Anda di halaman 1dari 8

1. Takwa, Semudah Itukah?

Kata “takwa” sangat sering kita dengar dalam ceramah-ceramah agama, sebagaimana kalimat ini
mudah dan ringan diucapkan di lisan kita. Akan tetapi, sudahkah hakikat kalimat ini terwujud
dalam diri …

By Abdullah Taslim, Lc., MA. 25 December 2009


22 10622 17

Kata “takwa” sangat sering kita dengar dalam ceramah-ceramah agama, sebagaimana kalimat ini
mudah dan ringan diucapkan di lisan kita. Akan tetapi, sudahkah hakikat kalimat ini terwujud
dalam diri kita secara nyata? Sudahkah misalnya ciri-ciri orang yang bertakwa yang disebutkan
dalam ayat berikut ini terealisasi dalam diri kita?

َ ‫شةً أَ ْو‬
‫ظلَ ُموا‬ ِ َ‫ َوا َّلذِينَ ِإذَا فَ َعلُوا ف‬، َ‫َّللاُ ي ُِحبُّ ا ْل ُمحْ ِسنِين‬
َ ‫اح‬ َّ ‫اس َو‬ِ ‫ظ َو ْال َعافِينَ َع ِن ال َّن‬
َ ‫َاظ ِمينَ ْال َغ ْي‬
ِ ‫اء َوالض ََّّرا ِء َو ْالك‬
ِ ‫الَّذِينَ يُ ْن ِفقُونَ فِي الس ََّّر‬
َ ُ َ
َ‫ُص ُّروا َعلى َما فَعَلوا َو ُه ْم يَ ْعل ُمون‬ َ َّ
َّ ‫وب إَِّل‬
ِ ‫َّللاُ َول ْم ي‬ ُّ ْ ُ ْ
َ ُ‫َّللاَ فَا ْستَغفَ ُروا ِلذنُو ِب ِه ْم َو َم ْن يَغ ِف ُر الذن‬ َ
َّ ‫س ُه ْم ذك َُروا‬
َ ‫أنف‬ُ ْ َ

“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit, dan
orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan
perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun
terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah.
Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengatahui.” (Qs. Ali
‘Imran: 134-135)

Maka mempraktekkan kalimat ini tidak semudah mengucapkannya, khususnya kalau kita
mengetahui bahwa takwa yang sebenarnya adalah amalan hati dan bukan sekedar apa yang
tampak pada anggota badan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Takwa itu terletak di sini”, sambil
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk ke dada/hati beliau tiga kali[1].

Di sinilah letak sulitnya merealisasikan takwa yang hakiki, kecuali bagi orang-orang yang
dimudahkan oleh Allah Ta’ala, karena kalau anggota badan mudah kita kuasai dan tampakkan
amal baik padanya, maka tidak demikian keadaan hati, sebab hati manusia tidak ada seorangpun
yang mampu menguasainya kecuali Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

‫َّللاَ َي ُحو ُل َبيْنَ ْال َم ْر ِء َوقَ ْل ِب ِه‬


َّ ‫َوا ْعلَ ُموا أَ َّن‬

“Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi (menghalangi) antara manusia dan
hatinya.” (Qs. al-Anfaal: 24)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya semua hati manusia
berada di antara dua jari dari jari-jari ar-Rahman (Allah Ta’ala), seperti hati yang satu, yang
Dia akan membolak-balikkan hati tersebut sesuai dengan kehendak-Nya”, kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa: “Wahai Allah Yang membolak-balikkan hati
(manusia), palingkanlah hati kami untuk (selalu) taat kepad-Mu.” [2]

Takwa yang Hakiki

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Ketahuilah, sesungguhnya seorang hamba hanyalah
mampu melalui tahapan-tahapan perjalanan menuju (ridha) Allah dengan hati dan keinginannya
yang kuat, bukan (cuma sekedar) dengan (perbuatan) anggota badannya. Dan takwa yang hakiki
adalah takwa (dalam) hati dan bukan takwa (pada) anggota badan (saja). Allah Ta’ala berfirman,

