Anda di halaman 1dari 23

MODEL PENAFSIRAN

.Latar belakang
Al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi ummat manusia, penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu, serta pemisah antara yang hak dan yang batil demi kebahagiaan hidup
manusia di dunia maupun diakhirat. Realitas sejarah memaparkan bahwa sampai hari ini
urgensi al-Qur’an masih menempati posisi sentral dalam kehidupan manusia, bahkan tidak
henti-hentinya menjadi inspirator, pemandu dan pemadu berbagai gerakan ummat Islam
sepanjang empat belas abad sejarah pergerakan ummat ini.[1]
Sebagai petunjuk, tentunya al-Qur’an harus dipahami, dihayati, dan diamalkan, oleh
manusia yang beriman kepada petunjuk itu. Namun, dalam kenyataannya, tidak semua orang
bisa dengan mudah memahami al-Qur’an, bahkan sahabat-sahabat nabi sekalipun yang secara
umum menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui konteksnya, serta memahami secara
alamiah struktur bahasa dan makna kosa katanya. Tidak jarang, mereka berbeda pendapat
atau bahkan keliru memahami maksud firman Allah yang mereka dengar atau mereka baca
itu.[2] Oleh karena itu, Rasulullah mengemban tugas untuk menjelaskan (mubayyin).
Di zaman Rasulullah masih hidup, ummat Islam tidak banyak menemukan kesulitan
dalam memahami “petunjuk” guna mengarungi kehidupannya, sebab mengarungi
kehidupannya, sebab mana kala mereka menemukan kesulitan dalam satu ayat, misalnya
mereka langsung bertanya kepada Rasulullah. Kemudian beliau menjelaskan kandungan
maksud ayat tersebut. Akan tetapi sepeninggal Rasulullah, ummat Islam banyak menemukan
kesulitan, karena meskipun mereka mengerti bahasa arab al-Qur’an terkadang mengandung
isyarat-isyarat yang belum bisa dijangkau oleh pikiran orang-orang arab. Oleh sebab itu,
mereka pun membutuhkan tafsir yang bisa membimbing dan menghantarkan mereka untuk
memahami isyarat-isyarat seperti itu.
Langkah pertama yang mereka ambil ialah menengok pada hadits Rasulullah. Karena
mereka berkeyakinan bahwa beliaulah satu-satunya orang yang paling banyak mengetahui
makna-makna wahyu Allah. Disamping itu, mereka mengambil langkah-langkah dengan cara
menafsirkan satu ayat dengan ayat lainnya dan gaya penafsiran. Langkah selanjutnya mereka
tempuh ialah menanyakannya kepada sahabat yang terlibat langsung serta memahami konteks
posisi ayat tersebut. Dan manakala mereka tidak menemukan jawaban dalam keterangan Nabi
(hadits) atau sahabat, yang memahami betul konteks posisi ayat itu, mereka terpaksa
melakukan ijtihad dan lantas berpegang pada ijtihad dan lantas berpegang pada pendapatnya
sendiri.[3] Namun pada masa ini belum ada karya tafsir yang berdiri sendiri yang khusus
menafsirkan Al-Qur’an surat demi surat, ayat demi ayat, dari awal sampai selesai.
Di akhir- akhir priode Dinasti bani umayyah dan di awal periode bani Abbas, dan
ditengah-tengah suasana lahir dan terbentuknya berbagai disiplin ilmu, tafsir berkembang
menjadi ilmu tersendiri, terpisah dari hadits. Sejak saat ini kajian tafsir yang membahas
seluruh ayat al-Qur’an ditulis dan disusun sesuai dengan susunan yang terdapat di dalam al-
Mushaf. Usaha penulisan karya tafsir yang demikian selesai ditangan sekelompok ulama,
antara lain, Ibn Mjah (w. 273 H), Ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H), al-Nisyaburi (w. 318/, dan
ulama-ulama lainnya yang hidup di zaman ini.[4]
Selanjutnya, ilmu tafsir ini terus berkembang dengan coraknya yang beraneka ragam
sesuai dengan perkembangan latar belakang pendidikan para penafsir, seperti terlihat dalam
bentuknya sekarang.
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari permasalahan-permasalahan diatas, penulis akan menyajikan makalah
yang bertemakan model-model tafsir dalam al-Qur’ an dengan rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Apa pengertian model-model tafsir dalam al-Qur’an?.
2. Bagaimana model-model tafsir dalam al-Qur’an?.

Pengertian Model-Model Tafsir dalam Al-Qur’an


Istilah “model” dalam bahasa Indonesia bermakna pola, contoh dan ragam/corak dari
suatu yang akan dibuat atau dihasilkan.[5] Definisi lain dari model adalah abstraksi dari
system sebenarnya, dalam gambaran yang lebih sederhana serta mempunyai tingkat
presentase yang bersifat menyeluruh, atau model adalah abstraksi dari realitas dengan hanya
memusatkan perhatian pada beberapa sifat dari kehidupan sebenarnya.[6]
Adapun pengertian tafsir adalah penjelasan mengenai pengertian suatu kata, dan
penjelasan itu dapat bersifat hakiki (menurut makna kata itu sendiri), tetapi dapat pula
bersifat majazi (tidak menurut makna katanya), namun masih dalam kerangka
maksudnya.[7] Sedangkan tafsir menurut al-Kilabi, tafsir adalah menjelaskan al-Qur’an,
menerangkan maknanya, dan menjelaskan apa yang dikehendaki nash, isyarat, atau tujuan-
nnya.[8] Jadi model-model tafsir adalah ragam/corak dan abstraksi dalam menjelaskan al-
Qur’an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendaki nash, isyarat, atau
tujuannya.
B.Model-Model Tafsir dalam Al-Qur’an.
` M.Quraish Shihab, mengatakan bahwa corak penafsiran yang dikenal selama ini,
antara lain :[9]
1.Tafsir sufistik
Tafsir sufi atau yang lebih dikenal dengan istilah tafsir Isyari, secara etomologis
berasal dari asal kata asyara-yusyiru-isyaratan yang berarti memberi isyarat atau petunjuk.
Jadi kata “Isyari” berfungsi sebagai keterangan sifat bagi lafal “tafsir” dengan demikian
“tafsir Isyari” berarti: sebuah penafsiran al-Qur’an yang berangkat dari isyarat atau
petunjuk. Artinya penafsiran diberikan sesuai dengan isyarat atau petunjuk yang diterima
oleh mufassirnya melalui ilham. Para ahli tasawuf inilah yang banyak menafsirkan al-Qur’an
melalui isyarat yang mereka terima. Oleh karena itulah “tafsir Isyari” disebut juga “tafsir
sufi”.
Corak tafsir sufi yang lahir sebagai akibat dari timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai
reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi telah mempunyai ciri khusus atau
karakter yang membedakannya dari tafsir lainnya. Tafsir sufi ini telah didominasi paham sufi
yang dianut oleh mufassirnya karena memang tasawuf telah menjadi minat dasar bagi
mufassir, sebelumnya dia melakukan usaha penafsiran atau juga bahwa penafsirannya itu
hanya untuk legitimasi atas pendapatnya dalam hal ini adalah paham
tasawuf.[10] Jadi Penafsiran sufistik Melakukan penafsiran dengan
bercorak kerohanian/tasawuf. Contoh penafsiran sufistik, yaitu penafsiran al-Tastary ketika
menafsirkan ayat 22 dari surat al-Baqarah :
‫…فال تجعلوا هلل اندادا‬.
Artinya:
….. Janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah[11]
Kata (Anda>dan), beliau al-Tastary menafsirkan andadan yaitu nafsu amarah yang
jelek. Jadi maksudanda>dan disini bukan hanya patung-patung, setan atau jiwa tetapi nafsu
amarah yang sering dijadikan Tuhan oleh manusia adalah perihal yang dimaksud dari ayat
tersebut, karena manusia selalu menyekutukan Tuhannya dengan selalu menjadi hamba bagi
nafsu amarahnya.[12] Diantara kitab-kitab Tafsir sufistik adalah: tafsir al-Qur’an al-Azhim,
karya Imam at-tusturi (w. 283 H), Haqaqa’iq at-Tafsir, karya al-Allamah As-Sulami (w. 412),
Arais Aa-Bayan fi Haqa’iq al-Qur’an, karya Imam asy-Syirazi (w. 283).[13]
2. Tafsir Fiqih
Setelah Rasulullah SAW wafat, para fuqaha’ dari kalangan sahabat mengendalikan
ummat di bawah kepemimpinan Kulafau’rasyidin. Jika terdapat persoalan-persoalan baru
yang belum pernah terjadi sebelumya, maka al-Qur’an merupakan tempat kembali mereka
menginstinbathkan hukum-hukum syara’nya.[14] Jadi menafsirkan al-Qur’an dengan
pendekatan Hukum-Hukum syara’. Contoh tafsir fiqih mengenai firman Allah surah al-
Baqarah ayat 187 yaitu :
‫احل لكم ليل الصيا م الرفث الي نسا ءيكم‬
Artinya:
“dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa berhubungan dengan istri-istri kamu”.
Dalam masalah kedua belas dari masalah yang terkandung dalam ayat ini, sesudah
mengemukakan perbedaan pendapat para ulama mengenai hukum orang yang di siang hari
bulan Ramadhan karena lupa, dan mengutip pendapat malik yang mengatakan batal dan
wajib mengqadha. Ia mengatakan,”menurut pendapat selain malik, tidaklah dipandang batal
setiap orang yang makan karena lupa akan puasanya, menurut pendapat Qurtubhi, ia adalah
pendapat yang benar dan jumhur pun berpendapat sama bahwa barangsiapa makan atau
minum karena lupa, ia tidak wajib mengqadhanya.[15]
Di antara kitab tafsir fiqih adalah: Ahkam Al-Qur’an karya Al-Jashshash (w. 370 H),
Ahkam Al-Qur’an karya Ibn Al-Arabi (w. 543 H), Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an karya Al-
Qurthubi (w. 671).[16]
3. Tafsir Falsafi
Pendekatan ini dapat membantu memahami Al-Qur’an dalam upaya menjelaskan inti,
hakikat, atau hikmah mengenal sesuatu yang berada dibalik objek formalnya.
Para ulama tidak seluruhnya sepakat dengan penjelasan filsafat, bahkan di antara
mereka terjadi perbedaan dalam penerimaannya. Adapun yang diperdebatkan dalam
pemakaian filsafat adalah nilai kebenaran dan cara penelusuruannya. Penjelasan secara
filosofy sangat dibutuhkan manakala berhadapan dengan umat lain atau paham lain yang
memerlukan penjelasan rasional lebih terperinci. Misalnya, orang Persia ataupun orang
Yunani yang sebelumnya memiliki tradisi pemikiran dengan filsafatnya yang kuat, tentu saja
pendekatan filosofy dalam menyampaikan pesan al-Qur’an sangatlah relevan. Oleh
karenanya, bagi mereka agama dan filsafat merupakan proses dialektika yang saling
menjelaskan dan saling mendukung untuk menemukan sebuah kebenaran dan makna bagi
manusia. Contoh tafsir falsafih yaitu:

