatu
perusahaan akan menentukan kecepatan perusahaan tersebut menutup biaya tetapnya dan
kemampuannya menghasilkan laba. Margin kontribusi digunakan dulu untuk menutup beban tetap dan
sisanya akan menjadi laba. Jika margin kontribusi tidak cukup untuk menutup beban tetap perusahaan,
maka akan terjadi kerugian untuk periode tersebut. Ketika titik impas dicapai, laba bersih akan
bertambah sesuai dengan margin kontribusi per unit untuk setiap tambahan produk yang terjual. Untuk
memperkirakan pengaruh kenaikan penjaulan yang direncanakan terhadap biaya, manajer cukup
mengalikan peningkatan dalam unit yang terjual dengan margin kontribusi yang per unit. Hasilnya akan
menggambarkan peningkatan laba yang diharapkan. Hal itu terlihat pada formula dibawah ini yang
angkanya sama dengan baris kedua dari terakhir pada penyelesaikan dengan metode persamaan diatas.

Sehingga impas dalam unit = 75.000/875


= 85,71 unit, dan
Impas dalam Rp = 75.000/25%
= Rp. 300.000
Dalam perhitungan formula diatas perlu diperhatikan bahwa rasio marjin kontribusi per unit
produk akan selalu sama dengan rasio marjin kontribusi dari total unit penjualan. Kesamaan tersebut
disebabkan perhitungan marjin kontribusi dan rasionya hanya mempertimbangkan biaya-biaya variabel.
Dengan demikian perubahan unit penjualan akan diikuti oleh kenaikan total pejualan, biaya variabel,
dan marjin kontribusi secara proposional. Karena kenaikan penjualan tidak akan diikuti oleh kenaikan
atau perubahan rasio marjin kontribusi.
Sebagai contoh dapat dilihat bahwa pada volume penjualan 1 unit @Rp 3.500 dan biaya variabel per
unit Rp 2.625, marjin kontribusinya = Rp 875 per unit. Dari marjin kontribusi tersebut rasionya menjadi
(875/3.500)% = 25%. Tingkat rasio marjin kontribusi yang sama akan diperoleh pada saat volume
penjualan berubah menjadi 150 unit dimana total penjualan menjadi Rp 525.000. kenaikan nilai
penjualan ini akan diikuti kenaikan biaya variabel dalam presentasi yang sama menjadi Rp 393.750
sehingga marjin kontribusi untuk 150 unit penjualan akan menjadi (131.250/525.000)% atau sama juga
dengan 25% seperti marjin kontribusi untuk penjualan 1 unit.
Demikian perubahan ini akan valid perhitungannya pada berbagai level perubahan unit
penjualan sepanjang pada kedua alternatif jumlah unit penjualan tidak diikuti oleh peruahan struktur
biaya dan harga jual dalam satuan uang yang digunakan.
3. Metode grafik
Selain menggunakan dua pendekatan diatas analisis impas juga dapat dibuat dengan
menggunakan grafik. Grafik tersebut dapat dibuat dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Buat garis horizontal (x) untuk menunjukan jumlah unit produk dan sebuah garis vertikal (y) untuk
menunjukan nilai penjualan dan biaya.
b. Tarik sebuah garis lurus ke kanan atas dengan kemiringan 45 yang ditarik dari titik 0 perpotongan garis
x dan garis y sebagai garis penjualan.
c. Buat garis horizontal untuk menujukan jumlah biaya tetap pada berbagai level unit penjualan.
d. Buat garis untuk menunjukan jumlah biaya pada berbagai level unit penjualan yang ditarik dari
perpotongan garis y dengan garis biaya tetap. Daerah yang berada di antara garis ini dengan garis biaya
tetapdi bawahnya menunjukan kisaran biaya variabel.
e. Buat titik impas pada perpotongan garis penjualan dan garis total biaya. Tarik garis ke kiri untuk
menunjukan jumlah penjualan dalam satuan uang dan tarik garis vertikal ke bawah untuk menunjukan
titik impas dalam unit penjualan.
f. Arsir tiga disebelah kanan grafik sebagai daerah laba dan sebaliknya arsir daerah segitiga di sebelah
kiri bawah titik impas sebagai daerah rugi. Daerah arsiran ini menunjukan bahwa penjualan yang lebih
kecil dari titik impas akan menimbulkan rugi dan sebaliknya penjualan yang lebih besar akan
memberikan laba.