ِ ‫َّللاِ فَإِنَّ َها ِم ْن تَ ْق َوى ْالقُلُو‬


‫ب‬ َ ‫ذَلِكَ َو َم ْن يُعَ ِظ ْم‬
َّ ‫شعَائِ َر‬

“Demikianlah (perintah Allah), dan barangsiapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar (perintah


dan larangan) Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan (dalam) hati.” (Qs. al-Hajj:
32)

(Dalam ayat lain) Allah berfirman,

‫َّللاَ لُ ُحو ُم َها َوَّل ِد َماؤُ هَا َو َل ِك ْن يَنَالُهُ الت َّ ْق َوى ِم ْن ُك ْم‬
َّ ‫لَ ْن يَنَا َل‬

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah,
tetapi ketakwan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (Qs. al-Hajj: 32)

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ ويشير إلى صدره ثالث مرات‬.‫التقوى ههنا‬.

“Takwa itu (terletak) di sini”, dan beliau menunjuk ke dada (hati) beliau tiga kali[3], …[4]

Imam an-Nawawi ketika menjelaskan makna hadits di atas, beliau berkata, “Artinya:
Sesungguhnya amalan perbuatan yang tampak (pada anggota badan) tidaklah (mesti)
menunjukkan adanya takwa (yang hakiki pada diri seseorang). Akan tetapi, takwa (yang
sebenarnya) terwujud pada apa yang terdapat dalam hati (manusia), berupa pengagungan,
ketakutan dan (selalu) merasakan pengawasan Allah Ta’ala.”[5]

Makna takwa yang hakiki di atas sangatlah jelas, karena amal perbuatan yang tampak pada
anggota badan manusia tidak mesti ditujukan untuk mencari ridha Allah Ta’ala semata. Lihatlah
misalnya orang-orang munafik di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka
menampakkan Islam secara lahir, dengan tujuan untuk melindungi diri mereka dari kaum
muslimin, padahal dalam hati mereka tersimpan kekafiran dan kebencian yang besar terhadap
agama Islam. Allah Ta’ala berfirman:

َّ َ‫اس َوَّل َيذْ ُك ُرون‬


ً‫َّللاَ ِإ ََّّل قَ ِليال‬ َ َّ‫سالَى ي َُراؤُونَ الن‬ َّ ‫ع ُه ْم َو ِإذَا قَا ُموا إِلَى ال‬
َ ‫صال ِة قَا ُموا ُك‬ َّ َ‫ِإ َّن ْال ُمنَا ِفقِينَ يُخَا ِدعُون‬
ُ ‫َّللاَ َوه َُو خَا ِد‬
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah membalas tipu daya mereka,
dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas-malasan, mereka
bermaksud riya’/pamer (dengan shalat) di hadapan manusia, dan tidaklah mereka menyebut
nama Allah kecuali sedikit sekali.” (Qs. An-Nisaa’: 142)

Demikianlah keadaan manusia dalam mengamalkan agama Islam secara lahir, tidak semua
bertujuan untuk mencari ridha-Nya. Bahkan di antara mereka ada yang mengamalkan Islam
hanya ketika dirasakan ada manfaat pribadi bagi dirinya, dan ketika dirasakan tidak ada
manfaatnya maka dia langsung berpaling dari agama Islam.

Mereka inilah yang dimaksud dalam firman Allah Ta’ala,

َ َ‫صا َبتْهُ ِفتْنَةٌ ا ْنقَل‬


‫ب َعلَى َوجْ ِه ِه َخس َِر الدُّ ْن َيا َو ْاْل ِخ َرةَ ذَلِكَ ه َُو‬ ْ ‫صا َبهُ َخي ٌْر‬
َ َ‫اط َمأ َ َّن ِب ِه َو ِإ ْن أ‬ َ َ ‫َّللاَ َعلَى َح ْرفٍ فَإ ِ ْن أ‬ ِ َّ‫َو ِمنَ الن‬
َّ ُ ‫اس َم ْن َي ْعبُد‬
ْ
ُ‫ال ُخس َْرانُ ال ُمبِين‬ ْ

“Dan di antara manusia ada orang yang beribadah kepada Allah dengan berada di tepi (untuk
memuaskan kepentingan pribadi), jika mendapatkan kebaikan (untuk dirinya), dia akan senang,
dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana/hilangnya nikmat, berbaliklah ia ke belakang (berpaling
dari agama). Rugilah dia di dunia dan akhirat, yang demikian itu adalah kerugian yang
nyata.” (Qs. al-Hajj: 11)

Artinya: Dia masuk ke dalam agama Islam pada tepinya (tidak sepenuhnya), kalau dia
mendapatkan apa yang diinginkannya maka dia akan bertahan, tapi kalau tidak didapatkannya
maka dia akan berpaling[6].

