Anda di halaman 1dari 5

KERANGKA ACUAN KEGIATAN

FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD)


PENGEMBANGAN PETUNJUK TEKNIS OPERASIONAL (PTO) UNTUK PELAYANAN
KEUANGAN KEPADA PENYANDANG DISABILITAS
(UNTUK LEMBAGA KEUANGAN BANK)

I. LATAR BELAKANG
Pemerintah Indonesia menyadari pentingnya inklusi keuangan bagi pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia menerbitkan
Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif
(SNKI). Tujuan utama SNKI adalah mengurangi ketidaksetaraan dan membawa
masyarakat miskin dan termarginalkan ke dalam sektor keuangan, serta memperoleh
kesempatan untuk terlibat dalam aktivitas ekonomi produktif untuk meningkatkan
kesejahteraan mereka. Sasaran dari SNKI adalah masyarakat berpendapatan rendah,
pelaku usaha mikro dan kecil, dan masyarakat lintas kelompok yang terdiri dari pekerja
migran, wanita, kelompok masyarakat Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PMKS), masyarakat di daerah tertinggal, perbatasan, dan pulau terluar, serta kelompok
pelajar, mahasiswa, dan pemuda. Salah satu kelompok masyarakat yang termasuk
dalam Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) adalah Penyandang
Disabilitas.
Hasil Studi Inklusi Keuangan Penyandang Disabilitas di Indonesia yang dilakukan oleh
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Otoritas Jasa keuangan
(OJK), Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan untuk Kesejahteraan (KOMPAK), dan
DEFINIT tahun 2017 menunjukkan bahwa tingkat inklusi keuangan Penyandang
Disabilitas masih sangat rendah. Hal ini disebabkan oleh adanya hambatan internal dan
eksternal. Hambatan internal yang secara umum dialami oleh Penyandang Disabilitas
adalah tingkat pendidikan yang relatif rendah, mobilitas yang relatif terbatas,
penghasilan yang cenderung tidak tetap, dan rendahnya tingkat literasi keuangan
Penyandang Disabilitas. Sementara itu, hambatan eksternal yang secara umum dialami
oleh Penyandang Disabilitas adalah minimnya kesadaran berbagai pihak (pemerintah,
regulator, dan lembaga keuangan) terkait kebutuhan Penyandang Disabilitas dalam
mengakses layanan keuangan, sehingga berdampak pada minimnya layanan dan
fasilitas yang disediakan untuk Penyandang Disabilitas.
Hasil studi tersebut juga menunjukkan bahwa sebanyak 84,47 persen lembaga
keuangan di tingkat pusat belum memiliki kebijakan khusus terkait pelayanan untuk
Penyandang Disabilitas. Hanya 12,62 persen lembaga keuangan yang memiliki
kebijakan khusus yang mengatur pelayanan keuangan bagi Penyandang Disabilitas
(Gambar 1). Selain itu, studi tersebut juga menunjukkan bahwa sebanyak 91,26 persen
lembaga keuangan menyatakan tidak memiliki Petunjuk Teknis Operasional (PTO) yang
khusus terkait Penyandang Disabilitas. Dari 103 lembaga keuangan, hanya 5,83 persen
yang memiliki PTO khusus yang mengatur pelayanan keuangan bagi Penyandang
Disabilitas (Gambar 2).

1
Gambar 1. Tersedianya Kebijakan Khusus Gambar 2. Kepemilikan Petunjuk Teknis
Terkait Pelayanan Keuangan bagi Operasional (PTO) Khusus Terkait
Penyandang Disabilitas (Tingkat Pusat) Penyandang Disabilitas (Tingkat Pusat)
2.91% 5.83% 2.91%
12.62
%

84.47
% 91.26%
Belum memiliki kebijakan khusus Belum memiliki PTO khusus
Memiliki kebijakan khusus Memiliki PTO khusus
Tidak bersedia menjawab Tidak bersedia menjawab
n = 103 n = 103
Sumber: Analisis DEFINIT, 2017

