Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2011/2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Epilepsi
1.1.1 Batasan Klinik
Epilepsi adalah gangguan dimana dapat dilihat sebagai gejala dari gangguan
aktivitas elektrik di otak yang merupakan gangguan kronik yang ditandai dengan kejang
berulang tanpa sebab (Berg, 2006). Epilepsi adalah serangan ulang seizure dengan
atau tanpa konvulsi. Seizure muncul dari pelepasan neuron kortikal berlebih dan
dicirikan dengan perubahan aktivitas elektrik yang terukur oleh
electroencephalogram (EEG). Sedangkan definisi menurut WHO, epilepsi adalah
suatu kelainan otak kronik dengan berbagai macam penyebab yang ditandai oleh
serangan epilepsi berulang yang disebabkan oleh bangkitan neuron otak yang
berlebihan, dimana gambaran klinisnya dapat berupa kejang, perubahan tingkah
laku, perubahan kesadaran tergantung lokasi kelainan di otak (Chadwick, 1991).
1.1.2 Klasifikasi Epilepsi
Klasifikasi yang ditetapkan oleh international league against epilepsy
(ILAE) terdiri dari dua jenis klasifikasi yaitu klasifikasi untuk jenis bangkitan
epilepsi dan klasifikasi untuk sindrom epilepsi.
1
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2011/2012
1.1.3 Etiologi
Epilepsi dapat disebabkan antara lain oleh:
a. Idiopatik: penyebab tidak diketahui, umumnya memiliki predisposisi
genetik
b. Kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya tidak diketahui,
termasuk disini sindrom west, sindrom lennox-gastaut dan epilepsi
mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus.
c. Simtomatik: disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat
misalnya trauma kepala, infeksi susunan saraf pusat (SSP), kelainan
congenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik
(alkohol, obat) metabolik, kelainan neurodegenerative
1.1.4 Patofisiologi
A. Gangguan pada Membran Sel Neuron
Potensial membran sel neuron bergantung pada permeabilitas sel tersebut
terhadap ion Na+ dan K+. Membran neuron sangat permeabel terhadap ion K+,
namun kurang permeabel terhadap ion Na+, sehingga diperoleh konsentrasi ion K+
yang tinggi & konsentrasi ion Na+ yang rendah di dalam sel pada keadaan normal.
Potensial membran ini dapat terganggu dan berubah oleh berbagai hal, misalnya
perubahan konsentrasi ion ekstraselular, stimulasi mekanis/ kimiawi, perubahan
pada membran oleh penyakit/ jejas, ataupun pengaruh kelainan genetik (Machfoed
dkk., 2011).
Jika terjadi gangguan keseimbangan, maka sifat semi-permeabel akan
berubah & akan terjadi kekacauan difusi ion Na+ dan K+ melalui membran yang
mengakibatkan perubahan kadar ion dan potensial aksi yang menyertainya.
Potensial aksi terbentuk pada permukaan sel dan menjadi stimulus yang efektif
pada bagian membran sel lainnya yang menyebar sepanjang axon. Konsep bahwa
permeabilitas ion meningkat pada kejang epilepsi saat ini banyak dianut.
Tampaknya semua konvulsi (apapun pencetus atau penyebabnya) akan disertai
berkurangnya ion K+ dan meningkatnya konsentrasi ion Na+ di dalam sel
(Machfoed dkk., 2011).
2
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2011/2012
3
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2011/2012
4
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2011/2012
5
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2011/2012
6
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2011/2012
Sindroma Epilepsi
Pada umumnya sindroma epilepsi bersifat khas, unik, dan terutama
dijumpai pada golongan anak-anak. Manifestasi klinik sindroma epilepsi pada
anak-anak dapat dilihat di dalam pedoman tata laksana epilepsi yang diterbitkan
oleh kelompok studi Neuropediatri (Machfoed dkk., 2011).
1.1.6 Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi epilepsi ialah tercapainya kualitas hidup optimal pada
pasien, sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi serta keterbatasan fisik maupun
mental yang dimilikinya. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan beberapa
upaya, diantaranya: menghentikan kejang, mengurangi frekuensi kejang,
mencegah timbulnya efek samping, menurunkan angka morbiditas dan mortalitas,
mencegah timbulnya efek samping OAE (Machfoed dkk., 2011).