Beberapa Contoh Pengamalan Takwa yang Hakiki

Beberapa contoh berikut ini merupakan pengamalan takwa yang hakiki, karena dilakukan
semata-semata karena mencari ridha Allah dan bukan untuk memenuhi kepentingan pribadi dan
hawa nafsu.

1- Firman Allah Ta’ala,

ِ َّ‫ظ َو ْال َعافِينَ َع ِن الن‬


‫اس‬ َ ‫َاظ ِمينَ ْالغَ ْي‬
ِ ‫اء َوالض ََّّرا ِء َو ْالك‬
ِ ‫الَّذِينَ يُ ْن ِفقُونَ ِفي الس ََّّر‬

“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit, dan
orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain.” (Qs. Ali
‘Imran: 134)

Ketiga perbuatan ini, berinfak/bersedekah dalam keadaan lapang maupun sempit, menahan
kemarahan di saat kita mampu melampiaskannya dan memaafkan kesalahan orang yang berbuat
salah kepada kita, adalah perbuatan yang bersumber dari ketakwaan hati dan bersih dari
kepentingan pribadi serta memperturutkan hawa nafsu.

2- Firman Allah Ta’ala,

‫شنَآنُ قَ ْو ٍم على أََّلَّ ت َ ْع ِدلُ ْوا اِ ْع ِدلُ ْوا ه َُو أَ ْق َربُ ِللتَّ ْق َوى‬
َ ‫َوَّل يَجْ ِر َمنَّ ُك ْم‬
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (Qs. al-Maaidah:
8)

Imam Ibnul Qayyim membawakan ucapan seorang ulama salaf yang menafsirkan sikap adil
dalam ayat ini, beliau berkata, “Orang yang adil adalah orang yang ketika dia marah maka
kemarahannya tidak menjerumuskannya ke dalam kesalahan, dan ketika dia senang maka
kesenangannya tidak membuat dia menyimpang dari kebenaran.”[7]

Kebanyakan orang bisa bersikap baik dan adil kepada orang lain ketika dia sedang senang dan
ridha kepada orang tersebut, karena ini sesuai dengan kemauan hawa nafsunya. Tapi sikap baik
dan adil meskipun dalam keadaan marah/benci kepada orang lain, hanya mampu dilakukan oleh
orang yang memiliki ketakwaan dalam hatinya.

3- Doa yang diucapkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits yang
shahih:

‫اللهم وأسألك خشيتك في الغيب والشهادة وأسألك كلمة الحق في الرضا والغضب وأسألك القصد في الفقر والغنى‬

“Ya Allah, aku minta kepada-Mu rasa takut kepada-Mu di waktu sendirian maupun di hadapan
orang lain, dan aku minta kepada-Mu ucapan yang benar dalam keadaan senang maupun
marah, dan aku minta kepada-Mu kesederhanaan di waktu miskin maupun kaya.”[8]

Takut kepada Allah di waktu sendirian, ucapan yang benar dalam keadaan marah dan sikap
sederhana di waktu kaya hanya bisa dilakukan oleh orang yang memiliki takwa dalam hatinya.

4- Ucapan Yahya bin Mu’adz ar-Raazi[9], “Cinta karena Allah yang hakiki adalah jika
kecintaan itu tidak bertambah karena kebaikan (dalam masalah pribadi/dunia) dan tidak
berkurang karena keburukan (dalam masalah pribadi/dunia)”[10]

Cinta yang dipengaruhi dengan kebaikan/keburukan yang bersifat duniawai semata bukanlah
cinta yang dilandasi ketakwaan dalam hati.