Hasil studi juga menunjukkan bahwa pelayanan khusus dari lembaga keuangan kepada
Penyandang Disabilitas sebagian besar merupakan inisiatif dari kantor cabang. Masih
belum banyak kebijakan yang berasal dari kantor pusat terkait dengan pelayanan untuk
Penyandang Disabilitas. Oleh karena itu, bentuk pelayanan terhadap Penyandang
Disabilitas yang saat ini tersedia cenderung tidak terstandarisasi, sehingga terdapat
perbedaan kebijakan, baik antarcabang maupun antarlembaga keuangan. Dampak dari
perbedaan kebijakan tersebut adalah Penyandang Disabilitas hanya dapat mengakses
layanan keuangan di lembaga keuangan tertentu saja atau tempat dimana Penyandang
Disabilitas pertama kali membuka rekening.
Memberikan kemudahan akses di lembaga keuangan kepada Penyandang Disabilitas
telah diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 1 Tahun 2013 tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Dalam peraturan tersebut disebutkan
bahwa Penyedia Usaha Jasa Keuangan (PUJK) wajib menyediakan layanan khusus
bagi konsumen berkebutuhan khusus, termasuk Penyandang Disabilitas (Pasal 24).
Serupa dengan hal tersebut, di dalam POJK No. 76 Tahun 2016 tentang Literasi dan
Inklusi Keuangan, ditegaskan bahwa PUJK wajib memperluas akses layanan keuangan,
termasuk menyediakan berbagai sarana bagi kelompok masyarakat dengan kebutuhan
khusus, salah satunya Penyandang Disabilitas (Pasal 15). Selain itu, di dalam Peraturan
Bank Indonesia (PBI) No. 16 Tahun 2014 tentang Perlindungan Konsumen Jasa Sistem
Pembayaran disebutkan tentang kewajiban penyediaan mekanisme dan prosedur akses
layanan kepada konsumen berkebutuhan khusus (termasuk Penyandang Disabilitas)
oleh penyedia jasa sistem pembayaran.
Secara spesifik, hak-hak Penyandang Disabilitas dalam memperoleh pelayanan publik
termasuk lembaga keuangan telah diatur dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik. Selain itu, Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas juga mengatur hak-hak Penyandang Disabilitas, termasuk
memperoleh akses layanan perbankan dan non-perbankan yang tidak diskriminatif,
pendampingan, penerjemahan, dan penyediaan fasilitas yang mudah diakses di tempat
layanan publik tanpa dibebani biaya tambahan.

2
Saat ini beberapa negara, di antaranya Inggris, Australia, India, Cina dan Selandia Baru
telah membuat kebijakan layanan keuangan yang ramah (accessible) untuk Penyandang
Disabilitas. Misalnya, di Inggris terdapat Royal National Institute for the Blind (RNIB),
yaitu sebuah yayasan yang berfokus pada penyandang tunanetra. Yayasan tersebut
menerbitkan sebuah dokumen yang dapat digunakan oleh lembaga perbankan sebagai
panduan untuk melayani nasabah Penyandang Disabilitas, misalnya pelayanan ATM,
fasilitas fisik, dan internet. Selain itu, bank sentral di India juga menyediakan panduan
bagi lembaga keuangan untuk melayani nasabah Penyandang Disabilitas.
Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan kebijakan penyediaan layanan keuangan bagi
Penyandang Disabilitas dalam bentuk Petunjuk Teknis Operasional (PTO) yang dapat
dijadikan sebagai generic model. PTO dimaksud dapat digunakan oleh Lembaga Jasa
Keuangan (LJK) dalam pelaksanaan operasionalnya.
Sebagai tindak lanjut studi yang telah dilakukan pada tahun 2017, OJK, BAPPENAS,
KOMPAK dan DEFINIT akan menggunakan hasil studi tersebut sebagai bahan rujukan
penyerapan kebijakan mengenai akses keuangan bagi penyandang disabilitas. Untuk
itu, kami akan melaksanakan Focus Group Discussion (FGD) untuk memperoleh
informasi dari beberapa stakeholders terkait, agar kebijakan yang dikembangkan sesuai
dengan kebutuhan Penyandang Disabilitas. Dengan adanya PTO yang berlaku di
lembaga keuangan, Penyandang Disabilitas dapat lebih mudah mengakses layanan di
lembaga keuangan tanpa perlu merasa khawatir akan adanya penolakan atau
pembedaan perlakuan (diskriminasi).

