Anda di halaman 1dari 14

HIPEREMESIS GRAVIDARUM

A. Definisi
Emesis gravidarum adalah gejala yang wajar atau sering terdapat pada
kehamilan trimester pertama. Mual biasanya terjadi pada pagi hari, tetapi ada
yang timbul setiap saat dan malam hari. Gejala-gajala ini biasanya terjadi 6
minggu setelah hari pertama haid terahir dan berlangsung kurang lebih 10
minggu.
Hiperemesis gravidarum adalah muntah yang terjadi pada awal
kehamilan sampai umur kehamilan 20 minggu. Keluhan muntah kadang begitu
hebatnya sehingga segala apa yang dimakan dan diminum dimuntahkan
sehingga dapat mempengaruhi keadaan umum dan mengganggu pekerjaan
sehari-hari, berat badan menurun, dehidrasi dan terdapat aseton dalam urin.

B. Epidemiologi
Hiperemesis gravidarum terjadi di seluruh dunia dengan angka kejadian
yang beragam mulai dari 1-3% di Indonesia, 0,3% di Swedia, 0,5% di California,
0,8% di Canada, 10,8% di China, 0,9% di Norwegia, 2,2% di Pakistan dan 1,9% di
Turki. Literatur juga menyebutkan bahwa perbandinganinsidensi hiperemesis
gravidarum secara umum adalah 4:1000 kehamilan. Dari data yang ada tersebut
menegaskan bahwa hiperemesis gravidarum merupakan suatu penyakit yang
jarang terjadi. Mual dan muntah pada kehamilan adalah peristiwa normal yang
dapat berubah menjadi suatu penyakit yang lebih serius yaitu hiperemesis
gravidarum. Hiperemesis gravidarum ini banyak terjadi pada orang Asia
dibanding orang Amerika atau Eropa.

C. Etiologi
Mual dan muntah mempengaruhi hingga 50% kehamilan, kebanyakan
perempuan mampu mempertahankan kebutuhan cairan dan nutrisi dengan diet
dan simptom akan teratasi hingga akhir trimester pertama. Etiologinya belum
diketahui secara pasti, tetapi adal beberapa ahli yang menyatakan bahwa erat
hubungannya dengan endokrin, biokimia dan psikologis. Faktor-faktor yang
menjadi predisposisi diantaranya:
a) Sering terjadi pada primigravida, mola hidatidosa, diabetes dan
hehamilan ganda akibat peningkatan kadar HCG.
b) Faktor organik : masuknya vili khoriales dalam sirkulasi maternal dan
perubahan metabolik.
c) Faktor psikologik: keretakan rumah tangga, kehilangan pekerjaan, rasa
takut terhadap kahamilan dan persalinan, takut memikul tanggung jawab
dan sebagainya.
d) Faktor endokrin lainnya: hipertiroid, diabetes dan lain-lain.

D. Klasifikasi
Secara klinis hiperemesis gravidarum di bedakan atas 3 tingkatan, yaitu:
a) Tingkat I : muntah yang terus menerus, timbul intoleransi terhadap
makanan dan minuman, berat badan menurun, nyeri epigastrium, muntah
pertama keluar makanan, lendir dan sedikit cairan empedu, dan yang
terakhir keluar darah. Nadi meningkat sampai 100x/ menit dan tekanan
darah sistolik menurun. Mata cekung dan lidah kering, turgor kulit
berkurang dan urin sedikit tetapi masih normal.
b) Tingkat II : gejala lebih berat, segala yang dimakan dan diminum
dimuntahkan, haus hebat, subfebril, nadi cepat dan >100 – 140x/
menit,tekanan darah sistolik < 80 mmHg, apatis, kulit pucat, lidah kotor,
kadang ikterus, aseton, bilirubin dalam urin, dan berat badan cepat
menurun.
c) Tingkat III : terjadi gangguan kesadaran (delirium-koma), muntah
berkurang atau berhenti, tetapi dapat terjadi ikterus, sianosis, nistagmus,
gangguan jantung, bilirubin, dan proteinuria.

