Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Pengertian Antibiotik


Antibiotika adalah zat-zat kimia oleh yang dihasilkan oleh fungi dan
bakteri, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan
kuman, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil. Turunan zat-zat ini,
yang dibuat secara semi-sintesis, juga termasuk kelompok ini, begitu pula
senyawa sintesis dengan khasiat antibakteri (Tjay & Rahardja, 2007).
Antibiotik adalah zat biokimia yang diproduksi oleh mikroorganisme,
yang dalam jumlah kecik dapat menghambat pertumbuhan atau membunuh
pertumbuhan mikroorganisme lain (Harmita dan Radji, 2008).

1.2. Penggolongan Antibiotik


Penggolongan antibiotik secara umum dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1.2.1. Berdasarkan struktur kimia antibiotik (Tjay & Rahardja, 2007)


Golongan Beta-Laktam, antara lain golongan sefalosporin (sefaleksin,
sefazolin, sefuroksim, sefadroksil, seftazidim), golongan monosiklik, dan
golongan penisilin (penisilin, amoksisilin). Penisilin adalah suatu agen
antibakterial alami yang dihasilkan dari jamur jenis Penicillium chrysognum.
Antibiotik golongan aminoglikosida, aminoglikosida dihasilkan oleh
jenis-jenis fungi Streptomyces dan Micromonospora. Semua senyawa dan
turunan semi-sintesisnya mengandung dua atau tiga gula-amino di dalam
molekulnya, yang saling terikat secara glukosidis. Spektrum kerjanya luas dan
meliputi terutama banyak bacilli gram-negatif. Obat ini juga aktif terhadap
gonococci dan sejumlah kuman gram-positif. Aktifitasnya adalah bakterisid,
berdasarkan dayanya untuk menembus dinding bakteri dan mengikat diri pada
ribosom di dalam sel. Contohnya streptomisin, gentamisin, amikasin,
neomisin, dan paranomisin.
Antibiotik golongan tetrasiklin, khasiatnya bersifat bakteriostatis,
hanya melalui injeksi intravena dapat dicapai kadar plasma yang bakterisid
lemah. Mekanisme kerjanya berdasarkan diganggunya sintesa protein kuman.
Spektrum antibakterinya luas dan meliputi banyak cocci gram positif dan
gram negatif serta kebanyakan bacilli. Tidak efektif Pseudomonas dan
Proteus, tetapi aktif terhadap mikroba khusus Chlamydia trachomatis
(penyebab penyakit mata trachoma dan penyakit kelamin), dan beberapa
protozoa (amuba) lainnya. Contohnya tetrasiklin, doksisiklin, dan monosiklin.
Antibiotik golongan makrolida, bekerja bakteriostatis terhadap
terutama bakteri gram-positif dan spectrum kerjanya mirip Penisilin-G.
Mekanisme kerjanya melalui pengikatan reversibel pada ribosom kuman,
sehingga sintesa proteinnya dirintangi. Bila digunakan terlalu lama atau sering
dapat menyebabkan resistensi. Absorbinya tidak teratur, agak sering
menimbulkan efek samping lambung-usus, dan waktu paruhnya singkat, maka
perlu ditakarkan sampai 4x sehari.
Antibiotik golongan linkomisin, dihasilkan oleh srteptomyces
lincolnensis (AS 1960). Khasiatnya bakteriostatis dengan spektrum kerja lebih
sempit dar ipada makrolida,n terutama terhadap kuman gram positif dan
anaerob. Berhubung efek sampingnya hebat kini hanya digunakan bila
terdapat resistensi terhadap antibiotika lain. Contohnya linkomisin.
Antibiotik golongan kuinolon, senyawa-senyawa kuinolon berkhasiat
bakterisid pada fase pertumbuhan kuman, berdasarkan inhibisi terhadap enzim
DNA-gyrase kuman, sehingga sintesis DNAnya dihindarkan. Golongan ini
hanya dapat digunakan pada infeksi saluran kemih (ISK) tanpa komplikasi.
Antibiotik golongan kloramfenikol, kloramfenikol mempunyai
spektrum luas. Berkhasiat bakteriostatis terhadap hampir semua kuman gram
positif dan sejumlah kuman gram negatif. Mekanisme kerjanya berdasarkan
perintangan sintesa polipeptida kuman. Contohnya kloramfenikol.

1.2.2. Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada antibiotik yang bersifat bakteriostatik
dan ada yang bersifat bakterisid (Anonim, 2008).
Agen bakteriostatik menghambat pertumbuhan bakteri. Sedangkan
agen bakterisida membunuh bakteri. Perbedaan ini biasanya tidak penting
secara klinis selama mekanisme pertahanan pejamu terlibat dalam eliminasi
akhir patogen bakteri. Pengecualiannya adalah terapi infeksi pada pasien
immunocompromised dimana menggunakan agen-agen bakterisida (Neal,
2006).
Kadar minimal yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan
mikroba atau membunuhnya, masing-masing dikenal sebagai kadar hambat
minimal (KHM) dan kadar bunuh minimal (KBM). Antibiotik tertentu
aktivitasnya dapat meningkat dari bakteriostatik menjadi bakterisid bila kadar
antimikrobanya ditingkatkan melebihi KHM (Anonim, 2008).

1.2.3. Berdasarkan mekanisme kerjanya terhadap bakteri, antibiotik dikelompokkan


sebagai berikut (Stringer, 2006) :
Inhibitor sintesis dinding sel bakteri memiliki efek bakterisidal dengan
cara memecah enzim dinding sel dan menghambat enzim dalam sintesis
dinding sel. Contohnya antara lain golongan β-Laktam seperti penisilin,
sefalosporin, karbapenem, monobaktam, dan inhibitor sintesis dinding sel
lainnya seperti vancomysin, basitrasin, fosfomysin, dan daptomysin.
Inhibitor sintesis protein bakteri memiliki efek bakterisidal atau
bakteriostatik dengan cara menganggu sintesis protein tanpa mengganggu sel-
sel normal dan menghambat tahap-tahap sintesis protein. Obat- obat yang
aktivitasnya menginhibitor sintesis protein bakteri seperti aminoglikosida,
makrolida, tetrasiklin, streptogamin, klindamisin, oksazolidinon,
kloramfenikol.
Mengubah permeabilitas membran sel memiliki efek bakteriostatik
dan bakteriostatik dengan menghilangkan permeabilitas membran dan oleh
karena hilangnya substansi seluler menyebabkan sel menjadi lisis. Obat- obat
yang memiliki aktivitas ini antara lain polimiksin, amfoterisin B, gramisidin,
nistatin, kolistin
Menghambat sintesa folat mekanisme kerja ini terdapat pada obat-obat
seperti sulfonamida dan trimetoprim. Bakteri tidak dapat mengabsorbsi asam
folat, tetapi harus membuat asam folat dari PABA (asam para amino benzoat),
dan glutamat. Sedangkan pada manusia, asam folat merupakan vitamin dan
kita tidak dapat menyintesis asam folat. Hal ini menjadi suatu target yang baik
dan selektif untuk senyawa-senyawa antimikroba.
Mengganggu sintesis DNA mekanisme kerja ini terdapat pada obat-
obat seperti metronidasol, kinolon, novobiosin. Obat-obat ini menghambat
asam deoksiribonukleat (DNA) girase sehingga mengahambat sintesis DNA.
DNA girase adalah enzim yang terdapat pada bakteri yang menyebabkan
terbukanya dan terbentuknya superheliks pada DNA sehingga menghambat
replikasi DNA.

