Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR

“NEW EMERGENCY DISEASE”

Oleh :

Kelompok 1

1. Afandi (1611212031)

2. Amirah Syadza (1611211031)

3. Azzah Nesri Edison (1611213027)

4. Maria Klarita Nindy (1611219001)

5. Melda Pratiwi (1611212005)

6. Suci Ramadany (1611211057)

7. Westi Anugrah (1611212053)

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS ANDALAS

2017

1
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat, dan karunia, hidayah, dan

pertolongannya. Berkat segala hal itulah, kelompok dapat menyelesaikan makalah ini. Dan

makalah ini berjudul tentang “New emergency disease” untuk dapat menyelesaikan tugas yang

diberikan oleh dosen mata kuliah Epidemiologi Penyakit Menular.

Dalam menyelesaikan makalah ini kelompok banyak mendapatkan bantuan, bimbingan,

dan pengarahan dari berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini kelompok ingin

mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat dosen mata kuliah Epidemiologi Penyakit

Menular yang banyak memberikan saran dan masukan kepada kelompok.

Kelompok menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari makalah ini baik penulisan

maupun materinya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak

agar dapat berguna bagi kelompok.

Padang, Oktober 2017

Kelompok 1

2
DAFTAR PUSTAKA

3
4
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ilmu kedokteran terus berkembang, salah satu perkembangan yang terjadi adalah
terbentuknya percabangan ilmu kedokteran. Jika ilmu kedokteran sebelumnya merupakan seni
menyembuhkan penyakit ( the art of healing ) yang dilaksanakan oleh dokter yang mampu
melayani pasien yang menderita berbagai penyakit, maka kemudian sesuai dengan kebutuhan.
Kesehatan mempunyai peranan penting dalam meningkatkan derajat hidup masyarakat, maka
semua negara berupaya menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang sebaik- baiknya.

Dalam kesempatan ini, kami akan membahas permasalahan tentang new emerging
disease. Dimana tim penyusun dituntut membahas permasalahan penyakit- penyakit yang
disebabkan oleh mikroorganisme dan menyebabkan wabah secara endemik dan pandemik.
Penyakit- penyakit ini sangat perlu dikenali secara dini agar para dokter bisa melakukan
pengendalian terhadap penyebaran mikroorganisme penyakit tersebut. Dikarenakan kejadian
KLB sangat bisa mengganggu produktivitas masyarakat sehingga meningkatkan morbiditas
bahkan mortalitas dari suatu negara. Oleh karena itu lah kami akan membahas penyakit- penyakit
yang termasuk kategori Emerging Disease.

Emerging diseases adalah wabah penyakit menular yang tidak diketahui sebelumnya
atau penyakit menular baru yang insidennya meningkat signifikan dalam dua dekade terakhir.
Contohnya MERS, hepatitis C, hepatitis B, avian influenza virus, nipah virus, marburgvirus,
lyme, lassa fever, hantavirus pulmonary syndrome, SARS, swine flu.
Faktor yang bertanggung jawab pada Emerging disease adalah :
1. Perencanaan Pembangunan Kota yang tidak semestinya,
2. Ledakan penduduk, kondisi kehidupan yang miskin yang terlalu padat,
3. Industrialisasi dan urbanisasi,
4. Kurangnya pelayanan kesehatan,
5. Meningkatnya perjalanan internasional, globlisasi (gaya hidup),

5
6. Perubahan prilaku manusia seperti penggunaan pestisida, penggunaan obat antimikroba yang
bisa menyebabkan resistensi dan penurunan penggunaan vaksin.
7. Meningkatnya kontak dengan binatang,
8. Perubahan lingkungan karena adanya perubahan pola cuaca,
9. Evolusi dari microbial agent seperti variasi genetik, rekombinasi, mutasi dan adaptasi
10. Hubungan microbial agent dengan hewan perantara (zoonotic encounter)
11. Perpindahan secara massal yang membawa serta wabah penyakit tertentu (travel disease)

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
¢ Apa itu new emergency disease?
¢ Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi new emergency disease?
¢ Bagaimana cara penanggulangan new emergency disease?
¢ Apa saja contoh dari new emergency disease?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan penulisannya adalah sebagai berikut :
" Untuk mengetahui new emergency disease
" Untuk mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi new emergency disease
" Untuk mengetahui cara penaggulangan new emergency disease
" Untuk mengetahui contoh penyakit yang termasuk dalam new emergency disease

6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian New emergency disease

Emerging disease adalah penyakit baru, masalah baru dan ancaman baru. Emerging

disease termasuk wabah penyakit menular yang tidak diketahui sebelumnya atau penyakit

menular baru yang insidennya meningkat signifikan dalam dua dekade terakhir (Mayer, 2000).

Emerging disease adalah suatu penyakit yang meningkat cepat kejadian dan

penyebarannya. Termasuk di dalamnya tipe-tipe infeksi baru yang merupakan akibat dari

perubahan organisme, penyebaran infeksi yang lama ke daerah atau populasi yang baru.

Terjadinya gangguan terhadap ekosistem telah menyebabkan perubahan komposisi ekosistem

dan fungsinya. Perubahan komposisi dan fungsi ekosistem mengakibatkan berubahnya

keseimbangan alam khususnya predator, serta patogen dan vektornya. Beberapa perubahan

ekosistem akibat aktivitas manusia yang mengganggu secara langsung ataupun tidak langsung

terhadap ekosistem antara lain : perkembangan pertanian, manajemen sumberdaya air,

deforestasi atau pertambangan (Carvalho et.al, 2009).

2.2 Faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya new emergency disease


Meskipun kemajuan luar biasa dalam penelitian medis dan perawatan selama abad 20,

penyakit menular tetap menjadi penyebab utama kematian di seluruh dunia karena tiga alasan:

(1) munculnya penyakit infeksi baru (emerging disease); (2) munculnya kembali penyakit

menular lama (re-emerging disease), dan (3) intractable infectious disease (Schriefer, 2012).

