Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

PANCASILA

TENTANG
PANCASILA SEBAGAI SUMBER HUKUM NASIONAL

DI SUSUN OLEH :

KELOMPOK II
1. ERNA YULITA
2. EZAYUSTIKA
3. ELWIZA HANUM
4. HENDRA PERNANDO
5. INDRA GUNAWAN
6. INDRAWATI

DOSEN PEMBIMBING
( AFRINALD RIZHAN, SH. MH )

MAHASISWA SEMESTER I PROGRAM STUDI ADMINISTRASI NEGARA.


UNIVERSITAS ISLAM KUANTAN SINGINGI.
TELUK KUANTAN 2016.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna.Manusia dikaruniai akal
sehingga mampu memahami, mengerti, dan memecahkan persoalan-persoalan yang ada
disekitarnya.Tentu saja kemampuan manusia ini tidak diperoleh begitu saja.Melainkan melalui
pengalaman serta pendidikan, dengan begitu lambat laun manusia mampu mamahami tentang
segala sesuatu yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Namun, manusia tidak pernah merasa puas
dengan apa yang telah didapatnya. Rasa ingin tahu, ingin mengerti yang merupakan kodrat
manusia membuat manusia selalu bertanya-tanya apa ini? Apa itu? Bagaimana ini?Bagaimana
itu?Mengapa begini?Mengapa begitu?Pertanyaan-pertanyaan ini muncul sejak manusia mulai
bisa berbicara dan dapat mengungkapkan isi hatinya.Makin jauh jalan pikirannya maka semakin
banyak pula pertanyaan yang muncul dan tentunya semakin besar pula usaha yang harus
dilakukan. Jika jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut mencapai alasan atau dasar, sebab
atau keterangan yang sedalam-dalamnya, maka puaslah ia dan tidak akan bertanya lagi. Akan
tetapi, jika jawaban itu belum mencapai dasar, maka manusia akan mencari lagi jawaban yang
memuaskannya.
Untuk apa sebenarnya manusia bertanya-tanya dan mencari jawaban dari pertanyaan-
pertanyaan tersebut? Semua itu dilakukan karena manusia ingin mencari kebenaran.Jika ternyata
bahwa pengertiannya dan pengetahuannya itu sesuai dengan hal yang diketahuinya, maka
dikatakan orang bahwa pengetahuannya itu benar.Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan
yang sesuai dengan objeknya. Namun kebenaran itu ternyata tidaklah abadi, artinya sesuatu yang
pada suatu saat dianggap benar di saat yang lain dianggap tidak benar. Ini semua terjadi karena
dinamika manusia yang selalu bergerak dan ingin mendapatkan sesuatu yang baru.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang diatas, dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1. Siapakah manusia itu?
2. Kebenaran seperti apa yang sebenarnya dicari oleh manusia?
3. Bagaimana cara mencari kebenaran itu sendiri?

TUJUAN PENULIS
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen kepada kelompok II dalam mengikuti mata
kuliah Bidang studi pengantar studi Islam.
2. .Untuk mengembangkan pemikiran dan pengetahuan dari anggota kelompok II dalam penulisan
suatu makalah khususnya mata kuliah Pengantar Studi Islam.
3. Untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dari anggota kelompok II dalam
memahamiapa itu tentang Hakikat manusia dalam mencari kebenaran.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hakekat Manusia
Manusia adalah makhluk paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah SWT, karena
manusia manusia disempurnakan oleh nalar intelektual yang tidak dimiliki oleh mahkluk hidup
lainnya.Dengan nalar itulah manusia dapat berfikir, menganalisis, memperkirakan,
menyimpulkan, membandingkan, dan sebagainya.Nalar intelektual ini pula yang membuat
manusia dapat membedakan antara yang baik dan yang jelek, antara yang salah dan yang benar.
Ada kalanya ia mengikuti nalarnya dalam mengambil suatu keputusan dalam hidupnya, yang
tentu saja dengan berbagai pertimbangan yang telah ia pikirkan.
Dalam rumusan ilmu mantiq (logika), kita temukan sebuah rumusan tentang manusia dari
hewan, yaitu al-insan hayawanun nathiq, yang artinya insan itu adalah hewan (bukan hewan)
yang nathiq, yang mengeluarkan pendapat dan berkata-kata dengan mempergunakan
pikirannya.Tegasnya, manusia adalah hewan yang berpikir.
Pada saat-saat tertentu dalam perjalanan hidupnya, manusia mempertanyakan tentang asal-
usul alam semesta dan asal-usul keberadaan dirinya sendiri. Prof. Dr. R. F. Beerling, mantan
Guru Besar Universitas Indonesia mengatakan, “sepanjang zaman telah dicoba orang
menyatakan dengan berbagai macam cara, dimana letak hakikat perbedaan manusia, misalnya
dengan binatang. Bahwa ia pandai tertawa, bahwa ia memiliki perasaan malu, bahwa ia
membedakan antara yang baik dan yang buruk, bahwa ia memiliki kemauan yang bebas.
Semuanya ini adalah sifat-sifat yang mungkin menimbulkan pandangan tentang manusia secara
filsafat yang panjang lebar.Akan tetapi yang tipis sekali ialah bahwa manusia itu makhluk
bertanya.[1]
Ilmu mantiq menyimpulkan “manusia hewan berpikir” dan Beerling menyimpulkan
“manusia adalah hewan bertanya”. Masalahnya bagi kita ialah bagaimana hubungan antara pikir
dan tanya? Apakah ia saling bertentangan? Apakah ia berbeda? Apakah ia sama?