Tafsir Al Farabi
Al-Farabi adalah roh pengerak tradisi filsafat. Ia wafat pada tahun 339 H sebagaimana
dalam kitabnyaFushush al Hikam dari sebagian ayat dan hakikat dalam Al-Qur’an. Tafsirnya
termasuk dalam kategori tafsir falsafy. Seperti ketika ia menafsirkan al-awaliyah dan al-
Akhirah dalam surah al-Hadid: 3 ‫ هو الول واألخرة‬dengan penafsiran bahwa al-awal adalah
wujud terdahulu yang tanpa ada yang mendahuluinya.. Awal di sini baik dari segi zaman
yaitu tiada zaman yang melingkupi maupun sesuatu besertanya. Sedangkan al-Akhirah adalah
suatu ketika bersebab karena-Nya dan bersandar kepada-Nya. DIa-lah yang menjadi tujuan
akhir yang hakiki dalam setiap pencarian, seperti tujuan kebahagiaan dalam perkataan:
Kenapa engkau minum air?, Maka jawabannya adalah untuk menghilangkan dahaga.
Mengapa menghilangkan dahaga?, agar sehat. Kenapa harus sehat?, agar bahagia dan baik,
kemudian tak ada pertanyaan yang layak mendapat jawaban daripadanya karena kebahagiaan
dan kebaikan dicari karena keadaannya tidak karena yang lain. Oleh karena itu al-
Akhir adalah akhir dari segala tujuan, awal dalam fikiran dan akhir dalam tujuan. Dialah akhir
dari arah segala zaman yang tiada yang mengakhiri lagi, dan tiada wujud zaman akhir yang
lebih akhir dari yang Haq.

 Tafsir Ikhwan As Shafa

Penjelasan terhadap Al-Qur?an seperti di atas dapat kita temukan dalam ikhwan al
Shafa yang meskipun tidak diketahui secara tepat kapan penulisannya, akan tetapi dapat
dilacak dari hubungannya dengan sekte batiniyah Ismailiyah. Sebagian dari penjelasannya
yang terkenal adalah permasalahan surga dan neraka. Bahwa sesunguhnya Surga adalah
alam aflak, sedangkan neraka adalah alam di bawah falak bulan, yaitu alam dunia.[17]

Penjelasan tersebut merujuk pada surat Al- A’raf ayat 50

‫ قالوا إن هللا حرمهما على الكافرين‬،‫ونادى اصحاب النار اصحاب الجنة ان افيضوا علينا من الماء او مما رزقكم هللا‬

Artinya:
Dan penghuni neraka menyeru penghuni syurga: “limpahkanlah kepada kami sedikit air atau
makanan yang telah direzkikan Allah kepadamu”. Mereka (penghuni syurga) menjawab:
“sesungguhnya Allah telah mengharamkan keduanya itu atas orang-orang kafir”.[18]

Dengan demikian para mufassir menyatakan bahwa para malaikat berada pada
bintang-bintang aflak dan berkata: Sesunguhnya bintang-bintang falak adalah malaikat Allah
dan raja langit.. Allah menciptakan untuk menjaga alam semesta, dan mendampingi
mahluknya, dan membantu kepemimpinannya, dan meraka adalah pengelola Allah di aflak-
Nya, seperti makhluk Bumi yang ditugaskan Allah di bumi.

Atas dasar pemikiran ini Ikhwanu Shafa berpendapat: Jiwa orang mukmin setelah
terpisah dari jasadnya akan menuju ke alam malakut langit dan memasuki alam malaikat,
hidup dengan roh suci, suci di alam aflak. Dalam tingkatan langit: farhah, masrurah,
munimah, mutaldzdadh, mukaramah, mughtabithoh. Dan mereka menyatakan bahwa
demikian itu adalah makna Allah azza wajalla dalam Surat Fathir ayat 10 :
‫إليه يصعد الكلم الطيب والعمل الصالح يرفعه‬........

Artinya:
............... Kepadanya-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh
dinaikkan-Nya.[19]

 Tafsir ibnu sina

Ibnu Sina digambarkan seperti seseorang muslim yang di tangan kanannya terdapat Al
Qur’an dan di tangan kirinya terdapat ilmu filsafat, sehingga ia sanggup memadukan dengan
jernih antara agama dan filsafat. Ia mengsikronkan antara nash-nash Al-Quran dengan
pandangan-pandangan filsafat yang keduanya berada saling berdialektika.

Pandangan Ibnu Sina terhdap al-Qu’ran dan Filsafat adalah memahami pandangan
filsafat dalam Al-Qur’an dan menjelaskan AL-Qur’an dengan filsafat. Adapun metodologi
yang digunakan Ibnu Sina yaitu menjelaskan makna hakikat agama dengan pemikiran
filsafat. Hal ini didasarkan bahwa sesungguhnya Al-Qur’an adalah tak terkecuali dengan
beberapa ketentuan yang ketentuan itu oleh Nabi Muhammad saw terpancang pada makna
hakikat yang terkandung.

Atas dasar pemikiran ini, menurut Ibnu Sina bahwa nash-nash Al-Qur’an tidak
diketahui hakikatnya kecuali dengan kekhususan yang terkandungnya, maka tugas para
mufassir untuk menjelaskan beberapa hukum yang terkandung di dalamya dengan perspektif
filsafat serta tidak menyimpang dari ruh Al-Qur’anul Karim.[20]

Mislanya, Ibnu Sina dalam memberikan penjelasan pada surat al-Haqqah ayat 17:

‫ويحمل عرش ربك فوقهم يومئذ ثمانية‬

Artinya:

..... dan pada hari itu delapan malaikat menjunjung ‘Arsy Tuhanmu di atas (kepala)
mereka.[21]

Ia menafsirkan arasy dengan al-falak ke sembilan yang merupakan falaknya aflak.


Dan menafsirkan malaikat kedelapan yang mencakup arasy sebab aflak kedelapan terdapat di
bawah aflak kesembilan.[22]
Melalui pendekatan filosofis, seseorang tidak akan terjebak pada pengamalan agama
bersifat formalistik, yakni mengamalkan agama dengan memiliki makna apa-apa, kosong
tanpa arti. Namun sebaliknya yaitu mendapatkan hakikat batin eksoterik dalam mengamalkan
ibadah.[23] Kitab tafsir falasafi yaitu kitab Mafatih Al-Ghaib karya Al-Fakhr Ar-Razi (w.
606 H) .[24]
4.Tafsir Ilmi’
Al-Qur’an mendorong pula pengembangan ilmu pengetahuan. Al-Qur’an mendorong
ummat Islam untuk memerdekakan akal dari belenggu keraguan, melepaskan belenggu-
belenggu berfikir, dan mendorongnya untuk mengamati fenomena alam. Allah telah
mendorong kita untuk mengamati ayat-ayat kauniah, di samping ayat-ayat
Qur’aniah.[25] Jadi pendekatan ini menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan
feneomena-fenomena alam. Contoh penafsiran Ilmi’, ayat 58 surat ke-7 (al-A'raf). Ayat ini
menunjukan bahwa walaupun Tuhan dengan kehendak-Nya diperlukan bagi tumbuhnya
tanam-tanaman, kecocokan tanah juga merupakan syarat tumbuhnya tanaman tersebut,
karena tidak semua tanaman dapat tumbuh pada setiap tanah. Maka dengan kecocokan tanah,
Tuhan menjadikan tanaman itu mungkin untuk tumbuh.[26]
Di antara ulama tafsir yang mendalami tafsir Ilmi’ adalah: Imam Fakh Al-Razi
didalam Tafsir Al-Kabir, Imam Al-Ghazali di dalam Ihya Ulumuddin dan Jawahir Al-Qur’an,
Imam As-suyuthi di dalam Tfsir Ilmi’ ini..[27]

5.Tafsir Adabi-Ijtimai’I
Madrasah Tafsir Adab Ijtimai”I berupaya menyingkap keindahan Al-Qur’an dan
mukjizat-mukjizatnya: menjelaskan makna dan maksudnya, memperlihatkan aturan-aturan
Al-Qur’an tentang kemasyarakatan, dan mengatasi persoalan yang dihadapi ummat Islam
secara khusus dan permasalahan ummat lainnya secara umum..Semua itu dengan
memperhatikan petunjuk-petunjuk Al-Qur’an yang menuntun jalan bagi kebahagiaan di dunia
dan akhirat.[28] Jadi corak penafsiran tafsir adab ijtimai’ berorientasi pada sastra budaya
kemasyarakatan.
Salah satu contoh tafsir adabi-ijtimai’ tafsir Bintu Syathi’ mengenai ayat pertama
surah Ad-Dhuha. Dalam ayat ini mencari arti linguistik dari term duha. Pemaparan beliau
kemudian dikemas dengan penyebutan beberapa bentuk (sighat) dan penggunaan yang akar
katanya adalah duha, semisal al-dahiyah (unta yang minum pada waktu duha), dahha
(mengorbankan kambing pada waktu duha), yaum adhha (hari berkumpulnya kambing yang
akan disembelih pada hari raya qurban—waktu duha—) dahiyah (langit yang terkena sinar
matahari), dan bebeapa term lain serta penyebutan maknanya. Bintu Syathi’ juga
mengemukakan bahwa bahwa Al-Qur’an menjadikan lafadz duha sebagai antonim dari lafadz
‘asyiyyah (senja hari) pada ayat 29 dan 46 surat Al-Nazi’at, ayat 98 surat Al-A’raf, dan ayat
59 surat Thaha.[29] Diantara kitab tafsir adabi-ijtima’I adalah: tafsir Al-Manar, karya Rasyid
Ridha (w. 1354 H), tafsir Al-Maraghi karya Al-Maraghi (w. 1945), tafsir Al-Qur’an Al-
Azhim karya Syaikh Mahmud Syaltut.[30]

