PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang mempunyai sejarah panjang dan unik.
Secara historis, pesantren termasuk pendidikan Islam yang paling awal dan masih bertahan
sampai sekarang. Berbeda dengan lembaga – lembaga pendidikan yang muncul kemudian,
pesantren telah sangat berjasa dalam mencetak kader – kader ulama, dan kemudian berperan
aktif dalam penyebaran agama Islam dan transfer ilmu pengetahuan. Namun, dalam
perkembangan pesantren telah mengalami transformasi yang memungkinkannya kehilangan
identitas jika nilai – nilai tradisonalnya tidak dilestarikan.
Disini pesantren merupakan peran yang sangat mendukung terutama dalam pendidikan
luar sekolah dan manajemen lah yang akan membantu dan mendukung peran tersebut
sehingga akan lebih memantapkan dan memaksimalkan pendidikan luar sekolah itu sendiri.
Masyarakat juga banyak berpandangan bahwa pesantren itu hanya pendidikan formal tanpa
mengetahui bagaimana sebenarnya pesantren itu muncul serta aspek-aspek lain yang
berkaitan dengan pondok pesantren. Pendidikan pesantren merupakan pendidikan yang
bertujuan untuk pembentukan rasa kekeluargan dan juga pembentukan akhlak yang mulia
sehingga berguna bagi anak didik dan juga bagi agama dan bangsa.
Memang sudah seharusnya manajemen itu diperlukan terutama dalam pendidikan
islam, sebagaimana kita ketahui bahwa dengan adanya manajemen akan lebih terarah dari
pada tujuan pendidikan islam itu sendiri , sama halnya dengan pendidikan luar sekolah yang
sama-sama memerlukan manajemen yaitu dengan menerapkan fungsi=fungsi dan juga
maknanya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Dinamika Perkembangan Pesantren?
2. Bagaimana Manajemen Pesantren Tatapan Dari Luar?
3. Bagaimana Pondok Pesantren Antara Madrasah dan Sekolah?
4. Apa Karakteristik Pendidikan Pesantren?
5. Apa Fungsi, Prinsip-Prinsip dan Ciri-Ciri Pendidikan Pesantren?
6. Bagaimana Sarana dan Tujuan Pesantren?
1
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Dinamika Perkembangan Pesantren
2. Untuk Mengetahui Manajemen Pesantren Tatapan Dari Luar
3. Untuk Mengetahui Pondok Pesantren Antara Madrasah dan Sekolah
4. Untuk Mengetahui Karakteristik Pendidikan Pesantren
5. Untuk Mengetahui Fungsi, Prinsip-Prinsip dan Ciri-Ciri Pendidikan Pesantren
6. Untuk Mengetahui Sarana dan Tujuan Pesantren
2
BAB II
PEMBAHASAN
Ciri umum yang dapat diketahui adalah pesantren memiliki kultur khas yang berbeda
dengan budaya sekitarnya. Beberapa penelti menyebut sebagai sebuah sub-kultur yang
bersifat idio-syncratic. Baru memasuki era 1970-an pesantren memiliki perubahan
signifikan. Perubahan dan perkembangan itu bisa ditilik dari dua sudut pandang.Pertama,
pesantren mengalami perkembangan kuantitas luar biasa dan menakjubkan, baik di
wilayah rural (pedesaan), sub-urban (pinggiran kota), maupun urban (perkotaan).Data
Departemen Agama menyebutkan pada 1977 jumlah pesantren masih sekitar 4.195 buah
dengan jumlah santri sekitar 677.394 orang. Cukuup banyaknya jumlah pesantren dengan
beragam corak ini selayaknya menjadi catatan pemerintah terutama dalam rangka
1
M. Sulthon Masyhud dan Moh.Khusnurdilo, Manajemen Pondok Pesantren,(Jakarta:Diva Pustaka,2005), hlm
1
2
Hasbi Indra, Pesantren dan Transformasi Sosial (Jakarta:Penamadani,2005), hlm 214-215
3
realisasi gerakan pendidikan untuk semua (Education for all). Keberadaan pesantren yang
menyebar dan meluas di pedesaan (sekitar 8.829 atau 788,05%) bisa dijadikan sebagai
basis gerakan pemeberantasan buta huruf, akselerasi program wajib belajar, bisa
meningkatkan HDI (Human Development Indext) Indonesia di mata dunia yang saat ini
anjlok, jauh berada di bawah Negara-negara tetangga Asia.