Berkata sebenarnya ialah mengeluarkan pendapat berdasarkan pikiran.Sedang berpikir itu


sendiri hakikatnya adalah bertanya.Berpikir tentang sesuatu berarti bertanya tentang
sesuatu.Bertanya tentang sesuatu artinya mencari jawaban tentang sesuatu yang dipertanyakan.
Mencari jawaban sama juga mencari kebenaran. Jadi pada akhirnya manusia adalah makhluk
pencari kebenaran.

B. Renungan Tentang Kebenaran


Manusia adalah makhluk pencari kebenaran. Hal yang sekarang menjadi pertanyaan ialah
mencari kebenaran tentang apa? Jawaban atas pertanyaan ini dapat dikemukakan bahwa:
kebenaran yang dicari manusia ialah kebenaran tentang sesuatu yang menjadi masalah manusia
atau yang dimasalahkan manusia. Manusia dari waktu ke waktu selalu memiliki masalah yang
ingin dipecahkan atau ingin dicari jawabannya.Apabila kita cermati dengan seksama segala
sesuatu yang dipermasalahkan manusia itu teramat banyak dan kompleks.Oleh karenanya untuk
memudahkan memahami masalah manusia, berikut ini dikemukakan tentang teori kebenaran.
Ada tiga teori kebenaran yaitu sebagai berikut:
1. Teori Korespondensi
Teori korespondensi tentang kebenaran (the correspondence theory of truth) menyatakan
bahwa kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan dengan kenyataan atau dengan kata lain
pernyataan yang sesuai dengan kenyataan, contoh misalnya Indra gunawan adalah mahasiswa
UNIKS Prodi. Administrasi Negara. Pernyataan yang baru saja kita katakan itu sebagai hal yang
benar, karena memang Indra gunawan kenyataannya adalah mahasiswa UNIKS(mahasiswa prodi
Administrasi Negara semester 1.).
2. Teori Konsistensi/koherensi
Teori konsistensi tentang kebenaran (the consistence theory of truth) menjelaskan bahwa
kebenaran ialah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan lainnya yang sudah lebih
dahulu kita ketahui, terima dan akui sebagai benar. Teori ini juga disebut teori penyaksian
(yustifikasi) tentang kebenaran, karena memang menurut teori ini suatu putusan dianggap benar
apabila mendapat penyaksian (yustifikasi) oleh putusan-putusan lainnya terdahulu yang sudah
diketahui dan diakui sebagai benar, contoh: A adalah ayah B, ini adalah suatu pernyataan yang
sudah kita ketahui, terima dan akui sebagai hal yang benar, selanjutnya kita sebut sebagai
pernyataan pertama. Kemudian kita membuat pernyataan lain misalnya: A mempunyai putra B
atau B adalah putra A. Dua pernyataan berturut-turut yang baru kita sebut di atas adalah
pernyataan yang benar, karena konsisten dengan pernyataan pertama yang telah kita ketahui,
terima dan di akui kebenarannya.
3. Teori Pragmatis
Teori pragmatis tentang kebenaran (the pragmatic theory of truth) ialah bahwa suatu
ucapan, dalil atau teori itu dianggap benar tergantung berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil atau
teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam penghidupannya. Jadi, kriteria kebenaran
pragmatis adalah:
a. Adakah kegunaannya (utility)
b. Dapatkah dikerjakan (workability)
c. Apakah pengaruhnya (satisfactory consequences) memuaskan atau tidak?[2]
Keinginan hendak mengetahui kebenaran merupakan salah satu dari gerak asli pikiran
manusia, demikian menurut S. Takdir Alisjahbana.Kebenaran dari dunia yang dilihat, didengar,
dan dipikirkan merupakan kebenaran yang hendak dicari oleh manusia.Manusia belum puas
dengan kenyataan yang dihadapinya secara langsung dengan panca inderanya.Ia mencari
kebenaran yang tersembunyi dibaliknya. Manusia akan berusaha mendapatkan kebenaran yang ia
cari dengan pengetahuan yang dimilikinya.[3]