E. Pemanfaatan Analisis Cost-Volume Profit untuk Perencanaan


1. Analisis Target Laba
Analisis target laba dalam aplikasi hubungan biaya volume dan laba pada dasarnya sama dengan
analisis titik impas. Perbedaannya hanya terletak pada jumlah laba yang diperhitungkan dalam
formulanya. Dalam perhitungan titik impas target laba sama dengan nol, sementara dalam analisis target
laba seperti yang dimaksudkan di atas jumlah laba yang diperhitungkan dalam formulanya disesuaikan
dengan jumlah laba yang diinginkan, biasanya lebih besar dari pada nol.
Misalkan dari komposisi biaya dan penjualan dari laporan laba rugi di atas, perusahaan
menginginkan laba Rp. 100.000 maka dengan menggunakan formula metode persamaan selanjutnya
target penjualan untuk mendapatkan laba dimaksud dapat dihitung sebagai berikut:
Misalkan:
x = jumlah unit terjual
3.500 = harga jual per unit
2.625 = biaya variabel per unit
75.000 = total biaya tetap
100.000 = laba bersih yang diinginkan
Metode persamaan: penjualan + biaya tetap + laba
Sehingga penjualan dalam unit menjadi:
3.500x = 2.625x + 75.000 + 100.000
3.500x – 2.625x = 75.000 + 100.000
875x = 175.000
X = 175.000/875
Unit penjualan (x) = 200 unit
Atau penjualan dalam rupiah:
x = 0,75x + Rp. 75.000 + Rp. 100.000
0,25x = Rp. 75.000 + Rp. 100.000
x = Rp. 175.000/0,25
x = Rp. 187.500
200 unit x Rp. 3.500 = Rp. 700.000

Metode marjin kontribusi:


Penujualan dalam unit = (biaya tetap + target laba)/CM per unit
= (75.000 + 100.000)/875
= 175.000/875
= 200 unit
Penjualan dalam Rp = (biaya tetap + target laba)/rasio marjin kontribusi
= (75.000 + 100.000)/25%
= 175.000/25%
= Rp 700.000
Impas dalam satuan waktu. Bagi sebuah perusahaan yang baru beroperasi titik impas ini tidak
selalu dapat dicapai dalam waktu yang singkat, misalnya setahun. Industri-industri berat biasanya
mencapai titik impas setelah beberapa tahun beroperasi. Proyeksi pencapaian titik impas dalam satuan
waktu ini dapat dihitung dengan formula-formula di atas. Hasil perhitungannya dapat dihubungkan
dengan biaya, volume dan laba tahunan. Misalnya sebuah perusahaan diperkirakan akan mencapai titik
impas setelah menjual 300 unit produksi traktor mini. Bila dalam setahun diproduksi rata-rata 100 unit
traktor maka titik impas akan dicapai setelah genap beroperasi selama tiga tahun atau 300 traktor impas
dalam unit/100 traktor produksi pertahun x 1 tahun = 3 tahun.

2. Analisis Multi Produk


Analisis multi produk memerlukan adanya asumsi terkait dengan bauran
penjualan(sales mix), yaitu kombinasi berbagai produk yang dihasilkan/dijual
perusahaan. Dengan menentukan suatu bauran penjualan tertentu, analisis multi
produk dapat diubah ke dalam analisis produk tunggal. Namun untuk analisis CVP
kita harus menggunakan bauran penjualan dalam unit. Perusahaan dapat
menyelesaikan masalah multiproduk dengan mengkonversinya menjadi produk
tunggal, yaitu menetapkan produk-produk tersebut sebagai suatu paket, misal suatu
paket terdiri dari 3 produk A dan 2 produk B.
Berdasar titik impas sebesar 82 paket ini, maka titik impas akan terjadi pada penjualan
produk A sebanyak 246 paket (3 x 82) dan produk B sebanyak 164 paket (2 x 82).

3. Analisis Sensivitas
Salah satu aspek penting dalam analisis cost-volume-profit ini bahwa adanya perubahan dalam
satu faktor atau lebih yang mempengaruhi analisis, dapat diadakan penilain atau evaluasi. Aspek ini
sangat penting bagi manajemen dalam proses penyusunan atau perencanaan anggaran, karena hal ini
memungkinkan diadakan testing untuk menentukan akibat adanya perubahan faktor atau
mempertimbangkan berbagai alternatif. Metode yang digunakan adalah laporan laba rugi komparatif.
Analisis sensitivitas merupakan analisis yang dilakukan untuk mengetahui akibat dari perubahan
parameter-parameter produksi terhadap perubahan kinerja sistem produksi dalam menghasilkan
keuntungan. Dengan melakukan analisis sensitivitas maka akibat yang mungkin terjadi dari perubahan-
perubahan tersebut dapat diketahui dan diantisipasi sebelumnya.

