Anda di halaman 1dari 21

Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.

Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2011/2012

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Epilepsi
1.1.1 Batasan Klinik
Epilepsi adalah gangguan dimana dapat dilihat sebagai gejala dari gangguan
aktivitas elektrik di otak yang merupakan gangguan kronik yang ditandai dengan kejang
berulang tanpa sebab (Berg, 2006). Epilepsi adalah serangan ulang seizure dengan
atau tanpa konvulsi. Seizure muncul dari pelepasan neuron kortikal berlebih dan
dicirikan dengan perubahan aktivitas elektrik yang terukur oleh
electroencephalogram (EEG). Sedangkan definisi menurut WHO, epilepsi adalah
suatu kelainan otak kronik dengan berbagai macam penyebab yang ditandai oleh
serangan epilepsi berulang yang disebabkan oleh bangkitan neuron otak yang
berlebihan, dimana gambaran klinisnya dapat berupa kejang, perubahan tingkah
laku, perubahan kesadaran tergantung lokasi kelainan di otak (Chadwick, 1991).
1.1.2 Klasifikasi Epilepsi
Klasifikasi yang ditetapkan oleh international league against epilepsy
(ILAE) terdiri dari dua jenis klasifikasi yaitu klasifikasi untuk jenis bangkitan
epilepsi dan klasifikasi untuk sindrom epilepsi.

1
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2011/2012

1.1.3 Etiologi
Epilepsi dapat disebabkan antara lain oleh:
a. Idiopatik: penyebab tidak diketahui, umumnya memiliki predisposisi
genetik
b. Kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya tidak diketahui,
termasuk disini sindrom west, sindrom lennox-gastaut dan epilepsi
mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus.
c. Simtomatik: disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat
misalnya trauma kepala, infeksi susunan saraf pusat (SSP), kelainan
congenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik
(alkohol, obat) metabolik, kelainan neurodegenerative

1.1.4 Patofisiologi
A. Gangguan pada Membran Sel Neuron
Potensial membran sel neuron bergantung pada permeabilitas sel tersebut
terhadap ion Na+ dan K+. Membran neuron sangat permeabel terhadap ion K+,
namun kurang permeabel terhadap ion Na+, sehingga diperoleh konsentrasi ion K+
yang tinggi & konsentrasi ion Na+ yang rendah di dalam sel pada keadaan normal.
Potensial membran ini dapat terganggu dan berubah oleh berbagai hal, misalnya
perubahan konsentrasi ion ekstraselular, stimulasi mekanis/ kimiawi, perubahan
pada membran oleh penyakit/ jejas, ataupun pengaruh kelainan genetik (Machfoed
dkk., 2011).
Jika terjadi gangguan keseimbangan, maka sifat semi-permeabel akan
berubah & akan terjadi kekacauan difusi ion Na+ dan K+ melalui membran yang
mengakibatkan perubahan kadar ion dan potensial aksi yang menyertainya.
Potensial aksi terbentuk pada permukaan sel dan menjadi stimulus yang efektif
pada bagian membran sel lainnya yang menyebar sepanjang axon. Konsep bahwa
permeabilitas ion meningkat pada kejang epilepsi saat ini banyak dianut.
Tampaknya semua konvulsi (apapun pencetus atau penyebabnya) akan disertai
berkurangnya ion K+ dan meningkatnya konsentrasi ion Na+ di dalam sel
(Machfoed dkk., 2011).