7
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2011/2012
8
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2011/2012
9
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2011/2012
Tabel 1.1 Jenis dan Dosis OAE untuk Pasien Dewasa (Machfoed et al., 2011)
Dosis
Dosis Awal T½ Plasma T Steady
Obat Rumatan
(mg/hari) (jam) State (hari)
(mg/hari)
Carbamazepine 400-600 400-1600 15-35 2-7
Phenytoin 200-300 200-400 10-80 3-15
Asam Valproat 500-1000 500-2500 12-18 2-4
Phenobarbital 50-100 50-200 50-170
Clonazepam 1 4 20-60 2-10
Clobazam 10 10-30 10-30 2-6
Oxcarbazepine 600-900 600-3000 8-15
Levetiracetam 1000-2000 1000-3000 6-8 2
Topiramate 100 100-400 20-30 2-5
Gabapentine 900-1800 900-3600 5-7 2
Lamotrigine 50-100 20-200 15-35 2-6
Tabel 1.2 Pemilihan OAE Berdasarkan Jenis Kejang (Machfoed et al., 2011)
Jenis Kejang OAE Lini OAE Lini OAE Lain
Pertama Kedua
Kejang Lena (Absence) Na Valproat Ethosuximide Levetiracetam
Lamotrigine Zonisamide
Kejang Myoklonik Na Valproat Topiramate Lamotrigine
Levetiracetam Clobazam
Zonisamide Clonazepam
Phenobarbital
Kejang Tonik Klonik Na Valproat Lamotrigine Topiramate
Phenytoin Zonisamide
Phenobarbital Primidone
Kejang Atonik Na Valproat Lamotrigine Felbamate
Topiramate
Kejang Fokal dengan/ Carbamazepine Na Valproat Tiagabine
tanpa Umum Sekunder
Phenytoin Levetiracetam Vigabatrin
10
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2011/2012
Gabapentin
Topiramate
Lamotrigine
Kejang Tak Na Valproat Lamotrigine Topiramate
Terklasifikasikan
Levetiracetam
Zonisamide
11
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2011/2012
BAB II
PROFIL PENDERITA
12
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2011/2012
TD = 100/60 ; N = 90
26/9/2012 TD = 110/80 ; N = 88 Epilepsi
10/10/2012 Kejang terakhir Mei 2012. Memori baik Epilepsi
Hasil Pemeriksaan
TANGGAL PEMERIKSAAN HASIL
15/6/2012 EEG CSA hemisphere kiri
10/9/2012 Laboratorium BUN = 8,2 mg/dL
SCr = 1,02 mg/dL
SGOT = 25 U/L
SGPT = 51 U/L
Radiologi Klinis : riwayat kejang + pelo + hemiparese
(D)
Hasil : tidak tampak lesi hypo/ hyperdense
di
brain parenchyme
MSCT kepala : tidak tampak kelainan
25/9/2012 Radiologi MSCT + kontras : saat ini tidak tampak
kelainan
13
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2011/2012
BAB III
PROFIL PENGOBATAN
TANGGAL
NO OBAT DOSIS
18/6 3/7 16/7 15/8 26/9 10/10 7/11 21/11 5/12 19/12 7/1/13
3 x 250
1. As. Valproat √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
mg
2. Haloperidol 2 x 0,5 mg √ √ √ √ √ √ √ √ //
3. Vitamin B6 2 x 1 tab √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
2 x 800
4. Piracetam √ √ √ √ √ √ √ √ √ //
mg
6. Parasetamol √
14
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2011/2012
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien Tn. EW datang ke poli saraf dengan riwayat MRS 6 bulan yang
lalu di RSDS dengan keluhan pingsan secara tiba-tiba dengan disertai kejang dan
muntah setelah pasien sadar. Kejadian tersebut tidak disertai dengan demam atau
nyeri kepala sebelumnya. Saat itu pasien didiagnosa mengalami epilepsi
simptomatik. Epilepsi simptomatik disebabkan oleh kelainan/ lesi di sistem saraf
pusat. Namun selanjutnya pada bulan November 2012 diagnosa tersebut berubah
menjadi epilepsi idiopatik, dimana penyebab epilepsi ini tidak diketahui
(Machfoed et al., 2011).