7
Emerging disease termasuk wabah penyakit menular yang tidak diketahui sebelumnya

atau penyakit menular baru yang insidennya meningkat signifikan dalam dua dekade

terakhir. Re-emerging disease atau yang biasa disebut resurging disease adalah wabah penyakit

menular yang muncul kembali setelah penurunan yang signifikan dalam insiden dimasa lampau.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan dua permasalahan ini selalu muncul hampir disetiap

tahunnya,yaitu :

 Evolusi dari microbial agent seperti variasi genetik, rekombinasi, mutasi dan adaptasi

 Hubungan microbial agent dengan hewan perantara (zoonotic encounter)

 Perubahan iklim dan lingkungan

 Perubahan prilaku manusia seperti penggunaan pestisida, penggunaan obat antimikrobial

yang bisa menyebabkan resistensi dan penurunan penggunaan vaksin.

 Pekembangan industri dan ekonomi

 Perpindahan secara massal yang membawa serta wabah penyakit tertentu (travel

diseases)

 Perang seperti ancaman penggunaan bioterorisme atau senjata biologis (Schriefer, 2012).

Sudah banyak microbial agent (virus, bakteri, jamur) yang telah terindikasi menyebabkan

wabah penyakit bagi manunsia dan juga memiliki karakteristik untuk mengubah pola penyakit

tersebut sehingga menyebabkan wabah penyakit yang baru. Seperti yang dirilis dalam National

Institute of Allergy and Infectious Disease (NIAID) yang membagi menjadi 3 kelompok besar,

yaitu :

8
1. Grup I : Pathogen baru yang diakui dalam 2 dekade terakhir

2. Grup II : Re-emerging pathogen

3. Grup III : Pathogen yang berpontesial sebagai bioterorisme

Terjadinya gangguan terhadap ekosistem telah menyebabkan perubahan komposisi

ekosistem dan fungsinya. Perubahan komposisi dan fungsi ekosistem mengakibatkan berubahnya

keseimbangan alam khususnya predator, serta patogen dan vektornya. Beberapa perubahan

ekosistem akibat aktivitas manusia yang mengganggu secara langsung ataupun tidak langsung

terhadap ekosistem antara lain : perkembangan pertanian, manajemen sumberdaya air,

deforestasi atau pertambangan (Carvalho et.al, 2009).

Penyebab gangguan ekosistem sangat banyak, termasuk perubahan suhu rata-rata lokal,

perubahan siklus air, perubahan distribusi air akibat irigasi dan pembangunan bendungan,

perubahan akibat pencemaran pupuk dan pestisida, sampai pada perubahan akibat urbanisasi.

Umumnya gangguan ekosistem, kerusakan dan fragmentasi habitat terjadi sebagai akibat dari

konversi habitat alami menjadi lahan pertanian atau peternakan, pemukiman. Hal tersebut

menjadi penyebab utama meningkatnya penyakit infeksi menular pada manusia dewasa ini

(Mayer, 2000).

Beberapa penyebab utama gangguan ekosistem yang menyebabkan ledakan penyakit


infeksi menular pada manusia meliputi : perusakan ekosistem hutan, sistem pengairan,
perkembangan pertanian, urbanisasi dan perubahan iklim.

9
1. Perusakan ekosistem hutan dan deforestasi

Hutan merupakan habitat asli banyak jenis serangga yang terlibat dalam transmisi
penyakit. Beberapa kelompok serangga yang menjadi vektor utama penyakit menular adalah
nyamuk Anopheles, Aedes, Culex dan Mansonia ; lalat hitam Simulium ; lalat Chrysops dan lalat
tsetse Glossina. Deforestasi menciptakan batas hutan dan interface baru yang memacu
pertumbuhan populasi hewan inang reservoir dan vektor. Secara bersamaan adanya batas hutan
yang baru seringkali menarik perhatian manusia untuk menghuni daerah perbatasan hutan yang
beresiko tinggi (Molyneux, 2008).

Kerusakan habitat hutan juga menyebabkan perubahan atau hilangnya vektor yang
sebelumnya menempati habitat tersebut. Ketidakberuntungnya adalah jenis vektor pengganti
ternyata merupakan inang yang lebih disukai oleh patogen dan mempunyai dominansi yang
tinggi terhadap populasi vektor sebelumnya. Deforestasi semacam ini menyebabkan terjadinya
penurunan biodiversitas vektor serangga hutan. Meledaknya penyakit malaria akibat populasi
nyamuk Anopheles yang meningkat, merupakan contoh paling umum akibat deforestasi, seperti
terjadi di negara-negara Asia tenggara dan Amerika Selatan (Molyneux, 2008).

Deforestasi juga menyebabkan terjadinya wabah penyakit manusia yang diperantarai oleh
siput. Wabah schistosomiasis terjadi akibat ledakan populasi siput yang menjadi vektor dari
cacing Schistosoma. Meningkatnya populasi satu jenis siput menjadi yang dominan di ekosistem
hutan yang rusak, telah menyebabkan berkurangnya biodiversitas siput dan meningkatnya
penderita schistosomiasis penduduk yang tinggal di sekitar hutan. Contoh wabah schistosomiasis
yang disebarkan oleh siput terjadi Kamerun dan Filipina (Paterson, 2008).

2. Manajemen sumber dan badan air / Irigasi

Sumber air dan badan-badan air yang secara alamiah berupa sungai, rawa dan danau
merupakan habitat dari banyak jenis mahluk hidup yang membentuk ekosistem air tawar seperti
sungai, rawa dan danau. Pembangunan saluran irigasi, waduk dan bendungan telah mengubah
keseimbangan ekosistem yang menyebabkan terjadinya ledakan penyakit menular (Molyneux,
2008).

10
Contoh yang paling akurat adalah pada tahun 1990 di India terjadi wabah yang dikenal
dengan “irrigation malaria” yang menimpa lebih dari 200 juta penduduk pedesaan di India. Hal
ini terjadi akibat buruknya sistem irigasi yang menyebabkan terjadinya ledakan populasi nyamuk
Anopheles culicifacies yang merupakan vektor utama malaria di India (Molyneux, 2008).

Perubahan ekosistem sungai juga telah menyebabkan wabah penyakit schistosomiasis


yang disebarkan oleh vektor siput dan wabah penyakit onchocerciasis yang disebarkan oleh lalat
hitam Simulium, serta wabah malaria yang disebarkan oleh nyamuk Anopheles. Hal tersebut
terjadi karena terjadinya perubahan ekosistem sungai dapat menyebabkan terbentuknya kolam-
kolam still-water yang menjadi tempat breeding yang ideal bagi vektor-vektor serangga tersebut.
Beberapa kasus meledaknya penyakit schistosomiasis akibat kerusakan ekosistem sungai terjadi
di DAS bendungan Diama Senegal dan bendungan Aswan di Mesir (Molyneux, 2008).