E. Patofisiologi
Ada teori yang menyebutkan bahwa perasaan mual adalah akibat dari
meningkatnya kadar korionik gonadotropin, estrogen dan progesteron karena
keluhan ini mucul pada 6 minggu pertama kehamilan yang dimulai dari hari
pertama haid terakhir dan berlangsung selama 10 minggu. Pengaruh fisiologis
hormon ini korionik gonadotropin, estrogen dan progesteron ini masih belum
jelas, mungkin berasal dari sistem saraf pusat akibat berkurangnya sistem
pengosongan lambung. Penyesuaian terjadi pada kebanyakan ibu hamil,
meskipun demikian mual dan muntah dapat berlangsung berbulan-bulan.
Selain teori hormon korionik gonadotropin, estrogen dan progesteron ini masih
ada beberapa teori lain yang dapat menyebabkan hiperemesis gravidarum
seperti infeksi H. Pylori. Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa infeksi
H.pylori dapat menyebabkan hiperemesis gravidarum. Selain itu masih ada teori
penyebab hiperemesis gravidarum akibat psikologis.
Patofisiologi hiperemesis gravidarum ditunjukkan dalam skema dibawah.

Gambar 1. Patofisiologi HEG

F. Gejala Klinik.
Mulai terjadi pada trimester pertama. Gejala klinik yang sering dijumpai
adalah nausea, muntah, penurunan berat badan, ptialism (saliva yang
berlebihan), tanda-tanda dehidrasi, hipotensi dan takikardi. Pemeriksaan
laboratorium dapat dijumpai hiponatremi, hipokalemia, dan peningkatan
hematokrit.
G. Diagnosis
Diagnosis hiperemesis gravidarum diantaranya:
a) Amenore yang disertai muntah hebat, pekerjaan sehari-hari terganggu.
b) Tandavital: nadi meningkat 100 x / menit, tekanan darah menurun pada
keadaan berat, subfebril dan gangguan kesadaran.
c) Fisik: dehidrasi, kulit pucat, ikterus, sianosis, berat badan menurun, pada
vaginal toucher uterus besar sesuai besarnya kehamilan, konsistensinya
lunak, pada pemeriksaan inspekulo seviks berwarna biru.
d) Pemeriksaan USG: untuk mengetahui kondisi kesehatan kehamilan dan
kemungkinan adanya kehamilan kembar ataupun kehamilan mola
hidatidosa.
e) Laboratorium: kenaikan relatif hemoglobin dan hematokrit, keton dan
proteinuria.

