Anda di halaman 1dari 9

See

discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/316629733

Studi Kelayakan Produksi Bioetanol dari Ampas


Tapioka dengan Metode Solid State
Fermentation untuk Pemenuhan Kebut....

Conference Paper · May 2016

CITATIONS READS

0 88

3 authors:

Naufal Hakim Mochamad Firmansyah


Bandung Institute of Technology Bandung Institute of Technology
5 PUBLICATIONS 1 CITATION 2 PUBLICATIONS 0 CITATIONS

SEE PROFILE SEE PROFILE

Abdurrahman Adam
Bandung Institute of Technology
1 PUBLICATION 0 CITATIONS

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Studi Kelayakan Produksi Bioetanol dari Ampas Tapioka dengan Metode Solid State Fermentation
untuk Pemenuhan Kebutuhan Bioetanol Menuju Indonesia Energy Mix 2025 View project

All content following this page was uploaded by Naufal Hakim on 02 May 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Prosiding Seminar Nasional Biologi (SEMABIO), 31 Mei 2016, Bandung, Indonesia

Studi Kelayakan Produksi Bioetanol dari Ampas Tapioka


dengan Metode Solid State Fermentation untuk Pemenuhan
Kebutuhan Bioetanol Menuju Indonesia Energy Mix 2025
Muhammad Naufal Hakim1, a), Mochamad Firmansyah1, b), Abdurrahman Adam1,c)

1
Program Studi Rekayasa Hayati, Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganeca No. 10 Bandung 40132

a)hakim800@gmail.com
b)mochfirmansyah112@gmail.com
c)abdurrahman.adam97@gmail.com

Abstrak. Berdasarkan data kementerian ESDM tahun 2014, kebutuhan bahan bakar minyak
Indonesia adalah 40 juta kL/tahun dan cenderung meningkat hingga 77 juta kL/tahun pada 2018.
Untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, pemerintah Indonesia
mencanangkan Roadmap Energy Mix 2025. Biofuel sebagai sumber energi terbarukan ditargetkan
menempati porsi 1,335% dari total sumber energi Indonesia. Sumber bioetanol berupa bahan nabati
yang mengandung gula, pati, dan selulosa. Namun adanya UU No.18 tahun 2012 membuat bahan
baku bioenergi tidak boleh mengganggu ketahanan pangan Indonesia. Mengacu pada peraturan
tersebut, limbah ampas tapioka dapat dipilih sebagai bahan pembuatan bioetanol karena limbah
tersebut masih memiliki kandungan pati dan gula tereduksi yang cukup tinggi. Indonesia
menghasilkan rata-rata limbah ampas tapioka sebesar 564.415 ton/tahun. Metode yang digunakan
untuk mengonversi ampas tapioka ini adalah solid state fermentation, yaitu proses fermentasi tanpa
cairan yang mengalir di dalam reaktor. Hasil simulasi menunjukkan bahwa metode ini dengan
bahan baku ampas tapioka dapat menghasilkan perolehan bioetanol hingga 17 % ( w/w ampas
tapioka ) dalam waktu 48 jam. Mengacu pada produksi limbah ampas tapioka yang ada,
dimungkinkan untuk menghasilkan bioetanol hingga 59.048 kL/tahun. Perolehan bioetanol yang
dihasilkan dengan metode ini dapat berperan dalam memenuhi kebutuhan bioetanol Indonesia
hingga 1,03 % menurut Roadmap Energy Mix 2025.