2
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2011/2012

B. Gangguan pada Mekanisme Inhibisi Pra-sinaps dan Pasca-sinaps


Hubungan antar sel neuron terjadi melalui sinaps-sinaps. Potensial aksi
yang terjadi di suatu neuron akan dihantar melalui neuro-axon yang kemudian
akan merilis neurotransmiter pada sinaps yang mengeksitasi atau menginhibisi
membran pasca-sinaps. Neurotransmiter eksitasi (seperti: asetilkolin & asam
glutamat) mengakibatkan terjadinya depolarisasi, sementara neurotransmiter
inhibisi (seperti: GABA & glisin) menyebabkan terjadinya hiperpolarisasi neuron
penerimanya. Jadi, satu impuls dapat mengakibatkan stimulasi atau inhibisi pada
transmisi sinaps (Machfoed dkk., 2011).
Tiap neuron berhubungan dengan sejumlah besar neuron-neuron lainnya
melalui sinaps eksitasi atau inhibisi, sehingga otak merupakan struktur yang
terdiri dari sel neuron yang saling berhubungan dan mempengaruhi dalam
aktivitasnya. Pada keadaan normal, terjadi keseimbangan antara aktivitas eksitasi
dan inhibisi. Gangguan pada keseimbangan ini dapat mengakibatkan terjadinya
bangkitan kejang. Efek dari neurotransmiter inhibisi adalah meningkatkan
ambang polarisasi membran sel. Kegagalan mekanisme inhibisi ini akan
mengakibatkan terjadinya pelepasan muatan listrik secara berlebihan. Demikian
pula halnya apabila neurotransmiter eksitasi lebih unggul, akan timbul bangkitan
epilepsi. GABA dapat mencegah terjadinya hipersinkronisasi. Gangguan sintesis
GABA akan mengakibatkan perubahan keseimbangan eksitasi-inhibisi. Fosfat
piridoksal merupakan substansi penting untuk sintesis GABA, sehingga defisiensi
piridoksin metabolik ataupun nutrisi dapat menyebabkan terjadinya kejang pada
bayi. Asam valproat sebagai oral anti-epilepsy (OAE) bekerja dengan mencegah
pemecahan GABA (Machfoed dkk., 2011).
Dapat dikemukakan bahwa pada bayi dan anak, bukan saja maturasi
anatomik dari sistem saraf yang mempunyai peranan, tetapi variasi antara
keseimbangan sistem inhibisi dan eksitasi di otak juga memainkan peranan
penting dalam menentukan tinggi/ rendahnya ambang kejang. Selain itu jaringan
saraf juga dapat menjadi hipereksitabel akibat perubahan homeostasis tubuh.
Perubahan tersebut dapat diakibatkan oleh karena demam, hipoksia, hipokalsemia,
kelebihan hidrasi, serta perubahan keseimbangan asam-basa. Sementara faktor
eksternal yang dapat meningkatkan hipereksibilitas antara lain OAE (terutama

3
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2011/2012

golongan barbiturat), overdosis berbagai macam obat, serta kondisi toksisitas


(Machfoed dkk., 2011).
Dengan menggunakan mikro-elektroda sifat kelistrikan suatu neuron dapat
diselidiki. Pemeriksaan pada sel neuron di fokus epileptik menunjukkan terjadinya
abnormalitas aktivitas letupan listrik berfrekuensi tinggi. Aktivitas otonom ini
diduga disebabkan oleh depolarisasi dendrit, akibat adanya perbedaan potensial
antara badan sel dan dendrit. Perubahan patologis di dendrit ini dapat diakibatkan
karena tekanan mekanis (misalnya oleh jaringan parut). Secara histologis, neuron
epileptik memiliki sedikit ujung sinaps, dengan demikian rangsang eferen yang
diterima dapat berkurang. Berkurangnya rangsang eferen ini dapat mengakibatkan
sel neuron menjadi hipersensitif, sehingga dapat terjadi pelepasan muatan listrik
yang berlebihan secara spontan (Machfoed dkk., 2011).
C. Sel Glia
Sel glia diduga berfungsi untuk mengatur ion K+ ekstraselular di sekitar
neuron dan terminal pre-sinaps. Pada gliosis atau keadaan cedera, fungsi glia yang
mengatur konsentrasi ion K+ ekstraselular dapat terganggu dan mengakibatkan
meningkatnya eksitabilitas sel neuron di sekitarnya. Rasio yang tinggi antara
kadar ion K+ ekstraselular dibandingkan dengan intraselular dapat
mendepolarisasi membran neuron (Machfoed dkk., 2011).
Cukup banyak bukti yang menunjukkan bahwa astroglia memiliki peran
dalam pembuangan kelebihan ion K+ saat sel neuron aktif. Diketahui bahwa
sewaktu kejang, kadar ion K+ akan meningkat sebanyak ≥ 5 kali di cairan
interstitial yang mengitari sel neuron. Ketika ion K+ diserap oleh astroglia, cairan
tersebut juga akan ikut terserap dan sel astroglia akan menjadi bengkak (edema).
Hal ini merupakan jawaban yang khas bagi astroglia terhadap peningkatan ion K+
ekstraselular, baik yang disebabkan oleh hiperaktivitas neuronal maupun akibat
iskemia serebral (Machfoed et al., 2011). Pada suatu penelitian eksperimental
diketahui bahwa masuknya kation ke dalam sel astrosit akan menimbulkan
letupan kejang pada sel neuron di sekitarnya. Ini merupakan suatu ilustrasi
mengenai peranan sel astroglia dalam mengatur aktivitas neuronal (Machfoed
dkk., 2011).

