ETIOLOGI
Faktor yang menjadi penyebab tingginya kasus Xeroftalmia di Indonesia adalah:
a. Konsumsi makanan yang tidak mengandung cukup vitamin A atau pro-vitamin A
untuk jangka waktu yang lama.
b. Bayi tidak diberikan ASI Eksklusif
c. Menu tidak seimbang (kurang mengandung lemak, protein, seng/Zn atau zat gizi
lainnya) yang diperlukan untuk penyerapan vitamin A dan penggunaan vitamin A
dalam tubuh
d. Adanya gangguan penyerapan vitamin A atau pro-vitamin A seperti pada penyakit-
penyakit antara lain penyakit pancreas, diare kronik, KEP dan lain-lain sehingga
kebutuhan vitamin A meningkat.
e. Adanya kerusakan hati, seperti pada kwashiorkor dan hepatitis kronik,
menyebabkan gangguan pembentukan RBP (Retinol Binding Protein) dan pre-
albumin yang penting untuk penyerapan vitamin A.
f. Tingginya angka infeksi pada anak (gastroenteritis/diare)
PATOFISIOLOGI
Terjadinya defisiensi vitamin A berkaitan dengan berbagai faktor dalam hubungan yang
komplek seperti halnya dengan masalah KKP. Makanan yang rendah dalam vitamin A
biasanya juga rendah dalam protein, lemak dan hubungannya antar hal-hal ini
merupakan faktor penting dalam terjadinya defisiensi vitamin A.
Pigmen ungu yang terdapat pada sel basilus disebut rodopsin, yaitu suatu senyawa
protein dan vitamin A. Apabila terkena sinar, misalnya sinar matahari, maka rodopsin
akan terurai menjadi protein dan vitamin A. Pembentukan kembali pigmen terjadi dalam
keadaan gelap. Untuk pembentukan kembali memerlukan waktu yang disebut adaptasi
gelap (disebut juga adaptasi rodopsin). Pada waktu adaptasi, mata sulit untuk melihat.
Pigmen lembayung dari sel konus merupakan senyawa iodopsin yang merupakan
gabungan antara retinin dan opsin. Ada tiga macam sel konus, yaitu sel yang peka
terhadap warna merah, hijau, dan biru. Dengan ketiga macam sel konus tersebut mata
dapat menangkap spektrum warna. Kerusakan salah satu sel konus akan menyebabkan
buta warna.
Perubahan dari rhodopsin ke retinene terjadi pada proses penglihatan: Disini mungkin
rhodopsin hanya salah satu dari struktur protein yang akan menjadi stabil setelah
dikombinasi dengan vitamin A.
Efek lain dari vitamin A pada penglihatan yang berpengaruh secara tidak langsung ialah
pada epitel kornea dan konjungtiva. Pada keadaan defisiensi, epitel menjadi kering dan
terjadi keratinisasi seperti tampak pada gambaran Xerophthalmia.
Xeroftalmia merupakan mata kering yang terjadi pada selaput lendir (konjungtiva) dan
kornea (selaput bening) mata. Xeroftalmia yang tidak segera diobati dapat menyebabkan
kebutaan. Xeroftalmia terjadi akibat kurangnya konsumsi vitamin A pada bayi, anak-anak,
ibu hamil, dan menyusui.
Patogenesis
MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis KVA pada mata akan timbul bila tubuh mengalami KVA yang tela
hberlangsung lama. Gejala tersebut akan lebih cepat timbul bila anak menderita penyakit
campak, diare, ISPA dan penyakit infeksi lainnya.
Tanda-tanda dan gejala klinis KVA pada mata menurut klasifikasi WHO/USAID
UNICEF/HKI/ IVACG, 1996 sebagai berikut :
d. Xerosis kornea = X2
Tanda-tanda :
· Kekeringan pada konjungtiva berlanjut sampai kornea.
· Kornea tampak suram dan kering dengan permukaan tampak kasar.
