Anda di halaman 1dari 20

1

BAB I
PENDAHULUAN

Kondisi geografis Indonesia sebagai negara tropis dengan suhu dan


kelembaban yang tinggi memudahkan tumbuhnya jamur. Hal tersebut
menyebabkan prevalensi penyakit infeksi jamur yaitu dermatofitosis di Indonesia
cukup tinggi. Studi menyebutkan 20% - 25% orang dewasa di seluruh dunia
terinfeksi oleh dermatofitosis.
Dermatofitosis merupakan infeksi jamur superfisial yang disebabkan oleh
jamur dermatofita pada jaringan yang terdapat zat tanduk (berkeratin), jarang
mengenai lapisan yang lebih dalam, ditandai dengan lesi inflamasi maupun non
inflamasi, mengenai stratum korneum pada kulit, rambut dan kuku. Infeksi jamur
yang sering menyebabkan dermatofitosis adalah genus Tricophyton, Microsporum
dan Epidermophyton.
Trycophyton rubrum, Trycophyton mentagrophytes dan Microsporum
canis merupakan agen penyebab paling sering pada infeksi tinea korporis dan
tinea kruris. Tinea korporis merupakan infeksi jamur dermatofita yang menyerang
bagian kulit halus tanpa rambut (glabrous skin) kecuali telapak tangan, telapak
kaki dan lipatan paha. Sedangkan tinea kruris merupakan infeksi jamur yang
sering menyerang bagian lipatan paha, bagian perineum, dan kulit disekitar anus.
Pengobatan infeksi dermatofitosis sebagian besar memberikan respon baik
terhadap pemberian topical antifungal selama 2-4 minggu. Pemberian obat
antifungal secara oral dapat diberikan apabila infeksi dermatofitosis cukup luas
maupun tidak berespon terhadap pemberian antifungal topical.1,3
Laporan kasus ini membahas tinea korporis et kruris pada pasien wanita,
yang merupakan kasus dermatofitosis yang sangat sering terjadi pada masyarakat
di Indonesia. Penentuan diagnosis yang tepat serta edukasi terhadap masyarakat
sangatlah penting untuk mencegah penyebaran penyakit ini.
2

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. Siti Muslifah
Usia : 49 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Worokutoto5 no 31 Semarang
Status Marital : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal Periksa : 17 Oktober 2016

2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 17 Oktober
2016, pukul 11.00 WIB bertempat di poliklinik kulit dan kelamin RSUD Dr.
Adhyatma MPH Tugurejo Semarang.
a. Keluhan utama
kulit terasa gatal
b. Riwayat Perjalanan Penyakit
Pasien Ny. S datang ke poliklinik RSUD Tugurejo dengan keluhan
kulit terasa gatal pada ketiak, bawah payudara, bokong dan lipat paha.
Keluhan tidak dirasakan di tempat lain. Keluhan timbul sejak kurang lebih
1 tahun yang lalu. Keluhan dirasakan gatal, panas dan perih. Pasien
mengaku keluhan timbul dimulai dari area bawah ketiak , dan menyebar
ketempat lain seperti yang dikeluhakan. Pasien sudah pernah berobat di
dokter umum namun keluhan tidak kunjung sembuh. Keluhan gatal di
rasakan semakin memberat saat berkeringat. Gatal semakin hari semakin
parah sehingga menimbulakn luka lecet akibat garukan. Pasien tidak
mengeluhkan demam. Pasien juga menyangkal mempunyai riwayat alergi
makanan maupun obat.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien mengaku belum pernah mengalami keluhan serupa semenjak 1
tahun yang lalu. Riwayat DM di sangkal.
3

d. Riwayat Keluarga
Menurut pengakuan pasien di keluarga tidak ada yang mengalami hal
serupa.