Selama berobat pasien memperoleh terapi OAE berupa Asam Valproat (3
x 250 mg). Asam Valproat adalah terapi lini pertama untuk kejang umum primer,
baik atonik, myoklonik, maupun kejang lena. Obat ini dapat digunakan sebagai
monoterapi ataupun terapi adjuvan untuk kejang parsial, serta efektif pula bagi
pasien-pasien dengan mixed seizure disorders. Selain digunakan untuk mengatasi
kejang, obat ini juga bisa digunakan untuk terapi gangguan-gangguan neurologis
atau psikiatris lainnya, seperti: migrain, nyeri kepala, dan bipolar disorder. Oleh
karena indeks terapetiknya yang lebar, maka Asam Valproat dipertimbangkan
sebagai OAE spektrum luas (Rogers & Cavazos, 2008). Asam Valproat bekerja
dengan menghambat aktivitas kanal Ca2+ tipe T, di samping juga mempengaruhi
metabolisme GABA melalui stimulasi terhadap enzim pensintesis GABA
(glutamate decarboxylase) serta hambatan terhadap enzim pemetabolisme GABA
(GABA transaminase, succinic semialdehyde dehydrogenase, dan aldehyde
reductase). Untuk mengatasi kejang, dosis yang direkomendasikan adalah > 250
mg/hr dalam dosis terbagi (Lacy et al., 2009). Pada kasus ini pasien telah
memperoleh terapi dengan indikasi dan regimentasi dosis yang sesuai dengan
yang rekomendasi.
Selain itu, sejak bulan Juni hingga November 2012 pasien juga mendapat
terapi Haloperidol (2 x 0,5 mg). Haloperidol merupakan antipsikotik golongan
butyrophenone yang dapat berikatan dengan reseptor dopamin (D1 dan D2),
reseptor 5-HT, reseptor histamin (H1), serta reseptor α2-adrenergik di otak.
15
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2011/2012
Mekanisme kerja obat ini ialah lewat efek antagonis reseptor dopamin di sistem
mesolimbik & mesofrontal yang akan menekan pelepasan hormon hipothalamus
& hipophisis, yang selanjutnya dipercaya juga dapat mendepresi aktivasi sistem
retikular sehingga akan mempengaruhi metabolisme basal, temperatur tubuh,
wakefulness, tonus vasomotorik, serta refleks muntah. Penggunaan Haloperidol
diindikasikan untuk terapi psikosis dan gangguan perilaku. Dosis yang
direkomendasikan untuk penggunaan oral adalah 0,5-5 mg tiap 12-8 jam sehari
(max: 30 mg/hr). Pemberian melebihi dosis tersebut dapat menimbulkan efek
samping takikardia, impotensi, dan dizziness. Efek lainnya meliputi sedasi dan
peningkatan berat badan yang disebabkan akibat blokade reseptor histamin H1.
Dosis terapi yang diterima pasien sudah sesuai dengan rentang aman yang
direkomendasikan. Terapi ini juga memberikan efek perbaikan kondisi pada
pasien, sehingga sejak bulan Desember 2012 pemakaiannya dihentikan.
Antipsikotik generasi 1 dan 2 dapat menurunkan ambang batas terjadinya
kejang, yang artinya akan meningkatkan peluang induksi kejang. Yang termasuk
ke dalam anti-psikotik paling sering menyebabkan kejang adalah Chlorpromazine
(generasi 1) serta Clozapine (generasi 2). Sementara Haloperidol merupakan
antipsikotik dengan risiko pencetus terjadinya kejang yang lebih rendah (Hedges,
2003). Sehingga pada kasus ini dapat disimpulkan bahwa pemilihan obat telah
sesuai dengan kondisi pasien.