II. TUJUAN FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD)


Tujuan dari kegiatan FGD ini adalah:
1. Mengidentifikasi PTO yang sudah ada terkait pelayanan keuangan kepada
Penyandang Disabilitas;
2. Mengidentifikasi praktik terbaik tentang pelayanan keuangan kepada Penyandang
Disabilitas;
3. Mengidentifikasi tantangan dan hambatan yang dihadapi dalam menyediakan layanan
keuangan bagi Penyandang Disabilitas; dan
4. Mengidentifikasi usulan terkait penyusunan draft PTO.

III. TOPIK DISKUSI


Peserta FGD diharapkan dapat menyampaikan pemikiran dan pendapat mengenai
Petunjuk Teknis Operasional (PTO) untuk pelayanan keuangan kepada Penyandang
Disabilitas yang mencakup topik-topik berikut:
1. Peraturan apa saja yang saat ini sudah diterapkan oleh lembaga keuangan untuk
memberikan layanan keuangan kepada Penyandang Disabilitas?
2. Apa persyaratan dan dokumen legal yang harus dipenuhi oleh Penyandang
Disabilitas ketika mengajukan diri sebagai nasabah di lembaga keuangan yang
sudah berlaku saat ini?
3. Apa tujuan PTO khusus terkait Penyandang Disabilitas?

3
4. Ragam disabilitas apa saja yang menjadi sasaran di dalam PTO khusus terkait
Penyandang Disabilitas?
5. Apakah Penyandang Disabilitas diharuskan/diwajibkan membawa pendamping
ketika mengakses produk dan jasa keuangan di lembaga keuangan?
6. Siapa yang diperbolehkan menjadi pendamping Penyandang Disabilitas ketika
mengakses produk dan jasa keuangan di lembaga keuangan?
7. Persyaratan/unsur legalitas apa saja yang harus dipenuhi oleh seorang
pendamping?
8. Apa hak dan kewajiban serta kewenangan seorang pendamping?
9. Bagaimana prosedur penanganan terhadap kerahasiaan atau keamanan data
Penyandang Disabilitas apabila membawa pendamping?
10. Bagaimana bentuk standar minimum formulir dan dokumen administrasi yang
ramah disabilitas (contoh: pada formulir pembukaan rekening, harus ada item untuk
mengidentifikasi jenis disabilitas dan bentuk bantuan/fasilitas khusus yang
diperlukan)?
11. Standar minimum infrastruktur/fasilitas fisik apa yang dapat disediakan oleh
lembaga keuangan untuk mempermudah Penyandang Disabilitas dalam
mengakses layanan di lembaga keuangan?
12. Bagaimana prosedur penyampaian komplain atau pengaduan dari calon
nasabah/nasabah Penyandang Disabilitas?
13. Bagaimana kebijakan lembaga keuangan terkait lokasi transaksi keuangan
(penyetoran, penarikan, pembayaran, transfer, dan pemindahbukuan) yang
diperbolehkan untuk Penyandang Disabilitas?
14. Materi apa yang menjadi bahan pelatihan bagi staf lembaga keuangan (contoh:
mengidentifikasi kriteria Penyandang Disabilitas, berinteraksi dan berkomunikasi
dengan masing-masing ragam disabilitas dengan menggunakan etika yang baik),
mulai dari petugas keamanan, customer service, dan petugas teller?
15. Bagaimana mekanisme evaluasi dari implementasi PTO khusus Penyandang
Disabilitas?
16. Apa kendala dan hambatan yang dihadapi oleh stakeholders (pemerintah,
regulator, dan lembaga keuangan) dalam menyediakan layanan keuangan bagi
Penyandang Disabilitas?
17. Apa solusi yang sejauh ini sudah dilakukan untuk mengatasi kendala dan hambatan
dalam penyediaan layanan keuangan bagi Penyandang Disabilitas?

4
REFERENSI
BAPPENAS, OJK, KOMPAK, dan DEFINIT. 2017. Studi Inklusi Keuangan Penyandang
Disabilitas di Indonesia.
Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 16 Tahun 2014 tentang Perlindungan Konsumen
Jasa Sistem Pembayaran
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 76 Tahun 2016 tentang Peningkatan
Literasi dan Inklusi Keuangan di Sektor Jasa Keuangan bagi Konsumen dan/atau
Masyarakat
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2016 tentang Strategi Nasional
Keuangan Inklusif (SNKI)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas
www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/15/04/27/nngyfe-bank-di-jatim-belum-ramah-
disabilitas

Anda mungkin juga menyukai