2.3 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 17 Oktober 2016 pukul 11.00
WIB.
2.3.1 Status Generalis
1. Keadaan Umum : Tampak Sakit ringan
2. Kesadaran : Composmentis
GCS : 15 (E4V5M6)
3. Vital Sign
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Frekuensi Nadi : 80 x/menit irama reguler
Frekuensi Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36,6 ᴼC
4. Kepala
Mata
Konjungtiva : Anemis -/- perdarahan -/-
Sklera : ikterus -/-
Telinga
Lubang telinga : Sekret (-), Darah (-)
Bentuk : Normal
Pendengaran : Normal
Perdarahan : -/-
Sekret : -/-

Hidung
Bentuk hidung normal, Sekret (-), perdarahan (-)
Mulut
Bibir : tidak sianosis, mukosa tidak pucat.
Leher
KGB : tidak ada pembesaran
Tiroid : tidak ada pembesaran
Thorax
4

- Tidak tampak retraksi intercostal


- Suara paru vesikuler
Abdomen
Kesan : tampak dalam batas normal
Ekstremitas
- Akral hangat
2.3.2 Status Dermatologi

Gambar 1. Tampak lesi bulat “Ring Worm” dengan makula


hiperpigmentasi pada lipat ketiak

Gambar 2. Makula hiperpigmentasi pada lipat payudara


5

Gambar 3. Makula Hiperpigmentasi dan papul dipada lipat paha

Gambar 4. Gambaran makula hiperpigmentasi pada lipat paha

Gambar 5. Gambaran makula hiperpihmentasi dengan papul pada


regio gluteus
6

a. Inspeksi
1. UKK :
makula hiperpigmentas multiple berbatas tegas, dengan skuama tipis
diatasnya. Didapatkan juga makula hiperpigmentasi multiple berbatas
tegas , bentuk bulat dengan tepi meninggi dan central healing positif.
a) Axila : makula hiperpigmentasi dengan lesi bulat
b) Cruris : makula hiperpigmentasi numuler
c) Lipat payudara : makula hiperpimentasi
d) Gluteus : makula hiperpigmentasi dengan papul
2. Lokasi : Axila, cruris, lipatan mamae, gluteus
3. Distribusi : Regional
b. Palpasi
Tidak ada gangguan sensoris

2.4 Resume
Pasien Ny. A datang ke poliklinik RSUD Tugurejo dengan keluhan gatal
gatal di lipat ketiak, lipat payudara, lipat paha dan bokong. Pasien mengeluh
gatal sudah sejak 1 tahun yang lalu. Keluhan diawali di lipat ketiak dengan
kemerahan kemudian semakin lama membesar dan mengitam juga terdapat
luka lecet akibat garukan. Gatal dirasakan semakin bertambah saat
berkeringat.

Status dermatologi :

Terlihat makula hiperpigmentasi dengan papul ditepi pada lipat ketiak, lipat
payudara, lipat paha dan bokong pasien.

2.5 Diagnosis Banding


1. Tinea korporis et cruris
2. Dermatitis seboroik
3. Psoriasis
4. Pitiriasis Rosea
2.6 Usulan Pemeriksaan
1. Pemeriksaan Mikroskopis dengan larutan KOH
2. Pemeriksaan lampu Wood

2.7 Diagnosis Kerja


7

Tinea korporis et cruris

2.8 Penatalaksanaan
1. Kausal
Menghindari kelembapan dibagian lipatan lipatan tubuh
2. Sistemik
- Antifungi :
Ketokonazol 200 mg
- Antihistamin :
Cetirizine 1x10 mg
3. Topikal
- Ketonazol 2%
- Asam salisilat 2 %

2.9 Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam
8

BAB III
PEMBAHASAN

I. Definisi
Dermatofitosis adalah infeksi jamur yang disebabkan oleh jamur
dermatofita yaitu Epidermophyton, Mycrosporum dan Trycophyton.
Terdapat lebih dari 40 spesies dermatofita yang berbeda, yang menginfeksi
kulit dan salah satu penyakit yang disebabkan jamur golongan dermatofita
adalah tinea korporis.(1)
Tinea korporis adalah dermatofitosis pada kulit yang tidak berambut
(glabrous skin) kecuali telapak tangan, telapak kaki, dan lipat paha.(1)

II. Etiologi
Dermatofitosis adalah infeksi jamur yang disebabkan oleh jamur
dermatofita yaitu Epidermophyton, Mycrosporum dan Trycophyton.
Terdapat lebih dari 40 spesies dermatofita yang berbeda, yang menginfeksi
kulit dan salah satu penyakit yang disebabkan jamur golongan dermatofita
adalah tinea korporis.(1)