Kata kunci: ampas tapioka, bioetanol, fermentasi padat,, Indonesia Energy Mix 2025

Abstract. Based on data from the Ministry of Energy and Mineral Resources in 2014, fuel needs of
Indonesia is 40 million kL/year and is likely to increase up to 77 million kL/year in 2018. In order
to reduce dependence on fossil fuels, Indonesian government launched the Roadmap Energy Mix
2025. Biofuels as renewable energy occupied 1.335 % of total energy sources in Indonesia. Sources
of bioethanol usually are materials containing sugar, starch, and cellulose. However, RI Law No.18
of 2012 makes bioenergy feedstock shouldn’t interfere with Indonesia's food security. Referring to
these regulations, cassava waste pulp ( CWP ) can be selected as the raw material for bioethanol
production, this waste still contains high starch and reduced sugar. Indonesia produces CWP about
564,415 tonnes/year. The method used to convert CWP is Solid State Fermentation ( SSF ),
whereas fermentation process without liquid moved freely in reactor. The simulation results
showed the method of SSF with CWP feedstock can produce bioethanol up to 17 % ( w/w CWP )
within 48 hours. Referring to the simulation, it’s possible to produce bioethanol up to 59,048
kL/year. Acquisition of bioethanol produced by this method can contribute to meet the needs of
bioethanol up to 1.03 % according to the Roadmap Energy Mix 2025.

Keywords : bioethanol, Indonesia Energy Mix 2025, cassava waste pulp, solid state fermentation

1
Prosiding Seminar Nasional Biologi (SEMABIO), 31 Mei 2016, Bandung, Indonesia

Pendahuluan
Angka konsumsi bahan bakar Indonesia cenderung mengalami peningkatan seiring dengan
meningkatnya kebutuhan energi dalam negeri. Data Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral
( ESDM ) tahun 2014 menunjukkan kebutuhan bahan bakar minyak Indonesia mencapai 40 juta kL/tahun
dan cenderung meningkat hingga 77 juta kL/tahun pada 2018 [1]. Perlu dilakukan upaya dalam
memenuhi kebutuhan energi tersebut terutama energi terbarukan yang ramah lingkungan.
Saat ini, pemenuhan kebutuhan energi di Indonesia masih didominasi oleh bahan bakar berbasis fosil.
Padahal penggunaan bahan bakar fosil memiliki berbagai keterbatasan terutama keberadaannya yang
tidak dapat diperbaharui. Selain itu penggunaannya memiliki dampak buruk bagi lingkungan, seperti
polusi udara, meningkatnya akumulasi karbon di atmosfer, terjadinya hujan asam, hingga pemanasan
global. Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah melalui kementrian ESDM meluncurkan program
Indonesia Energy Mix Roadmap 2025 sebagai bentuk diversifikasi energi di Indonesia ( Gambar 1 ).
Kebutuhan akan sumber energi terbarukan berupa bioetanol cukup besar mencapai 1,335 % dari total
sumber energi yang digunakan Indonesia, atau secara jumlah suplai dibutuhkan bioetanol sebesar 17.205
kL/hari untuk mendukung proyek roadmap energy mix 2025. Bioetanol dapat diproduksi dari bermacam-
macam bahan baku, diantaranya singkong, ubi, dan kentang. Namun, adanya aturan UU No. 18 tahun
2012 tidak memperbolehkan kepentingan tanaman pangan untuk bahan bakar berbenturan dengan
ketahanan pangan. Sehingga bahan baku bioetanol hanya diperbolehkan berasal dari tanaman yang tidak
digunakan untuk bahan pangan atau dapat pula digunakan limbah hayati.

Gambar 1. Skema roadmap energy mix 2025 (Sumber: [2])

Ampas tapioka ( Cassava Waste Pulp, CWP ) merupakan limbah padat yang terbentuk dari proses
konversi pati singkong ( Manihot esculenta ) menjadi tepung tapioka [3]. Sebagai produk samping berupa
biomassa, ampas tapioka masih memiliki berbagai komponen organik yang dapat dimanfaatkan ( Tabel
1 ).