H. Diagnosis Banding
Penyakit-penyakit yang sering menyertai wanita hamil dan mempunyai
gejala muntah-muntah yang hebat harus dipikirkan. Beberapa penyakit tersebut
antara lain:
a) Appendicitis akut.
Pada pasien hamil dengan appendicitis akut keluhan nyeri tekan
perut sangat menonjol sedangkan pada pasien hamil tanpa appendicitis
akut keluhan tersebut sedikit bahkan tidak ada. Tanda-tanda defance
musculare juga bisa dijadikan petunjuk membedakan hamil dengan
appendictis akut dan tanpa appendicitis akut.
b) Ketoasidosis diabetes.
Pasien dicurigai menderita ketoasidosis diabetes jika sebelum
hamil mempunyai riwayat diabetes atau diketahui pertama kali saat hamil
apalagi disertai dengan penurunan kesadaran dan pernafasan
kussmaul. Perlu dilakukan pemeriksaan keton, pemeriksaan gula darah, dan
pemeriksaan gas darah.
c) Gastritis dan ulkus peptikum.
Pasien dicurigai menderita gastritis dan ulkus peptikum jika
pasien mempunyai riwayat makan yang tidak teratur, dan sering
menggunakan NSAID. Keluhan nyeri epigastrium tidak terlalu dapat
membedakan dengan wanita hamil yang tanpa gastritis/ulkus peptikum
karena hampir semua pasien dengan hiperemesis gravidarum mempunyai
keluhan nyeri epigastrium yang hebat. Pasien dengan gastroenteritis selain
menunjukkan gejala muntah-muntah, juga biasanya diikuti dengan diare.
Pasien hiperemesis gravidarum yang murni karena hormon jarang disertai
diare.
d) Hepatitis.
Pasien hepatitis yang menunjukkan gejala mual-muntah yang
hebat biasanya sudah menunjukkan gejala ikterus yang nyata disertai
peningkatan Serum Glutamic Oxaloacetate Transaminase (SGOT) dan Serum
Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT) yang nyata. Kadang-kadang sulit
membedakan pasien hiperemesis gravidarum tingkat III (tanda-tanda
kegagalan hati) yang sebelumnya tidak menderita hepatitis dengan wanita
hamil yang sebelumnya memang sudah menderita hepatitis.
e) Pankreatitis akut
Pasien dengan pankreatitis biasanya mempunyai riwayat
peminum alkohol berat. Gejala klinis yang dijumpai berupa nyeri
epigastrium, kadang-kadang agak ke kiri atau ke kanan. Rasa nyeri dapat
menjalar ke punggung, kadang-kadang nyeri menyebar di perut dan
menjalar ke abdomen bagian bawah. Pemeriksaan serum amylase dapat
membantu menegakkan diagnosis.
f) Tumor serebri.
Pasien dengan tumor serebri biasanya selain gejala mual-muntah
yang hebat juga disertai keluhan lain seperti sakit kepala berat yang
terjadi hampir setiap hari, gangguan keseimbangan, dan bisa pula disertai
hemiplegi. Pemeriksaan CT scan kepala pada wanita hamil sebaiknya
dihindari karena berbahaya bagi janin.