Penutup
A.Kesimpulan.
Berdasarkan dari pembahasan rumusan masalah maka penulis mengambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Model tafsir dalam Al-Qur’an merupakan corak atau kecendrungan para mufassir dalam
menjelaskan Al-Qur’an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendaki
nash, isyarat, atau tujuannya.
2. Model-model tafsir dalam Al-qur’an yaitu: tafsir sufistik (penafsiran dengan sudut pandang
kebatinan/kerohanian), tafsir fiqih (penafsiran dengan sudut pandang hukum-hukum
syara’), tafsir Falsafi (penafsiran dengan sudut pandang pemikiran yang terdalam/al-
hikmah), Ilmi (penafsiran dengan sudut pandang fenomena alam), tafsir Adabi Ijtima’I
(penafsiran dengan sudut pandang keindahan kebahasan).
B.Kritik dan Saran.
Dalam penulisan ini, penulis tidak lepas dari hakekat manusia sebagai mahluk yang
tak lepas dari kekurangan, dengan ini kami mohon saran dan kritik membangun untuk
kesempurnaan tulisan ini.

Daftar Pustaka

Al-Farmawi, Abd Al-Hayy, Metode Tafsir Mawdhu’iy: Suatu Pengantar, Cet. II; Jakarta: PT Raja
Grafindo, 1996

Al-Qaththan , Syaikh Manna’, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, diterjemahkan oleh. Aunuf Rafiq El-
Mazani, Lc. MA, Cet. I; Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2006

Anwar, Rosihan, Ilmu Tafsir, Cet. III; Bandung: Pustaka Setia, 2005.
As-Shiddieqy, Hasbhy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an, Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang,
1994)
Asy-Syirbasi, Ahmad, Sejarah Tafsir al-Qur’an, Cet. IV; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996

Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya Surabaya: CV Jaya Sakti Surbaya, 1997.

Fahruddin, Achmad, Al-Qur’an Digital:Versi 2.0 2004

H. Aunuf Rafiq El-Mazani, Lc. MA, Cet. I; Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2006

http://damandiri.or.id/file/abdwahidchairulahunairbab2.pdf, tgl 10-3-2010.

http://indonesiafile.com/content/view/1166/53/, tanggal 08 april 2010.

http://eetamirza.blogspot.com/2010/03/smoga-smua-akan-baik2-saja.html, tanggal 13-april


2010

http://almudarris.multiply.com/reviews/item/19, 13- april -2010.


http://uin-suka.info/ejurnal/index.php?option=com_content&task=view&id=38&Itemid=28, 13-april-2010.
Nata Abuddin, Metodologi Studi Islam, Cet. I; Jakarta: Raja Gravindo Persada, 2007

Shihab, Quraish, membumikan Al-Qur’an, Mizan, bandung, 1992


Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. III; Jakarta: Balai Pustaka, 1990

Zainul, hasan Rifai, Al-Qur’an; kisah Israiliyat dalam penafsiran Al-Qur’an, tertulis dalam Al-
Hikmah; Jurnal Studi-Studi Islam, No. 13; Bandung: Yayasan Muthahhari, 199

MODEL – MODEL METODOLOGI PENAFSIRAN DALAM AL-QUR'AN

A. Metode penafsiran
Al-Qur’an adalah sumber ajaran Islam yang menempati posisi sentral dan menjadi Ispirator,
serta menjadi pemandu gerakan-gerakan umat Islam lebih dari empat belas abad, pemahaman
terhadap Al-Qur’an melalui penafsiran- penafsirannya akan sangat menentukan maju atau
mundurny umat Islam, dalam arti sejauh mana pesan-pesan ilahi itu dapat di pahami dan di
aplikasikan dalam kehidupan. Sehingga untuk memahami pesan-pesan ilahi diperlukan suatu
metodologi penafsiran Al-Qur’an dikarenakan metodologi penafsiran Al-Qur’an bukanlah suatu
hal yang dapat diabaikan begitu saja.
Pembahasan mengenai penafsiran sangat diperlukan seperangkat ilmu yeng disebut metodologi
tafsir.Metodologi tafsir merupakan ilmu tentang metode menafsirkan Al-Quran.Metode tafsir
merupakan kaeda dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, keberadaan metode tafsir
merupakan hal yang urgen dalam penafsiran Al-Qur’an dan kwalitas setiap karya tafsir sangat
tergantung pada metodologi yang di gunakan oleh para mufassir.Metode tafsir yang ada atau
berkembangkan selama ini memiliki keistimewaan dan kelemahannya. Secara umum dikenal
empat macam metode penafsiran dengan aneka macam hidangannya yaitu : metode tahlili (
analisis), ijmali (global), muqarin ( perbandingan), dan maudhui ( tematik).

1. Metode Al-Tahlili ( Deskriptif- Analisis)


Tahlili adalah salah satu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dari
seluruh aspek, metode ini juga berusaha menjelaskan makna-makna yang terkandung dalam
ayat Al-Qur’an dengan mengikuti tertib urutan ayat-ayat dan surah-surah Al- Qur’an itu sendiri
dengan melakukuan analisis di dalamnya. Metode ini bercorak kebahasaan, Metode ini memiliki
beragam jenis hidangan yang ditekankan penafsirannya; ada yang bersifat kebahasaan, hukum,
sosial budaya, filsafat, sains dan ilmu pengetahuan, tasawuf dan lain sebagainnya.Biasanya
yang dihidangkan itu mencakup pengertian umum kosa kata ayat, munasabah ayat dengan ayat
sebelumnya, asbabun nuzul (jika ada) makna global ayat, hukum yang dapat di tarik, yang tdak
jarang menghidangkan aneka ulama mazhab, ada juga yang menambahkan Qiraat, I’ rab ayat-
ayat yang di tafsirkan.
a. Adapun contoh metode tahlili adalah firman Allah dalam Q.S Al-Baqarah ayat 219

••


Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang khamardan judi. Katakanlah: "Pada keduanya
terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih
besar dari manfaatnya." Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan.
Katakanlah: " Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu supaya kamu berfikir. (Q.S. Al-Baqarah : 219)
Pada ayat ini sang mufassir Tahlili akan menjelaskan paling sedikit tiga persoalan pokok, yaitu
khamar, judi, dan soal nafkah. Penjelasannya tidak tuntas karena ada ayat-ayat lain yang
berbicara tentang persoalan yang sama dan nyaris tidak disinggungnya. firman Allah dalam QS.
Al- Maidah (5): 90



Artinya : Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Q.S Al-Maidah : 90)
Dengan demikian sang mufassir dapat menghidangkan secara tuntas makna ayat yang di
tefsirkannya secara berdiri sendiri, akan tetapi dia tidak menghidangkan secara keseluruhan
uraian petunjuk Al-Qur’an yang berkaitan dengan persoalan-persoalan yg dibahasnya.
Uraiannya melebar sehingga tersedia hidangan yang bisa jadi sebagian di antaranya tidak
diperlukan oleh pembaca.
b. Contoh Kitab Tafsir Tahlili
1. Jami’ al-Bayan’ an Ta’wil Ayi al-Qur’an ( Himpunan Penjelasan Tentang Ta’wil Ayat- Ayat Al-
Qur’an) 15 jilid dengan jumlah halaman sekitar 7125 karangan Ibn Jarir al-Thabari ( w. 310 H/
922 M).
2. Al-Durr al- Mantsur fi al-Tafsir bi al- Ma’tsur ( Mutiara Kata Prosa dalam tafsir bi al-Ma’tsur) 18
jilid setebal 5600-6400. Sususnan Jalal al-Din al- Suyuti ( w. 849-911 H/ 1445-1505 M).
3. Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an( Neraca dalam Menafsirkan Al-Qur’an ) 21 jilid dan tiap-tiap jilid
terdiri atas 330-an hingga 450-an halaman, karya al-Allamah al-Sayyid Muhammad Husayn al-
Thabathaba’I ( w. 1321-1402H/ 1892-1981 M).
c. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Tahlili
Kelebihan tafsir tahlili antara lain adalah keluasan dalam memahami Al-Qur’an. Dengan metode
tahlili memahami Al-Qur’an di mulai dari awal surah Al-Fatihah sampai surah An-Nas. Cara
memahami Al-Qur’an ruang lingkupnya luas, meliputi aspek kebahasaan, sejarah, hukum, sosial
budaya, filsafat, tasawuf, sains dan lain-lain.sedangkan kekurangannya adalah tidak detail dan
tidak tuntas dalam menyelesaikan topic-topik yang dibicarakan. Kajiannya tidak mendalam,
memerlukan waktu yang cukup panjang, pembahasan yang melebar.
2. Metode Al-Ijmali ( Tasir Global)
Al-Ijmali artinya ringkasan, ikhtisar, dan global.Metode ijmali ialah penafsiran Al-Qur’an yang
dilakukan dengan cara mengemukakan isi kandungan Al-Qur’an melalui pembahasan yang
bersifat umum (global). Pembahasan metode ijlami tidak perlu menyinggung Asbab an-Nuzul
atau Munasabah, apalagi makna-makna kosa kata dari segi keindahan bahasa Al-
Qur’an. Langsung menjelaskan kandungan ayat secara umum atau menjelaskan hukum yang
dapat ditarik, artinya hidangan yang disediakan sang mufassir siap untuk di santap.
a. Contoh Kitab Tafsir Ijmali
1. Marah Labid Tafsir al-Nawawi/ al- Tafsir al-Munir li Ma’lam al-Tanzil ( Kegembiraan yang
melekat/ Tafsir yang bercahaya sebagai petunjuk jalan menuju Al-Qur’an) dua jilid karangan al-
Allamah al-Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani ( w. 1230- 1314 H/ 1813-1879 M).
2. Al- Tafsir al-Farid li al- Qur’an al-Majid ( Tafsir yang tiada taranya untuk Al-Qur’an yang
agung) delapan jilid dengn jumlah lebih kurang 3377 halaman, hasil usaha Dr. Muhammad ‘Abd
al-Mun’im.
b. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Ijmali
Adapun kelebihan dari metode ijmali ini adalah penafsiran pesan-pesan Al-Qur’an mudah
dipahami dan di tangkap. tidak memerlukan waktu yang panjang dalam menjelaskan ayat Al-
Qur’an serta penjesannya Global. Sedangkan kekurangannya adalah tidak luas penjelasannya,
sehingga wawasan terlalu sempit dan dan tampak sederhana.
3. Metode Al-Muqorrin ( Perbandingan)
Metode muqorrin yaitu menafsirkan ayat dengan cara perbandingan, perbandigan ini dalam tiga
bentuk: perbandingan antara ayat dan ayat, perbandigan ayat Al-Qur’an dan hadis, serta
perbandingan penafsiran antara mufassir. Metode ini membahas tentang redaksi ayat yang
sama akan tetapi membicarakan topik yang berbeda, atau sebaliknya topik yang sama dengan
redaksi yang berbeda.
a. Adapun contoh penafsiran metode ini firman Allah pada QS. Al-An’am (6) 151, dan QS.Al-Isra
(17) 31.


