Anda di halaman 1dari 38

BAB I.

PENDAHULUAN

I.1 Latar belakang


Krom ( Cr ) merupakan salah satu unsur yang keberadaannya di lingkungan
perlu dikendalikan mengingat sifatnya yang dapat mempengaruhi terhadap kesehatan
manusia serta makhluk hidup lainnya. Sifat yang dimiliki krom adalah unik bergantung
pada spesinya. Dilaporkan bahwa Cr (III) bermanfaat dalam proses metabolisme
glukosa, lemak dan protein pada makhluk hidup. Akan tetapi Cr(VI) merupakan
oksidator kuat dan bersifat sangat toksik serta karsinogenik(1).
Akhir-akhir ini dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap
masalah lingkungan, kadar logam krom dalam tekstil dan produk tekstil (TPT) pun
dibatasi. Keberadaan krom dalam TPT diperkirakan berasal dari bahan kimia dan zat
warna yang digunakan dalam proses pencelupan. Dalam Ökotex Standard 100, yaitu
suatu persyaratan kriteria ekolabel tekstil dan produk tekstil dari negara Jerman telah
menetapkan bahwa kandungan krom total dalam TPT untuk bayi tidak boleh melebihi
1 mg/Kg, dan TPT untuk keperluan lainnya maksimum 2 mg/Kg, sedangkan kadar
Cr(VI) dibatasi maksimum 0,5 mg/kg(5). Dalam Ökotex Standard 200 yaitu standar
lainnya yang mengatur ketentuan metode analisis yang harus digunakan untuk
pengujian kriteria ekolabel TPT, telah ditetapkan bahwa penentuan kadar logam dalam
TPT termasuk logam Cr harus dilakukan dengan cara mengekstraksi contoh tekstil
menggunakan larutan keringat asam buatan dan penentuannya secara spektrometri
serapan atom(6). Namun demikian metode tersebut tidak dijelaskan secara rinci.
Oleh karena kandungan Cr (VI) dalam TPT diperkirakan dalam jumlah renik,
maka dalam analisisnya perlu melalui proses pemisahan dan prakonsentrasi terlebih
dahulu agar dapat dilakukan penentuannya secara spektrometri serapan atom. Dengan
maksud untuk mempermudah serta mempersingkat waktu pengerjaan analisis, pada
penelitian ini dilakukan proses pemisahan dan prakonsentrasi Cr (VI) dalam contoh
tekstil dengan cara kopresipitasi menggunakan zat pengkompleks APDC dan nikel
sebagai pembawa (carrier). Terhadap endapan kompleks yang terjadi dilakukan
proses penyaringan dan pelarutan kembali menggunakan asam nitrat pekat. Penentuan
kadar krom dalam contoh uji dilakukan secara spektrometri serapan atom tungku
karbon (SSATK).

1
I.2 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan metode analisis Cr (VI) dalam
contoh tekstil dengan cara prakonsentrasi menggunakan kombinasi amonium
pirolidin ditiokarbamat (APDC) dan Ni serta penentuannya secara spektrometri
serapan atom tungku karbon (SSATK).

2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Logam krom ( Cr ) dalam tekstil


Secara alamiah krom dapat ditemukan dalam batuan, tanah, debu vulkanik,
binatang dan tumbuhan. Krom di lingkungan umumnya dalam bentuk Cr (0), Cr (III)
dan Cr(VI). Keberadaan krom di lingkungan sebagian besar berasal dari limbah
industri seperti industri baja, elektroplating, industri yang melakukan proses tanning,
industri kimia, pencelupan tekstil dan lain-lain. Tingkat oksidasi krom yang penting
adalah +3 dan +6. Kedua spesi krom tersebut mempunyai sifat dan dampak yang
berbeda terhadap kesehatan manusia. Cr (III) dalam jumlah besar dapat mempengaruhi
berbagai reaksi enzimatis dan dapat bereaksi dengan zat organik, namun demikian
dilaporkan bahwa krom (III) dalam jumlah kecil diperlukan oleh makhluk hidup
dalam proses metabolisme glukosa, lemak dan protein. Cr(VI) yang bersifat sebagai
oksidator kuat dapat merusak jaringan sel dan bersifat toksik dan karsinogenik(1).
Environtmental Protection Agency (EPA) telah menetapkan bahwa kadar krom total
dalam air minum adalah 2,5 µg/L. Dilaporkan pula dalam www.osha.gov bahwa
kontak kulit dengan senyawa Cr(VI) tertentu dapat menyebabkan penyakit kulit dan
pada beberapa orang yang sensitif dapat menyebabkan reaksi alergik. Penelitian
terhadap binatang diketahui Cr(VI) dapat meningkatkan resiko kanker paru-paru.
Adanya logam krom dalam tekstil kemungkinan berasal dari bahan kimia yang
digunakan dalam proses tekstil maupun sebagai zat pengotor (impurities) yang
terkandung dalam bahan kimia tersebut. Senyawa krom di industri tekstil terutama
digunakan dalam proses pencelupan yang menggunakan zat warna direk dan zat warna
mordan. Dalam proses pencelupan kain dengan zat warna direk, krom dalam bentuk
senyawa dikromat digunakan untuk fiksasi zat warna tersebut pada serat kain,
sedangkan dalam pencelupan dengan zat warna mordan krom digunakan dalam bentuk
garam Cr(III). Salah satu contoh zat warna direk adalah Congo Red ( C.I. Direct red
28), sedangkan contoh zat warna mordan adalah Eriochrome Black T ( C.I Mordant
Black 11 ) masing-masing memiliki rumus molekul seperti pada Gambar II.1. Zat
warna direk adalah zat warna azo yang mengandung gugus sulfonat, namun demikian
afinitasnya terhadap serat selulosa kecil dibanding dengan zat warna asam atau basa.
Hasil pencelupan kain katun dengan zat warna direk memiliki ketahanan terhadap
pencucian yang kurang baik, sehingga dalam prakteknya memerlukan perlakuan
setelah proses pencelupan menggunakan garam elektrolit yang disebut dengan proses
3
fiksasi. Garam yang biasa digunakan adalah tembaga sulfat atau senyawa dikromat.
Pada proses fiksasi atom oksigen pada gugus OH dalam zat warna akan membentuk
kompleks dengan logam yang berasal dari garam elektrolit, menyebabkan ukuran
molekul zat warna menjadi lebih besar dan kurang larut dalam air, sehingga tahan
luntur terhadap pencucian menjadi meningkat(2-3).

Congo Red Eriochrome Black T


( C.I. Direct red 28) ( C.I Mordant Black 11 )

Gambar II.1 Struktur zat warna direk dan mordan

Di samping berasal dari bahan kimia yang digunakan dalam proses tekstil,
keberadaan krom dalam tekstil juga dapat berasal dari pengotor zat warna. Zat warna
tekstil yang digunakan memiliki kualitas teknis sehingga terdapatnya pengotor dalam
zat warna termasuk logam-logam berat sangat dimungkinkan. Hal ini ditegaskan
sebagaimana yang tercantum dalam kriteria ekolabel Uni-Eropa yang
mempersyaratkan penggunaan zat warna yang memiliki kadar pengotor logam-logam
berat dalam jumlah tertentu. Dalam ekolabel tersebut ditetapkan kadar Cr dalam zat
warna yang digunakan dalam proses tekstil maksimum 100 ppm(4).

II.2 Prakonsentrasi krom


Berbagai teknik dapat digunakan dalam penentuan logam krom renik dalam
air. Analisis instrumental secara langsung biasanya sulit dilakukan dikarenakan adanya
kemungkinan gangguan matriks contoh yang dapat mempengaruhi hasil analisis serta
konsentrasi krom dalam contoh yang sangat rendah mendekati atau bahkan jauh di
bawah limit deteksi alat/instrumen yang digunakan. Untuk mengatasi masalah tersebut,
proses pemisahan dan prakonsentrasi perlu dilakukan. Teknik prakonsentrasi dapat
dilakukan dengan beberapa cara seperti ekstraksi pelarut, pertukaran ion, ekstraksi fasa
padat dan kopresipitasi.