Contoh: Perubahan biaya produksi dapat mempengaruhi tingkat kelayakan

Alasan dilakukannya analisis sensitivitas adalah untuk mengantisipasi adanya perubahan-


perubahan berikut:
1. Adanya cost overrun, yaitu kenaikan biaya-biaya, seperti biaya konstruksi, biaya bahan-baku,
produksi, dsb.
2. Penurunan produktivitas .
3. Mundurnya jadwal pelaksanaan proyek. Setelah melakukan analisis dapat diketahui seberapa jauh
dampak perubahan tersebut terhadap kelayakan proyek: pada tingkat mana proyek masih layak
dilaksanakan.

F. Marjin Keamanan (margin of safety)


Marjin keamanan (margin of safety) merupakan kelebihan penjualan yang dianggarkan atau
realisasi di atas volume penjualan pada titik impas. Hasil perhitungannya menunjukan jumlah sampai
seberapa besar penjualan dapat turun sehingga sampai pada titik impas. Perhitungannya dapat
dinyatakan dalam unit, satuan uang dan presentase. Perhitungan ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi
manajemen agar lebih berhati-hati dalam memelihara tingkat penjualan yang sudah di capai, agar
perusahaan tidak mengalami penurunan penjualan sampai pada suatu tingkat yang merugikan.
Pada kasus diatas, misalnya PT SMR menjual 150 unit @Rp. 3.500 dengan titik impasnya
85,71 unit. Dengan menggunakan formula:
Dimana:
Total Penjualan : jumlah penjualan yang telah didapat oleh perusahaan dalam periode tertentu
Penjualan impas : jumlah penjualan yang harus tercapai dimana dalam kondisi ini perusahaan tidak
mengalami untung maupun rugi.
Contoh:
Sebuah perusahaan X berproduksi dengan biaya tetap Rp.75.000, biaya variabel per unit Rp 2.652 harga
jual per unit Rp 3.500 kapasitas produksi maksimal 150 unit dan kenaikan laba yang direncanakan
sebesar 20% maka margin pengamanan penjualannya sebesar:
MOS = (3.500 x 150) – ( Rp 300.000)
= Rp 525.000 – Rp 300.000
= Rp 225.000
Dengan mengetahui titik marjin keamanan tersebut maka manajemen dapat merumuskan
berbagai strategi, taktik, dan langkah-langkah operasional untuk bertahan agar penjualan tidak
mengalami abrasi sampai melebihi angka marjin keamanan. Dalam rangka penerapan fungsi-fungsi
manajemen pendekatan analisis hubungan biaya, volume dan laba termasuk perhitungan seperti ini akan
memberikan isyarat kepada manajemen mengenai apa yang sedang terjadi dalam pencapaian tujuan
atau perolehan laba perusahaan.