1.2.4. Berdasarkan aktivitasnya, antibiotik dikelompokkan sebagai berikut (Kee,


1996)
Antibiotika spektrum luas (broad spectrum) contohnya seperti
tetrasiklin dan sefalosporin efektif terhadap organism baik gram positif
maupun gram negatif. Antibiotik berspektrum luas sering kali dipakai untuk
mengobati penyakit infeksi yang menyerang belum diidentifikasi dengan
pembiakan dan sensitifitas.
Antibiotika spektrum sempit (narrow spectrum) golongan ini terutama
efektif untuk melawan satu jenis organisme. Contohnya penisilin dan
eritromisin dipakai untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri
gram positif. Karena antibiotik berspektrum sempit bersifat selektif, maka
obat-obat ini lebih aktif dalam melawan organisme tunggal tersebut daripada
antibiotik berspektrum luas.

1.2.5. Berdasarkan daya hambat antibiotik, terdapat 2 pola hambat antibiotik


terhadap kuman yaitu (Anonim, 2008) :
Time dependent killing. Pada pola ini antibiotik akan menghasilkan
daya bunuhmaksimal jika kadarnya dipertahankan cukup lama di atas Kadar
Hambat Minimal kuman. Contohnya pada antibiotik penisilin, sefalosporin,
linezoid, dan eritromisin. Concentration dependent killing. Pada pola ini
antibiotik akan menghasilkan daya bunuh maksimal jika kadarnya relatif
tinggi atau dalam dosis besar, tapi tidak perlu mempertahankan kadar tinggi
ini dalam waktu lama. Contohnya pada antibiotik aminoglikosida,
fluorokuinolon, dan ketolid.

1.3. Struktur Bakteri


Struktur Sel Bakteri (Struktur Dasar dan Struktur Tambahan) dan
Bagian-Bagiannya Beserta Fungsinya Lengkap – Bakteri adalah kelompok
organisme yang tidak memiliki membran inti sel, bakteri termasuk dalam
kelompok hewan prokariota. Bakteri memiliki ukuran yang sangat kecil
(mikroskopik). Ciri ciri bakteri secara umum yaitu:
a) Bakteri merupakan organisme multiseluler
b) Bakteri masuk dalam kelompok hewan prokariota (tidak memiliki
membran inti sel)
c) Umumnya tidak berklorofil
d) Bakteri berukuran sangat kecil (mikroskopik) yiatu sekitar 0,5-5 μm
Struktur bakteri terbagi menjadi 2 yaitu Struktur dasar atau struktur
yang dimiliki oleh hampir semua jenis bakteri dan struktur tambahan atau
struktur yang dimiliki oleh jenis bakteri tertentu. Struktur dasar bakteri antara
lain dinding sel, sitoplasma, ribosom, DNA, membran plasma dan granula
penyimpanan. Struktur tambahan bakteri antara lain kapsul/lapisan lendir,
flagellum/flagella, pilus atau fimbria, klorosom, valuola gas, dan endospora.

1.3.1. Struktur dasar bakteri


1) Dinding Sel
Dinding sel bakteri terdiri atas senyawa peptidoglikan yaitu
suatu polimer yang terdiri atas polipeptida pendek (gabungan antara
protein dan polisakarida). Peptidoglikan memiliki ketebalan yang
bervariasi, ketebalan tersebut berpengaruh pada respon pewarnaan
yang digunakan dalam penggolongan bakteri yaitu bakteri gram positif
dan bakteri gram negatif.
Pada Eubacteria, dinding selnya mengandung peptidoglikan
sedangkan pada Archaebacteria dinding selnya tidak mengandung
peptidoglikan.
Fungsi dinding sel, yaitu mempertahankan bentuk sel,
memberikan perlindungan fisik, menjaga sel agar tidak pecah dalam
lingkungan yang mempunyai tekanan osmotik yang lebih rendah
(hipotonis), melindungi sel dari tekanan turgor yang disebabkan oleh
tingginya konsentrasi protein dan molekul lain dalam tubuh dengan
lingkungan luar.

2) Sitoplasma
Sitoplasma merupakan cairan koloid yang mengansung
molekul organik seperti lemak, protein, karbohidrat, garam-garam
mineral, DNA, enzim, klorosom pada bakteri fotosintetik dan ribosom.
Fungsi sitoplasma yaitu sebagai tempat terjadinya reaksi-reaksi
metabolisme sel.

3) Ribosom
Ribosom merupakan organel-organel kecil yang tersebar dalam
sitoplasma. Ribosom terdiri atas senyawa protein dan RNA. Jumlah
ribosom dalam sel bakteri dapat menjacap ribuan, contohnya E. coli
memiliki 15.000 ribosom. Fungsi ribosom yaitu sebagai tempat sintetis
protein.

4) Membran Plasma
Membaran Plasma terdiri atas senyawa fosfolipid dan protein
yang bersifat selektif permeabel yaitu hanya dapat dilewati oleh zat-zat
tertentu. Fungsi membran plasma yaitu membungkus sitoplasma,
mengatur pertukaran antara zat dalam sel dan zat luar sel

5) DNA (Deoxyribonucleic acid)


Ada 2 macam DNA dalam bakteri yaitu DNA Kromosom dan
DNA nonkromosom (plasmid). DNA kromosom yaitu materi genetik
yang menentukan sebagian besar dari sifat metabolisme bakteri
sedangkan Plasmid hanya menentukan sifat tertentu seperti sifat
pantiogen, sifat fertilisasi dan sifat kekebalan pada antibiotik tertentu.
DNA kromosom berbentuk rantai ganda linear pada organisme
eukariotik dan rantai ganda melingkar pada organisme prokariotik.
Sedangkan DNA nonkromosom atau plasmid memiliki bentuk
melingkat dengan ukuran yang lebih kecil dibanding dengan DNA
Kromosom.
Fungsi DNA yaitu menentukan sebagian besar sifat
metabolisme bakteri, menentukan sifat khusus bakteri seperti sifat
fertilisasi, sifat patogen dan sifat kekebalan pada antibiotik.