3
M. Sulthon Masyhud dan Moh.Khusnurdilo, Manajemen Pondok Pesantren,(Jakarta:Diva Pustaka,2005), hlm
2-6
4
Hasbi Indra, Pesantren dan Transformasi Sosial (Jakarta:Penamadani,2005), hlm 213-214
4
B. Manajemen Pesantren Tatapan Dari Luar
Sudah menjadi common sense bahwa pesantren lekat dengan figur kiai. Kiai
dalam pesantren merupakan figur sentral, otoritatif, dan pusat seluruh kebijakan dan
perubahan. Pertama, kepemimpinan yang tersentralisasi pada individu yang bersandar
pada charisma serta hubungan yang bersifat paternalistik. Otoritas individu kiai
sebagai pendiri sekaligus pengasuh pesantren sangat besar dan tidak bisa di ganggu
gugat.Faktor nasab (keturunan) juga kuat sehingga kiai bisa mewariskan
kepemimpinan pesantren kepda anak (istilahnya putra mahkota) yang dipercaya tanpa
ada komponen pesantren yang berani memprotes. Sistem alih kepemimpinan di
pesantren seperti ini kerapkali mengundang sindiran bahwa pesantren layaknya
‘kerajaan kecil”.
Keadaan ini jika ditilik dari sudut pandang manajemen modern memang
kurang baik. Namun, pernyataan ini harus dikatakan secara hati-hati. Sebab, kultur
pesantren tidak bisa dilihat secara hitam-putih dan di pertentangkan dengan kultur
moderen.Bagi sebagianpengasuh pesantren barangkali ada beban psikologis untuk
menerapkan begitu saja manajemen modern.Hubungan personal yang lekat di
pesantren tidak bisa diganti dengan pola hubungan impersonal seperti berlaku dalam
manajemen modern.
5
mempertimbangkan atau mengakomodasi keadaan yang riil di pesantren.Harus ada
toleransi dalam menyikapi kesenjangan itu secara wajar tanpa mengundang konflik.5
5
M. Sulthon Masyhud dan Moh.Khusnurdilo, Manajemen Pondok Pesantren,(Jakarta:Diva Pustaka,2005), hlm
14-17
6
Mahpuddin Noor, Potret Dunia Pesantren (Bandung: Humaniora, 2006), hlm. 56.
7
Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren (Jakarta: P3M, 1985), hlm. 126.
8]
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 193.
6
Pondok pesantren yang seperti inilah yang dianggap layak untuk mengakomodasi
sistem pendidikan formal atau elemen pendidikan lainnya yang berasal dari luar.
Sebaliknya, pondok pesantren yang tidak memiliki dan memenuhi kriteria di atas
tentu saja tidak bisa memaksakan kehendak untuk mengadopsi sistem pendidikan dari
luar.9
Selain itu ada beberapa alternatif yang juga dikembangkan di lingkungan
pesantren. Ada yang mengakomodasi sistem pendidikan formal ala sekolah umum
atau madrasah dengan tetap mempertahankan sistem pendidikan pesantren, dengan
memisahkan area untuk sekolah madrasah atau sekolah umum dengan area khusus
untuk pesantren. Murid-murid yang bersekolah di sekolah umum pesantren tersebut
mengikuti kurikulum pendidikan nasional, seperti mengikuti uas dan uan. Mereka
tidak tinggal di asrama, akan tetapi tinggal di rumah masing-masing. Sementara santri
yang mengikuti pendidikan pesantren tinggal di asrama dan mengikuti program
pendidikan pesantren yang relatif independen dari kebijakan-kebijakan departemen
agama dan pendidikan. Guru-guru yang mengajar di pondok pesantren dengan sistem
seperti ini secara umum dikategorikan kepada dua kelompok yakni guru-guru yang
berasal dari pesantren dan yang berasal dari luar. Umumnya, guru-guru tersebut
mengjar pelajaran umum. Contoh pesantren seperti ini adalah Pondok Pesantren
Darunnajah Cipining Bogor.