•
•

Artinya : Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu:
janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang
ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan
memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-
perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah
kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu
(sebab) yang benar[518]." Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu
memahami(nya).(QS.Al-An’am (6) 151).

•

Artinya : Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang
akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka
adalah suatu dosa yang besar. QS. Al-Isra (17) 31)

Kedua ayat di atas menggunakan ayat yang berbeda akan tetapi mengunggkapkan makna yang
sama yaitu kedua ayat ini sama-sama melarang khususnya membunuh anak-anak. Ayat
pertama di tujukan kepada orang-orang miskin dan fuqaha sedangkan ayat yang kedua di
tujukan kepada orang-orang kaya.
Pemahaman perbedaan sasaran yang ditujuh dapat dipahami dari sedikit perbedaan redaksi
pada kedua ayat di atas.Dalam QS.Al-An’am (6) 151, menggunakan redaksi ‫من املق نحن نرزقكم‬
‫ واياهم‬mengisyaratkan bahwa orang miskin yang tengah mengalami kelaparan ( kekurangan
ekonomi) dilarang membunuh anak-anaknya, karena Allah yang menjamin akan memberikan
rizki kepadamu (orang tua) dan Allah juga akan memberi rizki kepada anak-anakmu.Sedangkan
pada QS.Al-Isra (17) 31.menggunakan redaksi ‫ خشية املق نحن نرزقكم واياكم‬di tujukan kepada orang
kaya yang takut kelaparan, mengisyaratkan kelaparan itu sendiri belum terjadi. Hanya saja
mereka khwatir akan kehadiran anak-anaknya akan membuat orang tuanya menjadi miskin di
karenakan anak-anak mereka memakan harta mereka. Padahal Allah yang menjamin akan
memberikan rizki kepada anak-anak mereka bahkan orang tuanya juga.
b. Memnbandingkan ayat Al-Qur’an dengan matan al-hadis yang terkesan bertentangan padahal
tidak. Di antara contohnya ialah dalam al-Qur’an surah al-Ma’idah (5) ayat 67 Allah Swt
berfirman:

•••

Artinya : Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak
kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.
Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maidah : 67)

Lahirlah cuplikan ayat ( ‫ )وهللا يعصمك من النا س‬mengisyaratkan bahw Allah Swt akan selalu
melindungi atau memelihara keselamatan diri dan jiwa Nabi Muhamad Saw. Dari kemungkinan
pelukaan dan pembunuhan yng dilakukan musu-musu Nabi. Namun dibalik itu, ujar al-Zarkasyi,
ada riwayat sahi yang menginformasikan bahwa sewaktu terjadi peperangan Uhud (3 H/ 625 M),
Nabi sempat dilukai (kena lika) oleh musuh yang memeranginya yaitu ptah giginya.Jika demikian
halnya, maka bagaimana dengan pernyataan ayat di atas yang menyatakan bahwa Allah hendak
menjamin keselamatan jiwa dan raga Nabi Muhamad?
c. Membandingkn antara penafsir ulama/ aliran tafsir yang satu dengan penafsiran ulama / aliran
tafsir yang lain, seperti antara penafsiran ulama salaf dengan khalaf, antara Sunni dengan Syi’I,
antara Ahli Sunnah dengan MU’tazilah dan lain sebagainya.
Sebagai ilustrasi, patut dikemukakan perbedaan antara kaum MU’tazilah dengan kaum Ahli
Sunnah dalam menafsirkan ayat-ayat yang bertalian dengan masalah syafa’at, suatu persoalan
yang oleh al-Maraghi di nilai sebagai salah satu Problema yang telah melibatkan banyak orang
(pihak) untuk memperdebatkannya dalam waktu yang cukup lama. Dan itupun hingga kini belum
selesai.
Seperti dimaklumi, dalam al-Qur’an terhadap beberapa ayat yang membicarakan soal
syafa’at.Sebagai dari padanya ada ayat yang mengisyaratkan keberadaan Syafa’at. Seperti ayat
105 surat Hud (11) dan ayat 254 surat al-Anbiya’ (21); namun sebagian yang lain ada pula ayat-
ayat yang menafikan keberadaan Syafa’at seperti ayat 48 dan 54 surat al-Baqarah (2); menurut
penjelasan yang diberikan Thanthawi Jawhari dalam kitab tafsirnya al-Jawabir fi al-Tafsir al-
Qur’an al-Karim, semua umat islam – termasuk kaum Mu’tazilah dan Ahli Sunnah telah seia
sekata (sepakat) bahwa kelak di alam akhirat Nabi Muhamad SAW akan memberikan Syafa’at
kepada umatnya. Di samping itu mereka juga sependirian bahwa Syafa’at itu tidak akan berlaku
bagi orang-orang kafir. Tapi di balik itu mereka berselisih pendapat tentang maksud dari
pemberian Syafa’at itu sendiri jika di hubungkn dengan orang-orang Islam yang melakukan dosa
besar
d. Contoh-contoh kitab tafsir Muqorrin
Agak berbeda dengan metode-metode tafsir yang lain yang memiliki banyak contoh, kitab tafsir
yang secara spesifik ini relatif langka.
1. Durrat al-Tanzl wa Qurrata al-Ta’wil ( Mutiara al-Tanzil dan kesejukan al-Ta’wil), karya al-
Khatib al-Iskafi ( w. 420 H/ 1029 M)
2. Al- Burhan fi Tawjih Mutasyabih al-Qur’an ( Bukti kebenaran dalam pengarahan ayat-ayat
Mutasyabihat al-Qur’an), karangan Taj al- Qaraa’ al-Kirmani ( w. 505 H/ 1111 M).
e. Kelebihan dan kekurangan
Tafsir al- muqorrin memiliki beberapa kelebihan diantaranya: lebih bersifat objektif, kritis dan
berwawasan luas sedangkan kekurangannya adalah tidak bisa menafsirkan seluruh ayat Al-
Qur’an.
4. Tafsir Maudhu’I ( Tematik)
Metode ini adalah suatu metode mengarahkan pandangan kepada suatu tema tertentu,
kemudian mencari pandangan Al-Qur’an terntang tema tersebut dengan jalan menghimpun
semua ayat yang membicarakannya, menganalisis, dan memahami ayat demi ayat, lalu
menghimpunnya dalam benak ayat yang bersifat umum di kaitkan dengan yang khususu, yang
mutlaq digandengkan dengan muqayyad, sambil memperkaya uraian dengn hadist-hadist yang
berkaitan untuk di simpulkan dlam satu tulisan pandangan menyeluruh dan tuntas menyangkut
tema yang di bahas itu.
a. Contoh penafsiran metode maud’I : terdapat pada QS. An-Nahl ayat 67, Al-Baqarah ayat 219,
An-Nisa ayat 43, Al –Maidah ayat 90-91.
••
•
Artinya : Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minimuman yang memabukkan dan rezki
yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran
Allah) bagi orang yang memikirkan. (QS. An-Nahl : 67)


••


Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang khamardan judi. Katakanlah: "Pada keduanya
terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih
besar dari manfaatnya." Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan.
Katakanlah: " Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu supaya kamu berfikir. (QS.Al-Baqarah : 219)


•


••

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang
kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu
sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh
perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang
baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu.Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha
Pengampun. (QS.An-Nisa ayat 43)




Artinya : Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.(QS. Al-Maidah : 90)




Artinya : Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan
kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu
dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).
(QS. Al-Maidah 91)
Pada tahun 1997, Prof. Dr. Abdul Hayy Al-Farmawiy, yang juga menjabat guru besar pada
Fakultas Ushuluddin Al-Azhar, menerbitkan buka Al-Bidayah fi At-Tafsir AL-Maudhu’i dengan
mengemukakan secara terinci langkah-langkah yang hendaknya ditempuh untuk menerapkan
metode maudhu’iy. Langkah-langkah tersebut adalah :
a. Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik);
b. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.
c. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab
al-nuzul-nya;
d. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing;
e. Menyusun pembahasan dalam rangka yang sempurna (outline);
f. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan;
g. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya
yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang ‘am (umum) dan
yang khas (khusus), mutlak dan muqqayad (terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan,
sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan.
b. Contoh-contoh kitab tafsir Maudhu’I
1. At-Tabiyan fi Aksam al-Qur’an (penjelasan tentang sumpah dalam Al-Qur’an), karangan Ibn
Qayyim Al-Jawziyyah (691-751 H/1921-1350 M).
2. Al-Riba fi al-Qur’an (Riba dalam al-Qur’an), karya Abu al-A’ala al Maudhui.
c. kelebihan dan kelemahan
Akan halnya metode-metode tafsir yang lain, metode tafsir al-Maudhu’i juga mempunyai
beberapa kelebihan. Yang terpenting ialah bahwa metode ini penafsirannya bersifat luas,
mendalam tuntas dan sekaligus dinamis. Adapun kelemahannya antara lain sama dengan tafsir
al-muqaran yakni tidak dapat menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara keseluruhan seperti yang
dapat dilakukan dengan metode tahlili dan ijmali.