6) Granula Penyimpanan
Fungsi granula penyimpanan yaitu sebagai tempat
penyimpanan cadangan makanan
1.3.2. Struktur tambahan bakteri
1) Kapsul atau Lapisan lender
Kapsul atau lapisan lendir adalah lapisan terluar yang melapisi dinding
sel pada jenis bakteri tertentu. Lapisan ini memiliki ketebalan yang
bervariasi, jika laisan ini tebal maka disebut dengan kapsul, jika lapisan
ini tipis maka disebut dengan lapisan lendir. Kapsul terdiri atas glikoprotei
yaitu senyawa campuran antara glikogen dan prorein. Sedangkan lapisan
lendir terdiri atas air dan polisakarida.
Fungsi kapsul atau Lapisan lendir yaitu sebagai alat pertahanan dan
pelindungan bakteri, mencegah kekeringan pada sel bakteri, sebagai alat
melekat bakteri pada sel inang, sebagai sumber makanan bakteri

2) Flagela atau Flagellum


Flagela adalah bulu cambuk yang tersusun atas senyawa protein yang
terdapat pada dinding sel. Flagela berfungsi sebagai alat gerak. Bentuk
umum flagela yang umum dijumpai antara lain
 Monotrik yaitu flagela tunggal yang ditemukan di satu sisi
 Peritrik yaitu flagela yang ditemukan diseluruh tubuh bakteri
 Amfitrik yaitu flagela yang terdapat di masing-masing kutub bakteri
 Lofotrik yaitu flagela yang terdapat dalam satu sisi/kutub dalam
jumlah banyak.

3) Pilus atau Fimbria


Fibria adalah tabung protein yang menonjol dari membran pada
banyak spesies dari Proteobacteria. Umumnya fibria pendek dan terdapat
banyak diseluruh permukaan sel bakteri. Pilus (latin, pili = rambut)
memiliki struktur yang mirip dengan fibria dan terdapat pada permukaan
sel bakteri namun tidak banyak. Pili memiliki peran dalam konjugasi
bakteri (pilus seks).
Fungsi pilus atau fimbria, yaitu membantu bakteri untuk menempel
pada medium tempat hidupnya, membantu konjugasi.

4) Klorosom
Klorosom adalah struktur bakteri yang berada dibagian bawa membran
plasma. Klorosom mengandung pigemen klorofil dan pigmen lain yang
berperan dalan fotosintesis.

5) Vakuola Gas
Vakuola gas berguna agar bakteri dapat mengapung di permukaan air
untuk mendapatkan cahaya.

6) Endospora
Endospora merupakan bentuk istirahat atau laten dari beberapa jenis
bakteri gram positif dan terbentuk dalam sel bakteri apabila kondisi tidak
menguntungkan bagi bakteri. endospora mengandung sitoplasma, materi
genetik dan ribosom dalam jumlah sedikit. Dinding endospora tebal
tersususn ayas protei yang menyebabkan endospora dapat tahan terhadap
kekeringan, suhu tinggi, radiasi cahaya dan juga zat kimia.

1.4. Mekanisme kerja antibiotic


1) Mekanisme kerja antibiotic melalui penghambatan sintesis dinding sel
Dinding sel merupakan lapisan luar sel bakteri yang berfungsi
mempertahankan bentuk sel dan pelindung sel bakteri yang memiliki
tekanan osmotic internal yang lebih tinggi daripada lingkungannya.
Tekanan osmotic internal bakteri gram positif lebih besar 3 hingga 5 kali
daripada tekanan osmotick.
Internal bakteri gram negatif. Penghambatan sintesis dinding sel
menyebabkan sel lisis. Dinding sel bakteri mengandung peptidoglikan
yang secara kimia berisi polisakarida dan campuran rantai polipeptida
yang tinggi. Polisakarida dari peptidoglikan berisi gula amino N-
acetylglucosamine dan asam acetylmuramic. Sifat keras pada dinding sel
disebabkan oleh hubungan saling silang rantai peptide (seperti melalui
ikatan pentaglycine) yang merupakan hasil reaksi transpeptidasi yang
dilakukan oleh beberapa enzim. Semua β-lactam menghambat sintesis
dinding sel bakteri dengan berikatan pada reseptor sel (beberapa
merupakan enzim transpeptidase).
Reseptor yang berbeda memiliki afinitas yang berbeda terhadap
antibiotic. Protein reseptor ini berada dibawah control kromosom,
sehingga mutasi dapat mengubah jumlah atau afinitas reseptor terhadap
antibiotic β-lactam. Setelah β-lactam melekat pada satu atau beberapa
reseptor, reaksi transpeptidasi dihambat dan sintesis peptidoglikan
dihentikan. Kemudian terjadi perpindahan atau inaktivasi inhibitor enzim
otolitik pada dinding sel. Aktivitas enzim litik akan enyebabkan lisis jika
lingkungan isotonic. Penghambatan enzim tranpeptidase oleh penisilin dan
sefalosporin menyebabkan hilangnya D-alanine dari rantai pentapeptida
dalam reaksi transpeptidasi.

2) Mekanisme kerja antibiotic melalui hambatan fungsi membran sel


Membrane sel bakteri berfungsi sebagai barrier permeabilitas selektif,
berperan dalam transpor aktif dan mengontrol komposisi internal sel.
Ketika fungsi integritas membrane sel dirusak maka makromolekul dan
ion akan keluar dari sel, kemudian sel rusak dan mati. Antobiotik yang
menghambat fungsi membrane sel akan berikatan dengan sterol yang
terdapat pada membrane sel bakteri

3) Mekanisme kerja antibiotic melalui penghambatan sintesis protein


Aminoglikosida merupakan salah satu antibiotic yang menghambat
sintesis protein. Penghambatannya melalui penambahan aminoglikan pada
reseptor protein spesifik pada subunit 30S ribosom bakteri. Kemudian
aminoglikosida akan memblokir aktivitas inisiasi kompek normal
pembentukan peptide (mRNA+Formyl methionine+tRNA). Selanjutnya
akan terjadi salah pembacaan daerah pengenalan ribosom secara
konsekuen asam amino oksalat dimasiukan kedalam peptide sehingga
menghasilkan protein fungsional. Selanjutnya penambahan amino
glikosida berakibat, dalam pemecahan polisom menjadi monosom yang
tidak dapat mensintesis protein.