Kiat untuk Mencapai Takwa yang Hakiki

Berdasarkan keterangan para ulama ahlus sunnah, satu-satu cara untuk mewujudkan ketakwaan
dalam hati, setelah berdoa kepada Allah Ta’ala, adalah dengan melakukan tazkiyatun nufus
(pensucian jiwa/pembersihan hati), karena ketakwaan kepada Allah Ta’ala yang sebenarnya
(ketakwaan dalam hati) tidak akan mungkin dicapai kecuali dengan berusaha mensucikan dan
membersihkan jiwa dari kotoran-kotoran yang menghalangi seorang hamba untuk dekat kepada
Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala Menjelaskan hal ini dalam firman-Nya,

‫َاب َم ْن دَسَّاهَا‬ َ ‫س َّواهَا فَأ َ ْل َه َم َها فُ ُج‬


َ ‫ورهَا َوتَ ْق َواها قَدْ أَ ْفلَ َح َم ْن زَ َّكاهَا َوقَدْ خ‬ َ ‫َونَ ْف ٍس َو َما‬
“Dan (demi) jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada
jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan, Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan
jiwa itu (dengan ketakwaan), dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (dengan
kefasikan).” (Qs. Asy Syams: 7-10)

Demikian juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam doa beliau, “Ya Allah,
anugerahkanlah kepada jiwaku ketakwaannya, dan sucikanlah jiwaku (dengan ketakwaan itu),
Engkau-lah Sebaik-baik Yang Mensucikannya, (dan) Engkau-lah Yang Menjaga serta
Melindunginya.” [11]

Imam Maimun bin Mihran[12] berkata, “Seorang hamba tidak akan mencapai takwa (yang
hakiki) sehingga dia melakukan muhasabatun nafsi (introspeksi terhadap keinginan jiwa untuk
mencapai kesucian jiwa) yang lebih ketat daripada seorang pedagang yang selalu mengawasi
sekutu dagangnya (dalam masalah keuntungan dagang). Oleh karena itu ada yang mengatakan
bahwa jiwa manusia itu ibaratnya seperti sekutu dagang yang suka berkhianat. Kalau Anda tidak
selalu mengawasinya, dia akan pergi membawa hartamu (sebagaimana jiwa akan pergi
membawa agamamu)”[13]

Ketika menerangkan pentingnya pensucian jiwa ini, Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah berkata,
“Orang-orang yang menempuh jalan (untuk mencari keridhaan) Allah, meskipun jalan dan
metode yang mereka tempuh berbeda-beda, (akan tetapi) mereka sepakat (mengatakan) bahwa
nafsu (jiwa) manusia adalah penghalang (utama) bagi hatinya untuk sampai kepada (ridha) Allah
(sehingga) seorang hamba tidak (akan) mencapai (kedekatan) kepada Allah kecuali setelah dia
(berusaha) menentang dan menguasai nafsunya (dengan melakukan tazkiyatun nufus).” [14]

Kemudian, pensucian jiwa yang benar hanyalah dapat dicapai dengan memahami dan
mengamalkan petunjuk Allah dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa
sallam.

Allah Ta’ala menjelaskan salah satu fungsi utama diturunkannya Al Qur-an, yaitu membersihkan
hati dan mensucikan jiwa manusia dari noda dosa dan maksiat yang mengotorinya, dalam
firman-Nya,

ُ‫ار ا ْبتِغَا َء ِح ْليَ ٍة أ َ ْو َمت َاعٍ زَ بَدٌ ِمثْلُه‬ َّ ‫ت أ َ ْو ِديَةٌ بِقَدَ ِرهَا فَاحْ ت َ َم َل ال‬
ِ َّ‫س ْي ُل زَ بَدا ً َرابِيا ً َو ِم َّما يُوقِد ُونَ َعلَ ْي ِه فِي الن‬ ْ َ‫سال‬
َ َ‫اء َما ًء ف‬ َّ ‫أ َ ْنزَ َل ِمنَ ال‬
ِ ‫س َم‬
َ
‫َّللاُ ْاْل ْمثَا َل‬
َّ ُ‫ض َكذَلِكَ يَض ِْرب‬ َ
ِ ‫ث فِي ْاْل ْر‬ ُ ‫اس فَيَ ْم ُك‬ َ
َ َّ‫الزبَد ُ فَيَذْهَبُ ُجفَا ًء َوأ َّما َما يَ ْن َف ُع الن‬ َ
َّ ‫اط َل فَأ َّما‬ ْ ْ َّ ُ‫َكذَلِكَ يَض ِْرب‬
ِ َ‫َّللاُ ال َح َّق َوالب‬

“Allah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut
ukurannya, maka aliran air itu itu membawa buih yang mengambang (di permukaan air). Dan
dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasaan atau alat-alat, ada
(pula) buihnya seperti buih arus itu.Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang
benar dan yang bathil. Adapun buih, akan hilang sebagai sesuatu yang tidak berguna; adapun
yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat
perumpamaan-perumpamaan.” (Qs. Ar Ra’d: 17)

Ketika menafsirkan ayat di atas, Imam Ibnul Qayyim berkata, “(Dalam ayat ini) Allah Ta’ala
mengumpamakan ilmu yang diturunkan-Nya kepada Rasul-Nyashallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan air (hujan), karena keduanya membawa kehidupan dan manfaat bagi manusia
dalam kehidupan mereka di dunia dan akhirat. Kemudian Allah mengumpamakan hati manusia
dengan lembah (sungai, danau dan lain-lain), hati yang lapang (karena bersih dari kotoran) akan
mampu menampung ilmu yang banyak sebagaimana lembah yang luas mampu menampung air
yang banyak, dan hati yang sempit (karena dipenuhi kotoran) hanya mampu menampung ilmu
yang sedikit sebagaimana lembah yang sempit hanya mampu menampung air yang sedikit, Allah
berfirman (yang artinya), “…Maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya (daya
tampungnya).” (Kemudian Allah berfirman yang artinya), “…Maka aliran air itu itu membawa
buih yang mengambang (di permukaan air).” Ini adalah perumpamaan yang Allah sebutkan bagi
ilmu (wahyu dari-Nya) ketika kemanisan ilmu tersebut masuk dan meresap ke dalam hati
manusia, maka ilmu tersebut akan mengeluarkan (membersihkan) dari hati manusia buih
(kotoran) syubhat (kerancuan dalam memahami dan mengamalkan agama) yang merusak
sehingga kotoran tersebut akan mengambang (tidak menetap) di permukaan hati, sebagaimana
aliran air akan mengeluarkan kotoran dari lembah sehingga kotoran tersebut akan mengambang
di permukaan air. Dan Allah Ta’ala mengabarkan bahwa kotoran tersebut mengambang dan
mengapung di atas permukaan air, tidak menetap (dengan kuat) di atas tanah. Demikian pula
(keadaan kotoran) syubhat yang rusak ketika ilmu mengeluarkan (membersihkan)nya (dari hati),
syubhat tersebut akan mengambang dan mengapung di atas permukaan hati, tidak menetap
dalam hati, bahkan (kemudian) akan dibuang dan disingkirkan (dari hati), sehingga (pada
akhirnya) yang menetap pada hati tersebut adalah petunjuk (ilmu) dan agama yang benar (amal
shaleh) yang bermanfaat yang bermanfaat bagi orang tersebut dan orang lain, sebagaimana yang
akan menetap pada lembah adalah air yang jernih dan buih (kotoran) akan tersingkirkan sebagai
sesuatu yang tidak berguna. Tidaklah mampu (memahami) perumpaan-perumpaan dari Allah
kecuali orang-orang yang berilmu.” [15]

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih mempertegas perumpaan di atas dalam
sabda beliau, “Sesungguhnya perumpaan bagi petunjuk dan ilmu yang Allah wahyukan
kepadaku seperti air hujan (yang baik) yang Allah turunkan ke bumi…”[16]

Imam Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Baari membawakan ucapan para ulama dalam
menerangkan makna hadits ini, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammembuat
perumpamaan bagi agama yang beliau bawa (dari Allah) seperti air hujan (yang baik) yang
merata dan turun ketika manusia (sangat) membutuhkannya, seperti itu jugalah keadaan manusia
sebelum diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sebagaimana air hujan
tersebut memberi kehidupan (baru) bagi negeri yang mati (kering dan tandus), demikian pula
ilmu agama akan memberi kehidupan bagi hati yang mati…” [17]