C. Cara Mencari Kebenaran


Menemukan jawaban yang salah terhadap masalah asasi (manusia, alam dan Tuhan) akan
berakibat fatal bagi kehidupan umat manusia tersendiri. Oleh karenanya persoalan penting dan
mendasar adalah dengan cara apa manusia mencari jawaban atau mencari kebenaran itu. Atau
dengan kata lain manusia menemukan kebenaran itu menggunakan cara seperti apa. Ada tiga
cara manusia mencari dan menemukan kebenaran yaitu dengan ilmu pengetahuan, filsafat, dan
agama.[4]
1. Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan atau disingkat ilmu, berasal dari kata arab ‘ilm masdar dari kata ‘alima
yang artinya pengetahuan. Ada dua jenis pengetahuan, yaitu pengetahuan biasa dan pengetahuan
ilmiah. Pengetahuan biasa diperoleh dari keseluruhan bentuk upaya kemanusiaan seperti
perasaan, pikiran, pengalaman, pancaindra, dan intuisi untuk mengetahui sesuatu tanpa
memerhatikan objek, cara dan kegunaannya, pengetahuan ini disebut knowledge. Pengetahuan
ilmiah juga merupakan keseluruhan bentuk upaya kemanusiaan untuk mengetahui sesuatu
dengan memerhatikan objek yang ditelaah. Dengan kata lain, pengetahuan ilmiah memerhatikan
objek antologis, epistemologis, dan landasan aksiologis dari pengetahuan itu sendiri.
Pengetahuan ilmiah inilah yang disebutilmu atau science.
Pada dasarnya ilmu mempunyai tujuan untuk mencari kebenaran, sehingga untuk mencapai
kebenaran yang dimaksud dipakailah metode yang dikenal dengan metode ilmiah. Metode ini
yang membedakan antara pengetahuan dan ilmu, dimana ilmu memerlukan jalan panjang yang
harus dilalui dalam proses dari pengetahuan biasa menjadi pengetahuan ilmiah. Perumusan
metode ilmiah pada umumnya melalui proses sebagai berikut:
a. Pengumpulan data dan fakta
b. Pengamatan data dan fakta
c. Pemilihan data dan fakta
d. Penggolongan data dan fakta
e. Penafsiran data dan fakta
f. Penarikan kesimpulan umum
g. Perumusan hipotesia
h. Pengujian hipotesis melalui riset, eksperimen
i. Penilaian
j. Perumusan teori ilmu pengetahuan
k. Perumusan dalil atau hukum ilmu pengetahuan
Ilmu memiliki karakteristik tertentu yaitu hasil pemahaman manusia yang disusun dalam
satu sistem mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukum tentang hal
ikhwal yang diselidiki (objek) sejauh yang dapat dijangkau daya akal manusia melalui pengujian
secara empiris, riset dan eksperimen. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa ilmu memiliki ciri-
ciri rasional, komulatif, objektif, dan universal.Dengan ciri-ciri yang demikian dimana akal
sebagai tumpuannya maka sudah tentu tidak semua persoalan manusia, khususnya ultimate
problems bisa mampu dijawab oleh ilmu.Karena sejatinya pencapaian kebenaran ilmu itu
tidaklah absolut melainkan nisbi.