4
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2011/2012

Para peneliti umumnya sependapat bahwa mayoritas kejang epilepsi


berasal dari sekelompok sel neuron yang abnormal di otak, yang melepaskan
muatan listrik secara berlebihan dan hipersinkron. Kelompok sel neuron abnormal
ini disebut sebagai fokus epilepsi, yang mendasari semua jenis epilepsi yang
umum maupun yang fokal (parsial). Pelepasan muatan listrik ini kemudian dapat
menyebar melalui jalur-jalur fisiologis-anatomis yang melibatkan daerah di
sekitarnya/ bahkan daerah yang lebih jauh letaknya di otak (Machfoed dkk.,
2011).
Jika sekelompok sel neuron tercetus dalam aktivitas listrik berlebihan,
maka ada 3 kemungkinan yang dapat terjadi:
1. aktivitas ini tidak akan menjalar ke sekitarnya, melainkan terlokalisasi
pada kelompok neuron tersebut, kemudian berhenti
2. aktivitas ini akan menjalar sampai jarak tertentu (tetapi tidak melibatkan
seluruh otak), kemudian menjumpai tahanan dan berhenti
3. aktivitas ini akan menjalar ke seluruh otak baru kemudian berhenti
Keadaan 1 dan 2 terjadi pada kejang epilepsi fokal (parsial), sedangkan keadaan 3
terjadi pada kejang umum. Jenis kejang epilepsi bergantung pada letak & fungsi
sel neuron yang melepaskan muatan listrik berlebihan beserta penjalarannya.
Kontraksi otot somatik akan terjadi apabila pelepasan muatan melibatkan daerah
motorik di lobus frontalis. Beraneka ragam gangguan sensorik akan terjadi apabila
struktur di lobus parietalis dan oksipitalis ikut terlibat. Kehilangan kesadaran
terjadi apabila pelepasan muatan melibatkan batang otak dan thalamus. Walaupun
dapat melepaskan muatan listrik secara berlebihan, namun tak semua sel neuron di
susunan saraf pusat dapat mencetuskan bangkitan epilepsi klinis. Sel neuron di
serebelum dan di medulla spinalis tidak mampu mencetuskan bangkitan ini.
Fenomena Todd sering dijumpai pada pasien dengan fokus lesi struktural.
Bangkitan kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit dapat mengakibatkan
kerusakan pada sel neuron dengan manifestasi kecacatan yang menetap
(Machfoed dkk., 2011).
Sebagian besar energi sel saraf digunakan untuk transportasi ion Na+ dan
K+ yang berhubungan erat dengan kelistrikan dan penjalarannya. Ditengarai sel
neuron itu mampu mengeluarkan ion Na+ dari dalam sel. Akibat dari keadaan ini

5
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2011/2012

ialah diperoleh konsentrasi ion K+ yang tinggi di ruang intraselular dan


konsentrasi ion Na+ yang tinggi di ruang ekstraselular. Untuk memompa ion Na+
keluar, dibutuhkan banyak energi yang diperoleh melalui senyawa fosfat (ATP).
Jika terjadi bangkitan kejang, maka aktivitas pemompaan Na+ akan bertambah,
demikian pula dengan kebutuhan terhadap senyawa ATP. Dengan kata lain,
kebutuhan akan O2 dan glukosa juga akan mengalami peningkatan. Apabila
kejang berlangsung singkat, maka peningkatan kebutuhan ini masih dapat
dipenuhi. Tapi jika kejang berlangsung lama, ada kemungkinan bahwa kebutuhan
akan O2 dan glukosa tidak terpenuhi, sehingga sel neuron dapat rusak atau mati
(Machfoed dkk., 2011).