Oleh karena itulah, Imam Ibnul Jauzi di sela-sela sanggahan beliau terhadap sebagian orang-
orang ahli tasawuf yang mengatakan bahwa ilmu tentang syariat Islam tidak diperlukan untuk
mencapai kebersihan hati dan kesucian jiwa, beliau berkata, “Ketahuilah bahwa hati manusia
tidak (mungkin) terus (dalam keadaan) bersih. Akan tetapi (suatu saat mesti) akan bernoda
(karena dosa dan maksiat), maka (pada waktu itu) dibutuhkan pembersih (hati), dan pembersih
hati itu adalah menelaah kitab-kitab ilmu (agama untuk memahami dan mengamalkannya)” [18]

Penutup

Setelah membaca tulisan di atas, jelaslah bagi kita bagaimana pentingnya mengkaji dan
memahami ilmu agama, karena inilah satu-satunya cara untuk meraih kemuliaan tingi dalam
agama, yaitu ketakwaan hati dan kesucian jiwa. Oleh karena itu, sangat wajar kalau kita dapati
para ulama Ahlus Sunnah menggambarkan kebutuhan manusia terhadap ilmu agama melebihi
besarnya kebutuhan mereka terhadap semua kebutuan pokok dalam kehidupan mereka.
Alangkah indahnya ucapan Imam Ahmad bin Hambal, Imam ahlus Sunnah di jamannya, ketika
menggambarkan kebutuhan manusia terhadap ilmu agama ini dalam ucapan beliau yang
terkenal: “Kebutuhan manusia terhadap ilmu (agama) melebihi besarnya kebutuhan mereka
terhadap makan dan minum, karena makan dan minum dibutuhkan sekali atau dua kali dalam
sehari, adapun ilmu (agama) dibutuhkan (sesuai) dengan hitungan nafas manusia (setiap waktu).”
[19]

Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan doa:


Ya Allah, anugerahkanlah kepada jiwa-jiwa kami semua ketakwaannya,
dan sucikanlah jiwa kami (dengan ketakwaan itu),
Engkau-lah Sebaik-baik Yang Mensucikannya,
(dan) Engkau-lah Yang Menjaga serta Melindunginya.

‫ وآخر دعوانا أن الحمد هلل رب العالمين‬،‫وصلى هللا وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين‬

Kota Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, 13 Ramadhan 1430 H

***

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, M.A.


Artikel www.muslim.or.id

Footnote:

[1] HSR Muslim (no. 2564).

[2] HSR Muslim (no. 2654).

[3] HSR Muslim (no. 2564).

[4] Kitab al-Fawa-id (hal. 185).

[5] Kitab Syarh Shahih Muslim (16/121).

[6] Lihat Tafsir Ibnu Katsir (3/281).

[7] Kitab ar-Risalatut Tabuukiyyah (hal. 33).

[8] HR an-Nasa-i (3/54) dan Ahmad (4/264), dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.

[9] Biografi beliau dalam kitab Siyaru A’laamin Nubalaa’ (13/15).

[10] Dinukil oleh Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalaani dalam Fathul Baari (1/62).
[11] HSR Muslim dalam Shahih Muslim (no. 2722).

[12] Beliau adalah Abu Ayyub Al Jazari Al Kuufi, seorang ulama tabi’in yang terpercaya (dalam
meriwayatkan hadits) dan berilmu tinggi, beliau wafat tahun 117 H. Lihat kitab Taqriibut
Tahdziib tulisan Imam Ibnu Hajar (hal. 513).

[13] Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam Ighaatsatul Lahfaan (hal. 147- Mawaaridul
Amaan).

[14] Kitab Ighaatsatul Lahfaan (hal. 132 – Mawaaridul Amaan).

[15] Kitab Miftaahu Daaris Sa’aadah (1/61).

[16] HSR Al Bukhari (no. 79) dan Muslim (no. 2282).

[17] Fathul Baari (1/177).

[18] Kitab Talbiisu Ibliis (hal.398).

[19] Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Miftaahu Daaris Sa’aadah (1/61) dan
(1/81).

Sumber: https://muslim.or.id/1729-takwa-semudah-itukah.html

Anda mungkin juga menyukai