I. Penatalaksanaan
 Tata laksana awal
Tata laksana awal dan utama untuk mual dan muntah tanpa
komplikasi adalah istirahat dan menghindari makanan yang merangsang,
seperti makanan pedas, makanan berlemak, atau suplemen besi.
Perubahan pola diet yang sederhana, yaitu mengkonsumsi makanan dan
minuman dalam porsi yang kecil namun sering cukup efektif untuk
mengatasi mual dan muntah derajat ringan. Jenis makanan yang
direkomendasikan adalah makanan ringan, kacang-kacangan, produk
susu, kacang panjang, dan biskuit kering. Minuman elektrolit dan
suplemen nutrisi peroral disarankan sebagai tambahan untuk
memastikan terjaganya keseimbangan elektrolit dan pemenuhan
kebutuhan kalori. Menu makanan yang banyak mengandung protein juga
memiliki efek positif karena bersifat eupeptic dan efektif meredakan
mual. Manajemen stres juga dapat berperan dalam menurunkan gejala
mual.
 Tata Laksana Farmakologis
Pada hiperemesis gravidarum, obat-obatan diberikan apabila
perubahan pola makan tidak mengurangi gejala, sedangkan pada
hiperemesis gravidarum, obat-obatan diberikan setelah rehidrasi dan
kondisi hemodinamik stabil. Pemberian obat secara intravena
dipertimbangkan jika toleransi oral pasien buruk. Obat-obatan yang
digunakan antara lain adalah vitamin B6 (piridoksin), antihistamin dan
agen-agen prokinetik. American College of Obstetricians and
Gynecologists (ACOG) merekomendasikan 10 mg piridoksin ditambah
12,5 mg doxylamine per oral setiap 8 jam sebagai farmakoterapi lini
pertama yang aman dan efektif. Dalam sebuah randomized trial,
kombinasi piridoksin dan doxylamine terbukti menurunkan 70% mual
dan muntah dalam kehamilan. Suplementasi dengan tiamin dapat
dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi berat hiperemesis,
yaitu Wernicke’s encephalopathy. Komplikasi ini jarang terjadi, tetapi
perlu diwaspadai jika terdapat muntah berat yang disertai dengan gejala
okular, seperti perdarahan retina atau hambatan gerakan ekstraokular.
Antiemetik konvensional, seperti fenotiazin dan benzamin, telah
terbukti efektif dan aman bagi ibu. Antiemetik seperti proklorperazin,
prometazin, klorpromazin menyembuhkan mual dan muntah dengan cara
menghambat postsynaptic mesolimbic dopamine receptors melalui efek
antikolinergik dan penekanan reticular activating system. Obat-obatan
tersebut dikontraindikasikan terhadap pasien dengan hipersensitivitas
terhadap golongan fenotiazin, penyakit kardiovaskuler berat, penurunan
kesadaran berat, depresi sistem saraf pusat, kejang yang tidak terkendali,
dan glaukoma sudut tertutup. Namun, hanya didapatkan sedikit informasi
mengenai efek terapi antiemetik terhadap janin. Fenotiazin atau
metoklopramid diberikan jika pengobatan dengan antihistamin gagal.
Prochlorperazine juga tersedia dalam sediaan tablet bukal dengan efek
samping sedasi yang lebih kecil. Dalam sebuah randomized trial,
metoklopramid dan prometazin intravena memiliki efektivitas yang sama
untuk mengatasi hiperemesis, tetapi metoklopramid memiliki efek
samping mengantuk dan pusing yang lebih ringan. Studi kohort telah
menunjukkan bahwa penggunaan metoklopramid tidak berhubungan
dengan malformasi kongenital, berat badan lahir rendah, persalinan
preterm, atau kematian perinatal. Namun, metoklopramid memiliki efek
samping tardive dyskinesia, tergantung durasi pengobatan dan total dosis
kumulatifnya. Oleh karena itu, penggunaan selama lebih dari 12 minggu
harus dihindari. Antagonis reseptor 5-hydroxytryptamine3 (5HT3)
seperti ondansetron mulai sering digunakan, tetapi informasi mengenai
penggunaannya dalam kehamilan masih terbatas. Seperti metoklopramid,
ondansetron memiliki efektivitas yang sama dengan prometazin, tetapi
efek samping sedasi ondansetron lebih kecil. Ondansetron tidak
meningkatkan risiko malformasi mayor pada penggunaannya dalam
trimester pertama kehamilan. Droperidol efektif untuk mual dan muntah
dalam kehamilan, tetapi sekarang jarang digunakan karena risiko
pemanjangan interval QT dan torsades de pointes. Pemeriksaan
elektrokardiografi sebelum, selama dan tiga jam setelah pemberian
droperidol perlu dilakukan.
Untuk kasus-kasus refrakter, metilprednisolon dapat menjadi obat
pilihan. Metilprednisolon lebih efektif daripada promethazine untuk
penatalaksanaan mual dan muntah dalam kehamilan, namun tidak
didapatkan perbedaan dalam tingkat perawatan rumah sakit pada pasien
yang mendapat metilprednisolon dengan plasebo. Hanya sedikit bukti
yang menyatakan kortikosteroid efektif. Dalam dua RCT kecil, tidak
didapatkan kegunaan metilprednisolon ataupun plasebo, tetapi kelompok
steroid lebih sedikit mengalami readmission. Efek samping
metilprednisolon sebagai sebuah glukokortikoid juga patut diperhatikan.
Dalam sebuah metaanalisis dari empat studi, penggunaan glukokortikoid
sebelum usia gestasi 10 minggu berhubungan dengan risiko bibir
sumbing dan tergantung dosis yang diberikan. Oleh karena itu,
penggunaan glukokortikoid direkomen-dasikan hanya pada usia gestasi
lebih dari 10 minggu. Obat-obat yang dapat digunakan untuk tatalaksana
hiperemesis gravidarum dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Obat untuk tata laksana HEG

