B16396 PDF
B16396 PDF
ISBN:
979-3198-45-3
“Mengutip sebagian isi buku ini diperbolehkan, dengan menyebutkan sumber dan
penerbitnya”
2009
Foto cover:
Maria Arweström (atas) dan Andy Dedecker & Ans Mouton (bawah)
KATA PENGANTAR 1
UCAPAN TERIMAKASIH 5
PUSTAKA 93
ii
KATA PENGANTAR
Indonesia memiliki jutaan hektar lahan kritis dan daerah aliran sungai (DAS)
yang terdegradasi, sehinga perlu dilakukan upaya perbaikan. Salah satu cara
untuk memperbaiki DAS terdegradasi adalah melalui kampanye penanaman
pohon. Selain itu, diperlukan pula upaya untuk memperbaiki kebijakan yang
berkaitan dengan tata guna dan pengelolaan lahan kritis dan DAS.
Berbagai surat kabar dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pemerhati
lingkungan selalu menyoroti masalah perusakan hutan dan penebangan liar
setiap kali terjadi bencana banjir dan tanah longsor. Hilangnya hutan
dianggap sebagai satu-satunya penyebab hilangnya fungsi hidrologi DAS dan
masyarakat yang tinggal di pegunungan seringkali dianggap sebagai
penyebab rusaknya lingkungan. Padahal, jika kita amati lebih seksama,
banyak daerah di Indonesia dan Asia Tenggara yang memiliki keindahan alam
luar biasa namun tetap memiliki fungsi DAS yang baik meskipun tidak lagi
mempunyai hutan alam yang luas. Terpeliharanya kondisi DAS terjadi
karena aliran sungai dikelola dengan baik, apalagi didukung oleh insititusi
sosial yang menjaga keseimbangan antara kepentingan umum maupun
individu. Masyarakat telah menyadari bahwa dengan menanam pohon-
pohon bernilai ekonomi di sela-sela sistem pertanian berarti mereka telah
mempertahankan DAS karena pepohonan mampu menjaga kestabilan lereng
perbukitan dan menahan hilangnya tanah akibat erosi dan aliran air.
Berhasil tidaknya masyarakat dalam mengelola lanskap suatu DAS
dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut yang saling berinteraksi:
jumlah penduduk (beserta ternak) dan bagaimana mereka saling
berinteraksi, termasuk interaksinya dengan pemerintah daerah.
Sebagai contoh, apakah mereka mempunyai aturan adat dan apakah
aturan adat tersebut masih mereka terapkan dalam kehidupan sehari-
hari
sistem penggunaan lahan atau jenis tutupan lahan dapat berbentuk
hutan alam, hutan bekas tebangan, tanaman pangan, pohon bernilai
ekonomis, padang rumput dan pematang yang ditanami makanan
ternak, jalan dan jalan setapak serta perumahan
monitoring air di daerah aliran sungai
kondisi tanah, seperti tingkat kepadatan tanah, tingkat penutupan
tanah oleh lapisan seresah, organisme tanah dan perakaran
tumbuhan yang berperan dalam menjaga struktur tanah dari
pemadatan
topografi lahan dan geologi tanah yang berkaitan dengan kecuraman
lereng, bukti adanya pergerakan tanah, sejarah geologi, gempa bumi
dan gunung meletus, keseimbangan antara pembentukan tanah dan
erosi
iklim dan cuaca yang berkaitan dengan curah hujan dan pola musim,
siklus harian cahaya matahari dan intensitas hujan (hujan lebat,
gerimis), pola aliran sungai yang mengikuti pola bebatuan dan
perbukitan, ada tidaknya 'meandering' (pembetukan kelokan sungai)
yang menyebabkan sedimentasi tanah yang mungkin berasal dari
erosi dan tanah longsor, yang dianggap merusak di masa lalu, namun
akhirnya menjadi lahan yang subur.
3
monitoring air di daerah aliran sungai
‘Permanent’
Karakteristik site Penggunaan lahan
Upland land use
characteristics
‘Permanen ’ lokasi dataran tinggi
Watershed
Fungsi
poverty
poverty
kemiskinan
functions
DAS
Teknologi
sungai
Pengguna air di
Downstream
daerah hilir & para PIJL
Spatial
Perencanaan water users & PES
pemangku
spasial
planning stakeholders
kepentingan Peraturan
Regulation
Gambar 1. Hubungan imbal balik antara daerah hulu sebagai penyedia fungsi DAS dari segi kuantitas,
waktu dan kualitas aliran sungai dengan karakteristik lokasi/daerah baik yang bersifat permanen
(seperti geologi dan topografi) maupun tidak permanen seperti tipe tata guna lahan serta dampaknya
pada daerah hilir seperti pemakai air dan pemangku kepentingan lainnya (PIJL = Pembayaran/Imbal
Jasa Lingkungan)
4
UCAPAN TERIMA KASIH
Intersepsi
Hujan Evaporasi kanopi
Transpirasi
Curahan tajuk
Aliran batang
Aliran dasar
Akhir-akhir ini, persoalan seperti erosi, sedimentasi, longsor dan banjir pada
DAS intensitasnya semakin meningkat. Persoalan-persoalan tersebut
merupakan bentuk respon negatif dari komponen-komponen DAS terhadap
kondisi curah hujan. Kuat atau lemahnya respon sangat dipengaruhi oleh
monitoring air di daerah aliran sungai
karakteristik DAS baik secara fisik, maupun sosial ekonomi serta budaya
masyarakatnya.
Karakteristik fisik DAS merupakan variabel dasar yang menentukan proses
hidrologi pada DAS, sedangkan karakteristik sosial ekonomi dan budaya
masyarakat adalah variabel yang mempengaruhi percepatan perubahan
kondisi hidrologi DAS. Oleh karena itu, pemahaman mengenai karakteristik
fisik DAS, dalam hal ini 'terrain' dan geomorfologi, pola pengaliran dan
penyimpanan air sementara pada DAS, dapat membantu mengidentifikasi
daerah yang memiliki kerentanan tinggi terhadap terjadinya persoalan DAS,
serta perancangan teknik-teknik pengendalian yang sesuai dengan kondisi
setempat.
1.2.1. Tanah
Tanah merupakan bahan hasil pelapukan batuan. Karakteristik tanah dan
sebaran jenisnya dalam DAS sangat menentukan besarnya infiltrasi limpasan
permukaan ('overland flow') dan aliran bawah permukaan ('subsurface
flow'). Karakteristik tanah yang penting untuk diketahui antara lain berat isi,
tekstur, kedalaman, dan pelapisan tanah (horison).
a. Berat isi tanah (BI)
Berat isi tanah merupakan ukuran masa per volume tanah (gr/cm3), termasuk
di dalamnya volume pori-pori tanah. Berat isi tanah bersama dengan tekstur
dan bahan organik tanah menentukan besarnya infiltrasi. Semakin tinggi nilai
BI, tanah tersebut semakin padat yang berarti semakin sulit meneruskan air.
Berat isi tanah dapat dikategorikan sebagai berikut:
Rendah: < 0.9
Sedang: 0.9-1.1
Tinggi: > 1.1
b. Tekstur tanah
Tekstur merupakan perbandingan komposisi (%) butir-butir penyusun tanah
yang terdiri dari fraksi pasir (50µm - 2mm), debu (50µm - 2µm), dan liat (<
2µm). Semakin halus tekstur tanah, semakin tinggi kapasitas infiltrasinya.
Kelas tekstur tanah dikategorikan menjadi:
Sangat halus (sh): liat
Halus (h): liat berpasir, liat, liat berdebu
Agak halus (ah): lempung berliat, lempung liat berpasir, lempung liat
berdebu
Sedang (s): lempung berpasir sangat halus, lempung, lempung berdebu,
debu
Agak kasar (ak): lempung berpasir
Kasar (k): pasir, pasir berlempung
Persentase kandungan pasir, debu dan liat dari masing-masing kategori kelas
tekstur disajikan dalam segitiga tekstur (Gambar 1.2).
c. Kedalaman tanah
Kedalaman tanah atau solum (cm) merupakan ukuran ketebalan lapisan
tanah dari permukaan sampai atas lapisan bahan induk tanah. Pada profil
tanah solum tersebut mencakup horison A dan B. Ketebalan solum
mempengaruhi kapasitas penyimpanan air, yang secara umum dapat
dibedakan menjadi:
10
monitoring air di daerah aliran sungai
Sangat dangkal: <
Gambar 1.2. Segitiga tekstur
20cm
Dangkal: 20 - 50cm
Sedang: 50 - 75cm
Dalam: > 75 cm
d. Horison tanah
Horizonisasi tanah
merupakan bentukan
lapisan tanah secara
vertikal. Horison tanah
berbeda dengan lapisan
tanah. Horison tanah
dinyatakan dengan simbol
A, B dan C, sedangkan
lapisan tanah dinyatakan
dengan simbol I, II, III dst.