4) Mekanisme kerja antibiotic melalui penghambatan asam nukleat


Antibiotik seperti rifampin akan menghambat pertumbuhan bakteri
dengan ikatan yang sangat kuat dengan enzim DNA Dependent RNA
polymyrase bakteri, sedangkan antibiotik trimetoprim akan menghambat
sintesia asam nuklet melalui penghambatan enzin reduktase dihidrofolat,
enzim ini mereduksi dihidrofolik terhadap asam tetrahidrofolat, yang
berperan dalam sintesis purin dan DNA.

1.5. Mekanisme resisten antibiotic


Ternyata bakteri mampu mengembangkan teknik melindungi diri dengan cara
bertahan terhadap gempuran antibiotika. Hal ini tentu saja membahayakan
nyawa pasien, karena bakteri menjadi kebal sehingga peluang kesembuhan
pasien menjadi semakin menipis. oleh karena itu berbagai mekanisme yang ada
hendaknya harus dipelajari dengan cermat untuk dapat ditangkal.
Bakteri patogen memperoleh sifat resistensi terhadap antibiotik berasal dari
dua hal, yakni dengan cara transmisi vertikal dan transmisi horisontal.
a) Transmisi vertical
Pada transmisi vertikal, bakteri memperoleh kekebalan melalui
akumulasi perubahan genetis selama proses alami duplikasi genom. Transmisi
vertikal merupakan proses mendasar, dimana sel dapat mengakumulasikan
kesalahan-kesalahan pada genomnya selama proses replikasi. Proses
akumulasi kesalahan tersebut terjadi dalam jumlah yang sedikit. Satu dari
seribu bakteri yang berkembang akan mengalami kesalahan genom, hal ini
dinamakan mutasi. Mutasi dapat menyebabkan resistensi terhadap antibiotik.

b) Transmisi horizontal
Pada transmisi horisontal terjadi transfer gen dari bakteri yang
mengalami mutasi menjadi resisten (pada transmisi vertikal). Penelitian
terakhir menunjukkan bahwa transmisi horisontal ini bertanggungjawab
terhadap berkembangnya resistensi bakteri terhadap antibiotika. Proses
transmisi horisontal diawali dengan perpindahan gen penyebab resistensi dari
satu bakteri ke bakteri lainnya dengan perantara plasmid. Plasmid merupakan
elemen genetik yang dapat berpindah antar sel. Fragmen DNA ini berpindah
menuju sel lain melalui 3 mekanisme, yakni transformasi, transduksi, dan
konjugasi

1.5.1. Mekanisme resisten antibiotik


Resistensi adalah ketahanan suatu mikroorganisme terhadap suatu
antimikroba atau antibiotika terhadap agen penyebab penyakit (infeksi).
Resisten tersebut dapat berupa resisten alamiah, resisten karena adanya mutasi
spontan (resisten krosomonal) dan resisten karena adanya factor R pada
sitoplasma (resistensi ekstrakromosomal) atau resistensi karena terjadinya
pemindahan gen yang resisten atau factor R atau plasmid R atau plasmid
(resistensi silang) atau dapat dikatakan bahwa mikroorganisme dapat
resistensi terhadap obat-obat anti mikroba karena mekanisme genentik
maupun non genetik.
Beberapa mekanisme yang menyebabkan resistensi antibiotika adalah
sebagai berikut:

1) Memblok antibiotik dengan cara mengubah dinding sel sehingga tidak


dapat ditembus
Kelompok bakteri ini secara alami resisten terhadap antibiotik tertentu
karena kurangnya target bagi antibiotik untuk berikatan, dan juga karena
membran selnya tidak dapat ditembus.

2) Perubahan area target yang menurunkan daya ikat antibiotic


Antibiotik jenis tertentu (contohnya aminoglikosida) biasanya
akan terikat oleh ribosom (organel dalam sel bakteri untuk membentuk
protein) bakteri dan menghambat sistesis protein. Bila bakteri menjadi
resisten terhadap aminoglikosid, tempat pengikat antibiotik akan
diubah. Sebagai akibatnya, antibiotik menjadi tidak terikat lagi
sehingga antibiotik tidak bisa beraksi melawan bakteri.
Pada mekanisme ini, bakteri memperoleh mutasi gen yang
mengubah target antibiotik sehingga menurunkan efektivitasnya.
Masing-masing antibiotika dirancang untuk menyasar proses penting
dalam tubuh bakteri. Sebagai contohnya, antibiotika fluorokuinolon
bekerja dengan cara mengganggu fungsi protein yang terlibat dalam
proses replikasi DNA bakteri. Mutasi yang menyebabkan resistensi
terhadap fluorokuinolon seringkali mengubah konformasi protein ini,
sehingga mengurangi pengikatan antibiotik ke sasarannya.

3) Menghasilkan enzim pengurai antibiotik sehingga antibiotik menjadi


tidak aktif
Bakteri ini mengkode gen yang menghasilkan enzim yang
mengurai molekul antibiotik sebelum antibiotik ini membunuh bakteri.
Contohnya adalah enzim beta laktamase, enzim ini akan menguraikan
struktur beta laktam pada antibiotik, sehingga antibiotik menjadi tidak
aktif lagi dan tidak dapat membunuh bakteri.
Terbentuknya enzim yang menginaktivasi antibiotik ini diduga
merupakan penyebab tersering resistensi berbagai jenis antibiotik.
Perubahan enzim ini bisa diturunkan melalui perantara kromosom atau
plasmid (DNA diluar kromosom yang bisa bereplikasi atau
berkembang biak secara otonom). Penurunannya bisa dengan cara
bertahap atau sekaligus. Contohnya, bakteri Staphylococcus
menghasilkan enzim beta lactamase yang akan menghambat antibiotik
jenis beta lactam (misalnya penisilin) sehingga antibiotik ini tidak bisa
bekerja melawan bakteri. Perubahan permeabilitas membran sel
menyebabkan penurunan masuknya (influx) antibiotik dan
mengaktifkan pengeluaran (efflux) antibiotik. Akibatnya, akumulasi
antibiotik di dalam bakteri menurun. Karena kadarnya menurun,
efektivitas antibiotik juga akan menurun. Contohnya adalah bakteri
yang resisten terhadap antibiotik tetrasiklin.

4) Menurunkan akumulasi antibiotik intraseluler dengan cara menurunkan


permeabilitas dan atau meningkatkan efluks aktif antibiotik
Mekanisme efluks terjadi ketika gen resisten mengkode protein
yang secara aktif mendorong antibiotik keluar dari sel bakteri,
sehingga kadar antibiotik di dalam sel menjadi rendah dan tidak
mampu untuk membunuh bakteri.