III. Epidemiologi
Prevalensi infeksi jamur superfisial di seluruh dunia diperkirakan
menyerang 20-25% populasi dunia dan merupakan salah satu bentuk
infeksi kulit tersering (Rezvani dan Sefidgar,2010). Penyakit ini tersebar di
seluruh dunia yang dapat menyerang semua ras dan kelompok umur
sehingga infeksi jamur superfisial ini relatif sering terkena pada negara
tropis (iklim panas dan kelembaban yang tinggi) dan sering terjadi
eksaserbasi.(2)
Penyebab tinea korporis berbeda-beda di setiap negara, seperti di
Amerika Serikat penyebab terseringnya adalah Tricophyton rubrum,
Trycophyton mentagrophytes, Microsporum canis dan Trycophyton
tonsurans. Di Afrika penyebab tersering tinea korporis adalah Tricophyton
rubrum dan Tricophyton mentagrophytes, sedangkan di Eropa penyebab
9

terseringnya adalah Tricophyton rubrum, sementara di Asia penyebab


terseringnya adalah Tricophyton rubrum, Tricophyton mentagropytes dan
Tricophyton violaceum.(3)
Dilaporkan penyebab dermatofitosis yang dapat dibiakkan di
Jakarta adalah T. rubrum 57,6%, E. floccosum 17,5%, M. canis 9,2%,
T.mentagrophytes var. granulare 9,0%, M. gypseum 3,2%, T. concentricum
0,5%(2)
Di RSU Adam malik/Dokter Pirngadi Medan spesies jamur penyebab
adalah dermatofita yaitu: T.rubrum 43%, E.floccosum 12,1%,
T.mentagrophytes 4,4%, dan M.canis 2%,serta nondermatofita 18,5%, ragi
19,1% (C. albicans 17,3%, Candida lain 1,8%) (3)

IV. Klasifikasi Ekologi


Menurut Arnold berdasarkan pada pejamunya, jamur penyebab
dermatofita diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, dimana pembagian ini
juga mempengaruhi cara penularan penyakit akibat dermatofita ini.
Pengelompokannya yaitu:
• Geofilik yaitu transmisi dari tanah ke manusia

• Zoofilik yaitu transmisi dari hewan ke manusia, contoh Trycophyton


simii (monyet), Trycophyton mentagrophytes (tikus), Microsporum canis
(kucing), Trycophyton equinum (kuda) dan Microsporum nannum (babi).

• Antrofilik yaitu transmisi dari manusia ke manusia.

V. Patogenesa
Elemen kecil dari jamur disebut hifa, berupa benang-benang
filament terdiri dari sel-sel yang mempunyai dinding. Dinding sel jamur
merupakan karakteristik utama yang membedakan jamur, karena banyak
mengandung substrat nitrogen disebut dengan chitin. Struktur bagian
dalam (organela) terdiri dari nukleus, mitokondria, ribosom, retikulum
endoplasma, lisosom, apparatus golgi dan sentriol dengan fungsi dan
10

peranannya masing-masing. Benang-benang hifa bila bercabang dan


membentuk anyaman disebut miselium.(1)
Dermatofita berkembang biak dengan cara fragmentasi atau
membentuk spora, baik seksual maupun aseksual. Spora adalah suatu alat
reproduksi yang dibentuk hifa, besarnya antara 1-3μ, biasanya bentuknya
bulat, segi empat, kerucut atau lonjong. Spora dalam pertumbuhannya
makin lama makin besar dan memanjang membentuk hifa. terdapat 2
macam spora yaitu spora seksual (gabungan dari dua hifa) dan spora
aseksual (dibentuk oleh hifa tanpa penggabungan)(2)
Infeksi Dermatofita diawali dengan perlekatan jamur atau elemen
jamur yang dapat tumbuh dan berkembang pada stratum korneum. Pada
saat perlekatan, jamur dermatofita harus tahan terhadap rintangan seperti
sinar ultraviolet, variasi temperatur dan kelembaban, kompetensi dengan
flora normal, spingosin dan asam lemak. Kerusakan stratum korneum,
tempat yang tertutup dan maserasi memudahkan masuknya jamur ke
epidermis.(5)
Masuknya dermatofita ke epidermis menyebabkan respon imun
pejamu baik respon imun nonspesifik maupun respon imun spesifik.
Respon imun nonspesifik merupakan pertahanan lini pertama melawan
infeksi jamur. Mekanisme ini dapat dipengaruhi faktor umum, seperti gizi,
keadaan hormonal, usia, dan faktor khusus seperti penghalang mekanik
dari kulit dan mukosa, sekresi permukaan dan respons radang. Respons
radang merupakan mekanisme pertahanan nonspesifik terpenting yang
dirangsang oleh penetrasi elemen jamur. Terdapat 2 unsur reaksi radang,
yaitu pertama produksi sejumlah komponen kimia yang larut dan bersifat
toksik terhadap invasi organisme. Komponen kimia ini antara lain ialah
lisozim,sitokin,interferon,komplemen, dan protein fase akut. Unsur kedua
merupakan elemen seluler,seperti netrofil, dan makrofag, dengan fungsi
utama fagositosis, mencerna, dan merusak partikel asing. Makrofag juga
terlibat dalam respons imun yang spesifik. Sel-sel lain yang termasuk
respons radang nonspesifik ialah basophil, sel mast, eosinophil, trombosit
11