Bentukan tanah ini merupakan cerminan perkembangan tanah yang
dipengaruhi oleh kondisi iklim, topografi, bahan induk, vegetasi, organisme
dan waktu. Beberapa hal yang perlu diperhatikan saat melihat penampang
tanah adalah kedalaman horizon, baik pada horison atas maupun horison
bawah, keberadaan lapisan kedap air, dan permeabilitasnya. Pada jenis tanah
tertentu terdapat hambatan perkembangan yang ditandai dengan adanya
horison kedap air. Horison ini dapat menyebabkan proses infiltrasi
terhambat.
A1/ 2
Re = 1.129
Lb
dimana:
Re = Faktor bentuk; A = Luas DAS (km2); Lb = Panjang sungai utama (km)
12
monitoring air di daerah aliran sungai
c. Jaringan sungai
Jaringan sungai dapat mempengaruhi besarnya debit aliran sungai yang
dialirkan oleh anak-anak sungainya. Parameter ini dapat diukur secara
kuantitatif dari nisbah percabangan yaitu perbandingan antara jumlah alur
sungai orde tertentu dengan orde sungai satu tingkat di atasnya. Nilai ini
menunjukkan bahwa semakin tinggi nisbah percabangan berarti sungai
tersebut memiliki banyak anak-anak sungai dan fluktuasi debit yang terjadi
juga semakin besar.
Orde sungai adalah posisi percabangan alur sungai di dalam urutannya
terhadap induk sungai pada suatu DAS. Semakin banyak jumlah orde sungai,
semakin luas dan semakin panjang pula alur sungainya. Orde sungai dapat
ditetapkan dengan metode Horton, Strahler, Shreve, dan Scheidegger.
Namun pada umumnya metode Strahler lebih mudah untuk diterapkan
dibandingkan dengan metode yang lainnya. Berdasarkan metode Strahler,
alur sungai paling hulu yang tidak mempunyai cabang disebut dengan orde
pertama (orde 1), pertemuan antara orde pertama disebut orde kedua (orde
2), demikian seterusnya sampai pada sungai utama ditandai dengan nomor
orde yang paling besar (Gambar 1.3).
13
monitoring air di daerah aliran sungai
Jumlah alur sungai suatu orde dapat ditentukan dari angka indeks
percabangan sungai ('bifurcation ratio'), dengan persamaan berikut:
Nu
Rb =
Nu +1
Perhitungan Rb biasanya dilakukan dalam unit Sub DAS atau Sub-sub DAS.
Untuk memperoleh nilai Rb dari keseluruhan DAS, maka digunakan tingkat
percabangan Sungai Rerata Tertimbang ('Weighted Mean Bifurcation
Ratio'/WRb), yang dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:
Rbu / u +1 Nu + Nu +1
WRb =
Nu
dimana:
Rb= Indeks tingkat percabangan sungai; Nu= Jumlah alur sungai untuk orde
ke-u; Nu+1= jumlah alur sungai untuk orde ke-(u + 1)
L
Dd =
A
dimana:
2
Dd= indeks kerapatan aliran sungai (km/km ); L= jumlah panjang sungai
14 termasuk panjang anak-anak sungai (km); A= luas DAS (km2)
monitoring air di daerah aliran sungai
Radial: biasanya dijumpai di daerah lereng gunung api atau daerah
dengan topografi berbentuk kubah
Rektangular: terdapat di daerah batuan kapur
Trellis: biasanya dijumpai pada daerah dengan lapisan sedimen di
daerah pegunungan lipatan
Kombinasi denditrik dan trellis: dapat dijumpai pada rangkaian
pegunungan yang sejajar dan terdapat pada batuan struktural
terlipat dengan tekstur halus sampai sedang.
f. Gradien sungai
Gradien sungai merupakan perbandingan antara beda elevasi dengan
panjang sungai utama. Gradien menunjukkan tingkat kecuraman sungai,
semakin besar kecuraman, semakin tinggi kecepatan aliran airnya. Gradien
sungai dapat diperkirakan dengan persamaan:
h85 - h10
Su =
0,75 Lb
dimana:
Su= gradien sungai; h85= elevasi pada titik sejauh 85% dari outlet DAS;
h10= elevasi pada titik sejauh 10% dari outlet DAS; Lb= panjang sungai utama
1.2.5. Iklim
Komponen iklim yang paling berpengaruh terhadap proses hidrologi adalah
presipitasi (terutama curah hujan) dan evapotranspirasi.
a. Presipitasi
Presipitasi merupakan curahan air
dari atmosfer ke permukaan Tabel 1.2. Klasifikasi intensitas hujan
bumi. Sumber utama presipitasi di (dalam Kohnke dan Bertrand, 1959)
daerah tropis berasal dari curah
hujan. Unsur yang penting dalam Klasifikasi Intensitas hujan (mm /jam)
presipitasi adalah jumlah hujan Rendah (gerimis) < 6.25
yang dinyatakan dalam satuan Sedang 6.25-12.5
kedalaman curah hujan (mm) dan Lebat 12.5-50.0
intensitas curah dinyatakan dalam Sangat lebat >50.0
jumlah hujan per satuan waktu.
Sumber: Arsyad (2000)
Klasifikasi intensitas hujan dapat
dinyatakan seperti pada Tabel 1.2.
atau Tabel 1.3.
16
monitoring air di daerah aliran sungai
b. Evapotranspirasi
Evapotraspirasi merupakan gabungan
Tabel 1.3. Klasifikasi intensitas hujan dari peristiwa evaporasi dan
Klasifikasi Intensitas (mm/jam) transpirasi. Evaporasi (penguapan)
Sangat rendah 0-5 adalah peristiwa berubahnya air
Rendah 5-10 menjadi uap dan bergerak dari
Sedang 11-25
permukaan tanah serta permukaan air
ke udara. Sedangkan peristiwa
Agak tinggi 26-50
penguapan dari tanaman disebut
Tinggi 51-75 transpirasi. Dengan demikian,
Sangat tinggi >75 penguapan air dari permukaan tanah,
Sumber: Arsyad (2000) permukaan air dan tanaman secara
bersama-sama disebut evapotranspirasi.
Gambar 1.4. Singkapan pada lereng akibat longsor (Foto: ICRAF-Sumberjaya arsip)
20
monitoring air di daerah aliran sungai
Tabel 1.4. Tingkat bahaya erosi berdasarkan jumlah tanah yang hilang
Tingkat bahaya erosi Jumlah lapisan permukaan tanah yang hilang
Tidak ada erosi 0%
Ringan < 25% lapisan atas hilang
Sedang 25-75% lapisan atas hilang
Agak berat > 75% lapisan atas sampai < 25% lapisan bawah hilang
Berat > 25% lapisan bawah hilang
Sangat berat Erosi parit
Sumber: Arsyad (2000)
Gambar 1.7. Tanah tererosi ditandai oleh perubahan warna tanah dan kekerasan tanah serta
munculnya akar tanaman di atas permukaan tanah (Foto: ICRAF-Sumberjaya arsip)
Proses erosi
Faktor utama yang mempengaruhi terjadinya erosi adalah curah hujan, sifat-
sifat tanah, lereng, vegetasi dan pengelolaan tanah.
Curah hujan
Sifat curah hujan yang paling berpengaruh terhadap erosi adalah
intensitasnya. Meningkatnya intesitas curah hujan, mengakibatkan semakin 21
monitoring air di daerah aliran sungai
tingginya erosi. Intensitas curah hujan yang tinggi akan mempercepat proses
penghacuran dan pengangkutan agregat tanah. Hancurnya agregat tanah
tersebut dapat menyumbat pori-pori tanah yang menyebabkan air tidak
dapat meresap ke dalam tanah, sehingga berdampak pada meningkatnya
limpasan permukaan.
Proses penghancuran tanah ('soil detachment') oleh curah hujan ditentukan
oleh energi kinetik yang dimiliki curah hujan tersebut. Semakin deras
intensitas curah hujan, semakin tinggi pula daya penghancurannya.
Sifat tanah
Sifat-sifat tanah yang perlu diperhatikan adalah sifat tanah yang
mempengaruhi kepekaan terhadap erosi yaitu tekstur tanah, bentuk dan
kemantapan struktur tanah, kapasitas infiltrasi, permeabilitas tanah dan
kandungan bahan organik. Secara umum hubungan antara sifat tanah dengan
erosi adalah sebagai berikut:
Tanah bertekstur pasir tidak peka terhadap erosi karena memiliki
ukuran partikel yang besar sehingga daya angkut aliran (erodibilitas)
menjadi lebih kecil. Sedangkan tanah dengan ukuran partikel lebih
halus (lempung dan debu) sangat mudah terangkut oleh aliran
permukaan, apalagi jika kecepatan aliran permukaan tinggi. Dengan
demikian ukuran partikel tanah berpengaruh terhadap proses
pengangkutan sediment
Tanah berstruktur mantap dengan bentuk struktur membulat
(granuler, remah, gumpal membulat) lebih tahan terhadap erosi
karena mampu menyerap air lebih banyak dan mengurangi limpasan
permukaan
Tanah dengan kapasitas infiltrasi tinggi memiliki kepekaan terhadap
erosi yang lebih rendah daripada tanah dengan kapasitas infiltrasi
rendah
Tanah yang kaya bahan organik lebih tahan terhadap erosi karena
bahan organik tersebut mempengaruhi tingkat kemantapan agregat
Lereng
Besarnya erosi dipengaruhi oleh lereng. Semakin curam dan panjang suatu
lereng, maka erosi akan semakin tinggi. Hal ini terjadi karena kecepatan
aliran permukaan semakin meningkat, yang selanjutnya meningkatkan daya
angkutnya terhadap partikel tanah yang telah hancur.