 Isolasi.
Dilakukan dalam kamar yang tenang, batasi pengunjung / tamu, hanya
dokter dan perawat yang boleh keluar masuk kamar sampai muntah
berhenti dan pasien mau makan. Catat cairan yang masuk dan keluar dan
tidak diberikan makan dan minum dan selama 24 jam. Kadang-kadang
dengan isolasi saja gejala-gejala akan berkurang atau hilang tanpa
pengobatan.
 Terapi psikologik
Perlu diyakinkan kepada penderita bahwa penyakit dapat
disembuhkan, hilangkan rasa takut oleh karena kehamilan, kurangi
pekerjaan serta menghilangkan masalah dan konflik, yang kiranya dapat
menjadi latar belakang penyakit ini.
 Cairan parenteral
Berikan cairan parenteral yang cukup elektrolit, karbohidrat dan
protein dengan glukosa 5% dalam cairan fisiologis sebanyak 2-3 liter
sehari. Bila perlu dapat ditambah kalium dan vitamin, khususnya vitamin
B komplek dan vitamin C dan bila ada kekurangan protein, dapat
diberikan pula asam amino secara intra vena.
Dibuat daftar kontrol cairan yang masuk dan yang dikeluarkan. urin
perlu diperiksa sehari-hari terhadap protein, aseton, khlorida dan
bilirubin. Suhu dan nadi diperiksa setiap 4 jam dan tekanan darah 3 kali
sehari. Dilakukan pemeriksaan hematokrit pada permulaan dan
seterusnya menurut keperluan. Bila selama 24 jam penderita tidak
muntah dan keadaan umum bertambah baik dapat dicoba untuk
diberikan minuman, dan lambat laun minuman dapat ditambah dengan
makanan yang tidak cair.

 Pengaturan Diet
Untuk pasien hiperemesis gravidarum tingkat III, diberikan diet
hiperemesis I. Makanan yang diberikan berupa roti kering dan buah-
buahan. Cairan tidak diberikan bersama
makanan tetapi 1-2 jam setelah makan. Diet hiperemesis kurang
mengandung zat gizi, kecuali vitamin C, sehingga diberikan
hanya selama beberapa hari.4
Jika rasa mual dan muntah berkurang, pasien diberikan
diet hiperemesis II. Pemberian dilakukan secara bertahap
untuk makanan yang bernilai gizi tinggi. Minuman tidak
diberikan bersama makanan. Diet hiperemesis II rendah dalam
semua zat gizi, kecuali vitamin A dan D.4
Diet hiperemesis III diberikan kepada penderita dengan
hiperemesis ringan. Pemberian minuman dapat diberikan
bersama makanan. Diet ini cukup dalam semua zat gizi, kecuali
kalsium.4
Terapi Alternatif
Terapi alternatif seperti akupunktur dan jahe telah diteliti
untuk penatalaksanaan mual dan muntah dalam kehamilan.
Akar jahe (Zingiber officinale Roscoe) adalah salah satu
pilihan nonfarmakologik dengan efek yang cukup baik. Bahan
aktifnya, gingerol, dapat menghambat pertumbuhan seluruh
galur H. pylori, terutama galur Cytotoxin associated gene
(Cag) A+ yang sering menyebabkan infeksi. Empat randomized
trials menunjukkan bahwa ekstrak jahe lebih efektif
daripada plasebo dan efektivitasnya sama dengan vitamin
B6. Efek samping berupa refluks gastroesofageal dilaporkan
pada beberapa penelitian, tetapi tidak ditemukan efek samping
signifikan terhadap keluaran kehamilan.15,17 Dosisnya adalah
250 mg kapsul akar jahe bubuk per oral, empat kali sehari.
Terapi akupunktur untuk meredakan gejala mual dan
muntah masih menjadi kontroversi. Penggunaan acupressure
pada titik akupuntur Neiguan P6 di pergelangan lengan
menunjukkan hasil yang tidak konsisten dan penelitiannya
masih terbatas karena kurangnya uji yang tersamar. Dalam
sebuah studi yang besar didapatkan tidak terdapat efek yang
menguntungkan dari penggunaan acupressure,4 namun The
Systematic Cochrane Review mendukung penggunaan
stimulasi akupunktur P6 pada pasien tanpa profilaksis
antiemetik. Stimulasi ini dapat mengurangi risiko mual.18
Terapi stimulasi saraf tingkat rendah pada aspek volar
pergelangan tangan juga dapat menurunkan mual dan
muntah serta merangsang kenaikan berat badan.
Penghentian kehamilan dilakukan bila keadaan umum memburuk
melalui pertimbangan beberapa aspek meliputi pemeriksaan medik dan
psikiatrik, manifestasi klinis berupa:
 Gangguan kejiwaan: delirium, apatis, somnolen sampai koma, gangguan
jiwa Ensephalopati Wernick.
 Gangguan penglihatan: perdarahan retina, kemunduran visus.
 Gangguan faal: hati dalam bentuk ikterus, ginjal dalam bentuk anuria,
jantung dan pembuluh darah dalam bentuk nadi meningkat dan tekanan
darah menurun.
J. Komplikasi
a. Maternal : akibat defisiensi tiamin (B1) akan menyebabkan teradinya
diplopia, palsi nervus ke-6, ataksia, dan kejang. Jika hal ini tidak segera
ditangani akan terjadi psikosis korsakoff (amnesia, menurunnya
kemampuan untuk beraktivitas), ataupun kematian. Komplikasiyang perlu
diperhatikan adalah Ensephalopati Wernicke. Gejala yang timbul dikenal
sebagai trias klasik yaitu paralisis otot-otot ekstrinsik bola mata
(oftalmoplegia), gerakan yang tidak teratur (ataksia), dan bingung.
b. Fetal : penurunan berat badan yang kronis akan meningkatkan kejadian
gangguan pertumbuhan janin dalam rahim (IUGR).