5) Membentuk jalur metabolic alternatif


Strategi bakteri yang lain adalah dengan membentuk jalur
metabolik alternatif. Contohnya resistensi dapatan terhadap
kotrimoksazol disebabkan terbentuknya enzim dihydrofolate reductase
yang resisten terhadap antibiotik dari plasmid atau transposon (DNA
yang mampu berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dalam
kromosom yang sama atau berbeda). Elemen genetik yang bisa
bergerak atau mobile ini menyebabkan penyebaran resistensi antibiotik
antarbakteri menjadi cepat terjadi.

6) Berkurangnya perubahan obat menjadi bentuk aktif


Flusitosin adalah suatu obat antifungi harus diubah didalam
tubuh mikroorganisme manjdi bentuk aktif dari obat tersebut. Fungi
dapat menjasi resisten terhadap flusitosin dengan memindahkan
aktivitas enzim disepanjang jalur pengaktifan

Proses-proses di atas merupakan mekanisme resistensi antibiotik di


dalam bakteri (mikroorganisme). Namun, permasalahan terbesar saat ini
adalah resistensi antibiotik dari satu spesies bakteri ternyata dapat disebarkan
ke sekelompok bakteri lain melalui perubahan gen sehingga masalah resistensi
ini sudah menjadi masalah ekologi yang luas.

Pemakaian antibiotik yang tidak rasional (tidak tepat atau berlebihan)


disinyalir merupakan penyebab bakteri menjadi resisten terhadap antibiotik.
Akibatnya, antibiotik tidak lagi efektif membunuh ataupun menghambat
aktivitas bakteri. Pemakaian antibiotik yang tidak rasional sering terjadi pada
pasien rawat jalan di komunitas ataupun pasien yang dirawat inap di rumah
sakit, baik sebagai pengobatan (terapi) ataupun pencegahan (profilaksis).
Selain itu, resistensi ini diduga juga berkembang akibat penggunaan antibiotik
dalam industri agrikultur, khususnya produksi makanan. Masalah resistensi ini
bukan hanya menjadi masalah lokal tapi sudah merupakan masalah global

1.5.2. Penyebab resisten antibiotik


Penyebab resistensi secara umum adalah sebagai berikut :
1) Penyebab non-genetik
Resistensi non-genetik adalah suatu keadaan bakteri pada stadium
istirahat, sehingga bakteri tidak peka terhadap antibiotik. Atau dengan kata
lain, antibiotik yang bekerja untuk membunuh bakteri pada saat aktif
pembelahan maka populasi bakteri yang tidak berada pada fase
pembelahan akan relatif resisten terhadap antibiotik tersebut. Resistensi
non-genetik umumnya terjadi karena perubahan pada pertahanan tubuh
bakteri itu sendiri atau perubahan struktur bakteri sehingga tidak sesuai
lagi sebagai target antibiotik.
Contoh : Bakteri Tuberkulosis yang menginfeksi di dalam jaringan
yang tidak membelah aktif pada saat pemberian antibiotik sehingga terjadi
mekanisme pertahanan tubuh bakteri maka akan resisten terhadap
antibiotik tersebut. Lalu karena suatu hal maka diberikan kortikosteroid
yang menyebabkan daya tahan bakteri menurun sehingga bakteri yang tadi
belum membelah aktif lalu memebelah aktif lagi sehingga antibiotik dapat
membunuh bakteri Tuberkulosis.
Bakteri sferoplas yang telah kehilangan dinding selnya maka akan
resisten terhadap antibiotik yang merusak dinding sel seperti penisilin dan
sefalosporin. Ini terjadi karena bakteri telah berubah strukturnya sehingga
bakteri sebagai target antibiotik menjadi tidak cocok.
2) Penyebab genetic
Resistensi genetik yaitu suatu keadaan mikroorganisme yang semula
peka terhadap suatu antibiotik pada suatu saat dapat berubah sifat
genetiknya menjadi tidak peka atau memerlukan konsentrasi yang lebih
besar. Perubahan ini karena gen bakteri mendapatkan elemen genetik yang
terbawa sifat resistensi. Yaitu resistensi bakteri yang terjadi karena
perubahan genetik meliputi kromosom maupun ekstra kromosom.
Perubahan genetik dapat ditransfer atau dipindahkan dari satu spesies
bakteri ke spesies lainnya melalui berbagai mekanisme.
a) Resistensi kromosomal
Resistensi kromosomal bakteri terhadap antibiotik dapat terjadi
karena adanya mutasi DNA yang mengontrol kecocokan
(susceptibility) terhadap obat tertentu. Resistensi bakteri terhadap
antibiotik yang mempunyai sebab genetik kromosal terjadi secara
spontan, misalnya karena terjadi mutasi spontan terhadap lokus DNA
(Deoksi Nukleat Acid) yang mengontrol kecocokan (susceptibility)
terhadap antibiotik tertentu.
Contoh : Bakteri Streptococcus pneumoniae merubah struktur
ribosomnya sehingga tidak dicocok lagi sebagai target antibiotik
eritromisin

b) Resistensi ekstrakromosomal
Resistensi ekstrakromosomal sering disebut plasmid. Plasmid
adalah molekul DNA yang bulat/ sirkuler. Ciri-ciri plasmid :
1) Kira-kira memepunyai berat 1-3% dari kromosom bakteri
2) Berada bebas dalam sitoplasma bakteri
3) Adakalanya dapat bersatu ke dalam kromosom bakteri
4) Dapat melakukan replikasi sendiri secara otonom
5) Dapat pula berpindah atau dapat dipindahkan dari spesies ke
spesies lain

Beberapa contoh dari plasmid adalah :

1) Faktor R (Gen Resisten)


Faktor R adalah satu golongan plasmid yang membawa gen-
gen resisten terhadap satu atau lebih antibiotik. Gen dalam plasmid
yang sering kali menyebabkan resistensi obat dengan
memproduksi enzim-enzim yang dapat merusak daya kerja obat.
Contoh : Bakteri Staphylococcus aureus pada gennya
mengandung faktor R yang terdapat gen untuk replikasi mengatur
sintesis protein yang mengkode enzim enzim β-laktamase yang
dapat merusak struktur β-laktam pada penisilin.

2) Faktor F (Fili Sex)


Bakteri Gram negatif umumunya memiliki fili pada struktur
tubuhnya. Fili merupakan rambut pendek dan keras di sekililing
bada sel bakteri Fili terdiri dari subunit-subunit protein. Terdapat
dua jenis fili :
 Fili yang memegang peranan dalam adhesi kuman
dengan tubuh hospes
 Fili seks, yaitu fili yang berfungsi dalam konjugasi 2 sel
bakteri.

Fili seks inilah yang berperan dalam konjugasi terhadap


bakteri lain dan memberikan gen resisten pada suatu antibiotik.