Tabel 1. Komposisi berat kering limbah ampas tapioka (Sumber: [4])


Komposisi Fraksi (%)
Air 9,04
Serat 21
Pati 37,7
Gula tereduksi 31,3
Protein 0,96

Jumlah rata-rata CWP yang dihasilkan Indonesia mencapai 564 ribu ton/tahun. Selama ini,
pemanfaatan CWP yang dilakukan masyarakat masih sebatas bahan pupuk ataupun pakan ternak.
Kemudian sisanya dibiarkan begitu saja tanpa pengolahan dan pengelolaan yang baik. Padahal CWP yang
tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan berbagai dampak yang merugikan masyarakat, seperti bau
busuk akibat tumpukkan CWP, pencemaran air dan tanah, juga menjadi sumber penyakit [5]. Sementara
itu di negara Thailand, CWP sudah dimanfaatkan untuk menghasilkan bahan bakar terbarukan berupa
bioetanol [6]. Dibandingkan dengan beberapa jenis limbah lain, CWP memiliki potensi besar (Tabel 2)
untuk dijadikan bahan baku pembuatan bioetanol [1].

2
Prosiding Seminar Nasional Biologi (SEMABIO), 31 Mei 2016, Bandung, Indonesia

Tabel 2. Perbandingan potensi produksi bioetanol berbagai substrat


Waktu Perolehan Etanol
Bahan Mentah Substrat Esensial
Fermentasi (jam) (%)
Gula tereduksi dan
Ampas Tapioka
pati ( 31,3 % dan 59 – 62 15,68 %
(metode SmF)
37,7 % )
Nira Nipah Glukosa 15-20 % 36 14 %
Tandan Kosong
Selulosa 45 % 120 9,689 %
Kelapa Sawit
Air dadih dan kulit Glukosa 4,21 % &
24 2,040 %
pisang 12,3 %

Pada umumnya pembuatan bioetanol memanfaatkan Saccharomyces cerevisiae, ragi dari golongan
Ascomycota sebagai agen produksi. Ragi ini dapat mengonversi glukosa menjadi etanol dan gas CO2
melalui jalur fermentasi alkohol [7]. Reaksi tersebut berlangsung secara anaerob ( tanpa adanya gas O2 )
serta melibatkan berbagai jenis enzim, salah satunya alkohol dehidrogenase sebagai katalis reaksi
konversi asetaldehid menjadi etanol ( Gambar 3 ). Seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat
akan energi terbarukan, bioetanol hasil fermentasi S. cerevisiae juga dimanfaatkan untuk membuat etanol
fuel grade ( kemurnian > 99,5 % ). Ragi ini dipilih karena memiliki efektivitas dan efisiensi yang tinggi
dalam menghasilkan etanol. Keunggulan ini dilihat dari banyaknya perolehan etanol yang dihasilkan dan
sifat toleran terhadap konsentrasi glukosa serta alkohol yang tinggi di dalam medium tumbuhnya [8].
Hingga kini pemanfaatan ragi S. cerevisiae terus dikembangkan baik melalui rekayasa genetika maupun
optimasi kultur di dalam bioreaktor guna memaksimalkan produksi bioetanol.

Gambar 2. Jalur fermentasi etanol pada ragi S. cerevisiae (Sumber: [8])

Secara umum, teknik fermentasi dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu fermentasi padat atau
Solid State Fermentation ( SSF ) dan fermentasi terendam atau Submerged Fermentation ( SmF ). SSF
( Gambar 3 ) merupakan suatu teknik fermentasi pada kondisi tanpa adanya cairan yang bebas mengalir
ke dalam sistem dan material-material padat di dalamnya menjadi subtrat saat proses fermentasi [9].
Teknik fermentasi ini biasa digunakan dalam berbagai proses pembuatan produk hasil metabolisme
seperti makanan dan minuman fermentasi, pakan ternak, bahan-bahan kimia, obat-obatan, hingga bahan
bakar berbasis hayati [10]. Teknik SSF bahkan telah menjadi suatu teknologi yang digunakan oleh
masyarakat di kawasan Asia selama ribuan tahun lalu. Sementara itu, SmF merupakan teknik fermentasi
yang menggunakan substrat terlarut di dalam medium cair untuk melangsungkan reaksi konversi seluler.
Secara umum perbedaan dari keduanya terlihat dari jenis substrat dan kadar air di dalam medium
tumbuhnya.