G. Pemilihan Struktur Biaya Leverage operasi


Agar dapat memepertahankan stabilitas labanya, perusahaan memerlukan analisis struktur biaya.
Untuk itu diantaranya perlu dipertimbangkan faktor-faktor operating leverage, struktur komisi
penjualan, dan bauran penjualan. Leverage operasi adalah suatu ukuran suatu ukuran kemampuan
manajemen memanfaatkan biaya tetap dalam suatu organisasi agar mencapai tingkat laba tertentu.
Faktor leverage operasi mempengaruhi sensitivitas laba bersih terhadap perubahan penjualan. Semakin
tinggi biaya tetap, maka semakin tinggi operating leverage yang dicapai dan semakin besar pula
sensivitas laba bersih terhadap perubahan penjualan. Jika sebuah perusahaan mempunyai operating of
leverage tinggi, maka sedikit saja peningkatan dalam penjualan dapat menghasilkan peningkatan
persentase yang besar dalam laba. Sebaliknya jika perusahaan mempunyai operating leverage rendah,
maka pengaruh peningkatan dalam penjualan terhadap peningkatan laba bersih adalah rendah.
Dengan pendekatan tingkat leverage operasi tersebut selanjutnya manajemen dapat membuat
proyeksi peningkatan laba dengan menggunakan formula:
% kenaikan laba bersih = tingkat leverage operasi x % kenaikan penjualan
Memaksimalkan marjin kontribusi. Misalnya sebuah perusahaan mendapat penawaran berupa
dua pekerjaan yang sama-sama menarik. Salah satunya mendapat pembayaran Rp 20.000 per jam dan
yang lainnya Rp 30.000 per jam. Bila tidak mendapatkan kendala kapasitas dan ingin memaksimumkan
laba per jam, tentu saja secara alamiah akan memilih pekerjaan dengan pembayaran Rp30.000 per jam.
Tetapi bila terdapat kendala sumber daya seperti bahan baku, tenaga kerja, atau jam mesin, maka
manajemen harus menggunakan sumber daya tersebut dengan cara yang optimum untuk
memaksimalkan laba
BAB 13MANAJEMEN SEDIAAN
Biaya Sediaan
Manajemen sediaan merupakan hal yang mendasar dalam membangun
keunggulan kompetitif perusahaan dalam jangka panjang. Kualitas, rekayasa produk,
harga, kelebihan kapasitas, kemampuan merespon pelanggan, dan laba total semuanya
dipengaruhi oleh tingkat sediaan.
Ada dua jenis biaya yang terkait dengan sediaan. Jika sediaan merupakan barang
yang dibeli dari pihak luar, maka timbul biaya pemesanan dan biaya angkut. Namun
jika barang tersebut diproduksi sendiri, maka timbul biaya set up dan biaya angkut.
Pada dasarnya biaya pemesanan dan biaya setup adalah sama, yaitu biaya untuk
memperoleh sediaan; perbedaaannya hanya pada aktivitas yang dilakukan, yaitu
melakukan pemesanan vs menyiapkan peralatan dan fasilitas produksi.
1. Biaya pemesanan (ordering costs): biaya yang timbul dari pemesanan dan
penerimaan pesanan.
2. Biaya setup (setup costs): biaya menyiapkan peralatan dan fasilitas agar dapat
digunakan untuk memproduksi produk atau komponen tertentu.
3. Biaya penyimpanan (carrying costs): biaya untuk menyimpan sediaan.
Namun jika persediaan tidak diketahui dengan pasti, akan timbul stockout cost,
yaitu biaya akibat tidak adanya sediaan pada saat muncul permintaan dari pelanggan,
misal penjualan yang hilang, biaya ekspedisi, dan biaya akibat gangguan produksi.
Manajemen Sediaan Tradisional
Pendekatan tradisional menggunakan sediaan untuk mengelola trade off antara
biaya pemesanan/biaya setup dengan biaya penyimpanan. Meminimumkan biaya
penyimpanan mendorong minimnya atau tidak adanya sediaan, dan meminimumkan
biaya pemesanan atau setup mendorong besarnya sediaan. Ada beberapa alasan yang
membuat perusahaan mempertahankan tingkat sediaan tertentu, antara lain:
1. Untuk memperoleh keseimbangan antara biaya pemesanan/biaya setup dengan
biaya penyimpanan.
2. Mengatasi ketidakpastian permintaan dan memuaskan permintaan pelanggan.
3. Menghindari penutupan fasilitas manufaktur, karena: (a) kegagalan mesin, (b)
komponen yang rusak, (c) ketidaktersediaan komponen, (d) keterlambatan
pengiriman komponen.
4. Mengantisipasi ketidakandalan proses produksi
5. Memanfaatkan diskon
6. Berjaga-jaga terhadap kenaikan harga di masa yang akan datang
Kuantitas Pesanan Ekonomis dan Titik Pemesanan Kembali
Dalam mengembangkan kebijakan tentang sediaan, ada dua pertanyaan yang
harus dijawab:
1. Berapa banyak barang yang harus dipesan/diproduksi?
2. Kapan pesanan dilakukan/setup dimulai?
Pertanyaan pertama berhubungan dengan tujuan perusahaan untuk
menentukan kuantitas pesanan yang meminimkan biaya total. Kuantitas pesanan ini
disebut dengan EOQ (economic order quantity). Model EOQ merupakan sistem yang
mendorong munculnya sediaan. Perusahaan berusaha memperoleh sediaan untuk
mengantisipasi adanya permintaan di masa yang akan datang, bukan sekedar respon
terhadap permintaan saat ini. Hal yang mendasar untuk dilakukan adalah penilaian
terhadap permintaan di masa yang akan datang.
Biaya total = biaya pemesanan + biaya penyimpanan
= PD/Q + CQ/2
Q = EOQ = V2PD/C
Dimana: TC = total biaya pemesanan/setup dan biaya penyimpanan
P = biaya pemesanan/setup
D = permintaan tahunan yang diketahui