B. Sumber Penafsiran

1. Tafsir Bi al-Mat’sur

Tafsir bil Ma’sur ialah tafsir yang menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an dengan Sunah
karena ia berfungsi menjelaskan Kitabullah, dengan perkataan sahabat karena merekalah yang
paling mengetahiu Kitabullah atau dengan apa yang di katakan tokoh tokoh besar tabi’in karena
pada umumnya mereka menerimanya dari para sahabat.
a. Penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an

Artinya : Tunjukilah Kami jalan yang lurus.(QS. Al- Fatihah : 7)
Kemudian di tafsirkan ayat 7


Artinya : (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan)
mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.(QS. Al- Fatihah : 8)
b. Penafsiran Al-Qur’an dengan hadis nabi


Artinya : Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan
kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang
yang mendapat petunjuk.
Rasul SAW menafsirkan bahwa kata zhulum artinya penganiayaan di sini adalah kemusrikan
sejalan dengan firman Allah

Artinya : Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.
(QS Luqman ; 13)
c. Penafsiran ayat dengan keterangan sahabat nabi
Misalnya pemahaman sahabat nabi sayidina Umar dan Ibnu Abbas ra. Tentang makna surah
An-Nasr
••


Artinya : Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,Dan kamu Lihat manusia
masuk agama Allah dengan berbondong-bondong,Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu
dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.(QS. An-
Nasr: 1-3)
Bahwa surah itu adalah isarat tentang telah mendekatnya ajal Nabi SAW.
d. Penafsiran al-qur’an denan perkatan tabiin
Fase sahabat dianggap berakhir dengan meninggalnya tokoh-tokoh sahabat yang dulu menjadi
guru dari para Tabi’in dan digantikan dengan tafsir tabi’in. Para tabi’in selalu mengikuti jejak
guru-gurunya yang masyhur dalam penafsiran Al-Qur’an. Terutama mengenai ayat-ayat yang
musykil pengertiannya bagi orang-orang awam.
Penafsiran Rasulullah saw, dan para sahabat sebagaimana kita ketahui tidak mencakup semua
ayat Al-Qur’an dan hanya menafsirkan bagian-bagian yang sulit dipahami orang-orang yang
semasa dengannya. Hal ini telah menyebabkan munculnya problem baru, yakni bertambahnya
persoalan-persoalan yang sulit dipahami oleh orang-orang sesudah masa sahabat karena
rentang waktu dan tempat yang semakin panjang. Oleh karena itu, para tabi’in yang
menekuni bidang tafsir merasa perlu menyempurnakan kekurangan-kekurangan ini. Karena
mereka menambahkan kedalam tafsir keterangan-keterangan yang dapat menutupi kekurangan
tersebut. Mereka berusaha menyempurnakan tafsir Al-Qur’an secara terus-menerus
berlandaskan pada pengetahuan bahasa Arab, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa
turunnya Al-Qur’an, yang mereka pandang valid dari guru-guru mereka serta berdasarkan pada
pemahaman serta sarana pengkajian lainnya.
e. Contoh – contoh kitab tafsir bil al – Ma’tsur
Ada beberapa contoh kitab tafsir bi al-ma’tsur yang terpenting diantaranya:
(1). Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an (Himpunan Pnejelasan Tentang Ta’wil Ayat-ayat Al-
Qur’an), 15 jilid dengan jumlah halaman sekitar 7125, karangan Ibn Jarir al-Thabari (224-310
H/846-922 M).
(2). Tafsir al-Qur’an al-Azim (Tafsir al-Qur’an yang Agung), 4 jilid dengan sekitar 2414
halaman(termasuk 58 halaman sisipan ilmu tafsir pada jilid terakahir), karya Al-Hafizh Imad al-
Din Abi al-Fida’ Isma’il bin Katsir al-Quraisyi al-Dimasyqi (w.774 H/1343 M).

2. Tafsir bil ra’yi


Tafsir bil ra’yi ialah tafsir yang di dalamnya menjelaskan maknanya mufasir hanya berpegang
pada pemahamannya sendiri dan penyipulan intinbat yang di dasarkan pada ra’yu semata. Tidak
termasuk kategori ini pemahaman terhadap Al-Qur’an yang sesuai dengan roh syariat dan di
dasarkan pada nas-nasnya. Ra’yu semata yang tidak disertai bukti-bukti akan membawa
penyimpangan terhadap Kitabullah. Dan kebanyakan orang yang melakukan penafsiran dengan
semangat demikian adalah ahli bid’ah penganut mazhab bathil. Mereka mempergunakan Qur’an
untuk di ta’wilkan menurut pendapat pribadi yang tidak mempunyai dasar pijikan berupa
pendapat atau penafsirkan ulama salaf, sahabat dan tabiin. Golongan ini telah menulis sejumlah
kitab tafsir menurut pokok-pokok majhab mereka seperti tafsir abdurrahman bin khaisan al-Azam
al-Juba’i, Abdul Jabbar, ar-Rummani, Zamakhari dan lain sebagainya.
a. Contoh penafsiran tafsir bi al-Ra’yi
Contoh tafsir mahmud ialah menafsirkan kata dzarrah ( ‫ )ذرة‬dalam surat Al-zalzalah (99): 7 dan
8, dengan benda-benda terkecil misalnya atom, newton dan energi yang oleh ulama-ulama
klasik ditafsirkan dengan biji sawi, biji gandum, semut gatal dan lain-lain.


Artinya : Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat
(balasan)nya.Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia
akan melihat (balasan)nya pula.(QS.Al-zalzalah (99): 7- 8 )
b. Conto-contoh kitab yafsir bil al-ra’yi
Beberapa contoh kitab tafsir bi al-ra’yi yang sangat besar manfaatnya bagi perkembangan tafsir
ilmu tafsir, diantara ialah :
1). Mafatih al-Ghaib (kunci-kunci keghaiban) juga umum disebut dengan al-Tafsir al-Kabir
karangan Muhammad al-Razi Fakhr al-Din (544-604 H/1149-1207 M), sebanyak 17 jilid sekitar
32000-36200 halaman tidak termasuk indeks.
2). Ruhal-Ma’ani (Jiwa-jiwa Makna al-Qur’an), dengan muallif (pengarang) al-Allamah Syihab al-
Din al-Alusi (w. 1270 H/ 1853 M).
3. Tafsir isyari
Tafsir bi al-Isyarah adalah menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan isyarat-isyarat batin yang
terpancar dari para sufi, pengikut tarekat atau orang yang bersih hatinya.
Para ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya menggunakan tafsir ini. Sebagian
membolehkan dan sebagian lainnya mengharamkan. Kelompok yang membolehkan :
a). Makna batinnya tidak bertentangan dengan makna zahir Al-Qur’an.
b). Penafsirannya tidak mengklaim bahwa hanya penafsiran baitinnya yang paling benar, tanpa
mempertimbangkan makna tersurat.
c). Penafsirannya tidak jauh melenceng dari makna dasarnya.
d). Hasil penafsirannya tidak bertentangan dengan hukum Syar’i maupun akal.
e). Hasil penafsirannya didukung dengan dalil-dalil syar’i lainnya.
Sementara kelompok yang mengharamkan tafsir isyari mengungkapkan bahwa tafsir ini hanya
berdasarkan asumsi –asumsi yang sangat subjektif sehingga hasil penafsirannya jauh dari
kebenaran dan pada titik tertentu barakibat pada subjektivitas atau bahkan relativitas makan Al-
Qur’an.Karena itu, Az-Zarkasyi misalnya mengatakan bahwa pendapat para sufi terkait dengan
ayat-ayat Al-Qur’an bukanlah tafsir atasnya, tapi ia adalah makna, rasa dan kesan yang mereka
peroleh ketika membaca dan berinterkasi secara intens dengan Al-Qur’an.
a. Contoh penafsiran tafsir bi Isyari
Tafsir al-Isyari harus ditolak (mardud) ialah tafsir yang menyalahi salah satu dari syarat-syarat
penerimaan tafsir al-isyari di atas. Di antara contohnya ialah penafsiran aliran al-bathimmiyah
yang menafsirkan kata baqaratun (‫ )بقر ة‬dengan nafsu binatang dalam ayat :(al-Baqara (2): 67).
•