3
Prosiding Seminar Nasional Biologi (SEMABIO), 31 Mei 2016, Bandung, Indonesia

Gambar 3. Skema proses fermentasi padat (Sumber: [11])

Berdasarkan berbagai literatur, metode SSF memiliki banyak keuntungan dibandingkan dengan SmF.
Keuntungan tersebut dapat ditinjau dari beberapa aspek, diantaranya adalah aspek biologis, ekologis,
konsumsi energi dan ekonomis. Secara biologis, keadaan operasi metode SSF menyerupai kondisi alami
perkembangan ragi atau jamur yang biasa tumbuh pada tempat lembab dengan kadar air yang tidak begitu
tinggi [12]. Selain itu, dengan metode SSF, perolehan ( yield ) dan produktivitas bioetanol yang didapat,
lebih besar dibandingkan dengan teknik SmF [10]. Berdasarkan tinjauan ekologis, metode SSF hanya
menghasilkan limbah cair ( effluent ) yang lebih sedikit dibandingkan metode SmF karena kebutuhan air
yang sangat rendah, sehingga aman untuk lingkungan [11]. Dari segi konsumsi energi, metode SSF
menggunakan unit operasi yang sedikit dan relatif lebih sederhana dibandingkan SmF, sehingga
konsumsi energinya pun lebih sedikit [13]. Begitu pun dari tinjauan ekonomis, seperti halnya keuntungan
secara biologis, ekologis, dan konsumsi energi, dapat dilihat bahwa biaya operasi dan produksi menjadi
cukup rendah dibandingkan dengan metode SmF. Hal tersebut menunjukkan bahwa metode SSF lebih
efektif dan ekonomis dibandingkan metode SmF, sehingga metode SSF menjadi sangat potensial dalam
memaksimalkan produksi bioetanol.

Bahan dan Metode


Tahap pertama dalam studi ini adalah pengumpulan data terkait panen singkong, produksi tapioka,
produksi bioetanol serta informasi terkait bioetanol dari bebagai referensi seperti Badan Pusat Statistik,
Kementerian ESDM dan Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan yang didapatkan dari tahun 2007
hingga tahun 2014. Metode yang digunakan untuk mendapatkan data tahun 2015 yang belum tersedia
tentang produksi CWP adalah dengan metode interpolasi. Jumlah CWP yang dihasilkan dari industri
tapioka dihitung berdasarkan data tahun 2007 yang menyebutkan bahwa jumlah CWP sebesar 11,4 %
produksi tapioka, dengan jumlah singkong yang digunakan pada produksi tapioka sebesar 26,01 % dari
total panen singkong nasional.
Metode SSF yang digunakan pada studi ini dipakai untuk produksi bioetanol dengan menggunakan
CWP karena metode SSF banyak mengandung kelebihan dibandingkan metode SmF yang biasa
digunakan untuk produksi bioetanol di Indonesia, sehingga tahap kedua dalam studi ini adalah
mengumpulkan literatur dari berbagai sumber dan memilih literatur yang memiliki persamaan-persamaan
yang esensial untuk memodelkan produksi bietanol menggunakan CWP, serta memilih literatur yang
memiliki informasi tentang kondisi optimal dalam produksi bioetanol dengan metode SSF. Diagram alir
proses bioetanol menggunakan bahan baku CWP dengan metode SSF dapat dilihat pada Gambar 4.