22
monitoring air di daerah aliran sungai
Vegetasi
Vegetasi menghalangi curah hujan yang jatuh, sehingga air hujan tidak jatuh
langsung di permukaan tanah, akibatnya daya penghancur air hujan
berkurang. Vegetasi juga dapat berfungsi untuk menghambat aliran
permukaan dan memperbanyak air terinfiltrasi. Penggunaan lahan yang
paling efektif untuk mengurangi erosi adalah hutan namun rumput-rumputan
yang tumbuh rapat dapat berfungsi sama efektifnya.
Pengelolaan tanah
Manusia merupakan faktor penyebab utama terjadinya erosi. Kegiatan alih
guna lahan hutan menjadi lahan pertanian, dan kegiatan pembangunan
infrastruktur jalan seperti pada Gambar 1.8. atau pembangunan pemukiman
tanpa mengindahkan kaidah konservasi mempercepat terjadinya degradasi
lingkungan akibat erosi.
23
II. PENGUKURAN PARAMETER
HIDROLOGI
Debit (kecepatan aliran) dan sedimen merupakan komponen penting yang
berhubungan dengan permasalahan DAS seperti erosi, sedimentasi, banjir dan
longsor. Oleh harena itu, pengukuran debit dan sedimen harus dilakukan
dalam monitoring DAS.
Alat pengapung (bola tennis, bambu dengan pemberat)
Meteran
Benang atau tali
Palu dan paku
Tongkat bambu atau kayu
Penggaris
C D
26
monitoring air di daerah aliran sungai
Secara ilustrasi
pembagian 0 1 2 3 4 5 6 x
lebar sungai dan L1 L2 L3 L4 L5 L6 Ln
pengukuran D1 D2 D3 D4 D5 Dn
Gambar 2.2. Pembagian
kedalamannya lebar sungai dan
dapat dilihat pengukuran kedalaman
pada Gambar untuk menghitung luas
2.2. berikut ini: penampang melintang
sungai
Dasar sungai
700
600
500
Dalam (cm)
400
300
200
100
0
0
72
72
72
72
20
60
00
35
0
2
45
53
57
67
87
10
12
14
16
18
18
19
19
Pengukuran debit
Kecepatan aliran sungai pada satu penampang saluran tidak sama. Kecepatan
aliran sungai ditentukan oleh bentuk aliran, geometri saluran dan faktor-
faktor lainnya. Kecepatan aliran sungai diperoleh dari rata-rata kecepatan
aliran pada tiap bagian penampang sungai tersebut. Idealnya, kecepatan
aliran rata-rata diukur dengan mempergunakan 'flow probe' atau 'current
meter' (Gambar 2.4). Alat ini dapat mengetahui kecepatan aliran pada
berbagai kedalaman penampang. Namun apabila alat tersebut tidak tersedia,
kecepatan aliran dapat diukur dengan metode apung.
Gambar 2.4.
Pengukuran profil
sungai dan
pengukuran kecepatan
aliran sungai dengan
menggunakan flow
probe (Foto: Maria
Arweström)
Ulangi pengukuran sebanyak tiga kali
Hitung kecepatan rata-ratanya
Kecepatan aliran merupakan hasil bagi antara jarak lintasan dengan waktu
tempuh atau dapat dituliskan dengan persamaan:
L
V=
dimana: t
29
monitoring air di daerah aliran sungai
dimana:
d= kedalaman pengukuran; S=permukaan sungai; B= dasar sungai;
V= kecepatan (m/detik)
Debit yang dihitung merupakan jumlah total debit aliran pada setiap
penampang atau dapat dituliskan dengan persamaan:
Q ( m 3 det ik ) = L1 D1V1 + L2 D 2V2 + .......... Ln D nVn
dimana:
Q = debit (m3/detik); L = lebar interval (m); D = kedalaman (m);
V =kecepatan rata-rata pada tiap titik kedalaman pengukuran (m/detik)
16
y = 0.0009x2 - 0.1788x + 9.0892
14
R2 = 0.971
12
Debit (cub. m/s)
10
8
6
4
2
0
120 140 160 180 200 220 240 260
Tinggi permukaan air (cm)
Gambar 2.5. Rating curve untuk menduga besarnya debit aliran berdasarkan tinggi permukaan air pada
Sungai Way Besai. Sumber: Verbist, et al. (2006)
mengambil contoh air sungai dengan volume tertentu kemudian
diendapkan dan dikeringkan dalam oven pada suhu 105°C selama 2
x 24 jam sampai kering dan kandungan airnya tetap
menimbang berat kering sedimen. Dari berat kering tersebut bisa
diukur konsentrasi sedimen dalam contoh air. Selanjutnya, dengan
data debit dapat diketahui hasil sedimen.
Contoh perhitungan:
Apabila dalam 500 ml contoh air diperoleh berat kering sedimen sebanyak 5
gram, berarti konsentasi sedimen pada tempat pengambilan contoh air
tersebut adalah 5 gram/500 ml air.
2
1
3
Gambar 2.7. Proses pengambilan contoh air di sungai (Foto: ICRAF-Sumberjaya arsip)
Hasil sedimen di DAS dapat diperkirakan dari kurva hubungan debit dan
sedimen. Kurva ini dapat dibuat dari hasil pengukuran sedimen terhadap
variasi kenaikan muka air sungai. Kurva hubungan yang cukup akurat dapat
diperoleh apabila pengukuran konsentrasi sedimen telah mewakili sekitar 30
kali peristiwa kenaikan debit.
33
monitoring air di daerah aliran sungai
Tingkat ketelitian pengamat dalam membaca 'Secchi disc' dan ukuran partikel
terlarut di sungai menentukan akurasi hasil penetapan sedimen. Akurasi
bacaan 'Secchi disc' terbaik diperoleh pada kisaran kedalaman 10-30 cm. Pada
kedalaman kurang dari 10 cm, hasil bacaan kurang akurat karena air terlalu
keruh (Gambar 2.10).
3000
pengukuran 2500
kekeruhan air pada 2000
berbagai kedalaman
1500
yang ditunjukkan oleh
1000
rendahnya simpangan
500
baku pada kedalaman
0
antara 10-35 cm)
0 5 10 15 20 25 30 35 40
Kedalaman (cm)
Rata-rata
Kriteria kualitas air untuk tiap-tiap kelas didasarkan pada kuantifikasi kondisi
fisik, kandungan bahan kimia, biologi dan radioaktifnya seperti tercantum
dalam Lampiran 1.
Secara sederhana, kualitas air dapat diduga dengan melihat kejernihannya
dan mencium baunya. Namun ada bahan-bahan pencemar yang tidak dapat
diketahui hanya dari bau dan warna, melainkan harus dilakukan serangkaian
pengujian. Hingga saat ini, dikenal ada dua jenis pendugaan kualitas air yaitu
fisik-kima dan biologi.
a. Suhu
Alat yang digunakan dalam pengukuran suhu air adalah termometer standar
(tidak perlu menggunakan termometer khusus pengkur air). Langkah dalam
pengukuran suhu adalah:
Catat suhu udara sebelum mengukur suhu di dalam air
Masukkan termometer ke dalam air selama 1-2 menit
Baca suhu saat termometer masih di dalam air, atau secepatnya
setelah dikeluarkan dari dalam air
Ukur suhu di dua titik yang berbeda (kurang lebih berjarak 1 km dari
titik awal atau tergantung panjang sungai) untuk mengetahui
perbedaan suhu di sungai tersebut.
b. Lebar, kedalaman dan kecepatan aliran
Pengukuran lebar, kedalaman dan kecepatan aliran air sungai telah
diterangkan secara rinci pada Bab II dari buku ini mengenai Pengukuran
Parameter Hidrologi.
c. Penutupan kanopi
Penutupan kanopi dihitung dalam satuan persen. Langkah-langkah dalam
menghitung persentase penutupan kanopi adalah:
2 1)
Tentukan plot contoh berukuran minimal 400 m pada bagian
sungai. Lebar plot contoh mengikuti lebar sungai, sementara ukuran
panjang disesuaikan sehingga memperoleh luasan minimal 400 m2
Hitung persentase kanopi vegetasi yang menutupi permukaan badan
sungai pada plot contoh
Hitung luas plot contoh, lalu bandingkan antara persen kanopi yang
menutupi sungai dengan luas plot. Secara sederhana dapat
digunakan persamaan sebagai berikut:
AV
CC (%) = x100 %
AP
dimana: CC=penutupan kanopi (%); AV=luas area yang tertutup vegetasi
(m2); AP=luas plot (m2)
Lakukan minimal pada tiga plot contoh yang memiliki kerapatan
kanopi rendah, sedang dan tinggi
1
Ukuran ini disesuaikan dengan metode yang biasa digunakan dalam pengkuran persen kanopi pohon
40 pada daerah terestrial.
monitoring air di daerah aliran sungai
Belum ada standarisasi teknik analisis, sehingga antara laboratorium
satu dengan lainnya menggunakan cara yang berbeda-beda dan
tentunya akan memberikan hasil yang berbeda-beda pula
Belum ada standarisasi nilai ambang batas jenis-jenis bahan
pencemar yang diperbolehkan, sehingga masing-masing negara
memiliki nilai ambang batas yang berbeda-beda.