Artinya : Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh
kamu menyembelih seekor sapi betina." mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan
Kami buah ejekan?"[62] Musa menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah
seorang dari orang-orang yang jahil". (Al-Baqara (2): 67).
Para pengikut al-bathniyyah ada yang menafsirkan ayat tersebut dengan penafsiran demikian: ”
Perintah menyembelih sapi pada ayat diatas memberikan isyarat bahwa manusia yang
diperintahkan supaya menyembelih (membunuh) nafsu binatang (an-nafs al-bahimah), karena
membunuh nafsu binatang yang ada pada diri manusia berarti menghidupkan hati bersifat
rohani. Dan itu merupakan jihad terbesar (al-Jihad al-akbar) yang berarti sama dengan matilah
kamu sebelum kamu mati. Orang-orang bathiniyyah menggubah sajak demikian Bunuhlah aku
hai kepercayaanku! Karena, sesungguhnya dalam kematianku terdapat
kehidupanku;Kehidupanku terletak dalam kematianku, dan kematianku terwujud dalam
kehidupanku.
b. Contoh-contoh kitab yafsir bil isyari
1). Gharib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan, (Kata-kata Asing al-Qur’an dan al-Furqan yang
Menarik) karangan al-Na-isaburi (w. 728 H/1328 M).
2).‘Ara’is al Bayan fi Haqaiq al-Qur’an (Jempana Keterangan dalam Hakikat al-Qur’an), susunan
Muhammad al-Syairazi,
3). Tafsir wa Isyarat al-Qur’an (Tafsir dan Isyarat al-Qur’an), buah pena Muhyi al-Din Ibn ‘Arabi
(w. 560-638 H/ 1165-1240 M).
C. CORAK PENAFSIRAN
1. Corak Kebahasaan
Sebagaimana telah diuraikan di muka, ketika teks Al-Qur’an diwahyukan dan dibaca oleh Nabi,
ia sesungguhnya telah transformasi dari sebuah teks ilahi (nash ilahi) menjadi sebuah konsep
(mafhum) atau teks manusiawi (nash insani). Sebab, secara langsung berubah dari wahyu
(tanzil) menjadi interpretasi (ta’wil). Dari sini makna-manka yang dikonsepkan harus dilihat dari
konteks bahasa di mana bahasa tersebut dipakai, yaitu Arab. Dalam konteks ini, analisis bahasa
menjadi signifikan.
Setiap kata dalam ayat Al-Qur’an oleh buku tafsir ini dianalisis daris segi kebahasaaan :
diuraikan asal-usul katanya, perubahannya, keragaman maknanya, serta bangunan semnatiknya
dengan kata-kata yang lain. Contohnya, ketika Qiraish menguraikan ayat 1 Surat Al-Fatihah.
Seluruh rangkaian kata diuraikan secara detail. Di mulai dari bi ( ‫ )ب‬yang diterjemahkan dengan
kata “dengan”, menurutnya menyimpan suatu kata yang tidak tercupakan tetapi harus terlintas di
dalam benak ketika mengucapkan basmalha, yaitu kata “memulai”. Sehingga bismillah berarti
“saya atau kami memulai dengan nama Allah”. Dengan demikian, kalimat tersebut menjadi
semacam doa atau pernyataan dari pengucap bahwa ia memulai pekerjaan atas nana Allah
Setelah itu, ia menguraikan kata ism (‫ )اسم‬yang menurutnya terambil dari kata al-sumuww (‫)اسمو‬
yang berarti “tinggi” atau al-simmah (‫ )اسما‬yang berarti “tanda”. Nama menjadi tanda bagi sesuatu
serta harus dijunjung tinggi. Kata ini bisa diterjemahkan dengan “nama”. Namun disebut ism,
karena ia seharusnya dijunjung tinggi atau karena ia menjadi tanda bagi sesuatu. Ada yang
bberpendapat bahwa nama adalah hakikat sesuatu yang dinamai itu. Jadi, kalau disini dikatakan
“dengan nama Allah”, maka itu berarti “dengan Allah”.
2. Corak Sosial Kemasyarakatan
Muhammad ‘Abduh pernah mengatakan bahwa pada hari kahir nanti Allah tidak menanyai
manusia mengenai pendapat para maufasir, dan tentang bagaimana mereka memahami Al-
Qur’an. Tetapi ia akan menanyakan kepada kita tentang kitab-Nya yang ia wahtukan untuk
membimbing dan mengatur manusia.Terhadap pernytaan Abduh ini, J.J.G. Jansen
menyimpulkan bahwa ‘Abduh ingin menjelaskan Al-Qur’an kepada masyarakat luas dengan
maknya yang prkatis, bukan hanya untuk ulama profesional.’Abduh menginginkan pembacanya,
masyarakat awam maupun ulama, menyadari relevansi terbatas yang dimilki tafsir-tafsir
tardisional, tidak akan memberikan pemecahan terhadap masalah-masalah penting yang mereka
hadapi sehari-hari. Ia ingin menyakinkan pada para ulama bahwa mereka seharusnya
membiarkan Al-Qur’an berbicara atas nama dirinya sendiri, bukan malah diperumit dengan
penjelasan-penjelasan dan keterangan-keterangan yang subtil.
Nuansa sosial kemasyrakatan yang di maksud di sini adalah tafsir yang menitikberatkan
penjelasan ayat Al-Qur’an dari : (1) segi ketelitian redaksinya, (2) kemudian menyusun
kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi dengan tujuan utama memaparkan tujuan-
tujuan Al-Qur’an, aksentuasi yang menonjol pada tujuan utama yang diuraikan Al-Qur’an, dan (3)
penafasiran yang dikaitkan dengan sunatullah yang berlaku dalam masayarakat.
3. Corak Fiqhi
Tafsir fiqhi yang kemudian lebih populer dengan sebutan tafsir ayat al-ahkam atau tafsir ahkam
saja ialah tafsir yang lebih beroreintasi kepada ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an (ayat al-
ahkam). Berlainan dengan tafsir-tafsir yang lain semisal tafsir ilmi dan tafsir falsafi yang
eksistensi dan pengembangannya diperbedabatkan pakar-pakat tafsir, keberedaan tafsir ahkam
dapat dikatakan diterima oleh seluruh lapisan mufassirin.
Tafsir ahkam memliki usia yang sangat tua karena lahir bersamaan dengan kelahiran tafsir al-
Qur’an pada umumnya. Teramat banyak untuk disebutkan satu persatu deretan daftar nama
kitab-kitab tafsir ahkam baik dalam bentuk tafsir tahili, maupun maudhu’i.Di antara kitab-kitab
tafsir ayat ahkam ialah :
1. Ahkam Al-Qur’an al-Jashshash , disusun oleh al-Imam Hujjat al-Islam Abi Bakr Ahamd bin Ali
al-Razi al-Jashshash (305-370 H/ 917-980 M), salah seoarang ahli fiqih dari kalangan Madzahb
Hanafi.
2. Ahkam Al-Qur’an Ibn al-Arabi, merupakan karya monumental Abi Bakr Muhammad bin
Abdillah, yang lazim populer dengan sebutan Ibn al-Arabi (468-543 H/ 1075-1148 M).
4. Corak sufistik
Dalam tardisi ilmu tafsir Al-Qur’an kalsik, tafsir yang bernuansa sufistik sring didefinisikan
sebagai suatu tafsir yang berusaha menjelaskan makna ayat-ayat Al-Qur’an dari sudut esoterik
atau berdasarkan isyarat-isyarat tersirat yang tampak oleh seorang sufi dalam suluk-nya. Tafsir
yang menggunkan corak pembcaan jenis ini ada dua macam: (1) yang disadasarkan pada
tasawuf nazhari (teoretis) yang cenderung menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan teori atau paham
tasawuf yang umumnya bertentangan dengan makna lahir ayat dan menyimpang pengertian dari
bahasa, (2) didasarkan pada tasawuf ‘amali (prkatis), yaitu menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an
berdasarkan isyarat-isyarat tersirat yang tampak oleh sufi dalam suluk-nya.
Mencontoh penafsiran tafsir sufi dalam QS Al-Qalam (68): 42)

Artinya: Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; Maka mereka tidak
kuasa,
Kata saq dalam ayat ini bila diterjemahkan sebagai betis, kita kebingungan. Apa yang dimaksud
dengan betis ? Mengapa Tuhan menyingkapkan betis-Nya? Jelas, jika menerima makan ini, kita
harus percaya bahwa Tuhan punya betis dan Dia menyingkapkan beris-Nya untuk memanggil
manusia agar bersujud. Kepercayaan seperti ini jelas bertentangan dengan akidah Islam yang
menyatakan bahwa tidak ada yang menyerupai Tuhan satupun. Jika tidak mau menerima
adanya betis Tuhan, kita pun menolak ayat Al-Qur’an.
Untuk mengatasi problem semacam ini, Jalal lalu memberikan makna lain pada kata saq dalam
pengertian kesulitan atau situasi krisis yang membuat orang panik seperti dalam kalimat: “
‫قا مت الححرب بنا على سا ق‬
peperangan telah mencapai tingkat yang kritis”. Berdasarkan makna terkahir ini, betis
disingkapkan berarti suasana Hari Kiamat yang dipenuhi kesulitan dan ketakutan yang membuat
orang panik. Dengan cara inilah menurutnya, justru keraguan dapat dihilangkan.
http://btaku.blogspot.co.id/2016/02/model-model-metodologi-penafsiran-dalam.html

Model-Model Tafsir dalam Al-Qur’an


A. Pengertian Model-Model Tafsir dalam Al-Qur’an
Istilah “model” dalam bahasa Indonesia bermakna pola, contoh dan ragam /corak dari suatu yang akan
dibuat atau dihasilkan. Definisi lain dari model adalah abstraksi dari system sebenarnya, dalam gambaran yang
lebih sederhana serta mempunyai tingkat presentase yang bersifat menyeluruh, atau model adalah abstraksi dari
realitas dengan hanya memusatkan perhatian pada beberapa sifat dari kehidupan sebenarnya.

Adapun pengertian tafsir adalah penjelasan mengenai pengertian suatu kata, dan penjelasan itu dapat
bersifat hakiki (menurut makna kata itu sendiri), tetapi dapat pula bersifat majazi (tidak menurut makna
katanya), namun masih dalam kerangka maksudnya. Sedangkan tafsir menurut al-Kilabi, tafsir adalah
menjelaskan Al-Qur’an, menerangkan maknanya, dan menjelaskan apa yang dikehendaki nash, isyarat, atau
tujuan-nya. Jadi model-model tafsir adalah ragam /corak dan abstraksi dalam menjelaskan Al-Qur’an,
menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendaki nash, isyarat, atau tujuannya.

