Anda di halaman 1dari 3

ketebalan maksimal 1,5 cm ini dijemur selama 10-14 hari tergantung kondisi cuaca.

Pada saat
proses penjemuran berlangsung, hamparan kopi tersebut perlu dibalikkan setiap 1-2 jam sekali
supaya kering secara merata dengan menggunakan alat garuh kayu.

Proses pengolahan pascapanen Kopi Sidomulyo ada dua. Kopi asalan dengan metode pengolahan
kering, dan biji kopi hasil pengolahan basah. Kedua produk pascapanen kopi Sidomulyo itu
diambil oleh PT. Indokom Citra Persada, salah satu eksportir kopi terbesar di Indonesia. Khusus
untuk kopi hasil proses pengolahan basah kopi, mendapatkan harga lebih tinggi.
Untuk olah basah prosesnya dimulai dengan panenan kopi yang terkumpul ditimbang beratnya.
Kemudian dimasukkan pulper, di mana hasilnya langsung difermentasi dalam bak khusus selama
24 jam. Setelah itu hasil fermentasi dijemur di bawah sinar matahari selama 1 hari. Setelahnya,
kopi dikumpulkan untuk disortir. Kopi beras yang sudah kering dikemas dan selanjutnya diambil
oleh PT. Indokom. Sedangkan kopi yang masih basah, dengan tampilan fisik kopi masih
terbungkus kulit kambium, dimasukkan pulper dan hasilnya akan dikeringkan selama satu hari
lagi. Hingga kadar airnya berada di bawah 20%.
Pengolahan kopi asalan atau dry process hasil panen petani Sidomulyo tak seketat proses
pengolahan basah. Kopi hasil panen ditimbang dan kemudian dikeringkan selama 1 hari. Setelah
dikemas akan diambil oleh PT. Indokom. Satu kilogram kopi asalan dihargai Rp23 ribu.
Proses pengolahan kopi robusta dengan metode wet process bernilai jual tinggi. Satu
kilogramnya dihargai Rp30 hingga Rp40 ribu. Pak Sunardi, salah satu bagian operasional
pengolahan kopi pascapanen bercerita, kopi robusta Sidomulyo dulunya hanya dihargai murah
karena hanya menggunakan metode pengolahan kering, dijemur di atas terpal di depan rumah.
Semenjak ada proses pengolahan basah kopi, kami petani kopi sedikit diuntungkan. Ditambah
lagi, kini kami mempunyai pabrik pengolahan kopi pascapanen. Pabrik ini dinaungi oleh
Koperasi Ketakasi hasil kerjasama dengan Disbun Jember dan Universitas Jember. Dengan
adanya fasilitas dan ilmu untuk mengolah kopi pascapanen, kini petani Kopi Sidomulyo mampu
menjual kopi bubuk olahan sendiri dengan label Kopi Ketakasi Sidomulyo.
Peremajaan dilakukan juga oleh petani Kopi Sidomulyo, batang bawah kopi Liberica disambung
stek dengan Robusta Tugusari batang bagian atas | © Rizki Akbari Savitri
Pak Sunardi melanjutkan ceritanya. Walau proses pengolahan kopi sudah dilakukan dengan baik,
jumlah panen kopi sangat bergantung pada cuaca. Cuaca yang sangat panas justru malah
merusak produktivitas tanaman kopi. Idealnya, dari luasan lahan 250 Ha yang ditanami kopi
mampu menghasilkan 250 ton kopi. Atau perbandingannya 1 Ha menghasilkan 1 ton kopi.
Tahun 2015 kemarin, kebun kopi di Sidomulyo mampu menghasilkan 250 ton kopi. Tahun ini
produktivitas kopi berkurang, dari 250 Ha hanya mampu menghasilkan 200 ton kopi. Perubahan
iklim menjadi salah satu faktor penting penurunan hasil panen kopi Sidomulyo.
Pabrik pengolahan kopi di Desa Sidomulyo sudah cukup lengkap. Pabrik ini baru berusia satu
tahun. Ada pulper untuk mengelupas kulit ari kopi. Bak fermentasi juga sudah tersedia. Hingga
alat roasting kopi berkapasitas 15 kg juga sudah tersedia, dan semuanya dijalankan oleh anggota
Koperasi Ketakasi.