Perubahan ekosistem bendungan buatan manusia juga menyebabkan terjadinya wabah


schistosomiasis di Bendungan Aswan Mesir dan saluran irigasi sungai Nil di Sudan. Cacing
Schistosoma ternyata dibawa oleh nelayan pendatang, kemudian disebarkan oleh vektor
perantara yaitu siput Bulinus truncatus. Terjadinya kelimpahan populasi fitoplankton telah
menyebabkan ledakan populasi B. truncatus. Selain penyakit schistosomiasis, juga terjadi wabah
filariasis yang disebarkan oleh nyamuk Culex pipiens. Populasi Culex pipiens meledak akibat
terbentuknya water-table pada saluran irigasi yang arusnya tertahan (Paterson, 2008).

3. Perkembangan pertanian

Pertanian dalam arti luas mencakup budidaya tanaman, perikanan dan peternakan. Ternak
dan unggas menjadi hewan reservoir dari banyak patogen penyakit menular manusia.
Perkembangan perikanan dan peternakan memberikan kontribusi pada penyebaran dan
munculnya penyakit menular baru (Tishkoff, 2004).

Wabah penyakit salmonellosis yang disebabkan bakteri Gram negatif Salmonella


enteridis, terjadi pada daerah yang berdekatan dengan peternakan unggas (ayam). Ledakan S.
enteridis telah menghilangkan jenis Salmonella yang non patogenik pada manusia yaitu S.
gallinarum (Tishkoff, 2004).

11
Wabah penyakit Japanese encephalitis (JE) yang disebabkan oleh virus yang disebarkan
nyamuk Culex sp. banyak terjadi di Cina, Nepal, India, Thailand, Sri Lanka dan Taiwan.
Penyakit JE merupakan endemik daerah pertanian padi, dengan babi sebagai hewan reservoirnya.
Ledakan wabah JE terjadi akibat perkembangan peternakan babi di negara-negara tersebut, yang
menyebabkan virus JE meningkat jumlahnya (Tishkoff, 2004).

4. Urbanisasi

Manusia modern di banyak negara di dunia melakukan urbanisasi ke kota-kota besar. Hal
itu menyebabkan populasi penduduk kota lebih besar dibandingkan penduduk desa. Makin
meningkatnya laju urbanisasi ke kota membutuhkan pemekaran daerah untuk pemukiman,
sehingga terjadi perubahan ekosistem di daerah suburban. Perubahan daerah suburban telah
menyebabkan ledakan penyakit menular manusia seperti demam berdarah dengue (DBD) yang
disebarkan oleh nyamuk Aedes aegypti, seperti terjadi di Singapura, Rio de Janeiro dan Jakarta
(Mayer, 2000).

Pemukiman kumuh akibat urbanisasi merupakan lingkungan dengan sanitasi yang sangat
buruk. Genangan-genangan air banyak ditemukan di pemukiman kumuh dan sanitasi yang buruk
tersebut menjadi tempat berkembang biak yang ideal bagi nyamuk A. aegypti yang menjadi
vektor utama virus DBD (Molyneux, 2008).

Selain nyamuk, hewan reservoir yang menjadi vektor penyakit menular manusia yang
hidup di daerah pemukiman kumuh adalah tikus. Tikus menjadi hewan yang mengikuti migrasi
penduduk dari satu tempat ke tempat yang baru. Sanitasi lingkungan yang buruk menambah
peluang populasi tikus untuk meledak sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan. Penyakit
leptospirosis menjadi wabah yang banyak terjadi di pemukiman kumuh (Mayer, 2000).

12
5. Perubahan Iklim

Bukti iklim bumi yang meningkat dikarenakan gas greenhouse yang berasal dari aktivitas
manusia telah banyak buktinya, dan dampak dari iklim global telah merobah sistim biologi yang
mengkontrol terjadinya suatu penyakit. Perobahan iklim telah mengganggu ekosistim sehingga
mempengaruhi populasi serta interaksi antara vektor penyakit, inang dan pathogen. Ledakan
penyakit kolera telah dihubungkan dengan peningkatan suhu dimana suhu yang lebih panas
tersedianya nutrisi seperti fitoplankton yang merupakan sumber makanan dari copepod yang
merupakan vektor Vibrio cholerae penyebab penyakit kolera. Perubahan iklim juga
mempengaruhi vektor penyakit seperti dicontohkan pada nyamuk. Nyamuk secara umum
repoduksinya meningkat, dan juga menggigit lebih banyak pada suhu yang lebih panas (Paterson,
2008).

6. Biogeografi Penyakit

Penyebaran penyakit tergantung pada faktor-faktor seperti: interaksi antara kesesuaian


abiotik, keterbatasan biotik, dan kemampuan penyebaran yang dicirikan dengan daerah
distribusi. Faktor faktor di atas telah menjadikan perpindahan geografi penyakit menjadi sangat
complex (Carvalho et al., 2009).

Suatu spesies patogen mungkin memiliki toleransi yang besar terhadap abiotik kondisi
seperti temperatur, curah hujan atau radiasi matahari, namun faktor biotik seperti vektor
menyebabkan penyebarannya terbatas. Kekebalan tubuh juga sangat berperan seperti pada
penyakit Lesmaniasis yang disebabkan oleh Leishmania spp. Disamping itu ras manusia juga
mempengaruhi terjadinya penyakit (Carvalho et al., 2009).

Kemampuan mobility dari patogen membatasi penyebaran pada geografi potensial.


Patogen dan parasit adalah organisme mikroskopik dan sering tidak dilengkapi dengan
kemampun untuk bergerak, dengan demikian diasumsikan kemampuan meyebarnya rendah.
Namun karena mereka berasosiasi dengan inang yang lebih besar (vektor) memungkinkan
kemampuan menyebarnya menjadi sangat besar (Paterson, 2008).