1.1.5 Gejala/Gambaran Klinik epilepsi


Manifestasi kiliniknya adalah sebagai perubahan dalam fungsi motorik,
sensorik atau gejala somatosensori, atau periode otomatisasi kehilangan memori,
atau penyimpangan perilaku. Bisa berupa kejang, perubahan tingkah laku,
perubahan kesadaran dan gangguan penglihatan dan penciuman. Berikut adalah
contoh beberapa bentuk bangkitan epilepsi:
1. Bangkitan umum lena
 Gangguan kesadaran secara mendadak (abscene), berlangsung beberapa
detik
 Selama bangkitan kegiatan motorik terhenti dan pasien diam tanpa reaksi
 Mata memandang jauh ke depan
 Mungkin terdapat automatisme
 Pemulihan kesadaran segera terjadi tanpa perasaan bingung
 Sesudah itu pasien melanjutkan aktivitas semula
2. Bangkitan umum tonik klonik
 Dapat didahului prodomal seperti jeritan, sentakan, mioklonik
 Pasien kehilangan kesadaran, kaku 9 fase tonik selama 10-30 detik, diikuti
gerakan kejang kelonjotan pada kedua lengan dan tungkai (fase klonik)
selama 30-60 detik, dapat disertai mulut berbusa
 Selesai bangkitan pasien menjadi lemas (fase flaksid) dan tampak bingung
 Pasien sering tidur setelah bangkitan

6
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2011/2012

3. Bangkitan parsial sederhana


 Tidak terjadi perubahan kesadaran
 Bangkitan dimulai dari tangan, kaki atau muka (unilateral/fokal) kemudian
menyebar pada sisi yang sama
 Kepala mungkin berpaling ke arah bagian tubuh yang mengalami kejang
(adversif)
4. Bangkitan parsial kompleks
 Bangkitan fokal disertai terganggunya kesadaran
 Sering diikuti oleh automatisme yang stererotipik seperti mengunyah,
menelan, tertawa, dan kegiatan motorik lainnya tanpa tujuan yang jelas
 Kepala mungkin berpaling ke arah bagian tubuh yang mengalami kejang
(adversif)
5. Bangkitan umum sekunder
 Berkembang dari bangkitan parsial sederhana atau kompleks yang dalam
waktu singkat menjadi bangkitan umum
 Bangkitan parsial dapat berupa aura
 Bangkitan umum yang terjadi biasanya bersifat kejang tonik klonik

Sindroma Epilepsi
Pada umumnya sindroma epilepsi bersifat khas, unik, dan terutama
dijumpai pada golongan anak-anak. Manifestasi klinik sindroma epilepsi pada
anak-anak dapat dilihat di dalam pedoman tata laksana epilepsi yang diterbitkan
oleh kelompok studi Neuropediatri (Machfoed dkk., 2011).

1.1.6 Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi epilepsi ialah tercapainya kualitas hidup optimal pada
pasien, sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi serta keterbatasan fisik maupun
mental yang dimilikinya. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan beberapa
upaya, diantaranya: menghentikan kejang, mengurangi frekuensi kejang,
mencegah timbulnya efek samping, menurunkan angka morbiditas dan mortalitas,
mencegah timbulnya efek samping OAE (Machfoed dkk., 2011).

7
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2011/2012

Prinsip Terapi Farmakologi:


1. OAE mulai diberikan apabila:
 diagnosis epilepsi telah dipastikan (confirmed)
 pasien dan/ atau keluarganya telah menerima penjelasan tentang tujuan
pengobatan
 pasien dan/ atau keluarganya telah diberi tahu tentang kemungkinan efek
samping OAE yang dapat terjadi
2. Terapi dimulai dengan monoterapi terlebih dahulu, menggunakan OAE terpilih
sesuai dengan jenis kejang dan sindroma epilepsi.
3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan secara bertahap
sampai dosis efektif tercapai/ timbul efek samping yang tidak diinginkan
(kadar obat dalam plasma perlu ditentukan apabila kejang tidak terkontrol
dengan pemberian dosis efektif).
4. Jika dengan dosis maksimum obat pertama tetap tidak dapat mengontrol
kejang, maka perlu ditambahkan OAE kedua. Jika kombinasi terapi OAE telah
memberikan respon terapi, maka dosis OAE pertama di-tappering off secara
perlahan-lahan.
5. Obat ketiga baru boleh ditambahkan setelah terbukti bahwa kejang tidak dapat
diatasi meskipun telah menggunakan dosis maksimal kedua OAE pertama.
6. Pasien dengan kejang tunggal direkomendasikan untuk diterapi jika:
 dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG
 pada pemeriksaan CT-scan atau MRI dijumpai lesi yang berkorelasi
dengan kejang (misalnya: neoplasma otak, AVM, abses otak, ensefalitis
herpes)
 pada pemeriksaan neurologi dijumpai kelainan yang mengarah pada
kerusakan otak
 terdapat riwayat epilepsi pada saudara kandung (bukan orang tua)
 memiliki riwayat kejang simptomatik
 ada riwayat trauma kepala (terutama yang disertai penurunan kesadaran,
stroke, atau infeksi)
 kejang pertama berupa status epileptikus