4
Proses spesiasi dan prakonsentrasi Cr (VI) dapat dilakukan dengan
menggunakan zat pengompleks amonium pirolidinditiokarbamat (APDC), kemudian
diekstraksi dengan menggunakan pelarut metil isobutil keton (MIBK). Penentuan
Cr(VI) dilakukan langsung dari ekstrak secara spektrometri serapan atom tungku
karbon (SAATK), sedangkan Cr (III) ditentukan dari selisih antara kadar krom total
dan Cr (VI). Kondisi reaksi pembentukan kompleks antara Cr(VI) dan APDC
diketahui optimum pada pH 3,5. Limit deteksi untuk Cr (III) dan Cr (VI) adalah
0,3 µg/L(7).
Spesi Cr (III) dapat diprakonsentrasi menggunakan teknik pertukaran ion.
Kelebihan dari teknik ini adalah kolom resin yang dipakai dapat digunakan berulang-
ulang, sedangkan kekurangannya adalah sering terjadi masalah ketika proses desorpsi
lambat sehingga diperlukan modifikasi secara kimia terhadap resin tersebut. Resin
penukar ion yang secara luas digunakan adalah amberlit XAD, karena resin tersebut
mempunyai sifat adsorpsi dan kemurnian yang baik. Resin amberlit XAD-16 dalam
penelitian spesiasi beberapa logam berat termasuk di dalamnya Cr (III) diperoleh hasil
recovery Cr (III) mencapai ≥ 95 % dengan limit deteksi 0,008 µg/mL(8).
Prakonsentrasi Cr (III) juga dapat dilakukan dengan cara kopresipitasi yakni
didasarkan pada pembentukan senyawa kompleks yang dapat mengendap. Sebagai
kopresipitan biasanya digunakan senyawa hidroksida unsur tanah jarang seperti
galium, indium, scandium, terbium. Telah dilaporkan bahwa terbium mempunyai
kemampuan sebagai kopresipitan yang baik untuk analisis Cr (III), Cu(II) dan
Pb(II)(9). Percobaan yang dilakukannya adalah dengan cara mencampurkan contoh
analit dengan larutan terbium hidroksida dalam gelas kimia pada beberapa variasi pH.
Endapan yang terjadi dipisahkan dan dilarutkan dengan asam nitrat 0,85 M. Larutan
hasil prakonsentrasi kemudian ditentukan secara spektrometri serapan atom tungku
karbon. Diperoleh hasil bahwa recovery Cr(III) mencapai hampir 100 % pada pH 8,4 –
10,8 dan limit deteksinya diketahui sebesar 0,3 µg/L. Dilaporkan pula bahwa adanya
terbium hingga 7 g/L dalam contoh uji tidak mengganggu dalam penentuan analit.
Peneliti lainnya telah berhasil melakukan percobaan kopresipitasi Cr (III) dalam contoh
air alam menggunakan kopresipitan kombinasi kompleks Pd/8-quinolinol/asam tannic
dan penentuannya secara spektrometri serapan atom tungku karbon(10). Ditemukan
bahwa kondisi kopresipitasi optimum terjadi pada pH 5,1 - 5,3. Limit deteksi untuk
Cr(III) adalah 20 ng/L untuk 300 mL contoh air yang digunakan.

5
Teknik prakonsentrasi lainnya adalah ekstraksi fasa padat. Pada umumnya
teknik ini didasarkan pada sifat adsorpsi analit pada kolom adsorben seperti C18 ,
alumina aktif, selulosa Cellex T, dan politetrafluoroetilen (PTFE). Dengan teknik
ekstraksi fasa padat telah berhasil dilakukan prakonsentrasi Cr(VI) menggunakan
kolom politetrafluoroetilen (PTFE)(11). Pertama-tama contoh analit dicampurkan
dengan larutan APDC pada berbagai variasi pH, kemudian khelat Cr-PDC dilewatkan
ke dalam kolom PTFE. Proses elusi dilakukan dengan menggunakan pelarut MIBK
dan eluat secara langsung dialirkan masuk ke dalam sistem nyala spektrometer serapan
atom. Dilaporkan bahwa kurva kalibrasi linear terjadi pada rentang konsentrasi 1 – 40
µg/L dan limit deteksinya adalah 0,8 µg/L. Standar deviasi relatif 3,2 % pada
konsentrasi 20 µg/L.
Zat pengkompleks amonium pirolidin ditiokarbamat (APDC) yang mempunyai
rumus kimia C5H9NS2. NH3 telah dikenal secara luas sebagai zat pengkomplek yang
dapat digunakan dalam analisis logam berat renik seperti Pb, Ni, Cu, Sn, Co, Cd, Mn,
Zn dan Cr . Dilaporkan bahwa Cr(VI) dalam air dapat bereaksi cepat dengan APDC
menjadi Cr(III) dan segera membentuk komplek Cr-PDC pada kondisi pH asam dan
temperatur kamar. Sedangkan Cr(III) dengan APDC pada kondisi yang sama bereaksi
lambat, hal ini disebabkan karena Cr(III) dalam air berada dalam keadaan terhidrasi
sangat kuat sehingga sulit membentuk kompleks dengan APDC. Dengan demikian
APDC dapat digunakan dalam spesiasi logam Cr(VI) dan Cr(III) dalam air. Lebih
jauh telah diketahui bahwa APDC memiliki sifat lebih stabil pada pH rendah
dibandingkan dengan natrium dietilditiokarbamat (DDTC). Pada pH rendah DDTC
mudah terdekomposisi. Hasil karakterisasi menggunakan kromatografi lapis tipis,
difraksi sinar-X, spektroskopi IR dan spektrometri massa yang dilakukan
menunjukkan bahwa hasil reaksi Cr(VI) dengan APDC pada pH asam adalah dua
bentuk kompleks yakni Cr(PDC)3 dan Cr(PDC)2(OPDC) sebagai produk utamanya(12).

II.3. Spektrometri serapan atom tungku karbon (SSATK)(13)


Pada prinsipnya mekanisme spektrometri serapan atom tungku karbon sama
dengan pada spektrometri serapan atom nyala, yang membedakan adalah proses
pengatoman terjadi pada tabung karbon yang terpanasi oleh arus listrik secara
terprogram. Sumber sinar dengan intensitas Io dipancarkan mengarah ke lorong tabung
karbon yang mengandung uap atom analit dalam keadaan dasar (ground state).
Intensitas sinar akan berkurang dikarenakan sebagian terabsorpsi oleh atom-atom
6
analit ( I ). Jumlah sinar yang terserap ditentukan dengan cara membandingkan I
terhadap Io. Absorban merupakan karakteristik sinar yang terabsorpsi dinyatakan
secara matematika sebagai A = log ( Io/I ). Hubungan absorban dengan konsentrasi
analit mengikuti hukum Beer’s.

A=abc

Dimana a = koefisien absorpsi


b = panjang sel absorpsi yang terlewati cahaya
c = konsentrasi analit.

Pada spektrometri serapan atom tungku karbon sinyal yang teramati bergantung
pada massa, bukan pada konsentrasi. Sehingga sensitivitasnya dinyatakan dengan “
karaktristik massa” ( mo ). Karakteristik massa analog dengan karakteristik konsentrasi
pada spektrometri serapan atom nyala, yakni massa analit dalam pikogram yang
diperlukan untuk menghasilkan sinyal tinggi puncak sebesar 0,0044 absorban atau
sinyal luas puncak sebesar 0,0044 absorban.detik (A-s ).

Volume sampel ( µL ) x Konsentrasi sampel ( µg/L ) x 0,0044 A-s


mo = --------------------------------------------------------------------------------
Luas puncak ( A-s )

Sistem tungku karbon pada spektrometri serapan atom dibangun oleh tiga
komponen utama yaitu unit pengatoman (atomizer), sumber daya listrik
( power supply ) dan unit pemograman. Unit pengatoman sebagaimana tampak pada
Gambar II.2 pada dasarnya terdiri atas tabung karbon, penghubung listrik ( electrical
contact ), sistem pendingin dan pengaturan aliran gas inert. Tabung karbon merupakan
elemen pemanas dimana terjadi proses pengatoman analit logam. Kedua ujung tabung
karbon ditutup dengan jendela kwarsa. Lorong tabung karbon tersebut diarahkan lurus
terhadap sinar datang. Ketika tabung karbon mengalami pemanasan, gas inert argon
mengalir di sekelilingnya. Fungsi dari aliran gas argon adalah untuk mencegah
terjadinya proses oksidasi terhadap tabung karbon ketika terjadi proses pemanasan.
Aliran gas argon terbagi dua yakni aliran gas argon eksternal dan internal. Aliran gas
7
argon eksternal melindungi tabung karbon bagian luar, sedangkan aliran gas argon
internal mengalir ke lorong tabung karbon dan alirannya dapat diatur. Pada saat proses
pengatoman analit berlangsung, aliran gas argon internal ini dihentikan agar waktu
tinggal uap atom analit logam dalam tabung karbon menjadi maksimal. Penghubung
arus listrik berfungsi mengalirkan arus listrik di sepanjang tabung karbon, sehingga
tabung karbon menjadi panas menyala, sedangkan suatu sistem pendingin digunakan
untuk mendinginkan penghubung arus listrik tersebut.