Sementara itu Piracetam Tab (2 x 800 mg) diberikan sejak bulan Juni
sampai awal Desember 2012. Piracetam berfungsi sebagai neuroprotektan dengan
mekanisme kerja melindungi neuron terhadap disfungsi mitokondrial,
meningkatkan produksi ATP, mencegah hantaran sinyal apoptosis, mempengaruhi
fungsi neuronal, vaskular, & kognitif lewat peningkatan fungsi asetilkolin (proses
memori), efek pada reseptor NMDA (proses belajar dan memori), mengaktivasi
peredaran darah otak dengan meningkatkan kecepatan metabolik O2 serebral dan
glukosa regional, serta menormalkan aliran darah ke daerah iskemik. Indikasi
penggunaan Piracetam di sini sudah sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Muller et al. (1999) & Winbland (2005), dimana Piracetam yang disebut
sebagai “nootropic drug” dapat digunakan untuk mengatasi gangguan kognitif
pada kondisi degeneratif, cedera otak, maupun demensia. Selain itu, data hasil
16
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2011/2012
meta-analisis yang dilakukan oleh Waegemans et al. (2002) selama tahun 1972-
2001 menunjukkan bahwa suplementasi Piracetam dapat memberikan efek yang
lebih baik dibandingkan dengan plasebo. Efektivitas ini ditunjang lewat perbaikan
kondisi yang dialami pasien, sehingga pada tanggal 19 Desember 2012 klinisi
menghentikan terapinya.
Asam Folat memiliki fungsi sebagai carrier gugus hidroksimetil dan
formil yang dapat mempengaruhi sintesis purin dan timin pada proses
pembentukan DNA. Perubahan homosistein menjadi metionin membutuhkan
enzim methionine synthetase dengan methyltetrahydrofolate sebagai donor gugus
metil, serta vitamin B12 sebagai kofaktor (Lacy et al., 2009).
17
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2011/2012
18
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2011/2012
BAB V
5.1 Monitoring
5.2 Informasi
♦ Frekuensi penggunaan OAE harus sesuai dengan yang dianjurkan klinisi, untuk
memudahkan pemantauan efektivitas dan mencegah terjadinya efek samping
berkaitan dengan terapinya
19
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2011/2012
BAB VI
6.1 Kesimpulan
Adapun terapi yang diterima oleh pasien pada kasus ini sudah tepat baik
indikasi maupun regimentasi dosisnya. Selain itu, efektivitas terapi yang positif
juga dapat diamati seiring berjalannya waktu. Tidak ditemukan terjadinya
interaksi antar obat yang diberikan pada pasien. Namun, monitoring terhadap
fungsi hepar tetap perlu dilakukan sehubungan dengan risiko hepatotoksisitas
yang dapat ditimbulkan oleh OAE (Asam Valproat).
6.2 Saran
♦ Perlu dilakukan pemantauan terhadap fungsi hepar (SGOT dan SGPT) pasien
terkait dengan risiko hepatotoksisitas dari OAE.
20
Laporan Praktek Kerja Lapangan RSU dr.Soetomo Surabaya
Program Studi Magister Farmasi Klinik Universitas Airlangga 2011/2012
DAFTAR PUSTAKA
Flicker & Evans, 2012. Piracetam for dementia or cognitive impairment. The
Cochrane Hedges, D., 2003. Antipsychotic Medication and Seizures: A
Review.
Lacy, C.F., Armstrong, L.L., Goldman, M.P., Lance, L.L., 2009. Drug
Information Handbook. USA: Lexi-Comp.
Machfoed, M.H., Hamdan, M., Machin, A., Wardah, R.I., 2011. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Saraf. Surabaya: Departemen Ilmu Penyakit Saraf FK Unair.
Paknahad, Z., Chitsaz, A., Zadeh, A.H., Sheklabadi, E., 2012. Effect of common
anti-epilpeptic drugs on the serum levels of homocysteine and folic acid. Int
J Prev Med, S186-190.
Rogers, S.J. & Cavazos, J.E., 2008. Epilepsy. In: J.T. DiPiro, R.L. Talbert, G.C.
Yee, G.R. Matzke, B.G. Wells, L.M. Posey (Eds.). Pharmacotherapy A
Pathophysiologic Approach 7th Edition. Washington: McGraw-Hill Medical.
Taiso, T., Aiso, K., Johnston, K.E., Black, L., Faught, E., 2000. Homocysteine,
folate, vitamin B-12, and vitamin B-6 in patient receiving antiepileptic drug
monotherapy. Epilepsy research. Vol 40, p.7-14
21