B. Model-Model Tafsir dalam Al-Qur’an.


1. Tafsir Sufistik
Tafsir sufi atau yang lebih dikenal dengan istilah tafsir Isyari, secara etimologis berasal dari asal kata
asyara-yusyiru-isyaratan yang berarti memberi isyarat atau petunjuk. Jadi kata “Isyari” berfungsi sebagai
keterangan sifat bagi lafal “tafsir” dengan demikian “tafsir Isyari” berarti: sebuah penafsiran Al-Qur’an yang
berangkat dari isyarat atau petunjuk. Artinya penafsiran diberikan sesuai dengan isyarat atau petunjuk yang
diterima oleh mufassirnya melalui ilham. Para ahli tasawuf inilah yang banyak menafsirkan Al-Qur’an melalui
isyarat yang mereka terima. Oleh karena itulah “tafsir Isyari” disebut juga “tafsir sufi”.

Corak tafsir sufi yang lahir sebagai akibat dari timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari
kecenderungan berbagai pihak terhadap materi telah mempunyai ciri khusus atau karakter yang
membedakannya dari tafsir lainnya. Tafsir sufi ini telah didominasi paham sufi yang dianut oleh mufassirnya
karena memang tasawuf telah menjadi minat dasar bagi mufassir, sebelumnya dia melakukan usaha penafsiran
atau juga bahwa penafsirannya itu hanya untuk legitimasi atas pendapatnya. Jadi Penafsiran sufistik Melakukan
penafsiran dengan bercorak kerohanian / tasawuf. Contoh penafsiran sufistik, yaitu penafsiran al-Tastary ketika
menafsirkan ayat 22 dari surat al-Baqarah :
‫…فال تجعلوا هلل اندادا‬.
Artinya:
….. Janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah

Diantara kitab-kitab Tafsir sufistik adalah: tafsir al-Qur’an al-Azhim, karya Imam at-tusturi (w. 283 H),
Haqaqa’iq at-Tafsir, karya al-Allamah As-Sulami (w. 412), Arais Aa-Bayan fi Haqa’iq al-Qur’an, karya Imam
asy-Syirazi (w. 283).

2. Tafsir Fiqih
Setelah Rasulullah SAW wafat, para fuqaha’ dari kalangan sahabat mengendalikan ummat di bawah
kepemimpinan Kulafau’rasyidin. Jika terdapat persoalan-persoalan baru yang belum pernah terjadi sebelumya,
maka Al-Qur’an merupakan tempat kembali mereka menginstinbathkan hukum-hukum syara’nya. Jadi
menafsirkan Al-Qur’an dengan pendekatan Hukum-Hukum syara’. Contoh tafsir fiqih mengenai firman Allah
surah al-Baqarah ayat 187 yaitu :
‫احل لكم ليل الصيا م الرفث الي نسا ءيكم‬
Artinya:
“dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa berhubungan dengan istri-istri kamu”.

Di antara kitab tafsir fiqih adalah: Ahkam Al-Qur’an karya Al-Jashshash (w. 370 H), Ahkam Al-
Qur’an karya Ibn Al-Arabi (w. 543 H), Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an karya Al-Qurthubi (w. 671).

3. Tafsir Falsafi
Pendekatan ini dapat membantu memahami Al-Qur’an dalam upaya menjelaskan inti, hakikat, atau
hikmah mengenai sesuatu yang berada dibalik objek formalnya. Para ulama tidak seluruhnya sepakat dengan
penjelasan filsafat, bahkan di antara mereka terjadi perbedaan dalam penerimaannya. Adapun yang
diperdebatkan dalam pemakaian filsafat adalah nilai kebenaran dan cara penelusuruannya. Penjelasan secara
filosofi sangat dibutuhkan manakala berhadapan dengan umat lain atau paham lain yang memerlukan penjelasan
rasional lebih terperinci. Misalnya, orang Persia ataupun orang Yunani yang sebelumnya memiliki tradisi
pemikiran dengan filsafatnya yang kuat, tentu saja pendekatan filosofy dalam menyampaikan pesan Al-Qur’an
sangatlah relevan. Oleh karenanya, bagi mereka agama dan filsafat merupakan proses dialektika yang saling
menjelaskan dan saling mendukung untuk menemukan sebuah kebenaran dan makna bagi manusia. Contoh
tafsir falsafih yaitu:

a. Tafsir Al Farabi
Al-Farabi adalah roh pengerak tradisi filsafat. Ia wafat pada tahun 339 H sebagaimana dalam
kitabnya Fushush al Hikam dari sebagian ayat dan hakikat dalam Al-Qur’an. Tafsirnya termasuk dalam kategori
tafsir falsafy. Seperti ketika ia menafsirkan al-awaliyah dan al-Akhirah dalam surah al-Hadid: 3 ‫هو الول‬
‫ واألخرة‬dengan penafsiran bahwa al-awal adalah wujud terdahulu yang tanpa ada yang mendahuluinya. Awal di
sini baik dari segi zaman yaitu tiada zaman yang melingkupi maupun sesuatu besertanya. Sedangkan al-
Akhirah adalah suatu ketika bersebab karena-Nya dan bersandar kepada-Nya. DIa-lah yang menjadi tujuan akhir
yang hakiki dalam setiap pencarian, seperti tujuan kebahagiaan dalam perkataan: Kenapa engkau minum air?,
Maka jawabannya adalah untuk menghilangkan dahaga. Mengapa menghilangkan dahaga?, agar sehat. Kenapa
harus sehat?, agar bahagia dan baik, kemudian tak ada pertanyaan yang layak mendapat jawaban daripadanya
karena kebahagiaan dan kebaikan dicari karena keadaannya tidak karena yang lain. Oleh karena itu al-
Akhir adalah akhir dari segala tujuan, awal dalam fikiran dan akhir dalam tujuan. Dialah akhir dari arah segala
zaman yang tiada yang mengakhiri lagi, dan tiada wujud zaman akhir yang lebih akhir dari yang Haq.

b. Tafsir Ikhwan As Shafa


Penjelasan terhadap Al-Qur’an seperti di atas dapat kita temukan dalam ikhwan al Shafa yang
meskipun tidak diketahui secara tepat kapan penulisannya, akan tetapi dapat dilacak dari hubungannya dengan
sekte batiniyah Ismailiyah. Sebagian dari penjelasannya yang terkenal adalah permasalahan surga dan
neraka. Bahwa sesunguhnya Surga adalah alam aflak, sedangkan neraka adalah alam di bawah falak bulan,
yaitu alam dunia. Penjelasan tersebut merujuk pada surat Al- A’raf ayat 50
‫ قالوا إن هللا حرمهما على الكافرين‬،‫ونادى اصحاب النار اصحاب الجنة ان افيضوا علينا من الماء او مما رزقكم هللا‬
Artinya:
Dan penghuni neraka menyeru penghuni syurga: “limpahkanlah kepada kami sedikit air atau makanan yang
telah direzkikan Allah kepadamu”. Mereka (penghuni syurga) menjawab: “sesungguhnya Allah telah
mengharamkan keduanya itu atas orang-orang kafir”.

Dengan demikian para mufassir menyatakan bahwa para malaikat berada pada bintang-bintang aflak
dan berkata: Sesunguhnya bintang-bintang falak adalah malaikat Allah dan raja langit. Allah menciptakan untuk
menjaga alam semesta, dan mendampingi mahluknya, dan membantu kepemimpinannya, dan meraka adalah
pengelola Allah di aflak-Nya, seperti makhluk Bumi yang ditugaskan Allah di bumi.

Atas dasar pemikiran ini Ikhwanu Shafa berpendapat: Jiwa orang mukmin setelah terpisah dari
jasadnya akan menuju ke alam malakut langit dan memasuki alam malaikat, hidup dengan roh suci, suci di alam
aflak. Dalam tingkatan langit: farhah, masrurah, munimah, mutaldzdadh, mukaramah, mughtabithoh. Dan
mereka menyatakan bahwa demikian itu adalah makna Allah azza wajalla dalam Surat Fathir ayat 10 :
‫إليه يصعد الكلم الطيب والعمل الصالح يرفعه‬........
Artinya:
Kepadanya-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.

c. Tafsir Ibnu Sina


Ibnu Sina digambarkan seperti seseorang muslim yang di tangan kanannya terdapat Al Qur’an dan di
tangan kirinya terdapat ilmu filsafat, sehingga ia sanggup memadukan dengan jernih antara agama dan filsafat.
Ia mengsikronkan antara nash-nash Al-Qur’an dengan pandangan-pandangan filsafat yang keduanya berada
saling berdialektika.

Pandangan Ibnu Sina terhdap al-Qu’ran dan Filsafat adalah memahami pandangan filsafat dalam Al-
Qur’an dan menjelaskan Al-Qur’an dengan filsafat. Adapun metodologi yang digunakan Ibnu Sina yaitu
menjelaskan makna hakikat agama dengan pemikiran filsafat. Hal ini didasarkan bahwa sesungguhnya Al-
Qur’an adalah tak terkecuali dengan beberapa ketentuan yang ketentuan itu oleh Nabi Muhammad SAW
terpancang pada makna hakikat yang terkandung.

Atas dasar pemikiran ini, menurut Ibnu Sina bahwa nash-nash Al-Qur’an tidak diketahui hakikatnya
kecuali dengan kekhususan yang terkandungnya, maka tugas para mufassir untuk menjelaskan beberapa hukum
yang terkandung di dalamya dengan perspektif filsafat serta tidak menyimpang dari ruh Al-Qur’anul
Karim. Mislanya, Ibnu Sina dalam memberikan penjelasan pada surat al-Haqqah ayat 17:
‫ويحمل عرش ربك فوقهم يومئذ ثمانية‬
Artinya:
..... dan pada hari itu delapan malaikat menjunjung ‘Arsy Tuhanmu di atas (kepala) mereka.

Ia menafsirkan arasy dengan al-falak ke sembilan yang merupakan falaknya aflak. Dan menafsirkan
malaikat kedelapan yang mencakup arasy sebab. Aflak kedelapan terdapat di bawah aflak kesembilan. Melalui
pendekatan filosofis, seseorang tidak akan terjebak pada pengamalan agama bersifat formalistik, yakni
mengamalkan agama dengan memiliki makna apa-apa, kosong tanpa arti. Namun sebaliknya yaitu mendapatkan
hakikat batin eksoterik dalam mengamalkan ibadah. Kitab tafsir falasafi yaitu kitab Mafatih Al-Ghaib karya Al-
Fakhr Ar-Razi (w. 606 H).