Gambar II.2 Tungku karbon longitudinal

Sumber daya listrik dan pemograman melakukan fungsi pengaturan terhadap


daya listrik, temperatur, aliran gas inert dan spektrometer, sehingga proses pemanasan
sampel sesuai dengan yang diinginkan.
Beberapa mikro liter contoh disuntikkan melalui lubang kecil yang terdapat di
bagian tengah atas tabung karbon. Pengaliran arus listrik secara terprogram terhadap
tabung karbon menyebabkan contoh analit logam terpanasi dan akhirnya terjadi proses
pengatoman. Uap atom logam kemudian akan mengabsorpsi sebagian intensitas sinar
yang datang dari sumber sinar dan spektrometer mencatat absorban yang dihasilkan.

II.3.1 Tahapan program pemanasan pada tungku karbon


Larutan contoh yang telah disuntikkan ke dalam sistem tungku karbon akan
mengalami beberapa tahap proses pemanasan secara terprogram selama berada di
dalam tungku karbon. Tahap-tahap proses pemanasan yang terjadi meliputi proses

8
pengeringan, pirolisis, pengatoman, dan terakhir tahap pembersihan tungku karbon.
Contoh tahap-tahap proses pemanasan tungku karbon dapat dilihat pada Gambar II.3.

Atomisasi
2500

2000
ºC
1500

1000 Pirolisis

500
Pengeringan

0
Waktu

Gambar II.3 Contoh tahap-tahap proses pemanasan tungku karbon

Tahap proses pengeringan umumnya dilakukan pada temperatur 100 – 120 ºC


selama kurang dari satu menit. Untuk mencapai temperatur tersebut, proses pemanasan
berlangsung secara bertahap ( ramp ), sehingga percikan contoh dapat dicegah. Selama
proses pengeringan, gas argon internal dialirkan secara maksimal sebesar 250 – 300
mL/menit agar uap pelarut contoh terdorong keluar dari tabung karbon.
Tahap pirolisis atau kadang-kadang disebut sebagai proses pengabuan
bertujuan untuk menguapkan komponen matriks organik dan anorganik yang
terkandung dalam contoh. Temperatur yang dipilih untuk proses pirolisis bergantung
pada sifat matriks dan analit, biasanya temperatur dinaikkan setinggi mungkin namun
tetap masih di bawah temperatur menguapnya analit. Pada tahap ini gas argon internal
tetap mengalir seperti pada proses pengeringan dengan maksud agar uap matriks
terdorong ke luar dari tabung karbon.
Tahap pengatoman bertujuan untuk pembentukan uap atom analit.
Temperatur pengatoman berbeda untuk setiap analit logam. Temperatur tabung karbon
dinaikkan dengan cepat. Perlu diperhatikan bahwa temperatur pengatoman jangan
9
terlampau tinggi, karena hal ini dapat mempersingkat waktu tinggal uap atom analit
dalam tabung karbon dan menurunkan sensitivitas. Di samping itu penggunaan
temperatur pengatoman yang terlampau tinggi dapat memperpendek umur tabung
karbon.
Tahap pembersihan dimaksudkan untuk menghilangkan residu contoh yang
kemungkinan tertinggal dalam tabung karbon. Temperatur yang digunakan pada tahap
ini biasanya lebih tinggi dari temperatur tahap pengatoman. Proses pembersihan tidak
boleh terlampau lama karena dapat memperpendek umur tabung karbon.

II.3.2 Profil signal pada tungku karbon


Dalam spektrometri serapan atom nyala, signal absorpsi keadaannya steady
sehingga absorban yang teramati konstan selama proses penyedotan larutan contoh ke
dalam nyala berlangsung. Akan tetapi tidak demikian halnya dalam spektrometri
serapan atom tungku karbon, pembentukan atom analit berlangsung pertama-tama
meningkat kemudian menurun, sehingga signal yang terjadi berbentuk puncak yang
merefleksikan populasi atom analit terhadap waktu proses pengatoman seperti pada
Gambar II.4. Luas puncak sebanding dengan jumlah atom analit dalam larutan contoh
yang disuntikkan ke dalam tungku.

Gambar II.4 Profil signal serapan atom tungku karbon

10
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
- Spektrometer serapan atom ( Perkin-Elmer tipe Aanalyst 100 )
- Tungku karbon ( Perkin-Elmer HGA-800 )
- pH meter ( Schott-Handylab 1 )
- Pengaduk magnet ( Magnetic stirrer )
- Filter membran selulosa asetat ( Whatman Φ 47 mm, pori 0,45 µm )
- Alat filtrasi dan pompa vakum ( Millipore )
- Alat pemurnian aquades Nanopure ( USF-Elga )
- Pemanas listrik ( Hot plate )
- Alat gelas ( labu ukur, beaker glass, pipet dan lain-lain)
- Pipet mikro volume 20-200 µL, 100-1000 µL

III.2 Bahan-bahan
Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini berkualitas pro analisis
(pa) produk Merck dan Sigma-Aldrich sebagai berikut :
- Amonium pirolidinditiokarbamat (APDC)
- Kalium dikromat ( K2Cr2O7 )
- Kromium triklorida ( CrCl3 .6H2O )
- Magnesium nitrat ( Mg(NO3)2 . 6H2O )
- Nikel nitrat ( (Ni(NO3)2.6H2O )
- Kalium hidrogenftalat
- L-Histidin monoklorida monohidrat ( C6H9O2N3.HCl.H2O )
- Natrium dihidrogen fosfat dihidrat ( NaH2PO4.2H2O ).
- Natrium klorida ( NaCl )
- Natrium hidroksida ( NaOH )
- Asam klorida ( HCl )
- Aquades

III.3 Lokasi penelitian


Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Penelitian Lingkungan Balai Besar
Tekstil Departemen Perindustrian, Jl. Ahmad Yani Bandung No. 390 Bandung.
11
III.4 Diagram alir penelitian
III.4.1 Penentuan kondisi percobaan

pH Larutan

- 100 mL larutan Cr(VI) 50 µg/L


- pH larutan divariasikan 2 – 8
- ditambah 1 mL larutan APDC 3 g/L
- disaring

Jumlah volume
larutan APDC

- 100 mL larutan Cr(VI) 50 µg/L


- pH larutan optimum ( pH 4 )
- larutan APDC 3 g/L divariasikan 2 – 6 mL

Jumlah volume
larutan Ni

- 100 mL larutan Cr(VI) 50 µg/L


- pH 4
- ditambah 5 mL larutan APDC 3 g/L
- volume larutan Ni 1 g/L divariasikan
0,1 – 0,8 mL

Variasi
konsentrasi
larutan Cr(VI)

- 100 mL variasi konsentrasi larutan


Cr(VI) 5 - 40 µg/L
- pH 4
- ditambah 5 mL larutan APDC 3 g/L
- 0,3 mL larutan Ni 1 g/L

12
III.4.2 Prakonsentrasi dan penentuan Cr(VI) dalam contoh tekstil

Sampel kain

- Diekstraksi dengan 100 mL larutan keringat


buatan pH 5,5

Ekstrak

- Pada kondisi optimum direaksikan dengan


larutan APDC 3 g/L dan Ni 1g/L.
- Filtrasi endapan dengan filter selulosa asetat
0,45 µm

Filtrat yang mengandung


endapan

- Dilarutkan dengan 2 mL HNO3 pekat panas


dan diencerkan dengan aquades hingga
volume 10 mL

Larutan

- Penentuan Cr secara spektrometri serapan


tungku karbon

III.5 Pembuatan larutan


- Larutan induk Cr(VI) 1000 mg/L
0,283 gram K2Cr2O7 dilarutkan dengan aquades di dalam labu ukur 100 mL.
- Larutan induk Cr(III) 1000 mg/L
0,5125 gram CrCl3. 6H2O dilarutkan dengan aquades di dalam labu ukur 100 mL.
- Larutan Mg(NO3)2 0,5 g/L
0,058 gram Mg(NO3)2 .6H2O dilarutkan dengan aquades di dalam labu ukur 100 mL.
- Larutan Ni 1 g/L
0,4953 gram Ni(NO3)2.6H2O dilarutkan dengan aquades dalam labu ukur 100 mL.
- Larutan amonium pirolidin ditiokarbamat (APDC) 3 g/L

13
0,3 gram APDC dilarutkan dengan aquades dalam labu ukur 100 mL. Larutan ini
dibuat pada saat ketika hendak digunakan ( larutan segar ).
- Larutan bufer ftalat pH 4
1,0209 gram kalium hidrogen ftalat dilarutkan dengan 50 mL aquades, kemudian pH
larutan ditepatkan hingga pH 4 dengan menggunakan larutan HCl 0,1M dan
diencerkan dengan aquades hingga tanda batas labu ukur 100 mL.
- Larutan keringat buatan pH 5,5(14)
Ke dalam labu ukur 1 liter dimasukkan masing-masing 0,5 gram L-histidin
monoklorida monohidrat (C6H9O2N3.HCl.H2O), 5 gram NaCl dan 2,2 gram Na-
dihidrogen ortofosfat dihidrat (NaH2PO4.2H2O) kemudian dilarutkan dengan
aquades. Larutan ditepatkan pHnya hingga 5,5 menggunakan larutan NaOH 0,1 M
dan diencerkan dengan aquades hingga tanda batas labu ukur.

III.6 Prosedur percobaan


III.6.1 Penentuan kondisi percobaan
Variabel kondisi percobaan prakonsentrasi Cr(VI) yang ditentukan meliputi
pH optimum larutan, jumlah pemakaian larutan APDC, jumlah pemakaian larutan Ni,
dan rentang konsentrasi larutan Cr(VI). Penentuan Cr dalam larutan dilakukan secara
spektrometri serapan tungku karbon dengan kondisi operasional seperti tertera pada
Tabel III.1

Tabel III.1 Kondisi operasi tungku karbon

Tahap Temperatur Ramp Tahan Aliran


(º C) (detik ) (detik ) Argon
( ml/menit)
1 120 10 50 250
2 1650 1 30 250
3 20 1 15 250
4 2500 0 5 0
5 2600 1 5 250

III.6.1.1 Penentuan pH optimum


Ke dalam beberapa gelas piala dimasukkan masing-masing 100 mL larutan
Cr(VI) 50 µg/L dan dilakukan pengaturan variasi pH larutan 1 – 8 dengan penambahan
larutan HCl 0,1 M atau larutan NaOH 0,1 M. Kemudian ke dalam masing-masing
14
gelas piala tersebut dimasukkan 1 mL larutan APDC ( 3 g/L) dan dilakukan proses
pengadukan diatas pengaduk magnet (magnetic stirrer) selama 5 menit. Larutan
selanjutnya disaring dengan menggunakan filter selulosa asetat 0,45 µm dengan
kecepatan 25 mL/menit. Filter selulosa asetat yang telah digunakan dipindahkan ke
dalam gelas piala dan ditambahkan 2 mL HNO3 pekat kemudian dibiarkan hingga
filter larut. Larutan dipindahkan ke dalam labu ukur 100 mL kemudian ditambahkan 1
mL Mg(NO3)2 ( 0,5 g/L ) dan diencerkan dengan aquades hingga tanda batas labu
ukur. Larutan diukur absorbansinya menggunakan spektrometer serapan atom tungku
karbon.

III.6.1.2 Penentuan jumlah larutan APDC yang ditambahkan


Ke dalam beberapa gelas piala dimasukkan masing-masing 100 mL larutan
Cr(VI) 50 µg/L, 5 mL larutan bufer pH 4, dan sejumlah variasi volum ( 2 – 6 mL )
larutan APDC ( 3 g/L) kemudian diaduk dengan menggunakan pengaduk magnet
selama 5 menit. Larutan selanjutnya disaring menggunakan filter selulosa asetat 0,45
µm dengan kecepatan 25 mL/menit. Filter selulosa asetat yang telah digunakan
dipindahkan ke dalam gelas piala dan ditambahkan 2 mL HNO3 pekat kemudian
dibiarkan hingga filter larut. Larutan dipindahkan ke dalam labu ukur 100 mL
kemudian ditambahkan 1 mL Mg(NO3)2 ( 0,5 g/L ) dan diencerkan dengan aquades
hingga tanda batas labu ukur. Larutan diukur absorbansinya menggunakan
spektrometer serapan atom tungku karbon.

III.6.1.3 Penentuan jumlah larutan Ni yang ditambahkan


Ke dalam beberapa gelas piala dimasukkan masing-masing 100 mL larutan
Cr(VI) 50 µg/L, 5 mL larutan bufer pH 4, 5 mL larutan APDC ( 3 g/L ) dan sejumlah
variasi volume 0,1– 0,6 mL larutan Ni ( 1 g/L) kemudian diaduk dengan
menggunakan pengaduk magnet selama 5 menit. Larutan selanjutnya disaring
menggunakan filter selulosa asetat 0,45 µm dengan kecepatan 25 mL/menit. Filter
selulosa asetat yang telah digunakan dipindahkan ke dalam gelas piala dan
ditambahkan 2 mL HNO3 pekat kemudian dipanaskan hingga filter larut. Larutan
dipindahkan ke dalam labu ukur 100 mL kemudian ditambahkan 1 mL Mg(NO3)2 ( 0,5
g/L ) dan diencerkan dengan aquades hingga tanda batas labu ukur. Larutan diukur
absorbansinya menggunakan spektrometer serapan atom tungku karbon.

15
III.6.1.4 Pengaruh konsentrasi larutan Cr (VI)
Dipipet larutan standar Cr (VI) 1 mg/L sebanyak 0,5; 1,0; 1,5; 2,0; 3,0; 4,0 dan
5,0 mL dan masing-masing dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL, kemudian
diencerkan dengan aquades hingga tanda batas labu ukur. Larutan standar dengan
variasi konsentrasi tersebut dipindahkan ke dalam gelas kimia dan ditambahkan
berturut-turut 5 mL larutan bufer ftalat pH 4, 5 mL APDC ( 3 g/L) dan 0,3 mL larutan
Ni (1 g/L), kemudian dikocok dengan pengaduk magnet selama 5 menit dan disaring
menggunakan kertas saring selulosa asetat 0,45 µm. Filter selulosa asetat yang telah
digunakan dipindahkan ke dalam gelas piala dan ditambahkan 2 mL HNO3 pekat
kemudian dipanaskan hingga filter larut. Larutan dipindahkan ke dalam labu ukur 100
mL kemudian ditambahkan 1 mL Mg(NO3)2 ( 0,5 g/L ) dan diencerkan dengan
aquades hingga tanda batas labu ukur. Larutan diukur absorbansinya menggunakan
spektrometer serapan atom tungku karbon.

III.6.2 Prakonsentrasi
III.6.2.1 Pengaruh Cr (III) dalam larutan
Dipipet 100 mL larutan tandar Cr(VI) 5 µg/L, 100 mL Cr (III) 5 µg/L serta
campuran Cr (VI) 10 µg/L dan Cr(III) 10 µg/L masing-masing sebanyak 50 mL dan
dimasukkan ke dalam gelas piala 250 mL. Ke dalam masing-masing larutan
ditambahkan berturut-turut 5 mL larutan buffer pH 4, 5 mL larutan APDC ( 3 g/L) dan
0,3 mL Ni (1 g/L), kemudian larutan diaduk dengan pengaduk magnet selama 5 menit
dan disaring dengan filter selulosa asetat 0,45 µm dengan kecepatan 25 ml/menit.
Filter selulosa asetat yang telah digunakan dipindahkan ke dalam gelas piala dan
ditambahkan 2 mL HNO3 pekat kemudian dipanaskan hingga filter larut. Larutan
dipindahkan ke dalam labu ukur 10 mL kemudian ditambahkan 1 mL Mg(NO3)2
( 0,5 g/L ) dan diencerkan dengan aquades hingga tanda batas labu ukur. Larutan
diukur absorbansinya menggunakan spektrometer serapan atom tungku karbon.