42
monitoring air di daerah aliran sungai
Lakukan tiga kali pengulangan
Simpan botol media yang telah dicampur air contoh di dalam
wadah yang diberi es batu.
d. Memindahkan campuran media dengan contoh air ke dalam cawan petri
Pindahkan media uji yang telah dicampur air contoh ke cawan petri
dalam waktu tidak lebih dari 2 jam sejak pengambilan contoh
Buka tutup cawan petri secukupnya agar media dalam botol bisa
dituangkan. Usahakan agar media yang dituangkan tidak terkena
tutup cawan petri ataupun menyebar ke sisi-sisi luar
Tutup secara perlahan, goyangkan cawan petri seperti membentuk
gerak melingkar
Tempatkan cawan petri pada permukaan yang datar, dan hindari
cahaya matahahari langsung, biarkan media mengeras sekitar 30
menit sampai satu jam
Bila media telah membeku, balikkan cawan petri agar air yang
menguap dari penutup tidak jatuh ke bawah
Letakkan di dalam inkubator
0
Simpan dalam inkubator sekitar 24-48 jam pada suhu 29-37 C (85-
0
99 F). Cawan Petri tidak boleh diinkubasi lebih dan 48 jam.
e. Pengamatan koloni
Setelah diinkubasikan selama 24-48 jam, hitung semua koloni yang
tumbuh pada cawan petri. Koloni E. coli berwarna biru tua hingga
ungu. Jenis coliform lainnya berwarna merah muda hingga merah
gelap. Warna biru cerah termasuk ke dalam Enterobacteriaceae
tetapi bukan coliform. Koloni Enterobacteriaceae yang ada
kemungkinan berasal dari kelompok Salmonella dan Shigella, yang
merupakan bakteri penyebab penyakit, catat juga bila ditemukan
Hitung koloni yang terlihat dengan mata telanjang, jangan gunakan
lensa pembesar. Koloni yang berupa titik kecil tidak perlu dihitung
Jika jumlah E. coli lebih dari 200 catat sebagai jumlah terlalu banyak
(JTB)
Untuk melihat jumlah E. coli dalam 100 ml, bagi jumlah E. coli pada
cawan petri dengan volume air contoh yang digunakan, lalu kalikan
dengan 100.
47
IV. MONITORING KUALITAS AIR SUNGAI SECARA
BIOLOGI DENGAN MAKROINVERTEBRATA
4.1. Pengertian monitoring secara biologi (biomonitoring)
Biomonitoring adalah monitoring kualitas air secara biologi yang dilakukan
dengan melihat keberadaan kelompok organisme petunjuk (indikator) yang
hidup di dalam air. Kelompok organisme petunjuk yang umum digunakan
dalam pendugaan kualitas air adalah:
Plankton: mikroorganisme yang hidup melayang-layang di dalam air
Periphyton: alga, cyanobacter, mikroba dan detritus yang hidup di
dalam air
Mikrobentos: mikroorganisme yang hidup di dalam atau di
permukaan air
Makrobentos: makroinvertebrata yang hidup di dalam atau di
permukaan air
Makrophyton: tumbuhan air
Nekton: ikan
Kelompok tersebut digunakan dalam pendugaan kualitas air karena dapat
mencerminkan pengaruh perubahan kondisi fisik dan kimia yang terjadi di
perairan dalam selang waktu tertentu. Namun, metode ini memiliki beberapa
kelemahan antara lain:
Tidak dapat mengidentifikasi penyebab perubahan yang terjadi
Hasil pendugaan menunjukkan kualitas air secara ekologi tetapi tidak
dapat menunjukkan adanya bahan patogen atau organisme
berbahaya lainnya
Hanya dapat dilakukan oleh orang yang mengerti tentang biologi
perairan ataupun orang yang telah dilatih, karena harus
mengidentifikasi secara taksonomi kelompok-kelompok organisme
petunjuk.
Oleh karena itu, untuk mendapatkan informasi kualitas air yang lebih akurat,
sebaiknya dilakukan penggabungan antara pemantauan kualitas air secara
fisik-kimia dan biologi.
monitoring air di daerah aliran sungai
GPS
Jaring (dengan ukuran mesh 500 µm seperti Gambar 4.2.)
Jenis jaring yang digunakan untukmengambil contoh makroinvertebrata
berbeda-beda tergantung pada jenis substrat dasar sungai. Berdasarkan
kondisi substrat dasar sungai, jaring yang digunakan dibedakan menjadi:
Driftnet sampler. Jaring ini digunakan untuk mengambil contoh
makroinvertebrata pada sungai yang dasar sungainya berupa lumpur
dan pada lokasi yang kemiringannya rendah
Surber sampler net. Jaring ini digunakan untuk mengambil contoh
makroinvertebrata pada sungai yang dasar sungainya berbatu,
berkerikil dan alirannya deras. Pengambilan contoh dilakukan
dengan menempatkan jaring pada dasar sungai. Tempat di sekitar
kerangka jaring diaduk agar makroinvertebrata yang ada di antara
bebatuan terhanyut oleh air dan menyangkut di jaring. Cara tersebut
dapat diulang paling sedikit 4 kali per lokasi contoh.
b. Alat dan bahan untuk pemisahan dan identifikasi
Baki atau nampan
Saringan (dengan ukuran mesh 500 µm)
Pinset
Label
Pensil
Cairan pengawet (alkohol 70% atau formalin 4%)
Botol plastik
Mikroskop binokuler dan monokuler
a. Sungai dangkal
Pengambilan contoh pada sungai dangkal A
relatif lebih mudah dilakukan karena bisa
langsung masuk ke dalam badan sungai
(Gambar 4.4). Tahap-tahap yang
dilakukan adalah:
Ambil contoh pada plot yang
telah dibuat
Aduk badan sungai dan dinding B
sungai yang menjorok ke dalam
dengan cara menginjak-injak dan
menggoyang-goyangkan
Goyangkan batu-batu besar yang
ada di badan sungai, ranting-
ranting dan akar tumbuhan yang
menggantung di tebing sungai
Tempatkan jaring dan tampung C
aliran air yang telah diaduk
(bercampur bahan terlarut)
Pada substrat bebatuan,
tempatkan jaring pada tempat
yang mudah dijangkau dan ambil
contoh lebih banyak
Pada substrat pasir, tempatkan
jaring sedikit di atas dasar sungai
agar tidak banyak pasir yang
terbawa
Masukkan contoh yang diambil Gambar 4. Mengambil contoh
dari jaring ke dalam kantong makroinvertebrata (A) mengaduk badan
plastik sungai; (B) mengambil makroinvertebrata
Periksa keberadaan yang ada di kayu mati dan (C) di batu-batuan
(Foto: Indra Suryadi)
makroinvertebrata pada dinding
sungai yang menjorok ke dalam,
batu-batuan, ranting-ranting dan akar-akar yang ada di dinding
sungai serta makroinvertebrata yang bergerak di atas permukaan air
Kembalikan ke sungai apabila ditemukan jenis hewan lain masuk ke
jaring seperti ikan dan kepiting, karena hewan yang diamati hanya
kelompok makroinvertebrata
Periksa terlebih dahulu sebelum dikembalikan ke sungai dan pastikan
bahwa tidak ada makroinvertebrata yang menempel di tubuhnya 55
monitoring air di daerah aliran sungai
Masukkan contoh air ke
dalam wadah (plastik atau
botol)
Beri label berupa kode,
waktu dan tempat
pengambilan contoh pada
wadah (lakukan double
coding untuk memastikan
label tidak hilang karena
luntur oleh air atau
lumpur) Gambar 4.5. Cara pengambilan contoh (Foto: Indra Suryadi)
Lakukan mengambilan
contoh berikutnya dengan
bergerak zig-zag dari tepi sungai satu ke tepi lainnya (Gambar 4.5)
Usahakan pengambilan contoh selesai dalam waktu lima (5) menit
untuk satu plot sepanjang 10 m.
b. Sungai dalam
Pengambilan contoh pada sungai dalam agak sulit dilakukan terutama untuk
jenis-jenis makroinvertebrata yang hidup menempel pada substrat, karena
kita tidak bisa langsung masuk ke dalam badan air. Oleh karena itu dapat di
atasi dengan dua tahap yaitu:
Mengambil contoh pada bagian dangkal yang masih dapat
dijangkau oleh jaring, misalnya pinggir sungai
§ Lakukan pengambilan contoh seperti di sungai dangkal
Membuat substrat buatan
§ Siapkan 3 buah jaring dan isi dengan batu-batuan (Gambar 4.6A)
A B
permukaan sungai
substrat buatan
dasar sungai
Gambar 4.6. (A) Substrat buatan berupa batu-batuan; (B) Penempatan substrat buatan di dalam badan sungai
(Foto: Andy Dedecker dan Ans Mouton)
56
monitoring air di daerah aliran sungai
57
monitoring air di daerah aliran sungai
2. Identifikasi
Setelah contoh makroinvertebrata dipisahkan berdasarkan jenisnya, tahap
selanjutnya adalah mengidentifikasi.