Bentuk atau opsi ke dua adalah pesantren yang menggabungkan sistem
pendidikan formal ala madrasah atau sekolah umum lainnya dengan sistem
pendidikan pesantren tanpa memisahkan kelas-kelas atau area untuk ke dua sistem
pendidikan yang berbeda ini. Para santri tetap tinggal di asrama, mengikuti uas dan
uan dan juga mengikuti agenda-agenda kepesantrenan yang tidak terdapat di
madrasah atau sekolah lainnya. Guru-guru yang mengajar di pesantren ini relatif sama
dengan di atas. Bentuk pesantren yang seperti inilah yang sekarang banyak ditemui.
Akomodasi pesantren terhadap sistem atau elemen pendidikan luar ini tentu
saja membawa pengaruh negatif terhadap pesantren itu sendiri:
1. kehadiran para siswa sekolah atau madrasah di lingkungan pondok pesantren
sedikit banyak akan mengganggu aktifitas dan agenda-agenda kepesantrenan. Para
9
Mahpuddin Noor, Potret Dunia Pesantren, (Bandung: Humaniora, 2006), hlm. 58.
7
santri yang memang ingin mengecap pendidikan pesantren akan merasa tidak betah
dengan kondisi yang demikian.
2. kemungkinan terjadinya kesenjangan antara murid, guru dan pengelola pesantren
dengan madrasah atau sekolah umum pesantren besar peluang terjadi.
3. ada juga kemungkinan bahwa pesantren akan terkucilkan.10
Permasalahan status pesantren di antara pesantren, madrasah dan sekolah
umum tampaknya dipicu oleh sistem pendidikan nasional yang terlalu lamban
mengakui ijazah pesantren yang tidak mengikuti program pendidikan nasional.
Terbengkalainya agenda-agenda kepesantrenan sering bermula dari keinginan untuk
menggabungkan sistem pendidikan nasional dengan sistem pendidikan pesantren.
Pesantren yang begitu padat aktifitas kepesantrenan mau tidak mau harus memikirkan
nasib para santri setelah lulus dari pesantren tersebut, sementara ijazah pesantren pada
umumnya (kecuali akhir-akhir ini) tidak diakui di perguruan tinggi di Indonesia. Hal
ini tentu memaksa pengelola pesantren untuk tetap mengikuti agenda departemen
pendidikan dan departemen agama.
Contoh yang sangat mudah di temui adalah agenda ujian di pesantren, pada
umumnya, di pesantren modern yang telah menggunakan sistem kelas
mengagendakan dua ujian kepesantrenan dalam setahun. Ujian ini kemudian
ditambahi dengan dua agenda ujian dalam setahun yang berasal dari dinas pendidikan
atau departemen lainnya.
Contoh lain adalah sistem pesantren yang tidak membagi jenjang pendidikan
kepada dua tsanawiyah atau smp dan aliyah atau smu. Santri yang pindah dari
pesantren tanpa menyelesaikan pendidikan hingga jenjang terakhir, ketika mendaftar
ke madrasah atau sekolah umum, jika ia tidak memiliki ijazah sah nasional, maka ia
harus mengulang dari kelas awal.
Akhir-akhir ini, peluang pesantren untuk bisa mengembangkan diri secara
independen tampaknya mulai terbuka. Sebut saja seperti lahirnya undang-undang
yang mewajibkan pendidikan sembilan tahun, beberapa dekade ke depan besar
kemungkinan diwajibkannya pendidikan hingga jenjang SMU dan sederajat.