4
Prosiding Seminar Nasional Biologi (SEMABIO), 31 Mei 2016, Bandung, Indonesia

Waste
gas

C-020
Waste
Ampas gas Waste
Ampas gas
Tapioka : V-7
Tapioka
Air = 1:3
Air Enzyme
CSTR-010 I-5
Steam (90 °C)
P-010
E-20 HE-010
RT-010 E-19
BT-010
R-021

S-020
R-020 V-8
air
DT-020 V-5

V-2
ST-020
P-020
V-6
etanol

Uap air I-1 V-4

R-020
Medium kultur air
V-3
I-3 P-021
vinase
Saccharomyces
cerevisiae
CSTR-030
Air terkondensasi

V-1

Gambar 4. Diagram alir proses produksi bioetanol dengan metode solid state fermentantion
Terdapat tiga tahap utama dalam SSF, yaitu hidrolisis ( garis turquoise ), fermentasi, dan purifikasi
( garis biru muda ). Diagram alir berwarna merah, oranye, hijau dan ungu masing-masing mewakili aliran
uap air, medium kultur dan S. cerevisiae, air dan vinase.
Proses alir hidrolisis berfungsi untuk mendegradasi pati menjadi gula pereduksi. Dalam proses ini,
untuk menghidrolisis pati digunakan enzim α-amilase dan β-glukoamilase. Umpan dari proses
pretreatment akan menuju proses kedua yaitu proses moisturizing. Pada tahap ini, umpan dari proses
pretreatment akan ditambahkan air yang berguna untuk menambah kelembaban dari CWP agar proses
fermentasi lebih mudah dilakukan. Selanjutnya umpan yang telah dilembabkan tadi akan memasuki
fermentor untuk difermentasi. Umpan ini dalam keadaan optimal memiliki kandungan gula tereduksi
sebesar 68 % ( w/w ) dan akan difermentasi oleh S. cerevisiae. Umpan ini akan masuk dalam reaktor
yang akan mencampurkan umpan dengan ragi dan medium kultur. Setelah melalui tahap ini, umpan akan
diteruskan ke splitter, yang akan memecah umpan sesuai fasanya masing-masing. Dapat dilihat pada
proses alir diatas, umpan akan terpisah dan memiliki jalur prosesnya sendiri – sendiri. Untuk etanol akan
dipompa dan masuk dalam kolom destilasi dan dikondensasi. Kemudian etanol akan memasuki sieve
tower. Pada tahap ini, campuran etanol-air akan dimurnikan dengan sieve tower. Sieve tower yang
digunakan pada produksi fuel grade ethanol biasanya memiliki besar butiran sieve diameter kurang dari 3
x 10-10 meter. Butiran ini berfungsi untuk menyaring partikel air yang tidak diinginkan, sehingga akan
dikeluarkan ekstrak dari sieve tower berupa etanol dengan kadar fuel grade. Saat seluruh butiran sieve
telah dipenuhi oleh air, suhu pada sieve tower dapat diatur sehingga air akan menguap terlebih dahulu
sebelum digunakan untuk purifikasi etanol lagi. Sieve tower lebih disukai untuk memurnikan campuran
etanol-air dibandingkan distilasi azeotrop, karena distilasi tidak perlu dilakukan berulang kali, dan
akhirnya didapat etanol dengan kandungan 99,5 % atau fuel grade ethanol.
Pemodelan produksi bioetanol menggunakan metode SSF membutuhkan formulasi yang terkait
dengan kinetika pertumbuhan biomassa, konsumsi substrat dan produksi bioetanol. Berikut adalah
formulasi proses yang digunakan [14].
1. Kinetika pertumbuhan Saccharomyces cerevisae
Pemodelan kinetika pertumbuhan Saccharomyces cerevisae menggunakan persamaan logistik
sebagai berikut:

dengan Cx adalah konsentrasi biomassa (g biomassa/100 g substrat) , Cxm adalah konsentrasi


biomassa maksimum, μ laju pertumbuhan spesifik (t ) dan μm adalah laju pertumbuhan spesifik
-1

maksimum.
2. Kinetika konsumsi substrat
Persamaan laju konsumsi substrat adalah sebagai berikut:
5
Prosiding Seminar Nasional Biologi (SEMABIO), 31 Mei 2016, Bandung, Indonesia

dengan Cs adalah konsentrasi substrat, Cp konsentrasi produk atau konsentrasi etanol, Yxs
koefisien yield untuk sel, Yps koefisien yield etanol dalam substrat dan m koefisien kestabilan sel
( maintainance coefficient ).
3. Kinetika produksi etanol
Persamaan laju produksi etanol adalah sebagai berikut:

dengan α dan β adalah koefisien empiris produksi etanol didapatkan dari eksperimen labu ( flask
experiment ).