13
Sudah banyak microbial agent (virus, bakteri, jamur) yang telah terindikasi menyebabkan

wabah penyakit bagi manunsia dan juga memiliki karakteristik untuk mengubah pola penyakit

tersebut sehingga menyebabkan wabah penyakit yang baru. Seperti yang dirilis dalam National

Institute of Allergy and Infectious Disease (NIAID) yang membagi menjadi 3 kelompok besar,

yaitu :

 Grup I : Pathogen baru yang diakui dalam 2 dekade terakhir

 Grup II : Re-emerging pathogen

 Grup III : Pathogen yang berpontesial sebagai bioterorisme (Carvalho et al., 2009).

Sumber penularan adalah penderita TBC BTA (+) yang ditularkan dari orang ke orang
oleh transmisi melalui udara. Pada waktu berbicara, batuk, bersin, tertawa atau bernyanyi,
penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percian dahak) besar (>100 μ)
dan kecil (1-5 μ). Droplet yang besar menetap, sementara droplet yang kecil tertahan di udara
dan terhirup oleh individu yang rentan (Smeltzer & Bare, 2002). Droplet yang mengandung
kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam dan orang dapat terinfeksi
kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan.
Setelah kuman TBC masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TBC
tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya, melalui saluran peredaran darah,
sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya.
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari
parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut
(Depkes RI, 2008). Kemungkinan seseorang terinfeksi TBC ditentukan oleh tingkat penularan,
lamanya pajanan/kontak dan daya tahan tubuh (Kemenkes RI, 2013).
Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler, sehingga jika
terjadi infeksi oportunistik, seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit
parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka

14
jumlah penderita TBC akan meningkat, dengan demikian penularan TBC di masyarakat akan
meningkat pula.

2.3 Pathogenensis Tuberkulosis

2.3.1 Infeksi Primer


Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TBC. Droplet
yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier
bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat
kuman TBC berhasil berkembangbiak dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan
peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman TBC ke kelenjar limfe di sekitar
hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai
pembentukan kompleks primer adalah sekitar 4-6 minggu.
Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari
negatif menjadi positif (Depkes RI, 2008). Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari
banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada
umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TBC.
Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant
(tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman,
akibatnya dalam beberapa bulan yang bersangkutan akan menjadi penderita TBC. Masa
inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan
sekitar 6 bulan (Depkes RI, 2008). Tanpa pengobatan, setelah lima tahun, 50% dari penderita
TBC akan meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi, dan 25%
sebagai “kasus kronik” yang tetap menular (WHO, 1999).

2.3.2 Tuberkulosis Pasca Primer


Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah
infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi
yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan
terjadinya kavitas atau efusi pleura (Depkes RI, 2008).

15
2.4 Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis

2.4.1 Tuberkulosis Paru


Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru (parenkim paru)
tidak termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, menurut Depkes RI
(2008), TBC paru dibagi dalam :
a. Tuberkulosis Paru BTA Positif
Sekurang-kurang 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Satu spesimen
dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menunjukkan gambar tuberkulosis aktif.
Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TBC positif. Satu atau lebih
spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya
hasil BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT
b. Tuberkulosis Paru BTA Negatif
Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif. Foto rontgen dada
menunjukkan gambar tuberkulosis aktif. TBC paru BTA negatif rontgen positif dibagi
berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila
gambar foto rontgen dada memperlihatkan gambar kerusakan paru yang luas dan/atau keadaan
umum penderita buruk (Depkes RI, 2008). Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika
non OAT. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

2.4.2 Tuberkulosis Ekstra Paru


Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain
paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium) kelenjar lymfe, tulang
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain.
TBC ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakit yaitu :
a. TBC Ekstra Paru Ringan
Misalnya TBC kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral tulang (kecuali tulang belakang),
sendi, dan kelenjar adrenal.
b. TBC Ekstra Paru Berat
Misalnya meningitis, millier, perikarditis, peritionitis, pleuritis eksudativa duplex, TBC tulang
belakang, TBC usus, TBC saluran kencing dan alat kelamin (Depkes RI, 2008).

16
2.5 Gejala Tuberkulosis
Gejala utama yang terjadi adalah batuk terus menerus dan berdahak selama tiga minggu
atau lebih. Gejala tambahan yang sering terjadi yaitu batuk darah atau dahak bercampur darah,
sesak nafas, nyeri dada, badan lemas, keletihan, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa aktifitas fisik, demam
meriang lebih dari sebulan.
Gejala umum TBC anak adalah sebagai berikut:
a. Berat badan turun selama tiga bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas atau berat badan
tidak naik dengan adekuat atau tidak naik dalam satu bulan setelah diberikan upaya perbaikan
gizi yang baik.
b. Demam yang lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam
tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya tidak tinggi. Keringat
malam saja bukan merupakan gejala spesifik TBC pada anak apabila tidak disertai dengan
gejala-gejala sistemik/umum lain.
c. Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau intensitas semakin
lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat disingkirkan.
d. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit, biasanya multipel, paling sering di
daerah leher, ketiak dan lipatan paha.
e. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh (failure to thrive).
f. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
g. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare.

17
18
2.6 Diagnosis Tuberkulosis

2.6.1 Diagnosis Tuberkulosis Pada Orang Dewasa.


Diagnosis pasti TBC seperti lazimnya penyakit menular yang lain adalah dengan
menemukan kuman penyebab TBC yaitu kuman Mycobacterium Tuberculosis pada pemeriksaan
sputum, bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan (Kemenkes
RI, 2013). Diagnosis tuberkulosis ditegakkan dengan mengumpulkan riwayat kesehatan,
pemeriksaan fisik, rontgen dada, usap BTA, kultur sputum, dan tes kulit tuberkulin (Smeltzer &
Bare, 2002).
Pemeriksaan yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan 3 spesimen dahak Sewaktu Pagi
Sewaktu (SPS) yaitu:
a. Sewaktu (S): pengambilan dahak saat penderita pertama kali berkunjung ke tempat
pengobatan dan dicurigai menderita TBC.
b. Pagi (P): pengambilan dahak pada keesokan harinya, yaitu pada pagi hari segera setelah
bangun tidur.
c. Sewaktu (S): pengambilan dahak saat penderita mengantarkan dahak pagi ke tempat
pengobatan.