Ambil makroinvertebrata yang sudah dipisahkan
Letakkan pada cawan petri
Amati dan lakukan indentifikasi sampai tingkat famili bila
memungkinkan, dengan mencocokkan gambar pada Lampiran 3
Beri label berupa nama hewan, famili, waktu dan tempat
pengambilan contoh
3. Tabulasi data
Data pengamatan dibuat berdasarkan hasil indentifikasi dan jumlah individu
yang ditemukan serta data fisik kimia sebagai data pendukung (Tabel 4.1).
1. Pengamatan Biologi
Makroinvertebrata yang ditemukan Jumlah individu
2. Pengamatan kimia
pH: Amonium:
Oksigen terlarut: Nitrat:
3. Pengamatan Fisik
Suhu (permukaan air): Persen penutupan kanopi:
Suhu di dalam air (kedalaman > 1 cm): Persen substrat:
Jenis ‘kelokan sungai”:
58
monitoring air di daerah aliran sungai
Plecoptera (Heptagenidae) 1 ‡ 2 - 7 8 9 10
1 5 6 7 8 9
Trichoptera berkantung 2 ‡ 2 - 6 7 8 9
1 5 5 6 7 8
Ancylidae (Gastropoda), 3 ‡ 2 - 5 6 7 8
Ephemeroptera (kecuali
Ecdyonuridae) 1-2 3 4 5 6 7
Aphelencherius (Hemiptera), 4 ‡ 1 3 4 5 6 7
Odonata, Gammaridae
(Crustacea: Amphipoda),
Mollusca (kecuali Sphaeriidae
Asellidae (Crustacea : Isopoda), 5 ‡ 1 2 3 4 5 -
Hirudinea, Sphaeridae
(Mollusca), Hemiptera kecuali
Aphelecheirus
Tubificidae, Chironomous 6 ‡ 1 1 2 3 - -
thummi-plumosus
(Chironomidae)
Syrphidae - Eristalinae 7 ‡ 1 0 1 1 - -
Sumber: Biotic Index Manual for Secondary School, University Gent, Belgium (1999)
Keterangan:
Kolom I: berisi kelompok makroinvertebrata indikator yang
diklasifikasikan berdasarkan tingkat sensitifitasnya terhadap polutan 59
monitoring air di daerah aliran sungai
Kolom II: berisi angka (skor) yang menunjukkan nilai sensitifitas
suatu kelompok makroinvertebrata indikator terhadap polutan
Semakin tinggi nilainya berarti semakin tidak sensitif
Kolom III: berisi frekuensi ditemukannya kelompok
makroinvertebrata indikator ketika pengamatan dilakukan
Kolom IV: berisi nilai biotik indeks dari tiap-tiap kelompok
makroinvertebrata indikator berdasarkan jumlah taksa yang
ditemukan.
Berdasarkan tabel standar BBI, kualitas air diklasifikasikan menjadi 6 kelas
seperti tercantum dalam Tabel 4.3.
60
monitoring air di daerah aliran sungai
Contoh pendugaan kualitas air dengan metode FBI disajikan pada Box 4.3.
Kedua metode pendugaan kualitas air dengan makroinvertebrata telah
dilakukan oleh ICRAF di DAS Way Besai, Sumberjaya, Lampung baik dengan
BBI maupun dengan FBI.
61
monitoring air di daerah aliran sungai
Box 1.
Contoh Penghitungan Kualitas Air Berdasarkan BISEL Biotik Indeks
Tahap penghitungan BBI
• Identifikasi taksa dan hitung jumlah individu masing-masing taksa dari satu plot
contoh
• Sajikan dalam tabel seperti Tabel Box 1.1
62
monitoring air di daerah aliran sungai
Tabel Box 1.2. Nilai Biotik Indeks dari kelompok makroinvertebrata indikator yang
ditemukan pada plot contoh
Dari Tabel Box 1.2 terlihat bahwa nilai biotik indek yang didapatkan
dari hasil pengamatan berkisar antara 3-7. Kemudian diambil nilai
maksimum, yaitu 7. Berdasarkan Tabel 4.3. nilai 7 berada pada kelas II
yaitu sedikit terpolusi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
kondisi air pada plot contoh tersebut dalam kondisi sedikit terpolusi.
63
monitoring air di daerah aliran sungai
Box 2.
Contoh Penghitungan Kualitas Air Berdasarkan Famili Biotik Indeks
Tahap penghitungan FBI:
• Identifikasi dan hitung jumlah individu pada masing-masing taksa dari satu
plot contoh (Tabel Box 2.1)
• Tulis nilai toleransi masing-masing taksa berdasarkan kriteria Hilsenhoff
(1998) seperti pada Lampiran 3
• Hitung FBI dengan menjumlahkan hasil perkalian jumlah individu dan nilai
toleransi, kemudian dibagi dengan total individu yang ditemukan pada satu
plot contoh
Tabel Box 2.1. Hasil pengamatan yang ditemukan pada plot contoh dan nilai toleransinya
Kode Plot: 1
Nama Sungai: Way Petai
Posisi geografi: 0443642; 9442914
Tanggal Pengambilan: 3 Agustus 2005
Tipe penggunaan lahan sekitar: hutan
Ordo Famili Jumlah Nilai xi * ti
individu (xi) toleransi (ti)
Coleoptera Dryopidae 1 5 5
Coleoptera Haliplidae 1 7 7
Coleoptera Simuliidae 10 6 60
Crustacea Perlidae 17 1 17
Diptera Caenidae 3 7 21
Diptera Hydropsychidae 16 4 64
Ephemeroptera Psephenidae 8 4 32
Hemiptera Gerridae 2 5 10
Hemiptera Naucoridae 2 5 10
Hemiptera Veliidae 2 6 12
Odonata Lestidae 2 9 18
Odonata Cordulegastridae 2 3 6
Plecoptera Nemouridae 2 2 4
Plecoptera Palaemonidae 10 4 40
Plecoptera Heptageniidae 22 4 88
Trichoptera Limnephilidae 1 4 4
Trichoptera Hydroptilidae 2 4 8
Trichoptera Baetidae 23 3 69
Jumlah 126 475
475
FBI = = 3.77
126
Dari Tabel Box 2.1. terlihat bahwa nilai FBI = 3.77. Berdasarkan Tabel 4.4 nilai ini
termasuk dalam kelas ‘baik sekali’ (terpolusi sedikit bahan organik). Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa kualitas air pada plot ini adalah terpolusi sedikit bahan
organik.
64
monitoring air di daerah aliran sungai
Catatan:
Pada metode ini, nilai toleransi dari famili makroinvertebrata
merupakan salah satu peubah yang digunakan. Sementara itu, nilai
toleransi ini ada kemungkinan berbeda antar lokasi. Oleh karena
itu, penelitian mengenai nilai toleransi perlu dikembangkan lebih
lanjut untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat. Berhubung
hingga saat ini belum ada pustaka lain, maka penghitungan indek
untuk kualitas air pada buku ini menggunakan nilai toleransi
menurut Hilsenhoff (1988) seperti tercantum dalam Lampiran 3.
Dari kedua cara pendugaan kualitas air di atas, yaitu dengan BBI dan FBI
ternyata memberikan hasil yang sama dan diperoleh kesimpulan bahwa
kualitas air pada plot tersebut telah sedikit terpolusi.
65
monitoring air di daerah aliran sungai
Box 3.
Contoh Hasil Biomonitoring Kualitas Air di Way Petai Sumberjaya, Lampung
Alih guna lahan hutan menjadi belukar, kebun kopi, dan sawah telah terjadi di sepanjang
Daerah Aliran Sungai (DAS) Way Besai, Sumberjaya, Lampung yang mengakibatkan
menurunnya kualitas air sungai. Biomonitoring dengan makroinvertebrata dilakukan di hulu
Sungai Way Petai yang merupakan salah satu anak Sungai Way Besai, untuk mengetahui
dampak alih guna lahan terhadap kualitas air.