III.6.2.2 Pengaruh matriks ekstrak tekstil


Pertama-tama ekstrak kain dipersiapkan dengan cara merendam sambil sesekali
mengaduk setiap 2 gram contoh kain dengn 100 mL larutan bufer ptalat pH 4 selama
30 menit. Sebanyak 0,5 mL larutan Cr(VI) 1 mg/L dimasukkan ke dalam labu ukur
100 mL dan diencerkan dengan ekstrak kain hingga tanda batas labu ukur. Larutan
selanjutnya dipindahkan ke dalam gelas kimia 250 mL dan ditambahkan berturut-turut
16
5 mL larutan APDC (3 g/L), dan 0,3 ml larutan Ni (1 g/L). Kemudian dilakukan proses
pengadukan menggunakan pengaduk magnet selama 5 menit dan penyaringan dengan
filter selulosa asetat 0,45 µm. Filter selulosa asetat yang telah digunakan dipindahkan
ke dalam gelas piala dan ditambahkan 2 mL HNO3 pekat kemudian dipanaskan hingga
filter larut. Larutan dipindahkan ke dalam labu ukur 10 mL kemudian ditambahkan 1
mL Mg(NO3)2 ( 0,5 g/L ) dan diencerkan dengan aquades hingga tanda batas labu
ukur. Larutan diukur absorbansinya menggunakan spektrometer serapan atom tungku
karbon.

III.6.3 Aplikasi metode parakonsentrasi terhadap contoh tekstil


III.6.3.1 Persiapan contoh kain
Contoh kain/tekstil yang digunakan dalam penelitian ini adalah contoh kain
komersial yang diambil dari Laboratorium Pengujian Tekstil Balai Besar Tekstil dan
kain hasil pencelupan sendiri.
Kain yang dicelup adalah kain katun 100 % dengan tahapan proses pencelupan
sebagai berikut :
- Proses Pencelupan
Contoh kain katun dicelup dengan vlot 1 : 20. Kain katun dicelup dengan larutan
celup dengan komposisi zat warna direct yellow RL dan direct red BNLE 3 %, zat
pembasah 1 ml/L, natrium karbonat 1 g/L, dan NaCl 10 g/L. Proses pencelupan
dilakukan pada temperatur 95 ºC selama 60 menit, kemudian dilakukan proses
pencucian dan pembilasan dengan menggunakan air kran.
- Proses Penyabunan
Kain yang telah dicelup kemudian dicuci dengan larutan sabun teepol 2 ml/L pada
temperatur 80 ºC selama 10 menit, kemudian dilakukan proses pembilasan dengan
menggunakan air kran.
- Proses Fiksasi
Kain yang telah mengalami proses pencucian kemudian difiksasi dngan
menggunakan larutan K2Cr2O7 2 g/L pada temperatur 70 ºC selama 20 menit,
kemudian diperas dan dikeringkan.

III.6.3.2 Penentuan Cr(VI) dalam contoh kain


2 gram contoh kain/tekstil diekstraksi dengan 100 mL larutan keringat buatan
pH 5,5 selama 30 menit. pH ekstrak kain kemudian diatur hingga pH 4 dengan larutan
17
HCl 0,1 M serta ditambahkan berturut-turut 5 mL larutan APDC (3 g/L) dan 0,3 mL
larutan Ni (1 g/L). Kemudian larutan diaduk dengan pengaduk magnet selama 5 menit
dan disaring dengan filter selulosa asetat dengan kecepatan 25 mL/menit. Filter
selulosa asetat yang telah digunakan dimasukkan ke dalam gelas piala dan
ditambahkan 2 mL HNO3 pekat, kemudian dipanaskan hingga filter sellulosa asetat
larut. Larutan dipindahkan ke dalam labu ukur 10 mL, ditambah1 mL Mg(NO3)2
( 5 g/L ) dan diencerkan dengan aquades hingga tanda batas labu ukur. Absorban
larutan ditentukan menggunakan spektrometri serapan atom tungku karbon.

III.6.3.3 Penentuan limit deteksi


Ke dalam masing-masing gelas piala dimasukkan 100 mL aquades, 100 mL
larutan tandar Cr(VI) 2 ppb dan 5 ppb. Kemudian berturut-turut ditambahkan 5 mL
larutan buffer pH 4, 5 mL larutan APDC ( 3 g/L) dan 0,3 mL Ni (1 g/L). Campuran
larutan diaduk dengan pengaduk magnet selama 5 menit dan disaring dengan filter
selulosa asetat dengan kecepatan 25 mL/menit. Filter selulosa asetat yang telah
digunakan dimasukkan ke dalam gelas piala dan ditambahkan 2 mL HNO3 pekat,
kemudian dipanaskan hingga filter sellulosa asetat larut. Larutan selanjutnya
dipindahkan ke dalam labu ukur 10 mL, ditambah 1 mL Mg(NO3)2 ( 5 g/L ) dan
diencerkan dengan aquades hingga tanda batas labu ukur. Absorban larutan ditentukan
menggunakan spektrometri serapan atom tungku karbon.

18
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Pengaruh pH larutan terhadap pembentukan Cr-PDC


pH merupakan faktor yang penting dalam pembentukan senyawa kompleks,
oleh karena itu perlu dilakukan percobaan penentuan pH optimum pembentukan
kompleks Cr-PDC. Percobaan yang dilakukan dimulai dari pH 2 sampai dengan pH 8
dan memberikan hasil sebagaimana terlihat pada Gambar IV.1. Dari bentuk kurva yang
diperoleh menunjukkan bahwa mulai pH 2 hingga pH 4 nilai luas puncak
(absorban.detik) meningkat, kemudian pada pH 5 dan seterusnya nilai absorban yang
teramati terus menurun hampir mendekati nol. Dengan demikian pH 4 dapat ditetapkan
sebagai pH optimum pembentukan komplek Cr-PDC dan digunakan dalam percobaan
berikutnya.

0.5

0.4
Absorban.detik

0.3

0.2

0.1

0
0 2 4 6 8 10
pH larutan

Gambar IV.1 Pengaruh pH larutan terhadap pembentukan kompleks Cr-PDC

IV.2 Pengaruh jumlah larutan pengkompleks APDC


Agar dapat diketahui pengaruh jumlah larutan APDC yang diperlukan untuk
mengikat krom dalam 100 mL larutan Cr(VI) 50 ppb, maka percobaan yang dilakukan
adalah dengan cara menvariasikan penambahan volume larutan APDC ke dalam
larutan tersebut. Hasil percobaan penambahan larutan APDC ( 3 g/L ) sebanyak 2 – 6
mL pada pH 4 yang merupakan pH optimum pembentukan kompleks Cr-PDC dapat
dilihat pada Gambar IV.2. Pada penambahan larutan APDC sebanyak 2 mL hingga 5
mL terlihat nilai luas puncak absorban yang meningkat, akan tetapi pada penambahan
larutan APDC sebanyak 6 mL nilai luas puncak absorban cenderung tetap.
Penambahan larutan APDC lebih dari 5 mL tidak efisien untuk mengkhelat Cr yang
19
terkandung dalam larutan. Dengan demikian dalam percobaan selanjutnya penambahan
larutan APDC ditetapkan sebanyak 5 mL.

0.6

0.5
Absorban.detik

0.4

0.3

0.2

0.1

0
0 2 4 6 8
mL larutan APDC 3 g/L

Gambar IV.2 Pengaruh jumlah larutan APDC terhadap pembentukan kompleks


Cr-PDC

Kemudian untuk mengetahui retensi kompleks Cr-PDC terhadap filter selulosa


asetat dapat diamati dari persentase perolehan kembali ( recovery ) Cr yang dihasilkan.
Percobaan dilakukan dengan cara mereaksikan 100 mL larutan Cr(VI) 50 µg/L
dengan 5 mL larutan APDC pada pH 4 . Absorban larutan akhir diukur dan dialurkan
ke dalam persamaan kurva kalibrasi pada Lampiran C.
Percobaan dengan pengulangan sebanyak empat kali, menghasilkan data
sebagaimana tertera pada Tabel IV.1. Perolehan kembali yang dihasilkan berkisar 77 –
80 %, dengan rata-rata 79 ± 2 %. Untuk tujuan analisis kuantitatif hasil tersebut kurang
memuaskan. Hal ini memperlihatkan bahwa interaksi antara kompleks Cr-PDC
dengan filter selulosa kurang kuat sehingga ada sebagian kompleks Cr-PDC yang
lolos melewati filter tersebut.

Tabel IV.1 Hasil percobaan retensi kompleks Cr-PDC terhadap filter selulosa asetat

Konsentrasi Cr(VI) awal Konsentrasi ditemukan Perolehan kembali


(µg/L) (µg/L) (%)
50 38,90 78
50 38,66 77
50 39,92 80
50 39,84 80
Rata-rata 79 ± 2

20
IV.3 Pengaruh jumlah Ni yang ditambahkan
Penambahan Ni ke dalam larutan dimaksudkan untuk membantu meningkatkan
retensi kompleks Cr-PDC terhadap filter selulosa asetat, sehingga absorban atau
perolehan kembali dari metode prakonsentrasi yang dikembangkan ini menjadi dapat
meningkat pula. Dari pengamatan secara visual, penambahan larutan Ni ke dalam
larutan kompleks Cr-PDC menyebabkan terjadinya kekeruhan pada larutan.
Kecenderungannya adalah semakin besar jumlah volume penambahan larutan Ni,
kekeruhan pada larutan semakin meningkat pula. Hasil percobaan penambahan larutan
Ni ke dalam larutan kompleks Cr-PDC dapat dilihat sebagaimana tertera pada Gambar
IV.3. Penambahan larutan Ni ( 3 g/L ) sebanyak 0,1 – 0,3 mL memperlihatkan
peningkatan signal luas puncak (absorban.detik) dari 0,49 hingga 0,70, akan tetapi luas
puncak yang dihasilkan cenderung tetap pada penambahan larutan Ni berikutnya.
Penambahan Ni sebagai carrier diduga menyebabkan terbentuknya senyawa Ni-Cr,
sehingga dapat meningkatkan sensitivitas penentuan secara SSATK. Dengan demikian
dapat ditetapkan bahwa penambahan larutan Ni ( 3g/L) yang efisien untuk percobaan
berikutnya adalah sebanyak 0,3 mL.

0.8
0.7
0.6
Absorban.detik

0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7
mL larutan Ni 1 g/L

Gambar IV.3 Pengaruh penambahan larutan Ni terhadap peningkatan luas puncak

21
IV.4 Pengaruh konsentrasi larutan Cr(VI)
Untuk mengetahui hubungan antara jumlah Cr(VI) dalam larutan terhadap %
perolehan kembali dengan cara prakonsentrasi sesuai prosedur, percobaan dilakukan
dengan cara memvariasikan konsentrasi larutan Cr(VI) 5 – 40 µg/L pada kondisi
percobaan yang telah diperoleh sebelumnya. Sebagaimana hasil percobaan yang tertera
pada Tabel IV.2, perolehan kembali yang cukup baik terjadi pada konsentrasi larutan
Cr(VI) di bawah 15 µg/L. Pada konsentrasi Cr(VI) diatas 15 µg/L perolehan kembali
Cr(VI) menurun dikarenakan proses kopresipitasi ditentukan oleh jumlah APDC dan
Ni yang ditambahkan . Pada kondisi ini zat pengompleks APDC yang ditambahkan ke
dalam larutan seluruhnya telah berikatan dengan hanya sebagian Cr(VI) saja dan
menyisakan sebagian lagi yang tidak terkopresipitasikan.

Tabel IV.2 Pengaruh konsentrasi larutan terhadap % perolehan kembali

Konsentrasi Cr(VI) Konsentrasi Cr(VI) Perolehan


Awal ditemukan kembali
(µg/L) (µg/L) (%)
5 4,61 92
10 8,27 93
15 16,07 107
20 11,92 60
30 18,13 61
40 16,93 42

IV.5 Pengaruh Cr(III) terhadap perolehan kembali Cr(VI)


Di dalam literatur telah dilaporkan bahwa spesi Cr(III) dan Cr(VI) memiliki
sifat berbeda ketika direaksikan dengan APDC pada pH rendah dan temperatur kamar.
Untuk membuktikan hal tersebut, suatu percobaan telah dilakukan dengan cara
mencampurkan kedua spesi Cr(III) dan Cr(VI), selanjutnya larutan campuran Cr diuji
menggunakan metode yang dikembangkan pada kondisi percobaan optimum yang
telah diperoleh sebelumnya. Hasil percobaan dapat dilihat pada Tabel IV.3. Terbukti
bahwa spesi Cr(III) tidak mengganggu terhadap perolehan Cr(VI). Pada kondisi
percobaan Cr(III) sukar membentuk komplek dengan APDC dikarenakan Cr(III)
berada dalam bentuk terhidrasi yang sangat kuat, sedangkan Cr(VI) akan tereduksi
oleh APDC menjadi Cr(III) dan segera membentuk kompleks dengan APDC(1) .

22
Tabel IV.3 Pengaruh Cr(III) terhadap % perolehan kembali Cr(VI)

No. Sampel Konsonsentrasi Konsentrasi Perolehan


Awal ditemukan kembali
(µg/L) (µg/L) (%)

1 Cr(III) 5 0,46 9
2 Cr(VI) 5 4,75 95
3 Campuran Cr (VI) Cr(III) = 5 4,80 96
dan Cr(III) Cr(VI) = 5

IV.6 Pengaruh matriks contoh kain


Ketika contoh tekstil diekstraksi menggunakan larutan keringat asam
kemungkinannya tidak hanya logam-logam saja yang terektraksi melainkan juga zat-
zat lainnya akan ikut terekstraksi, sehingga menghasilkan suatu matriks tertentu yang
perlu dipertimbangkan pengaruhnya terhadap hasil prakonsentrasi. Matriks tersebut
terbentuk disamping oleh zat yang digunakan dalam pembuatan larutan keringat, juga
oleh zat-zat pembantu tekstil yang terkandung dalam contoh tekstil. Untuk mengetahui
pengaruh matriks larutan ekstrak tekstil terhadap prakonsentrasi Cr(VI), pada
percobaan ini pengaruh matrik larutan ekstrak kain tekstil diuji dengan cara
menambahkan (spike) sejumlah larutan Cr(VI) ke dalam larutan hasil ekstraksi kain
tekstil dengan larutan keringat asam. Hasil percobaan disajikan pada Tabel IV.4. Dari
hasil percobaan dengan tiga kali ulangan diperoleh perolehan kembali sebesar 95 ±
1%, hal ini menunjukkan bahwa matrik larutan ekstrak kain relatif tidak
mempengaruhi terhadap hasil perolehan kembali Cr(VI).

Tabel IV.4 Pengaruh matriks ekstrak kain terhadap % perolehan kembali Cr(VI)

Spike Faktor Konsentrasi Cr(VI) Perolehan


Cr(VI) Prakonsentrasi (µg/L) kembali
(µg/L) (P) (%)
teoritis ditemukan
5 10 50 47,12 94
5 10 50 48,12 96
5 10 50 47,50 95
Rata-rata 95 ± 1

23
IV.7 Kinerja analitik
IV.7.1 Kebolehulangan
Kebolehulangan ( presisi ) dapat diartikan sebagai kedekatan antara nilai-nilai
yang dihasilkan dari suatu pengukuran yang dilakukan menggunakan cara yang persis
sama. Umumnya kebolehulangan ditentukan dengan melakukan pengukuran dengan
beberapa kali ulangan. Kebolehulangan antara lain dapat dinyatakan dengan koefisien
variansi (KV) . Koefisiensi variansi merupakan persentasi standar deviasi atau standar
deviasi dikalikan dengan 100 %.
Hasil penentuan koefisien variansi dari pengukuran spike larutan standar
Cr(VI) 5 ug/L dalam ekstrak kain yang dijadikan sebagai matriks larutan
menggunakan metode yang dikembangkan dengan pengulangan n = 3, memberikan
hasil perolehan kembali dengan KV sebesar 1,1 %. Hasil perhitungan % KV dapat
dilihat pada Lampiran F.

IV.7.2 Kurva kalibrasi


Dalam analisis kuantitatif secara spektrometri, untuk mengetahui kadar atau
konsentrasi analit dalam contoh dilakukan dengan cara mengalurkan sinyal analitik
yang terukur oleh instrumen ke dalam kurva kalibrasi. Kurva kalibrasi menyatakan
hubungan antara respon sinyal yang dihasilkan terhadap sederet larutan analit yang
telah diketahui konsentrasinya. Bentuk kurva kalibrasi yang umum digunakan dalam
analisis adalah kurva linear. Hubungan linearitas antara variabel kurva kalibrasi
dinyatakan dengan koefisien korelasi r, dimana nilai r berada dalam rentang -1 ≤ r ≤ 1.
Suatu kurva kalibrasi linear positif sempurna jika r = 1. Namun demikian dalam
praktek, nilai r yang ditemukan biasanya mendekati 1.
Untuk mengetahui apakah terjadi hubungan yang linear antara konsentrasi
dengan respon sinyal (absorban.detik) yang dihasilkan, maka terhadap sejumlah variasi
konsentrasi Cr(VI) 2 – 10 ug/L yang mengalami perlakukan sama sesuai dengan
metode yang dikembangkan dilakukan pengukuran secara SSATK. Dari data hasil
penentuan pada Lampiran G kemudian dibuat kurva kalibrasinya. Kurva kalibrasi
terbukti cukup linear dengan nilai r = 0,9932 seperti tampak pada Gambar IV.4.

24
0.9
0.8

Absorban.detik 0.7
0.6
0.5
y = 0.0832x
0.4 R2 = 0.9932
0.3
0.2
0.1
0
0 2 4 6 8 10 12
Konsentrasi Cr(VI) ug/L

Gambar IV.4 Kurva kalibrasi

IV.7.3 Limit deteksi


Limit deteksi didefinisikan sebagai konsentrasi terkecil analit yang
memberikan sinyal terkecil dan dapat dibedakan dari sinyal blanko. Untuk mengetahui
limit deteksi metode percobaan yang dikembangkan, maka dilakukan pengukuran
dalam larutan blanko dan larutan standar Cr (VI) hasil prakonsentrasi dengan beberapa
kali ulangan. Pada percobaan ini penentuan limit deteksi dilakukan dengan cara
mengukur absorban larutan blanko dan larutan standar Cr(VI) 5 µg/L dengan ulangan
n = 10 . Data penentuan limit deteksi dapat dilihat pada Tabel 6. Hasil perhitungan
yang didasarkan pada 3 kali deviasi standar sinyal blanko diperoleh limit deteksi
sebesar 3,48 µg/L.

IV.8 Penentuan Cr(VI) dalam contoh kain


Kondisi optimum yang diperoleh dari metode percobaan diaplikasikan untuk
penentuan kadar Cr(VI) dalam contoh kain. Kain tekstil yang dijadikan contoh dalam
percobaan ini adalah kain hasil pencelupan dan contoh kain komersial yang diperoleh
dari Laboratorium Pengujian Balai Besar Tekstil. Pencelupan dilakukan dengan
menggunakan dua jenis zat warna direk yang berbeda dengan proses fiksasi
menggunakan K2Cr2O7 . Kedua jenis contoh kain yang disiapkan kemudian diekstraksi
dengan larutan keringat buatan pH 5,5. Sebanyak 100 mL ekstrak kain

25
diprakonsentrasi pada kondisi optimum percobaan menjadi 10 mL dan dilakukan
penentuan kadar Cr(VI) secara spektrometri serapan atom tungku karbon. Hasil
penentuan kadar Cr(VI) dalam contoh kain dapat dilihat pada Tabel 6. Kedua contoh
kain hasil pencelupan masing-masing mengandung Cr(VI) sebesar 2,65 mg/kg kain
dan 2,70 mg/kg kain, sedangkan contoh kain komersial diketahui tidak mengandung
Cr(VI).

26
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

V.1 Kesimpulan

Kompleksasi Cr (VI) menggunakan zat pengkomplek APDC dan Ni dapat digunakan


untuk tujuan prakonsentrasi Cr(VI) dalam larutan. Dengan kondisi pembentukan
kompleks Cr(VI) optimum pH 4, penggunaan pereaksi 5 mL larutan APDC (3g/L) dan
0,3 mL larutan Ni (1 g/L), prosedur ini cocok untuk larutan Cr(VI) dengan konsentrasi ≤
15 µg/L. Matriks larutan ekstrak kain tekstil ternyata tidak mengganggu proses
prakonsentrasi. Dengan menggunakan faktor prakonsentrasi 10, dihasilkan perolehan
kembali (recovery) sebesar 95±1% dengan kebolehulangan (% KV) 1,1 %. Perhitungan
yang didasarkan pada 3 x deviasi standar larutan blanko diperoleh limit deteksi sebesar
3,48 µg/L. Aplikasi metode ini dalam pengujian kadar Cr(VI) dalam 2 contoh kain hasil
pencelupan sendiri menunjukkan kedua contoh kain tersebut mengandung Cr(VI) masing-
masing 2,65 dan 2,70 mg/kg kain, sedangkan dalam 2 contoh kain komersial tidak
terdeteksi mengandung Cr(VI).

V.2 Saran
Karena dalam penelitian ini ditemui kesulitan-kesulitan yang dapat mengganggu
terhadap hasil analisis, disarankan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut prakonsentrasi
Cr(VI) menggunakan zat pengkompleks APDC dan Ni serta penentuannya secara
spektrometri serapan atom tungku karbon yang dilengkapi dengan autosampler dan
background Zeeman atau yang lainnya.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Chwastowska, J., Skawara, W., Sterlinska, E., Pszonicki, L. (2005), Speciation of


chromium in mineral water and salinas by solid-phase extraction and graphite
furnace atomic absorption spectrometry, Talanta, 66, 1345-1349.
2. Shore, J. (1990), Colorant and Auxiliaries, Society of Dyers and Colourists, Vol.1,
Manchester, England, 177, 196 – 228.
3. Trotman, E.H. (1970), Dyeing and Chemical Technology of Textile Fibre, 4th
Edition, Griffin & Co Ltd, 405 – 443.
4. The Commission of The European Communities (2002), Establishing the
ecological criteria for the award of community eco-label to textile product and
amending decision 1999/178/EC, Official Journal of European Communities, L
133, 29 – 41.
5. Ökotex Standard 100, General and special condition, International Association for
Research and Testing in the Field of Textile Ecology, Zurich, 2000.
6. Ökotex Standard 200, Testing Procedures, Edition 01, Zurich, 2003.
7. Subramanian, K.S. (1988), Determination of chromium (III) and chromium(VI) by
ammonium pyrrolidinecarbodithioate-methyl isobuthyl ketone furnace atomic
absorption spectrometry, J. Anal. Chem, 60, 11 – 15.
8. Tokalioglu, E., Kartal, S., Elci, L. (2000), Speciation and determination of heavy
metals in lake waters by atomic absorption spectrometry after sorption on amberlite
XAD-16 resin, Analytical Science, 16, 1169-1174.
9. Minami, T., Sohrin, Y., Ueda, J. (2005), Determination of chromium, copper and
Lead in river water by graphite furnace atomic absorption spectrometry after
coprecipitation with terbium hydroxide, Analytical Science, 21, 1519-1521.
10. Zhang, Q., Minami, H., Inoue, S., Atsuya, I. (1999), Preconcentration by
coprecipitation of chromium in natural waters with Pd/8-quinolinol/tannic acid
complex and its direct determination by solid sampling atomic absorption
spectrometry, Analitical Chimica Acta, 401, 277-282.
11. Anthemidis, A.N., Zachariadis, G.A., Kougoulis, J.S., Stratis, J.A. (2002), Flame
atomic absorption spectrometric determination of chromium(VI) by on-line
preconcentration system using a PTFE packed coloumn, Talanta, 57, 15-22.