Q = jumlah unit yang dipesan dalam setiap pemesanan
C = biaya penyimpanan sediaan selama satu tahun
Pertanyaan kedua berhubungan dengan titik pemesanan (ROP = reorder
point), yaitu titik waktu dimana pesanan baru harus dilakukan/setup dimulai. Titik
pemesanan ini merupakan suatu fungsi dari EOQ, waktu tunggu (lead time), dan
tingkat dimana sediaan pada saat sediaan habis. Waktu tunggu adalah waktu yang
diperlukan untuk menerima EOQ setelah dilakukan pemesanan/dimulainya setup.
Untuk menghindari timbulnya biaya stockout dan meminimalkan biaya penyimpanan,
pemesanan harus dilakukan sehingga barang bisa sampai segera setelah sediaan yang
terakhir digunakan.
ROP = tingkat penggunaan x waktu tunggu
Untuk mengatasi ketidakpastian permintaan, perusahaan biasanya memilih
untuk mempersiapkan persediaan pengaman (safety stock), yaitu tambahan sediaan
yang digunakan untuk mengantisipasi fluktuasi permintaan. Safety stock dihitung
dengan mengalikan waktu tunggu dengan selisih antara tingkat penggunaan
maksimum dan tingkat penggunaan rata-rata. Dengan adanya safety stock ini, maka
perhitungan ROP menjadi:
ROP = (tingkat penggunaan rata-rata x waktu tunggu) + safety stock
Manajemen Sediaan JIT (Just In Time)
JIT merupakan suatu sistem yang mendorong produksi barang berdasarkan
permintaan pada saat ini, bukan melalui mekanisme terjadwal yang didasarkan pada
antisipasi atas suatu permintaan. Konsep pembelian JIT menuntut pemasok untuk
mengirimkan bahan baku dan komponen produksi lainnya pada saat proses produksi
akan dilaksanakan. Pasokan bahan harus dihubungkan dengan produksi dan proses
produksi dihubungkan dengan permintaan.
Tujuan strategik JIT adalah meningkatkan laba dan posisi kompetitif
perusahaan. Tujuan ini dapat tercapai dengan mengendalikan biaya, meningkatkan
kinerja pengiriman, dan meningkatkan kualitas. Berikut ini adalah beberapa hal dasar
terkait dengan penerapan JIT di suatu perusahaan:
■ Tata letak (layout) pabrik menganut sistem sel manufaktur, yaitu pengaturan
mesin-mesin produksi (biasanya dalam bentuk setengah lingkaran) untuk
melakukan berbagai aktivitas produksi secara berurutan. Setiap satu sel
manufaktur biasanya menghasilkan suatu produk atau lini produk tertentu.
■ Karyawan yang bekerja dalam sel manufaktur dituntut mampu melakukan
berbagai macam pekerjaan. Personil dari departemen pendukung, misalnya
insinyur pabrik dan supervisor kualitas, juga ditugaskan ke dalam sel. Mekanisme
produksi berdasarkan permintaan menimbulkan adanya waktu "senggang" yang
harus dimanfaatkan untuk melakukan aktivitas pendukung, misalnya pemeliharaan
mesin. Karyawan juga memiliki tingkat partisipasi yang lebih tinggi di perusahaan
untuk meningkatkan produktivitas.
■ JIT tidak dapat diterapkan tanpa adanya komitmen terhadap total quality control
(TQO) yang senantiasa menuntut kesempurnaan kualitas serta usaha untuk
menghasilkan desain dan proses produksi yang bebas produk cacat/rusak.
■ Dengan adanya sel manufaktur, karyawan yang multiskilled, dan desentralisasi
aktivitas pendukung, maka banyak biaya overhead yang sebelumnya dibebankan
melalui metode penelusuran penggerak maupun alokasi dapat ditelusuri melalui
penelusuran langsung.
■ JIT mengurangi sediaan sampai pada tingkat yang paling rendah. Tingginya
sediaan justru dianggap sebagai indikator rendahnya kualitas, lamanya waktu
tunggu, dan rendahnya kemampuan perusahaan merespon kebutuhan pelanggan.
JIT mengurangi biaya untuk memperoleh sediaan dengan: (1) mengurangi waktu
setup dan (2) menggunakan kontrak jangka panjang untuk pembelian dari luar.
Tingkat sediaan yang rendah juga akan mengurangi biaya angkut yang harus
dikeluarkan.
■ Perusahaan yang menerapkan JIT dituntut untuk mengadakan kontrak jangka
panjang dengan pemasoknya. Pemilihan pemasok tidak hanya berdasarkan faktor
harga, namun juga faktor kinerja dan komitmen terhadap JIT. Biaya pemesanan
dapat dikurangi melalui mekanisme continuous replenishment, dimana pemasok
mengembangkan suatu fungsi manajemen sediaan bagi perusahaan. Proses ini
didukung dengan electronic data interchange (EDI), yaitu suatu bentuk e-
commerce yang memindahkan informasi dari satu komputer ke komputer lainnya.
Hubungan perusahaan-pemasok dapat diperkuat lagi dengan keberadaan
perwakilan pemasok di pabrik perusahaan. Perwakilan pemasok tersebut memiliki
otoritas untuk melakukan pemesanan atas nama perusahaan sekaligus
menyelesaikan masalah revisi atau pembatalan pesanan.
Keterbatasan JIT
♦ Perlu waktu yang cukup lama untuk bisa menjalain hubungan yang baik
dengan pemasok.
♦ Pengurangan yang drastis terhadap tingkat sediaan dapat menyebabkan
tersendatnya arus kerja dan menimbulkan tingkat stress yang tinggi di antara
karyawan.
♦ Tidak adanya sediaan yang dapat digunakan untuk mengantisipasi masalah-
masalah yang mungkin timbul selama proses produksi.
♦ Adanya risiko yang ditempatkan pada penjualan saat ini untuk memperoleh
jaminan penjualan di masa yang akan datang.
JIT