8
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2011/2012

6. Perlu memperhatikan efek samping serta interaksi & profil farmakokinetik


antar OAE (Machfoed dkk., 2011)

Gambar 1.1 Penatalaksanaan Epilepsi (Rozes&Cavazos, 2008)

9
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2011/2012

Tabel 1.1 Jenis dan Dosis OAE untuk Pasien Dewasa (Machfoed et al., 2011)
Dosis
Dosis Awal T½ Plasma T Steady
Obat Rumatan
(mg/hari) (jam) State (hari)
(mg/hari)
Carbamazepine 400-600 400-1600 15-35 2-7
Phenytoin 200-300 200-400 10-80 3-15
Asam Valproat 500-1000 500-2500 12-18 2-4
Phenobarbital 50-100 50-200 50-170
Clonazepam 1 4 20-60 2-10
Clobazam 10 10-30 10-30 2-6
Oxcarbazepine 600-900 600-3000 8-15
Levetiracetam 1000-2000 1000-3000 6-8 2
Topiramate 100 100-400 20-30 2-5
Gabapentine 900-1800 900-3600 5-7 2
Lamotrigine 50-100 20-200 15-35 2-6

Tabel 1.2 Pemilihan OAE Berdasarkan Jenis Kejang (Machfoed et al., 2011)
Jenis Kejang OAE Lini OAE Lini OAE Lain
Pertama Kedua
Kejang Lena (Absence) Na Valproat Ethosuximide Levetiracetam

Lamotrigine Zonisamide
Kejang Myoklonik Na Valproat Topiramate Lamotrigine

Levetiracetam Clobazam

Zonisamide Clonazepam

Phenobarbital
Kejang Tonik Klonik Na Valproat Lamotrigine Topiramate

Carbamazepine Oxcarbazepine Levetiracetam

Phenytoin Zonisamide

Phenobarbital Primidone
Kejang Atonik Na Valproat Lamotrigine Felbamate

Topiramate
Kejang Fokal dengan/ Carbamazepine Na Valproat Tiagabine
tanpa Umum Sekunder
Phenytoin Levetiracetam Vigabatrin

Phenobarbital Zonisamide Felbamate

10
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2011/2012

Oxcarbazepine Pregabaline Primidone

Gabapentin

Topiramate

Lamotrigine
Kejang Tak Na Valproat Lamotrigine Topiramate
Terklasifikasikan
Levetiracetam

Zonisamide

11
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2011/2012

BAB II
PROFIL PENDERITA

Nama Pasien : Tn. EW


Jenis Kelamin : laki-laki
Umur / BB : 26 tahun / 65 kg
Poliklinik : Saraf
Daftar Poli Saraf :14 Mei 2012
Status Sosial : Askes Wajib
Alasan MRS : Tanpa disadari pasien tiba-tiba pingsan di tempat kerja disertai
dengan kejang. Pasien tidak sadar saat kejang dan ada muntah
setelah sadar. Kondisi itu sudah terjadi 2 kali. Menurut
temannya, sebelum pingsan tidak diikuti panas, nyeri kepala
atau muntah tiba-tiba. Pasien sedikit bermasalah dalam
pekerjaan, namun tidak dalam keluarga
Diagnosis : Observation for suspected mental & behavioral disorder +
epilepsi

Data Kunjungan Pasien


TANGGAL KELUHAN DIAGNOSA
18/6/2012 Pasien post-KRS dengan epilepsi simptomatik. Epilepsi
Bicara masih pelo, kejang (–), marah-marah (–), Simptomatik
pasien agak pelupa. Terjadi autonomic retensio
urine. Merokok (+)
TD = 100/70 ; N = 90 ; GCS = 456
3/7/2012 Bicara masih pelo, mulut bergerak-gerak saat Epilepsi
tidur, pasien masih sering lupa
TD = 110/80 ; N = 90 ; GCS = 456
16/7/2012 TD = 120/80 ; N = 88 Epilepsi
15/8/2012 Kejang terakhir terjadi ketika MRS 3 bulan yang Epilepsi
lalu (sampai sekarang belum kejang lagi)