Hasil pemeriksaan dinyatakan positif bila sekurang-kurang 2 dari 3 spesimen dahak SPS
hasilnya positif. Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut
yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang. Bila hasil rontgen mendukung
TBC, maka penderita didiagnosis menderita TBC BTA positif, namun bila hasil rontgen tidak
mendukung TBC, maka pemeriksaan dahak SPS diulangi. Apabila fasilitas memungkinkan,
maka dapat dilakukan pemeriksaan biakan/kultur. Pemeriksaan biakan/kultur memerlukan waktu
yang cukup lama serta tidak semua unit pelaksana memilikinya, sehingga jarang dilakukan
(Depkes RI, 2008).
Saat ini di Indonesia, uji tuberkulin tidak mempunyai arti dalam menentukan diagnosis
TBC pada orang dewasa, sebab sebagian besar masyarakat sudah terinfeksi dengan
Mycobacterium Tuberculosis karena tingginya prevalensi TBC. Suatu uji tuberkulin positif
hanya menunjukkan bahwa yang bersangkutan pernah terpapar dengan Mycobacterium
Tuberculosis. Dilain pihak, hasil uji tuberkulin dapat negatif meskipun orang tersebut menderita

19
tuberkulosis, misalnya pada penderita HIV/AIDS, malnutrisi berat, TBC milier dan morbili
(Depkes RI, 2008).

2.6.2 Diagnosis Tuberkulosis Pada Anak.


TBC anak adalah penyakit TBC yang terjadi pada anak usia 0-14 tahun. Diagnosis paling
tepat adalah dengan ditemukannya kuman TBC dari bahan yang diambil dari penderita. Tetapi
pada anak hal ini sangat sulit dan jarang didapat, sehingga sebagian besar diagnosis TBC anak
didasarkan atas gambaran klinis, gambaran foto rontgen dada dan uji tuberkulin. Selain melihat
gejala umum TBC anak, seorang anak harus dicurigai menderita tuberkulosis bila mempunyai
sejarah kontak erat (serumah) dengan penderita TBC BTA positif dan terdapat reaksi kemerahan
cepat setelah penyuntikan BCG (dalam 3-7 hari) (Depkes RI, 2008).
a. Uji Tuberkulin (Mantoux)
Uji tuberkulin dilakukan dengan cara Mantoux (pernyuntikan intrakutan) dengan semprit
tuberkulin 1 cc jarum nomor 26. Tuberkulin yang dipakai adalah tuberkulin PPD RT 23 kekuatan
2 TU. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Diukur diameter transveral dari
indurasi yang terjadi. Ukuran dinyatakan dalam milimeter, uji tuberkulin positif bila indurasi >10
mm (pada gizi baik ), atau >5 mm pada gizi buruk. Bila uji tuberkulin positif, menunjukkan
adanya infeksi TBC dan kemungkinan ada TBC aktif pada anak. Namun uji tuberkulin dapat
negatif pada anak TBC dengan anergi (malnutrisi, penyakit sangat berat pemberian
imunosupresif, dll). Jika uji tuberkulin meragukan dilakukan uji ulang (Depkes RI, 2008).
b. Reaksi Cepat BCG
Saat penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat (dalam 3-7 hari) berupa kemerahan dan
indurasi > 5 mm, maka anak tersebut dicurigai telah terinfeksi Mycobacterium tubercolosis
(Depkes RI, 2008).
c. Foto Rontgen dada
Gambar rontgen TBC paru pada anak tidak khas dan interpretasi foto biasanya sulit,
harus hati-hati kemungkinan bisa overdiagnosis atau underdiagnosis. Paling mungkin kalau
ditemukan infiltrat dengan pembesar kelenjar hilus atau kelenjar paratrakeal. Gejala lain dari foto
rontgen yang mencurigai TBC adalah milier, atelektasis/kolaps konsolidasi, infiltrat dengan
pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal, konsolidasi (lobus), reaksi pleura dan atau efusi
pleura, kalsifikasi, bronkiektasis, kavitas, destroyed lung. Bila ada diskongruensi antara gambar

20
klinis dan gambar rontgen harus dicurigai TBC. Foto rontgen dada sebaiknya dilakukan PA
(postero-anterior) dan lateral, tetapi kalau tidak mungkin PA saja (Depkes RI, 2008).
d. Pemeriksaan mikrobiologi dan serologi
Pemeriksaan BTA secara mikroskopis langsung pada anak biasanya dilakukan dari
bilasan lambung karena dahak sulit didapat pada anak. Pemeriksaan BTA secara biakan (kultur)
memerlukan waktu yang lama. Cara baru untuk mendeteksi kuman TBC dengan cara Polymery
Chain Reaction (PCR) atau Bactec masih belum dapat dipakai dalam klinis praktis. Demikian
juga pemeriksaan serologis seperti Elisa, Pap, Mycodot dan lain-lain masih memerlukan
penelitian lebih lanjut untuk pemakaian dalam klinis praktis (Depkes RI, 2008).
e. Diagnosis TB anak dengan Sistem Skoring
Pada waktu menegakkan diagnosis TBC anak, semua prosedur diagnostik dapat
dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia, dapat
menggunakan suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem skoring.Sistem skoring tersebut
dikembangkan diuji coba melalui tiga tahap penelitian oleh Ikatan Dokter Anak Indoneisa
(IDAI), Kemenkes dan didukung oleh WHO dan disepakati sebagai salah satu cara untuk
mempermudah penegakan diagnosis TBC anak terutama di fasilitas pelayanan kesehatan dasar.
Sistem skoring ini membantu tenaga kesehatan agar tidak terlewat dalam mengumpulkan data
klinis maupun pemeriksaan penunjang sederhana sehingga diharapkan dapat mengurangi
terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis TBC.
Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai berikut: parameter
uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TBC menular mempunyai nilai tertinggi yaitu 3, uji
tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan diagnosis TB pada anak
dengan menggunakan sistem skoring, pasien dengan jumlah skor ≥6 harus ditatalaksana sebagai
pasien TB dan mendapat OAT. Diagnosis TB Anak ditegakkan oleh Dokter. Jika dijumpai
skrofulderma, maka langsung didiagnosis TBC. Setelah dinyatakan sebagai pasien TBC anak
dan diberikan pengobatan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) harus dilakukan pemantauan hasil
pengobatan secara cermat terhadap respon klinis pasien. Apabila respon klinis terhadap
pengobatan baik, maka OAT dapat dilanjutkan sedangkan apabila didapatkan respons klinis tidak
baik maka sebaiknya pasien segera dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan untuk
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