Progam penanaman kopi secara organik sedang digalakkan oleh Petani Kopi Sidomulyo.
Sebanyak 25 Ha kebun kopi ditanami dan dirawat secara organik. Progam ini baru berjalan
selama setahun. Dari 1 Ha kebun kopi organik untuk sementara ini masih menghasilkan 6 kuintal
kopi. Harapannya tahun depan produktivitas kopi hasil kebun organik ini mampu menghasilkan
dua kali lipat dari hasil panen sekarang.
Organisasi dan Koperasi
Kondisi memprihatinkan itu terjadi sebelum 2010. Kopi robusta hanya dihargai Rp12 ribu per kg
dan arabika Rp17 ribu per kg. Namun, juga bisa di bawah Rp4.000 per kg bila dijual gelondongan.
Padahal, harga itu tidak sebanding dengan biaya operasionalnya. Sebagai anak petani kopi,
Lodovikus menyadari solusi peningkatan kapasitas melalui organisasi.
Dengan memotong rantai penjualan kopi, petani bisa langsung menjual hasil kebun mereka
langsung ke konsumen, tak lagi melalui tengkulak. Sebelumnya, petani tidak mengetahui kopi
terbaik. Mereka baru memahami pengolahan setelah ada pembinaan melalui sekolah lapangan.”
“Pengalaman selama ini, petani enggan berorganisasi. SDM mereka terbatas, bersedia bergabung
setelah melihat dan merasakan keberhasilan,“ ujarnya.
Pantang menyerah, ia menggandeng lembaga swadaya masyarakat (LSM) Delsos Keuskupan
Ruteng dan Vredeseilanden Country Office (Veco) Indonesia, serta LSM internasional dari Belgia.
Ternyata cara itu cukup ampuh dan mereka mau bergabung. Apalagi, 60% pendapatan penduduk
dari kopi, selain kakao dan kayu-kayuan.
Budi daya Agar tidak tertipu, lanjutnya, petani dilatih teknik budi daya, pengolahan pascapanen,
pemasaran, dan penerapan internal control system (ICS) lewat organisasi. Upaya itu untuk
memutus mata rantai perdagangan guna mendapatkan keuntungan optimal dan terlepas dari
tengkulak.
Cerita sukses itu pun menyebar, petani yang awalnya mencibir akhirnya percaya dan ikut pelatihan.
Saat ini, Asnikom telah menyentuh 1.763 petani di wilayah Manggarai dan Manggarai Timur.
Selain itu, jaringan bisnis mereka pun meluas dan tidak hanya pasar lokal.
Petani yang sudah mengikuti sekolah berhasil meningkatkan produksi panennya menjadi 600 kg
per hektare (ha) per tahun yang sebelumnya 400 kg per ha. Biaya perawatannya Rp2 juta, dan
pengolahan pascapanen butuh Rp4 juta sudah termasuk packing coffee green bean.
Melakukan penanaman secara organik, lanjut Lodovikus, tidak terlalu sulit. Pasalnya, petani sudah
terbiasa memanfaatkan bahan alami setelah sekolah lapangan. Cara membuat perangsang
pertumbuhan tanaman cukup dengan mikroorganisme lokal yang diracik dari bahan beras, rebung,
daun-daunan, taoge, dan tanaman hutan. Adapun perangsang buah kopi memanfaatkan buah hara
dicampur mikroorganisme lokal dari beras ketan merah, kacang kedelai, dan sejumlah pucuk daun.
Penanganan pascapanen, lanjutnya, petani memisahkan kopi sesuai warnanya, merah, kuning, dan
hijau. Setelah itu, pemisahan biji kopi dilakukan dengan merendam di air.
“Kopi yang tenggelam digiling menjadi kopi spesialti, itu yang kualitasnya terbagus,“ ujarnya.
“Untuk pemisahan kulit, dihindari menggunakan lesung. Cara tradisional tersebut bisa mengurangi
kualitas.“
Dengan peningkatan kualitas itu, harga kopi arabika di luar lelang kini telah menyentuh Rp40 ribu
per kg.
Adapun harga lelang kopi robusta US$10 atau sekitar Rp97.000 per kg, dan kopi arabika dihargai
US$8,6 atau Rp83.420 per kg.

Anda mungkin juga menyukai