2. Filsafat
Kata filsafat atau falsafah berasal dari bahasa yunani “philosophia”.Secara etimologi berarti
cinta pengetahuan atau cinta kebijaksanaan.Orang yang cinta kebijaksanaan disebut philosophas
atau failosuf (filsuf). Pecinta kebijaksanaan atau pengetahuan disini maksudnya ialah orang yang
menjadikan pengetahuan sebagai usaha dan tujuan hidupnya atau dengan kata lain orang yang
mengabdikan hidupnya kepada pengetahuan. Para pakar berbeda dalam memutuskan batasan
filsafat misalnya plato (427-347 SM), filsuf yunani ini menyatakan bahwa filsafat adalah
pengetahuan tentang segala yang ada. Aristoteles (384-322 SM), murid plato menyatakan bahwa
filsafat itu ialah menyelidiki sebab dan asas segala benda. Al-Farabi (870-950 M) seorang filsuf
muslim memberikan definisi filsafat ialah pengetahuan alam yang maujud dan bertujuan
menyelidiki hakikat yang sebenarnya (al-‘ilm bi al-maujudat bima hiya maujudat).
Harun Nasution sebagai pakar filsafat Indonesia memberikan definisi filsafat ialah
pengetahuan tentang hikmat, pengetahuan tenteng prinsip atau dasar-dasar tentang hal yang
dibahas.Intisari filsafat ialah berpikir menurut tata tertib logika dengan bebas tanpa terikatpada
tradisi, dogma serta agama dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar-dasar persoalan.
Hasbullah Bakry, penulis Sistematik Filsafat menjelaskan bahwa filsafat ialah ilmu yang
menyelidiki tentang segala sesuatu yang mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan
manusiasehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikat sejauh yang dapat
dijangkau oleh akal manusiadan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai
pengetahuan itu.
Dari definisi-definisi yang ditampilkan diatas dapat disimpulkan secara singkat bahwa
filsafat ialah ilmu istimewa yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab
oleh ilmu pengetahuan biasa, yaitu usaha manusia dengan akal budinya untuk memahami secara
radikal dan integral serta sistematik hakikat segala yang ada, yaitu hakikat Tuhan, alam, dan
manusia.

Endang Saifuddin Anshari menjelaskan bahwa filsafat tidak menghasilkan keyakinan oleh
karena alat filsafat satu-satunya yang dipakai adalah akal.Sedangkan akal hanyalah satu bagian
dari rohani manusia dan tidak mungkin mengetahui sesuatu keseluruhan hanya dengan satu
bagian.Maka keseluruhan kebenaran dapat diketahui dengan seluruh rohani manusia
(perasaannya, akalnya, intuisinya, nalurinya).Karena satu-satunya alat yang digunakan dalam
filsafat ialah akal yaitu satu bagian dari rohani manusia, kiranya belum mampu menjangkau
keseluruhan kebenaran tentang manusia, alam dan Tuhan. Dengan kata lain kebenaran yang
dicapai filsafat adalah tidak mutlak atau nisbi.
3. Agama
Kata agama dalam bahasa Indonesia berarti sama dengan “din” dalam bahasa Arab dan
semit, atau dalam bahasa Inggris religion. Secara bahasa agama berasal dari bahasa Sansekerta
yang berarti tidak pergi, tetap ditempat, diwarisi turun-temurun.Sedangkan kata “din” memiliki
arti yaitu menguasai, memudahkan, patuh, utang, balasan atau kebiasaan.
Dalam pengertian teknis terminologis, ketiga istilah tersebut memiliki makna yang sama,
yaitu:
a. Agama, din, region adalah satu sistem credo (tata keimanan atau tata keyakinan) atas adanya
Yang Maha Mutlak di luar diri manusia;
b. Agama juga adalah satu sistem ritus (tata peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya Yang
Maha Mutlak tersebut;
c. Disamping merupakan satu sistema credo dan satu sistema ritus, agama juga adalah satu sistem
norma (tata kaidah atau tata aturan) yang mengatur hubungan manusia sesama manusiadan
hubungan manusia dengan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata
peribadatan
Menurut Durkheim, agama adalah sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan
yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus. Bagi Spencer, agama adalah kepercayaan terhadap
sesuatu Yang Maha Mutlak. Sementara Dewey, menyatakan bahwa agama adalah pencarian
manusia terhadap cita-cita umum dan abadi meskipun dihadapkan pada tantangan yang dapat
mengancam jiwanya; agama adalah pengenalan manusia terhadap kekuatan gaib yang
hebat.Dengan demikian mengikuti pendapat Smith, tidak berlebihan jika kita katakan bahwa
hingga saat ini belum ada definisi yang benar dan dapat diterima secara universal.
Kebenaran agama bersifat mutlak karena itu berasal dari Allah SWT. Manusia memperoleh
kebenaran agama dengan melihat kitabsuci, apa yang dikatakan benar oleh kitab suci adalah
benar, dan apa yang dikatakan salah oleh kitab suci adalah salah.