dan sel NK (natural killer). Neutrofil mempunyai peranan utama dalam


pertahanan melawan infeksi jamur.(5)
Imunitas spesifik membentuk lini kedua pertahanan melawan
jamur setelah jamur mengalahkan pertahanan nonspesifik. Limfosit T dan
limfosit B merupakan sel yang berperan penting pada pertahanan tubuh
spesifik. Sel-sel ini mempunyai mekanisme termasuk pengenalan dan
mengingat organism asing, sehingga terjadi amplifikasi dari kerja dan
kemampuannya untuk merspons secara cepat terhadap adanya presentasi
dengan memproduksi antibodi, sedangkan limfosit T berperan dalam
respons seluler terhadap infeksi. Imunitas seluler sangat penting pada
infeksi jamur. Kedua mekanisme ini dicetuskan oleh adanya kontak antara
limfosit dengan antigen.(5)

VI. Gambaran Klinis


Gambaran klinis dimulai dengan lesi bulat atau lonjong dengan
tepi yang aktif dengan perkembangan kearah luar, bercak-bercak bisa
melebar dan akhirnya memberi gambaran yang polisiklik,arsinar,dan
sirsinar. Pada bagian pinggir ditemukan lesi yang aktif yang ditandai
dengan eritema, adanya papul atau vesikel, sedangkan pada bagian tengah
lesi relatif lebih tenang. Tinea korporis yang menahun, tanda-tanda aktif
menjadi hilang dan selanjutnya hanya meninggalkan daerah
hiperpigmentasi saja. Gejala subyektif yaitu gatal, dan terutama jika
berkeringat dan kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan.(4)
Tinea korporis biasanya terjadi setelah kontak dengan individu atau
dengan binatang piaraan yang terinfeksi, tetapi kadang terjadi karena
kontak dengan mamalia liar atau tanah yang terkontaminasi. Penyebaran
juga mungkin terjadi melalui benda misalnya pakaian, perabot dan
sebagainya.(2)
VII. Pemeriksaan Laboratorium
Selain dari gejala khas tinea korporis, diagnosis harus dibantu
dengan pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan mikroskopis,
12

kultur, pemeriksaan lampu wood, biopsi dan histopatologi, pemeriksaan


serologi, dan pemeriksaan dengan menggunakan PCR.(5)
Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan membuat preparat
langsung dari kerokan kulit, kemudian sediaan dituangi larutan KOH 10%.
Sesudah 15 menit atau sesudah dipanaskan dengan api kecil, dilihat di
bawah mikroskop. Pemeriksaan ini memberikan hasil positif hifa
ditemukan hifa (benang-benang) yang bersepta atau bercabang, selain itu
tampak juga spora berupa bola kecil sebesar 1-3μ.(3)
Kultur dilakukan dalam media agar sabaroud pada suhu kamar (25-
30⁰C),kemudian satu minggu dilihat dan dinilai apakah ada pertumbuhan
jamur. Spesies jamur dapat ditentukan melalui bentuk koloni, bentuk hifa
dan bentuk spora.(3)
Pemeriksaan lampu wood adalah pemeriksaan yang menggunakan
sinar ultraviolet dengan panjang gelombang 365 nm. Sinar ini tidak dapat
dilihat. Bila sinar ini diarahkan ke kulit yang mengalami infeksi oleh
jamur dermatofita tertentu, sinar ini akan berubah menjadi dapat dilihat
dengan memberi warna (fluoresensi). Beberapa jamur yang memberikan
fluoresensi yaitu M.canis, M.audouini, M.ferrugineum dan T.schoenleinii.
(4)

VIII. Diagnosa banding


Ada beberapa diagnosis banding tinea korporis, antara lain :
1. eritema anulare sentrifugum
2. eksema numular
3. granuloma anulare
4. psoriasis
5. dermatitis seboroik
6. pitiriasis rosea
7. liken planus dan dermatitis kontak (Verma dan Heffernan,2008).