Enam plot contoh yang berada di hutan, belukar, kebun kopi dan sawah diambil di sepanjang
Sungai Way Petai pada musim hujan dan musim kemarau tahun 2005. Hasil pengamatan dan
analisa data berdasarkan Famili Biotik Indeks disajikan pada Gambar 4.8.
Way Petai
10
9
8
F amili Biotik Indeks
Buruk
7
6
5
4
3
2
1 Baik sekali
Hujan Kemarau
0
Hutan Sawah Kopi Sawah Sawah Mata air Sawah
Gambar 4.8. Kualitas air di hulu Sungai Way Besai berdasarkan Famili Biotik Indeks
Sumber: Andy Dedecker dan Ans Mouton (data musim kemarau 2005);
Indra Suryadi (data musim hujan 2005)
Gambar 4.8. menunjukan bahwa kualitas air sungai di sekitar hutan masih lebih baik
bila dibandingkan dengan sawah dan kebun kopi. Sementara itu, pada lokasi mata air,
kualitas air tergolong buruk. Hal ini disebabkan karena aktivitas masyarakat yang
memanfaatkan mata air sebagai sumber air untuk mencuci dan mandi. Selain itu, mata
air ini juga berada di dekat pasar dan sawah, sehingga sampah-sampah dari pasar dan
residu pestisida dari sawah masuk ke sungai yang ada di dekat mata air. Buruknya
kualitas air di sekitar mata air mempengaruhi kualitas air di sawah yang berada di hilir
mata air tersebut. Kualitas air pada musim penghujan hampir sama dengan musim
kemarau.
66
V. INDIKATOR KUANTITATIF FUNGSI DAS
Tabel 5.1. Penetapan fungsi DAS dengan memisahkan curah hujan dan menggabungkan
ciri-ciri debit air = curah hujan * (Wp + Wh)
Aspek Aspek curah W
aliran hujan Fungsi DAS Wp, faktor Wh, faktor penentu yang
sungai penentu permanen dipengaruhi manusia
dalam lansekap
Total Curah hujan Mengalirkan air Cahaya matahari, Bagian DAS dengan vegetasi hijau
debit rata-rata (total air yang aliran udara basah sepanjang tahun dan vegetasi yang
tertampung per dan kering, menggugurkan daun, fraksi lahan
unit curah hujan) geologi substrat terlantar, jumlah air yang di ekstrak
dan perairan
Aliran Pola tempat- Penyangga (aliran Pembentukan Perubahan permukaan tanah yang
puncak waktu curah sungai di atas tanah, lereng, memodifikasi infiltrasi; perubahan
(resiko hujan rata-rata per unit kedalaman tanah dalam ‘pengaliran’ dan aliran
banjir) curah hujan di cepat
atas rata-rata)
Aliran Curah hujan Air tersimpan Pembentukan Infiltrasi dan sedikitnya vegetasi
musim musiman yang dialirkan tanah, geologi untuk menyimpan air
kemarau secara perlahan- substrat
lahan
Kualitas Pola tempat- Mempertahankan Cekungan sungai, Perubahan dalam penutupan tanah
air waktu curah kualitas air (relatif penumpukan yang memodifikasi erosi dan fungsi
(meliputi hujan terhadap curah alluvial, stabilitas penyaring; sumber logam,
muatan hujan) tanah karena pencemar organik, pestisida, unsur
sedimen, adanya vegetasi hara; perubahan vegetasi
kelayakan alami, keberadaan penyangga dalam riparian;
sebagai air hara dan bahan perubahan dalam keseimbangan
minum) pencemar pada unsur hara; perubahan dalam
profil tanah keseimbangan air yang
memodifikasi pergerakan garam
dalam air tanah
Perubahan Kejadian Stabilitas lereng Lereng, ciri Infiltrasi
cekungan puncak curah dan tidak adanya mekanis profil Peran perakaran pohon hidup
sungai hujan kejadian longsor tanah yang masih utuh seperti jangkar
dari tanah bagian atas ke bagian
bawahnya. Guratan jalan pada
lereng
nilainya tergantung pada kondisi iklim, geologi lanskap dan perubahan sistem
drainase karena terbentuknya saluran (jalan setapak, jalan), penerapan
teknologi penyimpanan air sementara serta sifat tanah di badan
sungai/sedimen sungai sebagai hasil interaksi sungai dengan tutupan lahan.
Indikator-indikator tersebut kami sajikan sebagai 'toolbox' (perangkat
peralatan), dan penelitian selanjutnya diperlukan untuk menetapkan
perangkat yang tepat digunakan pada situasi tertentu.
Lima jalur yang dapat dilalui titik hujan: dua jalur mengantarkan kembali ke
atmosfir (evaporasi dari tajuk tanaman yang mengintersepsi curah hujan dan
evapotranspirasi dari dalam tanah), dan tiga jalur akan mengantarkan ke
jaringan sungai dalam waktu yang berbeda (aliran permukaan tanah-’quick
flow’, aliran cepat di bawah permukaan tanah – ‘sub surface flow’ dan air
tanah yang dialirkan secara perlahan-lahan – ‘low flow’)
Secara sederhana ada tiga jalur hidrologis yang dapat dilalui air untuk
mencapai sungai: secara langsung melalui aliran permukaan tanah (dalam
70 waktu kurang lebih satu jam setelah turun hujan, tergantung pada jarak ke
monitoring air di daerah aliran sungai
sungai), melalui lapisan dalam tanah ('aliran dalam tanah' atau 'aliran cepat
dalam tanah' – dalam waktu kurang lebih satu hari) atau aliran dalam tanah
(air tanah) (dalam hitungan waktu mingguan atau bulanan) (Gambar 5.2)
Precipitation,
Hujan,
Hujan, P
P P
River
Debit sungai,QQ,
Debitdischarge
sungai, Q Evapotransp iration,
Evapotranspirasi,
Evapotranspirasi, EE E
Tanda modifikasi
Signal
Tanda modifikasi
modification aliran
sepanjang sungai
sepanjang sungai throughfall/interception
aliranbatang/intersepsi
batang/intersepsi Eintersepsi
interc Energy
Energi---
along river Overland
Aliran permukaan
flow . .
Energi-
pembatas
pembatas
limited
infiltration
infiltrasi
infiltrasi Esoil
Qquick
cepat‘‘Soilquickflow’
Alirancepat
Aliran ’dalam
, tanah
cepatdalam tanah tanah+ Eveg
vegetasi
Groundwater
Aliran
Aliran air
airtanah
tanah
Epotensial
potential
Qslow
lambat
flows .
irrigation
irigasi Patch bagian
Skala scale yang mengalami hujan
Lereng bukit/parit
Hillslope/streamlet
Stream
Anak sungai
River
Sungai
Gambar 5.2. Diagram alur presipitasi (P), evapotranspirasi (E) dan debit sungai (Q) pada berbagai skala spasial
Grafik antara aliran sungai kumulatif dengan curah hujan kumulatif dapat
memberikan gambaran mengenai pengaruh musim terhadap pola aliran
sungai pada suatu DAS, terutama dalam hal menyimpan air dan
mengalirkannya secara perlahan-lahan. Grafik berdasarkan rasio dari data
kumulatif seperti ini masih dapat dimanfaatkan meskipun data curah hujan
yang ada tidak merepresentasikan variabilitas spasial yang umumnya tinggi.
Data curah hujan yang tidak representatif, apabila dianalisa secara harian,
tidak akan mampu menunjukkan hubungan antara puncak curah hujan
dengan puncak aliran sungai. Namun, dengan memanfaatkan data kumulatif,
kekurangan data tersebut dapat diatasi.
Berdasarkan pengalaman kami dalam menganalisa pola musiman aliran
sungai di beberapa DAS, kami mendapatkan satu indikator baru, yaitu
kumulatif aliran sungai relatif pada kondisi 25% dan 75% curah hujan
kumulatif, dihitung selama periode satu tahun. Rasio ini dapat digunakan
72 sebagai indikator penyebab utama terjadinya 'aliran cepat': apakah berkaitan
monitoring air di daerah aliran sungai
73
monitoring air di daerah aliran sungai
berbentuk aliran
permukaan dan aliran Evapotranspirasi
tanah akan berbeda
dengan jumlah
presipitasi yang
masuk. Secara total,
jumlah air dalam
sistem akan sama
dengan jumlah
presipitasi dikurangi
evaporasi.2
Presipitasi berupa
hujan, secara parsial
akan mampu Gambar 5.5. Perbandingan kemungkinan terjadinya kelebihan curah hujan,
evapotranspirasi, debit anak sungai dan sungai (daerah bagian kiri kurva debit
disangga oleh tanah, anak sungai dan sungai sebanding dengan daerah bagian kiri dari kurva curah
hingga kondisi DAS hujan dikurangi dengan daerah sebelah kiri kurva evapotranspirasi bila
melebihi kapasitas perubahan pada penyimpanan air dapat diabaikan); bentuk kurva curah hujan
penyimpanan dan pada tingkat titik pengamatan, anak sungai dan sungai menunjukkan
jumlah air yang peningkatan dalam 'menyangga'; gambar sebelah kanan menunjukkan derajad
ketergantungan dari 'ketidakmerataan' curah hujan, jumlah air yang masuk per
disangga menjadi hari dapat berubah dari titik pengamatan tunggal di bagian atas sub-DAS dan
nol. Kesetimbangan DAS yang membentuk 'penyangga' ditunjukkan pada gambar sebelah kiri)
ini berimplikasi
bahwa aliran puncak berkurang, dan aliran lambat relatif meningkat bila
dibandingkan dengan aliran air yang masuk.