Tradisional
1. Pull through system
2. Tingkat sediaan rendah
3. Memiliki sedikit pemasok
4. Adanya kontrak jangka panjang
dengan pemasok
5. Menggunakan sistem sel manufaktur
6. Karyawan yang multiskilled
7. Jasa pendukung yang terdesentralisasi
8. Partisipasi karyawan tinggi
9. Gaya manajemen yang bersifat
fasilitator
10. Mekanisme total quality control
(TQC)
11. Penelusuran langsung mendominasi
dalam pembebanan biaya produk

1. Push through system


2. Tingkat sediaan tinggi
3. Memiliki banyak pemasok
4. Kontrak dengan pemasok bersifat
jangka pendek
5. Menggunakan struktur departemental
6. Karyawan yang terspesialisasi
7. Jasa pendukung yang tersentralisasi
8. Partisipasi karyawan rendah
9. Gaya manajemen yang bersifat
supervisor
10. Mekanisme acceptable quality level
(AQL)
11. Penelusuran penggerak mendominasi
dalam pembebanan biaya produk
Gambar .1.Perbandingan antara JIT dan Sistem Tradisional

Teori Kendala (Theory of Constraints)


Salah satu kritik terhadap ABC adalah kegagalannya untuk mengidentifikasi
dan menghapus kendala. Kendala adalah segala sesuatu yang membatasi kinerja
(merupakan mata rantai terlemah dalam suatu sistem). Kendala dapat bersifat internal
(ex: kebijakan atau sumber daya perusahaan) maupun eksternal (ex: hukum alam,
karakteristik pasar, dan peraturan pemerintah). Teori kendala yang dikemukakan oleh
Eliyahu Goldratt berfokus pada usaha-usaha perbaikan berkesinambungan yang
secara sistematis menyingkirkan kendala. Pendekatan untuk terus mengusahakan
perbaikan operasi secara menyeluruh merupakan suatu rangkaian tugas. Lima langkah
yang merupakan rangkaian tugas untuk meningkatkan kinerja, terdiri dari:
1. Mengidentifikasikan kendala sistem yang dihadapi perusahaan.
2. Menetapkan bagaimana mengekploitasi kendala sistem.
3. Menempatkan keputusan yang dibuat pada langkah kedua sebagai prioritas,
sedangkan hal-hal lain hendaknya mengikutinya (mengembalikan segala
sesuatu yang lain pada keputusan sebelumnya).
4. Mengevaluasi kendala sistem dengan meningkatkan tingkat kapasitas kendala
perusahaan.
5. Mengulangi proses: jika dalam langkah sebelumnya kendala telah
disingkirkan, kita kembali ke langkah 1

Anda mungkin juga menyukai