Hasil
Hasil simulasi kinetika pertumbuhan S. cerevisiae menggunakan MATLAB dengan pendekatan dan
asumsi yang digunakan pada bagian metode ditunjukkan oleh Gambar 5. Sementara itu kinetika konsumsi
glukosa dan produksi etanol ditunjukkan oleh Gambar 6. Hasil ini menunjukkan bahwa ragi S. cerevisiae
mencapai fase stasioner pada waktu 25 jam dengan jumlah biomassa sel maksimum sebesar 0,0279 gram
S. cerevisiae per 100 gram substrat. Etanol yang diproduksi dari gula mencapai 17% ( w/w ) setelah 48
jam.

Biomass Growth
0.04

0.035
Biomass Content, (g/100 g substrate)

0.03

0.025

0.02

0.015

0.01

0.005

0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
time (h)

Gambar 5. Kinetika pertumbuhan ragi Saccharomyces cerevisiae dalam medium padat.

6
Prosiding Seminar Nasional Biologi (SEMABIO), 31 Mei 2016, Bandung, Indonesia

Substrate Reduced vs Ethanol Production


0.7
Ethanol Production
Sugar Fermentation
0.6

0.5

g/g dry substrate


0.4

0.3

0.2

0.1

0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
time (h)

Gambar 6. Kinetika produksi etanol dan konsumsi glukosa S. cerevisiae

Pembahasan
Berdasarkan simulasi yang dilakukan ( Gambar 5 ) terlihat bahwa dalam waktu 48 jam seluruh gula
dalam substrat CWP telah terkonversi menjadi etanol dengan perolehan sebesar 17 % ( w/w ). Produksi
etanol meningkat secara eksponensial bersamaan dengan fase pertumbuhan eksponensial dari S.
cerevisiae terlihat dari kurva pertumbuhan dan kinetika produksi bioetanol. Hasil ini lebih tinggi
dibandingkan dengan fermentasi mengunakan metode SmF dengan yield sebesar 15,68.% ( w/v ) Seperti
yang telah diketahui bahwa secara biologis, keadaan operasi pada metode SSF sangat menyerupai kondisi
alamiah pertumbuhan ragi [12]. Hal ini menjadikan perolehan bioetanol lebih banyak dibandingkan
metode SmF karena laju pertumbuhan dan reaksi metabolism S. cerevisiae tidak mengalami hambatan.
Mengacu pada asumsi bahwa seluruh ampas tapioka dikonversi menjadi bioetanol maka dalam
setahun metode ini dapat menghasilkan hingga 59.048 kL/tahun atau hingga 179 kL/hari. Jumlah ini
memenuhi sebesar 1,03 % dari kebutuhan bioetanol pada Roadmap Energy Mix 2025, sedangkan dengan
metode SmF hanya menghasilkan 0,95 % dari kebutuhan bioetanol sesuai dengan Roadmap Energy Mix
2025. Terdapat selisih sebesar 13 kL/hari yang mampu menyalakan hingga 37 ribu lampu LED 7 watt
selama 1 jam ( lampu LED 7 watt setara dengan lampu bohlam biasa 60 watt )
Penggunaan substrat CWP untuk memproduksi bioetanol menggunakan metode SSF sangat layak
dalam rangka pemenuhan kebutuhan bioetanol berdasarkan Roadmap Energy Mix 2025. Hal tersebut
dapat dilihat dari ketersediaan substrat CWP dari hasil pemodelan yang menunjukkan bahwa perolehan
bioetanol dapat mencapai 17 % ( w/w ) dalam waktu 48 jam dengan produktivitas 179 kL/hari atau setara
dengan 59.048 kL/tahun. Hasil tersebut lebih besar dibandingkan dengan penggunaan metode SmF juga
penggunaan bahan baku atau substrat lain. Produksi bioetanol dari CWP menggunakan metode SSF dapat
menyumbang sebesar 1,03 % dari total kebutuhan bioetanol Indonesia menurut Roadmap Energy Mix
2025. Terlebih lagi dapat memenuhi hingga 35,3 % kebutuhan bioetanol menurut Rencana Strategis
Kementrian ESDM 2015-2019 hingga tahun 2016.
Untuk studi kelayakan lebih lanjut perlu dipertimbangkan analisis ekonomi, manajemen supply chain,
manajemen sumber daya manusia, dan manajemen industri. Analisis tersebut dapat mengestimasikan
modal yang harus dikeluarkan dan pemasukan yang akan didapat sehingga dapat diprediksi kemampuan
Indonesia dalam menerapkan metode ini.