IX. Diagnosa
13

Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan


laboratorium yaitu mikroskopis langsung dan kultur (Verma dan
Heffernan,2008).

X. Penatalaksanaan
Pengobatan infeksi jamur dibedakan menjadi pengobatan non
medikamentosa dan pengobatan medikamentosa.
1. Non Medikamentosa
Menurut Badan POM RI (2011), dikatakan bahwa penatalaksanaan non
medikamentosa adalah sebagai berikut:
a. Gunakan handuk tersendiri untuk mengeringkan bagian yang terkena
infeksi atau bagian yang terinfeksi dikeringkan terakhir untuk mencegah
penyebaran infeksi ke bagian tubuh lainnya.

b. Jangan mengunakan handuk, baju, atau benda lainnya secara bergantian


dengan orang yang terinfeksi.

c. Cuci handuk dan baju yang terkontaminasi jamur dengan air panas
untuk mencegah penyebaran jamur tersebut.
d. Bersihkan kulit setiap hari menggunakan sabun dan air untuk
menghilangkan sisa-sisa kotoran agar jamur tidak mudah tumbuh.
e. Jika memungkinkan hindari penggunaan baju dan sepatu yang dapat
menyebabkan kulit selalu basah seperti bahan wool dan bahan sintetis
yang dapat menghambat sirkulasi udara.

f. Sebelum menggunakan sepatu, sebaiknya dilap terlebih dahulu dan


bersihkan debu-debu yang menempel pada sepatu.

g. Hindari kontak langsung dengan orang yang mengalami infeksi jamur.


Gunakan sandal yang terbuat dari bahan kayu dan karet
2. Medikamentosa
Pengobatan tinea korporis terdiri dari pengobatan lokal dan pengobatan
sistemik. Pada tinea korporis dengan lesi terbatas,cukup diberikan obat
topikal. Lama pengobatan bervariasi antara 1-4 minggu bergantung jenis
14

obat. Obat oral atau kombinasi obat oral dan topikal diperlukan pada lesi
yang luas atau kronik rekurens. Anti jamur topikal yang dapat diberikan
yaitu derivate imidazole, toksiklat, haloprogin dan tolnaftat. Pengobatan
lokal infeksi jamur pada lesi yang meradang disertai vesikel dan eksudat
terlebih dahulu dilakukan dengan kompres basah secara terbuka (Vermam
dan Heffernan,2008).
Pada keadaan inflamasi menonjol dan rasa gatal berat, kombinasi
antijamur dengan kortikosteroid jangka pendek akan mempercepat
perbaikan klinis dan mengurangi keluhan pasien (Verma dan
Heffernan,2008).
a. Pengobatan Topikal
Pengobatan topikal merupakan pilihan utama. Efektivitas obat
topikal dipengaruhi oleh mekanisme kerja,viskositas, hidrofobisitas
dan asiditas formulasi obat tersebut. Selain obat-obat klasik, obat-obat
derivate imidazole dan alilamin dapat digunakan untuk mengatasi
masalah tinea korporis ini. Efektivitas obat yang termasuk golongan
imidaol kurang lebih sama. Pemberian obat dianjurkan selama 3-4
minggu atau sampai hasil kultur negative. Selanjutnya dianjurkan juga
untuk meneruskan pengobatan selama 7-10 hari setelah penyembuhan
klinis dan mikologis dengan maksud mengurangi kekambuhan (Verma
dan Heffernan,2008).
b. Pengobatan Sistemik
Menurut Verma dan Heffernan (2008), pengobatan sistemik yang
dapat diberikan pada tinea korporis adalah:
• Griseofulvin
Griseofulvin merupakan obat sistemik pilihan pertama. Dosis untuk
anak-anak 15-20 mg/kgBB/hari, sedangkan dewasa 500-1000 mg/hari
• Ketokonazol
Ketokonazol digunakan untuk mengobati tinea korporis yang resisten
terhadap griseofulvin atau terapi topikal. Dosisnya adalah 200 mg/hari
selama 3 minggu.
15

• Obat-obat yang relative baru seperti itrakonazol serta terbinafin


dikatakan cukuo memuaskan untuk pengobatan tinea korporis.