· Keadaan umum anak biasanya buruk (gizi buruk dan menderita, penyakit infeksi dan
sistemik lain)
b. Faktor Keluarga
a. Pendidikan
Pendidikan orang tua yang rendah akan berisiko lebih tinggi kemungkinan anaknya
menderita KVA karena pendidikan yang rendah biasanya disertai dengan keadaan
sosial ekonomi dan pengetahuan gizi yang kurang.
b. Penghasilan
Penghasilan keluarga yang rendah akan lebih berisiko mengalami KVA Walaupun
demikian besarnya penghasilan keluarga tidak menjamin anaknya tidak mengalami
KVA, karena harus diimbangi dengan pengetahuan gizi yang cukup sehingga dapat
memberikan makanan kaya vitamin A.
c. Jumlah anak dalam keluarga
Semakin banyak anak semakin kurang perhatian orang tua dalam mengasuh
anaknya.
d. Pola asuh anak.
Kurangnya perhatian keluarga terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak
seperti pasangan suami istri (pasutri) yang bekerja dan perceraian.
c. Faktor individu
a) Anak dengan Berat Badan Lahir Rendah (BB < 2,5 kg).
b) Anak yang tidak mendapat ASI Eksklusif dan tidak diberi ASI sampai usia 2
tahun.
c) Anak yang tidak mendapat MP-ASI yang cukup baik kualitas maupun kuantitas
d) Anak kurang gizi atau dibawah garis merah (BGM) dalam KMS.
e) Anak yang menderita penyakit infeksi (campak, diare, Tuberkulosis (TBC),
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), pneumonia dan kecacingan.
f) Frekuensi kunjungan ke posyandu, puskesmas/pelayanan kesehatan (untuk
mendapatkan kapsul vitamin A dan imunisasi).
PENATALAKSANAAN
a. Pencegahan Xeroftalmia
Prinsip dasar untuk mencegah xeroftalmia adalah memenuhi kebutuhan vitamin A
yang cukup untuk tubuh serta mencegah penyakit infeksi terutama diare dan campak.
Selain itu perlu memperhatikan kesehatan secara umum.
Berikut beberapa langkah untuk mencegah Xeroftalmia:
1. Mengenal tanda-tanda kelainan secara dini
2. Bagi yang memiliki bayi dan anak disarankan untuk mengkonsumsi vitamin A
dosis tinggi secara periodik, yang didapatkan umumnya pada Posyandu
terdekat.
3. Segera mengobati penyakit penyebab atau penyerta
4. Meningkatkan status gizi, mengobati gizi buruk
5. Memberikan ASI Eksklusif
6. Ibu nifas mengkonsumsi vitamin A (<30 hari) 200.000 SI
7. Melakukan Imunisasi dasar pada setiap bayi
b. Pengobatan
a. Pengobatan xeroftalmia adalah sebagai berikut;
b. Berikan 200.000 IU Vitamin A secara oral atau 100.000 IU Vitamin A injeksi.
Hari berikutnya, berikan 200.000 IU Vitamin A secara oral
c. 1 – 2 minggu berikutnya, berikan 200.000 IU Vitamin A secara oral
d. Obati penyakit infeksi yang menyertai
e. Obati kelainan mata, bila terjadi
f. Perbaiki status gizi
PEMERIKSAAN PENUNJANG
v Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mendukung diagnose kekurangan vitamin
A, bila secara klinis tidak ditemukan tanda-tanda khas KVA, namun hasil pemeriksaan
lain menunjukkan bahwa anak tersebut risiko tinggi untuk menderita KVA.
v Peneriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan serum retinol. Bila ditemukan serum
retinol < 20 ug/dl, berarti anak tersebut menderita KVA sub klinis.
v Pemeriksaan laboratorium lain dapat dilakukan untuk mengetahui penyakit lain yang
dapat memperparah seperti pada :
· pemeriksaan darah malaria
· pemeriksaan darah lengkap
· pemeriksaan fungsi hati
· pemeriksaan radiologi untuk mengetahui apakah ada pneumonia atau TBC
· pemeriksaan tinja untuk mengetahui apakah ada infeksi cacing serta
· pemeriksaan darah yang diperlukan untuk diagnosa penyakit penyerta.