21
2.7 Faktor Risiko TBC
Faktor risiko adalah hal-hal atau variabel yang terkait dengan peningkatan suatu risiko
dalam hal ini penyakit tertentu. Faktor risiko di sebut juga faktor penentu, yaitu menentukan
seberapa besar kemungkinan seorang yang sehat menjadi sakit. Faktor penentu kadang-kadang
juga terkait dengan peningkatan dan penurunan risiko terserang suatu penyakit. Beberapa faktor
risiko yang berperan dalam kejadian penyakit TBC antara lain:

2.7.1 Faktor Predisposisi


a. Umur.
Tuberkulosis dapat menyebabkan kematian pada kelompok anak-anak dan pada usia
remaja. Kejadian infeksi TBC pada anak usia dibawah 5 tahun mempunyai risiko 5 kali
dibandingkan anak usia 5-14 tahun. Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah
kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun (Depkes, 2008).
b. Pendidikan dan Pengetahuan
Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi pengetahuan seseorang diantaranya
mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit TB Paru, sehingga
dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku
hidup bersih dan sehat (Lina, 2009).
c. Perilaku
Perilaku seseorang yang berkaitan dengan penyakit TBC adalah perilaku yang
mempengaruhi atau menjadikan seseorang untuk mudah terinfeksi/tertular kuman TB misalnya
kebiasaan membuka jendela setiap hari, menutup mulut bila batuk atau bersin, meludah
sembarangan, merokok dan kebiasaan menjemur kasur ataupun bantal. Perilaku dapat terdiri dari
pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan penderita TBC Paru yang kurang tentang cara
penularan, bahaya dan cara pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku sebagai
orang sakit dan akhirnya berakibat menjadi sumber penularan bagi orang disekelilingnya
(Misnadiarly, 2006).

d. Imunisasi

22
Proses terjadinya penyakit infeksi dipengaruhi oleh faktor imunitas seseorang. Anak
merupakan kelompok rentan untuk menderita tuberkulosis, oleh karena itu diberikan
perlindungan terhadap infeksi kuman tuberkulosis berupa pemberian vaksinasi BCG pada bayi
berusia kurang dari dua bulan. Pemberian vaksinasi BCG belum menjamin 100% seseorang tidak
akan terkena infeksi TBC namun setidaknya dapat menghindarkan terjadinya TBC berat pada
anak (Misnadiarly, 2006).
e. Status Gizi
Status gizi merupakan variabel yang sangat berperan dalam timbulnya kejadian TBC
Paru, tetapi hal ini sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lainnya seperti ada tidaknya
kuman TBC pada paru. Kuman TBC merupakan kuman yang dapat “tidur” bertahun-tahun dan
apabila memiliki kesempatan “bangun” dan menimbulkan penyakit maka timbullah kejadian
penyakit TBC Paru. Oleh sebab itu salah satu upaya menangkalnya adalah dengan status gizi
yang baik (Achmadi, 2005).
f. Kontak Penderita
Seseorang dengan BTA positif sangat berisiko untuk menularkan pada orang
disekelilingnya terutama keluarganya sendiri khususnya anak-anak. Semakin sering seseorang
melakukan kontak dengan penderita BTA positif maka semakin besar pula risiko untuk tertular
kuman tuberkulosis, apalagi ditunjang dengan kondisi rumah dan lingkungan yang kurang sehat
(Depkes, 2008).
g. Status Sosial Ekonomi
WHO (2003) menyebutkan penderita TBC Paru didunia menyerang kelompok sosial
ekonomi lemah atau miskin. Walaupun tidak berhubungan secara langsung namun dapat
merupakan penyebab tidak langsung seperti adanya kondisi gizi memburuk, perumahan tidak
sehat, dan ekses terhadap pelayanan kesehana juga menurun kemampuannya. Apabila status gizi
buruk maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun sehingga memudahkan terkena
infeksi TBC Paru. Menurut perhitungan rata-rata penderita TBC kehilangan tiga sampai empat
bulan waktu kerja dalam setahun. Mereka juga kehilangan penghasilan setahun secara total
mencapai 30% dari pendapatan rumah tangga (Achmadi, 2005).

2.7.2 Faktor Pendukung


a. Kepadatan Hunian

23
Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan dalam m2/orang.
Luas minimum per orang sangat relatif tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang
tersedia. Untuk rumah sederhana luasnya minimum 10 m2/orang. Untuk kamar tidur diperlukan
luas lantai minimum 3 m2/orang. Untuk mencegah penularan penyakit pernapasan, jarak antara
tepi tempat tidur yang satu dengan yang lainnya minimum 90 cm. Kamar tidur sebaiknya tidak
dihuni oleh lebih dari dua orang, kecuali untuk suami istri dan anak di bawah 2 tahun (Depkes
RI, 2001).
Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya luas
lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaian dengan jumlah penghuninya agar tidak
menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat, sebab disamping menyebabkankurangnya konsumsi
oksigen juga bila salah satu anggota keluarga terkena penakit infeksi, akan mudah menularkan
kepada anggota keluarga yang lain ( Notoatmodjo, 2003).
b. Pencahayaan
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak terlalu
banyak. Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah, terutama cahaya matahari
disamping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup dan
berkembangnya bibit-bibit enyakit. Sebaliknya, terlalu banyak cahaya didalam rumah akan
menyebabkan silau dan akhirnya dapat merusakkan mata (Notoatmodjo, 2003). Cahaya ini
sangat penting karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, seperti basil
TBC, karena itu sangat penting rumah untuk mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup.
c. Ventilasi dan Kelembaban Udara
Rumah yang sehat harus memiliki ventilasi untuk menjaga agar aliran udara didalam
rumah tersebut tetap segar, sehingga keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni
rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi juga menyebabkan kelembaban di dalam
ruangan meningkat. Kelembaban ini akan menjadi media yang baik untuk pertumbuhan bakteri-
bakteri patogen/bakteri penyebab penyakit, misalnya kuman TBC. Kuman TBC Paru akan cepat
mati bila terkena sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup selama beberapa jam
ditempat yang gelap dan lembab (Achmadi, 2005).

24
2.7.3 Faktor Pendorong
a. Ketinggian Wilayah
Ketinggian secara umum mempengaruhi kelembaban dan suhu lingkungan. Setiap
kenaikan 100 meter, selisih udara dengan permukaan air laut sebesar 0,5 oC. Selain itu berkaitan
juga dengan kerapatan oksigen, mycobacterium tiberculosis sangat aerob, sehingga diperkirakan
kerapatan pegunungan akan mempengaruhi viabilitas kuman TBC (Achmadi, 2005).
Menurut Kemenkes RI (2013), faktor risiko penularan TBC pada anak yang paling mendasar
tergantung dari:
a. Tingkat penularan
Faktor risiko infeksi TBC anak salah satunya dipengaruhi oleh tingkat penularan (derajat
sputum BTA). Pasien TBC dewasa dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko
penularan lebih besar dari pada pasien TBC dengan BTA negatif, meskipun masih memiliki
kemungkinan menularkan penyakit TBC. Tingkat penularan pasien TBC BTA positif adalah
65%, pasien BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TBC dengan
hasil kultur negatif dan foto thoraks positif adalah 17% (Kemenkes RI, 2013).
b. Lamanya kontak
Sumber penularan yang paling berbahaya adalah penderita TBC paru dewasa dan orang
dewasa yang menderita TBC paru dengan kavitas (lubang pada paru-paru). Kasus seperti ini
sangat infeksius dan dapat menularkan penyakit melalui batuk, bersin dan percakapan. Semakin
sering terpajan dan lama kontak, makin besar pula kemungkinan terjadi penularan. Sumber
penularan bagi bayi dan anak yang disebut kontak erat adalah orangtuanya, orang serumah atau
orang yang sering berkunjung dan sering berinteraksi langsung (Kemenkes RI, 2013).
c. Daya tahan tubuh anak.
Menurut WHO (1999), pencetus infeksi TBC anak yang berat adalah daya tahan tubuh
yang rendah, di antaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk). HIV merupakan faktor
risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TBC menjadi sakit TBC. Infeksi HIV
mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika
terjadi infeksi penyerta (oportunistic) seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan
menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Kekurangan gizi pada seseorang juga
akan berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon immunologik terhadap
penyakit.

25
TBC menyebabkan keadaaan gizi anak memburuk dan merupakan salah satu penyebab
lingkaran sebab akibat dari kurang gizi dan infeksi. Pemenuhan gizi yang seimbang berkorelasi
langsung dengan pembentukan sistem imun tubuh anak. Makin baik gizinya, makin baik pula
imunitas tubuhnya. Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran masa
tubuh. Masa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak seperti terkena
infeksi. Berdasarkan karakteristik ini, maka indeks berat badan dibagi umur digunakan sebagai
salah satu cara pengukuran status gizi.

2.8 Pengobatan Penderita Tuberkulosis


Tujuan pemberian pengobatan menurut Kemenkes RI (2013) adalah: menyembuhkan,
mempertahankan kualitas hidup dan produktivitas pasien, mencegah kematian akibat TBC aktif
atau efek lanjutan, mencegah kekambuhan TBC, menurunkan tingkat penularan TBC kepada
orang lain, mencegah perkembangan dan penularan resisten obat anti tuberkulosis (OAT).
Jenis OAT terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E) dan
Streptomisin (S). Pengobatan TBC diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung
untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan
secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu dua minggu.
Sebagian besar penderita TBC BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam dua bulan.
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang
lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan.
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di
Indonesia:
a. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.

b. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
c. Kategori Anak: 2HRZ/4HR

26
Paduan OAT kategori 1 dan kategori 2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), yang terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu
tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan penderita. Paduan OAT disediakan dalam
bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan
(kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu paket untuk satu penderita dalam satu masa
pengobatan. Paket kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan
program untuk digunakan dalam pengobatan penderita yang mengalami efek samping OAT
KDT.
Tabel 2. Rumus Indikasi Tahap Tahap
Paduan OAT intensif lanjutan
Kategori
I 2HRZE/ • Penderita Selama 2 Selama 4
4H3R3 baru TB paru bulan, bulan,
BTA positif. frekuensi 1 frekuensi 3
• Penderita kali sehari kali seminggu,
TBC paru menelan obat, jumlah 54 kali
BTA negatif jumlah 60 kali menelan obat
foto toraks menelan obat
positif
• Penderita TB
ekstra paru
II 2HRZES/ • Penderita Satu bulan Selama 5
HRZE/ kambuh berikutnya bulan, 3kali
5H3R3E3 (relaps) selama 1 seminggu,
• Penderita bulan, 1 kali jumlah total
gagal sehari, jumlah 66 kali
• Penderita 30 kali menelan obat.
dengan menelan obat.
pengobatan
setelah putus

27
berobat
(default)
Anak 2RHZ/ 4RH Prinsip dasar Selama 2 Selama 4
pengobatan bulan setiap bulan setiap
TB adalah hari hari
minimal 3
macam obat
dan diberikan
dalam waktu 6
bulan. Dosis
obat harus
disesuaikan
dengan berat
badan anak
Sumber: Depkes RI, 2008

Paduan OAT Sisipan (HRZE), bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru
BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2,
hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama
satu bulan (Depkes, 2008).

Paduan OAT Anak


Prinsip pengobatan TBC anak adalah OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal
tiga macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman
intraseluler dan ekstraseluler, waktu pengobatan TBC pada anak 6-12 bulan. Pemberian obat
jangka panjang selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
kekambuhan. Pengobatan TBC pada anak dibagi dalam 2 tahap yaitu tahap intensif, selama dua
bulan pertama. Pada tahap intensif, diberikan minimal tiga macam obat, tergantung hasil
pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit. Tahap Lanjutan, selama 4-10 bulan
selanjutnya, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit.
Selama tahap intensif dan lanjutan, OAT pada anak diberikan setiap hari untuk
mengurangi ketidakteraturan minum obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak diminum setiap

28
hari. Pada TBC anak dengan gejala klinis yang berat, baik pulmonal maupun ekstra pulmonal
seperti TBC milier, meningitis TBC, TBC tulang, dan lain-lain dirujuk ke fasilitas pelayanan
kesehatan rujukan. Pada kasus TBC tertentu yaitu TBC milier, efusi pleura TBC, perikarditis
TBC, TBC endobronkial, meningitis TBC, dan peritonitis TBC, diberikan kortikosteroid
(prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Dosis maksimal prednisone
adalah 60mg/hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2- 4 minggu dengan dosis penuh
dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan pemberian steroid ini untuk
mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan jaringan.
Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia adalah kategori anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR dan kategori
anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR. Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam
bentuk paket berupa obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari
kombinasi 2 atau 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien.
Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. OAT untuk anak juga harus disediakan
dalam bentuk OAT kombipak untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek
samping OAT KDT.
Tabel 3. Dosis Intensif (2 bulan) Lanjutan (4
kombinasi pada RHZ (75/50/150) bulan)
TB anak Berat (RH (75/50)
badan
(kg)
5-7 1 tablet 1 tablet
8-11 2 tablet 2 tablet
12-16 3 tablet 3 tablet
17-22 4 tablet 4 tablet
23-30 5 tablet 5 tablet

29
2.9 Program Penanggulangan TBC Paru di Puskesmas
Untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan menyeluruh, puskesmas menjalankan
beberapa program pokok salah satunya adalah Program Pemberantasan Penyakit Menular (P2M)
seperti program penanggulangan TB Paru yang dilakukan dengan strategi DOTS dan Penyuluhan
Kesehatan. Pada tahun 1995, program nasional penanggulangan TB mulai menerapkan strategi
DOTS dan dilaksanakan di Puskesmas secara bertahap. Sejak tahun 2000 strategi DOTS
dilaksanakan secara Nasional di seluruh Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) terutama Puskesmas yang
di integrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar (Depkes RI, 2008).
Fokus utama Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) adalah penemuan dan
penyembuhan penderita, prioritas diberikan kepada penderita TBC tipe menular. Strategi ini
akan memutuskan penularan TBC dan dengan demikian menurunkan insidens TBC di
masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan penderita merupakan cara terbaik dalam upaya
pencegahan penularan TBC. WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi
dalam penanggulangan TBC sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai
salah satu intervensi kesehatan yang paling efektif. Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar
sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya (Depkes RI, 2008).
Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen yaitu:
a. Komitmen politik dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana.

b. Penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.

c. Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan
langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).

d. Jaminan tersedianya OAT jangka pendek secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu dengan
mutu terjamin.
e. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil
pengobatan penderita dan kinerja program secara keseluruhan.

30
2.10 Pencegahan Tuberkulosis

Pencegahan dapat dilakukan dengan cara:


a. Terapi pencegahan.

b. Diagnosis dan pengobatan TB paru BTA positif untuk mencegah penularan.

c. Pemberian imunisasi BCG pada bayi usia 0-11 bulan untuk meningkatkan daya tahan tubuh
terhadap kuman tuberkulosis.
Pemberian proflaksis INH pada balita sehat yang memiliki kontak dengan pasien TB
dewasa dengan BTA sputum positif (+), namun pada evaluasi dengan tidak didapatkan indikasi
gejala dan tanda klinis TB.
Terapi pencegahan:
Kemoprofilaksis diberikan kepada penderita HIV atau AIDS. Obat yang digunakan pada
kemoprofilaksis adalah Isoniazid (INH) dengan dosis 5 mg/kg BB (tidak lebih dari 300 mg) sehari
selama minimal 6 bulan (Depkes RI, 2008).

31
BAB 3
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Tuberculosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
tuberculosis. Meskipun bisa menginfeksi beragam organ tubuh seperti selaput otak, kulit,
tulang, kelenjar getah bening, namun lebih sering menginfeksi paru-paru.

Jika tidak segera ditangani TBC bisa menjadi kronis dan berlangsung bertahun-tahun.
Sumber penularannya berasal dari percikan dahak penderitanya yang dibawa melalui udara
ketika penderita TBC bersin, batuk atau berbicara.

Masa inkubasi seseorang menjadi terinfeksi setelah tertular bervariasi, antara mingguan
hingga tahunan, tergantung dari orang itu sendiri dan jenis infeksinya, apakah primer,
progresif, atau reaktiva.

Anak yang mengidap TBC biasanya tertular dari orang dewasa, mungkin saja berasal dari
keluarga penderita BTA positif (kontak serumah), masyarakat (kunjungan Posyandu), atau
pembantu rumah tangga dan pengasuh anak. Bahkan sumber penularan bisa terjadi dari
pasien TB yang berobat ke Rumah Sakit/Puskesmas.

3.2 Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan berguna bagi pembaca sehingga pembaca dapat
memahami dan menerapkan ilmu tentang bagaimana cara pengaplikasian pengorganisasian dan
pengembangan masyarakat dalam tata laksana penanggulangan TB.

32
DAFTAR PUSTAKA
Budiarto, Eko dan Dewi Anggraeni. 2002. Pengantar Epidemiologi Edisi 2. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan


Tuberkulosis. Cetakan ke 8. Jakarta. 2002. p 1-37.

David Arnot, dkk (2009). Pustaka kesehatan Populer Pengobatan Praktis: perawatan Alternatif
dan tradisional, volume 7. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer. hlm. 180

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan


Tuberkulosis. Jakarta

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1994. Pengawasan Kualitas Kesehatan Lingkungan


dan Pemukiman, Dirjen P2M & PLP. Jakarta

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Protokol Surveilans HIV diantara pasien TB
di Indonesia. Jakarta : Depkes RI, UGM, Asia Link, KNCV.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Pedoman Nasional Penanggulangan


Tuberkulosis. Edisi 2:cetakan II, Jakarta

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2001. Pedoman Nasional Penanggulangan


Tuberkulosis. Jakarta.

Barbara, C.L. 1996. Perawatan Medikal Bedah (suatu pendekatan proses


keperawatan) Bandung

Doengoes, M. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: Buku Kedokteran EGC

Smeltzer and Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Buku Kedokteran
EGC

33

Anda mungkin juga menyukai