28
12. Wang, J.S., Chiu, K.H. (2004), Simultaneous extraction of Cr(III) and Cr(VI) with
a dithiocarbamate reagent followed by HPLC separation for chromium speciation,
Analytical Science, 20, 841-846.
13. Beaty, R.D., Kerber, J.D. (1993), Concept instrumentation and techniques in
atomic absorption spectrometry, The Perkin-Elmer Corporation, USA.
14. ISO 105-EO4-1994, Colour Fastness to perspiration.
15. Zhang, Q., Minami, H., Inoue, S., Atsuya, I. (2001), Preconcentration by
coprecipitation of arsenic and tin in natural water with a Ni-pyrrolidyne
dithiocarbamate complex and their direct determination by solid sampling atomic
absorption spectrometry, Fresenius J. Anal. Chem, 370, 860-864.
16. Anthemidis, A.N., Zachariadis, G.A., Kougoulis, J.S., Stratis, J.A. (2002), On-line
preconcentration and determination of copper, lead and chromium(VI) using
anloaded polyurethane foam packed column by flame atomic absorption
spectrometry in natural waters and biological samples, Talanta, 58, 831-840.
17. Dong,X., Nakaguchi, Y., Hiraki, K. (1998), Determination of chromium, iron,
manganese and lead in human hair by graphite furnace atomic absorption
spectrometry, Analytical Science, 14, 785-789.
18. Hiraide, M., Hori, J. (1999), Enrichment of metal-APDC complexes on admicelle-
coated alumina for water analysis, Analytical Science, 15, 1055-1058.
19. Krishna, P.G., Gladis, J.M., Rambabu, U., Rao, T.P., Naidu, G.R.K. (2004),
Talanta, 63, 541-546.
20. Soylak, M., Erdo, N.D., Elci, L. (2004), Membrane filtration of iron(III), copper(II)
and lead(II) ions as 1-(2-pyridilazo) 2-naphtol (PAN) for their preconcentration
and atomic absorption determination, J. Chinese Chemical Society, 51, 703-706.

29
Lampiran A.

Data hasil percobaan pengaruh pH larutan terhadap pembentukan kompleks Cr-PDC

No. pH Larutan Cr(VI) Absorban.detik


1 2 Rata-rata
1 1,02 0,016 0,024 0,020
2 2,03 0,173 0,161 0,167
3 3,07 0,325 0,331 0,328
4 3,99 0,440 0,451 0,446
5 5,17 0,354 0,373 0,363
6 6,20 0,184 0,184 0,185
7 6,95 0,042 0,037 0,040
8 8,17 0,028 0,030 0,029

30
Lampiran B

Data hasil percobaan pengaruh jumlah larutan APDC yang ditambahkan

No. Jumlah larutan APDC (3 g/L) Absorban.detik


( mL ) 1 2 Rata-rata
1 2 0,206 - 0,206
2 3 0,331 0,352 0,342
3 4 0,431 0.431 0,431
4 5 0,426 0,432 0,429
5 6 0,433 0,423 0,428

31
Lampiran C

Data pembuatan kurva kalibrasi Cr(VI)


No. Konsentrasi standar Cr(VI) Absorban.detik Keterangan
(ppb)
1 10 0,196 Y=0,0127X
2 20 0,236 r = 0,9626
3 30 0,392
4 40 0,483

Data hasil percobaan retensi kompleks Cr-PDC terhadap filter selulosa asetat
Konsentrasi Cr awal Cr ditemukan Perolehan kembali
( µg/L) Absorban.detik Konsentrasi (%)
( µg/L)
50 0,494 38,90 78
50 0,491 38,66 77
50 0,506 39,92 80
50 0,507 39,84 80
Rata-rata 79
SD 2

Perhitungan :
- % Perolehan kembali = ( Kons. Cr ditemukan ÷ Kons. Cr awal ) x 100 %
= ( 38,90 ppb ÷ 50 ppb ) x 100 %
= 78 %
- Standar deviasi (SD) = √ ∑ (Xi – Xrata-rata )2/( n-1)
= √{(78-79)2 + (77-79)2 + (80-79)2 + (80-79)2}/ 3
= 2 (pembulatan)

32
Lampiran D

Data hasil percobaan pengaruh jumlah larutan Ni yang ditambahkan kedalam


100 mL larutan Cr(VI) 50 µg/L

No. Penambahan larutan Ni (II) 1 g/L Absorban.detik


( mL )
1 0 0,494
2 0,1 0,609
3 0,2 0,694
4 0,3 0,705
5 0,6 0,677

33
Lampiran E

Data kurva kalibrasi larutan standar Cr(VI)

No. Konsentrasi standar Cr(VI) Absorban.detik Keterangan


(ppb)
1 5 0,139 Y=0,03012X
2 10 0,301 r = 0,9974
3 15 0,470
4 20 0,591

Data hasil percobaan pengaruh konsentrasi larutan Cr(VI)

No. Konsentrasi Cr ditemukan Perolehan


larutan Cr(VI) Absorban.detik Konsentrasi kembali
( µg/L) ( µg/L) (%)
1 5 0,139 4,61 92
2 10 0,279 9,26 93
3 15 0,484 16,07 107
4 20 0,359 11,91 60
5 30 0,555 18,34 61
6 40 0,510 16,93 42

34
Lampiran F

Data kurva kalibrasi larutan standar Cr(VI)

No. Konsentrasi standar Cr(VI) Absorban.detik Keterangan


(ppb)
1 1 0,001 Y=0,0096X
2 5 0,028 r = 0,9461
3 10 0,105
4 15 0,142

Data hasil percobaan pengaruh matriks contoh kain

Konsentrasi Faktor Kons. Konsentrasi Cr(VI) Perolehan


Cr(VI) Prakonsentrasi Cr(VI) ditemukan kembali
(µg/L) (P) teoritis (µg/L) (%)
(µg/L)
5 10 50 47,12 94
5 10 50 48,12 96
5 10 50 47,50 95
Rata-rata 95
SD 1

Perhitungan % KV :
% KV = (SD ÷ Hasil rata-rata) x 100 %
= ( 1 ÷ 95 ) x 100 %
= 1,1 %

35
Lampiran G

Data penentuan limit deteksi


No. Absorban.detik Keterangan
Blanko Std Cr(VI) 5 µg/L
(AB)
1 0,073 0,109 Perhitungan

2 0,068 0,113
LD = {[(AB)rata-rata+ 3 SD(AB)]/(AStd)} x [Std]
3 0,067 0,114
4 0,061
5 0,059 0,061 + 3(0,0057)

6 0,058 LD = X 5 µg/L = 3,48 µg/L


0,112
7 0,059
8 0,058
9 0,056
10 0,054
Rata-rata 0,061 0,112
SD 0,0057

36
Lampiran H

Data pembuatan kurva kalibrasi Cr(VI)

No. Konsentrasi standar Cr(VI) Absorban.detik Keterangan


(ppb) 1 2 Rata-rata
1 2 0,124 0,177 0,151 Y= 0,0832X
2 4 0,334 0,433 0,383 r = 0,9932
3 6 0,457 0,420 0,438
4 8 0,605 0,617 0,611
5 10 0,803 0,820 0,811

Data hasil percobaan prakonsentrasi Cr(VI) dari contoh kain

Contoh kain Absorban.detik Konsentrasi Kadar Cr(VI)


Cr(VI) dalam kain
1 2 Rata- (ppb) (mg/kg kain)
rata

Poliester komersial 0,000 0,000 0,000 ttd ttd

T/C komersial 0,002 -0,005 -0,002 ttd ttd

Kain katun 0,432 0,458 0,445 5,35 2,65


celup/kuning
( pengenceran 10 X )

Kain katun celup/biru 0,434 0,464 0,449 5,40 2,70


( pengenceran 10 X)

37
SURAT PELIMPAHAN HAK CIPTA

Yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama : Tatang Wahyudi
NIM : 20504005
Menyatakan bahwa penulis tesis dengan judul : Prakonsentrasi Krom (VI) dari
matriks tekstil dan penentuannya secara spektrometri serapan atom tungku karbon
Dibawah bimbingan : Dr. Muhammad Bachri Amran
Adalah benar-benar tesis tersebut hasil karya tulis berdasarkan data hasil
eksperimen/perhitungan/permodelan penulis selama melakukan penelitian Pasca Sarjana
di Program Studi Kimia ITB.
Dengan ini penulis menyerahkan/melimpahkan Hak Cipta dari karya tulis tesis tersebut
kepada Program Studi Kimia ITB.

Bandung, September 2007

Tatang Wahyudi
NIM. 20504005

Anda mungkin juga menyukai