4. Tafsir Ilmi’
Al-Qur’an mendorong pula pengembangan ilmu pengetahuan. Al-Qur’an mendorong ummat Islam
untuk memerdekakan akal dari belenggu keraguan, melepaskan belenggu-belenggu berfikir, dan mendorongnya
untuk mengamati fenomena alam. Allah telah mendorong kita untuk mengamati ayat-ayat kauniah, di samping
ayat-ayat Qur’aniah. Jadi pendekatan ini menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan feneomena-
fenomena alam. Contoh penafsiran Ilmi’, ayat 58 surat ke-7 (al-A'raf). Ayat ini menunjukan bahwa walaupun
Tuhan dengan kehendak-Nya diperlukan bagi tumbuhnya tanam-tanaman, kecocokan tanah juga merupakan
syarat tumbuhnya tanaman tersebut, karena tidak semua tanaman dapat tumbuh pada setiap tanah. Maka dengan
kecocokan tanah, Tuhan menjadikan tanaman itu mungkin untuk tumbuh.

Di antara ulama tafsir yang mendalami tafsir Ilmi’ adalah: Imam Fakh Al-Razi didalam Tafsir Al-
Kabir, Imam Al-Ghazali di dalam Ihya Ulumuddin dan Jawahir Al-Qur’an, Imam As-suyuthi di dalam Tfsir
Ilmi’ ini.

5. Tafsir Adabi-Ijtimai’I
Tafsir Adab Ijtimai”I berupaya menyingkap keindahan Al-Qur’an dan mukjizat-mukjizatnya:
menjelaskan makna dan maksudnya, memperlihatkan aturan-aturan Al-Qur’an tentang kemasyarakatan, dan
mengatasi persoalan yang dihadapi ummat Islam secara khusus dan permasalahan ummat lainnya secara umum.
Jadi corak penafsiran tafsir adab ijtimai’ berorientasi pada sastra budaya kemasyarakatan.

Salah satu contoh tafsir adabi-ijtimai’ tafsir Bintu Syathi’ mengenai ayat pertama surah Ad-Dhuha.
Dalam ayat ini mencari arti linguistik dari term duha. Pemaparan beliau kemudian dikemas dengan penyebutan
beberapa bentuk (sighat) dan penggunaan yang akar katanya adalah duha, semisal al-dahiyah (unta yang minum
pada waktu duha), dahha (mengorbankan kambing pada waktu duha), yaum adhha (hari berkumpulnya kambing
yang akan disembelih pada hari raya qurban—waktu duha—) dahiyah (langit yang terkena sinar matahari), dan
bebeapa term lain serta penyebutan maknanya. Bintu Syathi’ juga mengemukakan bahwa bahwa Al-Qur’an
menjadikan lafadz duha sebagai antonim dari lafadz ‘asyiyyah (senja hari) pada ayat 29 dan 46 surat Al-Nazi’at,
ayat 98 surat Al-A’raf, dan ayat 59 surat Thaha. Diantara kitab tafsir adabi-ijtima’I adalah: tafsir Al-Manar,
karya Rasyid Ridha (w. 1354 H), tafsir Al-Maraghi karya Al-Maraghi (w. 1945), tafsir Al-Qur’an Al-Azhim
karya Syaikh Mahmud Syaltut.

http://masfajriyangimutncakep.blogspot.co.id/2015/01/model-model-tafsir-dalam-al-quran.html

A. PENDAHULUAN

Al-Qur’an menjadi salah satu mukjizat besar Nabi Muhammad SAW, sebab turunnya Al Qur’an
melalui perantara beliau, AL Qur’an mempunyai peranan yang sangat penting untuk
keberlangsungan umat manusia di Dunia. Betapa tidak, semua persoalan manusia di dunia sebagian
besar dapat ditemukan jawabannya pada Al Qur’an. Oleh karenannya kemudian Al Qur’an di yakini
sebagai firman Allah yang menjadi sumber hukum Islam pertama sebelum Hadist.

Banyaknya persoalan manusia yang berkembang dimasyarakat pada akhir-akhir ini, salah satu
penyebabnya ditengarai banyak manusia yang sudah mulai meninggalkan dan melupakan Al Qur’an.
Kalau begini maka yang salah adalah kita semua bukan Al Qur’annya.di dalam Al Qur’an Banyak ayat-
ayat yang mengandung makna untuk menyelesaikan persoalan manusia baik dalam
hubungan muamalah ataupun ’ubudiyah, namun sayang, semua ini belum tergali guna memberikan
pencerahan kepada umat manusia.

Dalam menggali ataupun memahami ayat-ayat Al Qur’an diperlukan perangkat-perangkat dan


instrumen keilmuan yang lain, seperti Ilmu Nahwu, Sharaf (Bahasa Arab), Fiqh, Ushul Fiqh, Ulumul
Qur’an, Sosiologi, Antropologi dan budaya guna mewujudkan AL Qur’an sebagai pedoman dan
pegangan umat Islam yang berlaku sepanjang zaman. Memang memahami ayat-ayat Al Quran
dengan benar tidaklah mudah, sejarah mencatat, terdapat beberapa kosa kata pada ayat AL Qur’an
yang tidak difahami oleh sebagian sahabat nabi dan sahabat langsung menanyakan hal tersebut
kepada Nabi, namun untuk masa kita saat ini akan bertanya kepada siapa tatkala kita menemukan
beberapa ayat yang sulit untuk difahami. Belum lagi ayat-ayat mutasyabihat yang masih banyak
mengandung misteri dari maksud ayat tersebut secara tertulis.

Oleh karenanya, dalam memahami Al Qur’an diperlukan metode dan pendekatan-pendekatan untuk
menafsirkan al Qur’an, agar Al Qur’an dapat memberikan jawaban yang pas dan sesuai dengan
sekian banyak persoalan yang berkembang dimasyarakat. Jawaban yang sesuai dan pas dengan apa
yang dibutuhkan dan dirasakan masyarakat pada saat ini sangat berarti dan berdampak positif bagi
Islam yang dikenal sebagai Agama yang rahmatan lil ’alamin.

Dalam perkembangannya metode-metode yang digunakan para mufasir banyak dan sangat
beragam, masing-masing dari metode yang ada pun tidak lepas dari keistimewaan dan sekaligus
kelemahan. Metode apa yang akan digunakan oleh mufasir sangat tergantung pada apa yang hendak
diketahui dan dicapainya. Misalnya seseorang yang hendak memperoleh jawaban secara tuntas
tentang suatu persoalan, maka baginya lebih tepat menggunakan metode Maudlu’i. Di sisi lain,
metode ini mampu menjawab dan menolak adanya kesan kontradiksi di antara ayat-ayat al qur’an,
sedangkan bagi seseorang yang ingin mengetahui segala segi dari kandungan ayat Al qur’an, maka
baginya lebih tepat menggunakan metode Tahlili, akan tetapi metode ini ia tidak dapat memperoleh
jawaban Al Qur’an secara tuntas terhadap suati persoalan yang terdapat pada ayat itu.[1]

B. Pembahasan

Sebelum lebih jauh membahas tentang metode dan pendekatan dalam memahami (tafsir) Al Qur’an,
kita fahami terlebih dahulu tentang metode itu sendiri. Kata ”Metode” berasal dari bahasa Yunani
yakni methodos, kata ini terdiri dari dua (2) kata, yaknimeta, yang berarti menuju, melalui,
mengikuti, sesudah; dan kata modos¸ yang berarti jala, perjalanan, cara dan arah.
Katamethods sendiri berarti penelitian, metode ilmiah, hipotesa ilmiah atau uraian ilmiah.[2] Dalam
bahasa Inggris, kata tersebut sering disebut dengan method, dan dalam bahasa Arab kata tersebut
diterjemahkan dengan istilah manhaj atauThariqah.

Dalam bahasa Indonesia sendiri istilah tersebut diartikan sebagai cara yang teratur, terpikir, baik-
baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu Pengetahuan dan sebagainya); cara kerja yang tersistem
dan untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai sesuatu yang
ditentukan.[3] Dalam kaitannya dengan studi Al Qur’an, maka istilah metode dapat diartikan sebagai
cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang
dimaksudkan Allah dalam ayat-ayat Al Qur’an yang diturunkan melalui perantara Nabi Muhammad
SAW.

Dalam upaya menggali dan memahami maksud dari ayat-ayat Al Qur’an terdapat dua term atau
istilah, yakni Tafsir dan Takwil. Secara etimologis, tafsir berarti menjelaskan dan mengungkapkan.
Sedangkan menurut istilah, Tafsir ialah ilmu yang menjelaskan tentang cara mengucapkan lafadh-
lafadh Al Qur’an, makna-makna yang ditunjukkannya dan hukum-hukumnya, baik ketika berdiri
sendiri atau tersusun, serta makna-makna yang dimungkinkannya ketika dalam keadaan
tersusun.[4] Atau bisa juga dapat diartikan Tafsir Al Qur’an adalah penjelasan atau keterangan
untuk memperjelas maksud yang sukar dalam memahami dari ayat-ayat Al Qur’an. Dengan demikian
menafsirkan Al Qur’an adalah menjelaskan atau menerangkan makna-makna yang sulit
pemahamannya dari ayat-ayat tersebut.[5]
https://khanwar.wordpress.com/metode-dan-pendekatan-tafsir-al-qur%E2%80%99an-oleh-yusuf-
effendi-s-h-i/

https://bambies.wordpress.com/2013/04/23/macam-macam-metode-penafsiran-al-quran/

https://id.wikipedia.org/wiki/Tafsir_Alquran

TAHSIN

https://id.wikipedia.org/wiki/Tafsir_Alquran

http://dakwahsyariah.blogspot.co.id/2014/01/ilmu-tajwid-tahsin-tilawatil-quran.html

http://www.radiorodja.com/tag/tajwid-dan-tahsin-al-quran/

http://www.bandungoke.com/view.php?id=120406091335

Anda mungkin juga menyukai