Berdasarkan persepsi umum, fungi penyangga DAS berkaitan erat dengan
keberadaan 'hutan' meskipun pada kenyatannya sebagian besar air akan
tersimpan di dalam tanah bukan di vegetasi pohon. Jenis penutupan lahan
yang mampu meningkatkan penyerapan air hujan secara cepat oleh tanah
mempunyai kontribusi terhadap fungsi penyangga lanskap, dalam pengertian
berkurangnya proposi aliran permukaan dibandingkan dengan jumlah curah
hujan. Struktur fisik yang dapat menyimpan air di permukaan, seperti sawah,
dapat juga mengurangi aliran air permukaan relatif terhadap air hujan.
Secara prinsip, kemampuan sawah ini sebanding dengan hutan dari sisi
kemampuannya menyangga air secara temporer. Untuk membandingkan
secara lebih tepat bagaimana suatu sistem, baik itu berupa sawah, hutan
maupun sistem 'penyangga' air lainnya, kita perlu memiliki indikator yang
dapat mengukur fungsi penyangga secara kuantitatif. Indikator ini akan
2
Kecuali jika presipitasi berupa salju dan salju terus menumpuk sehingga air akan tersimpan dalam bentuk
padat. Dalam hal ini, jumlah air yang terbentuk pada saat mencair mungkin lebih kecil dibandingkan
jumlah presipitasi awal. 75
monitoring air di daerah aliran sungai
dimana:
P dan pi = total presipitasi tahunan dan presipitasi waktu ke-i, dalam liter
per m2 atau mm,
Q dan qi = total aliran sungai tahunan atau aliran sungai waktu ke-i, dalam
liter per m2 atau mm,
E dan ei = total evapotranspirasi tahunan atau evapotranspirasi waktu ke-i,
dalam liter per m2 atau mm,
DS dan Dsi = perubahan (plus atau minus) kapasitas penyimpanan total
tahunan atau perubahan (plus atau minus) dalam kapasitas
penyimpanan pada waktu ke-i, dalam liter per m2 atau mm.
Untuk setiap komponen dalam rumus neraca air, kita dapat mengurangkan
dengan rata-ratanya. Selanjutnya kita dapat memisahkan masing-masing
hasilnya menjadi bagian yang positif (di atas rata-rata) dan negatif (di bawah
rata-rata). Nilai mutlak dari masing-masing kedua bagian ini akan sama.
P P
pi - >0 =- pi - <0
n n
Q Q
qi - >0 =- qi - <0 (5.2)
n n
E E
ei - >0 =- ei - <0
n n
(Dsi - DS > 0)= - (Ds i -DS < 0)
76
monitoring air di daerah aliran sungai
77
monitoring air di daerah aliran sungai
3
Curah hujan tinggi pada akhir musim penghujan cenderung menyebabkan banjir di daerah hilir, karena
pengelola dam umumnya pada saat menginginkan DAM penuh terisi air agar air tersedia di musim
kemarau. Mengurangi resiko banjir berarti menurunkan kapasitas penyimpanan air di dam dibawah titik
maksimum. Pengelola DAS perlu membuat aturan yang jelas berkaitan dengan untung ruginya kebijakan
78 ini.
monitoring air di daerah aliran sungai
Tabel 5.2. Komponen-komponen neraca air dan penyimpanan sementara pada skala DAS
yang berperan sebagai penyangga aliran sungai relatif terhadap curah hujan pada berbagai
skala ruang dan waktu; '+' atau '-' menunjukkan pengaruh yang diharapkan
Proses kontribusi Pengaruh waktu aliran relatif terhadap curah hujan
'penyangga' pada aliran pada berbagai skala
sungai relatif terhadap curah Pengaruh Penunjuk Patch Lereng Parit/ Sungai/ Basin
hujan terhadap skala (m2), bukit subDAS DAS (1000-
debit waktu Lapangan (km2) (10 km2) (100- 10,000
tahunan (ha) 1000 km2)
km2)
Tidak sinkron antara ruang - hari/ bulan -,- 0 + ++ +++
dan curah hujan
Intersepsi tajuk: ++ hari ++ , + + + + +
penyimpanan => evaporasi
Intersepsi tajuk: tertundanya - < jam +,0 - - - -
aliran batang
Infiltrasi ke dalam tanah: +++ hari/ ++ , ++ ++ ++ ++ ++
pengisian kapasitas lapang, minggu
penggantian air tanah yang
diserap tumbuhan
Penyimpanan air - jam/ hari +,+ 0 - - -
permukaan pada tempat
yang rendah
Aliran dalam tanah ke parit - jam 0,+ + 0 - -
melalui lapisan tanah bagian
atas
Aliran dalam tanah ke parit - jam/ hari 0,+ ++ + 0 -
melalui lapisan tanah bagian
bawah
Aliran ke parit melalui air - hari/ 0,+ ++ ++ + 0
tanah minggu
Hambatan aliran pada parit - jam/ hari 0,0 0 + + 0
Parit yang berhubungan - hari/ 0,0 0 ++ + +
dengan lahan basah minggu
Penyimpanan sementara air - hari/ 0,0 0 ++ ++ +
yang mengalir di atas minggu
tanah
Dam kecil untuk irigasi lokal - minggu/ 0,0 + + + +
bulan
Waduk + bulan 0,0 0 0 + +
Dam untuk penyimpanan + tahun 0,0 0 0 0 +
antar tahun
Ringkasan per group:
Vegetasi ++ hari ++ , + + + + +
Pengelolaan tanah - jam/ hari 0,+ ++ + 0 -
Teknik - minggu/ 0,0 + ++ ++ ++
bulan
Iklim - hari/ bulan -,- 0 + ++ +++
Gambar 5.6. Aliran air pada petak pengukuran di anak sungai dibandingkan dengan aliran sungai hari
sebelumnya; kemiringan dari garis regresi yang berada lebih bawah (setelah membuang angka 'pencilan')
menunjukkan rasio minimum dari 'kestabilan aliran’
Kestabilan aliran dapat juga dinyatakan dalam jumlah hari yang diperlukan
hingga aliran sungai mencapai tingkat Y% dari aliran saat ini: NdaystoY% =
80 (log(Y)/log (100))/qp.
monitoring air di daerah aliran sungai
Gambar 5.7. Kurva retensi air tanah yang menjelaskan tentang tiga indikator utama kondisi tanah: total
kandungan air pada saat jenuh, jumlah yang ditahan 1 hari setelah hujan deras ('kapasitas lapang') dan 'titik
layu permanen'; pemadatan tanah akan berpengaruh terhadap kondisi tanah saat mendekati titik jenuh
Gambar 5.8. Batas atas pengaruh pemadatan tanah terhadap kurva retensi air yang diduga menggunakan
fungsi pedotransfer dari Wösten et al. (1998) berdasarkan data tanah di daerah tropik ( Suprayogo et al.,
2003), dengan mengasumsikan bahwa tanah hutan alam memiliki berat isi 0,7 kali tanah pertanian,
sementara tanah yang terdegradasi meningkat kerapatan isinya hingga mencapai 1,3 kali.
Gambar 5.9. Batas atas pengaruh pemadatan tanah terhadap kurva retensi air yang diduga menggunakan
fungsi pedotransfer dari Wösten et al. (1998) berdasarkan data tanah di daerah tropik ( Suprayogo et al.,
2003), dengan mengasumsikan bahwa tanah hutan alam memiliki berat isi 0,7 kali tanah pertanian,
sementara tanah yang terdegradasi meningkat kerapatan isinya hingga mencapai 1,3 kali dan bagaimana
pengaruhnya terhadap kelompok tanah yang berbeda.
83
monitoring air di daerah aliran sungai
pengaruhnya bersifat jangka pendek dan juga dapat merusak struktur biologi
tanah yang memperburuk keadaan karena harus terus menerus diulang.
Namun demikian, strategi pengolahan tanah lainya, seperti membuat lubang
tanam atau memecahkan lapisan tanah kering, dapat menjadi awal proses
pemulihan tanah secara biologi.
Degradasi fisik tanah dapat membentuk lapisan 'kerak' (crusting) pada
permukaan tanah yang akan menurunkan laju infiltrasi permukaan potensial.
Pada daerah yang beriklim kering, kondisi ini akan memicu terjadinya aliran
permukaan meskipun tanah masih jauh dari kondisi jenuh.
Dengan demikian, kemampuan mendiagnosa faktor utama penyebab
degradasi tanah di suatu DAS sangatlah penting, karena ini menyangkut
jangka waktu yang diperlukan dalam proses pemulihannya. Menghindari
pemadatan tanah di daerah yang memiliki kondisi tanah seperti 'hutan alam'
jauh lebih efektif daripada merehabilitasi tempat yang sudah terdegradasi.
Namun pada kondisi tanah yang mengalami kerusakan pada permukaan,
maka rehabilitasi lahan dengan kegiatan yang berbasis penambahan mulsa di
permukaan tanah akan dapat memulihakn kondisi tanah dengan cepat.
5.6.1. Pengukuran
Buku pelajaran fisika tanah umumnya menjelaskan bagaimana mengukur
berat isi (BI) tanah, tetapi jarang atau hampir tidak pernah menjelaskan
bagaimana data hasil pengukuran tersebut dapat diinterpretasikan. Berat isi
sangat berkaitan erat dengan tekstur tanah dan kandungan bahan organik
tanah (kandungan bahan organik tanah ini juga tergantung pada tekstur
tanah), jadi untuk dapat menginterpretasikan proses pemadatan dengan
benar kita perlu mendapatkan nilai acuan dari tanah dengan tekstur yang
sama. Skema sederhana mengenai proses perhitungan kerapatan tanah dalam
kaitannya dengan pemadatan tanah, dapat diperoleh dan diunduh dengan
cuma-cuma di: www.worldagroforestrycentre.org/sea/products/pedotransfer.
BD adalah kerapatan isi, BDref1 adalah kerapat isi acuan 1 yang dihitung
berdasarkan Corg data lapangan, dan BDref2 adalah kerapatan isi acuan 2
yang dihitung berdasarkan Cref dimana Cref adalah Corg acuan hasil pendugaan
berdasarkan tekstur tanah. Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat ICRAF
website.
85
monitoring air di daerah aliran sungai
pH_KCl Elevasi
Liat%
Kedalaman
Debu%
Cref % Tanah
khusus?
Corg%
Corg/
Kerapatan isi Kerapatan isi Cref
acuan1 Kerapatan Acuan 2 membandingkan Corg
isi
dengan nilai yang
diharapkan pada tanah
membandingkan BD dengan hutan
BD/ BD/
nilai yang diharapkan untuk membandingkan BD dengan
tanah pertanian pada Corg
BDref1 BDref2 nilai yang diharapkan untuk
tanah pertanian pada Cref
Gambar 5.10. Bagan alir perhitungan yang didasarkan pada berbagai pengukuran parameter tanah untuk
memperoleh nilai 'acuan' kerapatan isi dan kandungan bahan organik tanah yang dapat dijadikan nilai
pembanding bagi suatu contoh tanah .
87
monitoring air di daerah aliran sungai
89
monitoring air di daerah aliran sungai
5.8. Pembahasan
Masalah fungsi DAS sangat penting bagi pemerintah dan para pengambil
kebijakan, terutama yang berkaitan dengan dampak kerusakan fungsi
hidrologis terhadap manusia dan infrastruktur secara ekonomi. Jenis dan
besarnya dampak fungsi DAS bagi manusia sangat dipengaruhi oleh
perubahan penutupan lahan, pembuatan infrastruktur (seperti dam, saluran
irigasi) yang bisa mengubah sistem drainase dan penyimpanan air sementara
pada skala lanskap, serta lokasi tempat tinggal/desa/kota (Gambar 5.9)
Penyebab bencana kekeringan dan banjir dapat dibedakan atas tiga tingkatan:
(i) langsung (proximate), (ii) tak langsung (intermediate) dan (iii) dasar
(ultimate). Penyebab yang paling dasar adalah tidak ada/kurang baiknya
langkah-langkah pencegahan dampak banjir di daerah hilir, yang mungkin
disebabkan karena pengelola daerah kurang mampu dalam memprediksi
besar kecilnya debit air atau karena ulah manusia yang memicu terjadinya
bencana. Penyebab langsung biasanya berupa periode curah hujan yang lebih
tinggi dari harapan (menyebabkan banjir) atau lebih rendah dari harapan
(menyebabkan kekeringan). Penyebab tak langsung adalah hal-hal yang
berkaitan dengan bagaimana kondisi DAS menangkap curah hujan dan
mengalirkannya ke sungai serta bagaimana tipe tutupan/penggunaan lahan
mengubah fungsi hidrologi DAS. Umumnya kombinasi dari ketiga faktor ini
berkontribusi terhadap terjadinya bencana banjir maupun kekeringan.
Menganggap bahwa hanya satu faktor yang menyebabkan terjadinya
bencana berarti terlalu menyederhanakan masalah yang ada. Kelemahan
dalam pengelolaan DAS yang umum diterapkan saat ini adalah memandang
kepentingan fungsi DAS hanya dari sudut pandang hulu - hilir dan cenderung
mengabaikan pentingnya 'zona transmisi' antar hulu - hilir. Sebagai contoh,
perubahan badan sungai dapat berdampak besar bagi perilaku hidrologi
sungai dan perubahan penggunaan lahan pada zona transmisi berdampak
sama besarnya dengan perubahan penggunaan lahan pada bagian hulu DAS
(Gambar 5.10).
Gambar 5.10.
Hubungan antara curah Kar akter istik (r uang Infiltrasi, Saluran
Infiltration, Channels
air
hujan dengan fungsi /waktu) hujan F ungsi
ilter functions
penyaring
DAS di daerah hulu dan Dibandingkan denga hutan:
pemangku kepentingan total debit
Penggunaan lahan di
di daerah hilir Qmax/Qmin Upland land use
dataran tinggi
dipengaruhi oleh Aliran dasar ~
perubahan 'zona Kualitas Dibandingkan dengan aliran sungai alami:
transmisi', sebagai Total debit (ekstraksi)
contoh pemanfaatan Transmission zone Qmax/Qmin (penyangga hilang)
air (misalnya oleh land use (esp. riparian) Aliran dasar (ekstraksi)
irigasi) dapat Kualitas (polusi, penyaring hilang)
mengubah total debit Air yang dimafaatkan,
Water use , Buffering Alir an sungai (total
penyangga
air dan perubahan F ilter penyaring
fungsi functions debit,Qmax/Qmin,
pada vegetasi di kualitas)
bantaran sungai dapat
mempengaruhi Para pemangku kepentingan di hulir: irigasi, PLTA, rumah tangga, industri
karakteristik aliran pemakai air, peruhanan di sepanjang sungai, perikanan, terumbu karang
dan kualitas air.
91
monitoring air di daerah aliran sungai
92
PUSTAKA
96
monitoring air di daerah aliran sungai
EPHEMEROPTERA
Potamanthidae
Baetidae
Heptageniidae
Metretopodidae
Caneidae
Leptophlebiidae
Ephemeridae
Isonychiidae
Baetiscidae
Siphlonuridae
Ephemerillidae
CRUSTACEA
Hirudinea
Sumber: www.lakecountyohio.org/
soil/monitoring_inform...
Gammaridae
Asellidae
Sumber: www.forskning.no/
.../1163760359.2/artikkel_print Sumber: nathistoc.bio.uci.edu/.../
water%20slater.htm
97
monitoring air di daerah aliran sungai
COLEOPTERA
Elmidae Haliplidae Dytiscidae
Hydroptilidae Dryophilidae
MEGALOPTERA LEPIDOPTERA
Corydalidae Sialidae Pyralidae
98
monitoring air di daerah aliran sungai
DIPTERA
Athericidae Chaoboridae Dolochopodidae
Tipulidae
Ceratopogonidae
Chironomidae
Empididae Simuliidae
Psychodidae
Tabanidae
Ephydridae
99
monitoring air di daerah aliran sungai
TRICHOPTERA
Brachycentridae Molanidae Odontoceridae
Rhyacophilidae
Glossosmatidae Lepidostomatidae
Polycentropodidae
100
monitoring air di daerah aliran sungai
PLECOPTERA
Capniidae Perliodidae Taeniopterygidae
Chloroperlidae
Nemouridae
Pteronarcyidae
Perlidae
Leuctridae
ODONATA
Aeshnidae Coenagrionidae Cordulegastridae
Libellulidae
Calopterygidae
Lestidae
Gomphidae
101
monitoring air di daerah aliran sungai
PLECOPTERA
Ancylidae Physidae Lymnaeidae Planorbidae
HEMIPTERA
Corixidae Gerridae Hydrometridae Aphelocheiridae
102
monitoring air di daerah aliran sungai
103
monitoring air di daerah aliran sungai
Keterangan:
0-3: toleransi rendah (sangat peka terhadap perubahan kondisi lingkungan)
4-6: toleransi sedang
7-10: toleransi tinggi (tahan terhadap perubahan kondisi lingkungan)
104
MONITORING AIR
DI DAERAH ALIRAN SUNGAI