Contoh : E. coli, Salmonella, Shigella, Klebsiella,


Serratia, Vibrio cholerae dan Pseudomonas dengan cara
konjugasi memberikan gen resisten melalui fili sex sehingga
resisten pada aminoglikosida, tetrasiklin, kloramphenikol dan
penisilin.

3) Toksin
Beberapa toksin dari bakteri merupakan produk dari plasmid
sehingga toksin yang dihasilkan bakteri menghambat antibiotik
untuk bekerja membunuh bakteri.
Contohnya : Pada kasus diare yang disebabkan bakteri
Escherichia coli pemberian antibiotik justru memperparah diare
karena Escherichia coli yang menghasilkan toksin enteroksigenik
sehingga antibiotik sendiri bisa menyebabkan diare dan
mendorong timbulnya bakteri yang resisten.
1.6. Cara Transmigrasi Gen Resisten
Sifat ini merupakan suatu mekanisme alamiah bakteri untuk bertahan
hidup. Resistensi antibiotika terhadap bakteri dapat terjadi dengan berbagai
alasan seperti overcrowding yang memudahkan terjadinya transfer bakteri
antar personal, tingginya travelling dan perdagangan yang dapat
menyebarkan strains resisten secara global, penggunaan antibiotika yang
berlebihan pada manusia dan hewan (SPACH dan BLACK,1998; LEWIS,
1995).

Tipe resistensi bakteri terhadap antibiotika dapat bersifat non genetik yaitu
bakteri dapat mengalami resistensi intrinsik spesifik terhadap antibiotika, atau
resistensi dapat terjadi genetik melalui mutasi atau transfer gen antara bakteri
(HAWKEY, 1998).

1) Mutasi

Merupakan resistensi yang menjadi sifat alami mikroorganisme. Hal ini


misalnya dapat disebabkan oleh adanya enzim pengurai antibiotik pada
mikroorganisme sehingga secara alami mikroorganisme dapat menguraikan
antibiotik. Contohnya adalah Staphylococcus dan bakteri lainnya yang
mempunyai enzim penisilinase yang dapat menguraikan penisilin dan
sefalosporin. Mekanisme resistensi bawaan ini juga dapat berupa terdapatnya
struktur khusus pada bakteri yang melindunginya dari paparan antimikroba,
contohnya bakteri TB dan lepra memiliki kapsul pada dinding sel, sehingga
resisten terhadap obat-obat antimikroba.

2) Tranfer Gen

Pada tahun 1955 terjadi epidemik disentri bakterial dan ditemukan bakteri
Shigella dysentriae yang resisten terhadap kloramfenikol, streptomisin,
sulfanilamide, dan tetrasiklin. Gen yang bertanggung jawab atas resistensi
terhadap antibiotik tersebut adalah plasmid faktor- R (faktor resistensi) dengan
daerah resistence transfer factor (RTF) yang disambung dengan gen r yang
mengkode enzim-enzim yang dapat menginaktivasi obat-obat yang spesifik.
Plasmid faktor-R yang kecil tanpa daerah RTF biasanya hanya berperan dalam
resistensi satu macam antibiotik.
1.7 Uji Kepekaan in vitro

Dari pertemuan tersebut WHO merekomendasikan penggunaan teknik difusi


Kirby-Bauer yang telah diperkenalkan pada tahun 1976, metode tersebut sangat
sesuai khususnya untuk golongan Enterobactriaceae, tetapi dapat pula
digunakan untuk semua bakteri pathogen.

Pada prinsipnya tes kepekaan terhadap antimikroba adalah penentuan


terhadap bakteri penyebab penyakit yang kemungkinan menunjukkan resistensi
terhadap suatu antimikroba atau kemampuan suatu antimikroba untuk
menghambat pertumbuhan bakteri yang tumbuh in vitro, sehingga dapat dipilih
sebagai antimikroba yang berpotensi untuk pengobatan.

Pengujian dilakukan di bawah kondisi standar, dimana kondisi standar


berpedoman kepada Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI). Standar
yang harus dipenuhi yaitu: konsentrasi inokulum bakteri, media perbenihan
(Muller Hinton) dengan memperhatikan pH, konsentrasi kation, tambahan darah
dan serum, kandungan timidin, suhu inkubasi, lamanya inkubasi dan konsentrasi
antimikroba
Walaupun kondisi penting untuk pemeriksaan invitro telah distandarkan
namun tidak ada kondisi invitro yang mengambarkan kondisi yang sama dengan
keadaan invivo tempat yang sebenarnya bakteri tersebut menginfeksi. Dengan
demikian ada beberapa faktor yang memegang peranan penting dari pasien
disamping hal-hal yang dapat mempengaruhi hasil uji kepekaan yang telah
diperhitungkan pada metode uji. Faktor tersebut yaitu:
a. Difusi antimikroba pada sel dan jaringan hospes.
b. Protein serum pengikat antimikroba.
c. Gangguan dan interaksi obat.
d. Status daya tahan dan system imun pasien.
e. Mengidap beberapa penyakit secara bersamaan.
f. Virulensi dan patogenitas bakteri yang menginfeksi.
g. Tempat infeksi dan keparahan penyakit.
1.7.1 Dasar Pemeriksaan Uji Kepekaan
1. Merupakan metode yang langsung mengukur aktifitas satu atau lebih
antimikroba terhadap inokulum bakteri.
2. Merupakan metode yang secara langsung mendeteksi keberadaan mekanisme
resitensi spesifik pada inokulum bakteri.
3. Merupakan metode khusus untuk mengukur interaksi antara mikroba dan
antimikroba.

1.7.2 Metode-metode Pengukuran Aktifitas Antimikroba


Kemampuan antimikroba dalam melawan bakteri dapat diukur
menggunakan metode yang biasa dilakukan yaitu :
A. Metode konvensional : dilusi (agar atau kaldu), difusi dan Etest
B. Uji kepekaan komersial