D. Persamaan, Perbedaan, dan Nisbah antara Ilmu, Filsafat dan Agama


Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat persamaan, perbedaan, dan nisbah
antara ilmu, filsafat dan agama.Persamaannya adalah ketiga-tiganya berkompeten untuk mencari
dan menemukan kebenaran. Sementara perbedaan antara ketiganya, dapat dilihat dari beberapa
segi: pertama, dari segi proses pencapaian kebenaran. Manusia menemukan kebenaran ilmu
melalui langkah-langkah metodologi ilmiah, khususnya dengan cara eksperimen. Manusia
menemukan kebenaran filsafat melalui petualanganakal-pikiran, memikirkan segala sesuatu
sampai ke akar-akarnya.Manusia menemukan kebenaran agama dengan melihat teks-teks kitab
suci dan sabda Nabi.
Kedua, dari sifat kebenaran yang dicapainya, kebenaran ilmu bersifat positif dan objektif,
siapapun yang mempelajari hasilnya akan sama. Kebenaran filsafat bersifat subjektif dan
spekulatif.Pencapaian kebenaran ilmu dan filsafat adalah nisbi (relatif). Sedangkan kebenaran
agama (dalam hal ini adalah islam) bersifat mutlak atau absolut, karena berasal dari Allah SWT.
Ketiga, dari proses permulaan ilmu dan filsafat dimulai dengan sikap tidak percaya sementara
agama dimulai dengan sikap percaya.
Sementara nisbah antara ilmu, filsafat dan agama adalah ketiganya saling berkaitan. Ketika
ilmu pengetahuan tidak mampu menjawab persoalan yang dihadapi manusia, maka manusia akan
mencarinya melalui filsafat, dan ketika filsafat tidak mampu menjawabnya atau mampu
menjawabnya tetapi tidak mampu memuaskan dirinya, maka manusia mencarinya di dalam
agama. Sebagai contoh ketika manusia bertanya kenapa terjadi hujan?Ilmu pengetahuan bisa
menjelaskan secara ilmiah. Misalnya hujan terjadi melalui proses dimana air laut terkena panas
matahari menguap, uap setelah mencapai titik jenuh menjadi awan, awan terkena angin jatuh ke
bumi menjadi hujan. Akan tetapi ketika manusia bertanya, mengapa air terkena panas matahari
bisa menguap?Ilmu pengetahuan tidak mampu menjawabnya, disinilah filsafat menemukan
jawaban hukum alam (natural law). Ketika manusia bertanya apa hukum alam dan bagaimana
eksistensinya? Filsafat tidak mampu menjawabnya, maka melalui agama manusia menemukan
jawaban bahwa hukum alam ternyata adalah sunnatullah/takdir.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Manusia adalah makhluk paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah SWT, karena
manusia manusia disempurnakan oleh akal pikiran yang tidak dimiliki oleh mahkluk hidup
lainnya.
2. Manusia dari waktu ke waktu selalu memiliki masalah yang ingin dipecahkan atau ingin dicari
jawabannya. Oleh karenanya ada tiga teori untuk mempermudah memecahkan masalah yang
dialami manusia, yaitu: teori korespondensi, teori konsistensi, dan teori pragmatis.
3. Manusia sebagai makhluk pencari kebenaran, tentulah akan melakukan segalanya untuk
mencapai kebenaran yang diinginkan, ada tiga cara manusia untuk mencari dan menemukan
kebenaran yaitu: melalui pengetahuan, filsafat dan agama.

B. SARAN / PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami uraikan, kami sadar bahwa dalam penyusunan
makalah ini banyak kekurangan. Karena sesungguhnya kesempurnaan hanyalah milik Allah
SWT dan kekurangan adalah milik kita.Oleh karena itu saya mengharap kritik dan saran yang
konstruktif untuk memperbaiki makalah berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat dan
menambah pengetahuan kita.
DAFTAR PUSTAKA

Anshari, Endang Saifuddin, Wawasan Islam: pokok-pokok pikiran tentang paradigma dan sistem islam, cet. I,
(Jakarta: Gema Insani, 2004)
Supadie, Didiek Ahmad, Sajuni. Pengantar Studi Islam,cet. II, (Jakarta: Rajawali Pers. 2012)
Alisjahbana, S. takdir, "Pembimbing ke Filsafat" dalam Anshari, Endang Saifuddin, Wawasan Islam: pokok-
pokok pikiran tentang paradigma dan sistem islam, cet. I, (Jakarta: Gema Insani, 2004)

[1] H. Endang Saifuddin Anshari, M.A.,Wawasan Islam: Pokok-pokok Pikiran tentang


Paradigma dan Sistem Islam, cet. I, (Jakarta: Gema Insani, 2004), hal. 8
[2] Dr. H. Didiek Ahmad Supadie, M.M., Sarjuni, S.Ag., M. Hum., Pengantar Studi
Islam, cet. II, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hal. 19-20.
[3] S. Takdir Alisjahbana, Pembimbing ke Filsafat, (jakarta: Pustaka Rakyat, 1952),
hal.36-37

Anda mungkin juga menyukai