B. Tinea Cruris

Tinea kruris adalah mikosis superfisial atau disebut juga Eczema


marginatum, Dobie itch, Jockey itch, Ringworm of the groin.15 yang
termasuk golongan dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan
sekitar anus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat
merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup. Lesi kulit dapat
terbatas pada daerah genito-krural saja, atau meluas ke daerah sekitar anus,
daerah gluteus dan perut bagian bawah, atau bagian tubuh yang lain.(6)

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya tinea kruris


Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi jamur ini adalah
iklim panas, lembab, higiene sanitasi, pakaian serba nilon, pengeluaran
keringat yang berlebihan, trauma kulit, dan lingkungan. Maserasi dan
oklusif pada regio kruris memberikan kontribusi terhadap kondisi
kelembaban sehingga menyebabkan perkembangan infeksi jamur. Tinea
kruris sangat menular dan epidemik minor dapat terjadi pada lingkungan
sekolah dan komunitas semacam yang lain. Tinea kruris umumnya terjadi
akibat infeksi dermatofitosis yang lain pada individu yang sama melalui
kontak langsung dengan penderita misalnya berjabat tangan, tidur bersama,
dan hubungan seksual. Tetapi bisa juga melalui kontak tidak
langsungmelalui benda yang terkontaminasi,”pakaian, handuk, sprei, bantal
dan lain-lain”. Obesitas, penggunaan antibiotika, kortikosteroid serta obat-
obat imunosupresan lain juga merupakan faktor predisposisi terjadinya
penyakit jamur.(7)

Gambaran klinis
Penderita merasa gatal dan kelainan lesi berupa plakat berbatas tegas terdiri
atas bermacam-macam efloresensi kulit (polimorfik).26 Bentuk lesi yang
16

beraneka ragam ini dapat berupa sedikit hiperpigmentasi dan skuamasi


menahun.28 Kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau
lonjong, berbatas tegas, terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan
vesikel dan papul di tepi lesi. Daerah di tengahnya biasanya lebih tenang,
sementara yang di tepi lebih aktif yang terlihat erosi dan krusta akibat
garukan. Kelainan kulit juga dapat dilihat secara polisiklik, karena beberapa
lesi kulit yang menjadi satu. Lesi dapat meluas dan memberikan gambaran
yang tidak khas terutama pada pasien imunodefisiensi.(8)

Diagnosis
Diagnosis ditegakan berdasarkan gambaran klinis yaitu adanya kelainan
kulit berupa lesi berbatas tegas dan peradangan dimana pada tepi lebih nyata
daripada bagian tengahnya.(9)
Pemeriksaan mikologi ditemukan elemen jamur pada pemeriksaan kerokan
kulit dengan mikroskopik langsung memakai larutan KOH 10-20%.18
Pemeriksaan KOH paling mudah diperoleh dengan pengambilan sampel
dari batas lesi. Hasil pemeriksaan mikroskopis KOH 10 % yang positif,
yaitu adanya elemen jamur berupa hifa yang bercabang dan atau artrospora.
30 Pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan jamur di perlukan bahan
klinis, yang dapat berupa kerokan kulit, rambut, dan kuku.(10)
Diagnosis banding
a. Dermatitis seboroik
Dermatitis kronik yang terjadi pada daerah yang mempunyai banyak
kelenajar sebasea. Seperti pada muka, kepala, dada.
Efloresensi : Plakat eritematosa dengan skuama berwarna kekuningan
berminyak dengan batas tegas. (11)
17

b. Psoriasis
Merupakan penyakit kulit yang bersidat kronik,residif, dan tidak infeksius.
Efloresensi : plakat eritematosa berbatas tegas ditutupi skuama tebal,
berlapis-lapis dan berwarna putih mengkilat. Terdapat tiga fenomena, yaitu
bila digores dengan benda tumpul menunjukan tanda tetesan lilin.
Kemudian bila skuama dikelupas satu demi satu sampai dasarnya akan
tampak bintik-bintik perdarahan, dikenal dengan nama Auspits sign. Adanya
fenomena koebner / atau reaksi isomorfik yaitu timbul lesi-lesi yang sama
dengan kelainan psoriasis akibat bekas trauma / garukan.(12)
c.Ptiriasis rosea
Merupakan peradangan kulit akut berupa lesi papuloskuamosa pada badan,
lengan atas bagian proksimal dan paha atas.
Efloresensi : papul / plak eritematosa berbebntuk oval dengan skuama
collarette (skuama halus di pinggir). Lesi pertama ( Mother patch/Herald
patch) berupa bercak yang besar, soliter, ovale dan anular berdiameter dua
sampai enam cm. Lesi tersusun sesuai lipatan kulit sehingga memberikan
gambaran menyerupai pohon cemara (Christmas tree)(12)

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tinea kruris dapat dibedakan menjadi dua yaitu higienis
sanitasi dan terapi farmakologi. Melalui higienis sanitasi, tinea kruris dapat
dihindari dengan mencegah faktor risiko seperti celana dalam yang
digunakan, hendaknya dapat menyerap keringat dan diganti setiap hari.
Selangkangan atau daerah lipat paha harus bersih dan kering. Hindari
memakai celana sempit dan ketat, terutama yang digunakan dalam waktu
yang lama. Menjaga agar daerah selangkangan atau lipat paha tetap kering
dan tidak lembab adalah salah satu faktor yang mencegah terjadinya infeksi
pada tinea kruris. (7)
Masa sekarang, Dermatofitisis pada umumnya dapat diatasi dengan
pemberian griseofulvin yang bersifat fungistatik. Bagan dosis pengobatan
griseofulvin berbeda-beda. Secara umum, griseofulvin dalam bentuk
18

fineparticle dapat di berikan denggan dosis 0,5-1 g untuk orang dewasa dan
0,25-0,5 g untuk anak –anak sehari atau 10-25 mg per kg berat badan. Lama
pengobatan tergantung dari lokasi penyakit dan keadaan imunitas penderita.
(8)

Efek samping griseofulvin jarang di jumpai, yang merupakan keluhan utama


ialah sefalgia yang di dapati pada 15% penderita. Efek samping yang lain
dapat berupa gangguan traktus digestifus ialah nausea, vomitus, dan diare.
Obat tersebut juga bersifat fotosensitif dan dapat menggangu fungsi hepar.(8)
(a) Topikal : salep atau krim antimikotik. Lokasi lokasi ini sangat peka , jadi
konsentrasi obat harus lebih rendah dibandingkan lokasi lain, misalnya asam
salisilat,asam benzoat, sulfur dan sebagainya.

(b) Sistemik : diberikan jika lesi meluas dan kronik ; griseofulvin 500-1.000
mg selama 2-3 minggu atau ketokonazole100 mg/hari selama 1 bulan.11
19

DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, Adhi. Dkk.: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta. 2011.
2. Weitzman I, Summerbell R C. The Dermatophytes. American Society for
Microbiology. New York. 2007, 8(2):240
3. Risdianto Arif, Kadir Dirmawati, Amin Safruddin. Tinea Corporis and Tinea
Cruris Caused by Trychophyton mentagrophytes type glanular in Asthma
Bronchiale Patient. Medical Faculty of Hasanuddin University, Makassar.
2013
4. Straten Melody R. Vander, Hossain Mohammad A, Ghannoum Mahmoud A.
Cutaneus infections Dermatophytosis, onchomycosis and tinea versicolor.
Infectius Disease Clinics of North America. Cleveland. 2011
5. Kurniati, C. Etiopatogenesis Dermatofitosis, Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga, Surabaya. 2010
6. Dermatophytosis. The Centre for Food Security & Public Health. Iowa. 2013
7. Nasution MA, Muis Kamaliah, Juwono, dkk. Diagnosis dan
penatalaksanaan dermatofitosis. Cermin Dunia Kedokteran,2012.
8. Nugroho SA, Siregar RS. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis Mikosis
Superfisialis. In : Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL,
Dwihastuti P, editors. Dermatomikosis Superfisialis, 2 nd Ed. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI, 2012, p: 99-107

9. Haber M. Dermatological fungal infections. Canadian Journal of


Diagnosis University of Calgary’s. 2009.
10. Kuswadji, Widaty S. Obat Anti Jamur. In : Budimulja U, Kuswadji, Bramono
K, Menaldi SL, Dwihastuti P, editors. Dermatomikosis Superfisialis, 2 nd Ed.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2011, p : 108-118
11. Wiederkehr M. Tinea cruris. [Online]. 2014 Jul 21 [cited 2014 Des 5];
Available from: URL:http://emedicine.medscape.com/article/ 1091806
20

12. Cholis M. Penatalaksanaan Tinea Glabrosa dan Perkembangan Obat Anti


Jamur Baru. Cermin Dunia Kedokteran 2011;130:21-24

Anda mungkin juga menyukai