1.7.3 Persiapan Sebelum Uji Dilakukan


Beberapa persiapan yang diperlukan untuk melaksanakan uji dengan
metode dilusi dan difusi yaitu meliputi persiapan inokulum dan antimikroba
yang akan digunakan. Persiapan inokulum yang tepat penting untuk uji
kepekaan untuk mendapatkan hasil yang akurat dan konsisten. Ada dua
persiapan yang harus dilakukan yaitu: biakan murni dan pembuatan inokulum
standar.
Biakan murni diperlukan karena interpretasi berdasarkan inokulum yang
tercampur tidak dapat diterima dan akan menghambat mendapatkan hasil.
Biakan murni dilakukan dengan mengambil empat atau lima koloni yang sama
secara morfologi dan ditanam pada media perbenihan cair dan dibiarkan
tumbuh subur, pada umumnya memerlukan waktu inkubasi 3 sampai 5 jam.
Bisa juga sebagai alternative 4 sampai 6 koloni berusia 16 sampai 24 jam
dipilih dari media agar dan dibuat suspensi dengan NaCl 0,85% untuk
mendapatkan suspensi yang keruh. Kemudian kekeruhan dibandingkan dengan
suspensi standar Mc Farland, pada latar belakang hitam. Standar Mc Farland
dibuat dengan mencampur asam sulfat 1% dan barium klorida 1,175% untuk
mendapatkan kekeruhan standar. Standar kekeruhan 0,5 Mc Farland telah
tersedia secara komersial, yang memiliki kekeruhan sebanding dengan 1,5 x
108 colony forming unit (CFU)/ml.
1.7.4 Memilih Antimikroba Untuk Uji Kepekaan
Pemilihan antimikroba dilakukan oleh staf medis terutama dokter
spesialis penyakit infeksi dan bila perlu disertai ahli farmasi. Pemilihan
berdasarkan kelompok bakteri, hasil identifikasi bakteri (karena ada
beberapa antimikroba spesifik hanya untuk bakteri tertentu, misalnya
ceftadizime spesifik untuk Pseudomonas aeruginosa), spektrum antimikroba
dan tempat asal infeksi (misalnya untuk infeksi saluran urinaria dipilih
nitofurantoin). Deretan antimikroba secara umum didasarkan pada kelompok
organisme ,secara umum dibagi menjadi:
a) Enterobacteriaceae
b) Pseudomonas aeruginosa dan Acinetobacter spp
c) Staphylococcus spp
d) Enterococcus spp
e) Streptococcus spp (kecuali S. pneumoniae)
f) Streptococcus pneumonia
g) Haemophilus influenza
h) Neisseria gonorrhoeae

1.8 Metode Konvensional

1.8.1 Metode dilusi


Metode dilusi terdiri dari dua teknik pengerjaan yaitu teknik dilusi perbenihan
cair dan teknik dilusi agar. Yang bertujuan untuk penentuan aktifitas
antimikroba secara kuantitatif, antimikroba dilarutkan kedalam media agar atau
kaldu, yang kemudian ditanami bakteri yang akan dites. Setelah diinkubasi
semalam, konsentrasi terendah yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri di
sebut dengan MIC (minimal inhibitory concentration). Nilai MIC dapat pula
dibandingkan dengan konsentrasi obat yang didapat di serum dan cairan tubuh
lainnya untuk mendapatkan perkiraan respon klinik.
a) Dilusi perbenihan cair
Dilusi perbenihan cair terdiri dari makrodilusi dan mikrodilusi. Pada
prinsipnya pengerjaannya sama hanya berbeda dalam volume. Untuk
makrodilusi volume yang digunakan lebih dari 1 ml, sedangkan mikrodilusi
volume yang digunakan 0,05 ml sampai 0,1 ml. Antimikroba yang
digunakan disediakan pada berbagai macam pengenceran biasanya dalam
satuan µg/ml, konsentrasi bervariasi tergantung jenis dan sifat antibiotik.
misalnya cefotaxime untuk uji kepekaan terhadap Streptococcus pneumonia,
pengenceran tidak melebihi 2 μg/ml, sedangkan untuk Escherichia
coli pengenceran dilakukan pada 16 µg/ml atau lebih).
Secara umum untuk penentuan MIC pengenceran antimikroba
dilakukan penurunan konsentrasi setengahnya misalnya mulai dari 16, 8, 4,
2, 1, 0,5, 0,25 µg/ml) konsentrasi terendah yang
menunjukkan hambatan pertumbuhan dengan jelas baik dilihat secara visual
atau alat semiotomats dan otomatis, disebut dengan konsentrasi daya hambat
minimum/ MIC (minimal inhibitory concentration).Kondisi untuk uji
kepekaan teknik perbenihan cair terdapat pada lampiran 1.

a) Dilusi agar
Pada teknik dilusi agar, antibiotik sesuai dengan pengenceran akan
ditambahkan kedalam agar, sehingga akan memerlukan perbenihan agar
sesuai jumlah pengeceran ditambah satu perbenihan agar untuk kontrol
tanpa penambahan antibiotik , konsentrasi terendah antibiotik yang mampu
menghambat pertumbuhan bakteri merupakan MIC antibiotik yang di uji.
Kondisi untuk uji kepekaan teknik agar dilusi terdapat pada lampiran 2.
Salah satu kelebihan metode agar dilusi untuk penentuan MIC Neisseria
gonorrhoeae yang tidak dapat tumbuh pada teknik dilusi perbenihan cair.

1.8.2 Penentuan MBC dari MIC perbenihan cair


Dasar penentuan antimikroba secara invitro adalah MIC (minimum
inhibition concentration) dan MBC (minimum bactericidal concentration). MIC
merupakan konsentrasi terendah bakteri yang dapat menghambat pertumbuhan
bakteri dengan hasil yang dilihat dari pertumbuhan koloni pada agar atau
kekeruhan pada pembiakan kaldu. Sedangkan MBC adalah konsentrasi terendah
antimikroba yang dapat membunuh 99,9% pada biakan selama waktu yang
ditentukan. Agar antimikroba efektif pada MIC atau MBC. Sedapat
mungkin mencapai tempat infeksi. Absorpsi obat dan distribusi antimikroba
akan mempengaruhi dosis, rute dan frekuensi pemberian antimikroba untuk
mendapatkan dosis efektif di tempat terjadinya infeksi
Penentuan konsentrasi minimum antibiotik yang dapat membunuh
bakteri / minimum bactericidal concentration(MBC) dilakukan dengan
menanam bakteri pada perbenihan cair yang digunakan untuk MIC ke dalam
agar kemudian diinkubasi semalam pada 37⁰C. MBC adalah ketika tidak terjadi
pertumbuhan lagi pada agar . Pada konsentrasi 4 μg/ml,8 μg/ml,16 μg/ml masih
menunjukkan pertumbuhan bakteri tapi jumlah koloninya semakin sedikit. Pada
konsentrasi antibiotik 32 μg/ml ,64 μg/ml, pada konsentrasi 32 μg/ml tumbuh
8 koloni bakteri, sedangkan pada 64 μg/ml tidak tumbuh, sehingga MBC
(minimum bactericidal concentration) adalah 64 μg/ml
Dengan teknik dilusi memungkinkan penentuan kualitatif dan kuantitatif
dilakukan bersama-sama.MIC dapat membantu dalam penentuan tingkat
resistensi dan dapat menjadi petunjuk penggunaan antimikroba
.Kerugiannya metode ini tidak efisien karena pengerjaannya yang rumit,
memerlukan banyak alat-alat dan bahan serta memerlukan ketelitian dalam
proses pengerjaannya termasuk persiapan konsentrasi antimikroba yang
bervariasi