10
Ibid, hlm. 82.
8
D. Karakteristik Pendidikan Pesantren
Potret pesantren dapat dilihat berbagai segi system pendidikan secara
menyeluruh, yang meliputi : materi pelajaran dan metode pengajaran, prinsip-prinsip
pendidikan, sarana dan tujuan pendidikan pesantren, kehidupan kiai dan santri serta
hubungan keduanya, masing-masing dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Materi pelajaran dan metode pengajaran
Pada dasarnya pesantren hanya mengajarkan ilmu dengan sumber kajian atau mata
pelajarannya kita-kitab yang tertulis atau berbahasa Arab.Sumber-sumber tersebut
mencakup Al-Qur’an beserta tajwid dan tafsirnya, aqa’id dan ilmu kalam, fiqh dan
ushul fiqh, al-Qur’an hadist dan mushthalahah al-hadist dan lain-lain.
Adapun metode yang lazim digunakan dalam pendidikan pesantren adalah
wetonan sorogan, dan hafalan.Metode yang wetonan merupakan metode kuliah
dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kiai yang
menerangkan pelajaran.Santri menyimak kitab masing-masing dan mencatat jika
perlu.
2. Jenjang pendidikan
Jenjang pendidikan dalam pesantren tidak dibatasi seperti dalam lembaga
lembaga yang memakai system klasikal. Umumnya, kenaikan tingkat seorang
santri didasarkan kepada isi matapelajaran tertentu yang ditandai dengan tamat
dan bergantinya kitab yang dipelajarinya.
10
Keprihatinan untuk mencapai tujuan mulia
Pemberiah ijazah
Dengan menyandarkan diri kepada Allah SWT, para kyai pesantren memulai
pendidikan pesantrennya dengan modal niat ikhlas kepada dakwah untuk menegakkan
kalimat-Nya, didukung dengan sarana prasarana sederhana dan terbatas. Inilah ciri
pesantren, tidak tergantung kepada sponsor dalam melaksanakan visi dan
misinya.Memang sering kita jumpai dalam jumlah kecil pesantren tradisonal dengan
sarana prasarana yang megah,namun para kyai dan santrinya tetap mencerminkan
prilaku-prilaku kesederhanaan. Akan tetapi sebagian besar pesantren tradisional
tampil dengan sarana dan prasarana sederhana.
11
M. Sulthon Masyhud dan Moh.Khusnurdilo, Manajemen Pondok Pesantren,(Jakarta:Diva Pustaka,2005), hlm
88-94
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sudah menjadi common sense bahwa pesantren lekat dengan figur kiai. Kiai
dalam pesantren merupakan figur sentral, otoritatif, dan pusat seluruh kebijakan dan
perubahan. Pertama, kepemimpinan yang tersentralisasi pada individu yang bersandar
pada charisma serta hubungan yang bersifat paternalistik. Otoritas individu kiai sebagai
pendiri sekaligus pengasuh pesantren sangat besar dan tidak bisa di ganggu gugat.Faktor
nasab (keturunan) juga kuat sehingga kiai bisa mewariskan kepemimpinan pesantren
kepda anak (istilahnya putra mahkota) yang dipercaya tanpa ada komponen pesantren
yang berani memprotes. Sistem alih kepemimpinan di pesantren seperti ini kerapkali
mengundang sindiran bahwa pesantren layaknya ‘kerajaan kecil”.
Potret pesantren dapat dilihat berbagai segi sistem pendidikan secara menyeluruh,
yang meliputi : materi pelajaran dan metode pengajaran, prinsip-prinsip pendidikan,
sarana dan tujuan pendidikan pesantren, kehidupan kiai dan santri serta hubungan
keduanya, masing-masing di bagi menjadi dua, yaitu: Materi pelajaran dan metode
pengajaran dan Jenjang pendidikan.
12
DAFTAR PUSTAKA
13