12
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2011/2012

TD = 100/60 ; N = 90
26/9/2012 TD = 110/80 ; N = 88 Epilepsi
10/10/2012 Kejang terakhir Mei 2012. Memori baik Epilepsi

7/11/2012 Hasil MSCT + kontras (25/9/2012) : saat ini Epilepsi


tidak tampak kelainan Idiopatik
21/11/2012 Pasien sudah bisa bekerja lagi sebagai sopir Epilepsi
dalam kota
TD = 100/60
5/12/2012 TD = 110/70 ; N = 88 Epilepsi
19/12/2012 Menurut pasien  dari kontrol terakhir Epilepsi
Piracetam & Haloperidol dihentikan
7/1/2013 TD = 120/80 ; GCS = 15 Epilepsi

Hasil Pemeriksaan
TANGGAL PEMERIKSAAN HASIL
15/6/2012 EEG CSA hemisphere kiri
10/9/2012 Laboratorium BUN = 8,2 mg/dL
SCr = 1,02 mg/dL
SGOT = 25 U/L
SGPT = 51 U/L
Radiologi Klinis : riwayat kejang + pelo + hemiparese
(D)
Hasil : tidak tampak lesi hypo/ hyperdense
di
brain parenchyme
MSCT kepala : tidak tampak kelainan
25/9/2012 Radiologi MSCT + kontras : saat ini tidak tampak
kelainan

13
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2011/2012

BAB III
PROFIL PENGOBATAN

TANGGAL
NO OBAT DOSIS
18/6 3/7 16/7 15/8 26/9 10/10 7/11 21/11 5/12 19/12 7/1/13
3 x 250
1. As. Valproat √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
mg

2. Haloperidol 2 x 0,5 mg √ √ √ √ √ √ √ √ //

3. Vitamin B6 2 x 1 tab √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

2 x 800
4. Piracetam √ √ √ √ √ √ √ √ √ //
mg

5. As. Folat 1 x 1 tab √ √ √

6. Parasetamol √

14
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2011/2012

BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien Tn. EW datang ke poli saraf dengan riwayat MRS 6 bulan yang
lalu di RSDS dengan keluhan pingsan secara tiba-tiba dengan disertai kejang dan
muntah setelah pasien sadar. Kejadian tersebut tidak disertai dengan demam atau
nyeri kepala sebelumnya. Saat itu pasien didiagnosa mengalami epilepsi
simptomatik. Epilepsi simptomatik disebabkan oleh kelainan/ lesi di sistem saraf
pusat. Namun selanjutnya pada bulan November 2012 diagnosa tersebut berubah
menjadi epilepsi idiopatik, dimana penyebab epilepsi ini tidak diketahui
(Machfoed et al., 2011).
Selama berobat pasien memperoleh terapi OAE berupa Asam Valproat (3
x 250 mg). Asam Valproat adalah terapi lini pertama untuk kejang umum primer,
baik atonik, myoklonik, maupun kejang lena. Obat ini dapat digunakan sebagai
monoterapi ataupun terapi adjuvan untuk kejang parsial, serta efektif pula bagi
pasien-pasien dengan mixed seizure disorders. Selain digunakan untuk mengatasi
kejang, obat ini juga bisa digunakan untuk terapi gangguan-gangguan neurologis
atau psikiatris lainnya, seperti: migrain, nyeri kepala, dan bipolar disorder. Oleh
karena indeks terapetiknya yang lebar, maka Asam Valproat dipertimbangkan
sebagai OAE spektrum luas (Rogers & Cavazos, 2008). Asam Valproat bekerja
dengan menghambat aktivitas kanal Ca2+ tipe T, di samping juga mempengaruhi
metabolisme GABA melalui stimulasi terhadap enzim pensintesis GABA
(glutamate decarboxylase) serta hambatan terhadap enzim pemetabolisme GABA
(GABA transaminase, succinic semialdehyde dehydrogenase, dan aldehyde
reductase). Untuk mengatasi kejang, dosis yang direkomendasikan adalah > 250
mg/hr dalam dosis terbagi (Lacy et al., 2009). Pada kasus ini pasien telah
memperoleh terapi dengan indikasi dan regimentasi dosis yang sesuai dengan
yang rekomendasi.
Selain itu, sejak bulan Juni hingga November 2012 pasien juga mendapat
terapi Haloperidol (2 x 0,5 mg). Haloperidol merupakan antipsikotik golongan
butyrophenone yang dapat berikatan dengan reseptor dopamin (D1 dan D2),
reseptor 5-HT, reseptor histamin (H1), serta reseptor α2-adrenergik di otak.

15
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2011/2012

Mekanisme kerja obat ini ialah lewat efek antagonis reseptor dopamin di sistem
mesolimbik & mesofrontal yang akan menekan pelepasan hormon hipothalamus
& hipophisis, yang selanjutnya dipercaya juga dapat mendepresi aktivasi sistem
retikular sehingga akan mempengaruhi metabolisme basal, temperatur tubuh,
wakefulness, tonus vasomotorik, serta refleks muntah. Penggunaan Haloperidol
diindikasikan untuk terapi psikosis dan gangguan perilaku. Dosis yang
direkomendasikan untuk penggunaan oral adalah 0,5-5 mg tiap 12-8 jam sehari
(max: 30 mg/hr). Pemberian melebihi dosis tersebut dapat menimbulkan efek
samping takikardia, impotensi, dan dizziness. Efek lainnya meliputi sedasi dan
peningkatan berat badan yang disebabkan akibat blokade reseptor histamin H1.
Dosis terapi yang diterima pasien sudah sesuai dengan rentang aman yang
direkomendasikan. Terapi ini juga memberikan efek perbaikan kondisi pada
pasien, sehingga sejak bulan Desember 2012 pemakaiannya dihentikan.
Antipsikotik generasi 1 dan 2 dapat menurunkan ambang batas terjadinya
kejang, yang artinya akan meningkatkan peluang induksi kejang. Yang termasuk
ke dalam anti-psikotik paling sering menyebabkan kejang adalah Chlorpromazine
(generasi 1) serta Clozapine (generasi 2). Sementara Haloperidol merupakan
antipsikotik dengan risiko pencetus terjadinya kejang yang lebih rendah (Hedges,
2003). Sehingga pada kasus ini dapat disimpulkan bahwa pemilihan obat telah
sesuai dengan kondisi pasien.
Sementara itu Piracetam Tab (2 x 800 mg) diberikan sejak bulan Juni
sampai awal Desember 2012. Piracetam berfungsi sebagai neuroprotektan dengan
mekanisme kerja melindungi neuron terhadap disfungsi mitokondrial,
meningkatkan produksi ATP, mencegah hantaran sinyal apoptosis, mempengaruhi
fungsi neuronal, vaskular, & kognitif lewat peningkatan fungsi asetilkolin (proses
memori), efek pada reseptor NMDA (proses belajar dan memori), mengaktivasi
peredaran darah otak dengan meningkatkan kecepatan metabolik O2 serebral dan
glukosa regional, serta menormalkan aliran darah ke daerah iskemik. Indikasi
penggunaan Piracetam di sini sudah sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Muller et al. (1999) & Winbland (2005), dimana Piracetam yang disebut
sebagai “nootropic drug” dapat digunakan untuk mengatasi gangguan kognitif
pada kondisi degeneratif, cedera otak, maupun demensia. Selain itu, data hasil

16
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2011/2012

meta-analisis yang dilakukan oleh Waegemans et al. (2002) selama tahun 1972-
2001 menunjukkan bahwa suplementasi Piracetam dapat memberikan efek yang
lebih baik dibandingkan dengan plasebo. Efektivitas ini ditunjang lewat perbaikan
kondisi yang dialami pasien, sehingga pada tanggal 19 Desember 2012 klinisi
menghentikan terapinya.
Asam Folat memiliki fungsi sebagai carrier gugus hidroksimetil dan
formil yang dapat mempengaruhi sintesis purin dan timin pada proses
pembentukan DNA. Perubahan homosistein menjadi metionin membutuhkan
enzim methionine synthetase dengan methyltetrahydrofolate sebagai donor gugus
metil, serta vitamin B12 sebagai kofaktor (Lacy et al., 2009).

Gambar 4.1 Metabolisme asam folat


Pemberian Asam Folat pada kasus ini ditujukan untuk memperbaiki kadar
asam folat dalam serum dan eritrosit yang rendah, karena referensi menyebutkan
bahwa pasien epilepsi yang memperoleh terapi Phenytoin, Carbamazepine dan
Barbiturat berpotensi mengalami penurunan kadar asam folat dalam darahnya.
Namun data terhadap efek Asam Valproat masih belum jelas. Beberapa studi
menyimpulkan bahwa Asam Valproat tidak menurunkan kadar asam folat, tetapi

17
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2011/2012

dapat mengganggu metabolisme folat dengan cara menghambat pembentukan


glutamate formyl transferase. Kondisi defisiensi asam folat penting untuk
diperhatikan, karena hal ini berkaitan dengan peningkatan kadar homosistein.
Kondisi hiperhomosisteinemia ini akan meningkatkan risiko atherosklerosis,
penyakit vaskular, serebrovaskular, serta neurodegeneratif. Pemberian suplemen
Asam Folat, Vitamin B6 & Vitamin B12 dapat menormalkan kadar homosistein
(Morrell, 2002).

18
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2011/2012

BAB V

MONITORING DAN INFORMASI

5.1 Monitoring

No Parameter Tujuan Monitoring


1. TD, nadi, suhu, RR Memantau kondisi vital pasien
2. Keluhan kekambuhan Mengetahui efektivitas terapi OAE yang
kejang diberikan

5.2 Informasi

Memberikan informasi kepada pasien terkait dengan obat-obatan yang diberikan:

♦ Frekuensi penggunaan OAE harus sesuai dengan yang dianjurkan klinisi, untuk
memudahkan pemantauan efektivitas dan mencegah terjadinya efek samping
berkaitan dengan terapinya

♦ Sebaiknya Parasetamol hanya diberikan sebagai terapi simptomatis (kalau


diperlukan) saja, jika pasien tidak mengalami gejala demam atau nyeri tidak
perlu meminumnya

19
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2011/2012

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Pemilihan & optimalisasi terapi anti-epilepsi terhadap tipe epilepsi, efek


samping yang dapat terjadi pada pasien, serta individualisasi regimentasi dosis
didasarkan pada pemahaman terhadap mekanisme kerja obat, spektrum aktivitas
klinis, variabilitas farmakokinetika, serta efek samping terkait dengan obat-obat
yang diberikan.

Adapun terapi yang diterima oleh pasien pada kasus ini sudah tepat baik
indikasi maupun regimentasi dosisnya. Selain itu, efektivitas terapi yang positif
juga dapat diamati seiring berjalannya waktu. Tidak ditemukan terjadinya
interaksi antar obat yang diberikan pada pasien. Namun, monitoring terhadap
fungsi hepar tetap perlu dilakukan sehubungan dengan risiko hepatotoksisitas
yang dapat ditimbulkan oleh OAE (Asam Valproat).

6.2 Saran

♦ Perlu dilakukan pemantauan terhadap fungsi hepar (SGOT dan SGPT) pasien
terkait dengan risiko hepatotoksisitas dari OAE.

20
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2011/2012

DAFTAR PUSTAKA

Flicker & Evans, 2012. Piracetam for dementia or cognitive impairment. The
Cochrane Hedges, D., 2003. Antipsychotic Medication and Seizures: A
Review.

Lacy, C.F., Armstrong, L.L., Goldman, M.P., Lance, L.L., 2009. Drug
Information Handbook. USA: Lexi-Comp.

Machfoed, M.H., Hamdan, M., Machin, A., Wardah, R.I., 2011. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Saraf. Surabaya: Departemen Ilmu Penyakit Saraf FK Unair.

Paknahad, Z., Chitsaz, A., Zadeh, A.H., Sheklabadi, E., 2012. Effect of common
anti-epilpeptic drugs on the serum levels of homocysteine and folic acid. Int
J Prev Med, S186-190.

PERDOSSI, 2012. Pedoman Tatalaksana Epilepsi

Rogers, S.J. & Cavazos, J.E., 2008. Epilepsy. In: J.T. DiPiro, R.L. Talbert, G.C.
Yee, G.R. Matzke, B.G. Wells, L.M. Posey (Eds.). Pharmacotherapy A
Pathophysiologic Approach 7th Edition. Washington: McGraw-Hill Medical.

Taiso, T., Aiso, K., Johnston, K.E., Black, L., Faught, E., 2000. Homocysteine,
folate, vitamin B-12, and vitamin B-6 in patient receiving antiepileptic drug
monotherapy. Epilepsy research. Vol 40, p.7-14

21

Anda mungkin juga menyukai