1.8.3 Metode difusi.


Cakram kertas, yang telah dibubuhkan sejumlah tertentu antimikroba,
ditempatkan pada media yang telah ditanami organism yang akan di uji secara
merata. Tingginya konsentrasi dari antimikroba ditentukan oleh difusi dari
cakram dan pertumbuhan organism uji dihambat penyebarannya sepanjang
difusi antimikroba (terbenuk zona jernih disekitar cakram), sehingga bakteri
tersebut merupakan bakteri yang sensitif terhadap antimikroba. Ada hubungan
persamaan yang hampir linear (berbanding lurus) antara log MIC, seperti yang
diukur oleh metode dilusi dan diameter zona daya hambat pada metode difusi.
Hasil dari tes kepekaan, mikroorganisme diklasifikasikan ke dalam dua
atau lebih kategori. Sistim yang sederhana menentukan dua kategori yaitu
sensitif dan resisten. Meskipun klasifikasi tersebut memberikan banyak
keuntungan untuk kepentingan statistik dan epidemiologi, bagi klinisi
merupakan ukuran yang terlalu kasar untuk digunakan. Dengan demikian hasil
dengan 3 klasifikasi yang biasa digunakan, (sensitif, intermediate, dan resisten)
seperti pada metode Kirby-Bauer. Terapi antimikroba idealnya berdasarkan
penentuan bakteri penyebab dan antimikroba sesuai yang sensitif terhadap
bakteri tersebut.
Pengobatan secara empiris biasanya dimulai sebelum ada hasil
laboratorium mikrobiologi, ketika pengobatan harus dilakukan sebelum
penyakit menjadi bertambah parah . efektifitas antimikroba bervariasi
tergantung lokasi infeksi, kemampuan antimikroba mencapai sumber infeksi
dan kemampuan bakteri untuk menahan atau menginaktifasi antimikroba.
Beberapa antimikroba dapat bertindak sebagai bakterisidal (benar-benar
membunuh bakteri) sedangkan yang lain bertindak sebagai bakteriostatik
(mencegah bakteri berkembang biak), dengan demikian sistem imun hospes
mempengaruhi kepekaan terhadap bakteri tersebut..
Di laboratorium klinik, uji kepekaan lebih banyak digunakan metode
cakram difusi. Pada metode ini inokulum bakteri ditanam secara merata pada
permukaan agar. Cakram antimikroba diletakkan pada permukaan agar dan
dibiarkan berdifusi ke dalam media sekitarnya. Hasilnya dilihat zona hambat
antimikroba terhadap pertumbuhan bakteri. Ukuran zona jernih tergantung
kepada kecepatan difusi antimikroba, derajat sensitifitas mikroorganisme dan
kecepatan pertumbuhan bakteri. Zona hambat cakram antimikroba pada metode
difusi berbanding terbalik dengan MIC. Semakin luas zona hambat, maka
semakin kecil konsentrasi daya hambat minimum MIC. Untuk derajat kategori
bakteri dibandingkan terhadap diameter zona hambat yang berbeda-beda setiap
antimikroba, sehingga dapat ditentukan kategori resisten, intermediate atau
sensitif terhadap antimikroba uji.
Tabel.1 Standar Diameter zona interpretasi dan perkiraan kaitannya MIC untuk penentuan
kategori serta interpretasi hasil
Diameter zona (millimeter Perkiraan kaitan dengan
tedekat) untuk masing-masing MIC (mikro gm/ml) untuk:
Antimikroba kategori
(jumlah tiap cakram)
Dan organisme R I MS S R S
Ampicillin (10 µg)

Enterobacteriaceae <11 12-13 >14 >32 <8

beta-
Staphylococcus spp. <28 >29 <0.25
Lactamase
Haemophilus spp. <19 >20 >4 <2
Enterococci <16 >17 >16
Other streptococci <21 22-29 >30 >4 <0.12
Chloramphenicol
<12 13-17 >18 >25 <12.5
(30 µg)
Erythromycin
<13 14-17 >18 >8 <2
(15 µg)
Asam nalikdisat
<13 14-18 >19 >32 <12
(30 µg)
Streptomycin (10µg) <11 12-14 >15
Tetracycline (30 µg) <14 15-18 >19 >16 <4
Trimethoprim (5 µg) <10 11-15 >16 >16 <4

a
dokumen diambil pada oktober 1983 (M2-T3 ) NCCLS. Sesuai dengan dokumen MCCLS terbaru
untuk perubahan dan diperbaharui
b
R, Resistant; I, intermediate; MS, moderately susceptible; S, susceptible. Hasil intermediate
mengindikasikan hasil yang kurang tegas yang dapat membutuhkan tes lebih lanjut. Hasil MS
seharusnya dilaporkan sebagai indikasi kepekaan yang menunjukkan dosis aman maksimal untuk
terapi. Strain bakteri dengan hasil MS dikategorikan sebagai sensitive bukan intermediate.
c
Korelasi perkiraan terdekat MIC digunakan untuk menentukan kategori resisten atau sensitif. Korelasi
ini tidak dapat digunakan untuk interpretasi uji kepekaan metode dilusi
1.9 Karakteristik Uji Kerentanan Antimikroba
Ini adalah metode untuk menguji mikroorganisme (diisolasi dari pasien)
dengan antibiotik untuk menentukan obat paling aman pada konsentrasi terendah
yang menghambat pertumbuhan bakteri pada pasien.

1.9.1 Pedoman internasional


• Memberikan metode referensi untuk menguji aktivitas in vitro agen
antimikroba terhadap bakteri yang terlibat dalam penyakit menular untuk
memastikan AST yang dapat diandalkan dan dapat direproduksi,
• Cantumkan obat yang akan diuji untuk masing-masing kelompok bakteri,
• Berikan metode untuk deteksi dan konfirmasi mekanisme resistensi khusus
• Berikan kriteria interpretasi
• Didirikan breakpoints untuk memungkinkan kategorisasi strain (S-I-R)

1.9.2 Manfaat
 Terapi
Untuk memberikan kategorisasi klinis (S / I / R) strain terisolasidan memandu
seleksi dan modifikasi terapi antimikroba.
 Epidemiologi
Untuk melakukan pengawasan terhadap resistensi antimikroba, memprediksi
kerentanan bakteri di suatu daerah dan mempengaruhi keputusan terapeutik
untuk pasien saat ini dan masa depan.
Uji kepekaan in vitro biasanya dilakukan setiap kali bakteri yang dianggap
bertanggung jawab atas infeksi pasien diisolasi dari spesimen klinis.

Anda mungkin juga menyukai