K. Pencegahan
Pencegahan terhadap hiperemesis gravidarum perlu
dilaksananakan dengan jalan memberikan penerangan tentang kehamilan
dan persalinan sebagai suatu proses yang fisiologik, memberikan
keyakinan bahwa mual dan kadang-kadang muntah merupakan gejala
yang fisiologik pada kehamilan muda dan akan hilang setelah kehamilan 4
bulan, menganjurkan mengubah makanan sehari-hari dengan makanan
dalam jumlah kecil, tetapi lebih sering. Makanan yang berminyak dan
berbau lemak sebaiknya dihindarkan. Defekasi yang teratur hendaknya
dapat teratur.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. (2002). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek,


Edisi Revisi V, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.

Achadiat, C.M. (2004), Prosedur Tetap Obstetri dan Ginekologi,


EGC, Jakarta.

Depkes RI, (2002), Pedoman Teknis Pelayanan Kesehatan


Dasar, Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial, Departemen
Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan
Masyarakat Direktorat Bina Kesehatan Keluarga, Jakarta.

_________, (2004), Asuhan Persalinan Normal, Buku Acuan, Edisi


baru Dengan Resusitasi, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.

Hacker, N.F., J. George M. (2004), Esensial Obstetri dan Ginekologi,


Edisi 2, Alih Bahasa Edi Nugroho, Hipokrates, Jakarta.

Hakimi, M., (2003), Ilmu Kebidanan: Fisiologi dan Patologi


Persalinan, Yayasan Essentia Medica, Jakarta.

Hidayat, A.A., (2007), Metode Penelitian Kebidanan Teknik


Analisis Data, Salemba Medika, Jakarta.

Kadri, N. (2005), Kelainan Kongenital, dalam Ilmu Kebidanan,


Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.

Llewellyn, J. (2001), Setiap Wanita, Delapratasa, Jakarta.

________, (2005), Dasar-Dasar Obstetri dan Ginekologi, Edisi 6,


EGC, Jakarta.

Manuaba, I.B.G. (2001), Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan


dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan, EGC, Jakarta..

Pritchard, dan MacDonald, G. (2001), Obstetri Williams,


Edisi Ketujuhbelas, Airlangga University Press, Jakarta.

Stridje, D. (2000), Kehamilan dan Diabetes, EGC, Jakarta.

Wiludjeng, R.L.K. (2006), Gambaran Penyebab Kematian


Maternal di Rumah Sakit (Studi di RSUD Pesisir Selatan,
RSUD Padang Pariaman, RSUD Sikka, RSUD Larantuka
dan RSUD Serang 2005, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sistem dan Kebijakan Kesehatan Departemen Kesehatan RI,
Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai