Anda di halaman 1dari 13

TERAPI FARMAKOLOGI HIPERTENSI

PADA PELAYANAN KESEHATAN PRIMER

Resqi Anugrah S, S.Ked


Fakultas Kedokteran, Universitas Muslim Indonesia

I. Pendahuluan

Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah sistolik

lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua kali

pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat/tenang.

Peningkatan tekanan darah yang berlangsung dalam jangka waktu lama (persisten)

dapat menimbulkan kerusakan pada ginjal (gagal ginjal), jantung (penyakit jantung

koroner) dan otak (menyebabkan stroke) bila tidak dideteksi secara dini dan mendapat

pengobatan yang memadai. Banyak pasien hipertensi dengan tekanan darah tidak

terkontrol dan jumlahnya terus meningkat. Oleh karena itu, partisipasi semua pihak,

baik dokter dari berbagai bidang peminatan hipertensi, pemerintah, swasta maupun

masyarakat diperlukan agar hipertensi dapat dikendalikan.1

Hipertensi merupakan masalah kesehatan di dunia karena menjadi faktor risiko

utama dari penyakit kardiovaskular dan stroke. Di dunia, hipertensi diperkirakan

menyebabkan 7,5 juta kematian atau sekitar 12,8% dari total kematian. Hal ini

menyumbang 57 juta dari disability adjusted life years (DALY). Sekitar 25% orang

dewasa di Amerika Serikat menderita penyakit hipertensi pada tahun 2011-2012. Tidak

ada perbedaan prevalensi antara laki-laki dan wanita tetapi prevalensi terus meningkat

berdasarkan usia: 5% usia 20-39 tahun, 26% usia 40-59 tahun, dan 59,6% untuk usia 60

tahun ke atas.2

Dengan mengacu kepada Riskesdas 2013 dimana dilaporkan bahwa rerata 25,8%

penduduk Indonesia menderita hipertensi dan memperhatikan data BPS (Badan Pusat
Statistik) bahwa jumlah penduduk Indonesia tahun 2015 sudah mencapai 254,9 juta

orang, maka jumlah penderita hipertensi di Indonesia diperkirakan 65.764.200 orang.

Ini kurang lebih sama dengan seluruh penduduk Thailand (sekitar 65 juta orang)

sekiranya semuanya menderita hipertensi. Berdasarkan data statistik 90-95%

diantaranya adalah hipertensi esensial yang pengobatannya harus diselesaikan di

pelayanan primer.3

Berdasarkan data di atas, pemerintah telah menjadikan pengobatan hipertensi

merupakan upaya nasional dalam bentuk PROLANIS (Program Pengelolaan Penyakit

Kronis). PROLANIS adalah suatu sistem pelayanan kesehatan dan pendekatan proaktif

yang dilaksanakan secara terintegrasi yang melibatkan peserta, fasilitas kesehatan, dan

BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan dalam rangka pemeliharaan

kesehatan bagi peserta BPJS Kesehatan yang menderita penyakit kronis untuk mencapai

kualitas hidup yang optimal dengan biaya pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien.

Program tersebut memadukan sistem pelayanan kesehatan dan komunikasi kepada

populasi yang memiliki kondisi dimana kemandirian diri merupakan hal utama.4

Pengobatan hipertensi esensial adalah salah satu penyakit di antaranya sehingga

untuk tatalaksana hipertensi termasuk obat-obat antihipertensi yang tersedia, harus

memperhatikan hal-hal di bawah ini3 :

a. Hipertensi Esensial (ICD 10 : Essential Primary Hypertension) adalah salah

satu dari 144 daftar penyakit yang harus diselesaikan di Pelayanan Kesehatan

Primer (tidak boleh dirujuk).

b. Kompetensi dokter pelayanan kesehatan primer adalah 4A


c. Hipertensi esensial termasuk PROLANIS, artinya obat dapat diberikan selama

maksimal 30 hari. Jenis obat hipertensi harus sesuai Fornas (Formularium

Nasional/BPJS)

II. Patofisiologi Hipertensi

Gambar 1. Patofisiologi Hipertensi

Tekanan darah dipengaruhi volume sekuncup dan total peripheral resistance (lihat

gambar 1). Apabila terjadi peningkatan salah satu dari variabel tersebut yang tidak

terkompensasi maka dapat menyebabkan timbulnya hipertensi. Tubuh memiliki sistem

yang berfungsi mencegah perubahan tekanan darah secara akut yang disebabkan oleh

gangguan sirkulasi dan mempertahankan stabilitas tekanan darah dalam jangka panjang.

Sistem pengendalian tekanan darah sangat kompleks. Pengendalian dimulai dari sistem

reaksi cepat seperti reflex kardiovaskuler melalui sistem saraf, refleks kemoreseptor,

respon iskemia, susunan saraf pusat yang berasal dari atrium, dan arteri pulmonalis otot

polos. Sedangkan sistem pengendalian reaksi lambat melalui perpindahan cairan antara
sirkulasi kapiler dan rongga intertisial yang dikontrol oleh hormon angiotensin dan

vasopresin. Kemudian dilanjutkan sistem poten dan berlangsung dalam jangka panjang

yang dipertahankan oleh sistem pengaturan jumlah cairan tubuh yang melibatkan

berbagai organ.5

Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari

angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme (ACE). ACE memegang peran

fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen

yang diproduksi di hati. Selanjutnya oleh hormon, renin (diproduksi oleh ginjal) akan

diubah menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I

diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci dalam

menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama.6

Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa

haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk

mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin

yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi

osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan

dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah

meningkat yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah.6

Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron

merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting pada ginjal. Untuk mengatur

volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan

cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan

kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya

akan meningkatkan volume dan tekanan darah.6


III. Klasifikasi Hipertensi

World Health Organization – International Society of Hypertension (WHO – ISH),

European Society of Hipertension, JNC 7 mendefinisikan hipertensi sebagai kondisi

dimana tekanan darah sistolik seseorang di atas atau sama dengan 140/90 mmHg.

Klasifikasi tekanan darah oleh WHO – ISH untuk pasien dewasa (umur ≥ 18 tahun)

dibagi menjadi 8 kategori yang didasarkan pada rerata pengukuran dua tekanan darah

atau lebih pada dua atau lebih kunjungan klinis (lihat tabel 1).7

Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah untuk dewasa umur ≥ 18 tahun menurut WHO – ISH

Klasifikasi Tekanan Darah Tekanan Darah Sistolik Tekanan Darah Diastolik


(mmHg) (mmHg)
Optimal < 120 < 80
Normal < 130 < 85
Prehipertensi 130 – 139 85 – 89
Hipertensi Stage 1 (ringan) 140 – 159 90 – 99
Hipertensi Stage 2 (sedang) 160 – 179 100 – 109
Hipertensi Stage 3 (berat) >180 >110
ISH (Stage 1) 140 – 159 < 90
ISH (Stage 2) >160 < 90

IV. Tata Laksana Hipertensi pada Pelayanan Kesehatan Primer

A. Obat Antihipertensi yang Tersedia di Fasilitas Kesehatan Primer

Untuk pelayanan kesehatan primer, tersedia obat – obat antihipertensi

(generik) yang dapat diberikan selama maksimal 30 hari untuk pasien – pasien

pesera BPJS (lihat tabel 2).3

Tabel 2. Obat Antihipertensi yang Tersedia di Pelayanan Kesehatan Primer


Golongan Obat Nama Obat Efek Samping
Diuretik Chlorthalidone Sering buang air kecil,

Hydrochlorthiazide kekurangan natrium, encok

Indamide
Beta Blockers Metoprolol Fatigue, depresi

Atenolol

Bisoprolol
Alpha Blockers Prazocin Tekanan darah rendah, pusing

Doxazocin
Alpha Agonists Clonidine Hipertensi makin tinggi jika

Methyl Dopa salah dosis, mulut kering,

kantuk
Calcium Channel Amlodipine Kaki bengkak

Blockers Diltiazem
ACE inhibitors Captopril Batuk kering, meningkatkan

Lisinopril kalium darah, bibir dan lidah

Perindopril bengkak (reaksi serius)

Ramipril

Verapamil
Angiotensin Receptor Telmisartan Meningkatkan kalium dalam

Blockers Irbesartan darah

Candesartan

Olmisartan

Valsartan
Vasodilators Minoxidil Pembengkakan kaki

Hydralazine
B. Target Tekanan Darah dan Algoritma Pemilihan Obat Antihipertensi3

Gambar 2. Target Tekanan Darah dan Algoritma Pemilihan Obat Antihipertensi

C. Pemilihan Kombinasi Obat Anti Hipertensi

Kebanyakan pasien dengan hipertensi memerlukan dua atau lebih obat

antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah yang diinginkan.

Penambahan obat kedua dari kelas yang berbeda dimulai apabila pemakaian

obat tunggal dengan dosis lazim gagal mencapai target tekanan darah. Atau

apabila tekanan darah melebihi 20/10 mmHg di atas target, dapat

dipertimbangkan untuk memulai terapi dengan dua obat, baik sejak awal

maupun ditambahkan kemudian.3

Ada 6 alasan mengapa pengobatan kombinasi pada hipertensi dianjurkan,

yaitu3 :

a. Mempunyai efek aditif

b. Mempunyai efek sinergisme


c. Mempunyai sifat saling mengisi

d. Penurunan efek samping masing – masing obat

e. Mempunyai cara kerja yang saling mengisi pada organ target tertentu

f. Adanya “fixed dose combination” akan meningkatan kepatuhan pasien

(adherence)

Pada gambar di bawah ini adalah kombinasi obat antihipertensi, dikutip

dari Guidelines ESH/ESC tahun 2013, disesuaikan dengan obat yang tersedia

di pelayanan kesehatan primer. Garis lurus (hijau) adalah kombinasi yang

dianjurkan. Garis putus – putus adalah pilihan kombinasi alternatif, sedangkan

garis lurus (merah) adalah obat yang sebaiknya tidak dikombinasi (lihat

gambar 3).3

Gambar 3. Pemilihan Kombinasi Obat Anti Hipertensi

Berdasarkan gambar diatas tiazid diuretic efektif dikombinasikan dengan

ARB, Ca antagonis atau ACEI. ARB efektif dikombinasi dengan tiazid, Ca

antagonis dan tidak direkomendasikan dikombinasikan dengan ACEI.


Kemudian Ca antagonis efektif dikombinasikan dengan ARB, tiazid diuretic

atau ACEI. ACEI efektif dikombinasikan dengan tiazid diuretic, Ca antagonis

dan tidak direkomendasikan di kombinasikan dengan ARB.8

Obat golongan Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) bekerja

menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga bekerja

dengan menghambat aktivitas saraf simpatis dengan menurunkan pelepasan

noradrenalin, menghambat pelepasan endotelin, meningkatkan produksi

substansi vasodilatasi seperti NO, bradikinin, prostaglandin dan menurunkan

retensi sodium dengan menghambat produksi aldosteron. Efek samping yang

mungkin terjadi adalah batuk batuk, skin rash, hiperkalemia. Hepatotoksik,

glikosuria dan proteinuria merupakan efek samping yang jarang. Contoh

golongan ACEI adalah captopril, enlapril dan lisinopril.9

Golongan obat Angiotensin Receptor Blocker (ARB) menyebabkan

vasodilatasi, peningkatan ekskresi Na+ dan cairan (mengurangi volume

plasma), menurunkan hipertrofi vaskular sehingga dapat menurunkan tekanan

darah. Efek samping yang dapat muncul meliputi pusing, sakit kepala, diare,

hiperkalemia, rash, batuk-batuk (lebih kurang dibanding ACE-inhibitor),

abnormal taste sensation (metallic taste). Contoh golongan ARB adalah

candesartan, losartan dan valsartan.9

Golongan obat beta bloker bekerja dengan mengurangi isi sekuncup

jantung, selain itu juga menurunkan aliran simpatik dari SSP dan menghambat

pelepasan rennin dari ginjal sehingga mengurangi sekresi aldosteron. Efek

samping meliputi kelelahan, insomnia, halusinasi, menurunkan libido dan


menyebabkan impotensi. Contoh golongan beta bloker adalah atenolol dan

metoprolol.9

Golongan obat calcium canal bloker (CCB) memiliki efek vasodilatasi,

memperlambat laju jantung dan menurunkan kontraktilitas miokard sehingga

menurunkan tekanan darah. Efek samping yang mungkin timbul adalah pusing,

bradikardi, flushing, sakit kepala, peningkatan SGOP dan SGPT, dan gatal

gatal juga pernah dilaporkan. Contoh golongan CCB adalah nifedipine,

amlodipine dan diltiazem.9

Golongan obat Thiazid diuretic bekerja dengan meningkatkan ekskresi air

dan Na+ melalui ginjal yang menyebabkan berkurangnya preload dan

menurunkan cardiac output. Selain itu, berkurangnya konsentrasi Na+ dalam

darah menyebabkan sensitivitas adrenoreseptor–alfa terhadap katekolamin

menurun, sehingga terjadi vasodilatasi atau resistensi perifer menurun. Efek

samping yang mungkin timbul meliputi peningkatan asam urat, gula darah,

gangguan profil lipid dan hiponatremia. Contoh golongan Thiazid diuretic

adalah hidrochlortiazid dan indapamide.9

D. Program Penyakit Kronis (PROLANIS)

Prolanis dapat diikuti oleh semua anggota BPJS di pelayanan kesehatan

primer bagi penyakit DM dan hipertensi dengan persyaratan sebagai berikut3 :

a. Peserta baru terdaftar

b. Peserta tidak hadir di dokter praktik perorangan / klinik / puskesmas 3 bulan

berturut – turut

c. Peserta dengan GDP/GDPP di bawah standar 3 bulan berturut – turut

(PPDM)
d. Peserta dengan tekanan darah tidak terkontrol 3 bulan berturut – turut

(PPHT)

e. Peserta pasca opname

Peserta PROLANIS terlebih dahulu dirujuk ke layanan kesehatan sekunder.

Rujukan dilakukan bilamana terapi yang diberikan di pelayanan primer belum

dapat mencapai sasaran pengobatan yang diinginkan atau dijumpai komplikasi

penyakit lainnya akibat penyakit hipertensi. Hipertensi sekunder atau hipertensi

yang berhubungan dengan penyakit ginjal kronis (PGK) juga dapat segera

dirujuk ke layanan kesehatan sekunder. Peserta PROLANIS adalah peserta

BPJS yang dinyatakan telah terdiagnosis DM tipe 2 dan atau hipertensi oleh

dokter spesialis di layanan kesehatan tingkat lanjuran. Penderita akan dirujuk

balik ke layanan kesehatan primer dengan skema pengobatan dan obat bisa

diberikan maksimal 30 hari.

V. Kesimpulan

Hipertensi atau tekanan darah tinggi diderita oleh hampir semua golongan

masyarakat di seluruh dunia. Batasan hipertensi ditetapkan dan dikenal dengan

ketetapan JNC VII (The Seventh Report of The Joint National Committee on

Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of Hight Blood Pressure). Menurut

criteria JNC VII, pasien dengan hipertensi dibagi menjadi normal, pre hipertensi,

hipertensi stage 1, dan hipertensi stage 2.

Menurut European Society of Hypertension 2013, kombinasi obat hipertensi yang

dianjurkan meliputi kombinasi tiazid diuretic efektif dengan ARB, Ca antagonis atau

ACEI. ARB efektif dikombinasi dengan tiazid, Ca antagonis dan tidak

direkomendasikan di kombinasikan dengan ACEI. Kemudian Ca antagonis efektif


dikombinasikan dengan ARB, tiazid diuretic atau ACEI. ACEI efektif dikombinasikan

dengan tiazid diuretic, Ca antagonis dan tidak direkomendasikan di kombinasikan

dengan ARB.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Panduan Praktik Klinis Bagi


Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia; 2014

2. Nwankwo T, Yoon SS, Burt V, Gu Q. Hypertension among adults in the United


States: National Health and Nutrition Examination Survey 2011-2012. NCHS
Data Brief. 2013. 133:1-8.

3. Roesli, Rully MA. Tatalaksana Hipertensi: Terapi Farmakologis (Untuk


Pelayanan Kesehatan Primer). Dalam Buku Ajar Hipertensi. Perhimpunan
Dokter Hipertensi Indonesia. Jakarta : 2017. 141-145

4. PROLANIS (Program Pengelolaan Penyakit Kronis). Panduan Praktis. BPJS


Kesehatan. 2014

5. Kaplan M. Norman. Measurenment of Blood Pressure and Primary


Hypertension: Pathogenesis in Clinical Hypertension: Seventh Edition.
Baltimore, Maryland USA: Williams & Wilkins; 1998. p: 28-46

6. Mohani, Chandra Irwanadi. Hipertensi Primer. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi Keenam Jilid II. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia. Jakarta : 2014. p: 2285 – 2286

7. Chobaniam AV et al. Seventh Report of the Joint National Committee on


Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure.
JAMA. 2003. 289:2560-72

8. Mancia et al. 2013 ESC/ESH guideline for the management of arterial


hypertension. Journal of Hypertension. 2013. 31: 281-357.

9. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J (eds.)
Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edisi ke-18. New York: Mc Graw
Hill; 2011. Pp: 1325 – 9

Anda mungkin juga menyukai