Daftar Pustaka
[1] Wahyuono, RA et al. 2015. Feasibility Study on the Production of Bioethanol from Tapioca Solid
Waste to Meet the National Demand of Biofuel. Energy Procedia, 65:324-330 pp
[2] Azahari, HL. 2012. New and renewable energy policies. http://energy-indonesia.com/03dge/03.pdf .
Diakses 24 Februari 2016
[3] Mas’ud, Z.A., et al. 2013. Synthesis of cassava waste pulp-acrylamide super absorbent: effect of
initiator and cross-linker concentration. Indonesian Journal of Chemistry, 13(1):66-71 pp
[4] Soemarno. 2000. Rancangan Teknologi Proses Pengolahan Tapioka dan Produk-produknya. Kanisius.
Jakarta

7
Prosiding Seminar Nasional Biologi (SEMABIO), 31 Mei 2016, Bandung, Indonesia

[5] Akaracharanya, A., et al. 2011. Evaluation of the waste from cassava starch production as a substrate
for ethanol fermentation by Saccharomyces cerevisiae. Annuals of Microbiology, 61(3):431-436 pp
[6] Thongchul, N. et al. 2010. Production of lactic acid and ethanol by Rhizopus oryzae integrated with
cassava pulp hydrolysis. Bioprocess and Biosystems Engineering, 33(3):407-416 pp
[7] Baeyens, J., Kang, Q., Appels, L., Dewil, R., Lv, Y. dan Tan, T., 2015. Challenges and opportunities
in improving the production of bio-ethanol. Progress in Energy and Combustion Science, 47:60-88.
[8] Bai, F. W. et al. 2008. Ethanol fermentation technologies from sugar and starch feedstocks.
Biotechnology Advances, 26(1):89-105 pp
[9] Pandey, A. et al, 2000. New developments in solid state fermentation: I-bioprocesses and products.
Process Biochemistry, 35(10):1153-1169 pp
[10] Pandey, A. 2003. Solid-state fermentation. Biochemical Engineering Journal, 13(2):81-84 pp
[11] Hölker, U. and Lenz, J. 2005. Solid-state fermentation—are there any biotechnological advantages?.
Current Opinion in Microbiology, 8(3):301-306 pp
[12] Koyani, R.D. and Rajput, K.S. 2015. Solid State Fermentation: Comprehensive Tool for Utilization
of Lignocellulosic through Biotechnology. J Bioprocess Biotech, 5(258):1-15 pp
[13] Pandey, A. 1992. Recent process developments in solid-state fermentation. Process Biochemistry,
27(2):109-117 pp
[14] Wang, EQ et al. 2010. Modeling of rotating drum bioreactor for anaerobic solid-state fermentation.
Applied Energy, 87:2839-2845 pp

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai